MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA"

Transkripsi

1 MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Mekanisme Fisiologi dan Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai (Glycine Max (L) Merrill) Terhadap Intensitas Cahaya Rendah adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2007 La Muhuria NIM A

3 ABSTRACT LA MUHURIA. Mechanism of Physiology and Tolerance Characters Inheritance of Soybean (Glycine max (L) Merrill) to Low Light Intensity. Under the direction of Didy Sopandie, Nurul Khumaida, Trikoesoemaningtyas, Latifah K. Darusman, and Tania June. Plants have avoidance and tolerance mechanism to enable to grow in low light intensity. Avoidance mechanism was achieved by efficiency of light capture obtained through adaptation of morpho-anatomy. Tolerance mechanism light use efficiency which can be reached through pigment content, efficient photosynthetic activity, and low respiration. Pattern of characters inheritance that responsible for light capture and light utilizing efficiencies must be studied to produce a new variety. Study on light capture and light utilizing efficiencies were done in four step : (1) light capture efficiencies mechanism, (2) photosynthetic and respiration enzyme activity, (3) photosynthesis and respiration under low light intensity, (4) the inheritance of tolerant characters to low light intensity. Experiment 1-3 used long term and short term exposure of 50% and 100% light intensity, while experiment 4 only used 50% light intensity. Two tolerant genotype (Ceneng and Pangrango) and two sensitive genotype (Godek and Slamet) were used. Diallel population were used especially on experiment 4. In 50% light intensity, Ceneng tolerant genotype, have higher ability to develop an ideal light capture efficiencies characters (wider and thicker leaves, fewer trichome, higher chlorophyll a, b, and lower chlorophyll a/b ratio) compare to sensitive genotypes, especially Godek. Ceneng also have higher light utilizing efficiencies because of its higher photosynthetic and electron transport rate as well as their photosynthetic enzymes activity (rubisco and SPS), while respiration activity (MDH and IA) is lower. Therefore it has higher sucrose, starch, more filling pod number and higher seed weight per plant. Efficiency characters of Ceneng is more responsive following the recent light condition in short term exposure. Characters that have significant role in light capture efficiency are leaves area, palisade length, leaves thickness, filling pod number, chlorophyll a and trichome density. Inheritance study on light capture efficiencies showed that no maternal effect on trichome density, chlorophyll contents and seed weight per plant. Gen action that regulate the expression on trichome density and seed weight per plant is additive, chlorophylls a content is additive and dominant, where as chlorophyll b is dominant. Trichome density, chlorophyll a and b content are inheritance with high heritability. Trichome density have high the genetic gain following chlorophyll a and chlorophyll b, but cannot be used as selection character in the effort of seed weight per plant improvement because have ratio of CR Y /R Y less than one. Keyword : tolerance mechanism, inheritance of tolerance characters, low light intensity, soybean

4 ABSTRAK LA MUHURIA. Mekanisme Fisiologi dan Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai (Glycine Max (L) Merrill) Terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Dibimbing oleh Didy Sopandie, Nurul Khumaida, Trikoesoemaningtyas, Latifah K. Darusman, dan Tania June. Tanaman membangun mekanisme penghindaran (avoidance) dan toleran (tolerance) untuk mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah. Mekanisme penghindaran diperoleh melalui adaptasi morfo-anatomi sehingga memungkinkan efisiensi penangkapan cahaya. Mekanisme toleran mengarah pada efisiensi penggunaan cahaya yang dapat dicapai melalui peningkatan kandungan pigmen pemanen cahaya, aktivitas fotosintesis yang efisien, dan laju respirasi yang rendah. Pola pewarisan karakter efisiensi penangkapan cahaya perlu dipelajari agar upaya pencapaian perbaikan tanaman mudah diperoleh. Percobaan dilakukan dalam empat tahap, masing-masing untuk mempelajari: (1) efisiensi penangkapan cahaya, (2) aktivitas enzim fotosintetik dan respirasi, (3) respon fotosintesis dan respirasi, dan (4) pola pewarisan sifat toleransi terhadap intensitas cahaya rendah. Percobaan 1, 2, dan 3 dilakukan pada intensitas cahaya 100% dan 50% dalam periode yang lama (long-term expossure) serta pada berbagai kondisi cahaya dalam periode singkat (short-term expossure). Percobaan 4 hanya dilakukan pada intensitas cahaya 50% dalam waktu periode yang lama. Pada intensitas cahaya 50%, genotipe toleran Ceneng memiliki kemampuan penangkapan cahaya yang lebih tinggi (daun lebih luas dan lebih tipis, trikoma lebih sedikit, klorofil a dan b yang lebih tinggi, serta nisbah klorofil a/b yang lebih rendah). Kemampuan penggunaan cahaya pada Cene ng juga lebih tinggi (laju fotosintesis, laju transpor elektron, aktivitas enzim fotosintetik rubisco dan SPS yang lebih tinggi), sedangkan aktivitas respirasi lebih rendah sehingga memiliki sukrosa, pati, jumlah polong berisi, dan bobot biji/tanaman yang lebih tinggi. Genotipe toleran Ceneng lebih responsif terhadap perubahan intensitas cahaya periode singkat mengikuti kondisi intensitas cahaya yang terakhir kali diterima. Karakter yang memiliki peranan besar dalam mendukung efisiensi penangkapan cahaya adalah: luas daun trifoliat, tebal daun, jumlah polong berisi, klorofil a dan b, serta kerapatan trikoma. Pewarisan kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman tidak dipengaruhi tetua betina. Aksi gen yang mengendalikan ekspresi kerapatan trikoma dan bobot biji/tanaman bersifat aditif, kandungan klorofil a bersifat aditif dan dominan sedangkan kandungan klorofil b, aksi gen pengendalinya bersifat dominan. Kerapatan trikoma, kandungan klorofil a, dan kandungan klorofil b diwariskan dengan heritabilitas yang tinggi. Kemajuan genetik tertinggi diperoleh dengan menggunakan kerapatan trikoma sebagai karakter seleksi, disusul klorofil b dan klorofil b. Namun demikian, karakter-karakter tersebut tidak memenuhi syarat sebagai karakter seleksi karena memiliki nisbah CR y /R y yang kurang dari satu. Kata kunci : mekanisme toleransi, pewarisan sifat toleran, intensitas cahaya rendah, kedelai

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seizin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Disertasi Nama Mahasiswa : Mekanisme Fisiologi dan Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai (Glycine max (L) Merrill) terhadap Intensitas Cahaya Rendah : La Muhuria Nomor Pokok : A Disetujui Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Ketua Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Si. Anggota Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Anggota Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S. Anggota Dr. Ir. Tania June, M.Sc. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 1 Februari 2007 Tanggal lulus :...

8 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Tomia Sulawesi Tenggara pada 2 Mei 1964, merupakan putra pertama dari tujuh bersaudara dari ayah La Olu Mony (almarhum) dan Ibu Wa Asi. Penulis menikah dengan Murni dan telah dikaruniai empat orang anak. Pada Juli 1984, diterima di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari jurusan Budidaya Pertanian program studi Agronomi dan selesai pada Mei Jenjang Strata dua (S-2) diikuti pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Program Studi Agronomi sejak Juli 1994 dan selesai pada Februari Selanjutnya, sejak Agustus 2003 mengikuti pendidikan jenjang Strata tiga (S-3) di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada Mei Desember 1989 menjadi staf peneliti pada Balai Penelitian Kelapa UPT Makariki Maluku Tengah. Selanjutnya, pada Agustus 1989 hingga Oktober 1994 menjadi staf pengajar pada Universitas Darussalam Ambon. Sejak Oktober 1994 hingga sekarang menjadi staf pengajar pada Kopertis Wilayah XII yang dipekerjakan pada Universitas Darussalam Ambon. Sebagian dari disertasi ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman pada 2 Agusutus 2006 di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor di Bogor dan Seminar Nasional Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) 2006 pada 5 Agustus 2006 di Fakultas Pertaian Universitas Gadjah Mada Yogykarta serta dipublikasikan dalam Prosiding PERAGI 2006, Buletin Agronomi, Jurnal Hayati, dan Buletin Agriplus.

9 PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul Mekanisme Fisiologi dan Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai (Glycine Max (L) Merrill) terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan empat orang Anggota Komisi Pembimbing yakni Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Si., Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S., dan Dr. Ir. Tania June, M.Sc. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam mengarahkan dan membimbing penulis. Penelitian dan penyelesaian disertasi ini sebagian besar didanai oleh Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP), karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Dirjen DIKTI selaku pemberi dana bagi HPTP, Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. selaku Ketua Peneliti HPTP serta Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Si. dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc., masing-masing sebagai Anggota Peneliti HPTP. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Ir. Kisman M.Sc., Ir. Imam Widodo M.S., Ir. Kartika Ning Tyas, M.Si., Desta Winas S.P., M.Si., dan Tri Lestari S.P., M.Si. atas kebersamaannya di Tim HPTP. Penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa terima kasih yang tulus, penulis sampaikan juga kepada : 1. Dirjen DIKTI yang telah memberikan Beasiswa BPPS. 2. Koordinator Kopertis Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Irian Jaya Barat, serta Rektor Universitas Darussalam Ambon yang telah memberikan izin tugas belajar. 3. Rektor Institut Pertanian Bogor serta Dekan dan Ketua Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. 4. Prof.Dr.Ir. M.A. Chozin, Magr. dan Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS., selaku penguji luar komisi saat ujian prelium dan sidang tertutup serta Dr.Ir. Darman M. Arsyad, MS. dan Dr. Ir. Sudradjat, MS., selaku penguji luar komisi saat

10 sidang terbuka yang telah memberikan saran-saran dan koreksi konstruktif untuk menyempurnakan tulisan ini. 5. Yayasan Pendidikan Putra Mama, Pemerintah Daerah Propinsi Maluku, Yayasan Darussalam Maluku, dan Kupek yang telah memberikan bantuan dana pendidikan dan penelitian. 6. Ir. La Ode Safuan, M.P., Ir. Gunawan Setyono, Dr. Ir. Ahmad Jufri, M.Sc., Dr. Ir. Bregas Budihardjo, MS., Dra. Surtini Suganda, Ir. Irawan, dan La Sainudin ST. atas kebersamaan dan bantuannya yang tanpa pamrih. 7. Kepala dan Staf Kebun Percobaan Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik (BB. Biogen) Cikeumeuh dan Laboratorium Pascapanen BB. Biogen Cimanggu Bogor atas kerjasama dan bantuannya. 8. Kepala beserta Staf Laboratorium Ekofisiologi Tanaman dan Research Group on Crop Improvement Faperta IPB., serta Laboratorium Biokimia FMIPA IPB atas kerjasama, kebersamaan, dan bantuannya. 9. Kepala dan Staf Laboratorium Histologi Biotrop Bogor dan Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN Jakarta atas bantuannya. 10. Dr. Ir. L. Ega, MS., Drs. H. Halim Daties, H. La Ode Buraku, dr. Makmur Tamani, dan Qaimuddin Thamsy SH., atas bantuan dan dorongan morilnya. 11. Ayahanda La Olu Mony (alm) dan ibunda Wa Asi yang telah membesarkan, mendidik, serta selalu menyertai penulis hingga detik ini dengan kasih sayang dan do anya. 12. Adik-adik sekeluarga: Wa Nursida, La Dahamarudin SP., Wa Dahria, Wa Ade Harti, Wa Sulastri SAg., Wa Muriani SP., atas iringan do a dan motivasinya. 13. Istri tercinta Murni dan anak-anak yang tersayang : Abdul Wahid Kamarullah, Milatul Hijrah, Mauludia Khamsin, dan Nur Cessy Zulma atas do a, dorongan, pengertian, dan pengorbanannya. 14. Rekan-rekan di Kopertis Wilayah XII, Universitas Darussalam Ambon, Sekolah Pascasarjana IPB, serta semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan. Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pertanian. Amin. Bogor, Februari 2007 La Muhuria

11 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ix DAFTAR ISI xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN xix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang.. 1 Rumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian. 3 Kerangka Pemikiran 4 Hipotesis. 5 Ruang Lingkup Penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA. 7 Anatomi Daun Kedelai 7 Fotosintesis.. 9 Penangkapan Cahaya oleh Kanopi Tanaman Mekanisme Penangkapan dan Penggunaan Cahaya.. 13 Fotosintesis pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah 17 Pembentukan Klorofil 17 Pembentukan Antosianin 21 Respirasi Respirasi pada Intensitas Cahaya Rendah.. 25 Respon Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah. 26 Perubahan Anatomi dan Morfologi 26 Perubahan Kloroplas.. 26 Perubahan Kandungan Klorofil Daun 27 Perubahan Fisiologi dan Biokimia. 27 Pewarisan Sifat Toleransi terhadap Intensitas Cahaya Rendah Pewarisan Sifat Pewarisan Kloroplas dan Klorofil.. 36 MEKANISME EFISIENSI PENANGKAPAN CAHAYA PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH 38 ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan Pertama "Mekanisme Efisiensi Penangkapan Cahaya dalam Periode yang Lama Percobaan Kedua "Mekanisme Efisiensi Penangkapan Cahaya xi

12 dalam Periode Singkat " HASIL DAN PEMBAHASAN Luas Daun Kerapatan Trikoma Kerapatan Stomata Ketebalan Daun dan Panjang Lapisan Palisade.. 53 Kandungan Klorofil 57 Intensitas Kehijauan Daun.. 60 Antosianin Komponen Hasil dan Hasil SIMPULAN AKTIVITAS ENZIM-ENZIM FOTOSINTETIK DAN RESPIRASI PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan Pertama "Aktivitas Enzim-Enzim Fotosintesis dan Enzim-Enzim Respirasi pada Intensitas Cahaya 100% dan 50% dalam Periode yang Lama" Percobaan Kedua "Aktivitas Enzim-Enzim Fotosintesis dan Enzim-Enzim Respirasi dalam Berbagai Intensitas Cahaya Periode Singkat". 73 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Enzim Ribulose Biphosphate Carboxylase/Oxygenase (Rubisco) Aktivitas Enzim Sucrose Phosphate Synthase (SPS) Aktivitas Enzim Malatedehydrogenase (MDH) Aktivitas Enzim Asam Invertase (AI) SIMPULAN RESPON FOTOSINTESIS DAN RESPIRASI PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan Pertama "Respon Fotosintesis dan Respirasi pada Kedelai Toleran dan Peka terhadap Intensitas Cahaya Rendah dalam Periode yang Lama" xii

13 Percobaan Kedua "Respon Fotosintetik dan Respirasi pada Kedelai Toleran dan Peka terhadap Berbagai Kondisi Intensitas Cahaya Periode Singkat" HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Fotosintesis Laju Transpor Elektron Respirasi Gelap Titik Kompensasi Cahaya Kandungan Sukrosa Kandungan Pati SIMPULAN PEWARISAN SIFAT EFISIENSI PENANGKAPAN CAHAYA PADA KEDELAI ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan Pertama: Analisis Hubungan antar Karakter Efisiensi Penangkapan Cahaya dan Kontribusinya terhadap Hasil Serta Analisis Ragam Percobaan Kedua: Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Korelasi dan Analisis Lintasan Sifat yang Diamati pada Tetua Korelasi antar Karakter pada Tetua Sidik Lintas Keragamaman Karakter Analisis Dialel Pengaruh Tetua Betina Daya Gabung Aksi Gen Pengendali Heritabilitas Kemajuan Genetik SIMPULAN PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 140 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 157 xiii

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Luas daun beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya 100% (kontrol) dan 50% Kerapatann trikoma dan stomata serta ketebalan daun dan panjang lapisan palisade beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya 100% (kontrol) dan 50% Kerapatann trikoma dan stomata (cm 2 ) serta ketebalan daun dan panjang lapisan palisade (µm) beberapa genotipe kedelai pada berbagai kondisi cahaya jangka pendek Kandungan klorofil beberapa genotipe kedelai dalam intensitas cahaya (IC) 100% (kontrol) dan 50% Kandungan klorofil beberapa genotipe kedelai pada berbagai kondisi cahaya periode singkat Intensitas kehijauan daun dan kandungan antosianin beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya (IC) 100% (kontrol) dan 50% Intensitas kehijauan dan kandungan antosianin beberapa genotipe kedelai pada berbagai kondisi cahaya periode singkat Jumlah polong dan bobot biji/tanaman beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya (IC) 100% (kontrol) dan 50% Laju fotosintesis maksimum (A max ), transpor elektron maksimum (J max ), respirasi gelap (R d ), dan titik kompensasi cahaya (LCP) genotipe toleran Ceneng dan genotype peka Godek pada intensitas cahaya 100% (kontrol) dan 50% Laju fotosintesis maksimum (A max ), laju transpor elektron maksimum (J max ), respirasi gelap (Rd), dan titik kompensasi cahaya (LCP) pada kedelai genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat Kandungan sukrosa dan pati genotipe toleran Ceneng dan genotype peka Godek dalam intensitas cahaya 100% (kontrol) dan 50% Anova pengujian karakter efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah Anova dialel lengkap xiv

15 14. Koefisien korelasi parsial antar karakter Ragam genetik, ragam lingkungan, ragam fenotip, dan heritabilitas arti luas beberapa karakter agronomi, morfo-anatomi, dan pigmen pada kedelai dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah Anova kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman dalam intensitas cahaya rendah Anova daya gabung untuk kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman dalam intensitas cahaya rendah Hasil uji t pengaruh tetua betina untuk karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman Daya gabung umum dan daya gabung khusus untuk karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman Ragam genetik aditif (s 2 ga) dan ragam genetik dominan (s 2 gd), kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman kedelai pada keadaan ternaungi Heritabilitas arti luas (h 2 bs) dan heritabilitas arti sempit (h 2 ns) dari kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman kedelai pada keadaan ternaungi Kemajuan genetik ( G) dan respon ikutan (CR y /R y ) dari kerapatan trikoma, kandungan klorofil, dan bobot biji/tanaman kedelai pada keadaan ternaungi xv

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Alur Kegiatan Penelitian Struktur anatomi daun tanaman C3 (Becker et al. 2000) 7 3. Serapan pigmen pemanen cahaya (klorofil a dan b) pada panjang gelombang nm 9 4. Adaptasi tanaman naungan yang berperanan penting dalam avoidance terhadap defisit cahaya (Levitt 1980) Adaptasi tanaman naungan yang berperanan penting terhadap toleransi defisit cahaya (LCP = light compesation point) (Levitt, 1980) Kendali inti terhadap pembentukan klorofil Reaksi lengkap sintesis klorofil a dan b (Malkin dan Niyogi 2000) Struktur kimia klorofil a dan b (Becker et al. 2000) Lintasan pembentukan antosianin. Enzim yang terlibat adalah PAL (Phenylalanine Ammonia Lyase); CHS (Chalcone synthase); CHI (Chalcone Isomerase); F3H (Flavanone-3-hydroxylase); dan DR (Dihydroflavonol 4-reductase) (Buchanan et al. 2000) Hubungan antara cahaya, fotosintesis, dan enzim (diberi lingkaran) yang berperanan dalam mengkatalisis proses pembentukan pati di kloroplas dan sukrosa di sitosol; ADPG-PPi = adenosine difosfoglukosa pirofosforilase (dirangkum dari Salisbury dan Ross 1992, Dennis dan Blakeley 2000, Hopkins dan Huner 2004) Alur informasi genetik dari satu organel ke organel lain dalam sel tanaman Kerapatan trikoma pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) yang memperoleh intensitas cahaya 100% dan 50% Kerapatan trikoma pada genotipe Pangrango, Ceneng, Godek, dan Slamet dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat Kerapatan stomata pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Kerapatan stomata pada genotipe Pangrango, Ceneng, Godek, dan Slamet dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat. 53 xvi

17 16. Ketebalan daun dan lapisan palisade pada genotipe toleran Pangrango dan Ceneng serta genotipe peka Godek dan Slamet dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Ketebalan daun (a) dan panjang lapisan palisade (b) pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat Hubungan antara kandungan klorofil a (a) dan kandungan klorofil b (b) dengan intensitas kehijauan daun relatif Aktivitas rubisco pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Aktivitas rubisco pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai intensitas cahaya periode singkat Aktivitas SPS pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Aktivitas SPS pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai intensitas cahaya periode singkat Aktivitas MDH pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Aktivitas MDH pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai intensitas cahaya periode singkat Aktivitas AI pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Aktivitas AI pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai intensitas cahaya periode singkat Laju fotosintesis pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% 50% Laju laju transpor elektron pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Respirasi gelap (Rd) dan tititk kompensasi cahaya (LCP) pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Laju fotosintesis (A) dan laju transpor elektron (J) pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam kondisi cahaya L 1 dan L xvii

18 31. Laju fotosintesis (A) dan laju transpor elektron (J) pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam kondisi cahaya L 3 dan L Kandungan sukrosa (a) dan pati (b) pada genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek dalam berbagai kondisi cahaya periode singkat Lintasan hubungan sebab-akibat antara bobot biji/tanaman (Y) dengan luas daun trifoliat (X1), kerapatan trikoma (X2), tebal daun (X3), klorofil a (X4), klorofil b (X5), dan jumlah polong berisi (X6) xviii

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Denah percobaan mekanisme efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya dalam periode yang lama Pengaturan waktu tanam dan pemberian perlakuan pada percobaan periode singkat menggunakan media tanam polybag Denah percobaan pewarisan sifat Prosedur kerja penentuan kandungan klorofil daun Prosedur kerja penentuan kandungan antosianin Prosedur kerja penentuan sukrosa dan pati jaringan tanaman Prosedur kerja penentuan aktivitas enzim AI Prosedur kerja penentuan aktivitas enzim MDH Prosedur kerja penentuan aktivitas enzim rubisco Prosedur Kerja Penentuan Aktivitas Enzim SPS xix

20 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan sumber protein terpenting di Indonesia. Kandungan protein kedelai sangat tinggi, sekitar 35%-40%, persentase tertinggi dari seluruh tumbuhan yang dikenal (Salisbury dan Ross 1992; Adisarwanto 2005). Kedelai juga memiliki kandungan asam amino (metionin, isoleusin, leusine, fenilalanin, treonin, triptofan, valin, dan lisin) yang lebih tinggi dibanding bahan pangan serealia lainnya (Suprapto 2001). Karena itu, keberadaan kedelai diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan gizi masyarakat. Sejalan dengan peran penting kedelai dalam pangan masyarakat serta pertambahan penduduk, Indonesia harus mengimpor kedelai. Sebelum tahun 1975, Indonesia pernah berswasembada kedelai. Setelah itu impor kedelai meningkat sangat pesat, puncaknya terjadi pada tahun 1993 dan 1996, masingmasing sebesar 700 ribu dan 744 ribu ton (Swastika et al. 2002). Dalam periode impor kedelai telah mencapai rata-rata 1.20 juta ton/tahun (BPS 2005). Di sisi lain produksi kedelai pada tahun 1999 mencapai 1.38 juta ton sedangkan pada tahun 2000, 2001, 2002, 2003, 2004 masing-masing hanya mencapai 1.02, 0.83, 0.67, 0.67, dan 0.72 juta ton (BPS 2005). Uraian di atas menunjukkan bahwa kebutuhan kedelai meningkat dari tahun ke tahun, sebaliknya produksi kedelai cenderung menurun. Untuk mengurangi impor tersebut, upaya-upaya ke arah peningkatan produktivitas dan luas tanam kedelai perlu mendapat perhatian. Potensi produksi kedelai di Indonesia mencapai lebih dari 2.0 ton/ha, namun sejauh ini produksi aktual di tingkat petani hanya mencapai rata-rata 1.2 ton/ha (Badan Litbang Deptan 2004). Rendahnya produksi kedelai disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kondisi lingkungan biotik maupun abiotik yang kurang optimal seperti kekeringan, intensitas cahaya rendah, serangan hama pengisap polong dan penyakit karat, serta rendahnya penguasaan dan penerapan teknologi budidaya. Informasi ini mengindikasikan bahwa diperlukan upaya perbaikan produktivitas tanaman untuk kondisi spesifik melalui perakitan varietas toleran. Dalam peningkatan produksi melalui peningkatan luas tanam, terdapat banyak kendala terutama terbatasnya lahan-lahan subur, sehingga pemanfaatan lahan tidur di bawah tegakan tanaman perkebunan atau hutan tanaman industri

21 2 (HTI) menjadi salah satu pilihan. Potensi lahan tidur di bawah tegakan tanaman perkebunan maupun HTI cukup besar. Luas areal perkebunan mencapai juta ha dengan luas areal tanaman baru sekitar 3.23 juta ha sedangkan luas areal HTI mencapai 8.82 juta ha (BPS 2004). Areal tanaman baru dapat ditumpangsarikan dengan kedelai sampai tanaman pokok berumur 2 3 tahun (Sopandie el al 2002). Peningkatan produksi kedelai dengan memanfaatkan lahan tidur di bawah tegakan tanaman perkebunan atau HTI telah menjadi salah satu strategi (Pinem 2000). Dalam Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan disebutkan bahwa lebih dari 2 juta ha lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan HTI telah menjadi salah satu program peningkatan luas areal panen kedelai (Badan Litbang Deptan 2005). Apabila 10% luas areal tersebut atau sekitar 200 ribu ha diasumsikan cocok bagi budidaya kedelai dan hasil kedelai dapat mencapai 80% kondisi optimum (Sopandie el al. 2002) atau sekitar 0.96 ton/ha, maka budidaya kedelai di bawah tegakan dapat menyumbangkan sekitar 192 ribu ton atau sekitar 16% dari rata-rata impor tahun Lahan di bawah tegakan memiliki berbagai faktor pembatas, antara lain intensitas cahaya rendah. Asadi et al. (1997) menyebutkan bahwa TBM berumur 2-3 tahun memberikan naungan sebesar 33-50%. Menurut Adisarwanto et al. (2000) naungan 50% tidak sesuai bagi pertanaman kedelai, sehingga kedelai yang akan dikembangkan sebagai tanaman sela harus toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Menurut Levitt (1980), toleransi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dapat diperoleh melalui mekanisme penghindaran (avoidance) untuk efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran (tolerance) untuk efisiensi penggunaan cahaya. Mekanisme penghindaran berkaitan dengan respon perubahan morfoanatomi daun seperti peningkatan luas daun sehingga daun menjadi tipis (Lee et al. 2000, Awada dan Redmann 2000, Evans dan Poorter 2001, Khumaida 2002), pengurangan trikoma (Levitt 1980, Taiz dan Zeiger 2002), peningkatan klorofil (Bailey et al. 2001, Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a), dan pengurangan pigmen non-fotosintetik (Levitt 1980). Mekanisme toleran berkaitan dengan penurunan titik kompensasi cahaya (Murchie dan Horton 1997, Taiz dan Zeiger 2002) dan respirasi yang efisien (Levitt 1980, Fitter dan Hay 1989, Awada dan Redmann 2000, Taiz dan Zeiger 2002). Sejauh ini, penurunan titik kompensasi

22 3 cahaya untuk fotosintesis dan respirasi yang efisien pada kedelai belum dilaporkan. Dalam studi morfo-anatomi dan fisiologis terkait efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya pada sejumlah genotipe kedelai disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a, Lestari 2005, Tyas 2006, Jurfri 2006). Informasi tersebut menunjukkan bahwa, tersedia peluang yang besar untuk merakit varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Keberhasilan perakitan varietas sangat tergantung pada pengetahuan tentang kendali genetik karakter toleransi intensitas cahaya rendah sehingga pola pewarisan karakter-karakter tersebut perlu dipelajari untuk dimanfaatkan dalam program perbaikan tanaman. Rumusan Masalah Pemanfaatan lahan tidur di bawah tegakan merupakan salah satu pilihan dalam upaya peningkatan luas tanam dan produksi kedelai, namun terdapat beberapa faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan tanaman antara lain intensitas cahaya rendah. Tanaman kedelai yang akan dibudidayakan dalam kondisi demikian harus toleran terhadap intensitas cahaya rendah agar dapat tumbuh dan berkembang serta berproduksi tinggi. Kedelai toleran intensitas cahaya rendah memiliki ciri-ciri : (1) morfo-anatomi yang mendukung efisiensi penangkapan cahaya, dan (2) karakter fisiologis yang dapat mempertahankan laju fotosintesis dan laju respirasi rendah. Informasi respon morfo-anatomi dan fisiologi terhadap intensitas cahaya rendah sangat penting bagi program pemuliaan perbaikan sifat tanaman. Sejauh ini, informasi tentang kendali genetik terhadap karakter toleransi intensitas cahaya rendah pada kedelai masih sangat terbatas, karena itu perlu dilakukan studi pola pewarisan. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk : a) Mengidentifikasi mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui karakter morfologi, anatomi, dan fisiologi, b) Memperoleh informasi tentang pewarisan sifat toleransi terhadap intensitas cahaya rendah melalui efisiensi penangkapan cahaya.

23 4 Kerangka Pemikiran Intensitas cahaya di bawah tegakan tanaman perkebunan atau HTI lebih rendah dari areal terbuka karena terjadi penutupan oleh kanopi tanaman utama. Pada perkebunan karet umur 2, 3, dan 4 tahun, intensitas cahaya di bawah tegakan berturut-turut setara dengan naungan paranet 25%, 50%, dan 75% (Chozin et al. 1999). Pada perkebunan kelapa umur lima tahun, intensitas cahaya di bawah tegakan hanya sekitar 50% (Magat 1989). Intensitas cahaya 50% tidak sesuai lagi bagi pertanaman kedelai (Adisarwanto et al. 2000) sehingga diperlukan upaya untuk memperoleh varietas kedelai yang adaptif. Hasil penelitian menggunakan naungan ringan (33%) dimana kedelai ditumpangsarikan dengan jagung telah dilepas varietas Pangrango sebagai kedelai yang adaptif (Asadi dan Arsyad 1995) sedangkan upaya pemuliaan kedelai untuk pola tumpangsari dengan kondisi naungan yang lebih berat (± 50%) masih sangat terbatas. Upaya pemuliaan kedelai toleran naungan berat dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) identifikasi mekanisme efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya pada kedelai yang mendapat naungan berat, (2) mempelajari pola pewarisan karakter toleransi terhadap naungan berat, (3) menyeleksi galur-galur toleran terhadap naungan berat, dan (4) uji daya hasil dalam kondisi naungan berat pada waktu yang berbeda. Identifikasi mekanisme toleransi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2002, Handayani 2003, Sopandie et al. 2003a, Lestari 2005, Tyas 2006, Jurfri 2006), namun informasi aspek fotosintesis dan respirasi yang efisien masih terbatas. Penelitian awal untuk mempelajari pola pewarisan karakter toleransi terhadap naungan berat juga telah dilakukan (Sopandie et al. 2002, Handayani 2003, Trikoesoemaningtyas et al. 2003). Dalam studi tersebut diketahui bahwa beberapa sifat morfologi daun kedelai dikendalikan oleh gen-gen major, demikian pula klorofil. Dalam keadaan ternaungi, tetua betina berpengaruh nyata terhadap pewarisan tinggi tanaman, luas daun, jumlah polong, dan jumlah biji per polong (Trikoesoemaningtyas et al. 2003), kecuali kandungan klorofil a, klorofil b, dan karoten (Handayani 2003). Uraian di atas menunjukkan bahwa, informasi yang lebih lengkap tentang kendali genetik sifat toleransi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah belum diketahui.

24 5 Hipotesis a) Adaptasi morfo-anatomi pada kedelai genotipe toleran intensitas cahaya rendah lebih baik sehingga lebih efisien menangkap cahaya. b) Penggunaan cahaya pada genotipe toleran yang lebih efisien diperoleh dengan meningkatkan kandungan klorofil, mengurangi kandungan antosianin, mempertahankan aktivitas fotosintesis, serta respirasi yang lebih rendah. c) Kandungan klorofil dan kerapatan trikoma diwariskan dengan heritabilitas yang tinggi. d) Aksi gen-gen yang mengendalikan ekspresi kerapatan trikoma dan kandungan klorofil bersifat aditif. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dirumuskan ke dalam tiga aspek : (1) mekanisme efisiensi penangkapan cahaya, (2) mekanisme efisiensi penggunaan cahaya, dan (3) pola pewarisan sifat toleransi terhadap intensitas cahaya rendah. Ketiga aspek tersebut dikelompokkan menjadi empat subjudul penelitian : (1) mekanisme efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah, (2) aktivitas enzim-enzim fotosintetik dan respirasi pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah, (3) respon fotosintesis dan respirasi pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah, dan (4) pewarisan sifat efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai. Perubahan morfologi, anatomi, dan kandungan pigmen yang merupakan adaptasi tanaman untuk efisiensi penangkapan cahaya dipelajari dalam subjudul penelitian pertama. Efisiensi penggunaan cahaya tersebut dipelajari berdasarkan aktivitas enzim fotosintesis dan respirasi (subjudul penelitian kedua) dan respon fotosintesis dan respirasi (subjudul penelitian kedua). Karakter atau peubah terkait penangkapan cahaya yang berkorelasi dan memberikan kontribusi besar terhadap hasil dipelajari kendali genetiknya dalam subjudul penelitian keempat. Dalam pelaksanaan penelitian, masing-masing subjudul dilakukan dalam dua kajian. Subjudul penelitian 1, 2, dan 3, kajian dilakukan terhadap empat tetua kedelai dengan perlakuan intensitas cahaya dalam periode waktu yang lama (longterm exposure) dan perlakuan intensitas cahaya dalam periode waktu singkat (shor-term exposure). Subjudul keempat dilakukan pada intensitas cahaya rendah

25 6 (50%) menggunakan tetua dan populasi dialel. Garis besar seluruh kegiatan penelitian disajikan dalam Gambar 1. Intensitas Cahaya 100% (Long-term exposure) Penangkapan dan Penggunaan Cahaya secara Efisien 1 Mekanisme Efisiensi Penangkapan cahaya KEDELAI (TETUA) Intensitas Cahaya 50% (Short-term exposure) Responsivitas Perubahan Karakter 2 3 Aktivitas Enzim Fotosintesis dan Respirasi Respon Fotosintesis dan Respirasi Analisis Korelasi dan Sidik Lintas serta Analisis Ragam POPULASI DIALEL Aksi Gen, Heritabilitas, Karakter Seleksi 4 Pewarisan Sifat Toleransi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah Gambar 1. Alur Kegiatan Penelitian

26 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Daun Kedelai Daun mempunyai dua permukaan, permukaan yang menghadap ke atas (adaksial) dan permukaan yang menghadap ke bawah (abaksial). Susunan anatomi daun tanaman C3 disajikan pada Gambar 2. Epidermis daun berbagai tumbuhan berbeda-beda dalam jumlah lapisan jaringan, bentuk, struktur, susunan stomata, dan ada-tidaknya trikoma (Fahn 1995). Gambar 2 Struktur anatomi daun tanaman C3 (Beecker et al. 2000) Stomata terdapat pada lapisan epidermis, merupakan pintu gerbang pertukaran gas antara jaringan tumbuhan dengan lingkungan luar sekitarnya (Bohlar-Nordenkampf dan Draxler 1993), terdapat pada epidermis adaksial maupun abaksial tetapi umumnya banyak terdapat pada bagian epidermis abaksial daun. Daun yang memiliki stomata pada kedua epidermis disebut amphistomatous; yang hanya terdapat pada epidermis abaksial disebut hypostomatous; dan yang hanya terdapat pada epidermis adaksial disebut epistomatous (Fahn 1995, Bohlar-Nordenkampf dan Draxler 1993). Daun kedelai memiliki amphistomatous, tetapi paling banyak ditemukan pada epidermis abaksial. Pada kedelai varietas Ottawa-Mandarin perbandingan stomata antara epidermis adaksial dengan abaksial sekitar 1:3 (1.700/cm 2 : 5.000/cm 2 ). Lersten dan Carlson (1987) melaporkan bahwa dari 43 genotipe tanaman kedelai yang diteliti terdapat variasi jumlah stomata antar genotipe dengan rata-rata jumlah stomata pada epidermis adaksial 130/mm 2 dan pada permukaan epidermis abaksial 316/mm 2. Jones (1996) juga melaporkan bahwa kisaran jumlah stomata tanaman kedelai dari 43 kultivar yang diteliti adalah /mm 2 pada epidermis adaksial dan /mm 2 pada epidermis abaksial.

27 8 Percobaan dengan intensitas cahaya yang berbeda pada daun Iris sp. memperlihatkan bahwa jumlah stomata berkurang dengan menurunnya intensitas cahaya (Fahn 1995). Allard et al. (1991) dalam penelitiannya menggunakan tall fescue menemukan bahwa perlakuan radiasi rendah menyebabkan penurunan kerapatan stomata pada kedua permukaan daun dan pengaruh paling kuat adalah terhadap kerapatan stomata pada epidermis abaksial. Selain stomata, pada lapisan epidermis daun kedelai juga ditemukan bulu daun atau trikoma. Trikoma memiliki peranan ekologis yang cukup penting antara lain : mengurangi evaporasi dengan cara melindungi stomata dari suhu yang terlalu tinggi, menurunkan suhu daun dengan cara merefleksikan radiasi surya, serta meningkatkan ketebalan daun dan menurunkan transpirasi (Velasco et al. 2001). Bentuk, ukuran, struktur dan tempat trikoma, dan komposisi eksudat yang dihasilkannya sangat beragam di antara spesis dan karena itu digunakan dalam taxonomi untuk membedakan spesies atau hibrida yang hubungan kekerabatannya sangat dekat (Valkama et al. 2003). Pada kedelai cultivar Clark, kepadatan trikoma telah menjadi penciri untuk membedakan galur-galur isogenik dan Clark tetraploid (Rosaria et al. 2004). Lapisan kedua setelah sel-sel epidermis adalah sel-sel palisade, terdiri dari satu atau dua baris, panjang sel-sel dalam barisan yang berbeda dapat sama, semakin ke tengah ukuran sel-sel menjadi lebih pendek. Jaringan palisade biasanya terdapat di bawah lapisan epidermis adaksial daun. Genotipe kedelai yang ditumbuhkan pada kondisi cahaya penuh memiliki palisade lebih dari satu lapisan sehingga daun menjadi lebih tebal sedangkan genotipe yang ditumbuhkan pada kondisi cahaya 50% hanya memiliki satu lapisan palisade sehingga daun menjadi lebih tipis (Khumaida 2002). Lapisan ketiga adalah mesofil palisade, terdiri dari sel-sel berbentuk tiang yang mengandung kloroplas. Mesofil daun kedelai terdiri dari 5 6 lapisan interior (Lersten dan Calson 1987). Pada daun yang ternaungi, terjadi pengurangan jumlah selsel mesofil sehingga helaian daun menjadi lebih tipis (Allard at al. 1991). Kloroplas terdapat dalam sitoplasma dan mengandung DNA, RNA, ribosom, serta enzim. Kloroplas pada tumbuhan tingkat tinggi selalu mengandung dua jenis klorofil, klorofil a (C 55 H 72 O 5 N 4 Mg) dan klorofil b (C 55 H 70 O 6 N 4 Mg), keduanya dibedakan oleh adanya gugus methyl (CH 3 ) pada klorofil a dan gugus aldehid (CHO) pada klorofil b (Malkin dan Niyogi 2000). Klorofil merupakan pigmen fotosintetik, tersusun dalam membran tilakoid kloroplas dalam suatu rangkaian fungsional yang dikenal dengan fotosistem. Fotosistem

28 9 mengandung molekul klorofil dan 40 molekul karotenoid. Pigmen fotosintetik menyerap cahaya pada panjang gelombang nm dan biasa disebut pigmen pemanen cahaya atau antena (Taiz dan Zeiger 2002) (Gambar 3). Kandungan klorofil berkorelasi dengan laju fotosintesis total sehingga evaluasi potensi hasil dapat dilakukan melalui analisis kandungan klorofil (Lersten dan Carlson 1987). Gambar 3 Serapan pigmen pemanen cahaya (klorofil a dan klorofil b) pada panjang gelombang nm (Beecker et al. 2000) Fotosintesis Proses fotosintesis memegang peranan kunci dalam siklus hidup tanaman. Proses ini terdiri dari tiga bagian yang terpisah :(i) reaksi terang, dimana energi radiasi diabsorbsi dan digunakan untuk menghasilkan senyawa berenergi tinggi ATP dan NADPH, (ii) reaksi gelap, meliputi reduksi biokimia CO 2 menjadi gula menggunakan senyawa berenergi tinggi yang dihasilkan pada reaksi terang, dan (iii) suplai CO 2 dari udara ke tempat reduksi di kloroplas (Malkin dan Niyogi 2000). Secara umum, fotosintesis dipengaruhi oleh umur daun, genotipe tanaman, besarnya kebutuhan hasil asimilat oleh sink, dan pengaruh lingkungan seperti kesuburan tanah, kandungan CO 2 di atmosfir, kelembaban, suhu, dan cahaya. Dalam kondisi tanpa cekaman, intensitas cahaya merupakan faktor lingkungan terpenting yang menyebabkan perbedaan laju fotosintesis (Sinclair dan Torrie 1989).

29 10 Efisiensi konversi energi dalam tanaman yang didefinisikan sebagai kandungan energi dalam bobot kering tanaman dibagi dengan total energi surya yang tersedia sangat rendah (Frageria 1991). Pada intensitas cahaya rendah, tanaman yang dapat berfotosintesis secara efisien akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan akan sukses dalam berkompetisi, seperti yang terjadi pada vegetasi yang rapat atau pada habitat yang ternaungi (Lawlor 1987). Penangkapan Cahaya oleh Kanopi Tanaman Cahaya tampak (visible light) sebagai sumber energi yang digunakan tumbuhan untuk fotosintesis merupakan bagian spektrum energi radiasi. Energi radiasi memiliki karakteristik yang khas, yang dapat dijelaskan dengan dua macam teori; teori gelombang elektromagnet dan teori kuantum (Malkin dan Niyogi 2000). Teori gelombang elektromagnet menyatakan bahwa cahaya merambat melalui ruangan sebagai suatu gelombang, jumlah gelombang yang merambat melewati titik tertentu dalam interval tertentu dinyatakan sebagai frekuensi. Teori kuantum menyatakan bahwa cahaya merambat dalam bentuk aliran partikel yang disebut foton; energi yang terkandung dalam satu foton disebut satu kuantum dan berbanding lurus dengan frekuensi tetapi berbanding terbalik dengan panjang gelombang. Jadi cahaya memiliki sifat gelombang dan sifat partikel (Salisbury dan Ross 1992). Reaksi cahaya dalam fotosintesis merupakan akibat langsung penyerapan foton oleh molekul-molekul pigmen pemanen cahaya. Tingkat energi yang cocok untuk mengaktifkan pigmen pemanen cahaya berada pada kisaran nm. Foton di atas 760 nm tidak memiliki cukup energi untuk aktivitas fotosintesis, sedangkan foton di bawah 390 nm memiliki energi yang terlalu banyak sehingga dapat merusak pigmen. Aktivitas pigmen pemanen cahaya merupakan akibat langsung interaksi antara foton dan pigmen sehingga pengukuran cahaya yang digunakan dalam fotosintesis seringkali berdasarkan densitas aliran foton, bukan berdasarkan energi. Salisbury dan Ross (1992) menjelaskan bahwa fotosintesis dan reaksi fotokimia tidak bergantung pada energi total cahaya tetapi tergantung pada jumlah foton atau kuanta yang diserap. Densitas aliran foton adalah jumlah foton yang menerpa suatu luas permukaan tertentu per satuan waktu. Panjang gelombang yang paling efisien untuk fotosintesis adalah antara 400 dan 700 nm, karena itu pengukuran cahaya untuk fotosintesis biasanya didasarkan pada densitas aliran foton dalam panjang gelombang tersebut. Pengukuran ini disebut radiasi aktif fotosintesis atau photosynthetically active radiation (PAR), atau

30 11 densitas aliran foton fotosintesis atau photosynthetic photon flux density (PPFD) dengan satuan µmol.m -2.det -1. Untuk memahami bagaimana cahaya mempengaruhi fotosintesis secara kuantitatif, harus ditelaah berapa banyak energi cahaya yang disediakan oleh matahari. Pada puncak atmosfer, pada jarak bumi-matahari rata-rata, total radiasi matahari (termasuk cahaya infra merah dan ultraviolet) adalah sebesar 1360 J.m -2.det -1, nilai ini disebut konstanta matahari. Pada saat cahaya matahari menuju permukaan bumi, banyak energi yang hilang karena diserap atau dipantulkan oleh uap air, debu, dan gas-gas lainnya yang terkandung dalam atmosfer. Hanya sekitar 900 J.m -2.det -1 yang diterima oleh permukaan bumi; terdiri dari 50% cahaya infra merah, 5% cahaya ultraviolet, dan sisanya adalah cahaya dengan panjang gelombang nm (PAR) dengan kandungan energi sebanyak kira-kira 400 J.m -2.det -1. Sekitar 80% dari PAR tersebut akan diserap oleh daun sedangkan sisanya (20%, yakni cahaya hijau) diteruskan atau dipantulkan. Dari jumlah yang diserap daun, lebih dari 95% hilang dalam bentuk panas dan hanya kurang dari 5% yang berhasil dimanfaatkan untuk fotosintesis (Salisbury dan Ross 1992). Cahaya yang tiba pada permukaan sehelai daun terdiri dari empat komponen : (1) cahaya langsung, (2) cahaya difus, (3) cahaya refleksi, dan (4) cahaya transmisi (Valladares 2003). Daun-daun pada lapisan kanopi atas (yang tidak ternaungi) lebih banyak memperoleh cahaya langsung dan cahaya difusi untuk proses fotosintesisnya, sedangkan daun-daun sebelah bawah atau bagian dalam kanopi memperoleh cahaya fotosintesis dalam bentuk cahaya difusi, cahaya yang direfleksikan dan ditransmisikan oleh daun lain, serta yang direfleksikan oleh permukaan lain seperti dari tanah. Penyebaran daun dalam ruang tajuk yang sedemikian rupa mengakibatkan kuanta cahaya yang diterima setiap helai daun tidak sama. Apabila ruang tajuk dibagi ke dalam lapisan-lapisan penampang melintang; kuanta cahaya yang jatuh pada permukaan penampang semakin sedikit dengan semakin rendahnya kedudukan penampang dalam bidang vertikal. Hal ini merupakan akibat pemadaman cahaya oleh lapisan tajuk atas sehingga laju fotosintesis daun-daun di lapisan tajuk bawah semakin rendah. Lapisan daun pada bagian atas tajuk dapat menahan sebagian besar cahaya yang datang dan mendapatkan kuanta cahaya melebihi tingkat kejenuhan cahaya sedangkan lapisan daun bawah menerima cahaya jauh di bawah tingkat kejenuhan cahaya, bahkan dapat berada pada titik kompensasi. Daun yang berada di bawah kondisi ini akan bersifat parasit karena karbohidrat yang dihasilkan lebih kecil dari yang dikonsumsi untuk pemeliharaannya.

31 12 Sumbangan keempat komponen cahaya di atas terhadap proses fotosintesis pada suatu tanaman tergantung jumlah ketebalan dan tipe daun dalam kanopi. Ketebalan kanopi dapat dinilai dari indeks luas daun (LAI) yang menunjukkan luas permukaan daun yang menutupi satu satuan luas tanah. Hubungan antara kecepatan pengurangan cahaya yang melewati suatu kanopi dengan LAI dapat disederhanakan dengan rumus : I L = Io.e -klai ;.....(1) dimana Io dan I L masing-masing adalah cahaya yang mengalir di atas kanopi pada titik yang bersesuaian dengan LAI lapisan-lapisan daun dan k adalah koefisien peredaman (Atwell et al. 1999). Sitompul dan Guritno (1995) juga menyebutkan bahwa pendekatan sederhana untuk menghitung kuanta cahaya yang diintersepsi adalah menghitung selisih antara kuanta cahaya datang dengan cahaya yang direfleksikan dan yang ditransmisikan. June (2003) menjelaskan bahwa fotosintesis bersih kanopi yang merupakan integrasi dari laju fotosintesis dan respirasi seluruh daun yang ada di dalam kanopi dipengaruhi oleh kapasitas fotosintesis di tingkat daun, intersepsi cahaya oleh kanopi, status nitrogen kanopi, dan faktor fisik lingkungan lainnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa laju fotosintesis di dalam daun dapat dijelaskan oleh persamaan mekanistik dengan asumsi bahwa laju fotosintesis dikendalikan oleh jumlah enzim Rubisco yang aktif, laju regenerasi RuBP (yang ditentukan oleh transpor elektron dari cahaya yang ditangkap oleh daun), serta tekanan parsial CO 2 (c i ) dan O 2 di lokasi dimana CO 2 difiksasi. Pada kondisi lingkungan tertentu, laju fotosintesis A (µmol.m -2.s -1 ) dapat dinyatakan sebagai laju yang dikendalikan oleh Rubisco A v atau dikendalikan oleh laju transpor elektron A j (untuk regenerasi RuBP) yang mempunyai nilai terkecil pada c i tertentu. Pernyataan tersebut dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan-persamaan sebagai berikut (June 2003) : A i = A v = V * J ci Γ 4 ci + 2Γ c max * R..(2) * ci Γ R...(3) O Kc + c 1 + i K 0 A = min (A j, A v )...(4) c i = tekanan parsial CO 2 di dalam daun (µbar);? * = titik kompensasi CO 2 (P a ); R = respirasi daun (µmol.m -2.s -1 ); O = tekanan parsial O 2 (21%); K c dan K o = konstanta

32 13 Michaelis-Menten untuk carboxylation dan oxygenation oleh Rubisco (P a ); V c max = laju maksimum aktivitas Rubisco di dalam daun; dan J = laju transpor elektron (µmol.m -2.s -1 ). Selanjutnya, hubungan antara fotosintesis daun (A, µmol.m -2.s -1 ) dengan cahaya yang diterima tanaman (I, µmol.m -2.s -1 ) dapat dirumuskan sebagai berikut : Ia A = 2 + A max 2 ( Ia2 + Amax ) 4ΘIa2 Amax 2Θ R....(5) A max = laju fotosintesis pada kondisi jenuh cahaya (µmol.m -2.s -1 ), T = pembengkokan kurva respon A terhadap I (curvature factor) yang nilainya bervariasi dari 0 (rectangular hyperbola) sampai 1 (two straight lines quasi Blackman), a 2 = quantum yield dari fotosintesis pada cahaya rendah (efisiensi fotosintesis). Pada level cahaya rendah, A a 2 I sehingga a 2 dapat diduga dari slope kurva hubungan A dan I (Thornley & Johnson 1990 dalam June 2003). Dari persamaan 2, A dapat diubah menjadi J sehingga hubungan antara laju transpor elektron dengan cahaya yang diterima (I, µmol.m -2.s -1 ), dapat dirumuskan sebagai berikut (June 2003) : J = ( Ia + J ) 2 Ia2 + J max 2 max 4ΘIa2J max (6) 2Θ J max = laju transpor elektron maksimum (pada kondisi jenuh cahaya) pada daun (µmol.m - 2.s -1 ), dan J = laju transpor elektron aktual. Hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa T tidak dipengaruhi oleh suhu, tetapi nilainya lebih dipengaruhi oleh distribusi cahaya dalam daun (June 2002 dalam June 2005a). Efisiensi penggunaan cahaya (e), disebut juga efisiensi kanopi didefenisikan sebagai jumlah mol CO 2 yang diasimilasikan (A c ) per satuan mol cahaya yang diserap (I c ); jadi e = A c /I c....(7) Nilai e menunjukkan seberapa efisien kanopi menggunakan PAR untuk asimilasi CO 2 (June 2003). Mekanisme Penangkapan dan Penggunaan Cahaya Kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah pada umumnya tergantung pada kemampuannya melanjutkan fotosintesis dalam kondisi intensitas cahaya rendah tersebut. Kemampuan tersebut pada dasarnya dapat melalui dua cara, yaitu melalui : (a) peningkatan luas daun sebagai cara meningkatkan luas bidang tangkapan, dan (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang

33 14 direfleksikan (Hale dan Orchut 1987). Sebelumnya, Levitt (1980) telah membuat hipotesis bahwa adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah dicapai melalui mekanisme penghindaran (avoidance) (Gambar 3) dan mekanisme toleransi (tolerance) (Gambar 4). Mekanisme penghindaran. Dalam mekanisme penghindaran, tersedia dua cara yaitu : (i) meningkatkan total intersepsi cahaya melalui peningkatan luas daun, dan (ii) meningkatkan persentase cahaya yang digunakan dalam fotosintesis melalui penurunan jumlah cahaya yang direfleksikan dan yang ditransmisikan (Levitt 1980, Lawlor 1987). Penghindaran intensitas cahaya rendah dilakukan dengan cara tidak mengembangkan kutikula, lilin, dan bulu-bulu rambut pada permukaan daun serta meniadakan pigmen antosianin (Levitt 1980). Beberapa mekanisme penghindaran intensitas cahaya rendah yang dihipotesiskan Levitt (1980) telah terbukti pada kedelai, seperti : (1) meningkatnya luas daun (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan 2003b), dan (2) meningkanya pigmen fotosintesis (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan 2003b, Handayani 2003). Meskipun demikian terdapat beberapa mekanisme penghindaran intensitas cahaya rendah yang belum diteliti terutama yang terkait dengan penurunan jumlah cahaya yang direfleksikan (Gambar 3 kotak 5) dan pemborosan penangkapan cahaya (Gambar 3 kotak 7) serta perubahan efisiensi fotosintesis. Pada daun kedelai terdapat bulu-bulu rambut (trikoma) yang kepadatannya tergantung genotipe (Rosario et al. 2004). Trikoma memiliki peranan penting antara lain menurunkan suhu daun dengan cara merefleksikan kelebihan cahaya (Velasco et al. 2001). Gardner et al. (1991) juga menyebutkan bahwa daun kedelai cenderung menggulung daunnya ke atas sehingga trikoma pada permukaan bawah daun dapat merefleksikan kelebihan cahaya. Berdasarkan informasi tersebut, dapat dihipotesiskan bahwa kedelai tertentu akan memiliki mekanisme pengindaran intensitas cahaya rendah dengan cara mengurangi atau menghilangkan trikomanya (Gambar 3 kotak 8). Hilangnya pigmen non kloroplas seperti antosianin juga belum diteliti. Diketahui bahwa pigmen yang berperanan untuk memanen cahaya untuk proses fotosintesis adalah pigmen-pigmen yang terdapat dalam kloroplas seperti klorofil a, b, dan karotenoid (Salisbury dan Ross 1992, Taiz dan Zeiger 2002). Pigmen lain yang tidak terdapat dalam kloroplas seperti antosianin juga menyerap cahaya tetapi tidak terkait atau tidak digunakan dalam proses fotosintesis. Tanaman menghasilkan antosianin terutama dalam kaitan dengan penciptaan sistem perlindungan diri terhadap kerusakan oleh radiasi UV dan serangan cendawan (Lo dan Nicholson 1998). Harran (2003) juga menyebutkan

34 15 bahwa antosianin merupakan kelompok senyawa flavonoid yang terletak dalam sel-sel epidermis dan berperanan sebagai pelindung sel-sel di bawahnya terhadap kerusakan oleh sinar UV. Informasi tersebut menunjukkan bahwa adanya antosianin dalam kondisi intensitas cahaya rendah akan merugikan tanaman, sehingga dapat diperkirakan kedelai yang adaptif terhadap intensitas cahaya rendah akan mengurangi antosianin (Gambar 4 kotak 9). Meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya (1) Meningkatkan area penangkapan cahaya (2) Meningkatkan penangkapan cahaya per unit area fotosintestik (3) Meningkatkan proporsi Fotosintetik area (4) Menghindari cahaya yang direfleksikan (5) Menghindari cahaya yang ditransmisikan (6) Menghindari pemborosan cahaya yang diabsorbsi (7) Hilangnya kutikula, lilin, dan rambut pada permukaan daun (8) Hilangnya pigmen non kloroplas (misalanya antosianin) (9) Meningkatnya kandungan kloroplas (10) Meningkatnya kandungan pigmen per kloroplas (11) Meningkatnya kandungan kloroplas per sel mesofil (12) Meningkatnya kandungan kloroplas dalam sel epidermis (13) Gambar 4 Adaptasi tanaman naungan yang berperanan penting dalam avoidance terhadap defisit cahaya (Levitt 1980) (Levitt, 1980) Mekanisme toleran. Toleransi terhadap intensitas cahaya rendah dilakukan dengan menurunkan titik kompensasi cahaya dan respirasi (Gambar 5). Pada titik kompensasi cahaya (LCP) yaitu cahaya pada permukaan daun yang menginduksi kecepatan asimilasi CO 2 aktual sama dengan kecepatan evolusi O 2 respirasi, dalam

35 16 kondisi demikian asimilasi CO 2 bersih sama dengan nol (zero). Tanaman naungan ditandai oleh rendahnya titik kompensasi cahaya sehingga dapat mengakumulasi produk fotosintetik pada tingkat cahaya yang rendah dibandingkan tanaman cahaya penuh. Disamping itu tanaman naungan juga memperlihatkan kejenuhan cahaya pada level cahaya rendah. Toleransi defisit cahaya (1) Menurunkan kecepatan respirasi di bawah LCP (3) Menurunkan LCP (2) Menurunkan kecepatan respirasi mendekati LCP (5) Menghindari kerusakan sistem fotosintetik (4) Menghindari penurunan aktivitas enzim (6) Menghindari kerusakan pigmen (7) Menurunkan substrat respirasi (8) Menurunkan sistem respiratory (mitokondria dan enzim) (9) Gambar 5 Adaptasi tanaman naungan yang berperanan penting terhadap toleransi defisit cahaya; LCP = light compensation point (Levitt 1980) Titik kompensasi cahaya pada tanaman gandum yang adaptif terhadap intensitas cahaya rendah adalah sekitar 10 W/m 2 sedangkan yang peka sekitar 18 W/m 2. Penurunan cahaya dari 90 ke 45 W/m 2 menurunkan titik kompensasi cahaya dari 11.1 menjadi 1.9 W/m 2. Adaptasi ini membutuhkan waktu sekitar 8 hari (Levitt 1980). Titik kompensasi cahaya pada daun gandum dewasa juga meningkat selama siang hari; berkorelasi dengan kecepatan respirasi. Hubungan ini mengisyaratkan bahwa respirasi merupakan komponen utama titik kompensasi cahaya (Azcon-bieto dan Osmond, 1983). Namun demikian, informasi yang spesifik tentang fisiologi daya adaptasi tanaman yang toleran dan peka terhadap intensitas cahaya rendah masih sangat sedikit. Pada kedelai, mekanisme toleransi intensitas cahaya rendah yang telah dipelajari baru sebatas menghindari penurunan aktivitas enzim fotosintesis (Gambar 4 kotak 6)

36 17 (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan 2003b). Masih banyak kotak-kotak hipotesis yang belum dipelajari. Dalam penelitian ini, selain ingin memperkuat hasil-hasil penelitian terdahulu seperti aktivitas enzim rubisco (kotak 6), juga akan dilengkapi dengan pengamatan aktivitas enzim SPS (kotak 6), laju respirasi dan aktivitas enzim respirasi MDH dan AI (kotak 3), serta kandungan sukrosa dan pati (kotak 8). Fotosintesis pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Aklimasi fotosintetik pada kondisi cahaya rendah memiliki karakteristik tertentu. Daun yang dikembangkan pada kondisi cahaya rendah menunjukkan peningkatan jumlah klorofil (Evans 1987) dan rendahnya akumulasi karbohidrat (Makino et al. 1997). Tanaman yang memperoleh naungan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas 4 hingga 5 kali lebih banyak dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih rendah daripada tanaman cahaya penuh sebab memiliki kompleks pemanen cahaya yang meningkat (Lawlor 1987). Daun yang ternaungi memperlihatkan perkembangan grana yang lebih intensif tetapi kapasitas transpor elektron cenderung berkurang. Sebagai contoh, transpor elektron melalui ke dua fotosistem 14 kali lebih tinggi pada kloroplas yang diekstrak dari daun cahaya penuh dibandingkan tanaman naungan. Sitokrom f dan b yang merupakan bagian transpor elektron juga berkurang pada tanaman ternaungi (Jones 1992). Tanaman yang memperoleh cahaya penuh yang terdiri dari berbagai tanaman di daerah tropis, mencapai kecepatan fotosintesis maksimum lebih besar dari 30 µmol CO 2.m -2.det -1 dan kecepatan respirasi gelap 2 µmol CO 2.m -2.det -1. Tanaman naungan mempunyai kecepatan fotosintesis lebih kecil dari 10 µmol CO 2.m -2.det -1 pada intensitas cahaya sekitar 1/10 dari spesies cahaya penuh dan mungkin mengalami kerusakan oleh intensitas cahaya di atas ½ dari cahaya penuh (Lawlor 1987). Hubungan antara kecepatan fotosintesis dan konduktans stomata memperlihatkan bahwa kecepatan fotosintesis pada 20 o C lebih tinggi 20-25% pada tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah dibandingkan tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya tinggi. Konduktans stomata yang diukur pada 25 o C dan 20 o C lebih rendah pada tanaman yang ditumbuhkan dalam intensitas cahaya rendah (Ohashi et al. 1998). Tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah dapat memacu kapasitas regenerasi RuBP sehingga pada level CO 2 yang normal laju fotosintesis relatif tinggi (Ohashi et al. 1998). Stimulasi kapasitas regenerasi RuBP oleh suhu dan

37 18 intensitas cahaya rendah mungkin disebabkan oleh modifikasi atau perubahan enzim atau komponen yang berhubungan dengan regenerasi RuBP dan perubahan dalam level metabolit fotosintetik. Pada spesies tanaman yang beradaptasi terhadap naungan atau daun yang tumbuh dalam naungan, fotosintesis neto mencapai kejenuhan pada PAR kurang dari 100 µmol.m -2.det -1 atau mendekati 5% cahaya penuh. Titik kompensasi cahaya juga bervariasi dari µmol.m -2.det -1 pada spesies yang ternaungi seperti Allocasia macrorhiza hingga lebih dari 40 µmol.m -2.det -1 pada tanaman yang beradaptasi pada cahaya penuh (Jones 1996). Salisbury dan Ross (1992) menyimpulkan bahwa spesies toleran naungan memiliki ciri khas : (1) mempunyai laju fotosintesis yang jauh lebih rendah pada cahaya penuh, (2) laju fotosintesis mencapai jenuh pada tingkat radiasi yang jauh lebih rendah, (3) pada tingkat cahaya yang sangat rendah mampu berfotosintesis dengan laju yang lebih tinggi, dan (4) memiliki titik kompensasi cahaya sangat rendah. Pembentukan Klorofil Prekursor dalam pembentukan klorofil adalah senyawa organik yang merupakan senyawa intermediet. Prekursor tersebut adalah glutamat yang mengalami deaminasi menghasilkan a-ketoglutarat, kemudian direduksi menjadi?,d-dioxovalerate dan mengalami transaminasi menjadi d-amino-laevulinic; sintesis ini memerlukan ATP dan NADPH (Malkin dan Niyogi 2000). Pelepasan air dari 2 molekul asam amino- laevulinic menghasilkan prophobilinogen yang mengandung struktur cincin pyrrole. Reaksi selanjutnya adalah pelepasan NH 3 dan CO 2 yang kemudian membentuk protoporphyrinogen. Penambahan Mg 2+ dan adenosylmethionine pada protoporphyrin menghasilkan Mg-protoporphyrin monomethylester. Mg pada klorofil berfungsi sebagai pengatur absorbsi spektrum. Mg-protoporphyrin monomethylester mengalami dehidrasi dan reduksi menghasilkan protochlorophylide. Penambahan proton H + akan menghasilkan chlorophylide a. Cahaya yang diabsorbsi oleh protochlorophylide akan mereduksi chlorophylide a menjadi klorofil a. Jadi, pembentukan klorofil a sangat dipengaruhi cahaya (Lawlor 1987). Klorofil b merupakan bentuk spesial dari klorofil a yang dalam reaksinya membutuhkan O 2 dan NADPH 2. Klorofil menyusun sekitar 4% bobot kering kloroplas, dan klorofil b berjumlah 1/3 dari klorofil a (Hall dan Rao 1999). Berdasarkan sejumlah penelitian dapat disimpulkan bahwa paling kurang terdapat tiga lintasan reaksi dalam sintesis klorofil yang dikendalikan oleh gen-gen dalam nukleus

38 19 yaitu : (1) lintasan reaksi antara protoporphyrin 9 dan protochlorophyllide (Rissler et al. 2002, Nagata et al. 2005), (2) konversi protochlorophyllide menjadi chlorophyllide (Heyes et al. 2006), dan (3) lintasan sintesis chlorophyll b (Tanaka et al. 1998, Espineda et al. 1999, Malkin dan Niyogi 2000). Kendali gen-gen nukleus terhadap sintesis klorofil tersebut dapat diringkas seperti dalam Gambar 6. Reaksi-reaksi yang terlibat dalam sintesis klorofil secara lengkap disajikan pada Gambar 7 sedangkan struktur kimia klorofil a dan b disajikan pada Gambar 8. Prekursor klorofil Mg-protoporhyrin 9 dan monomethylesternya (Gambar 7) merupakan kandidat untuk molekul plastid-derived dalam memberi isyarat cahaya dari kloroplas ke nukleus; ukuran pool porphyrin yang mengandung Mg dan protoporphyrin 9 meningkat jika kultur Chlamydomonas dipindahkan dari gelap ke cahaya; peningkatan ini bersamaan dengan akumulasi mrna yang dikode oleh gen-gen nukleus HSP70A dan HSP70B (Kropat et al. 2000). Precursor Protoporphyrin 9 Protochlorophyllide Nuclear gen Nuclear gen Chlorophyllide a Chlorophyll a Nuclear gen Chlorophyll b Gambar 6 Kendali inti terhadap pembentukan klorofil Suzuki et al. (1997) telah mengidentifikasi gen-gen pada tanaman, alga, dan bakteri yang mengkode enzim-enzim untuk lintasan biosintesis percabangan Mgtetrapyrrol dalam sintesis klorofil atau bakterioklorofil. Klorofil a dibedakan dari klorofil b oleh adanya gugus methyl (CH 3 ) atau aldehid (CHO) pada Mg-tetrapyrrol (Gambar 7). Klorofil a memiliki gugus methyl pada pyrrol nomor 2, dan bila posisi methyl digantikan oleh gugus aldehid maka akan berubah menjadi klorofil b. Perubahan klorofil a menjadi klorofil b atau sebaliknya dikendalikan oleh gen nukleus CAO.

39 20 Glutamate a-ketiglutrate Succinate + Glycine d-oxovalerate Aminolaevulinic acid Glutamate 1- phosphate Glutamic semialdehyde -2H 2 O porphobilinogen -NH 3 unporphyrinogen Protochlo rophyll -4CO 2 coporphyrinogen Mg 2+ -adenosylmethionine H 2 O Protochlo rophyllide Mg -protoporphyrin monomethylester Protoporphyrinogen Protoporphyrin -6H Cahaya -4H Geranyl-geranyl pyrophosphate -6H Chlorophyll a Chlorophyll b Gambar 7 Reaksi lengkap sintesis klorofil a dan b (Malkin dan Niyogi 2000) Perbedaan utama antara tanaman yang tidak ternaungi dengan tanaman ternaungi terletak pada kloroplasnya. Daun tanaman ternaungi memiliki tumpukan grana yang lebih besar, sekitar 100 tilakoid per granum yang terletak tidak teratur dalam kloroplas. Proporsi lamella pembentuk grana lebih besar dan nisbah tilakoid/stroma lebih tinggi sehingga kandungan klorofil per unit luas daun lebih tinggi serta nisbah kloroplas per unit luas daun lebih rendah (Halle dan Orcutt 1987). Khumaida (2002) menyatakan bahwa kedelai toleran (Pangrango dan B613) yang ditumbuhkan pada naungan 50% memperlihatkan grana yang lebih berkembang dengan tilakoid yang lebih banyak dalam masing-maisng grana, jumlah stroma lebih sedikit dan ukuran kloroplas lebih besar.

40 21 Klorofil merupakan suatu komponen integral kompleks protein pemanen cahaya, klorofil a/b (LHC) dan klorofil a/b-binding protein pada kompleks pusat reaksi PS I dan PS II yang ada pada membran tilakoid. Jadi pengurangan klorofil menunjukkan pemecahan (breakdown) kompleks protein atau degradasi membran tilakoid (Okada et al. 1992). Pemecahan klorofil pada daun padi dapat ditekan secara komplit dengan 1 µm Cyclohexamide. Degradasi dari protein membran tilakoid juga sangat kuat dihambat oleh cyclohexamide pada konsentrasi tersebut. Okada et al. (1992) menjelaskan bahwa selain pengaruh temperatur rendah yang memperlambat penurunan klorofil, kehilangan klorofil pada kondisi ternaungi dihambat oleh adanya Cyclohexamide. Kehilangan klorofil sedikit dirangsang oleh adanya chloramphenicol Gambar 8 Struktur kimia klorofil a dan b (Beecker et al. 2000) Pembentukan Antosianin Selain pigmen fotosintetik seperti klorofil dan karotenoid, tanaman juga memiliki pigmen non fotosintetik yaitu antosianin. Antosianin merupakan produk metabolisme sekunder, termasuk golongan flavonoid dan dikenal sebagai pigmen yang menyebabkan warna merah jambu, ungu dan biru. Menurut Buchanan et al. (2000), antosianin dibentuk dari asam amino phenylalanine melalui lintasan sikimat di sitoplasma dan ditimbun dalam vakuola sel parenkim dewasa (Gambar 9). Antosianin merupakan bentuk glikosida dari berbagai jenis antosianidin yang dibentuk dari dihidroflavonol (Salisbury dan Roos 1992). Phenylalanine ammonia lyase (PAL) merupakan enzim

41 22 kunci dalam metabolisme antosianin. Aktivitas enzim tersebut meningkat bersamaan dengan bertambahnya umur daun (Buchanan et al. 2000), adanya cahaya ultra violet dan cahaya tampak, cekaman hara terutama nitrogen dan fosfor, cekaman kekeringan, serta cekaman suhu rendah (Hoch et al. 2003). Siklus Calvin Metabolisme Primer Shikimat Metabolisme Sekunder Phenylalanine PAL1 PAL2 PAL3 Cinnamate 4-Coumarate 3 malonyl-coa 4-Coumaryl-CoA CHS Naringenin chalcone CHI Naringenin F3H 3-hydroxyflavones DFR Flavan-3,4-diols Anthocyanin Gambar 9 Lintasan pembentukan antosianin. Enzim yang terlibat adalah PAL (Phenylalanine Ammonia Lyase); CHS (Chalcone synthase); CHI (Chalcone Isomerase); F3H (Flavanone-3-hydroxylase); dan DR (Dihydroflavonol 4- reductase) (Buchanan et al. 2000) Berdasarkan sejumlah penelitian diketahui bahwa antosianin mempunyai distribusi yang luas pada daun, dapat ditemukan pada sel epidermis bagian atas atau bawah, atau sel-sel mesofil dan biasanya mempunyai absorbsi pada panjang gelombang nm (UV) dan nm (visible spectrum) (Woodall dan Stewart 1998). Acylasi antosianin dengan asam organik aromatik meningkatkan penyerapan pada daerah UV di panjang gelombang nm. Hal ini memperlihatkan fungsi antosianin untuk mencegah kerusakan asam nukleat, protein, dan apparatus fotosintesis akibat radiasi UV.

42 23 Hopkins dan Huner (2004) juga menjelaskan bahwa antosianin menyerap cahaya antara 475 nm dan 560 nm dan mentransmisikan cahaya biru dan merah. Respirasi Semua sel hidup aktif melakukan respirasi. Secara umum reaksi respirasi dapat dirangkum sebagai : C 6 H 12 O 6 + 6O 2 6CO 2 + 6H 2 O + energi, tetapi biasanya hanya beberapa substrat respirasi yang dioksidasi secara lengkap menjadi CO 2 dan H 2 O, sisanya digunakan dalam proses sintesis, terutama dalam sel yang sedang tumbuh. Energi yang ditangkap dari proses oksidasi sempurna beberapa senyawa digunakan untuk sintesis molekul lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Bila tumbuhan sedang tumbuh aktif, laju respirasi meningkat sebagai akibat permintaan pertumbuhan. Beberapa senyawa yang hilang dialihkan ke dalam reaksi sintesis dan tidak pernah muncul sebagai CO 2. Atom karbon dalam senyawa yang sedang terespirasi dapat diubah menjadi CO 2 atau menjadi molekul besar lainnya [seperti asam amino untuk protein, nukleotida untuk asam nukleat, prazat karbon untuk pigmen porfirin (seperti klorofil dan sitokrom), lemak, sterol, karotenoid, flavonoid (seperti antosianin), dan senyawa aromatik tertentu lainnya (seperti lignin)], tergantung pada sel yang terlibat, lokasinya dalam tumbuhan, dan apakah tumbuhan sedang tumbuh cepat atau tidak. Jadi, total respirasi = pertumbuhan + pemeliharaan. Pertumbuhan tergantung pada tipe biomassa dan pertumbuhan baru sedangkan pemeliharaan tergantung pada faktor lingkungan yang mempengaruhi respirasi dan eksistensi biomassa (Taiz dan Zeiger 2002). Glikolisis. Glikolisis merupakan urutan reaksi yang mengubah glukosa, glukosa- 1-P, atau fruktosa menjadi asam piruvat di sitosol dan merupakan tahap pertama dari tiga fase respirasi yang sangat berkaitan; diikuti oleh siklus Krebs dan pengangkutan elektron yang berlangsung di mitokondria. Sukrosa, pati, dan fruktan merupakan sumber utama substrat untuk glikolisis. Umumnya, jika heksosa melimpah, glikolisis dan tahap lain respirasi berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan bila heksosa sedikit (Salisbury dan Ross 1992). Tumbuhan yang kekurangan pati, fruktan, atau gula melakukan respirasi dengan laju yang rendah (Salisbury dan Ross 1992). Kandungan pati pada daun kedelai yang dinaungi mengalami penurunan (Thorne dan Koller 1974) yang berarti bahwa kecepatan respirasinya juga akan menurun. Pada padi, persentase penurunan pati lebih besar pada genotipe peka dibandingkan toleran naungan (Lautt et al. 2000). Fenomena kekurangan

43 24 substrat ini dapat pula diamati melalui jumlah daun bagian bawah yang mati lebih cepat (Salisbury dan Ross 1992). ATP-fosfofruktokinase (ATP-PFK) dapat bertindak sebagai enzim pertama glikolisis yang mengkatalisis pembentukan fruktosa-1,6-bisfosfat. Heksosa fosfat yang terbentuk dalam reaksi ini tidak dapat digunakan untuk membentuk sukrosa atau pati, sehingga titik ini menjadi titik pengendalian keseluruhan lintasan glikolisis. Aktivitas ATP-PFK dihambat oleh ATP, PEP, dan asam sitrat, tetapi ditingkatkan oleh Pi (Salisbury dan Ross 1992). Dengan demikian, kandungan ATP, asam sitrat, dan Pi dapat dijadikan indikator tinggi-rendahnya respirasi yang berlangsung pada suatu tanaman. Kandungan ATP dan asam sitrat yang tinggi akan menyebabkan kecepatan respirasi berkurang, demikian pula kandungan Pi yang rendah. Pada padi, terdapat kecenderungan peningkatan kandungan ATP akibat naungan, dan peningkatan yang relatif tinggi terjadi pada genotipe toleran naungan (Lautt 2000). Siklus Krebs. Salah satu enzim pengatur pada tahap pertama daur Krebs adalah kinase yang menggunakan ATP untuk memfosforilasi gugus hidroksil dari berbagai gugus residu asam amino treonin pada bagian tertentu dan enzim pyruvat dehydrogenase. Fosforilasi ini segera menon-aktifkan enzim sehingga daur Krebs terhenti. Enzim pengatur kedua adalah fosfatase, menghidrolisis fosfat agar lepas dari treonin dan mengaktifkan kembali enzim tersebut sehingga daur Krebs dapat mengoksidasi lagi pyruvat. Karena itu jika tingkat ATP di mitokondria tinggi dan jika kinase aktif maka daur Krebs terhenti atau lambat sehingga melambatkan semua proses respirasi berikutnya di mitokondria (Salisbury dan Ross 1992). Dengan demikian, kandungan ATP yang tinggi, dapat dijadikan indikator tinggi-rendahnya respirasi dalam tanaman. Hal penting lain adalah bila asam organik pada daur Krebs diambil dengan mengubahnya menjadi, misalnya asam aspartat, asam glutamat, dan sitokrom, maka pembentukan kembali asam oksaloasetat akan dihambat. Karena itu, pengeluaran asam organik dari daur krebs akan segera menyebabkan daur terhenti jika tidak ada mekanisme lain untuk mengganti oksaloasetat. Pada semua tumbuhan, baik siang maupun malam, terdapat penambatan CO 2 (HCO - 3 ) menjadi oksaloasetat oleh PEP karboksilase dan malatdehidrogenase (MDH). Hasil reaksi ini mengganti asam organik yang diubah menjadi molekul lebih besar dan memungkinkan daur Krebs terus belangsung. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diduga bahwa aktivitas enzim MDH dapat dijadikan sebagai penciri laju respirasi. Tanaman yang memiliki aktivitas MDH rendah akan memiliki laju respirasi yang lebih rendah.

44 25 Tanaman memperoleh energi dari oksidasi gula menjadi CO 2 dan H 2 O selain melalui glikolisis dan siklus Krebs, juga melalui lintasan pentosa fosfat. Lintasan pentosa fosfat menghasilkan : (1) NADPH yang kemudian dioksidasi oleh mitokondria untuk menghasilkan ATP, (2) eritrosa-4-fosfat yang sangat penting sebagai prazat dalam pembentukan berbagai senyawa fenol seperti antosianin dan lignin, dan (3) ribulosa-5- fosfat yang merupakan prazat dalam pembentukan unit ribosa dan deoksiribosa di nukleotida, termasuk yang ada di RNA dan DNA (Salisbury dan Ross 1992). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diduga bahwa rendahnya produksi antosianin pada suatu tanaman dapat menjadi indikator terhadap rendahnya aktivitas pemecahan gula melalui lintasan pentosa fosfat. Hal tersebut akan menguntungkan bagi tanaman yang beradaptasi pada kondisi cahaya rendah karena selain memungkinkan penimbunan cadangan makanan yang lebih tinggi, juga dapat menghindari pemborosan penyerapan cahaya oleh antosianin karena intensitas cahaya yang diserapnya tidak dimanfaatkan dalam proses fotosintesis (Levitt 1980). Respirasi pada Intensitas Cahaya Rendah Cahaya mempengaruhi kecepatan respirasi tanaman dan spesies toleran cahaya rendah memiliki kecepatan respirasi yang lebih rendah daripada tanaman cahaya penuh (Levitt 1980). Lebih lanjut disebutkan bahwa salah satu strategi tanaman agar toleran terhadap cahaya rendah adalah mengurangi kecepatan respirasinya untuk menurunkan titik kompensasi. Taiz dan Zeiger (2002) juga mengemukakan bahwa laju respirasi yang rendah merupakan dasar adaptasi tanaman naungan agar tetap dapat tumbuh pada kondisi lingkungan cahaya rendah (terbatas). Bila respirasi lambat, daun memerlukan lebih sedikit cahaya untuk berfotosintesis untuk mengimbangi CO 2 yang dilepaskan oleh respirasi, sehingga titik kompensasi cahaya menjadi lebih rendah pula (Salisbury dan Ross 1992). Kecepatan respirasi pada spesies ternaungi merupakan sesuatu yang kritikal agar terjadi keseimbangan karbon yang positif (Fitter dan Hay 1989). Kecepatan respirasi pada jaringan dewasa tanaman tingkat tinggi dapat dipengaruhi oleh : (i) kapasitas mesin respirasi (enzim dan transporter), (ii) konsentrasi substrat respirasi (seperti pati, fruktan, gula), atau (iii) kecepatan penggunaan ATP dan NAD(P)H. Bjorkman (1981) mengisyaratkan bahwa daun cahaya penuh mungkin membutuhkan lebih banyak energi (ATP) untuk memelihara tingginya fotosintesis sehingga memiliki kecepatan respirasi yang tinggi. ATP yang dihasilkan oleh respirasi

45 26 digunakan untuk translokasi metabolit, sintesis kembali struktur yang ada (protein dan membran) dan transpor intraseluler (Amthor 1994). Kecepatan respirasi gelap juga dipengaruhi oleh radiasi; di bawah kisaran 4 µg.m- 2.det -1 pada tanaman ternaungi dibandingkan µg.m- 2.det -1 pada daun yang memperoleh cahaya penuh. Perbedaan ini memberikan kontribusi terhadap fotosintesis neto yang menguntungkan pada intensitas cahaya rendah yang sering diperlihatkan oleh daun ternaungi (Jones 1996). Respon Tanaman Terhadap Intensitas Cahaya Rendah Perubahan Karakter Morfologi dan Anatomi Daun Dari sudut anatomi dan morfologi, karakteristik tanaman yang beraklimasi terhadap intensitas cahaya rendah telah dijelaskan oleh Bjorkman (1981), Anderson (1986). Evans (1988) dan Anderson et al. (1995). Intensitas cahaya akan mempengaruhi bentuk dan anatomi daun termasuk sel epidermis dan tipe sel mesofil (Vogelmann dan Martin, 1993). Perubahan tersebut sebagai mekanisme untuk pengendalian kualitas dan jumlah cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplas daun. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun yang ditanam pada areal terbuka, yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger, 2002, Atwell et al ). Pada genotipe padi gogo dan kedelai toleran naungan, terjadi pengurangan lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibandingkan dengan genotipe yang peka, yang menyebabkan daun menjadi lebih tipis (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan 2003b). Lapisan palisade dapat berubah sesuai kondisi cahaya, yang menyebabkan tanaman menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya untuk perkembangannya (Taiz dan Zeiger 2002). Perubahan Kloroplas Cahaya terbukti mempengaruhi orientasi kloroplas tanaman. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salibury dan Ross 1992). Hal ini sering menyebabkan warna daun lebih hijau, karena posisi kloroplas yang terkonsentrasi pada permukaan daun. Intensitas cahaya rendah juga menyebabkan peningkatan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta grana (stack granum), seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999). Respon kloroplas terhadap perubahan intensitas cahaya tergantung kepada skala waktu perubahan tersebut. Respon

46 27 jangka pendek terjadi dalam beberapa detik sampai menit yang melibatkan penyusunan kembali struktur dan fungsi komponen kloroplas. Regulasi jangka pendek ini termasuk pada saat transisi dan penyesuaian fotosistem stoikiometrik pada fosforilasi protein tilakoid (Allen 1995), regulasi untuk efisiensi PSII (Horton et al. 1996), serta perubahan aktivitas rubisko (Salvucci dan Ogren 1996). Aklimatisasi jangka panjang terhadap cahaya melibatkan sintesis yang selektif dan degradasi komponen kloroplas untuk menyusun komposisi dan fungsi organ fotosintesis. Perubahan Kandungan Klorofil Daun Pada keadaan normal, aparatus fotosintetik termasuk klorofil mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Proses perbaikan ini bergantung pada cahaya sehingga bila tanaman dinaungi kemampuan ini akan menjadi terbatas (Richter et al. 1990). Kemampuan melawan degradasi ini sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan, yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun (Hale dan Orchut 1987) dan dengan peningkatan jumlah klorofil per kloroplas (Okada et al. 1992). Hal ini ditunjukkan juga oleh genotipe toleran padi gogo yang memiliki kadar klorofil a dan b yang lebih tinggi serta nisbah klorofil a/b lebih rendah dibanding peka (Chowdury et al. 1994; Sulistyono et al. 1999; Sopandie et al. 2003b). Hal yang sama juga dijumpai pada kedelai toleran naungan (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a). Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya. rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, yang disebabkan oleh peningkatan klorofil b, dan berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Membesarnya antena pada PSII ini mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya. Walaupun kandungan klorofil tinggi, rendahnya laju fotosintesis sering dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan rendahnya. aktivitas Ribulose bifosfat (RuBP) (Murty dan Sahu 1987). Selain itu, walaupun kandungan klorofil meningkat namun terjadi penurunan klorofil per luas area karena daun menjadi lebih tipis (Nilsen dan Orcutt 1996). Perubahan Karakter Fisiologi dan Biokimia Hubungan antara enzim rubisco dan fotosintesis telah diketahui dengan sangat baik, jumlahnya pada daun secara relatif merefleksikan 20-30% dari total N daun (Makino et al. 1984, Evans 1987). Naungan menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia, antara lain perubahan kandungan N daun, serta kandungan dan aktivitas

47 28 rubisco. Rubisco merupakan enzim yang memegang peranan penting dalam fotosintesis, mengikat C0 2 dan RuBP dalam siklus Calvin untuk menghasilkan 3-PGA. Intensitas cahaya mempengaruhi aktivitas rubisco (Portis 1992), dan dalam keadaan intensitas cahaya rendah aktivitas rubisco menjadi rendah (Bruggeman dan Danborn 1993), tergantung genotipe. Diperkirakan genotipe kedelai toleran naungan akan memiliki aktivitas rubisco yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka, seperti dilaporkan pada padi gogo (Sopandie et al. 2003b). Pada padi, intensitas cahaya rendah saat pembungaan menyebabkan penurunan kandungan karbohidrat dan menyebabkan gangguan dalam pengisisan biji (Chaturvedi et al. 1994). Hubungan antara cekaman intensitas cahaya rendah dengan terjadinya penurunan karbohidrat dapat dijelaskan dalam beberapa hal. Pengurangan fotosintat pada intensitas cahaya rendah dapat dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan sel-sel mesofil terhadap pertukaran C0 2. Pada kondisi cahaya rendah aktivitas karboksilase dan RuBP menurun (Thorne dan Koller 1974). Reaksi pembentukan pati dikatalisis oleh enzim ADP-glukosa pyrofosforilase yang mengartur aliran karbon (Gambar 10). Intensitas cahaya rendah menyebabkan rendahnya pembentukan pati, karena terjadi penghambatan kerja enzim ADP-glukosa pyrofosfatase oleh ketersediaan Pi yang tinggi. Soverda (2002) menunjukkan bahwa cekaman intensitas cahaya rendah menurunkan aktivitas PGA-kinase, penurunan yang lebih kecil dijumpai pada. genotipe padi gogo yang toleran naungan dibandingkan genotipe yang peka. Thorne dan Koller (1974) menunjukkan bahwa pemberian naungan menyebabkan penurunan kandungan pati pada daun kedelai, sementara sukrosa mengalami kenaikan. Perimbangan pati dan sukrosa berubah kembali seperti semula setelah perlakuan naungan dihentikan. Pada intensitas cahaya rendah terjadi gangguan translokasi karbohidrat. Pada kondisi ini gula total (sebagian besar gula non reduksi dan pati) secara nyata menurun pada seluruh bagian tanaman. Murty dan Sahu (1987) melaporkan peningkatan kandungan total amino-n dan N terlarut pada varietas padi yang peka, yang menyebabkan terganggunya sintesis protein dan rendahnya ketersediaan karbohidrat dan tingginya kehampaan. Penelitian Lautt et al. (2000) pada padi gogo menunjukkan bahwa galur toleran padi gogo memperlihatkan kandungan pati pada daun dan batang yang lebih tinggi daripada yang peka ketika dinaungi 50 % saat vegetatif aktif. Kenaikan sukrosa pada saat vegetatif aktif hanya terjadi pada galur yang toleran yang sejalan dengan naiknya aktivitas enzim SPS (Sucrose phosphate synthase). Pada. kedelai,

48 29 Cahaya Sitosol Fotosintesis Kloroplas Heksosa Fosfat 3-PGA ATP P i UDP-glukosa Fruktosa 6-P ADPG-PP i X Sucrose Phosphate Synthase (SPS) Sucrose Phosphate Phosphathase (SPP) Sucrose 6-P + UDP H 2 O Sucrose + Pi adenosin difosfoglukosa (ADPG) Sucrose Synthase (SS) Amilosa lebih besar (unit n + 1 glukosa) Amilosa kecil (unit n-glukosa) + ADP Gambar 10 Hubungan antara cahaya, fotosintesis, dan enzim (diberi lingkaran) yang berperanan dalam mengkatalisis proses pembentukan pati di kloroplas dan sukrosa di sitosol; ADPG-PPi = adenosine difosfoglukosa pirofosforilase (dirangkum dari Salisbury dan Ross 1992, Dennis dan Blakeley 2000, Hopkins dan Huner 2004)

49 30 informasi tentang hubungan antara daya adaptasi dan perimbangan karbohidrat seperti pati-sukrosa pada kondisi intensitas cahaya rendah belum diperoleh. Sucrose phosphate synthase merupakan salah satu enzim kunci dalam pembentukan sukrosa (Babb dan Haigler 2001). SPS mengkatalisis pembentukan sukrosa fosfat, kemudian oleh sucrose phosphate phosphatase (SPP) sukrosa fosfat diubah menjadi sukrosa (Gambar 10). Gambar 10 menunjukkan bahwa tersedianya substrat heksosa fosfat hasil fotosintesis dalam jumlah yang banyak akan meningkatkan aktivitas SPS sehingga memungkinkan akumulasi sukrosa yang lebih tinggi. Pewarisan Sifat Tolerans terhadap Intensitas Cahaya Rendah Upaya perbaikan sifat tanaman sangat tergantung pada pemahaman pemulia terhadap pola pewarisan sifat yang diminati. Sebelum melangkah lebih jauh, pemulia perlu memahami apakah karakter yang sedang dipelajari: (1) merupakan karakter kualitatif atau kuantitatif, (2) diwariskan dengan heritabilitas tinggi atau rendah, (3) menyebar pada tetua yang dimiliki atau terdapat pada tetua tertentu, (4) aksi gen pengendalinya aditif, dominan, atau epistasis, dan (5) seberapa besar kemajuan genetiknya. Informasi tersebut akan mengarahkan pemulia untuk memilih metode pemuliaan yang sesuai sehingga tingkat keberhasilannya akan menjadi lebih tinggi. Pewarisan suatu sifat atau karakter kepada keturunannya dapat merupakan sifat kualitatif ataupun sifat kuantitatif. Keragaman sifat kualitatif bersifat diskontinue, dikendalikan oleh satu atau dua gen sedangkan sifat kuantitatif bersifat kontinue, dikendalikan oleh banyak gen (Mangoendidjojo 2003). Suatu sifat akan diwariskan apabila sifat tersebut lebih banyak ditentukan oleh faktor genetik daripada faktor nongenetik, karena itu informasi tentang mudah-tidaknya suatu sifat diwariskan dari tetua kepada keturunannya sangat penting bagi pemulia. Mudah-tidaknya suatu sifat diwariskan dari tetua kepada keturunannya dapat diduga berdasarkan tinggi-rendahnya nilai heritabilitas (h 2 ). Heritabilitas merupakan perbandingan atau proporsi ragam genetik terhadap ragam total atau ragam fenotipe. Berdasarkan pengertian tersebut, heritabilitas yang tinggi merupakan petunjuk bahwa peranan faktor genetik terhadap karakter yang diamati lebih besar dibandingkan dengan peranan faktor non-genetik sehingga karakter tersebut akan lebih mudah diwariskan. Sebaliknya, nilai duga heritabilitas rendah mengindikasikan bahwa peranan faktor nongenetik terhadap ekspresi suatu karakter lebih besar dibandingkan dengan peranan faktor genetik; karakter demikian sulit diwariskan.

50 31 Niliai duga heritabilitas dinyatakan dalam persen (%) dan tergolong tinggi apabila h 2 > 50, sedang apabila 20 h 2 50, dan rendah apabila h 2 < 20 (Mangoendidjojo 2003). Berdasarkan komponen penyusun ragam genetik, dikenal heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability = h 2 bs) yang merupakan proporsi ragam genetik (σ 2 G) terhadap ragam total atau ragam fenotipe (σ 2 P) (h 2 bs = σ 2 G/σ 2 P) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability = h 2 ns) yang merupakan proporsi ragam aditif (σ 2 A) terhadap ragam fenotipe (σ 2 P) (h 2 ns = σ 2 A/σ 2 P). Selain heritabilitas, informasi lain yang ingin diperoleh dari suatu studi pewarisan adalah aksi gen yang mengendalikan ekspresi suatu karakter. Ekspresi suatu karakter kuantitatif dapat dikendalikan oleh aksi gen aditif, dominan, atau epistasis (Poehlman dan Sleeper1996, Roy 2000, Chahal dan Gosal 2003). Informasi tentang heritabilitas dan aksi gen dapat digunakan untuk menduga kemajuan genetik atau kemajuan seleksi dan penentuan kriteria efektivitas seleksi (Roy 2000). ). Nilai duga heritabilitas dan aksi gen dapat diperoleh antara lain melalui analisis dialel. Silang dialel merupakan suatu rancangan persilangan genetik yang banyak digunakan untuk memisahkan pengaruh genetik dari pengaruh lingkungan yang mengendalikan suatu karakter kuantitatif (Murtaza 2005). Teknik persilangan dialel dkembangkan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme genetik yang terlibat dalam generasi awal (Khan dan Habib 2003) atau dalam generasi segregasi (Salem et al. 2005). Dengan silang dialel juga dimungkinkan untuk memilih tetua dan memberikan informasi tentang daya gabung tetua dalam hibrida (de Sousa dan Maluf 2003) sehingga dapat membantu pemulia untuk meningkatkan dan menyeleksi populasi segregan. Pada persilangan dialel, semua genotipe disilangkan dalam semua kombinasi (Roy 2000). Masing-masing genotipe mempunyai kesempatan untuk disilangkan dengan genotipe lain, termasuk persilangan sendiri genotipe itu. Dalam penerapan persilangan dialel, dibutuhkan asumsi (Singh dan Chaundhary 1979, Roy 2000) sebagai beriktut : (1) merupakan segregasi diploid, (2) tidak terdapat pengaruh tetua (tidak terdapat perbedaan resiprok), (3) aksi gen beda alel bersifat independen, (4) tidak terdapat peristiwa multiple allel, (5) tetua bersifat homosigot, (5) gen-gen terdistribusi secara bebas di antara tetua, dan (6) koefisien inbriding sama dengan satu. Terdapat beberapa macam dialel yang mungkin untuk dianalisis. Jumlah kombinasi tergantung dari macam persilangan tetua yakni (Roy 2000): (1) p 2 kombinasi atau kombinasi lengkap, terdiri dari F 1, resiproknya, dan penyerbukan sendiri tetuanya;

51 32 (2) p(p-1) kombinasi, terdiri dari F 1 dan resiproknya; (3) ½p(p-1) kombinasi, terdiri dari F 1 saja; dan (4) ½p(p+1) kombinasi, terdiri dari F 1 dan penyerbukan sendiri tetuanya. Penggunaan salah satu macam dialel tergantung dari tujuan analisisnya atau dihubungkan dengan penyederhanaan analisisnya. Misalnya, untuk menguji tetua sejumlah 20, maka bila menguji kombinasi lengkap akan diperoleh 400 kombinasi. Bila diketahui tidak ada pengaruh resiprok dan tetuanya maka cukup dianalisis ½p(p-1) kombinasi atau 190 kombinasi. Analisis dialel untuk setiap macam persilangan di atas telah dirumuskan oleh Griffing (1956) dalam Singh dan Chaundhary (1979) dan dikenal dengan nama analsisi dialel metode I, II, III, dan IV. Beberapa karaketer efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas cahaya rendah pada genotipe kedelai telah dipelajari, tetapi belum banyak yang mengkaitkan dengan pemuliaan tanaman. Apabila di dalam populasi terdapat keragaman genetik karakter efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas cahaya rendah, maka terdapat peluang untuk menyeleksi genotipe-genotipe yang mempunyai mekanisme efisiensi penangkapan dan penggunaan intensitas cahaya rendah. Tanaman menyerbuk sendiri seperti kedelai, perbaikan populasinya diarahkan untuk pembentukan galur murni. Dalam hal demikian aksi gen aditif menjadi penting karena mudah difikasi. Menurut Allard (1960) ragam aditif dan aditif x aditif merupakan aksi gen yang responsif terhadap seleksi. Pewarisan Sifat Selain ketersediaan keragaman genetik yang luas, keberhasilan program pemuliaan juga tergantung pada pengetahuan tentang pola pewarisan dari karakter yang akan diperbaiki. Suatu karakter dapat diwariskan secara kualitatif ataupun secara kuatitatif. Karakter kualitatif dikendalikan oleh gen-gen sederhana (gen mayor = monogenik). Disebut gen mayor karena pengaruhnya yang besar dan pengaruh lingkungan kecil walaupun ada segregasi pada lain lokus dan ada ragam non genetik (Soemartono et al. 1992). Sebaran frekuensi populasi dapat diketahui dengan melakukan uji normalitas; menyebar tidak normal menunjukkan bahwa karkter yang dipelajari dikendalikan oleh satu atau beberapa gen mayor. Pola pewarisan karakter seperti ini dapat dipelajari menggunakan analisis genetik Mendel (Allard 1960, Wagner 1980, Roy 2000) Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen minor atau poligenik (Roy 2000). Disebut gen minor karena pengaruh satu gen lebih kecil dari pengaruh lingkungan (Soemartono et al. 1992). Menurut Poehlman dan Sleeper (1996), pewarisan

52 33 kuantitatif berhubungan dengan pewarisan karakter multigenik atau poligenik dengan ciri-ciri : (1) setiap multigen memperlihatkan pengaruh yang kecil pada fenotipe relatif terhadap ragam total; secara normal tidak mungkin diidentifikasi sebagai pengaruh individu gen, (2) banyak gen, 10 atau lebih pada lokus yang berbeda memberikan sumbangan terhadap penampakan suatu karakter kuantitatif; nisbah segregasi tidak teramati; rekombinasi dan segregasi dipelajari berdasarkan pengaruh kuantitatif dari gengen pada fenotipe, (3) pengaruh individu gen bersifat kumulatif, pengaruh netonya dapat diukur dari nilai fenotipe; dalam populasi kawin acak nilai fenotipe memperlihatkan ragam kontinue dari nilai sangat rendah ke nilai sangat tinggi, (4) pengaruh multigen ditunjukkan melalui aksi gen yang berbeda: aditif, dominan, epistasis, atau overdominan, dan (5) dengan pewarisan multigen, dapat diperoleh transgressive segregates yakni suatu karakter kuantitatif yang berada di luar selang nilai kedua induk; suatu fenomena yang banyak digunakan pemulia untuk memperoleh kultivar superior. Ragam. Bila individu-individu dalam populasi tanaman diklasifikasikan menurut salah satu karakternya, misalnya tinggi maka tidak akan ditemukan hanya dua kelompok yakni tinggi atau rendah saja, karena ada variasi dalam segala tingkat; variasi demikian disebut variasi atau ragam kontinue. Karakter yang menunjukkan adanya ragam kontinue disebut karakter kuantitatif. Ragam pada dasarnya diskontinue tetapi menjadi kontinue karena : (1) adanya segregasi simultan dari banyak gen yang mempengaruhi sifat yang sama, dan (2) ragam yang sebenarnya tidak begitu kontinue diperhalus lagi oleh adanya faktor non genetik (Soemartono et al. 1992, Falconer 1985). Cara mempelajari ragam kontinue harus melalui pengukuran, tidak hanya menghitung, menggunakan prosedur statistik tertentu termasuk selang, rata-rata, ragam, standar deviasi, dan koefisien ragam. Bagi pemulia tanaman yang terpenting adalah rata-rata dan ragam (Poehlman dan Sleeper 1996). Selanjutnya dijelaskan bahwa ragam dan standar deviasi yang kecil untuk suatu sampel populasi menunjukkan bahwa nilai pengamatan berada sangat dekat dengan rata-rata populasi, sebaliknya ragam dan standar deviasi yang besar menunjukkan bahwa nilai pengamatan sangat berpencar dan jauh dari ratarata populasi. Analisis ragam dilakukan dengan memecah ragam menjadi beberapa komponen : (1) ragam fenotipik (V P =σ 2 P) dari nilai fenotipe, (2) ragam genotipik (V G =σ 2 G) dari nilai genotipe, (3) ragam aditif (V A =σ 2 A) dari nilai pemuliaan, (4) ragam dominansi (V D =σ 2 D) dari simpangan dominan, (5) ragam interaksi (V I =σ 2 I) dari simpangan interaksi, (6)

53 34 ragam lingkungan (V E =σ 2 E) dari simpangan lingkungan (Soemartono et al. 1992, Poehlman dan Sleeper 1996). Pemisahan pertama nilai fenotipe (P) adalah menjadi nilai genotipe (G) dan simpangan lingkungan (E); P = G + E. Pemecahan ragam menjadi komponen genetik (σ 2 G) dan lingkungan (σ 2 E) berarti merumuskan masalah antara kebakaan (hereditas) dengan lingkungan, atau menentukan mana yang lebih penting secara nisbi antara genotipe dan lingkungan dalam mempengaruhi nilai fenotipe. Seberapa besar pentingnya genotipe secara nisbi sebagai penentu nilai fenotipe ditunjukkan oleh nisbah ragam genotipe dengan ragam fenotipe; σ 2 G/σ 2 P yang sering disebut sebagai heritabilitas arti luas (h 2 bs) (Poehlman dan Sleeper 1996, Mangoendidjojo 2003). Ragam genotipe dan ragam fenotipe dapat diduga dari populasi eksperimental, bila salah satu komponen dapat dieliminasi maka ragam fenotipe sisanya merupakan taksiran komponen lainnya. Ragam lingkungan tidak dapat dieliminasi karena menurut definisinya, ragam lingkungan terdiri dari semua ragam non genetik, tetapi secara eksperimental ragam genotipe dapat dieliminasi, misalnya pada galur inbred derajat tinggi atau F1 dari persilangan galur inbred akan terdiri dari genotipe yang identik sehingga ragam genotipe sama dengan nol. Bila genotipe demikian diuji pada lingkungan yang kisarannya normal maka ragam fenotipe seluruhnya akan mencerminkan ragam lingkungan σ 2 E. Ragam genotipe lebih jauh dapat dipecah sesuai dengan pemecahan nilai genotipe menjadi nilai pemuliaan, simpangan interaksi : G = A + D + I (Fehr 1987). Ragam aditif (σ 2 A) yang merupakan ragam nilai pemuliaan adalah komponen yang penting sebagai penyebab utama kemiripan antar kerabat (resemblance between relative), dan merupakan penentu utama sifat genetik yang dapat diamati dari populasi serta penentu respon populasi terhadap seleksi (Falconer 1985, Soemartono et al. 1992, Chahal dan Gosal 2003). Dalam praktik, pembagian yang biasa dilakukan adalah menjadi ragam genetik aditif dan ragam sisa yaitu ragam genetik non aditif dan ragam lingkungan. Pemisahan tersebut dinyatakan sebagai nisbah ragam genetik aditif dengan ragam fenotipe; σ 2 A/σ 2 P yang sering disebut sebagai heritabilitas arti sempit (h 2 ns). Ragam interaksi didasarkan atas banyak lokus yang tersangkut; interaksi 2 faktor dan 3 faktor bila menyangkut 2 lokus dan 3 lokus, untuk 4 lokus pengaruh interaksinya kecil dan diabaikan. Pada 2 lokus terdapat 3 macam interaksi yaitu aditifi-aditif, aditif-dominan, dan dominandominan (Falconer 1985, Chahal dan Gosal 2003).

54 35 Aksi Gen. Dengan multigen, dikenal empat macam aksi gen : additif, dominan, epistasis, dan overdominan (Poehlman dan Sleeper1996, Chahal dan Gosal 2003). Pengaruh aditif menunjukkan aksi gen-gen yang mempengaruhi suatu karakter genetik dengan cara setiap gen meningkatkan atau menurunkan penampakan karakter genetik tersebut. Jika dalam penampakan suatu karakter kuantitatif (misalnya hasil), pengaruh satu gen menambah satu unit peningkatan hasil, dua gen menambah dua unit, dan seterusnya, apakah gen-gen tersebut merupakan alel-alel pada satu lokus atau gen-gen yang independent pada beberapa lokus. Pengaruh dominansi adalah simpangan dari aditivitas, bersifat heterosigot dan lebih condong ke salah satu induk. Pada aksi gen dominan penuh, heterosigot, dan homosigot dominan memiliki pengaruh yang sama. Pengaruh epistasis adalah hasil dari interaksi gen-gen non alelik, interaksi gen-gen pada lokus yang berbeda. Dalam epistasis, pengaruh dua buah gen secara individu tidak ada, kecuali keduanya berkombinasi. Pengaruh overdominan terjadi jika masing-masing alel memberikan sumbangan secara terpisah dan kombinasi alel-alel tersebut memberikan sumbangan yang lebih besar dibanding sumbangan masing-amsing alel secara terpisah Sejauh ini belum banyak informasi yang diperoleh tentang dasar genetik dan pewarisan sifat toleransi terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai. Dari penelitian pendahuluan diperoleh informasi bahwa dalam keadaan tercekam intensitas cahaya rendah, karakter agronomi kedelai menunjukkan keragaman kontinyu. Karakter daya hasil dalam keadaan tercekam naungan 50% diwariskan dengan tingkat heritabilitas yang rendah (0.29), namun karakter jumlah polong per tanaman diwariskan dengan heritabilitas mencapai 0.87 (Trikoesoemaningtyas et al. 2003). Dalam penelitian ini juga diperoleh informasi adanya pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter tinggi tanaman, luas daun, jumlah polong dan jumlah biji per polong dalam keadaan ternaungi. Hal ini menunjukkan adanya kendali dari gen-gen di sitoplasma baik dalam interaksinya dengan gen-gen pada inti maupun tidak (Matter dan Jinks 1982). Pada karakter kandungan khlorofil a, khlorofil b, dan kandungan karoten, tidak terdapat pengaruh tetua betina (Handayani 2003). Beberapa sifat morfologi daun kedelai dikendalikan oleh gengen major. Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, informasi lebih lengkap mengenai kendali genetik terhadap toleransi intensitas cahaya rendah pada kedelai belum diketahui.

55 36 Pewarisan Kloroplas dan Klorofil Ekspresi gen kloroplas dalam tanaman tingkat tinggi diregulasi pada level yang berbeda dan diyakini ekspresi tersebut dikoordinasi oleh gen-gen kloroplas dan nukleus (Singhal et al. 1999). Koordinasi berlangsung karena sequences mitokondria dan kloroplas ada dalam nukleus, demikian juga sequence kloroplas ditemukan dalam mitokondria. Hal ini menjelaskan bahwa kendali genetik dari fungsi biokimia tertentu dilepaskan (atau diambil dari) ke sel-sel progenitor. Alur informasi genetik antar organel dalam sel tanaman diilustrasikan pada Gambar 11 sebagai berikut (Anonim 2005): Nucleus Mitochondria Chloroplast Gambar 11 Alur informasi genetik dari satu organel ke organel lain dalam sel tanaman Inti atau nukleus hanyalah sebagian kecil dari sel, di luar inti terdapat sitoplasma, mitokondria, plastida, dan sebagainya sehingga tidak mengherankan jika induk betina memberikan pengaruh yang besar terhadap keturunannya. Selain itu, volume gamet betina lebih besar dari volume gamet jantan, dan bagian terbesar dari gamet betina adalah sitoplasma, beserta arganel-organel seperti mitokondria, plastida, dan sebagainya. Jadi induk betina dapat memberikan pengaruh maternal (bila genotipe nuklear induk betina menentukan fenotipe keturunan) dan pewarisan maternal (jika faktor yang menentukan sifat keturunan terdapat di luar nukleus dan pemindahan faktor itu hanya berlangsung melalui sitoplasma (Suryo 1995). Studi klasik pewarisan maternal ditunjukkan oleh Correns pada tanaman pukul empat (Anonim 2005). Tanaman ini memiliki daun yang dapat berwana hijau, variegated (putih dan hijau), atau putih. Ketika Correns membuat persilangan, keturunan yang dihasilkan selalu menggambarkan warna daun dari tetua betina. Pewarisan secara maternal dibuktikan pula pada persilangan spesifik antara tanaman tomat dengan spesis liar menggunakan teknik RFLP (Anonim 2005). Namun demikian, pewarisan plastid tidak selalu bersifat maternal. Saat ini diketahui lebih dari 40 contoh pewarisan plastid yang bersifat paternal. Penelitian pada alfalfa (Medicago sativa) yang dilakukan sejak pertengahan tahun 1980-an memperlihatkan bahwa pewarisan plastid (dan DNA plastid) bersifat biparental dengan kecondongan yang lebih kuat ke arah paternal (Smith dan

56 37 Mogensen 2005). Data yang dikumpulkan sejak tahuan 1950-an menggunakan genotipe defisien-klorofil dari Medicago truncatula menunjukkan bahwa pewarisan plastid tidak memperlihatkan pola pewarisan maternal. Ryder (1996) mempelajari pewarisan enam mutan defisiensi klorofil pada Lactuca sativa dan menyimpulkan bahwa dalam pewarisan tersebut dikendalikan oleh gen-gen nukleus. Studi klorofil pada kedelai juga sudah banyak dilakukan. Kultivar Williams mutan defisienssi-klorofil bersifat alelik terhadap y9 dan terpaut terhadap pb (Thorson et al. 1989). Kumudini (2005) melaporkan adanya kendali alel-alel dominan gen-e terhadap konsentrasi klorofil dalam NILs kedelai, sedangkan Zou et al. (2003) menjelaskan bahwa paling kurang terdapat 19 gen resesif tunggal dan satu gen resesif ganda dalam mutan daun kuning kedelai.

57 MEKANISME EFISIENSI PENANGKAPAN CAHAYA PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH ABSTRAK Keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang dalam intensitas cahaya rendah tergantung pada efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya. Efisiensi penangkapan cahaya dapat diperoleh melalui adaptasi morfo-anatomi daun dan kandungan pigmen. Studi mekanisme efisiensi penangkapan cahaya dilakukan dalam dua tahap: (1) percobaan untuk mempelajari mekanisme efisiensi penangkapan cahaya pada intensitas cahaya 50% dan 100% dalam periode waktu yang lama (long-term exposure), dan (2) percobaan dengan perlakuan perbedaan kondisi intensitas cahaya periode singkat (short-term exposure) untuk mempelajari perubahan karakter efisiensi penangkapan cahaya. Bahan tanaman yang digunakan terdiri dari dua genotipe toleran (Ceneng dan Pangrango) dan dua genotipe peka (Godek dan Slamet). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya 50%, genotipe toleran Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk menghasilkan karakter yang mendukung efisiensi penangkapan cahaya (daun lebih luas dan lebih tipis, trikoma lebih sedikit, klorofil a dan b yang lebih tinggi, serta nisbah klorofil a/b yang lebih rendah) sehingga bobot biji/tanaman juga lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka terutama Godek. Dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat, perubahan karakter efisiensi penangkapan cahaya pada genotipe toleran Ceneng mengikuti kondisi cahaya yang terakhir kali diterima. Sebaliknya, genotipe peka Godek memperlihatkan pola perubahan yang kurang seiring dengan pola perubahan intensitas cahaya. Kata kunci : efisiensi penangkapan cahaya, genotipe toleran, genotipe peka LIGHT CAPTURE EFFICIENCIES MECHANISM UNDER LOW LIGHT INTENSITY OF TOLERANT AND SENSITIVE SOYBEAN GENOTYPE ABSTRACT Plant can grow and develop under low light intensity depend on their efficient capture and use of limiting light. They adjusted light capture efficiencies by leaves morfo-anatomycal and pigment content rearangement. Study on light capture efficiencies mechanism held in two step: (1) Long term exposure experiment to study the light capture efficiencies under 50% and 100% light intensity, and (2) Short term exposure experiment to examine the flexibility of light capture efficiencies character. We used two tolerant genotype (Ceneng and Pangrango) and two sensitive genotype (Godek and Slamet). The result showed that under 50% light intensity, Ceneng developed its characters more efficient than sensitive genotype, especially Godek. Ceneng has wider and thinner leaves, fewer trichoma, higher chlorophyll a,b and lower chlorophyl a/b ratio. So, Ceneng has higher seed weight per plant. Under several short term exposure condition, regulation of efficiencies characters in Ceneng is following the recent light condition. But in Godek is less responsive. Keyword : light capture efficiencies, tolerant genotype, sensitive genotype

58 39 PENDAHULUAN Latar Belakang Kemampuan tanaman untuk mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah pada umumnya tergantung pada kemampuannya melanjutkan fotosintesis pada kondisi intensitas cahaya rendah tersebut. Kemampuan demikian dapat diperoleh dengan cara meningkatkan luas bidang tangkapan cahaya (meningkatkan luas daun), mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan atau ditransmisikan, serta menghindari pemborosan cahaya yang diabsorpsi (Levitt 1980, Hale dan Orchut 1987, Salisbury dan Ross 1992, Taiz dan Zeiger 2002). Dengan kata lain, tanaman harus memiliki mekanisme efisiensi penangkapan cahaya. Peningkatan luas daun selain memungkinkan peningkatan luas bidang tangkapan, juga menyebabkan daun menjadi lebih tipis karena sel-sel palisade hanya teridiri dari satu atau dua lapis dan lebih pendek (Khumaida 2002, Taiz dan Zeiger 2002). Tipisnya daun yang ternaungi menyebabkan berat daun menjadi rendah sehingga luas daun spesifik (spesific leaf area) yang merupakan nisbah luas daun terhadap berat daun meningkat (Pearcy 1999). Logan et al. (1999) dan Atwell et al. (1999) mengemukakan bahwa salah satu karakter daun naungan adalah meningkatnya luas daun spesifik. Pada daun yang tipis, kloroplas terorientasi pada permukaan daun bagian atas secara paralel sehingga daun tampak lebih hijau. Akumulasi kloroplas pada permukaan daun merupakan salah satu mekanisme adaptasi untuk mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan karena dengan demikian pigmen pemanen cahaya akan berada dalam posisi terdekat dari arah datangnya cahaya (Logan et al. 1999, Taiz Zeiger 2002). Salisbury dan Ross (1992) serta Pearcy (1999) juga menjelaskan bahwa distribusi kloroplas yang paralel terhadap permukaan daun akan memaksimumkan penangkapan cahaya karena jumlah cahaya yang ditransmisikan dapat dikurangi. Selain posisi dan jumlahnya, aspek penting dari kloroplas yang terekspose pada intensitas cahaya rendah adalah pigmen pemanen cahaya yang dikandungnya, terutama klorofil. Hasil penelitian pada berbagai tanaman, termasuk kedelai (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003, Handayani 2003)

59 40 menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya rendah kandungan klorofil a dan b mengalami peningkatan. Peningkatan klorofil b relatif lebih tinggi dibanding klorofil a sehingga pada intensitas cahaya rendah nisbah klorofil a/b menjadi rendah (Khumaida 2002, Handayani 2003, Sopandie et al. 2003, Lestari 2005, Jufri 2006, Tyas 2006). Sejalan dengan penjelasan tersebut, Murchie dan Horton (1997) mengemukakan bahwa, pengaturan nisbah klorofil a/b merupakan salah satu strategi penting dalam adaptasi terhadap intensitas cahaya jangka panjang. Selain pigmen fotosintetik seperti klorofil dan karotenoid, tanaman juga memiliki pigmen non-fotosintetik seperti antosianin. Konsentrasi antosianin dalam intensitas cahaya rendah seharusnya lebih rendah (Levitt 1980) karena menyerap cahaya pada panjang gelombang nm (Hopkins dan Huner 2004), suatu kisaran panjang gelombang yang juga dimanfaatkan dalam proses fotosintesis. Selain itu, antosianin terakumulasi dalam vakuola sel-sel epidermis (Hopkins dan Huner 2004) sehingga akan menghalangi kerja pigmen fotosintetik yang berada di bawahnya. Dalam hal demikian, dapat dikemukakan bahwa daun yang berkembang pada intensitas cahaya rendah dengan kandungan antosianin yang tinggi akan mengurangi jumlah cahaya yang dapat ditangkap oleh pigmen fotosintetik. Upaya lain untuk memaksimumkan penangkapan cahaya adalah mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan. Cara ini ditempuh tanaman antara lain melalui pengurangan jumlah buluh daun (trikoma), mengurangi lapisan kutikula, dan mengurangi lapisan lilin pada permukaan daun (Levitt 1980, Hale dan Orcutt 1987, Velasco et al. 2001). Meskipun trikoma memiliki peranan ekologis yang cukup penting antara lain mengurangi transpirasi dan menurunkan suhu daun (Velasco et al. 2001), tetapi cahaya yang dapat diabsorpsi oleh daun dengan trikoma yang banyak dapat berkurang 40% dibanding daun tanpa atau trikoma sedikit (Taiz dan Zeiger 2002). Jadi, daun yang berkembang dalam intensitas cahaya rendah akan kurang efisien menangkap cahaya apabila memiliki banyak trikoma. Penelitian untuk mengetahui mekanisme efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai telah terdokumentasi dengan sangat baik, terutama yang berhubungan dengan upaya tanaman dalam memaksimumkan jumlah cahaya yang

60 41 dapat ditangkap melalui peningkatan luas daun (Sopandie et al. 2003, Jufri 2006, Tyas 2006), peningkatan kandungan klorofil (Khumaida 2002, Handayani 2003, Sopandie et al. 2003, Lestari 2005, Jufri 2006, Tyas 2006), serta berkurangnya ketebalan daun dan lapisan palisade (Khumaida 2002, Jufri 2006, Tyas 2006). Namun demikian, efisiensi penangkapan cahaya yang dilakukan tanaman dengan cara mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan melalui pengurangan trikoma belum banyak dilakukan. Demikian juga, informasi pemborosan cahaya karena diserap pigmen non-fotosintetik seperti antosianin masih sedikit. Tujuan Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi mekanisme efisiensi penangkapan cahaya pada kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mengetahui perbedaan respon morfo-anatomi daun dan kandungan pigmen fotosintetik dan non-fotosintetik antara kedelai genotipe toleran dan peka dalam perlakuan intensitas cahaya periode yang lama, dan (2) mengetahui perubahan morfoanatomi daun dan kandungan pigmen pada kedelai genotipe toleran dan peka yang diinduksi oleh berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Besar Biogen Cikeumeuh Bogor. Analisis laboratorium dilaksanakan di laboratorium Research Group on Crop Improvement dan Ekofisiologi IPB serta laboratorium Histologi Biotrop Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2004 sampai dengan Nopember Percobaan dilakukan dalam dua tahap. Percobaan pertama bertujuan untuk mengetahui perbedaan respon morfo-anatomi daun dan kandungan pigmen fotosintetik dan non-fotosintetik antara kedelai genotipe toleran dan peka dalam perlakuan intensitas cahaya periode yang lama (long term exposure), sedangkan percobaan kedua bertujuan untuk mengetahui perubahan morfo-anatomi daun dan

61 42 kandungan pigmen pada kedelai genotipe toleran dan peka sebagai respon atas berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat (short term exposure). Metode Percobaan Pertama : "Mekanisme Efisiensi Penangkapan Cahaya dalam Periode yang Lama" Faktor yang diuji adalah intensitas cahaya sebagai petak utama yang terdiri dari dua taraf: IC100 = intensitas cahaya 100% (kontrol), dan IC50 = intensitas cahaya 50%. Faktor kedua sebagai anak petak adalah genotipe yang teridiri dari: dua genotipe toleran yakni Pangrango (G 1 ) dan Ceneng (G 2 ) serta dua genotipe peka yakni Godek (G 3 ) dan Slamet (G 4 ) (Sopandie et al. 2002). Jadi, terdapat delapan kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang empat kali sehingga terdapat 32 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan menggunakan 50 tanaman. Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah (split plot) dengan anak petak tersarang (nested) pada petak utama. Denah percobaan disajikan pada Lampiran 1. Perlakuan intensitas cahaya 50% dilaksanakan dengan cara meletakan paranet hitam di sisi atas dan keempat sisi rangka bambu setinggi 2 m sehingga pertanaman kedelai terkurung (terselubungi) oleh paranet. Paranet yang digunakan adalah paranet yang meloloskan cahaya sekitar 50%. Tanah di dalam maupun di luar paranet diolah sebanyak dua kali. Pada pengolahan tanah kedua, diikuti dengan pemberian pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha. Selanjutnya, tiga butir benih kedelai dimasukkan ke dalam lubang tanam sedalam 2 cm 3 cm yang sebelumnya telah diberi Carbofuran-3G dengan jarak tanam 20 cm x 30 cm. Pada umur satu minggu setelah tanam (MST) tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap lubang tanam hanya berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap lubang tanam hanya berisi satu tanaman. Dalam setiap satuan percobaan diambil lima sampel tanaman destruktif dan lima sampel tanaman produksi. Pengukuran karakter yang menggunakan daun, sampel yang dipilih adalah daun yang telah membuka penuh (daun ke 3 4 dari atas pada batang utama). Panen dilakukan setelah polong kehilangan warna hijaunya dengan cara menggunting tangkai polong yang telah kering dan tetap

62 43 membiarkan tanaman kedelai tetap hidup dengan polong lain yang belum bisa dipanen. Pemeriksaan waktu panen dan pemanenan dilakukan setiap minggu. Peubah yang diamati meliputi morfo-anatomi, pigmen, serta hasil dan komponen hasil. Aspek morfo-anatomi yang diamati adalah: (a) luas daun total, (b) luas daun spesifik, (c) luas daun trifoliate (d) ketebalan daun, (e) panjang lapisan palisade, (f) kerapatan stomata, (g) kerapatan trikoma, serta (h) intensitas kehijauan daun. Sedangkan pigmen yang diukur adalah : (a) kandungan klorofil a, (b) klorofil b, (c) klorofil total, (d) nisbah klorofil a/b, serta (e) kandungan antosianin. Peubah hasil dan komponen hasil yang diamati meliputi : (a) jumlah polong berisi, (b) jumlah polong hampa, dan (c) bobot biji/tanaman. Jumlah polong berisi dan polong hampa dihitung seluruhnya per tanaman. Setelah polong kering dan dipipil, biji ditimbang. Bobot biji/tanaman adalah berat keseluruhan biji yang diperoleh saat panen hari pertama sampai panen hari terakhir. Nilai bobot biji/tanaman adalah rata-rata lima tanaman sampel. Pengukuran luas daun dilakukan pada umur 10 MST menggunakan leaf area meter. Luas daun total adalah luas seluruh daun yang terbentuk/tanaman, merupakan nilai rata-rata dari lima tanaman sampel sedangkan luas daun spesifik diperoleh dari luas daun total dibagi total berat kering daun (Evans dan Poorter 2001). Luas daun trifoliat diukur pada posisi daun ketiga dan keempat dari atas pada batang utama, merupakan nilai rata-rata dari dua daun trifoliat dari lima tanaman sampel. Tebal daun dan lapisan palisade diukur dari daun yang berada di tengah dari trifoliat. Pada umur 10 MST, tiga daun sebagai ulangan dipreparasi, kemudian lima dari hasil potongan mikrotom terbaik diukur tebal dan ukuran lapisan palisadenya, masing-masing pada empat tempat yang berbeda. Jadi, nilai tebal daun dan lapisan palisade dari setiap unit percobaan merupakan rata-rata dari 3 x 5 x 4 = 60 kali hasil pengukuran. Dalam pengamatan kerapatan trikoma, digunakan tiga trifoliat dari lima tanaman sampel pada umur 10 MST. Trikoma dari masing-masing daun trifoliat diamati pada permukaan daun bagian atas sebanyak 10 kali, sehingga nilai kerapatan trikoma dari setiap unit percobaan merupakan rata-rata dari 5 x 3 x 10 = 150 kali hasil pembacaan pada mikroskop dengan perbesaran 200x.

63 44 Kerapatan stomata dianalisis pada umur 10 MST menggunakan metode imprint. Permukaan bawah daun (daun yang di tengah dari trifoliat) diolesi cutex transparan pada empat tempat berbeda dan setelah kering diangkat menggunakan selotif transparan. Selotif dengan cutex yang mengandung hasil copian stomata daun diamati di bawah mikroskop pada perbesaran 400x. Masing-masing selotif dibaca lima kali sehingga nilai kerapatan stomata dari setiap unit percobaan merupakan rata-rata dari 5 x 4 x 5 = 100 kali hasil pembacaan. Intensitas kehijauan daun diukur menggunakan chlorophyl meter (FJK Chlorophyll Tester CT-102) pada umur 10 MST. Daun trifoliat pada posisi ketiga dari atas pada batang utama diukur intensitas kehijauannya. Masing-masing helai daun dibaca intensitas kehijauannya pada empat titik sehingga nilai intensitas kehijauan pada suatu unit perlakuan merupakan rata-rata dari 5 x 3 x 4 = 60 kali pengukuran. Kandungan pigmen baik klorofil maupun antosianin juga diukur pada umur 10 MST. Analisis klorofil menggunakan metode Arnon (1949) yang telah dimodifikasi oleh Yoshida dan Parao (1976) (Lampiran 4) sedangkan analisis antosianin menggunakan metode yang dikembangkan Less dan Francis (1982) (Lampiran 5). Analisis Data Data dianalisis menggunakan anova sesuai rancangan yang digunakan, dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%. Selain itu, keterkaitan antara intensitas kehijauan daun dengan kandungan klorofil diuji menggunakan prosedur korelasi. Percobaan Kedua : "Mekanisme Efisiensi Penangkapan Cahaya dalam Periode Singkat" Metode Faktor yang diuji adalah genotipe dan penerimaan cahaya. Faktor genotipe terdiri dari: G 1 = Pangrango, G 2 = Ceneng, G 3 = Godek, dan G 4 = Slamet. Pemberian berbagai kondisi cahaya dilakukan setelah tanaman berumur 14 hari sebagai berikut: L 0 (dipelihara dalam ruang tanpa cahaya (gelap) selama 5 hari), L 1 (dipelihara dalam intensitas cahaya 50% selama 5 hari), L 2 (dipelihara pada intensitas cahaya 100% selama 5 hari), L 3 (dipeliharan selama 5 hari dalam

64 45 intensitas cahaya 100% lalu dipindahkan ke intensitas cahaya 50 % selama 3 hari), L 4 (dipelihara selama 3 hari intensitas cahaya 100%, selama 3 hari dalam intensitas cahaya 50%, lalu dipindahkan lagi ke intensitas cahaya 100% selama 2 hari), L 5 (dipelihara dalam intensitas cahaya 50% selama 3 hari, dalam intensitas cahaya 100% selama 2 hari, kemudian dalam tanpa cahaya (gelap) selama 3 hari). Setiap genotipe menggunakan 30 tanaman dan waktu penanaman diatur sedemikian rupa sehingga pengambilan sampel daun berlangsung pada saat yang bersamaan (Lampiran 2). Polibag diisi dengan ± 8 kg campuran tanah dan pupuk kandang (1 kg tanah : 20 g pupuk kandang). Selanjutnya, benih kedelai dilumuri dengan inokulan rhizobium kemudian dimasukkan ke dalam lubang tanam (tiga butir benih/lubang) sedalam 2 3 cm. Setelah seputar benih ditaburi Carbofuran 3-G, lubang tanam ditutup tanah kemudian disiram. Pada umur 1 MST tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap polibag berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap polibag hanya berisi satu tanaman. Setelah berumur 14 hari, tanaman kedelai diberi perlakuan intensitas cahaya. Perlakuan gelap dilakukan dengan cara meletakan tanaman pada ruangan (kamar) gelap tanpa cahaya, sedangkan cahaya 50% dan 100% dilakukan dengan cara seperti pada percobaan pertama. Sampel daun untuk pengukuran kandungan pigmen, diambil dari daun yang telah membuka sempurna (nomor 3 dari atas pada batang utama), sedangkan untuk pengukuran morfo-anatomi lainnya menggunakan sampel daun nomor 4 dari atas pada batang utama. Peubah yang diamati meliputi : (a) kandungan klorofil a, klorofil b, nisbah klorofil a/b, dan kandungan antosianin, (b) ketebalan daun dan panjang lapisan palisade, (c) kerapatan stomata dan kerapatan trikoma, dan (d) intensitas kehijauan daun. Kandungan klorofil a, klorofil b, nisbah klorofil a/b, kandungan antosianin, intensitas kehijauan daun, dan kerapatan trikoma diamati pada semua kombinasi perlakuan sedangkan peubah lainnya hanya diamati pada genotipe ceneng dan godek dalam berbagai kondisi intensitas cahaya. Metode pengukuran

65 46 setiap peubah dilakukan dengan cara yang sama seperti pada percobaan pertama. Pada kondisi L 0 tidak dilakukan pengukuran intensitas kehijauan daun dan kerapatan stomata. Analisis Data Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan histogram. Perbedaan respon suatu karakter terhadap kondisi kontrol diduga berdasarkan perubahan persentase relatif terhadap kontrol. HASIL DAN PEMBAHASAN Luas Daun Dalam intensitas cahaya 50% luas daun total berkurang tetapi terjadi peningkatan pada luas daun trifoliat dan luas daun spesifik (Tabel 1). Penurunan luas daun total yang cukup besar terjadi pada genotipe toleran Pangrango (77% kontrol) dan Ceneng (85% kontrol) tetapi dalam intensitas cahaya 50%, genotipe toleran Ceneng memiliki luas daun total tertinggi dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya kecuali Pangrango. Genotipe toleran Pangrango dan Ceneng memiliki luas daun cm 2 dan cm 2 sedangkan genotipe peka Godek dan Slamet hanya mencapai cm 2 dan cm 2. Peningkatan luas daun spesifik tertinggi terjadi pada genotipe toleran Ceneng (161% kontrol) diikuti Pangrango (135% kontrol), sedangkan genotipe peka Godek dan Slamet hanya mencapai 132% dan 151% kontrol tetapi perbedaan peningkatan tersebut tidak berbeda nyata. Luas daun spesifik tertinggi terdapat pada genotipe toleran Ceneng ( cm 2 ) sedangkan terendah terdapat pada genotipe peka Godek ( cm 2 ). Luas daun trifoliat tertinggi dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya juga ditemukan pada genotipe toleran Ceneng (25.96 cm 2 = 118% kontrol). Berdasarkan hasil analisis di atas dapat diduga bahwa tanaman kedelai merespon intensitas cahaya rendah dengan cara : (1) mengurangi : luas daun total, jumlah daun, dan berat kering daun, serta (2) meningkatkan : luas daun trifoliat dan spesifik. Kondisi demikian merupakan salah satu mekanisme untuk

66 47 meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya, sekaligus memelihara keseimbangan penggunaan fotosintat (Taiz dan Zeiger 2002). Kemampuan yang tinggi dalam mengurangi luas daun total serta meningkatkan luas daun spesifik dan trifoliat ditemukan pada kedelai toleran, terutama Ceneng. Indikasi seperti ini juga dilaporkan oleh Bunce et al. (1977) dalam Patterson (1980), Khumaida (2002), Sopandie et al. (2003), serta Handayani (2003). Meningkatnya luas daun spesifik oleh perlakuan intensitas cahaya 50% sesuai dengan pendapat Logan et al. (1999), Atwell et al. (1999), Awada dan Redmann (2000), serta Evans dan Poorter (2001) bahwa salah satu karakter daun naungan adalah meningkatnya nisbah luas daun terhadap berat daun (spesific leaf area). Luas daun spesifik berbanding terbalik dengan berat daun spesifik (nisbah berat daun terhadap luas daun), karena itu daun yang berkembang dalam intensitas cahaya rendah memiliki berat daun spesifik yang lebih rendah (Allard et al. 1991, Pearcy 1999). Tabel 1 Luas daun beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya 100% (kontrol) dan 50% Peubah IC Genotipe (%) Pangrango Ceneng Godek Slamet Luas Daun a a b b Total (cm 2 ) ab (77) a (85) b (95) b (92) Luas Daun a a a a Spesifik (cm 2 ) a (135) a (161) a (132) a (151) Luas Daun b a ab 17.93ab Trifoliat (cm 2 ) b (116) a (118) b (107) b (110) Keterangan : Nilai rata-rata genotipe dalam intensitasa cahaya yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 95%; angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol Kerapatan Trikoma Kerapatan trikoma berkurang secara nyata oleh perlakuan intensitas cahaya 50%. Dalam intesitas cahaya 50% genotipe toleran Ceneng memiliki trikoma yang lebih sedikit (250.80/cm 2 ) dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya (Tabel 2). Kerapatan trikoma tertinggi terdapat pada genotipe peka Godek (369.00/cm 2 ) dan tidak berbeda nyata dengan genotipe peka Slamet. Penampilan

67 48 kerapatan trikoma pada Ceneng dan Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50% disajikan pada Gambar 12. Tabel 2 Kerapatan trikoma dan stomata serta ketebalan daun dan panjang lapisan palisade beberapa genotipe kedelai pada intensitas cahaya (IC) 100% (kontrol) dan 50% Peubah Genotipe IC Toleran Peka (%) Pangrango Ceneng Godek Slamet Kerapatan c c a b Trikoma (cm 2 ) a (95) c (52) b (35) b (47) Kerapatan a ab a b Stomata (cm 2 ) ab (66) b (68) a (70) ab (76) Tebal Daun b b c a (µm) c (82) bc (76) b (90) a (92) Lapisan c b 9.80 b a Palisade (µm) d (78) 7.48 c (73) 8.48 b (86) a (91) Keterangan : Nilai rata-rata genotipe dalam intensitasa cahaya yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 95%; angka dalam kurung merupakan persentase (dibulatkan) terhadap kontrol Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa intensitas cahaya rendah menyebabkan kerapatan trikoma berkurang. Kondisi demikian sangat menguntungkan tanaman karena jumlah cahaya yang akan direfleksikan akan menjadi sedikit, sehingga daun semakin efisien dalam menangkap cahaya. Kerapatan trikoma pada daun kedelai tergantung genotipe (Rosario et al. 2004) dan intensitas cahaya (Tyas 2006). Genotipe toleran terutama Ceneng memiliki jumlah trikoma paling sedikit, sehingga diduga akan lebih efisien dalam menangkap cahaya yang tersedia dibanding genotipe peka. Hal ini sesuai dengan hipotesis Levitt (1980) bahwa keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang dalam intensitas cahaya rendah adalah mengefisienkan penangkapan cahaya, antara lain dengan cara mengurangi jumlah trikoma. Hipotesis Levitt sejalan dengan penemuan Hale dan Orcutt (1987) dan Atwell et al. (1999) bahwa adanya trikoma akan meningkatkan jumlah cahaya yang direfleksikan. Pada tumbuhan semak gurun pasir, daun dengan kandungan klorofil yang sama memiliki kemampuan yang sangat berbeda dalam mengabsorbsi cahaya oleh karena perbedaan jumlah trikoma; cahaya yang

68 49 diserap oleh daun dengan trikoma yang banyak berkurang 40% dibanding daun tanpa atau trikomanya sedikit (Taiz dan Zeiger 2002). Ceneng 100% (a) 50% 100% Godek (b) 50% Gambar 12 Kerapatan trikoma pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% dan 50% Kerapatan trikoma berubah-ubah sebagai respon atas perlakuan kondisi cahaya periode singkat (Tabel 5). Kerapatan trikoma pada semua kondisi cahaya lebih rendah dibanding cahaya 100%. Cahaya 100% (L 2 = kontrol) menghasilkan trikoma rata-rata /cm 2. Apabila pertumbuhan kedelai diteruskan selama tiga

69 50 hari dalam cahaya 50% (L 3 ) maka kerapatan trikoma menurun menjadi /cm 2 (73% kontrol). Apabila sejak awal tanaman hanya memperoleh cahaya 50% (L 1 ) maka kerapatan trikoma hanya mencapai /cm 2 (67% kontrol). Apabila selama itu tidak ada cahaya (L 0 ) kerapatan trikoma hanya mencapai 97.73/cm 2 (50% kontrol). Kerapatan trikoma pada genotipe Pangrango dan Ceneng mengikuti perubahan on-off cahaya periode singkat. Perubahan tersebut sesuai kondisi cahaya terakhir yang diterima kecuali Godek dan Slamet (Gambar 13). 350 Kerapatan Trikoma (cm -2 ) Pangrango Godek Ceneng Slamet L0 L1 L2 (kontrol) L3 L4 L5 Gambar 13 Kerapatan trikoma pada genotipe Pangrango, Ceneng, Godek, dan Slamet dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat; L 0 = 5 hari tanpa cahaya, L 1 = 5 hari cahaya 50%, L 2 = 5 hari cahaya 100%, L 3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L 4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%, dan L 5 = 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari gelap Pada saat L 4 (on-off cahaya diakhiri dengan cahaya 100%), kerapatan trikoma pada Pangrango dan Ceneng masing-masing dapat mencapai 117% dan 94% kontrol, sedangkan pada Godek dan Slamet masing-masing hanya mencapai 68% dan 66% kontrol. Apabila on-off cahaya diakhiri dengan kondisi gelap (L 5 ), semua genotipe mengurangi trikomanya. Kemampuan tertinggi untuk mengungari kerapatan trikoma terjadi pada genotipe Slamet diikuti Ceneng. Meskipun demikian dalam satuan luas yang sama, Slamet memiliki trikoma terbanyak kedua setelah Godek.

70 51 Kerapatan Stomata Kerapatan stomata berkurang secara nyata oleh perlakuan intensitas cahaya 50% (Tabel 2). Dalam intesitas cahaya 50% genotipe toleran Ceneng memiliki stomata yang lebih sedikit (106.69/cm 2 ) meskipun tidak berbeda nyata dengan Pangrango dan Slamet. Kerapatan stomata tertinggi terdapat pada genotipe peka Godek (125.00/cm 2 ) tetapi tidak berbeda nyata dengan Pangrango (116.24/cm 2 ) dan Slamet (113.85/cm 2 ). Penampilan kerapatan stomata pada Ceneng dan Godek dalam intensitas cahaya 100% dan 50% disajikan pada Gambar 14. Ceneng 100% (a) 50% Godek 100% 50% (b) Gambar 14 Kerapatan stomata pada genotipe toleran Ceneng (a) dan genotipe peka Godek (b) dalam intensitas cahaya 100% dan 50%

71 52 Data pada Tabel 2, menunjukkan bahwa pembentukan stomata dikendalikan oleh faktor keturunan (genetik) dan berbagai faktor lingkungan antara lain intensitas cahaya (Willmer 1983). Selain itu, secara genetik suatu genotipe mungkin memiliki jumlah stomata yang telah tertentu, tetapi dengan meningkatnya luas daun maka jumlah stomata per satuan luas menjadi berkurang. Fahn (1995) dalam percobaannya menggunakan intensitas cahaya yang berbeda pada daun Iris sp. memperlihatkan bahwa jumlah stomata berkurang dengan menurunnya intensitas cahaya. Allard et al. (1991) dalam penelitiannya menggunakan Tall fescue juga menemukan bahwa perlakuan radiasi rendah menyebabkan penurunan kerapatan stomata pada kedua permukaan daun dan pengaruh paling kuat adalah terhadap kerapatan stomata pada epidermis abaksial. Tabel 3 Kerapatan trikoma dan stomata (cm 2 ) serta ketebalan daun dan panjang lapisan palisade (µm) beberapa genotipe kedelai pada berbagai kondisi cahaya periode singkat Kondisi Cahaya Genotipe L2 L0 L1 (kontrol) L3 L4 L5 Kerapatan Trikoma (cm 2 ) Pangrango (65) (89) (93) (117) (82) Ceneng (47) (66) (56) (94) (75) Godek (51) (72) (79) (68) (97) Slamet (54) (53) (68) (66) (69) Rata-rata (54) (67) (73) (81) (80) Kerapatan Stomata (cm 2 ) Pangrango (37) (44) (45) (26) Ceneng (41) (44) (52) (47) Godek (92) (101) (65) (64) Slamet (87) (86) (50) (53) Rata-rata (63) (68) (53) (47) Ketebalan Daun (µm) Ceneng 15.7 (66) 19.2 (81) (74) 20.0 (84) 23.4 (99) Godek 13.9 (60) 12.9 (56) (75) 17.3 (75) 14.7 (64) Panjang Lapisan Palisade (µm) Ceneng 4.4 (39) 7.0 (63) (84) 10.2 (91) 11.5 (102) Godek 4.8 (38) 3.6 (28) (64) 6.2 (50) 6.5 (52) Keterangan : Angka dalam kurung = persentase (dibulatkan) terhadap kontrol; L 0 = 5 hari tanpa cahaya, L 1 = 5 hari cahaya 50%, L 2 = 5 hari cahaya 100%, L 3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L 4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%, dan L 5 = 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari gelap

72 53 Penurunan kerapatan stomata pada intensitas cahaya 50% mungkin disebabkan juga oleh suhu pada tempat ternaungi lebih rendah dan kelembaban lebih tinggi. Dalam kondisi demikian, laju transpirasi akan lebih rendah sehingga tanaman mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan kerapatan stomata (Logan et al. 1999). Perubahan kerapatan stomata dalam berbagai kondisi cahaya periode singkat disajika pada Gambar 15. Perubahan kerapatan stomata pada genotipe Godek tidak mengikuti pola perubahan cahaya, karena pada saat L 3 (pencahayaan berakhir dengan cahaya 50%) kerapatan stomata lebih tinggi dari kontrol (L 2 ); demikian pula Slamet, pada saat L 5 (pencahayaan berakhir dengan gelap) kerapatan stomata lebih tinggi dibanding L 4 (pencahayaan berakhir dengan cahaya 100%). Perubahan kerapatan stomata pada genotipe Ceneng dan Pangrango mengkitu pola perubahan intensitas cahaya. Pada saat intensitas cahaya rendah kerapatan stomata menurun dan meningkat saat intensitas cahaya tinggi. 500 Kerapatan Stomata (cm -2 ) Pangrango Ceneng Godek Slamet L1 L2 (kontrol) L3 L4 L5 Gambar 15 Kerapatan stomata pada genotipe Pangrango, Ceneng, Godek, dan Slamet dalam berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat; L 0 = 5 hari tanpa cahaya, L 1 = 5 hari cahaya 50%, L 2 = 5 hari cahaya 100%, L 3 = 5 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50 %, L 4 = 3 hari cahaya 100% + 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100%, dan L 5 = 3 hari cahaya 50% + 2 hari cahaya 100% + 3 hari gelap Ketebalan Daun dan Panjang Lapisan Palisade Intensitas cahaya 50% menyebabkan daun menjadi lebih tipis dan palisade menjadi lebih pendek. Dalam intesitas cahaya 50%, genotipe toleran Pangrango

73 54 memiliki daun yang lebih tipis dan palisade yang lebih pendek tetapi tidak berbeda nyata dengan Ceneng (Tabel 2). Meskipun demikian, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengurangi ketebalan daun dan lapisan palisade. Penampilan tebal daun dan lapisan palisade genotipe kedelai yang diuji dalam intensitas cahaya 100% dan 50% disajikan dalam Gambar 16. Data di atas sesuai dengan penjelasan Lee et al. (2000) bahwa intensitas cahaya rendah pada umumnya mempengaruhi perkembangan daun melalui perubahan ukuran dan ketebalannya. Perkembangan daun pada intensitas cahaya tinggi lebih didominasi oleh peningkatan jumlah sel daripada peningkatan ukuran sel sehingga daun menjadi tebal, sedangkan pada intensitas cahaya rendah peningkatan jumlah sel terhambat sehingga daun menjadi tipis (Atwell et al. 1999). Tipisnya daun-daun yang terekspose pada intensitas cahaya rendah telah dilaporkan pada berbagai jenis tanaman (Levitt 1980, Hale dan Orcutt 1987, Taiz dan Zeiger 2002, Allard et al. 1991, Bolhar-Nordenkampf dan Draxler 1993, Salisbury dan Ross 1992, Atwell et al. 1999, Logan et al. 1999, Feild 2001, Feng et al. 2004) termasuk pada tanaman kedelai (Bunce et al dalam Patterson 1980, Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003, Handayani 2003, Tyas 2006). Daun yang tipis memungkinkan kloroplas terorientasi pada bidang permukaan sehingga efisiensi penangkapan cahaya meningkat (June 2005a, Tyas 2006) dan pada gilirannya meningkatkan laju fotosintesis (Oguchi et al. 2003). Selain itu, daun yang tipis akan mengefisienkan penggunaan metabolit (Hale dan Orcutt 1980) sehingga diharapkan produk akhir tanaman masih relatif tinggi. Pengurangan ketebalan daun berkaitan langsung dengan panjang dan susunan palisade; semakin panjang sel palisade atau bila palisade terdiri atas beberapa lapis sel, daun semakin tebal. Pada intensitas cahaya tinggi sel-sel palisade lebih panjang dan tersusun atas dua atau tiga lapisan, sedangkan pada intensitas cahaya rendah, palisade lebih pendek dan pada umumnya terdiri dari hanya satu lapis (Taiz dan Zeiger 2002, Salisbury dan Ross 1992, Logan et al. 1999). Palisade yang pendek dan/atau hanya terdiri dari satu lapis merupakan suatu modifikasi yang paling baik terkait rendahnya intensitas cahaya, sebab dengan demikian kloroplas akan lebih terkonsentrasi ke permukaan adaksial daun sehingga penangkapan cahaya akan lebih efisien. Selain itu, sintesis palisade yang

74 55 Ceneng Intensitas Cahaya 100% Pangrango Lapisan palisade 10 µm 10 µm Ceneng Intensitas Cahaya 50% Pangrango Tebal Daun 10 µm 10 µm Godek Intensitas Cahaya 100% Slamet 10 µm Godek Intensitas Cahaya 50% Slamet Tebal Daun Lapisan palisade Gambar 16 Ketebalan daun dan lapisan palisade pada genotype toleran Pangrango dan Ceneng serta genotype peka Godek dan Slamet yang ditumbuhkan dalam intensitas cahaya 100% dan 50%

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan sumber protein terpenting di Indonesia. Kandungan protein kedelai sangat tinggi, sekitar 35%-40%, persentase tertinggi dari seluruh

Lebih terperinci

MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA

MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

yang dapat ditangkap lebih tinggi karena selain bidang tangkapan lebih besar, jumlah cahaya yang direfleksikan juga sedikit. Peningkatan luas daun

yang dapat ditangkap lebih tinggi karena selain bidang tangkapan lebih besar, jumlah cahaya yang direfleksikan juga sedikit. Peningkatan luas daun PEMBAHASAN UMUM Tanaman kedelai (Glycine max (L) Merrill) termasuk kelompok tanaman C-3 yang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan cahaya penuh (McNellis dan Deng 1995). Namun dalam pertanian

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) adalah salah satu tanaman sumber pangan penting di Indonesia. Beberapa makanan populer di Indonesia seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia karena merupakan salah satu jenis sayuran buah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Morfologi tanaman kedelai ditentukan oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji. Akar kedelai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kedelai merupakan tanaman hari pendek dan memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Penurunan radiasi matahari selama 5 hari atau pada stadium pertumbuhan akan mempengaruhi

Lebih terperinci

RESPON FOTOSINTESIS DAN RESPIRASI PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH

RESPON FOTOSINTESIS DAN RESPIRASI PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH Bimafika, 2012, 3, 332-34025 RESPON FOTOSINTESIS DAN RESPIRASI PADA KEDELAI TOLERAN DAN PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH La Muhuria Staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Darussalam Ambon Diterima

Lebih terperinci

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi 87 PEMBAHASAN UMUM Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan dapat memperluas areal tanam kedelai sehingga memacu peningkatan produksi kedelai nasional. Kendala yang dihadapi dalam

Lebih terperinci

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN Hoya diversifolia Blume SINTHO WAHYUNING ARDIE

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN Hoya diversifolia Blume SINTHO WAHYUNING ARDIE PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN Hoya diversifolia Blume SINTHO WAHYUNING ARDIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan. Shading Tolerance in Upland Rice

Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan. Shading Tolerance in Upland Rice Hayari. Juni 2003, hlrn. 7 1-75 ISSN 0854-8587 Vol. 10. No. 2 Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan Shading Tolerance in Upland Rice DIDY SOPANDIE 1 *, MUHAMMAD AHMAD CHOZIN', SARSIDI SASTROSUMARJO', TIT1

Lebih terperinci

METABOLISME 2. Respirasi Sel Fotosintesis

METABOLISME 2. Respirasi Sel Fotosintesis METABOLISME 2 Respirasi Sel Fotosintesis Jalur Respirasi Aerobik dan Anaerobik Rantai respirasi Fotosintesis Fotosintesis merupakan proses sintesis molekul organik dengan menggunakan bantuan energi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Reaksi Terang O 2. Gambar 1 Gambaran umum fotosintesis: kerjasama reaksi terang dan siklus Calvin (Campbell et al. 2002).

TINJAUAN PUSTAKA. Reaksi Terang O 2. Gambar 1 Gambaran umum fotosintesis: kerjasama reaksi terang dan siklus Calvin (Campbell et al. 2002). TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik yang paling penting pada tumbuhan adalah kemampuannya untuk memanen energi dari matahari yang digunakan untuk mengubah CO 2 udara menjadi molekul organik yang lebih komplek.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap,

Lebih terperinci

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata Satu (S1) Program Studi Agronomi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sub-famili : Papilionoidae. Sub-genus : Soja

TINJAUAN PUSTAKA. Sub-famili : Papilionoidae. Sub-genus : Soja TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai diduga berasal dari daratan pusat dan utara Cina atau kawasan subtropis. Kedelai termasuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan

PENDAHULUAN. Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang tanah adalah komoditas agrobisnis yang bernilai ekonomi cukup tinggi dan merupakan salah satu sumber protein dalam pola pangan penduduk Indonesia. Kebutuhan kacang tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyediaan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional masih merupakan problema yang perlu diatasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : pertambahan

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI OLEH MIRZAH FIKRIATI A24053678 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV: FOTOSINTESIS. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PERTEMUAN IV: FOTOSINTESIS. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 PERTEMUAN IV: FOTOSINTESIS Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 FOTOSINTESIS Pokok Bahasan: Peran Tumbuhan dan Fotosintesis Tumbuhan sebagai produser Tempat terjadinya Fotosintesis Pemecahan air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber utama

Lebih terperinci

FOTOSINTESIS. Pengertian Fotosintesis

FOTOSINTESIS. Pengertian Fotosintesis FOTOSINTESIS Pengertian Fotosintesis Fotosintesis merupakan proses yang dilakukan oleh organisme autotrof, dengan menggunakan energi dari cahaya matahari yang diserap oleh klorofil untuk membuat bahan

Lebih terperinci

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRACT DESTA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan penelusuran studi pustaka dan percobaan. Penelusuran studi pustaka dimulai bulan April 2010 sampai dengan Juni 2011. Percobaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi terutama proteinnya (35-38%) hampir mendekati protein

Lebih terperinci

MEKANISME ADAPTASI KEDELAI [Glycine max (L) Merrill] TERHADAP CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH

MEKANISME ADAPTASI KEDELAI [Glycine max (L) Merrill] TERHADAP CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH MEKANISME ADAPTASI KEDELAI [Glycine max (L) Merrill] TERHADAP CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH AKHMAD JUFRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 2006 2 ABSTRAK AKHMAD JUFRI. Mekanisme

Lebih terperinci

Fotosintesis menghasilkan O 2

Fotosintesis menghasilkan O 2 Cahaya Faktor esensial pertumbuhan dan perkembangan tanaman Cahaya memegang peranan penting dalam proses fisiologis tanaman, terutama fotosintesis, respirasi, dan transpirasi Fotosintesis : sebagai sumber

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi 12 TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi Ratun tanaman padi merupakan tunas yang tumbuh dari tunggul batang yang telah dipanen dan menghasilkan anakan baru hingga dapat dipanen (Krishnamurthy 1988). Praktek

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai Oktober 2007 di kebun percobaan Cikabayan. Analisis klorofil dilakukan di laboratorium Research Group on Crop Improvement

Lebih terperinci

luar yang mempengaruhi laju fotosintesis dan peranannya masing-masing 2. Mahasiswa mengetahui dan dapat menjelaskan faktorfaktor

luar yang mempengaruhi laju fotosintesis dan peranannya masing-masing 2. Mahasiswa mengetahui dan dapat menjelaskan faktorfaktor Pertemuan : Minggu ke 5 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Faktor-faktor yang mempengaruhi laju fotosintesis Sub pokok bahasan : 1. Faktor-faktor dan dalam tubuh tumbuhan 2. Faktor-faktor dan lingkungan

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Anatomi Daun Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA. Anatomi Daun Kedelai TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Daun Kedelai Daun mempunyai dua permukaan, permukaan yang menghadap ke atas (adaksial) dan permukaan yang menghadap ke bawah (abaksial). Susunan anatomi daun tanaman C3 disajikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRACT DESTA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kacang Hijau Kacang hijau termasuk dalam keluarga Leguminosae. Klasifikasi botani tanman kacang hijau sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, jagung dijadikan sebagai

Lebih terperinci

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH :

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : DINI RIZKITA PULUNGAN 110301079 / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Objek yang digunakan pada penelitian adalah tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus, Lour), tanaman ini biasa tumbuh di bawah pepohonan dengan intensitas cahaya yang

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) VARIETAS BALURAN AKIBAT IRRADIASI SINAR GAMMA ( 60 Co) DAN KONDISI CEKAMAN LENGAS

PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) VARIETAS BALURAN AKIBAT IRRADIASI SINAR GAMMA ( 60 Co) DAN KONDISI CEKAMAN LENGAS PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) VARIETAS BALURAN AKIBAT IRRADIASI SINAR GAMMA ( 60 Co) DAN KONDISI CEKAMAN LENGAS SKRIPSI diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

FOTOSINTESIS. Fotosintesis 1

FOTOSINTESIS. Fotosintesis 1 FOTOSINTESIS Fotosintesis 1 CAKUPAN MATERI Peran Fotosintesis Sejarah Fotosintesis Tempat terjadinya Fotosintesis Reaksi-reksi Fotosintesis Reaksi Terang Reaksi Gelap Tumbuhan C3, C4 dan CAM Fotosintesis

Lebih terperinci

). Produksi asiatikosida dari Casi 016 pada naungan 25% nyata lebih tinggi (1.84 g m -2 ) daripada aksesi lokal (Casi 013); sedangkan pada naungan

). Produksi asiatikosida dari Casi 016 pada naungan 25% nyata lebih tinggi (1.84 g m -2 ) daripada aksesi lokal (Casi 013); sedangkan pada naungan 120 PEMBAHASAN UMUM Asiatikosida merupakan salah satu kandungan kimia pada pegagan yang memiliki aktivitas biologis. Pegagan dikenal aman dan efektif untuk mengobati berbagai macam penyakit, tumbuhan ini

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Tim Dosen : Dr.H.Saefudin, M.Si Drs.Amprasto,M.Si

Tim Dosen : Dr.H.Saefudin, M.Si Drs.Amprasto,M.Si Tim Dosen : Dr.H.Saefudin, M.Si Drs.Amprasto,M.Si Tujuan Perkuliahan Memiliki pemahaman tentang konsep dan prinsip ekofisiologi, Menerapkan prinsip-prinsip ekofisiologi baik pada tumbuhan maupun hewan.

Lebih terperinci

Uraian Materi Anda suka makan ubi atau kentang rebus? Ubi jalar dan kentang sama-sama mengandung karbohidrat dalam bentuk amilum.

Uraian Materi Anda suka makan ubi atau kentang rebus? Ubi jalar dan kentang sama-sama mengandung karbohidrat dalam bentuk amilum. Uraian Materi Anda suka makan ubi atau kentang rebus? Ubi jalar dan kentang sama-sama mengandung karbohidrat dalam bentuk amilum. Dari manakah asal kandungan amilum pada ubi jalar dan kentang? Amilum yang

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

SELEKSI DUA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) PADA TANAH SALIN

SELEKSI DUA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) PADA TANAH SALIN SELEKSI DUA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) PADA TANAH SALIN SKRIPSI Oleh: RICHA SILVIA 070307013 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A24052710 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan

Lebih terperinci

FOTOSINTESIS & LINGKUNGAN

FOTOSINTESIS & LINGKUNGAN FOTOSINTESIS & LINGKUNGAN 6CO 2 + 12H 2 O C 6 H 12 O 6 + 6O 2 + 6H 2 O Sumber Carbon Dioxide: CO 2 masuk ke dalam daun lewat stomata melalui proses diffusi (Passive Process) Larut dalam air tanaman menjadi

Lebih terperinci

Study of Physiology Photosintetic Characteristics of soybean plants tolerant to shade

Study of Physiology Photosintetic Characteristics of soybean plants tolerant to shade Marheni, Hasanuddin, Pinde dan Wirda Suziani: Uji patogenesis Jamur Metarhizium anisopliae dan Jamur Cordyceps militaris Terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit Studi Karakteristik Fisiologi Fotosintetik

Lebih terperinci

Karakter Morfofisiologi Daun dan Hasil Kedelai ( Glycine max L. Merill) Varietas Petek dan Varietas Jayawijaya pada Naungan

Karakter Morfofisiologi Daun dan Hasil Kedelai ( Glycine max L. Merill) Varietas Petek dan Varietas Jayawijaya pada Naungan Karakter Morfofisiologi Daun dan Hasil Kedelai ( Glycine max L. Merill) Varietas Petek dan Varietas Jayawijaya pada Naungan Leaves Morphophysiological Characters and Yield of Soybean (Glycine max L. Merrill)

Lebih terperinci

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : HENDRI SIAHAAN / 060307013 BDP PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI. Oleh Wahyu Kaharjanti A

EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI. Oleh Wahyu Kaharjanti A EVALUASI DAYA HASIL 11 HIBRIDA CABAI BESAR IPB DI BOYOLALI Oleh Wahyu Kaharjanti A34404014 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 EVALUASI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN

BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang parameter genetik

Lebih terperinci

Vol 1 No. 3 Juli September 2012 ISSN:

Vol 1 No. 3 Juli September 2012 ISSN: PENGRUH NUNGN TERHDP KNDUNGN KLOROFIL DUN DN HSIL DU VRIETS TNMN KEDELI (Glycine max L. Merill) (The Effect of Shade on Chlorophyll Content and the Yield of Two Soybean Varietes (Glycine max L. Merill))

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia pada saat ini sedang menghadapi beberapa masalah dalam menjaga ketahanan pangan untuk masa yang akan datang. Seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia sedang

Lebih terperinci

STAF LAB. ILMU TANAMAN

STAF LAB. ILMU TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN CAHAYA Faktor esensial pertumbuhan dan perkembangan tanaman Cahaya memegang peranan penting dalam proses fisiologis tanaman, terutama fotosintesis, respirasi, dan transpirasi Fotosintesis

Lebih terperinci

PERANAN JUMLAH BIJI/POLONG PADA POTENSI HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) F6 PERSILANGAN VARIETAS ARGOMULYO DENGAN BRAWIJAYA

PERANAN JUMLAH BIJI/POLONG PADA POTENSI HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) F6 PERSILANGAN VARIETAS ARGOMULYO DENGAN BRAWIJAYA PERANAN JUMLAH BIJI/POLONG PADA POTENSI HASIL KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) F6 PERSILANGAN VARIETAS ARGOMULYO DENGAN BRAWIJAYA (Role The Number of Seeds/Pod to Yield Potential of F6 Phenotype Soybean

Lebih terperinci

ENERGI DAN PRODUKSI PERTANIAN BAHAN KULIAH DASAR AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN IPB

ENERGI DAN PRODUKSI PERTANIAN BAHAN KULIAH DASAR AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN IPB ENERGI DAN PRODUKSI PERTANIAN BAHAN KULIAH DASAR AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN IPB 1 LINGKUP BAHASAN DAN TUJUAN Lingkup bahasan Dipelajari konsep energi dalam pertanian, ekologi produksi, biomassa, keefisienan

Lebih terperinci

pertumbuhan, produksi biomasa dan produksi bioaktif, sedangkan pemupukan meningkatkan produksi biomasa dan bioaktif melalui peningkatan serapan hara

pertumbuhan, produksi biomasa dan produksi bioaktif, sedangkan pemupukan meningkatkan produksi biomasa dan bioaktif melalui peningkatan serapan hara 135 PEMBAHASAN UMUM Antosianin dan kuersetin adalah bahan bioaktif dari golongan senyawa flavonoid yang telah digunakan sebagai anti kanker pada manusia (Lamson et al. 2000, Katsube et al. 2003, Zhang

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul 147 PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul Karakter morfologi tanaman pada varietas unggul dicirikan tipe tanaman yang baik. Hasil penelitian menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letak lintang 55º U atau 55º S dan pada ketinggian sampai 2000 m di atas

BAB I PENDAHULUAN. letak lintang 55º U atau 55º S dan pada ketinggian sampai 2000 m di atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (G. max L.) dapat dibudidayakan di daerah katulistiwa sampai letak lintang 55º U atau 55º S dan pada ketinggian sampai 2000 m di atas permukaan laut. Suhu di

Lebih terperinci

STUDI KARAKTER FISIOLOGI DAN ANATOMI SAMBUNG NYAWA (Gyanura procumbens (L) Merr.) YANG DIPAPAR DENGAN SINAR UV-B

STUDI KARAKTER FISIOLOGI DAN ANATOMI SAMBUNG NYAWA (Gyanura procumbens (L) Merr.) YANG DIPAPAR DENGAN SINAR UV-B STUDI KARAKTER FISIOLOGI DAN ANATOMI SAMBUNG NYAWA (Gyanura procumbens (L) Merr.) YANG DIPAPAR DENGAN SINAR UV-B OLEH BHASKORO DWI WIDHIANTO A24052444 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil protein nabati yang sangat penting, baik karena kandungan gizinya, aman dikonsumsi, maupun harganya yang

Lebih terperinci

Keragaan Fenotipik Kedelai pada Dua Kondisi Intensitas Cahaya Ekstrim

Keragaan Fenotipik Kedelai pada Dua Kondisi Intensitas Cahaya Ekstrim AGROTROP, VOL. 4 (1): 83-87 4, NO. (2014) 1 (2014) ISSN: 2088-155X C Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar Bali - Indonesia Keragaan Fenotipik Kedelai pada Dua Kondisi Intensitas Cahaya Ekstrim

Lebih terperinci

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis (Fisiologi Tumbuhan) Disusun oleh J U W I L D A 06091009027 Kelompok 6 Dosen Pembimbing : Dra. Tasmania Puspita, M.Si. Dra. Rahmi Susanti, M.Si. Ermayanti,

Lebih terperinci

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN SEBARAN NORMAL KARAKTER-KARAKTER PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HASIL PERSILANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril) VARIETAS ANJASMORO DENGAN GENOTIPA KEDELAI TAHAN SALIN PADA F2 SKRIPSI OLEH : NARWIYAN

Lebih terperinci

Evaluasi dan Seleksi Varietas Tanaman Kedelai Terhadap Naungan dan Intensitas Cahaya Rendah 1)

Evaluasi dan Seleksi Varietas Tanaman Kedelai Terhadap Naungan dan Intensitas Cahaya Rendah 1) Evaluasi dan Seleksi Varietas Tanaman Kedelai Terhadap Naungan dan Intensitas Cahaya Rendah 1) (Selection and Evaluation of Soybean to Shade and Low Intensity of Light) Nerty Soverda 2, Evita 2 dan Gusniwati

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A34103038 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN 8.1. Fotosintesis Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo 3 TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering. Lahan kering yang digunakan untuk tanaman padi gogo rata-rata lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman. Tanaman padi

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein nabati yang penting mengingat kualitas asam aminonya yang tinggi, seimbang dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan. giling (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2015).

I. PENDAHULUAN. Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan. giling (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2015). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap komoditas beras sebagai bahan pangan utama cenderung terus meningkat setiap

Lebih terperinci

124 tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH ,

124 tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH , PEMBAHASAN UMUM Di Indonesia, kondisi lahan untuk pengembangan tanaman sebagian besar merupakan lahan marjinal yang kering dan bersifat masam. Kendala utama pengembangan tanaman pada tanah masam adalah

Lebih terperinci

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juni 2011 dalam kondisi terkontrol di rumah plastik. Penyiraman dilakukan secara manual untuk menggantikan kehilangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

Adaptasi Tanaman Kedelai Terhadap Intensitas Cahaya Rendah : Karakter Daun untuk Efisiensi Penangkapan Cahaya

Adaptasi Tanaman Kedelai Terhadap Intensitas Cahaya Rendah : Karakter Daun untuk Efisiensi Penangkapan Cahaya Adaptasi Tanaman Kedelai Terhadap Intensitas Cahaya Rendah : Karakter Daun untuk Efisiensi Penangkapan Cahaya Soybean Adaptation to Low Light Intensity: Leaf Characters for the Light Capture Efficiency

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil protein dan lemak nabati yang cukup penting untuk memenuhi nutrisi tubuh manusia. Bagi industri

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi nasional mencapai 68.061.715 ton/tahun masih belum mencukupi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman tomat memiliki daerah penyebaran yang cukup luas, mulai dataran tinggi sampai dataran rendah. Data dari BPS menunjukkan rata-rata pertumbuhan luas panen, produktivitas,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton. Namun, pada tahun 2010 produksi kedelai nasional mengalami penurunan menjadi 907.031

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun belum dibarengi dengan program operasional yang memadai. Melalui program revitalisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung yang merupakan sumber protein utama bagi masyarakat. Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu tanaman pangan yang sudah lama dikenal oleh

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu tanaman pangan yang sudah lama dikenal oleh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sorgum merupakan salah satu tanaman pangan yang sudah lama dikenal oleh petani Indonesia khususnya di daerah Jawa, NTB dan NTT. Pada setiap daerah tanaman

Lebih terperinci

KARAKTER MORFOLOGI DAN HASIL BEBERAPA GENOTIPE KEDELAI (Glycine Max (L.) Merill) PADA LINGKUNGAN TERNAUNGI

KARAKTER MORFOLOGI DAN HASIL BEBERAPA GENOTIPE KEDELAI (Glycine Max (L.) Merill) PADA LINGKUNGAN TERNAUNGI KARAKTER MORFOLOGI DAN HASIL BEBERAPA GENOTIPE KEDELAI (Glycine Max (L.) Merill) PADA LINGKUNGAN TERNAUNGI Morphological characters and result of some soybean genotypes (Glycine Max (L.) Merill in the

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan strategis ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Sejalan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan dari famili Leguminosae yang berumur pendek. Secara

Lebih terperinci