PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS"

Transkripsi

1 PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 ABSTRACT DESTA WIRNAS. Selection Character for Low-Light Tolerance in Soybean Based on Biometric and Molecular Analysis under the direction of Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas and Sobir. Soybean is a high value commodity because it is the primary source of protein for the people of Indonesia. The increase of the domestic soybean production is important to fulfill soybean consumption. The increase of the domestic production could be reached by extensification of harvesting area and improvement of productivity. One of the alternatives for extensification of soybean production is growing soybean as intercrop with estate crops. The main problem in growing soybean as intercrop with estate crops is low light intensity. The problem of low light intensity in the intercropping of soybean with estate crops should be overcome by developing tolerant soybean varieties. Developing tolerant soybean varieties to low light intensity needs genetic markers as spesific selection criteria or marker assisted selection. The objective of this study was to develop selection criteria for low light intensity tolerance in soybean based on quantitative and molecular analysis. Quantitative analysis was conducted to estimate the inheritance pattern of agronomic traits under low light intensity which was conducted in a diallel matting design; whereas, the molecular analysis was conducted to identify RAPD markers linked to QTL related to agronomic traits under low-light intensity condition. Four parental lines were used in the diallel crossing, namely, Ceneng, Godek (tolerant parents), Slamet and Pangrango (sensitive parents). The genetic materials used in the QTL analysis based on RAPD markers were Ceneng, Godek and F6 Recombinant Inbred Lines derived from the hybridization between Ceneng and Godek. The diallel analysis revealed that the additive-dominant gene action was sufficient to explain the variability of agronomic traits of soybean under low light intensity condition except for the number of total pod per plant. The allelic interaction for plant height, number of productive branch, number of total node and number of filled pod was over dominance; whereas, number of unfilled pod, number of total pod, percentage of filled fod and seed weight were controlled by partialdominant gene action. The broad-sense heritabilities were high for all of the traits ( ); whereas, narrow sense heritabilities were high for the number of unfilled pod, percentage of filled fod and seed weight. The results suggested that seed weight is the selection criteria for yield improvement of soybean under low light intensity condition. The results of molecular analysis show that 9 primers were polymorphic and linked to the tolerant parent (Ceneng). The Primers only produced 14 RAPD markers which were polymorphic and linked to the tolerant parent. The markers are distributed into a linkage group containing seven markers. RAPD markers (OPE15-800, OPM20-800) is linked to two QTLs controlling number of productive node and seed weight, respectively. The Marker linked to QTL controlling seed weight could be used in a marker assisted selection for tolerant soybean lines to low light intensity. Key words: soybean, low-light intensity tolerance, heritability, QTL, RAPD

3 ABSTRAK DESTA WIRNAS. Pemilihan Karakter Seleksi Berdasarkan Analisis Biometrik dan Molekuler untuk Merakit Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah. Dibimbing oleh Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas dan Sobir. Kedelai adalah komoditi yang bernilai ekonomi tinggi karena merupakan sumber utama protein nabati bagi bangsa Indonesia. Peningkatan produksi kedelai sangat penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional melalui perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas. Perluasan areal panen dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan ( kondisi intensitas cahaya rendah). Kendala utama budidaya kedelai di bawah tegakan adalah berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman sehingga perlu tersedia varietas yang adaptif dan berdaya hasil tinggi dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Tujuan penelitian ini adalah memilih karakter seleksi bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah melalui analisis kuantitatif dan molekuler. Analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan analisis dialel yang bertujuan untuk mengetahui pola pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang digunakan dalam analisis dialel adalah empat tetua yaitu Ceneng dan Pangrango (tetua toleran) serta Slamet dan Godek (tetua peka), dan F1 hasil persilangan di antara keempat tetua. Analisis molekuler dilakukan melalui analisis QTL yang bertujuan untuk mendapatkan marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang digunakan dalam analisis QTL adalah Ceneng, Godek dan rekombinant inbreed lines generasi F6 hasil persilangan kedua tetua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model genetik aditif-dominan mampu menjelaskan keragaman karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah kecuali karakter jumlah polong total. Ragam aditif berpengaruh nyata untuk karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil sedangkan ragam dominan berpengaruh nyata untuk semua karakter yang diamati. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk semua karakter yaitu berkisar antara %, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi hanya pada karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil Berdasarkan hasil penelitian ini maka karakter seleksi untuk perbaikan daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah adalah daya hasil. Hasil yang diperoleh dari analisis molekuler adalah 9 primer RAPD yang menghasilkan 14 marka polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Konstruksi peta pautan dibuat dengan menggunakan 14 marka RAPD tersebut menghasilkan satu kelompok pautan yang mengandung tujuh marka. Dalam penelitian ini diperoleh dua QTL yang masing-masing mengendalikan karakter jumlah buku total dan daya hasil. Marka yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter jumlah buku total adalah OPE15-800, sedangkan marka RAPD yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter daya hasil adalah OPM Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan untuk menggunakan marker yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil sebagai alat bantu seleksi bagi kedelai toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Kata kunci: kedelai, intensitas cahaya rendah, heritabilitas, QTL, RAPD

4 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul : PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Semua data dan informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Bogor, 23 Agustus 2007 Desta Wirnas A

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm dan sebagainya

6 PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER BAGI KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH OLEH: DESTA WIRNAS A Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

7 Judul Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Pemilihan Karakter Seleksi Berdasarkan Analisis Biometrik dan Molekuler untuk Merakit Varietas Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah : Desta Wirnas : A Menyetujui: Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr Ketua Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Anggota Dr. Ir. Sobir, MS Anggota Mengetahui: Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MSc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MSc Tanggal ujian: Tanggal lulus:

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kampung Baru, Sumatera Barat pada tanggal 28 Desember 1970 sebagai anak kedua dari pasangan M. Said Pk. Sati dan Rosanah (alm.). Penulis telah menikah dengan Ir. Saiful, MM dan telah dikaruniai tiga orang putra dan putri yaitu Muhammad Hanif Saiful (9 tahun), Ghania Sakira Saiful (5 tahun) dan Hadin Harridhy Saiful (4 tahun). Pendidikan sarjana pertanian di bidang Ilmu dan Teknologi Benih ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun Pada tahun 1996 penulis melanjutkan program master di bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program doktor di bidang Pemuliaan Tanaman penulis peroleh tahun 2003 atas beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional RI. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor sejak 1999 sampai sekarang. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis telah dipublikasikan pada Buletin Agronomi dengan judul Pemilihan Karakter Agronomi untuk Menyusun Indeks Seleksi pada 11 Populasi Kedelai Generasi F6 pada edisi 34 (1):19-24 tahun 2006 dan juga telah dipresentasikan pada Seminar Hasil-Hasil Penelitian Fakultas Pertanian, IPB bulan September 2005 dengan judul Seleksi Secara Simultan Terhadap Hasil Dalam Rangka Mengembangkan Varietas Kedelai Toleran Naungan.

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul Pemilihan Karakter Seleksi Berdasarkan Analisis Biometrik dan Molekuler untuk Merakit Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah telah diselesaikan dalam waktu 20 bulan di bawah bimbingan dan dukungan komisi pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr, Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc dan Dr. Ir. Sobir, MS. Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui beasiswa BPPS tahun dan Hibah Tim Penelitian Pascasarjana tahun serta bantuan biaya penelitian dari L Oreal Indonesia-Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO. Bantuan dan dukungan dari berbagai pihak berupa material maupun non material merupakan karunia Allah SWT kepada Penulis, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada: 1. Tim BPPS, Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti program doktor di IPB 2. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr sebagai Ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc dan Dr. Ir. Sobir, MS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing 3. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr, Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc dan Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bergabung dalam Hibah Tim Penelitian Pascasarjana pada tahun Dr. Yudiwanti sebagai penguji pada saat ujian tertutup serta Dr. Sriani Sutjiprihati dan Dr. Darman M.Arsyad sebagai penguji luar komisi pada saat ujian terbuka 5. L Oreal Indonesia-Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO atas bantuan dana penelitian 6. Yayasan Damandiri, Bank BUKOPIN yang telah memberikan dana bantuan untuk penulisan disertasi

10 7. Kepala dan staf Kebun Percobaan Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik, Cimanggu Bogor 8. Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor serta Kepala dan staf Lab. Molekuler Tanaman khususnya Dr. Nurhaimi, Nani, Nurul dan Yadi 9. Kepala dan staf Lab. RGCI, Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB 10. Rektor IPB yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan doktor di IPB 11. Sekolah Pascasarjana dan PS Agronomi IPB yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa SPs IPB 12. Ketua dan Staf Pengajar Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB atas segala dukungan yang diberikan 13. Staf Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman atas dukungan dan bantuan dana yang diberikan 14. Orang tua dan kerabat penulis yang selalu memberikan motivasi dan do a selama penulis mengikuti program doktor di IPB 15. Suami dan anak-anak tercinta yang telah memberikan cinta, pengertian serta do a dan dukungan selama menyelesaikan pendidikan 16. Teman-teman staf AGH angkatan 2003 (Dini Dinarti, Dewi Sukma dan M. Syukur) atas kebersamaan selama menjalani program S3 di IPB 17. Teman-teman di SPs PS Agronomi khususnya Tim HPTP (La Muhuria, Kisman, Imam Widodo, Ika kartika, Tri Lestari) atas dukungan dan kerjasama selama pelaksaan penelitian 18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu Akhir kata semoga Allah SWT berkenan membalas budi baik Bapak dan Ibu semua. Mudah-mudahan karya ilmiah ini dapat memperkaya keilmuan dan bermanfaat bagi semua. Bogor, 23 Agustus 2007 Desta Wirnas

11 DAFTAR ISI PENDAHULUAN... Error! Bookmark not defined. Latar Belakang... Error! Bookmark not defined. Tujuan... Error! Bookmark not defined. TINJAUAN PUSTAKA... Error! Bookmark not defined. Arah Pengembangan Kedelai... Error! Bookmark not defined. Pertumbuhan dan Produksi Kedelai... Error! Bookmark not defined. Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman... Error! Bookmark not defined. Perakitan Varietas Kedelai Toleran Intensitas Cahaya RendahError! Bookmark not defined. Pembentukan Karakter seleksi... Error! Bookmark not defined. Analisis QTL... Error! Bookmark not defined. PEWARISAN KARAKTER AGRONOMI KEDELAI PADA KONDISI INTENSITAS CAHAYA RENDAH... Error! Bookmark not defined. PENDAHULUAN... Error! Bookmark not defined. Latar Belakang... Error! Bookmark not defined. Tujuan... Error! Bookmark not defined. BAHAN DAN METODE... Error! Bookmark not defined. Waktu dan Tempat Penelitian... Error! Bookmark not defined. Metode... Error! Bookmark not defined. Analisa Data... Error! Bookmark not defined. HASIL DAN PEMBAHASAN... Error! Bookmark not defined. KESIMPULAN DAN SARAN... Error! Bookmark not defined. Kesimpulan... Error! Bookmark not defined. Saran... Error! Bookmark not defined. ANALISIS QTL YANG MENGENDALIKAN KARAKTER AGRONOMI KEDELAI PADA KONDISI INTENSITAS CAHAYA RENDAH... Error! Bookmark not defined. PENDAHULUAN... Error! Bookmark not defined. Latar Belakang... Error! Bookmark not defined. Tujuan... Error! Bookmark not defined. BAHAN DAN METODE... Error! Bookmark not defined. 1. Pembentukan Populasi Pemetaan: Pembentukan RILs F6Error! Bookmark not defined. 2. Analisis Fenotipe Tetua dan RILs F6... Error! Bookmark not defined. 3. Konstruksi Peta Pautan Toleransi terhadap Intensitas Cahaya RendahError! Bookmark not defined. HASIL DAN PEMBAHASAN... Error! Bookmark not defined. 1. Pembentukan RILs F6... Error! Bookmark not defined. 2. Analisis Fenotipe Rils F6 pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Error! Bookmark not defined. 3. Konstruksi Peta Pautan Toleransi terhadap Intensitas Cahaya RendahError! Bookmark not defined. KESIMPULAN DAN SARAN... Error! Bookmark not defined.

12 Kesimpulan... Error! Bookmark not defined. Saran... Error! Bookmark not defined. PEMBAHASAN UMUM... Error! Bookmark not defined. KESIMPULAN DAN SARAN... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN... Error! Bookmark not defined.

13 DAFTAR TABEL No Halaman 1. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not defined. 2. Hasil pengujian kesesuaian model aditif-dominan bagi karakter agronomi kedelai kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 3. Ragam dan peragam array karakter tinggi tanaman saat panen pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 4. Ragam dan peragam array karakter jumlah cabang produktif pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 5. Ragam dan peragam array karakter jumlah buku total pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 6. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 7. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong hampa pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 8. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong total pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 9. Ragam dan peragam array karakter persentase polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 10. Ragam dan peragam array karakter daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 11. Nilai pengaruh ragam aditif, ragam dominan dan rata-rata peragam aditif dan dominan terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 12. Distribusi gen pada tetua dan pengaruh dominansi (h 2 ) terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not defined. 13. Rata-rata derajat dominansi ((H1/D) 0.5 ), proporsi gen yang memberikan efek positif dan negatif dalam tetua (H 2 /4H 1 ), proporsi gen dominan dan

14 resesif dalam tetua (K D /K R ) serta jumlah kelompok gen yang memberikan efek dominansi (h 2 /H 2 )... Error! Bookmark not defined. 14. Nilai heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not defined. 15. Respon seleksi karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 16. Hasil pengukuran efektivitas seleksi untuk daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. 17. Sumber keragaman pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not defined. 18. Keragaan karakter tinggi saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, dan jumlah polong hampa generasi F5 pada kondisi intensitas cahaya penuh... Error! Bookmark not defined. 19. Keragaan karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa, persen polong isi, dan daya hasil Generasi F5 pada kondisi intensitas cahaya penuh... Error! Bookmark not defined. 20. Nilai parameter genetik kedelai generasi F5 hasil persilangan tetua Ceneng dan Godek... Error! Bookmark not defined. 21. Hasil uji nilai tengah antara tetua Ceneng dan GodekError! Bookmark not defined. 22. Uji kenormalan shapiro-wilk untuk populasi F6 hasil persilangan Ceneng dan Godek pada kondisi intenistas cahaya rendaherror! Bookmark not defined. 23. Rekapitulasi analisis sidik ragam pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi kedelai generasi F7 pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not defi 24. Nilai ragam fenotipe, ragam lingkungan, ragam genotipe, dan nilai heritabilitas kedelai generasi F6 pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not d 25. Hasil pengujian DNA tetua Ceneng dan Godek menggunakan spekrofotometer... Error! Bookmark not defined. 26. Acuan penyiapan konsentrasi DNA tetua yang diperlukan dalam seleksi primer... Error! Bookmark not defined. 27. Daftar primer dan marka yang digunakan analisis QTL yang mengendalikan toleransi terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelaierror! Bookmark not d 28. Rekapitulasi hasil seleksi primer... Error! Bookmark not defined. 29. QTL yang terpaut mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined.

15 30. Perbandingan nilai tengah dan nilai diferensial seleksi yang diperoleh dengan menggunakan marker assisted selectionerror! Bookmark not defined. LAMPIRAN No Halaman 1. Daftar primer yang diseleksi untuk mendapatkan primer yang polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran... Error! Bookmark not defined. 2. Hasil pengukuran dengan spektrofotometer DNA RILs F6 kedelai hasil persilangan Ceneng dan Godek... Error! Bookmark not defined.

16 DAFTAR GAMBAR No Halaman Gambar 1. Bagan alir rencana penelitian... Error! Bookmark not defined. Gambar 2. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter tinggi tanaman saat panen pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. Gambar 3. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah cabang total pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not Gambar 4. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah buku total pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not de Gambar 5. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not d Gambar 6. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah polong hampa pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. Gambar 7. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah polong total pada kondisi intensitas cahaya rendaherror! Bookmark not Gambar 8. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter persentase polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. Gambar 9. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter daya hasil per tanama pada kondisi intensitas cahaya rendah... Error! Bookmark not defined. Gambar 10. Grafik sebaran tinggi tanaman saat panen (TSP), jumlah cabang produktif (JCP), jumlah buku total (JBT), jumlah polong isi (JPI) pada kondisi intensitas cahaya rendah. Error! Bookmark not defined. Gambar 11. Grafik sebaran jumlah polong hampa (JPH), jumlah polong total (JPT), persentase polong isi (C_PI), daya hasil (BBT/TAN) pada kondisi intensitas cahaya rendah. Error! Bookmark not defined. Gambar 12. Visualisasi genom tetua dan marker DNA λ 536Error! Bookmark not defined.

17 Gambar 13. Peta pautan tetua Ceneng... Error! Bookmark not defined.

18 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai adalah komoditi yang bernilai ekonomi tinggi karena merupakan sumber utama protein nabati bagi bangsa Indonesia (Nugraha et al. 2002). Permintaan pasar terhadap kedelai terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk yang ditandai dengan peningkatan impor kedelai dari tahun ke tahun (Balitbang Deptan 2005a). Menurut Balitbang Deptan (2005b), konsumsi kedelai tahun 2004 adalah juta ton, sedangkan produksi kedelai nasional hanya juta ton sehingga Indonesia harus impor kedelai sebanyak juta ton. Peningkatan produksi kedelai merupakan langkah strategis yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional melalui perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas. Salah satu alternatif untuk perluasan areal panen adalah dengan memanfaatkan lahan yang ada di bawah tegakan karet yang belum menghasilkan sehingga perlu tersedia varietas adaptif dan berdaya hasil tinggi di bawah tegakan karet. Pengembangan kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet sangat potensial mengingat lahan yang tersedia cukup luas. Menurut Balitbang Deptan (2005a), potensi lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah sebesar 12.1 juta hektar, 3-4 % diantaranya merupakan areal tanaman baru yang belum menghasilkan (TBM) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanaman kedelai dengan pola tumpang sari. Kendala utama budidaya kedelai di bawah tegakan karet adalah berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Pengurangan intensitas cahaya dapat mencapai 75% pada tegakan karet yang berumur 4 tahun. Agar dapat memanfaatkan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan maka diperlukan pengembangan varietas yang mampu tumbuh sehingga dapat berproduksi dengan baik pada kondisi intensitas cahaya rendah (Sopandie et al. 2003a; Sopandie et al. 2003b; Sopandie et al. 2003c). Peningkatan produktivitas merupakan tujuan utama pemuliaan kedelai yang dapat dicapai melalui seleksi untuk perbaikan daya hasil. Menurut Wricke dan Weber (1986), Conner et al. (1998) serta Falconer dan Mackay (1996), seleksi

19 2 untuk perbaikan potensi hasil dapat dilakukan secara langsung terhadap daya hasil atau tidak langsung melalui karakter yang lain. Masalah yang dihadapi dalam pengembangan kedelai untuk toleransi terhadap intensitas cahaya rendah adalah belum ditentukan karakter seleksi yang tepat bagi perbaikan daya hasil kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Penentuan karakter seleksi dapat dilakukan berdasarkan pola pewarisan dari karakter yang ingin diperbaiki. Berdasarkan hasil studi pola pewarisan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya ternyata belum dapat dipastikan karakter seleksi yang tepat bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Hal ini disebabkan oleh hasil studi pola pewarisan berbagai karakter kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukkan hasil yang berbeda-beda, namun terdapat kecenderungan bahwa daya hasil mempunyai nilai heritabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan karakter lainnya (Sopandie et al. 2003c; Handayani 2003; La Muhuria 2007; Kisman 2007). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu maka terdapat peluang untuk menggunakan karakter komponen hasil maupun hasil sebagai karakter seleksi. Menurut Austin (1993), seleksi berdasarkan daya hasil pada lingkungan bercekaman menghadapi kendala karena sulit memisahkan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan daya hasil. Hal ini didukung oleh Tester dan Bacic (2005) serta Ceccareli et al. (2007) bahwa kesulitan seleksi pada kondisi bercekaman adalah adanya interaksi genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Selain itu, seleksi berdasarkan daya hasil untuk perbaikan produktivitas kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah harus dilakukan di lingkungan target. Seleksi untuk perbaikan produktivitas kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah harus dilakukan di bawah tegakan karet atau lingkungan buatan yang menyerupai lingkungan di bawah tegakan yaitu di bawah naungan paranet. Seleksi pada lingkungan target tidak mudah karena sulit mendapatkan lingkungan yang dapat memberikan tingkat dan waktu cekaman yang sesuai. Guna mengatasi kendala seleksi perbaikan produktivitas kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah maka diperlukan pembentukan marka seleksi bagi daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Marka seleksi yang

20 3 diinginkan adalah marka yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan sehingga seleksi tidak perlu dilakukan di bawah naungan paranet atau tegakan karet. Menurut Mohan, et al. (1997) serta Farroq dan Azam (2002), salah satu marka yang dapat dimanfaatkan sebagai marka seleksi adalah marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil. Melalui pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi maka sangat memungkinkan melakukan seleksi secara tidak langsung tanpa dipengaruhi oleh lingkungan dan seleksi tidak perlu dilakukan di lingkungan target. Tujuan umum penelitian ini adalah menentukan karakter seleksi untuk meningkatkan akurasi seleksi sehingga dapat memaksimalkan kemajuan genetik yang diperoleh dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari studi pola pewarisan dan identifikasi marka RAPD yang terpaut dengan toleransi terhadap intensitas cahaya rendah (Gambar 1). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa di antara karakter hasil dan komponen hasil yang dipelajari, ternyata daya hasil dapat digunakan sebagai karakter seleksi bagi perakitan varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah karena daya hasil mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang cukup tinggi. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa daya hasil mempunyai nilai heritabilitas arti luas maupun arti sempit lebih tinggi dibandingkan dengan karakter lainnya. Dalam pengembangan marka seleksi bagi daya hasil tinggi pada kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah diperoleh dua marka RAPD yang terpaut masingmasing dengan QTL yang mengendalikan jumlah buku produktif dan daya hasil. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan pemuliaan yang efisien untuk mengembangkan kedelai toleran intensitas cahaya rendah terutama yang berhubungan dengan kegiatan seleksi. Dengan mengintegrasikan teknik konvensional dengan teknik molekuler maka kegiatan pemuliaan kedelai toleran intensitas cahaya rendah bisa dipercepat. Diharapkan kegiatan pemuliaan untuk perakitan varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah pada masa yang akan datang akan menjadi lebih efisien.

21 4 Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan karakter seleksi yang sesuai bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah sehingga akan memaksimalkan kemajuan genetik yang diperoleh, namun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memperoleh informasi tentang pola pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah 2. Mengidentifikasi QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Genotipe terpilih Ceneng, Godek, Slamet dan Pangrango Ceneng dan Godek Pembentukan F1 diallel lengkap Pembentukan RILs F6 Analisis dialel Analisis QTL Parameter genetik Marka molekuler terpaut QTL Karakter seleksi untuk kedelai toleran intensitas cahaya rendah Gambar 1. Bagan alir rencana penelitian

22 5 TINJAUAN PUSTAKA Arah Pengembangan Kedelai Tujuan pemuliaan adalah meningkatkan nilai ekonomi tanaman melalui peningkatan produktivitas atau kualitas produk yang dihasilkan sehingga menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Seringkali produktivitas tinggi tidak cukup untuk meningkatkan peneriman petani atau konsumen terhadap varietas yang dihasilkan sehingga peningkatan produktivitas harus diikuti dengan peningkatan kualitas seperti komposisi gizi atau bentuk dan warna (Chahal dan Gosal 2003). Prioritas arah pemuliaan kedelai di Indonesia pada masa yang akan datang adalah peningkatan produktivitas tanaman untuk mendukung pengembangan kedelai yang sesuai bagi agroekosistem lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim sedang (Sumarno et al. 2000; Arsyad 2000). Menurut Pinem (2000), pengembangan kedelai diarahkan untuk peningkatan produktivitas lahan beririgasi intensif, lahan kering bereaksi masam, lahan gambut, lahan pasang surut, serta lahan perkebunan rakyat, lahan perkebunan swasta atau BUMN, dan lahan hutan sosial. Menurut Balitbang Deptan (2005b), peningkatan produksi kedelai dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal panen. Peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan pemanfaatan varietas unggul berdaya hasil tinggi terutama diarahkan untuk daerah yang telah menjadi sentra produksi kedelai, tetapi produktivitas masih rendah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Jawa Barat, Lampung, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan. Potensi lahan untuk pengembangan kedelai adalah 1.7 juta hektar berupa lahan sawah, lahan kering, lahan pasang surut, lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan lahan bukaan baru (Balitbang Deptan 2005b. Lahan di bawah tegakan perkebunan yang belum menghasilkan adalah salah satu lahan yang berpotensi untuk perluasan areal tanam kedelai melalui pola tumpangsari (Sopandie et al. 2003c). Menurut Balitbang Deptan (2005a), potensi lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah sebesar 12.1 juta hektar, 3-4 % di antaranya merupakan areal tanaman baru yang belum menghasilkan (TBM) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanaman kedelai dengan pola tumpang sari.

23 6 Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah rendahnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman sehingga mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman. Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan perkebunan perlu didukung oleh ketersediaan varietas yang toleran dan berdaya hasil baik pada kondisi di bawah tegakan tanaman perkebunan (Sopandie et al. 2003c; Sopandie et al. 2006; Sopandie 2006). Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Cahaya matahari mempunyai peran penting dalam proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, menutup dan membukanya stomata, pertumbuhan dan perkembangan, serta perkecambahan tanaman. Ketersediaan cahaya matahari sangat menentukan tingkat produksi tanaman. Tanaman menangkap cahaya matahari yang selanjutnya digunakan dalam proses fotosintesis sehingga intensitas cahaya matahari merupakan salah faktor yang membatasi proses fotosintesis (Levitt 1980; Taiz dan Zeiger 1991; Salisbury dan Ross 1992). Kebutuhan cahaya bagi tanaman kedelai untuk mencapai fotosintesis maksimal adalah berkisar antara kal/cm 2 /menit atau setara dengan kal/cm 2 /hari (Salisbury dan Ross 1992). Nilai rata-rata intensitas cahaya matahari pada areal terbuka adalah kal/cm 2 /hari, sedangkan nilai rata-rata intensitas cahaya matahari di bawah tegakan karet berumur 1, 2, 3 dan 4 tahun masing-masing adalah kal/cm 2 /hari, kal/cm 2 /hari dan kal/cm 2 /hari, dan 38.2 kal/cm 2 /hari (Sopandie et al. 2002). Nilai intensitas cahaya di bawah tegakan karet umur 2 tahun setara dengan intensitas cahaya di bawah naungan paranet 25% dan umur 3 tahun setara dengan intensitas cahaya di bawah paranet 50%, sedangkan umur 4 tahun sudah kurang dari intensitas cahaya di bawah naungan paranet 75% (Chozin et al. 1998; Chozin et al. 1999). Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh intensitas cahaya matahari menunjukkan bahwa penurunan intensitas cahaya mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan penurunan hasil (Daubenmire 1974; Baharsjah 1980; Anderson dan Osmond 1987; Chaturvedi et al. 1996; Chozin et al. 1999). Di alam tanaman

24 7 akan memberikan respon terhadap intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian Baharsjah (1980), Asadi et al. (1997), Elfarisna (2000), Khumaida (2002), Handayani (2003), La Muhuria (2007), dan Kisman (2007) menunjukkan bahwa pada kedelai terjadi perubahan karakter agronomi, morfologi, anatomi, fisiologi, dan molekuler sebagai akibat penurunan intensitas cahaya. Perubahan morfologi dan agronomi kedelai akibat penurunan intensitas cahaya sampai 40% setelah perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, jumlah cabang, diameter batang, jumlah polong, serta hasil biji pada tanaman kedelai. Penurunan intensitas cahaya menjadi 40% sejak pengisian polong menyebabkan penurunan jumlah polong, hasil biji, dan kadar protein kedelai (Baharsjah 1980). Hasil pengujian pada 28 galur kedelai di bawah naungan paranet 33% menunjukkan penurunan daya hasil berkisar antara 2-45% dibandingkan dengan hasil kondisi tanpa naungan atau intensitas cahaya penuh (Asadi et al. 1997). Intensitas cahaya rendah menyebabkan peningkatan tinggi tanaman serta penurunan jumlah cabang, jumlah buku, jumlah polong isi dan daya hasil (Handayani 2003). Sopandie et al (2002) melaporkan bahwa kedelai yang ditanam di bawah naungan paranet 50% mengalami penurunan hasil biji sampai 60% dibandingkan dengan kondisi tanpa naungan (Sopandie et al. 2002, Sopandie et al. 2003c). Perubahan anatomi meliputi peningkatan luas daun, kandungan klorofil a, kandungan klorofil b, namun terjadi penurunan kerapatan trikoma, tebal daun, lapisan palisade dan rasio klorofil a dan b (Elfarisna 2000; Handayani 2003; La Muhuria 2007; Kisman 2007). Perubahan fisiologi meliputi penurunan aktivitas berbagai enzim yang berhubungan dengan fotosintesis seperti ribulaose biphosphate carboxylase/oxygenase (Rubisco), sucrose phosphate synthase (SPS), malatedehydrogenase (MDH), dan asam invertase (AI). Penurunan intensitas cahaya juga mengakibatkan penurunan laju fotosintesis maksimum dan laju transpor elektron maksimum, laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya serta penurunan kandungan sukrosa dan pati (La Muhuria 2007). Perubahan molekuler berhubungan dengan peningkatan ekspresi gen-gen yang mengendalikan fotosíntesis kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Khumaida (2002) telah melaporkan ekspresi gen-gen fotosíntesis seperti gen lhcp

25 8 (light harvesting complex binding protein) dan gen Rubisco meningkat sejalan dengan bertambah lamanya perlakuan naungan meskipun kedua gen ini belum dapat membedakan genotipe toleran dengan genotipe peka terhadap intensitas cahaya rendah. Khumaida (2002) juga melaporkan adanya kandidat gen-gen fotosíntesis pada kedelai seperti gen JJ3, CAB-3, phyb dan ATHB-2. Hasil analisis ekspresi kandidat gen ini yang dilakukan oleh Kisman (2007) menunjukkan bahwa pada genotipe kedelai yang toleran intensitas cahaya rendah, kandidat gen JJ3, phyb dan ATHB-2 terekspresi lebih kuat dibandingkan dengan genotipe peka. Perubahan-perubahan spesifik yang terjadi pada kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah pada berbagai tingkatan merupakan bentuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Secara umum kemampuan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik pada kondisi intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuan tanaman untuk beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah ditentukan oleh kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis pada kondisi defisit cahaya (Sopandie 2006). Menurut Hale dan Orcut (1987), adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah pada dasarnya dilakukan dengan dua cara melalui peningkatan luas daun untuk meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap dan mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Levitt (1980) menyatakan bahwa adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dicapai melalui mekanisme penghindaran (avoidance), berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi yang dilakukan oleh daun guna meningkatkan efisiensi fotosintesis dan mekanisme toleran, berkaitan dengan penurunan titik kompensasi cahaya dan respirasi. Mekanisme penghindaran dilakukan melalui peningkatan luas daun untuk meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap serta mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan refleksikan sehingga jumlah cahaya yang digunakan oleh tanaman untuk melakukan fotosintesis meningkat. Struktur anatomi yang mendukung mekanisme penghindaran adalah kutikula, lapisan lilin dan bulu daun yang kurang berkembang (Levitt 1980).

26 9 Mekanisme toleransi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah berhubungan dengan penurunan laju respirasi dan titik kompensasi cahaya. Titik kompensasi cahaya adalah kondisi yang menunjukkan laju asimilasi CO 2 sama dengan laju evolusi O 2 dalam proses respirasi. Tanaman yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah akan menurunkan titik kompensasi cahaya dan laju respirasi sehingga produk fotosintesis dapat terakumulasi (Levitt 1980). Mekanisme penghindaran pada kedelai merupakan mekanisme untuk meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap meliputi peningkatan luas daun, pengurangan ketebalan daun, pengurangan kepadatan trikoma dan peningkatan kandungan pigmen fotosintesis. Sampai saat ini mekanisme untuk mengurangi cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan belum dilaporkan pada kedelai (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2002; La Muhuria 2007; Kisman 2007). Mekanisme toleransi terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai meliputi peningkatan laju fotosintesis maksimum serta penurunan laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya. Dalam kondisi intensitas cahaya rendah genotipe toleran memiliki laju fotosintesis maksimum lebih tinggi serta laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya lebih rendah. Peningkatan laju fotosintesis serta penurunan laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya ditunjukkan oleh kandungan sukrosa dan pati yang lebih tinggi pada genotipe toleran dibandingkan genotipe dalam kondisi intensitas cahaya rendah (La Muhuria 2007). Berdasarkan hasil studi fisiologi terhadap respon dan mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah sangat memungkinkan melakukan perbaikan daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Perbaikan tanaman untuk meningkatkan produktivitas di lahan marjinal dapat diupayakan melalui perbaikan adaptasi terhadap cekaman abiotik untuk mencegah penurunan hasil (Sopandie 2006). Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman Lingkungan bercekaman adalah lingkungan suboptimum bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Lingkungan suboptimum merupakan lingkungan yang beragam dan tidak sama tingkat cekamannya. Tujuan pemuliaan untuk perbaikan

27 10 produktivitas tanaman pada lingkungan bercekaman ditentukan oleh tingkat cekaman pada lingkungan target (Sopandie et al. 2004; Sopandie 2006). Perbaikan produktivitas tanaman di lahan bercekaman dapat dilakukan melalui perbaikan potensi hasil untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan perbaikan daya adaptasi tanaman untuk mendapatkan varietas yang toleran (Accevedo dan Fereres 1993). Menurut Baker (1993), produktivitas tanaman pada kondisi bercekaman ditentukan oleh potensi hasil tanaman serta daya adaptasi tanaman terhadap cekaman. Perbaikan potensi hasil merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman ringan atau sedang. Adanya interaksi genotipe dengan lingkungan dalam kondisi cekaman ringan atau sedang tidak menyebabkan perubahan rangking genotipe. Perbaikan potensi hasil dapat dilakukan melalui perbaikan kapasitas fotosintesis dan respirasi untuk meningkatkan biomassa tanaman dan perbaikan sink capacity dan partisi fotosintat (Accevedo dan Fereres 1993). Upaya lain untuk perbaikan produktivitas tanaman pada tingkat cekaman ringan adalah pembentukan idiotype breeding (Romagosa dan Fox 1993). Idiotype breeding adalah perbaikan tanaman dengan mengembangkan kombinasi karakter yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan dan produksi tanaman. Keuntungan dari idiotype breeding adalah pemulia akan mempunyai gambaran yang jelas dalam menyeleksi karakter tanaman yang mendukung peningkatan potensi hasil (Romagosa dan Fox 1993; Sopandie 2006). Perbaikan adaptasi tanaman merupakan upaya untuk perbaikan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman berat (Romagosa dan Fox 1993). Kendala yang dihadapi dalam perbaikan produktivitas tanaman untuk lingkungan bercekaman berat adalah adanya interaksi genotipe dengan lingkungan. Interaksi genotipe dengan lingkungan terjadi jika genotipe memperlihatkan respon yang berbeda pada kondisi lingkungan yang berbeda. Interaksi genotipe dengan lingkungan dikelompokkan menjadi dua yaitu interaksi yang bersifat kuantitatif dan interaksi yang bersifat kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kuantitatif tidak menyebabkan perubahan rangking genotipe. Genotipe yang unggul pada satu lingkungan tetap

28 11 unggul pada lingkungan yang berbeda. Interaksi genotipe lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan kendala dalam pemuliaan bagi lingkungan bercekaman berat karena mengakibatkan perubahan rangking genotipe. Genotipe berdaya hasil tinggi pada satu lingkungan bisa mengalami penurunan hasil yang cukup tajam pada lingkungan berbeda akibat pengaruh cekaman (Romagosa dan Fox 1993; Roy 2000; Bernardo 2002; Chahal dan Gosal 2003). Menurut Ceccareli (1996), interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan salah satu kesulitan dalam pemuliaan untuk lingkungan bercekaman terutama pada saat melakukan seleksi. Menurut Ceccareli et al. (2007), seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman. Interaksi genotipe lingkungan menyebabkan seleksi untuk perbaikan daya hasil pada kondisi bercekaman tidak mudah karena daya hasil sangat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga daya hasil mempunyai nilai heritabilitas yang rendah (Ceccareli 1994). Agar seleksi menjadi lebih efisien maka diperlukan penetapan karakter seleksi yang tepat untuk memilih genotipe yang dapat mempertahankan daya hasil pada lingkungan bercekaman. Seleksi pada kondisi bercekaman dapat dilakukan berdasarkan fenotipe, marka molekular, dan gabungan antara fenotipe dan marka molekuler (Bernardo 2002). Seleksi berdasarkan fenotipe menjadi sulit karena nilai heritabilitas yang rendah dan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Untuk meningkatkan efisiensi seleksi maka seleksi dapat dilakukan menggunakan marka molekuler. Marka molekuler yang terpaut dengan QTL atau yang mengendalikan daya hasil pada kondisi bercekaman serta QTL yang mengendalikan toleransi terhadap cekaman merupakan salah satu marka yang dapat dijadikan alat bantu seleksi (Forster et al. 2000; Hussain 2006). Perakitan Varietas Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah Upaya peningkatan produksi kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan perkebunan menghadapi kendala yaitu rendahnya intensitas cahaya akibat naungan kanopi tanaman utama. Oleh karena itu diperlukan varietas kedelai yang

29 12 adaptif dan berproduksi tinggi pada kondisi intensitas cahaya rendah (naungan). Upaya pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah telah berhasil dilakukan, tetapi masih terbatas pada tingkat cekaman ringan (naungan 33%) yaitu pola tumpangsari kedelai dengan jagung (Asadi et al. 1997). Upaya pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah dengan tingkat cekaman berat yaitu dalam pola tumpangsari dengan tanaman perkebunan telah dilakukan oleh Sopandie et al. (2002), Sopandie et al. (2003c) serta Sopandie et al. (2006). Pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah dimulai dengan melakukan karakterisasi pada plasma nutfah yang tersedia untuk mendapatkan informasi tentang keragaman dari karakter yang akan diperbaiki. Menurut Makmur (1992), keberhasilan program pemuliaan sangat ditentukan oleh ketersediaan keragaman genetik. Asadi et al. (1997) melaporkan bahwa terdapat keragaman yang cukup tinggi dalam plasma nutfah kedelai ketika ditanam pada kondisi naungan ringan yaitu pola tumpangsari dengan jagung. Sampai saat ini varietas Pangrango adalah salah satu varietas kedelai yang toleran untuk kondisi naungan ringan (naungan 33%) yaitu pola tumpangsari dengan jagung. Sopandie et al. (2002) juga melaporkan bahwa terdapatnya perbedaan respon antara berbagai genotipe kedelai yang menunjukkan adanya keragaman genotipe kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Dalam kondisi naungan berat terdapat beberapa genotipe seperti Godek A dan Klungkung mengalami penurunan hasil sampai 50%, sedangkan genotipe Wilis hanya mengalami penurunan hasil sekitar 20%. Genotipe Ceneng memiliki daya hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya dan tergolong genotipe yang mempunyai daya adaptasi baik karena memiliki daya hasil lebih tinggi dibandingkan dengan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya penuh. Selain oleh ketersediaan keragaman genetik maka keberhasilan pemuliaan juga ditentukan oleh pemilihan metode seleksi yang tepat. Pemilihan metode seleksi dilakukan berdasarkan sistem penyerbukan tanaman dan pola pewarisan dari karakter yang akan diperbaiki. Berdasarkan informasi tentang pola pewarisan maka dapat juga ditentukan karakter seleksi yang tepat (Roy, 2000; Chahal dan Gosal 2003; Iqbal et al. 2003; Silva et al. 2004; Saleem et al. 2005). Dengan

30 13 memilih metode dan karakter seleksi yang tepat maka perencanan dan pelaksanaan program pemuliaan akan menjadi lebih efisien. Menurut Chahal dan Ghosal (2003), beberapa teori dasar tentang seleksi adalah seleksi hanya efektif pada karakter yang dikendalikan oleh faktor genetik. Seleksi dilakukan untuk memilih genotipe, bukan untuk memilih gen-gen yang diinginkan. Seleksi akan menghasilkan kombinasi gen-gen yang baru bukan menghasilkan gen-gen baru. Secara umum pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri diarahkan untuk membentuk galur murni. Dasar genetik pembentukan galur murni pada tanaman menyerbuk sendiri adalah bahwa penyerbukan sendiri pada tanaman homozigot akan menghasilkan genotipe homozigot dan segregasi pada tanaman heterozigot akan meningkatkan proporsi genotipe homozigot dan menurunkan proporsi heterozigot (Chalal dan Gosal 2003). Metode seleksi yang digunakan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti kedelai adalah pedigree, bulk, silang balik, single seed descent dan back cross. Berdasarkan pola pewarisannya maka metode pedigree banyak digunakan untuk seleksi pada karakter kualitatif atau karakter kuantitatif yang mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong tinggi sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Moreno-Gonzales dan Cubero 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal, 2003). Metode silang balik diterapkan dengan tujuan memasukkan satu atau dua karakter pada varietas atau genotipe yang sudah mempunyai daya adaptasi atau karakter agronomi yang sudah baik. Metode bulk dan single seed descent umum digunakan untuk seleksi pada karakter kuantitatif atau karakter yang mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong rendah atau sedang sehingga seleksi dilakukan pada generasi lanjut yaitu F5 atau F6. Dalam metode single seed descent hanya satu benih yang diambil secara acak dari setiap tanaman untuk ditanam pada generasi berikutnya (Poespodarsono 1988; Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chalal dan Ghosal 2003 ). Di samping untuk menentukan metode seleksi, maka informasi tentang pola pewarisan sangat diperlukan dalam memilih karakter seleksi karena tercapainya tujuan pemuliaan ditentukan metode dan karakter seleksi yang digunakan. Seleksi adalah kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman yang bertujuan untuk

31 14 mendapatkan genotipe yang membawa gen-gen yang mengendalikan karakter yang diinginkan sehingga seleksi mengakibatkan peningkatan frekuensi gen pada generasi berikutnya. Seleksi akan efektif jika dilakukan pada populasi yang memiliki keragaman genetik (Roy 2000). Berbagai hasil penelitian tentang pola pewarisan kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah telah dilaporkan oleh Wijayanti (2002), Rostini et al. (2002), Wibowo (2002), Handayani (2003), La Muhuria (2007), dan Kisman (2007). Hasil penelitian Wijayanti (2002) dan Wibowo (2002) menyimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan beberapa karakter agronomi seperti tinggi tanaman, jumlah polong hampa dan persentase polong isi. Hal yang sama juga dilaporkan pada kedelai bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter sifat kandungan klorofil (Rostini et al. 2002; Handayani 2003). La Muhuria (2007) melaporkan bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter daya hasil pada kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Dengan demikian dalam kondisi intensitas cahaya rendah tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter kandungan klorofil dan daya hasil. Hal ini menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat di inti. Hasil penelitian La Muhuria (2007) pada karakter anatomi serta agronomi menunjukkan bahwa karakter kerapatan trikoma, klorofil a, dan klorofil b diwariskan dengan nilai heritabilitas arti sempit lebih rendah dibandingkan dengan karakter daya hasil. Kisman (2007) menyatakan bahwa karakter daya hasil diwariskan dengan nilai heritabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan karakter luas daun. Berbagai karakter morfologi dan agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah diwariskan dengan nilai heritabilitas arti luas tergolong rendah sampai sedang. Karakter agronomi kedelai seperti tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong, persentase polong isi dan hasil pada populasi persilangan antara tetua Pangrango dan Ceneng dalam kondisi intensitas cahaya rendah memiliki nilai heritabilitas yang rendah yaitu berkisar antara (Wibowo 2002). Handayani (2003) melaporkan nilai heritabilitas kandungan klorofil dan jumlah cabang tergolong tinggi, masing-masing 54.00%. Wirnas et al. (2005)

32 15 melaporkan bahwa karakter hasil dan komponen hasil diwariskan dengan nilai heritabilitas antara 2.57 sampai 55.56%. Adanya keragaman pada karakter morfologi dan agronomi kedelai memberi peluang untuk menggunakan karakter morfologi dan agronomi sebagai krtiteria seleksi. Nilai heritabilitas daya hasil yang lebih tinggi memungkinkan menggunakan daya hasil sebagai karakter seleksi untuk perbaikan potensi hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Sampai sejauh ini informasi yang lebih lengkap tentang dasar genetik dan pola pewarisan sifat karakter morfologi dan agronomi pada kondisi intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan. Hal ini mennyebabkan belum ada metode pemuliaan yang tepat untuk mengembangkan kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Pemilihan Karakter Seleksi Selain menentukan metode seleksi yang tepat, keberhasilan program pemuliaan dapat dipercepat dengan pemilihan karakter seleksi yang tepat. Seleksi dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Seleksi langsung hanya efisien jika karakter yang ingin diperbaiki mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi. Namun jika karakter yang ingin diperbaiki mempunyai nilai heritabilitas yang rendah maka seleksi tidak langsung menggunakan satu atau beberapa karakter akan lebih efisien. Pemilihan karakter yang akan digunakan sebagai karakter seleksi tidak langsung memerlukan informasi tentang pola pewarisan dan keeratan hubungannya dengan karakter yang ingin diperbaiki dengan daya hasil. Pola pewarisan dapat diketahui dengan mempelajari aksi gen yang mengendalikan karakter yang ingin diperbaiki. Aksi gen tersebut diduga berdasarkan model genetik yang menyertakan parameter aksi gen dan interaksinya. Besarnya pengaruh gen dan lingkungan terhadap suatu karakter diduga berdasarkan nilai heritabilitas (Trikoesoemaningtyas 2002). Heritabilitas arti luas adalah proporsi ragam genetik total yang mempengaruhi keragaman fenotipe. Ragam genetik terdiri dari ragam aditif, ragam dominan, dan ragam epistasis yang masing-masing disebabkan oleh aksi gen aditif, aksi gen dominan dan aksi gen epistasis. Ragam aditif adalah ragam

33 16 yang disebabkan oleh alel yang terdapat dalam lokus, ragam dominan adalah ragam yang disebabkan oleh interaksi antar alel dalam satu lokus, sedangkan ragam epistasis adalah ragam yang disebabkan oleh interaksi antar alel dari lokus yang berbeda (Falconer dan Mackay 1996). Terdapat dua tipe heritabilitas yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas merupakan proporsi ragam genetik total terhadap ragam fenotipe, sedangkan heritabilitas arti sempit merupakan proporsi ragam aditif terhadap ragam fenotipe. Nilai heritabilitas dapat diduga secara langsung melalui pendugaan komponen ragam serta secara tidak langsung melalui regresi antara tetua dengan turunannya dan respon seleksi. Pendugaan komponen ragam dapat dilakukan dengan menggunakan populasi dari berbagai rancangan persilangan (Roy 2000). Salah satu rancangan persilangan yang dapat digunakan adalah persilangan diallel. Persilangan diallel adalah semua kemungkinan kombinasi persilangan di antara beberapa genotipe (Hayman 1954; Roy 2000). Dengan membuat persilangan diallel maka sangat memungkinkan melakukan analisis genetik yang lebih luas untuk menduga nilai parameter genetik yang meliputi komponen ragam, aksi gen, jumlah gen dan nilai heritabilitas yang mengendalikan suatu karakter berdasarkan pendekatan yang dikembangkan oleh Hayman. Disamping itu persilangan diallel memungkinkan juga analisa daya gabung antar tetua baik daya gabung umum maupun daya gabung khusus menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Griffing (Griffing 1956). Asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis diallel adalah tetua homozigot, segregasi merupakan segregasi diploid, FI dan resiproknya tidak berbeda atau tidak ada efek maternal, tidak terdapat interaksi antara gen dari alel yang berbeda (epistasis), tidak ada peristiwa multialel, dan gen-gen tersebar secara merata di antara tetua (Hayman 1954; Griffing 1956; Singh dan Choudhary 1976). Pemilihan metode seleksi dan karakter seleksi yang tepat merupakan kunci keberhasilan pemuliaan tanaman. Informasi yang diperoleh dari analisis silang diallel dapat digunakan untuk menentukan metode dan karakter seleksi. Informasi penting yang diperoleh dalam analisis diallel adalah nilai heritabilitas arti luas dan nilai heritabilitas arti sempit. Nilai heritabilitas arti luas hanya dapat

34 17 digunakan untuk populasi yang diduga, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit dapat digunakan untuk seleksi pada populasi progeninya. Dengan demikian hanya nilai heritabilitas arti sempit yang dapat digunakan untuk menduga kemajuan genetik yang diperoleh pada progeninya (Griffing 1956). Dibandingkan dengan rancangan persilangan yang lain, maka disain persilangan diallel dapat diterapkan lebih luas karena dalam persilangan diallel memungkinkan terjadinya semua kombinasi persilangan seperti yang terjadi pada populasi kawin acak di alam. Dengan demikian informasi yang diperoleh dapat diterapkan untuk berbagai genotipe, tidak terbatas pada genotipe yang dianalisis. Selain informasi yang diperoleh lebih banyak dan penerapannya juga lebih luas, keuntungan lain menggunakan analisis silang diallel adalah parameter genetik dapat diduga pada generasi awal. Kelemahan analisis silang diallel pada tanaman menyerbuk sendiri adalah jumlah genotipe yang dapat digunakan sangat tergantung pada kemampuan melakukan hibridisasi (Hayman 1954; Roy 2000; Saleem et al. 2005). Beberapa hasil penelitian tentang analisis silang diallel pada kedelai untuk karakter kandungan nutrisi maupun ketahanan terhadap cekaman biotik seperti penyakit sudah banyak dilaporkan (Cho dan Scott 2000; Tukamuhabwa et al. 2002; Fronza et al. 2004; Gesteira et al. 2003), namun ketahanan terhadap cekaman abiotik, khususnya intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan. Produksi dan vigor benih pada kedelai dikendalikan oleh aksi gen aditif dan non aditif. Pengaruh ragam aditif lebih besar dari ragam non aditif terhadap produksi dan vigor benih (Pantalone et al. 1996; Cho dan Scott 2000). Tukamuhabwa et al. (2002) melaporkan hasil analisis silang diallel dengan menggunakan populasi setengah diallel untuk mempelajari karakter pecah polong pada kedelai. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat interaksi antar lokus (epistasis) pada gen yang mengendalikan karakter pecah polong. Disamping itu disimpulkan juga bahwa gen yang mengendalikan karakter pecah polong bersifat dominan parsial. Ketahanan terhadap penyakit akar merah yang disebabkan oleh Fusarium solani f.sp. glycines bersifat over dominance serta dikendalikan paling tidak oleh tiga gen dominan. Nilai heritabilitas arti sempit untuk ketahanan terhadap

35 18 penyakit akar merah berkisar antara %, sedangkan heritabilitas arti luas berkisar antara % (Vello dan Luis 2004). Analisis diallel dilakukan berdasarkan dua pendekatan yaitu pendekatan Griffing dan pendekatan Hayman (Hayman 1954; Griffing 1956). Dalam analisis diallel aksi gen yang mengendalikan suatu karakter diduga dari model genetik aditif dominan serta ada atau tidak epistasis, tetapi jenis interaksi tidak dapat diketahui. Jika dibandingkan dengan pendekatan Griffing, maka pendekatan Hayman lebih menguntungkan dalam pendugaan parameter genetik karena terdapat uji validitas model genetik yang diajukan. Pendekatan Griffing lebih banyak digunakan untuk menduga daya gabung umum dan daya gabung khusus di antara tetua. Informasi yang diperoleh dari hasil analisis diallel sangat berguna untuk memilih satu atau beberapa karakter untuk dijadikan karakter seleksi. Nilai parameter genetik yang diperhatikan dalam memilih karakter seleksi adalah nilai komponen ragam dan heritabilitas. Karakter seleksi yang baik untuk seleksi progeni adalah karakter yang lebih dipengaruhi oleh ragam aditif atau yang mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang tergolong tinggi. Setelah karakter seleksi ditetapkan maka dapat diduga kemajuan seleksi atau respon seleksi dari karakter yang diinginkan (Falconer dan Mackay 1996). Keberhasilan seleksi dengan menggunakan karakter kuantitatif diduga dengan menghitung nilai diferensial seleksi dan kemajuan seleksi. Diferensial seleksi adalah selisih nilai tengah genotipe terseleksi dengan nilai tengah populasi asal genotipe terseleksi, sedangkan kemajuan seleksi adalah selisih nilai tengah turunan hasil seleksi dengan nilai tengah dari populasi yang telah diseleksi. Jika seleksi dilakukan secara tidak langsung maka efektivitas seleksi dapat diukur dengan menghitung respon terkorelasi masing-masing karakter terhadap daya hasil (Falconer dan Mackay 1996). Kelemahan seleksi menggunakan karakter kuantitatif adalah pengaruh lingkungan tidak bisa dihindari terutama pada kondisi bercekaman sehingga kemajuan seleksi yang diperoleh menjadi lebih kecil. Selain itu seleksi juga tergantung pada umur tanaman, misal untuk daya hasil, seleksi baru bisa dilakukan setelah panen serta harus di lingkungan target. Namun seleksi

36 19 berdasarkan karakter kuantitatif juga memiliki beberapa keuntungan seperti lebih murah bahkan lebih mudah dari segi teknik pengerjaan. Analisis QTL Umumnya sifat agronomi yang bernilai ekonomi tinggi yang dimiliki oleh tanaman, seperti daya hasil, ketahanan terhadap cekaman biotik seperti hama dan penyakit, maupun ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan, salinitas, suhu rendah, dan ph dikendalikan oleh banyak gen sehingga disebut karakter kuantitatif (Falconer dan Mackay 1996). Karakter kuantitatif diterjemahkan sebagai karakter dengan nilai yang mempunyai distribusi kontinyu yang diperoleh dari hasil pengukuran atau penghitungan. Karakter kuantitatif dikontrol oleh banyak gen dan masing-masing gen bersifat aditif terhadap karakter tersebut. Ekspresi gen-gen yang mengendalikan karakter kuantitatif sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Bernardo 2002). Pengaruh lingkungan yang besar terhadap keragaman karakter kuantitatif merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi pemulia dalam melakukan seleksi. Pada kondisi lingkungan bercekaman nilai heritabilitas daya hasil lebih rendah dibandingkan dengan kondisi optimum karena lingkungan bercekaman sangat mempengaruhi daya hasil. Hal ini mengakibatkan seleksi terhadap daya hasil akan memberikan kemajuan genetik yang rendah untuk meningkatkan daya hasil (Ceccareli 1994). Dengan demikian diperlukan karakter seleksi selain daya hasil yang dapat digunakan sebagai alat bantu seleksi untuk memperbaiki daya hasil pada kondisi bercekaman. Alat bantu seleksi yang diharapkan adalah berupa marka yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi atau pengaruh lingkungan kecil. Alat bantu seleksi yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan adalah marka molekuler. Pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu didasarkan pada polimorfik yang ditemui pada tingkat DNA. Menurut Brar (2002), penggunaan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi dapat meningkatkan akurasi seleksi karena marka molekuler tidak dipengaruhi oleh lingkungan, stabil dan terekspresi pada semua stadia pertumbuhan tanaman. Di samping nilai heritabilitas yang tinggi, keuntungan menggunakan marka molekuler sebagai karakter seleksi adalah jumlahnya tidak

37 20 terbatas (Gupta et al. 2002). Teknik yang merupakan kombinasi antara pemuliaan konvensional dan bioteknologi yang berbasis marka molekuler dapat meningkatkan akurasi seleksi atau mempersingkat waktu pencapaian tujuan pemuliaan. Strategi potensial pemanfaatan bioteknologi dalam bidang pemuliaan adalah melalui marka assisted selection (MAS) (Bernardo 2002). Sampai sejauh ini sudah tersedia banyak jenis marka molekuler yang dapat digunakan. Masing-masing marka molekuler mempunyai keuntungan dan kesulitan yang berbeda dari segi teknik, fasilitas dan biaya yang diperlukan. Salah satu marka molekuler yang murah dan mudah secara teknik adalah RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Random Amplified Polymorphic DNA adalah teknik untuk mengamplifikasi DNA dengan mesin PCR menggunakan primer tunggal berukuran 10 nukleotida. Primer yang digunakan merupakan primer acak yang mengamplifikasi genom target secara acak. Primer acak yang dicampurkan dengan reaksi amplifikasi akan berikatan dengan sekuens komplemen di sepanjang genom target. Selanjutnya sekuens target akan teramplifikasi yang dapat divisualisasikan pada gel agarose yang diwarnai dengan ethidium bromida. Dibandingkan dengan teknik molekuler yang lain, teknik RAPD lebih sederhana karena tidak memerlukan informasi tentang genom, DNA tidak perlu dipotong dengan enzim restriksi, tidak perlu pelabelan dengan radioisotope, jumlah DNA yang diperlukan lebih sedikit dan jumlah lokus yang diketahui lebih banyak yaitu 1-10 lokus. Kelemahan teknik RAPD adalah tingkat reprodusibilitasnya sangat rendah sehingga sering memberikan hasil yang tidak konsisten (Gupta et al. 2002; Toruan-Mathius dan Hutabarat 2003). Dalam marka RAPD, alel yang berbeda pada lokus yang sama ditandai dengan ada atau tidaknya pita hasil amplifikasi. Individu tanaman dibedakan berdasarkan ada atau tidak pita hasil amplikasi. Jika muncul pita maka genotipe individu adalah homozigot dominan atau heterozigot. Jika pita tidak muncul untuk lokus yang sama maka individu tanaman adalah homozigot resesif. Marka RAPD merupakan marka dominan sehingga individu homozigot dan heterozigot tidak dapat dibedakan, tetapi dapat membedakan individu homozigot dominan atau heterozigot dengan individu homozigot resesif dalam populasi yang masih

38 21 bersegregasi. Individu homozigot dan heterozigot akan menghasilkan pita amplifikasi yang sama (Liu 1998). Marka RAPD merupakan salah satu marka molekuler yang banyak digunakan dalam membuat peta genetik. Pemilihan marka sangat ditentukan oleh komposisi genotipe dalam populasi atau tujuan penelitian. Marka RAPD sangat sesuai untuk diaplikasikan pada populasi double haploid (DH) dan recombinant inbreed lines (RILs). Dalam populasi DH atau RILs sebagian besar genotipe terdiri dari genotipe homozigot dominan atau homozigot resesif (Liu 1998; Gupta et al. 2002). Beberapa tahun terakhir pengembangan alat bantu seleksi dalam pemuliaan tanaman banyak dilakukan melalui analisis molekuler dengan pemetaan marka molekuler yang terpaut dengan QTL (Quantitative Trait Loci) yang mengendalikan karakter yang akan diperbaiki. Penggunaan marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter yang akan diperbaiki dikenal dengan marker assisted selection (MAS) atau marker assisted breeding (MAB) (Arus dan Moreno-Gonzales 1993). Agar dapat memanfaatkan marka molekuler sebagai MAS dalam program seleksi terhadap karakter yang diinginkan maka marka yang berasosiasi dengan QTL yang mengendalikan karakter tersebut harus diidentifikasi terlebih dahulu. Indentifikasi marka yang berasosiasi dengan QTL dapat dilakukan melalui analisis dan pemetaan QTL (Azrai et al. 2002; Ruswandi et al. 2002). Quantitative Trait Loci (QTL) adalah lokus yang mengendalikan karakter kuantitatif. Pemetaan QTL merupakan kombinasi antara analisis pautan kualitatif dengan analisis genetika kuantitatif. Pemetaan QTL meliputi konstruksi pemetaan genom dan penelusuran hubungan antara karakter kuantitatif dengan marka polimorfik. Hasil pemetaan QTL dapat menyediakan informasi tentang jumlah dan aksi gen yang mengontrol suatu karakter serta lokasinya pada kromosom. Peta QTL dapat juga dijadikan informasi awal bagi kegiatan kloning yaitu kloning berbasis pemetaan dari suatu gen yang berasosiasi dengan karakter tertentu (Liu 1998; Surahman 2002; Winicov 2002). Dengan memanfaatkan marka molekuler yang terpaut dengan QTL sebagai MAS maka seleksi dapat dilakukan pada generasi awal dan langsung pada

39 22 individu tanaman sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat dalam waktu yang lebih cepat. Pemanfaatan marka yang berasosiasi dengan QTL merupakan salah satu strategi yang efisien untuk mendapatkan varietas baru yang berdaya hasil tinggi dan sekaligus membawa satu sifat ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik (Terry et al. 2000; Korzun 2004). Pemuliaan konvensional untuk karakter kuantitatif memerlukan waktu lebih lama karena karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen. Karakter kuantitatif seperti daya hasil cenderung mempunyai nilai heritabilitas yang rendah sehingga seleksi pada populasi hasil persilangan baru dapat dimulai pada generasi lanjut karena gen-gen yang mengendalikan karakter kuantitatif telah terfiksasi dengan baik pada generasi lanjut (Wricke dan Weber 1986; Falconer dan Mackay 1996). Informasi tentang QTL yang mengontrol berbagai karakter pada kedelai telah banyak dilaporkan, misalnya QTL yang mengendalikan daya hasil (Reyna dan Sneller 2001; Teng et al. 2004; Wang et al. 2004; Vieira et al. 2006). QTL yang mengendalikan kandungan sukrosa (Maughan et al. 2003), QTL daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit sudden death syndrome (SDS) (Iqbal et al. 2001; Yuan et al. 2003), QTL ketahanan terhadap Phytophthora (Burnham et al. 2003) serta QTL yang mengontrol ukuran benih dianalisis oleh Hoeck et al. (2003). Beberapa QTL yang mengontrol daya hasil maupun ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti suhu rendah, perubahan cuaca, aluminium dan kekeringan pada kedelai juga telah dilaporkan (Specht et al. 2001; Ishitani et al. 2004; Funatsuki et al. 2005; Changrong et al. 2006).

40 23 PEWARISAN KARAKTER AGRONOMI KEDELAI PADA KONDISI INTENSITAS CAHAYA RENDAH ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang pola pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang digunakan adalah empat tetua yaitu Ceneng dan Pangrango (tetua toleran) serta Godek dan Slamet (tetua peka) dan F1 hasil persilangan dari keempat tetua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model genetik aditif-dominan mampu menjelaskan keragaman karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah kecuali untuk karakter jumlah polong total. Aksi gen over dominance mengendalikan karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, sedangkan karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, dan daya hasil dikendalikan oleh aksi gen dominan parsial. Ragam aditif berpengaruh nyata untuk karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil, sedangkan ragam dominan berpengaruh nyata untuk semua karakter yang diamati. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk semua karakter yaitu berkisar antara %, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi hanya pada karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil. Berdasarkan hasil penelitian ini maka karakter seleksi untuk perbaikan produktivitas kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah adalah daya hasil. Kata Kunci: kedelai, analisis diallel, daya hasil, intensitas cahaya rendah INHERITANCE STUDY OF AGRONOMIC TRAITS UNDER LOW LIGHT INTENSITY CONDITION ABSTRACT The objective of this study was to estimate the inheritance of agronomic traits which was conducted in a diallel matting design. Four parental lines were used in a diallel crossing, namely, Ceneng, Godek (tolerant parents), Slamet and Pangrango (sensitive parents). The diallel analysis revealed that the additivedominant gene action was sufficient to explain the variability of agronomic traits of soybean under low light intensity condition except for the number of total pod per plant. The allelic interaction for plant height, number of productive branch, number of total node and number of filled pod was over dominance; whereas, number of unfilled pod, number of total pod, percentage of filled fod and seed weight were controlled by partial-dominant gene action. The broad-sense heritabilities were high for all of the traits ( ); whereas, narrow sense heritabilities were high for the number of unfilled pod, percentage of filled fod and seed weight. The results suggested that seed weight is the best selection character for yield improvement of soybean under low light intensity condition. Key words: soybean, diallel analysis, heritability, seed weight, low light intensity

41 24 PENDAHULUAN Latar Belakang Perencanaan dan pelaksanaan program pemuliaan untuk pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah membutuhkan informasi tentang pola pewarisan karakter-karakter yang ingin diperbaiki. Berdasarkan informasi pola pewarisan dapat ditentukan metode dan karakter seleksi yang tepat sehingga dapat memaksimalkan kemajuan seleksi dan mempercepat proses pemuliaan. Seleksi merupakan kegiatan penting dalam pemuliaan tanaman karena sangat menentukan tercapainya tujuan pemuliaan. Keberhasilan seleksi diduga dengan menghitung respon seleksi yang menunjukkan kemajuan genetik yang diperoleh setelah dilakukan seleksi. Umumnya pembentukan varietas baru pada tanaman menyerbuk sendiri seperti kedelai diarahkan untuk membentuk galur murni yang didasarkan atas aksi gen aditif karena hanya aksi gen aditif yang diwariskan. Proporsi ragam yang disebabkan oleh aksi gen aditif terhadap ragam fenotipe disebut dengan nilai heritabilitas arti sempit. Nilai heritabilitas arti sempit sangat penting untuk menduga kemajuan genetik setelah seleksi karena kemajuan genetik berbanding lurus dengan nilai heritabilitas arti sempit. Guna memaksimalkan perolehan kemajuan genetik maka sangat perlu memilih karakter yang mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang tergolong tinggi di antara karakter yang diamati untuk dijadikan karakter seleksi (Roy 2000; Chahal dan Gosal 2003). Seleksi dapat dilakukan pada generasi awal atau generasi lanjut tergantung pada aksi gen atau nilai heritabilitas dari karakter yang ingin diperbaiki. Jika karakter yang ingin diperbaiki mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang besar maka seleksi akan efisien dilakukan pada generasi awal, sedangkan jika nilai heritabilitas arti sempit tergolong kecil maka seleksi harus ditunda sampai generasi lanjut agar gen-gen aditif sudah terfiksasi dengan baik. Salah satu tujuan pemuliaan kedelai adalah perbaikan daya hasil tanaman. Seleksi untuk perbaikan daya hasil dapat dilakukan berdasarkan karakter primer yaitu seleksi langsung terhadap daya hasil atau berdasarkan karakter sekunder yaitu seleksi berdasarkan karakter selain daya hasil. Seleksi berdasarkan karakter

42 25 primer akan efektif jika karakter primer mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang tergolong tinggi. Jika karakter primer mempunyai nilai heritabilitas lebih rendah dari karakter sekunder maka seleksi berdasarkan karakter sekunder akan lebih efektif. Selain mempertimbangkan nilai heritabilitas, untuk memilih karakter sekunder yang paling efektif untuk dijadikan karakter seleksi juga harus memperhatikan nilai respon terkorelasi antara karakter sekunder dengan karakter primer (Falconer dan Mackay 1996). Karakter sekunder dapat dijadikan karakter seleksi jika mempunyai respon terkorelasi lebih besar dari satu (Roy 2000). Hasil studi pola pewarisan pada beberapa populasi hasil hibridisasi di antara dua tetua menunjukkan bahwa karakter hasil dan komponen hasil dalam kondisi intensitas cahaya rendah diwariskan dengan nilai heritabilitas yang rendah (Wibowo 2002; Trikoesoemaningtyas et al. 2004; Wirnas et al. 2005). Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa karakter hasil mempunyai nilai heritabilitas arti sempit dan heritabilitas arti luas lebih besar dari karakter anatomi pada kedelai seperti luas daun, bobot daun spesifik, kerapatan trikoma, kandungan klorofil a dan kandungan klorofil b dalam kondisi cekaman intensitas cahaya rendah (Sopandie et al. 2003c; Handayani 2003; La Muhuria 2007; Kisman 2007). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya perbedaan hasil di antara berbagai studi pewarisan pada berbagai karakter kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya kecenderungan bahwa karakter hasil pada kedelai mempunyai nilai heritabilitas arti luas maupun arti sempit lebih tinggi daripada karakter anatomi maupun morfologi dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Hal ini menunjukkan adanya peluang untuk menggunakan karakter hasil atau komponen hasil sebagai karakter seleksi. Namun, sampai sejauh ini belum banyak dilaporkan informasi tentang pola pewarisan karakter hasil dan komponen hasil pada kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Sampai sejauh ini informasi tentang pola pewarisan yang lebih lengkap terutama tentang aksi gen yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah masih sangat terbatas sehingga penelitian ini masih perlu dan penting untuk dilakukan. Salah satu pendekatan yang dapat

43 26 digunakan untuk mempelajari pola pewarisan adalah analisis silang diallel. Persilangan diallel memungkinkan untuk memperoleh informasi parameter genetik yang lebih lengkap untuk beberapa populasi sekaligus. Analisis biometrik melalui analisis diallel dilakukan berdasarkan pendekatan Hayman karena informasi tentang pola pewarisan yang diperoleh lebih lengkap serta memungkinkan pengujian validitas model genetik aditif-dominan (Hayman 1954; Griffing 1956; Sing dan Choudhary 1976; Roy 2000). Dalam penelitian sebelumnya telah terpilih empat genotipe kedelai yang mewakili genotipe toleran dan peka terhadap intensitas cahaya rendah. Genotipe toleran adalah Ceneng dan Pangrango, sedangkan genotipe peka adalah Slamet dan Godek (Sopandie et al. 2003c). Selanjutnya keempat genotipe tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk studi pola pewarisan karakter agronomi pada kondisi intensitas cahaya rendah melalui analisis silang diallel. Tujuan 1. Memperoleh informasi tentang pola pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah 2. Menentukan karakter seleksi bagi perbaikan daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian dimulai dengan pembentukan rekombinasi melalui persilangan diallel kemudian dilanjutkan dengan studi pola pewarisan. Pembentukan rekombinasi melalui disain persilangan diallel dilaksanakan di rumah kaca pada bulan Juni sampai dengan September 2004, sedangkan studi pola pewarisan dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 sampai Januari 2006 di kebun percobaan milik BB BIOGEN, Cimanggu Bogor. Metode Bahan tanaman yang digunakan terdiri dari empat tetua dan dua belas genotipe F1 hasil rekombinasi diallel antar tetua dengan menggunakan rancangan persilangan diallel penuh. Tetua yang digunakan adalah Ceneng dan Pangarango

44 27 (toleran intensitas cahaya rendah) serta Slamet dan Godek (peka intensitas cahaya rendah). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan faktor tunggal yaitu genotipe yang terdiri dari empat genotipe tetua dan dua belas genotipe F1. Masing-masing genotipe diulang tiga kali dengan jumlah anak contoh lima tanaman sehingga data yang diperoleh merupakan rata-rata dari lima tanaman contoh. Setiap satuan percobaan di tanam dalam satu baris. Benih masing-masing genotipe untuk setiap perlakuan ditanam dalam satu baris di lahan yang telah dicampur dengan pupuk kandang di bawah naungan paranet 55% sehingga intensitas cahaya yang diterima tanaman adalah sebanyak 45%. Jumlah benih yang digunakan untuk setiap perlakuan adalah sepuluh benih. Jarak antar tanaman dalam satu baris adalah 20 cm, sedangkan jarak antar baris adalah 30 cm yang ditanam sebanyak satu benih per lubang tanam. Jika dalam seminggu terdapat benih yang tidak tumbuh maka dilakukan penyulaman. Pengamatan dilakukan pada karakter morfologi dan agronomi yang meliputi: 1. Tinggi tanaman saat panen (cm) yang diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh saat panen yang diukur pada saat panen 2. Jumlah cabang produktif yaitu total cabang yang menghasilkan polong, dihitung pada saat panen 3. Jumlah buku total yaitu total buku yang menghasilkan polong, dihitung pada saat panen 4. Jumlah polong isi yaitu jumlah seluruh polong yang bernas 5. Jumlah polong hampa yaitu jumlah seluruh polong yang hampa 6. Jumlah polong total yaitu jumlah seluruh polong 7. Persen polong isi yaitu persen jumlah polong isi terhadap jumlah polong total 8. Daya hasil (g/tanaman) yaitu bobot biji kering panen per tanaman Analisa Data Data hasil pengamatan dianalisa dengan menggunakan uji F. Jika terdapat perbedaan genotipe untuk karakter yang diamati maka dilanjutkan dengan analisis silang diallel untuk menduga parameter genetik. Pendekatan yang digunakan untuk mempelajari analisis silang diallel adalah pendekatan Hayman (Hayman

45 ; Singh dan Chaudhary 1976). Analisis yang dilakukan berdasarkan pendekatan Hayman dimulai dengan pendugaan ragam (Vr) dan peragam (Wr). Berdasarkan nilai duga Vr dan Wr analisis data dilanjutkan untuk: 1. Pengujian Validitas Model Untuk menguji validitas model genetik maka dilakukan pembuktian hipotesis yang dibuat oleh Hayman (1954) dengan menguji keseragaman Wr, Vr, sebagai berikut: b = Cov (Wr, Vr) Var Vr Standar error (b) = Var Wr b.cov (Wr, Vr) 0.5 (n-2) Var Vr uji hipotesis : Ho: b = 1 atau H1: b 1 Jika b = 1 maka tidak terdapat interaksi gen non alelik atau model genetik aditifdominan cukup kuat untuk menjelaskan keragaman yang terjadi. 2. Analisis Grafik Wr Vr Hubungan antara Wr dengan Vr diperoleh dengan regresi antara Vr sebagai sumbu X dan Wr sebagai sumbu Y. Initial value yang dapat menjelaskan batas parabola diperoleh dari persamaan: Wr = (V1L1 x VoLo) 0.5. Nilai intersep dari persamaan regresi diperoleh dari: a = Wr bvr 3. Pendugaan komponen ragam Komponen ragam diduga dengan metode kuadrat terkecil. Komponen ragam yang dapat diduga adalah: E = ragam lingkungan = (KT ulangan + KT galat)/ulangan db ulangan + db galat D = ragam aditif = V OLO - E F = = rata-rata Fr untuk semua persilangan, dimana Fr merupakan peragam pengaruh aditif dan non aditif pada persilangan ke r 2V OLO 4W OLO1 2 (n-2) E/n H1 = ragam dominansi = V OLO 4W OLO1 + 4V 1L1 (3n-2) E/n H2 = H1 (1- (u-v)), u = proporsi gen positif dalam tetua; v = proporsi gen negatif dalam tetua = 4V 1L1-4V OL1 2E

46 29 h 2 = = pengaruh dominansi yang merupakan penjumlahan semua lokus dalam keadaan heterozigot pada seluruh persilangan 4 (M L1 M LO ) 2 4 (n-1) E/n 2 4. Parameter lain yang dihitung adalah 1. Rata-rata derajat dominansi = (H1/D) Proporsi gen yang memberikan efek positif dan negatif dalam tetua = H2/4H1 3. Proporsi gen dominan dan resesif dalam tetua = (4 (DH1) 1/2 + F)/ (4 (DH1) 1/2 - F) = K D /K R 4. Jumlah kelompok gen dan memberikan efek dominan = h 2 /H2 5. Heritabilitas (Mather and Jinks 1982) Heritabilitas arti luas = h 2 bs = ½ D + ½ H1 ½ H2 1/2F ½ D + ½ H1 ½ H2 1/2F + E Heritabilitas arti sempit = h 2 ns = ½ D + ½ H1 ¼ H2 1/2F ½ D + ½ H1 ½H2 1/2F + E Setelah Analisis diallel maka dilanjutkan dengan penghitungan untuk mengetahui: 1. Kemajuan genetik = i h ns V 0.5 p dimana: i = intensitas seleksi h ns = heritabilitas arti sempit V p = ragam fenotipe 2. Respon Terkorelasi (CR y /R x) = r g (i y h y /i x h x ) CR y /R x = Perbaikan yang dapat dicapai pada karakter primer jika dilakukan seleksi pada karakter sekunder Dimana, r g = korelasi genetik antara karakter primer dengan karakter sekunder i y = intensitas seleksi untuk karakter sekunder i x = intensitas seleksi untuk karakter primer h y = hertitabilitas arti sempit karakter sekunder h x = hertitabilitas arti sempit karakter primer

47 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Fenotipe tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan. Tujuan studi pola pewarisan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor genetik dengan mempelajari aksi gen-gen yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Besarnya pengaruh aksi gen-gen tersebut akan menentukan pola pewarisan karakter agronomi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Besarnya pengaruh genetik dan lingkungan terhadap karakter yang diamati diduga berdasarkan nilai heritabilitas. Studi pewarisan untuk karakter agronomi kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah menggunakan empat tetua yang dipilih berdasarkan studi fisiologi yaitu Ceneng dan Pangrango sebagai tetua toleran serta Slamet dan Godek sebagai tetua peka (Sopandie et al. 2003c). Keempat tetua disilangkan dalam suatu persilangan diallel sehingga diperoleh dua belas kombinasi persilangan. Pengujian materi genetik yang meliputi keempat tetua dan dua belas genotipe F1 dilakukan di bawah naungan paranet dengan tingkat naungan 55% atau cahaya yang diterima tanaman hanya 45%. Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah Karakter Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Tinggi saat panen * Jumlah cabang produktif ** Jumlah buku total * Jumlah polong isi ** Jumlah polong hampa ** Jumlah polong total * Persentase polong isi ** Daya hasil ** Keterangan: *: berbeda nyata pada α = 5% **: berbeda nyata pada α = 1% Syarat pengujian model dengan rancangan diallel adalah terdapat keragaman antara genotipe yang digunakan untuk karakter yang dianalisis. Hasil analisis ragam terhadap karakter agronomi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antar genotipe yang digunakan untuk karakter tinggi tanaman saat

48 31 panen, jumlah buku total dan jumlah polong total pada tingkat kepercayaan 95%, sedangkan untuk karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, persentase polong isi, dan daya hasil terdapat perbedaan pada tingkat kepercayaan 99% (Tabel 1). Dengan demikian populasi yang digunakan memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan dengan analisis diallel. Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan Hayman (Hayman 1954) dengan mengikuti perhitungan yang diformulasikan oleh Singh dan Choudhary (1976). Persilangan diallel adalah persilangan yang memungkinkan kombinasi di antara semua tetua atau genotipe yang digunakan. Analisis diallel didasarkan atas asumsi bahwa (1). tetua homozigot, (2). segregasi terjadi secara diploid, (3). tidak terdapat pengaruh tetua betina (maternal effect), (4). tidak ada interaksi antara gen dari alel yang berbeda (epistasis), (5). tidak ada multialelisme, dan (6). gen-gen menyebar secara bebas di antara dua tetua (Hayman 1954; Griffing 1956; Singh dan Chaudhary 1976; Roy 2000). Beberapa asumsi dibuktikan dengan menduga bahwa genotipe kedelai bersifat homozigot dan segregasi terjadi secara diploid. Karakteristik bunga kedelai adalah mahkota bunga menutupi stamen yang melilit pada pistil sehingga polen pasti langsung jatuh di kepala putik. Bunga akan mekar setelah terjadi penyerbukan sehingga polen lain tidak dapat menyerbuki putik. Penyerbukan sendiri secara terus menerus di alam menyebabkan komposisi genotipe kedelai menjadi homozigot (Poehlman dan Sleeper 1983). Dengan demikian asumsi bahwa genotipe homozigot seperti yang dikemukakan oleh Hayman (Hayman 1954) dapat dipenuhi. Tingkat ploidi kedelai adalah diploid dengan 2n=2x=40 sehingga dalam proses meiosis kromosom kedelai bersegregasi mengikuti pola diploid yaitu pada saat metafase pasangan kromosom yang terdiri dari dua kromosom berjajar di bidang equator. Hal ini membuktikan bahwa asumsi kedelai bersegregasi secara diploid dapat dipenuhi (Poehlman dan Sleeper 1983; Shoemaker et al. 1996). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa asumsi tidak terdapat pengaruh tetua betina juga dapat dipenuhi. Pengaruh tetua betina ditunjukkan oleh ada atau tidak perbedaan antara F1 dengan resiproknya. Jika

49 32 tidak terdapat pengaruh tetua betina berarti gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut terdapat pada inti sel. Berbagai hasil penelitian mengenai pengaruh tetua betina terhadap pewarisan karakter agronomi pada kondisi intensitas cahaya rendah telah banyak dilaporkan. Rostini et al. (2002) dan Handayani (2003) melaporkan bahwa pada kedelai tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter sifat kandungan klorofil. Wijayanti (2002) menyimpulkan bahwa hampir semua pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah tidak dipengaruhi oleh tetua betina. La Muhuria (2007) juga melaporkan bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil dan daya hasil. Pengujian Validitas Model Aditif Dominan Dalam analisis diallel model genetik yang digunakan untuk mengetahui aksi gen yang mengendalikan suatu karakter adalah model genetik yang paling sederhana yang hanya menyertakan pengaruh aksi gen aditif dan dominan. Ada atau tidak ada aksi gen epistasis diketahui dengan menguji validitas (kesesuaian) model genetik aditif dominan. Jika model genetik aditif dominan sesuai berarti keragaman yang diamati hanya disebabkan oleh pengaruh aksi gen aditif dan dominan, tetapi jika tidak sesuai maka keragaman yang diamati dipengaruhi tidak hanya oleh aksi gen aditif dan dominan, tetapi juga dipengaruhi oleh aksi gen epistasis. Tabel 2. Hasil pengujian kesesuaian model aditif-dominan bagi karakter agronomi kedelai kondisi intensitas cahaya rendah Karakter Nilai b t (H0:b=1) Tinggi saat panen 0.29 ± Jumlah cabang produktif 0.63 ± Jumlah buku total 0.68 ± Jumlah polong isi 0.71 ± Jumlah polong hampa 0.76 ± Jumlah polong total 0.07 ± ** Persentase polong isi 0.88 ± Daya hasil 1.00 ± Keterangan : t nyata pada derajat bebas 196 dengan taraf α = 1%

50 33 Validasi model aditif-dominan bertujuan untuk membuktikan bahwa aksi gen yang mempengaruhi keragaman karakter agronomi kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah hanya disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan. Jika hipotesis bahwa nilai b sama dengan satu diterima atau nilai t hitung tidak nyata maka model aditif dominan dapat menjelaskan keragaman yang diamati. Namun, jika nilai b tidak sama dengan satu atau nilai t hitung nyata maka keragaman yang diamati tidak hanya disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan, tapi juga oleh aksi gen epistasis (Hayman 1954). Berdasarkan uji t diketahui bahwa nilai t hitung tidak nyata pada hampir semua karakter yang diamati kecuali karakter jumlah polong total. Hal ini menunjukkan bahwa model genetik aditif-dominan cukup kuat untuk menjelaskan keragaman karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, persentase polong isi, dan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Berdasarkan model aditif dominan maka keragaman yang diamati pada karakter tersebut hanya disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan, sedangkan keragaman yang diamati pada karakter jumlah polong total disebabkan oleh aksi gen aditif, dominan dan epistasis (Tabel 2). Dengan demikian asumsi bahwa tidak terdapat epitasis dapat dipenuhi sehingga pendugaan nilai komponen ragam dapat dilakukan dengan baik kecuali pada karakter jumlah polong total. Adanya aksi gen epistasis pada karakter jumlah polong total menyebabkan adanya bias dalam pendugaan ragam untuk karakter tersebut sehingga ragam yang diperoleh dapat lebih kecil dari nilai yang sebenarnya. Menurut Roy (2000), pendugaan komponen ragam yang bebas dari bias dapat dilakukan jika tidak terdapat pengaruh epistasis. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman karakter kuantitatif pada tanaman menyerbuk sendiri dapat dijelaskan oleh model aditifdominan, walaupun pada karakter tertentu model aditif dominan tidak cukup untuk menjelaskan keragaman yang diamati karena terdapat epistasis. Keragaman yang muncul pada kandungan asam linolenat pada kedelai dikendalikan oleh aksi gen aditif dan dominan, sedangkan epistasis berpengaruh sangat kecil (Gesteira et al. 2003). Fronza et al. (2004) menyatakan bahwa

51 34 keragaman ketahanan kedelai terhadap Fusarium solani f. sp. glycines yang diukur melalui tingkat keparahan serangan pada daun dan tingkat keparahan serangan pada tanaman dapat dijelaskan oleh model aditif-dominan. Agustina (2004) melaporkan bahwa keragaman beberapa karakter komponen hasil pada padi gogo dapat dijelaskan oleh model aditif-dominan. Keragaman karakter jumlah anakan produktif, umur berbunga, dan bobot 1000 butir disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan, sedangkan karakter tinggi tanaman, jumlah malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi per malai, dan berat gabah isi per tanaman dipengaruhi oleh aksi gen epistasis. Hasil penelitian pada snap bean yang dilaporkan oleh Silva et al. (2004) menunjukkan bahwa keragaman karakter jumlah polong per tanaman, rata-rata bobot polong per tanaman dan umur berbunga dikendalikan oleh aksi gen aditif dan dominan. Keragaman karakter tingggi tanaman, panjang malai, jumlah tiller per tanaman, berat biji/malai, dan berat 1000 butir pada spring wheat hanya disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan (Khan dan Habib 2003). Saleem et al. (2005) juga melaporkan bahwa tinggi tanaman dan berat biji/malai pada spring wheat disebabkan oleh aksi gen aditif dan dominan. Distribusi Tetua Grafik hubungan Vr dan Wr dapat menginterpretasikan sebaran tetua sepanjang garis regresi. Distribusi tetua sepanjang garis regresi menunjukkan gen-gen yang dimiliki oleh tetua. Dalam model aditif dominan tetua yang memiliki gen dominan lebih banyak berada di sekitar titik origin (nol), sedangkan tetua yang memiliki gen resesif lebih banyak berada sekitar ujung garis parabola. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai penjumlahan Vr dan Wr yang lebih kecil terletak disekitar titik origin yang menunjukkan bahwa tetua memiliki jumlah gen dominan yang lebih banyak dibandingkan dengan tetua yang terletak jauh dari titik origin. Nilai penjumlahan Vr dan Wr berkorelasi negatif dengan jumlah gen dominan yang dimiliki oleh tetua. Semakin kecil nilai penjumlahan Vr dan Wr maka semakin banyak jumlah dominan yang dimiliki oleh suatu tetua untuk satu karakter (Hayman 1954; Roy 2000). Distribusi tetua sepanjang garis regresi untuk semua karakter yang diamati terdapat Gambar 2 sampai dengan Gambar 9.

52 35 Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan peragam tetua (Vr+Wr) menunjukkan pengaruh alel dominan atau resesif terhadap suatu karakter. Jika nilai koefisien korelasi bernilai positif maka alel yang lebih berpengaruh adalah alel resesif, sedangkan jika nilai koefisien korelasi negatif maka alel yang paling berpengaruh adalah alel dominan. Dalam kegiatan pemuliaan, jika yang gen diinginkan adalah alel dominan maka untuk seleksi pada generasi awal harus dipilih tetua yang mempunyai gen dominan lebih banyak karena frekuensi gen dominan lebih besar pada generasi awal dibandingkan pada generasi lanjut, sedangkan jika seleksi dilakukan pada generasi lanjut maka harus dipilih tetua yang membawa gen resesif lebih banyak (Silva et al. 2004; Fronza et al. 2004) Wr 4 2 Keterangan: 1. Ceneng 2. Godek 3. Slamet 4. Pangrango Vr Gambar 2. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter tinggi tanaman saat panen pada kondisi intensitas cahaya rendah Wr Vr Keterangan: 1. Ceneng 2. Godek 3. Slamet 4. Pangrango Gambar 3. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah cabang total pada kondisi intensitas cahaya rendah

53 Wr Keterangan: 1. Ceneng 2. Godek 3. Slamet 4. Pangrango Vr Gambar 4. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah buku total pada kondisi intensitas cahaya rendah 80 Wr Vr Keterangan: 1. Ceneng 2. Godek 3. Slamet 4. Pangrango Gambar 5. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah Wr Vr Keterangan: 1. Ceneng 2. Godek 3. Slamet 4. Pangrango Gambar 6. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah polong hampa pada kondisi intensitas cahaya rendah

54 Wr Vr Keterangan: 1. Ceneng 2. Godek 3. Slamet 4. Pangrango Gambar 7. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah polong total pada kondisi intensitas cahaya rendah Wr Vr Keterangan: 1. Ceneng 2. Godek 3. Slamet 4. Pangrango Gambar 8. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter persentase polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah Wr 3 2 Vr Keterangan: 1. Ceneng 2. Godek 3. Slamet 4. Pangrango Gambar 9. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter daya hasil per tanama pada kondisi intensitas cahaya rendah

55 38 Karakter Tinggi Tanaman Saat Panen Distribusi tetua sepanjang garis regresi menunjukkan bahwa genotipe Slamet berada paling dekat dengan titik nol yang berarti genotipe Slamet mempunyai gen dominan paling banyak, diikuti oleh Pangrango, Ceneng, dan Godek untuk karakter tinggi tanaman saat panen (Gambar 2). Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai Vr +Wr genotipe Slamet paling kecil dibandingkan dengan tetua lainnya (Tabel 3). Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan peragam tetua (Vr+Wr) bernilai positif yaitu 0.3 meskipun tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa alel yang paling berperan meningkatkan tinggi tanaman adalah alel resesif. Dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah yang diinginkan adalah tanaman yang tidak terlalu tinggi sehingga tetua yang dipilih adalah tetua yang membawa gen dominan lebih banyak. Tetua yang mewariskan alel dominan untuk karakter tinggi tanaman adalah Ceneng, Pangrango dan Slamet. Tabel 3. Ragam dan peragam array karakter tinggi tanaman saat panen pada kondisi intensitas cahaya rendah Tetua Vr Wr Vr+Wr Yr R (Yr, Vr+Wr) Ceneng Godek Slamet Pangrango Total Rata- rata Karakter Jumlah Cabang Produktif Sebaran tetua di sepanjang garis regresi menunjukkan bahwa tetua Slamet paling dekat dengan titik nol yang menunjukkan bahwa jumlah gen dominan yang mengendalikan jumlah buku total paling banyak terdapat pada tetua Slamet lalu diikuti oleh Ceneng, Godek dan Pangrango (Gambar 3). Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai Vr + Wr yang paling kecil terdapat pada Slamet (Tabel 4). Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan peragam tetua (Vr+Wr) bernilai negatif yaitu -0.9 meskipun tidak nyata.

56 39 Hal ini menunjukkan bahwa alel yang paling berperan meningkatkan jumlah cabang produktif adalah alel dominan. Tetua yang mewariskan alel dominan paling banyak untuk karakter jumlah cabang produktif adalah Ceneng, Pangrango dan Slamet. Tabel 4. Ragam dan peragam array karakter jumlah cabang produktif pada kondisi intensitas cahaya rendah Tetua Vr Wr Vr+Wr Yr r (Yr, Vr+Wr) Ceneng Godek Slamet Pangrango Total Rata- rata Karakter Jumlah Buku Total Sebaran tetua sepanjang garis regresi menunjukkan bahwa genotipe Godek dan Pangrango terletak paling jauh dari titik origin, sedangkan genotipe Ceneng dan Slamet terletak paling dekat ke titik origin. Hal ini menunjukkan bahwa tetua Godek dan Pangrango lebih banyak membawa gen resesif dan tetua Slamet dan Ceneng lebih banyak membawa gen dominan (Gambar 4). Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai Vr + Wr yang paling kecil terdapat pada tetua Slamet dan Ceneng, sedangkan yang paling besar terdapat Pangrango (Tabel 5). Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan peragam tetua (Vr+Wr) bernilai negatif yaitu -0.6 meskipun tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa alel yang paling berperan meningkatkan jumlah buku total adalah alel dominan. Tetua yang mewariskan alel dominan paling banyak untuk karakter jumlah buku adalah Ceneng, Godek dan Slamet Tabel 5. Ragam dan peragam array karakter jumlah buku total pada kondisi intensitas cahaya rendah Tetua Vr Wr Vr+Wr Yr R (Yr, Vr+Wr) Ceneng Godek Slamet Pangrango Total Rata- rata

57 40 Karakter Jumlah Polong Karakter jumlah polong yang diamati meliputi jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, dan persentase polong isi. Berdasarkan sebaran tetua di sepanjang garis regresi untuk karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, dan persentase polong isi dapat dijelaskan bahwa tetua Ceneng dan Pangrango memiliki jumlah gen dominan paling banyak untuk karakter jumlah polong isi dan jumlah polong total. Tetua Pangrango memiliki jumlah gen dominan paling banyak untuk karakter jumlah polong hampa dan persentase polong isi. Secara umum pada Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7, dan Gambar 8 terlihat bahwa tetua Ceneng dan Pangrango lebih dekat ke titik origin dibandingkan tetua Godek dan Slamet. Jika dibandingkan nilai penjumlahan Vr + Wr tetua Ceneng dan Pangrango memiliki nilai lebih kecil untuk karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa dan persentase polong isi. Tetua Godek dan Slamet memiliki nilai Vr + Wr yang lebih besar untuk karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa dan persentase polong isi yang berarti tetua Godek dan Slamet lebih banyak memiliki gen-gen resesif (Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9). Tabel 6. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah Tetua Vr Wr Vr+Wr Yr R (Yr, Vr+Wr) Ceneng Godek Slamet Pangrango Total Rata- rata Tabel 7. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong hampa pada kondisi intensitas cahaya rendah Tetua Vr Wr Vr+Wr Yr R (Yr, Vr+Wr) Ceneng Godek Slamet Pangrango Total Rata- rata

58 41 Tabel 8. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong total pada kondisi intensitas cahaya rendah Tetua Vr Wr Vr+Wr Yr R (Yr, Vr+Wr) Ceneng Godek Slamet Pangrango Total Rata- rata Tabel 9. Ragam dan peragam array karakter persentase polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah Tetua Vr Wr Vr+Wr Yr R (Yr, Vr+Wr) Ceneng Godek Slamet Pangrango Total Rata- rata Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan peragam tetua (Vr + Wr) untuk karakter jumlah polong bernilai negatif kecuali jumlah polong hampa meskipun tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa alel yang paling berperan dalam meningkatkan jumlah polong kecuali jumlah polong hampa adalah alel dominan. Alel yang paling berperan dalam peningkatan jumlah polong hampa adalah alel resesif. Pada karakter jumlah polong hampa alel yang diinginkan adalah alel dominan karena akan mengurangi jumlah polong hampa. Tetua yang mewariskan alel dominan untuk karakter jumlah polong adalah tetua Ceneng dan Pangrango. Karakter Daya Hasil Jumlah gen dominan yang mengendalikan daya hasil paling banyak terdapat pada tetua Godek, Pangrango dan Slamet karena Godek, Pangrango dan Slamet terletak paling dekat terhadap titik origin, sedangkan Ceneng memiliki jumlah gen resesif paling banyak karena terletak jauh dari titik origin (Gambar 9). Jika dilihat nilai Vr +Wr, maka tetua Ceneng memiliki nilai paling besar, berarti

59 42 bahwa tetua Ceneng memiliki gen resesif yang paling banyak untuk karakter daya hasil (Tabel 10). Nilai koefisien korelasi antara nilai genotipe tetua dengan jumlah ragam dan peragam tetua (Vr+Wr) bernilai positif yaitu 0.8 meskipun tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa alel yang paling berperan meningkatkan daya hasil adalah alel resesif. Tetua yang mewariskan alel resesif paling banyak untuk karakter daya hasil adalah tetua Ceneng. Tabel 10. Ragam dan peragam array karakter daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah Tetua Vr Wr Vr+Wr Yr R (Yr, Vr+Wr) Ceneng Godek Slamet Pangrango Total Rata- rata Dalam penelitian ini diketahui bahwa tidak satu pun tetua yang membawa gen dominan atau resesif saja untuk semua karakter. Tetua Ceneng membawa gen dominan lebih banyak untuk karakter tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah buku, jumlah polong isi dan jumlah polong total, tetapi membawa gen resesif lebih banyak untuk karakter daya hasil. Tetua Pangrango juga tergolong tetua berdaya hasil tinggi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Tetua Pangrango membawa gen dominan lebih banyak untuk karakter jumlah cabang produktif, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, dan daya hasil, tetapi membawa gen resesif paling banyak untuk karakter jumlah polong total. Berbagai hasil penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa tidak satu tetua pun membawa gen-gen dominan saja atau resesif saja untuk semua karakter. Misalnya hasil penelitian Iqbal et al. (2003), salah satu tetua gandum yang digunakan dalam analisis diallel adalah genotipe RL-18. Genotipe RL-18 mempunyai gen dominan lebih banyak untuk umur berbunga, sedangkan untuk umur panen genotipe RL-18 mempunyai lebih banyak gen resesif. Saleem et al. (2005), melaporkan bahwa pada gandum tetua Fsd 85 mempunyai gen dominan

60 43 lebih banyak untuk karakter luas daun bendera dan tinggi tanaman pada gandum, tetapi mempunyai gen resesif lebih banyak untuk karakter berat bulir per tanaman. Dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah alel yang diinginkan adalah alel yang berperan untuk mengurangi tinggi tanaman dan jumlah polong hampa serta alel yang berperan meningkatkan jumlah cabang, jumlah buku, jumlah polong isi, jumlah polong dan daya hasil. Dalam penelitian diperoleh informasi bahwa alel yang berperan dalam mengurangi tinggi tanaman dan jumlah polong hampa adalah alel dominan, serta alel yang berperan untuk meningkatkan jumlah cabang produktif, jumlah buku, jumlah polong isi, polong total dan persentase polong isi adalah alel dominan, tetapi bobot per tanaman ditentukan oleh alel resesif. Berdasarkan alel yang diwariskan untuk masing-masing karakter oleh tetua yang digunakan maka dapat dipilih tetua yang mewariskan gen-gen yang diinginkan. Di antara ke empat tetua yang digunakan, tetua yang paling banyak mewariskan alel-alel yang diinginkan adalah tetua Ceneng yang diikuti oleh Slamet dan Pangrango. Hasil analisis grafik hubungan antara ragam dan peragam tetua menunjukkan tetua Ceneng, Pangrango, dan Slamet berpotensi untuk dijadikan tetua dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Informasi ini didukung oleh La Muhuria (2007) yang melaporkan bahwa tetua Ceneng memiliki daya gabung umum tertinggi di antara keempat tetua yang digunakan untuk karakter kerapatan trikoma, kandungan klorofil dan daya hasil. Hal ini menunjukkan bahwa tetua Ceneng mempunyai kemampuan paling baik dalam mewariskan gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut. Berdasarkan alel-alel yang diwariskan oleh masing-masing tetua, maka informasi yang diperoleh dalam penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diperoleh informasi bahwa tetua Ceneng dan Pangrango adalah tetua yang toleran dan berdaya hasil lebih tinggi pada kondisi intensitas cahaya rendah dibandingkan Slamet dan Godek (Sopandie et al. 2002; Sopandie et al. 2006). Di antara ke empat tetua yang digunakan, tetua yang banyak mewariskan alel-alel yang diinginkan untuk adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah adalah tetua Ceneng dan Pangrango.

61 44 Pendugaan Komponen Ragam Berdasarkan pengujian terhadap model genetik aditif dominan diketahui bahwa karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah dipengaruhi oleh ragam aditif dan ragam dominan (Tabel 11). Ragam aditif berpengaruh sangat nyata terhadap karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi, dan daya hasil. Ragam dominan berpengaruh sangat nyata terhadap semua karakter yang diamati kecuali jumlah buku total. Jika dibandingkan dengan pengaruh ragam aditif maka pengaruh ragam dominan lebih besar pada pewarisan karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, dan jumlah polong total. Nilai rata-rata peragam aditif dan dominan pada array tertentu (F) hanya berbeda nyata untuk karakter persentase polong isi dan daya hasil. Pendugaan komponen genetik F menunjukkan bahwa semua karakter memiliki nilai F lebih besar dari standar error kecuali karakter kecuali jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok tetua terdapat predominansi alel-alel resesif (Roy 2000). Tabel 11. Nilai pengaruh ragam aditif, ragam dominan dan rata-rata peragam aditif dan dominan terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah Karakter Ragam aditif (D) rata-rata peragam aditif dan dominan (F) Ragam dominan (H 1 ) Tinggi saat panen ± ± ** ± Jumlah cabang produktif 0.01 ± ± ** ± 4.21 Jumlah buku total 0.01 ± ± ± Jumlah polong isi ± ± ** ± Jumlah polong hampa ** ± ** ± ** ± 3.58 Jumlah polong total ± ± ** ± Persentase polong isi ** ± ** ± ** ± Daya hasil 7.21 ** ± ** ± **± 0.91 Keterangan *: berbeda nyata pada α = 5% **: berbeda sangat nyata pada α =1%

62 45 Ragam dominan berpengaruh nyata pada karakter ketahanan kedelai terhadap penyakit yang disebabkan oleh Fusarium solani f. sp. glycines, tetapi pengaruh ragam aditif sangat kecil (Fronza et al. 2004). Agustina (2004) melaporkan bahwa hampir semua karakter agronomi padi pada kondisi cekaman Al dipengaruhi ragam dominan, tetapi ragam aditif hanya berpengaruh pada beberapa karakter. Karakter yang dipengaruhi ragam dominan adalah jumlah anakan produktif, umur berbunga, panjang malai, jumlah gabah/malai, jumlah gabah isi, persentase gabah isi dan hampa, serta berat gabah per rumpun, di antaranya yang dipengaruhi oleh ragam aditif hanya karakter jumlah anakan produktif, umur berbunga dan panjang malai yang dipengaruhi oleh ragam aditif. Tabel 12. Distribusi gen pada tetua dan pengaruh dominansi (h 2 ) terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah Karakter H 2 Pengaruh dominansi (h 2 ) Tinggi saat panen 97.26* ± ** ± Jumlah cabang produktif 0.43* ± ** ± 0.16 Jumlah buku total 8.1* ± ** ± 2.87 Jumlah polong isi ** ± ** ± Jumlah polong hampa 8.26 * ± ** ± 2.43 Jumlah polong total ** ± ** ± Persentase polong isi ** ± ** ± Daya hasil 2.94** ± ** ± 1.34 Keterangan: H2 = H1 (1-(u-v)2), u = proporsi gen-gen positif dalam tetua, v = proporsi gen-gen negative dalam tetua *: berbeda nyata pada uji t dengan α= 5% **: berbeda sangat nyata pada uji t dengan α= 1% Berdasarkan uji t juga diketahui bahwa nilai H 2 berbeda nyata untuk semua karakter yang diamati. Hal ini menunjukkan distribusi gen-gen yang mengendalikan karakter tinggi saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, persentase polong isi dan daya hasil tidak menyebar merata di antara kedua tetua. Pengaruh dominansi terlihat sangat nyata pada semua karakter yang diamati. Pengaruh dominan yang besar terdapat pada karakter tingggi tanaman saat panen, jumlah polong isi, jumlah polong total dan persentase polong isi (Tabel 12).

63 46 Berdasarkan nilai dugaan terhadap komponen ragam maka parameter genetik lainnya yang dapat dihitung adalah rata-rata derajat dominansi, jumlah kelompok gen yang mengendalikan dan memberikan efek dominansi, proporsi gen yang memberikan efek positif dan negatif dalam tetua serta proporsi gen dominan dan resesif dalam tetua serta dominansi. Derajat dominansi ditentukan dengan menggunakan nilai akar dari rasio ragam dominan terhadap ragam adititf (H 1 /D) 0.5 untuk menentukan rata-rata derajat dominansi, yaitu : over dominance jika (H 1 /D) 0.5 >1, dominan lengkap jika (H 1 /D) 0.5 = 1, dan dominan parsial (H 1 /D) 0.5 <1 (Roy (2000). Dalam penelitian ini diperoleh bahwa pewarisan karakter jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah cabang produktif, jumlah polong isi dan jumlah polong total dikendalikan oleh gen-gen yang over dominance yang ditandai dengan nilai (H 1 /D) 0.5 lebih besar dari satu, sedangkan karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil dikendalikan oleh dominansi parsial (Tabel 13). Pengaruh aksi gen over dominance sangat umum ditemui pada tanaman menyerbuk sendiri. Hasil penelitian Saleem et al. (2005) pada gandum menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman dan bobot bulir per tanaman dikendalikan oleh aksi gen over dominance. Khan dan Habib (2003) melaporkan bahwa tinggi tanaman gandum dikendalikan oleh aksi gen dominansi parsial sedangkan bobot bulir per tanaman dikendalikan oleh aksi gen over dominance. Chowdry et al. (2002) menyatakan bahwa tinggi tanaman dan berat bulir per tanaman pada gandum dikendalikan oleh aksi gen over dominance. Karakter jumlah polong per tanaman dan jumlah benih per polong pada snap bean dikendalikan oleh aksi gen over dominance, sedangkan karakter berat polong per tanaman dikendalikan aksi gen dominansi parsial (Silva et al. 2004). Hasil pengujian ketahanan beberapa genotipe kedelai menunjukkan bahwa karakter ketahanan terhadap Fusarium solani f.sp. glycines dikendalikan oleh aksi gen over dominance (Fronza et al. 2004). Semua karakter agronomi yang diamati memiliki jumlah kelompok gen yang mengendalikan dan menimbulkan efek dominansi lebih dari satu kecuali untuk karakter jumlah buku total. Karakter jumlah polong total memiliki jumlah

64 47 kelompok gen paling banyak. Berdasarkan pengujian model genetik aditif dominan hanya karakter jumlah polong total yang menunjukkan adanya epistasis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat paling tidak 6 kelompok gen yang mengendalikan dan menimbulkan efek dominansi pada karakter jumlah polong total. Kelompok gen ini sangat memungkinkan terjadinya epistasis karena menurut Roy (2000), epistasis dapat terjadi jika suatu karakter dikendalikan minimal oleh dua kelompok gen. Karakter lain yang tidak menunjukkan adanya epistasis juga dikendalikan oleh lebih dari dua kelompok gen kecuali jumlah buku total dan daya hasil (Tabel 13). Tabel 13. Rata-rata derajat dominansi ((H1/D) 0.5 ), proporsi gen yang memberikan efek positif dan negatif dalam tetua (H 2 /4H 1 ), proporsi gen dominan dan resesif dalam tetua (K D /K R ) serta jumlah kelompok gen yang memberikan efek dominansi (h 2 /H 2 ) Karakter (H1/D) 0.5 h 2 /H 2 H 2 /4H 1 K D /K R Tinggi saat panen Jumlah cabang produktif Jumlah buku total Jumlah polong isi Jumlah polong hampa Jumlah polong total Persentase polong isi Daya hasil Distribusi gen-gen pada tetua dapat diketahui berdasarkan nilai H 2, H 2 /4H 1 dan K D /K R. Jika nilai H 2 berbeda nyata berdasarkan uji t maka gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut menyebar tidak merata di antara kedua tetua. Jika nilai H 2 /4H 1 lebih besar atau lebih kecil dari 0.25 berarti gen-gen yang berpengaruh positif dan negatif tidak menyebar merata di antara kedua tetua. Nilai K D /K R digunakan untuk menentukan apakah gen-gen dominan dan resesif menyebar merata atau tidak pada tetua. Jika nilai K D /K R lebih besar atau lebih kecil dari satu maka gen-gen dominan dan resesif tidak menyebar merata di anatar kedua tetua (Roy 2000). Menurut Hayman (1954), jika nilai H1 lebih besar dari H2 berarti bahwa gen yang berpengaruh positif dan negatif terhadap karakter tersebut tidak menyebar merata pada kedua tetua.

65 48 Penyebaran gen-gen yang berpengaruh positif dan negatif tidak merata di antara tetua yang ditunjukkan dengan nilai H 2 /4H 1 lebih kecil dari 0.25 kecuali untuk karakter jumlah polong total. Demikian juga dengan penyebaran gen-gen dominan dan resesif di antara tetua juga tidak menyebar merata yang ditunjukkan oleh nilai K D /K R lebih besar atau lebih kecil dari satu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tetua lebih banyak membawa gen dominan untuk semua karakter yang ditunjukkan oleh nilai mempunyai nilai K D /K R yang lebih besar dari 1 (Tabel 13). Berdasarkan informasi yang diperoleh dalam ini penelitian ini ternyata tidak semua asumsi yang dinyatakan oleh Hayman (1954) dapat dipenuhi. Asumsi bahwa tetua homozigot, segregasi mengikuti pola segregasi diploid dan tidak ada pengaruh tetua betina pada karakter agronomi kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah dapat dipenuhi. Asumsi tidak terdapat epistasis dapat dipenuhi kecuali untuk karakter jumlah polong total. Asumsi bahwa gen-gen menyebar merata di antara tetua tidak dapat dipenuhi pada semua karakter yang diamati. Berdasarkan informasi dari hasil penelitian ini maupun studi literatur beberapa asumsi tidak dapat dipenuhi. Tidak terpenuhi asumsi tersebut mengakibatkan nilai duga nilai heritabilitas yang diperoleh menjadi lebih kecil dari nilai sebenarnya. Berdasarkan hasil pendugaan dan pengujian terhadap asumsi yang dinyatakan oleh Hayman diketahui bahwa tidak semua asumsi tersebut dapat dipenuhi. Menurut Burton (1987), beberapa asumsi yang dikemukakan oleh Hayman seperti tidak terdapat epistasis, distribusi gen merata di antara kedua tetua dan tidak terdapat pengaruh alel ganda kadang-kadang tidak dapat dipenuhi sehingga menyebabkan adanya bias dalam pendugaan komponen ragam. Heritabilitas Heritabilitas merupakan proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipe yang dinyatakan dalam satuan persen. Heritabilitas arti luas merupakan proporsi ragam genetik total ragam terhadap fenotipe, sedangkan heritabilitas arti sempit adalah proporsi ragam aditif terhadap ragam fenotipe. Stanfield (1983) membagi

66 49 nilai heritabilitas arti luas ke dalam 3 kelompok, yaitu rendah (h 2 0.2), sedang (0.2 h 2 0.5), dan tinggi (h 2 > 50%). Tabel 14. Nilai heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah Karakter Heritabilitas arti sempit (h 2 ns) Heritabilitas arti luas (h 2 bs) Tinggi saat panen Jumlah cabang produktif Jumlah buku total Jumlah polong isi Jumlah polong hampa Jumlah polong total Persentase polong isi Daya hasil Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa semua karakter yang diamati mempunyai nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi. Nilai heritabilitas arti luas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai heritabilitas arti sempit pada semua karakter yang diamati karena pengaruh ragam dominan yang besar. Nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi pada karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil, sedangkan karakter lainnya mempunyai nilai heritabilitas yang rendah (Tabel 14). Karakter yang mempunyai ragam dominan besar cenderung mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang rendah. Selain disebabkan oleh besarnya ragam dominan, pada karakter jumlah polong total juga disebabkan oleh ragam epistasis. Adanya pengaruh epistasis menyebabkan nilai dugaan heritabilitas arti sempit pada karakter jumlah polong total seharusnya lebih besar dari nilai dugaannya. Menurut Roy (2000), pendugaan nilai heritabilitas dapat dilakukan dengan baik jika tidak terdapat aksi gen epistasis dan pautan gen. Tidak terpenuhinya beberapa asumsi yang disampaikan oleh Hayman (Hayman, 1954) menyebabkan nilai duga komponen ragam menjadi bias sehingga nilai heritabilitas yang diperoleh dapat lebih kecil dari nilai yang sebenarnya. Hal ini juga mengakibatkan kemajuan genetik setiap generasi seleksi dapat lebih kecil dari keadaan sebenarnya.

67 50 Berdasarkan hasil pendugaan dan pengujian terhadap asumsi yang dinyatakan oleh Hayman diketahui bahwa tidak semua asumsi tersebut dapat dipenuhi. Menurut Burton (1987), beberapa asumsi yang dikemukakan oleh Hayman seperti tidak terdapat epistasis, distribusi gen merata di antara kedua tetua dan tidak terdapat pengaruh alel ganda kadang-kadang tidak dapat dipenuhi sehingga menyebabkan adanya bias dalam pendugaan komponen ragam. Seleksi dan Kemajuan Seleksi Pemilihan karakter seleksi akan memberikan kemajuan genetik yang sebenarnya jika dilakukan berdasarkan nilai heritabilitas arti sempit. Nilai heritabilitas arti sempit mencerminkan ragam yang diwariskan pada generasi berikutnya sehingga nilai heritabilitas arti sempit sangat bermanfaat untuk menduga kemajuan genetik. Kemajuan genetik yang diperoleh berbanding lurus dengan nilai heritabilitas arti sempit dan ragam fenotipe. Tabel 15. Respon seleksi karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah Karakter H 2 ns (%) (VP) 0.5 (%) Respon seleksi Jumlah cabang produktif cabang Jumlah buku total buku Jumlah polong isi polong Jumlah polong hampa polong Jumlah polong total polong Persentase polong isi persen Daya hasil gram Keterangan: h ns = heritabilitas arti sempit (VP) 0.5 = simpangan baku ragam fenotipe Berdasarkan nilai heritabilitas arti sempit maka seleksi untuk perbaikan daya hasil kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah dapat dilakukan melalui seleksi langsung terhadap daya hasil. Seleksi langsung terhadap daya hasil diharapkan memberikan kemajuan genetik yang maksimal karena daya hasil mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang cukup tinggi. Karakter jumlah polong hampa dan persentase polong isi berpotensi untuk digunakan sebagai karakter seleksi pada generasi awal secara simultan dengan daya hasil.

68 51 Kemajuan genetik yang diperoleh setiap siklus seleksi dengan intensitas seleksi sepuluh persen ditunjukkan oleh peningkatan jumlah cabang, jumlah buku, jumlah polong isi, jumlah polong total, persentase polong polong isi dan daya hasil seperti terdapat pada Tabel 15. Disamping itu juga ditunjukkan oleh penurunan jumlah polong hampa. Seleksi peningkatan daya hasil tinggi dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan daya hasil sebagai karakter primer atau tidak langsung melalui karakter komponen hasil sebagai karakter sekunder. Kelemahan melakukan seleksi langsung terhadap hasil dapat menyebabkan tidak terpilihnya genotipe yang mempunyai karakter komponen hasil yang baik karena daya hasilnya rendah. (Roy 2000). Guna memaksimalkan kemajuan seleksi maka seleksi dapat dilakukan secara simultan menggunakan beberapa karakter komponen hasil. Disamping memperbaiki daya hasil, keuntungan melakukan seleksi secara tidak langsung juga akan memperbaiki karakter yang digunakan sebagai karakter seleksi. Tabel 16. Hasil pengukuran efektivitas seleksi untuk daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. h 2 ns karakter sekunder r g Respon terkorelasi Karakter seleksi (%) Tinggi saat panen Jumlah cabang Jumlah buku total Jumlah polong isi Jumlah polong hampa Jumlah polong total Persentase polong isi Keterangan: h ns = heritabilitas arti sempit r g = korelasi genotipe dengan daya hasil Suatu karakter sekunder dapat dijadikan karakter seleksi jika mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi dan berperan dalam peningkatan daya hasil. Oleh karena itu diperlukan pengukuran efektivitas seleksi jika seleksi dilakukan secara tidak langsung dengan mengukur respon terkorelasi suatu karakter terhadap daya hasil (Wricke dan Weber 1986; Falconer dan Mackay 1996; Roy 2000).

69 52 Nilai respon terkorelasi masing masing karakter sekunder terdapat pada Tabel 16. Suatu karakter sekunder dapat dijadikan karakter seleksi tidak langsung jika mempunyai nilai efektivitas seleksi lebih besar dari atau sama dengan satu (Ceccareli et al. 2007). Dalam penelitian ini tidak ada satu pun karakter yang mempunyai respon terkorelasi lebih besar dari atau sama dengan satu karena karakter selain hasil memiliki nilai heritabilitas yang rendah dan koefisien korelasi genotipe dengan daya hasil juga rendah. Namun di antara karakter yang diamati, karakter yang memperlihatkan nilai efektifitas seleksi cukup besar adalah jumlah polong isi, jumlah polong total dan persentase polong isi. Penggunaan karakter jumlah polong isi, dan jumlah polong total sebagai karakter seleksi untuk meningkatkan daya hasil pada kedelai telah banyak dilaporkan (Isler dan Caliskan 1998; Archana et al. 1999; Khanghah dan Sohani 1999; Shrivasatava et al. 2001; Iqbal et al. 2003; Bizeti et al. 2004). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Keragaman genetik yang muncul pada karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, persentase polong isi, dan daya hasil dalam kondisi intensitas cahaya rendah mengikuti model aditif dominan, kecuali karakter jumlah polong total. 2. Tetua Ceneng dan Pangrango merupakan tetua yang paling banyak mewariskan gen-gen yang diinginkan dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah. 3. Ragam dominan berpengaruh nyata terhadap semua karakter, sedangkan ragam aditif hanya nyata untuk karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil 4. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk semua karakter yang diamati yaitu berkisar antara %, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi untuk karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil 5. Karakter yang dapat dijadikan karakter seleksi bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah adalah daya hasil

70 53 Saran 1. Karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi disarankan untuk dijadikan karakter seleksi bersama-sama dengan daya hasil untuk seleksi pada generasi awal 2. Seleksi pada generasi lanjut dapat menggunakan semua karakter yang diamati

71 54 ANALISIS QTL YANG MENGENDALIKAN KARAKTER AGRONOMI KEDELAI PADA KONDISI INTENSITAS CAHAYA RENDAH ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang digunakan adalah tetua Ceneng dan Godek, masing-masing merupakan tetua toleran dan peka terhadap intensitas cahaya rendah dan RILs F6 hasil persilangan kedua tetua. Hasil yang diperoleh dari analisis molekuler adalah 9 primer RAPD yang menghasilkan 14 marka RAPD yang polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Konstruksi peta pautan dibuat dengan menggunakan 14 marka RAPD tersebut menghasilkan satu kelompok pautan yang mengandung tujuh marka. Dalam penelitian ini diperoleh dua QTL yang masingmasing mengendalikan karakter jumlah buku total dan daya hasil. Marka yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter jumlah buku total adalah OPE15-800, sedangkan marka RAPD yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter daya hasil adalah OPM Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan untuk menggunakan marka yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil sebagai alat bantu seleksi bagi kedelai toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Kata kunci: Kedelai, RAPD, QTL, daya hasil, intensitas cahaya rendah QTL ANALYSIS OF AGRONOMIC TRAITS UNDER LOW LIGHT INTENSITY CONDITION ABSTRACT The objective of this study was to identify RAPD markers linked to QTL related to agronomic traits of soybean under low light intensity condition. The genetic materials used in the QTL analysis based on RAPD markers were Ceneng, Godek and F6 Recombinant Inbred Lines derived from a hybridization between Ceneng (tolerant parent) and Godek (sensitve parent). The results of the molecular analysis show that 9 primers were polymorphic and linked to the tolerant parent. The Primers only produced 14 RAPD markers which were polymorphic and linked to the tolerant parent. The markers are distributed into a linkage group that containing seven markers. RAPD markers (OPE15-800, OPM20-800) is linked to two QTLs controlling number of productive node and seed weight, respectively. The marker linked to QTL controlling seed weight could be used in a marker assisted selection for tolerant soybean lines to low light intensity. Keywords: soybean, RAPD, QTL, seed weight, low ligth intensity, tolerance

72 55 PENDAHULUAN Latar Belakang Kendala utama budidaya kedelai di bawah tegakan karet adalah penurunan intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman yang dapat mencapai 75% di bawah tegakan karet yang berumur 4 tahun (Chozin et al. 1998). Intensitas cahaya rendah adalah faktor yang membatasi pertumbuhan dan produksi kedelai di bawah tegakan karet. Pemanfaatan lahan di bawah tegakan karet untuk pertanaman kedelai dengan pola tumpangsari akan menguntungkan jika tersedia varietas yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah (Sopandie et al. 2006). Pemuliaan kedelai untuk toleransi terhadap intensitas cahaya rendah sudah dimulai oleh Sopandie et al. (2002) dengan melakukan koleksi dan karakterisasi plasma nutfah kedelai. Sampai saat ini pemuliaan kedelai untuk toleransi terhadap intensitas cahaya rendah sudah memasuki tahap seleksi. Kendala yang dihadapi dalam seleksi adalah belum ada karakter seleksi yang tepat untuk kedelai toleran intensitas cahaya rendah (Sopandie et al. 2006). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa daya hasil mempunyai nilai heritabilitas lebih besar dibandingkan dengan karakter lainnya sehingga seleksi akan efisien jika dilakukan berdasarkan daya hasil (La Muhuria 2007; Kisman 2007). Kelemahan seleksi berdasarkan hasil adalah seleksi harus dilakukan di bawah naungan paranet atau di bawah tegakan tanaman karet. Kendala yang dihadapi untuk seleksi di bawah tegakan tanaman karet adalah sulitnya mendapatkan lingkungan seleksi dengan tingkat dan waktu cekaman yang sesuai. Jika seleksi dilakukan di bawah tegakan tanaman karet maka akan menjadi sulit karena adanya interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kualitatif menyebabkan sulitnya memilih genotipe yang unggul karena cekaman lingkungan dapat menyebabkan penurunan daya hasil yang cukup tajam (Romagosa dan Fox 1993). Untuk memaksimalkan kemajuan seleksi pada lingkungan bercekaman maka seleksi harus dilakukan pada lingkungan target dengan karakter seleksi yang tepat (Tester dan Bacic 2005; Ceccareli et al. 2007).

73 56 Seleksi pada lingkungan bercekaman memerlukan karakter seleksi yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan (stabil) atau mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi dan tidak memperlihatkan interaksi genotipe dengan lingkungan. Karakter seleksi yang demikian adalah karakter kualitatif, namun sampai sejauh ini belum dilaporkan adanya karakter kualitatif kedelai yang dapat dijadikan karakter seleksi untuk perbaikan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Dengan demikian masih diperlukan pengembangan karakter seleksi guna meningkatkan efisiensi seleksi bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Alternatif lain untuk mendapatkan karakter seleksi yang stabil adalah dengan memanfaatkan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi atau marker assisted selection (MAS). Untuk dapat memanfaatkan marka molekuler sebagai MAS dalam program seleksi terhadap karakter yang diinginkan maka marka yang berasosiasi dengan QTL yang mengendalikan karakter yang ingin diperbaiki harus diidentifikasi terlebih dahulu. Identifikasi marka yang berasosiasi dengan QTL dapat dilakukan dengan analisis pautan dan pemetaan QTL dengan menggunakan data kuantitatif dan data molekuler (Forster et al. 2000; Azrai et al. 2002; Ruswandi et al. 2002; Hussain 2006). Keuntungan memanfaatkan marka molekuler sebagai MAS adalah marka molekuler bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh lingkungan, jumlah tidak terbatas dan memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Seleksi dengan bantuan marka molekuler dapat dilakukan pada generasi awal dan tidak tergantung pada stadia pertumbuhan tanaman sehingga hasil seleksi yang diperoleh lebih akurat (Arus dan Moreno-Gonzales 1994; Forster et al. 2000; Brar 2002; Hussain 2006). Pemanfaatan marka yang terpaut dengan QTL merupakan strategi yang efisien untuk mendapatkan varietas baru yang berdaya hasil tinggi dan sekaligus membawa satu sifat ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik (Korzun 2004; Terry et al. 2000). Selain itu seleksi berdasarkan marka molekuler akan lebih mudah karena tidak perlu dilakukan di lingkungan target. Sampai sejauh ini informasi tentang pengembangan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi untuk mendukung pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan. Hasil penelitian terdahulu yang dilaporkan oleh Handayani (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa

74 57 marka RAPD yang terpaut dengan tetua toleran, tetapi belum dilaporkan adanya QTL yang mengendalikan karakter daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Keterbatasan informasi tentang QTL yang mengendalikan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah mendorong perlunya penelitian ini agar dapat memperkaya informasi tentang QTL yang mengendalikan berbagai karakter agronomi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Setelah analisis QTL diharapkan dapat diperoleh marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Selanjutnya marka yang terpaut dengan QTL akan dijadikan alat bantu seleksi bagi daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Tujuan 1. Menyusun peta pautan marka RAPD untuk toleransi terhadap toleran intensitas cahaya rendah 2. Mengidentifikasi QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah BAHAN DAN METODE Percobaan ini terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) Pembentukan RILs F6, (2) Analisis fenotipe RILs F6 pada kondisi intensitas cahaya rendah, (3) Konstruksi peta pautan bagi tetua toleran intensitas cahaya rendah. Tujuan masing-masing tahapan adalah membentuk populasi RILs F6, mendapatkan informasi tentang keragaan dan keragaman RILs F6 pada kondisi intensitas cahaya rendah, serta mendapatkan peta pautan toleransi terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan marka RAPD. Data yang diperoleh dari percobaan tahap 2 dan tahap 3 digunakan untuk mengidentifikasi QTL yang berhubungan dengan karakter agronomi kedelai pada intensitas cahaya rendah. Percobaan lapang dilaksanakan di kebun percobaan milik BB BIOGEN Cimanggu, Bogor pada bulan Juni 2005 sampai dengan Agustus Percobaan labotarorium dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor dan Laboratorium RGCI, Departemen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006.

75 58 1. Pembentukan Populasi Pemetaan: Pembentukan RILs F6 Bahan tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah 100 genotipe RILs generasi F5 hasil persilangan antara tetua Ceneng dan Godek. Kedua tetua yang digunakan masing-masing merupakan tetua toleran dan peka terhadap intensitas cahaya rendah. Metode Pengolahan tanah sampai siap tanam dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan bantuan alat bajak. Benih ditanam dalam sebuah petak yang berukuran 33 x 3 m 2 dengan jarak tanam 15 x 30 cm 2. Sebelum dibuat petak, lahan tanam diberi pupuk kandang. Benih ditanam sebanyak 2 benih per lubang. Seminggu sesudah tanam, tanaman diberi pupuk dasar dengan dosis 100 kg/ha SP6, 200 kg/ha Urea, dan 100 kg/ha KCl. Gulma yang mengganggu pertanaman dibersihkan sebanyak 3 kali, sedangkan untuk menghindari serangan hama dan penyakit, tanaman disemprot dengan fungisida dan pestisida. Karakter yang diamati dalam penelitian ini adalah karakter morfologi dan agronomi yang terdiri dari tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, persentase polong isi, dan daya hasil. Analisa Data Data diolah dengan menggunakan perangkat Microsoft EXCEL dan Minitab versi Pengolahan data dimulai dengan menghitung nilai rata-rata masingmasing karakter lalu dilanjutkan dengan menduga nilai parameter genetik. Pendugaan parameter genetik meliputi pendugaan nilai komponen ragam dimulai dengan menghitung ragam fenotipe (V p ) yang merupakan ragam populasi F5 dengan menggunakan rumus: i V p = Σ (Xi µ)/n-1 n=1 ragam lingkungan (V e ) yang di duga dari ragam tetua dengan rumus: V e = (V p1 + V p2 + V p3 + V p4 )/4

76 59 ragam genetik (V g ) diduga dengan rumus: V g = V p - V e sehingga dapat dihitung nilai heritabilitas arti luas (h bs ) dengan rumus: (h bs ) = V g 100 % V e Hubungan antar karakter dianalisis dengan menghitung nilai koefisien korelasi Pearson. Masing-masing nilai koefisien korelasi diuji pada taraf nyata 0.01 (Gomez dan Gomez 1995). Nilai koefisien korelasi (r) dihitung dengan rumus: r xy = cov xy σ x σ y dimana, cov xy = peragam antara karakter x dengan karakter y σ x = simpangan baku karakter komponen hasil = simpangan baku karakter hasil σ y 2. Analisis Fenotipe Tetua dan RILs F6 Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah tetua Ceneng dan Godek, masingmasing merupakan tetua toleran dan peka terhadap intensitas cahaya rendah, F1 dan 45 RILs F6 hasil persilangan kedua tetua. Genotipe RILs F6 diperoleh dari hasil percobaan pada tahap 1. Metode Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan genotipe sebagai perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah genotipe yaitu 45 RILs generasi F6 yang diulang tiga kali. Penelitian dilaksanakan di bawah naungan paranet dengan intensitas cahaya 45%. Pengolahan tanah sampai siap tanam dilakukan dua minggu sebelum tanam. Satuan percobaan yang digunakan berbentuk baris, masing-masing baris terdiri dari 10 lubang tanam yang ditanami satu benih per lubang. Seminggu sesudah tanam, tanaman diberi pupuk dasar dengan dosis 100 kg/ha SP6, 200 kg/ha Urea, dan 100 kg/ha KCl. Gulma yang mengganggu pertanaman dibersihkan sebanyak 3 kali, sedangkan untuk menghindari serangan hama dan penyakit, tanaman disemprot dengan fungisida

77 60 dan pestisida. Karakter yang diamati dalam penelitian ini adalah karakter agronomi yang terdiri dari tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, persentase polong isi, dan daya hasil. Analisis data yang dilakukan terdiri dari: Analisis Data 1. Uji nilai tengah antara tetua Ceneng dan Godek: dilakukan dengan menggunakan uji t dengan bantuan perangkat Minitab versi Uji kenormalan sebaran data: dilakukan untuk masing-masing karakter menggunakan uji kenormalan Shapiro-Wilk dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan Minitab versi Analisis sidik ragam: dilakukan untuk masing-masing karakter dengan menggunakan perangkat Minitab versi Hasil analisis sidik ragam digunakan untuk pendugaan ragam genetik dan heritabilitas arti luas. Ragam genetik dan heritabilitas arti luas diduga dengan pemisahan komponen ragam berdasarkan rancangan acak kelompok. Menurut Steel dan Torrie (1993), model aditif yang digunakan adalah: Yij= µ + α i + β j + ε ij Dimana: Yij = hasil pengamatan pada genotipe ke - i dalam ulangan ke - j µ = nilai tengah pengamatan α i = pengaruh aditif genotipe ke- i β j ε ij = pengaruh kelompok ke - j = pengaruh galat percobaan Berdasarkan sumber keragaman yang terdapat pada Tabel 17 maka dapat ditentukan ragam fenotipe (Vp), ragam genotipe (Vg), ragam lingkungan (Ve), dan nilai heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) dengan rumus penghitungan yaitu: Vp = KTG/r Ve = KTE Vg = (KTG-KTE)/r h 2 bs= Vg/Vp X 100%

78 61 Tabel 17. Sumber keragaman pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah Sumber keragaman db JK KT E(KT) F hitung Ulangan r-1 JKU KTU KTU/KTE Genotipe g-1 JKG KTG M1 KTG/KTE Galat (r-1)( g-1) JKE KTE M2 Total rg-1 4. Analisis korelasi: dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan antar karakter dengan menghitung nilai koefisien korelasi Pearson. Masing-masing nilai koefisien korelasi diuji pada taraf nyata 0.01 (Gomez dan Gomez 1995). Nilai koefisien korelasi (r) dihitung dengan rumus: r xy = cov xy σ x σ y dimana, cov xy = peragam antara karakter x dengan karakter y σ x = simpangan baku karakter komponen hasil = simpangan baku karakter hasil σ y 3. Konstruksi Peta Pautan Toleransi terhadap Intensitas Cahaya Rendah Konstruksi peta pautan bagi toleransi terhadap intensitas cahaya rendah dimulai dengan seleksi primer RAPD pada kedua tetua untuk memilih primer yang menghasilkan amplifikasi yang polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran. Selanjutnya primer terpilih digunakan untuk menguji populasi RILs F6 dan data yang diperoleh digunakan untuk membuat peta pautan bagi toleransi terhadap intensitas cahaya rendah. Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah tetua Ceneng dan Godek yang merupakan tetua toleran dan peka terhadap intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang menjadi populasi pemetaan adalah 45 RILs F6. Metode Isolasi DNA Prosedur isolasi DNA yang digunakan adalah mengikuti metode CTAB yang dimodifikasi oleh Toruan-Mathius dan Hutabarat (1997). Berikut adalah

79 62 tahapan isolasi DNA yang dilakukan. DNA total diisolasi dari daun kedelai yang sudah berumur tiga minggu. Sebanyak 0.2 g daun muda digerus sampai menjadi tepung dengan menambahkan nitrogen cair. Daun kedelai yang sudah berbentuk tepung kemudian dipindahkan ke dalam tabung mikro yang telah berisi 1 ml buffer CTAB dan ditambahkan 2% β-mercaptoethanol dan divortek lalu dipanaskan pada suhu 65 C selama 30 menit. Campuran tersebut dibiarkan mencapai suhu kamar kemudian ditambahkan 750 µl kloroform : isoamil alcohol (24:1) dan divortek kemudian disentrifugasi kembali pada kecepatan rpm selama 10 menit. Larutan bagian atas dipipet ke dalam tabung lain, lalu ditambahkan 1 ml isopropanol dingin, dikocok perlahan-lahan sehingga tercampur merata dan disimpan selama 30 menit dalam freezer. Setelah itu DNA diendapkan dengan cara disentrifugasi pada kecepatan rpm selama 10 menit. Cairan bagian atas dibuang dan pellet DNA dikeringkan dengan cara membalikkan tabung. Pelet DNA yang telah kering dilarutkan dalam 200 µl buffer TE, ditambahkan 10 µl RNAse (10 mg/ml) dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 1 jam. Setelah diinkubasi, maka ditambahkan natrium asetat 3 M, ph 5.2 sebanyak 1/10 volume (20 µl) dan alkohol absolut 2.5 volume (500 µl) dan dikocok sehingga homogen lalu disimpan di freezer selama 30 menit. Selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan rpm selama 10 menit. Cairan dibuang, pellet DNA dicuci dengan alkohol 70% dan dikering anginkan. Pellet tersebut dilarutkan dalam 100 µl buffer TE, lalu diambil sebanyak 2 µl untuk pengujian kualitas dan kuantitas DNA dengan menggunakan elektroforesis pada gel agarose, sedangkan sisanya disimpan pada suhu 20 C. Pengujian kuantitas DNA Sebanyak 2 µl larutan stok DNA ditambah dengan 8 µl H 2 O dan 2 µl loading buffer. Sebagai standar dipipet sebanyak 1 µl λ DNA (536 ng/µl) ditambah dengan 4 µl H 2 O dan loading buffer 1 µl. Gel agarose dengan konsentrasi 1% dibuat dengan cara menimbang sebanyak 0.40 g agarose yang ditambah dengan 40 ml larutan TAE 1x kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larut sempurna. Larutan dibiarkan

80 63 mencapai suhu sekitar 50 C, selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan gel yang telah dipasangi comb untuk membuat sumur, dan dibiarkan memadat selama sekitar 1 jam. Kemudian comb dilepaskan dari gel yang telah padat. Selanjutnya gel diletakan pada peralatan elektroforesis, dan diisi dengan buffer TAE 1x sampai gel terendam. DNA yang telah disiapkan dan λ DNA dimasukan ke dalam sumur pada gel. Alat elektroforesis disambungkan ke power supply yang telah diset pada 50 volt selama ± I jam. Gel lalu dilepas dari alat elektroforesis dan direndam dalam larutan etidium bromida 0.5 ppm selama 30 menit dan dicuci dengan air mengalir selama 10 menit. Terakhir, gel diletakkan di atas UV transluminator untuk mengamati fragmen DNA yang diperoleh dan difoto. Pengujian kualitas DNA Sebanyak 2 µl larutan stok DNA ditambah dengan 2 µ buffer 10x, 0.5 µl enzim restriksi Eco R1(12 u/µl) dan 15.5 µl H 2 O. Semua campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37 C selama 2 jam. Untuk menghentikan reaksi maka ditambahkan 1 µl EDTA 0.5 M ph 8. Sebelum dielektroforesis terlebih dahulu ditambahkan 4 µl loading buffer. Gel agarose dengan konsentrasi 1% dibuat dengan cara menimbang sebanyak 0.4 g agarose yang ditambah dengan 40 ml larutan TAE 1x kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larut sempurna. Larutan dibiarkan mencapai suhu sekitar 50 C, selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan gel yang telah dipasangi comb untuk membuat sumur, dan dibiarkan memadat selama sekitar 1 jam. Kemudian comb dilepaskan dari gel yang telah padat. Selanjutnya gel diletakkan pada peralatan elektroforesis, dan diisi dengna buffer TAE 1x sampai gel terendam. DNA yang telah disiapkan dan λ DNA dimasukan ke dalam sumur pada gel. Alat elektroforesis disambungkan ke power supply yang telah diset pada 50 volt selama ± 1 jam. Gel lalu dilepas dari alat elektroforesis dan direndam dalam larutan ethidium bromida 0.5 ppm selama 30 menit dan dicuci dengan air mengalir selama 10 menit. Terakhir, gel diletakkan di atas UV transluminator untuk mengamati fragmen DNA yang diperoleh dan diphoto.

81 64 Amplifikasi DNA DNA diamplifikasi menggunakan primer acak sebagai marka molekular. Reaksi amplifikasi dilakukan dengan menggunakan 10 pmol primer (10 pmol/µl), 2 µl DNA cetakan, dan 18 µl dh 2 O sampai volume akhir. Setiap beads telah mengandung AmpliTag TM DNA polimerase, Stoffel fragmen, dntp (masingmasing datp, dctp, dgtp, dan dttp 0.4 mm dalam 25 µl), 2.5 µg bovine serum albumin (BSA) dan buffer (3 mm MgCl2, 30 mm KCL, dan 10 mm Tris, ph 8.3 dalam 25 µl volume reaksi). Selanjutnya semua dimasukan ke dalam tabung volume 500 µl, dikocok secara perlahan agar larutan tercampur sempurna. Minyak mineral ditambahkan ke atas campuran PCR sebanyak 20 µl mineral oil untuk menghindari penguapan selama berlangsungnya reaksi. Program untuk PCR awal pada suhu 95 C selama 4 menit satu siklus. Denaturasi DNA terjadi pada suhu 95 C selama 1 menit. Penempelan primer ke DNA cetakan pada suhu sesuai dengan susunan basa pada primer kira-kira 36 C selama 1 menit pada pemanjangan pada 72 C selama 2 menit sebanyak 45 siklus, PCR akhir pada suhu 72 C selama 7 menit sebanyak satu siklus, kemudian diambil untuk elektroforesis. Elektroforesis dan visualisasi DNA Ke dalam tabung yang berisi produk amplifikasi ditambahkan 5 µl loading buffer, sedangkan ke dalam tabung yang 5 µl marker DNA ditambahkan 1 µl loading buffer. Gel agarose dengan konsentrasi 2% dibuat dengan cara menimbang sebanyak 0.8 g agarose yang ditambah dengan 40 ml larutan TAE 1x kemudian dipanaskan dalam microwave sampai larut sempurna. Larutan dibiarkan mencapai suhu sekitar 50 C, selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan gel yang telah dipasangi comb untuk membuat sumur, dan dibiarkan memadat selama sekitar 1 jam. Kemudian comb dilepaskan dari gel yang telah padat. Selanjutnya gel diletakan pada peralatan elektroforesis, dan diisi dengan buffer TAE 1x sampai gel terendam. Produk amplifikasi PCR dan marker dimasukan ke dalam sumur pada gel. Alat elektroforesis disambungkan ke power supply yang telah diset pada 50 volt

82 65 selama ± I jam. Gel lalu dilepas dari alat elektroforesis dan direndam dalam larutan etidium bromida 0.5 ppm selama 30 menit dan dicuci dengan air mengalir selama 10 menit. Terakhir, gel diletakkan di atas UV transluminator untuk mengamati fragmen DNA yang diperoleh dan diphoto. Analisa Data Posisi pita hasil amplifikasi akan menunjukkan panjang pita tertentu sesuai dengan posisinya terhadap marker pembanding. Setiap pita amplifikasi merupakan satu lokus dengan ukuran pita tertentu. Kriteria penskoran adalah berdasarkan muncul atau tidaknya pita. Lokus yang dipilih untuk pemetaan adalah lokus yang hanya menghasilkan amplifikasi pada tetua Ceneng. Ketentuan yang digunakan untuk memberikan skor pada setiap pita adalah : 1. Diberikan skor A jika muncul pita pada tetua Ceneng 2. Diberikan skor A jika tidak muncul pita pada tetua Ceneng 3. Diberi skor B jika muncul pita pada tetua Godek 4. Diberi skor B jika tidak muncul pita pada tetua Godek Data yang diperoleh dari hasil penskoran hasil amplifikasi digunakan untuk mengkonstruksi peta pautan dengan menggunakan perangkat lunak MAPMAKER/EXP 3.0 (Lander et al. 1987; Lincoln et al. 1992). Keterpautan antar lokus ditetapkan pada LOD (logg of the odd) 3.0 dengan fraksi rekombinan sebesar 25%. Unit jarak peta diduga dengan menggunakan fungsi Haldane (Haldane 1919 dalam Liu 1998). Dalam analisis QTL diperlukan data kuantitatif dan data molekuler. Dalam penelitian ini data kuantitatif yang digunakan adalah data fenotipe RILs F6 yang diperoleh pada tahap percobaan 2, sedangkan data molekuler adalah data genotipe yang diperoleh pada percobaan tahap 3. Analisis data untuk mengidentifikasi adanya QTL dilakukan dengan metode simple interval mapping (SIM) dengan bantuan perangkat lunak PLABQTL (Utz dan Melchinger 2003).

83 66 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemetaan QTL merupakan metode terkini dalam kegiatan pemuliaan tanaman secara konvensional dengan memanfaatkan marka molekuler yang terpaut dengan QTL sebagai alat bantu dalam kegiatan seleksi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemetaan QTL adalah ketersediaan populasi pemetaan dan jenis marka yang sesuai. Tahapan penelitian untuk mengidentifikasi QTL yang mengendalikan karakter agronomi yang terdiri dari karakter hasil dan komponen hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah adalah pembentukan populasi pemetaan yaitu untuk mendapatkan RILs F6, analisis fenotipe untuk mengetahui keragaan fenotipe RILs F6 pada kondisi intensitas cahaya rendah dan konstruksi peta pautan tetua toleran intensitas cahaya rendah berdasarkan marka RAPD. Konstruksi peta pautan dilaksanakan dalam dua tahap yaitu seleksi primer untuk mendapatkan primer polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran dan analisis genotipe yaitu analisis RILs F6 dengan menggunakan primer yang polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran untuk mendapatkan peta pautan toleransi berdasarkan marka RAPD. Data yang diperoleh dari hasil analisis fenotipe dan analisis genotipe digunakan untuk mengidentifikasi QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. 1. Pembentukan RILs F6 Pilihan populasi pemetaan yang dapat digunakan adalah RILs, populasi F2, Back Cross (BC), Double Haploid (DH), dan Near Isogenic Lines (NILs) (Liu 1998; Roy 2000; Chahal dan Gosal, 2003; Teng et al. 2004). Pemilihan populasi pemetaan dapat disesuaikan dengan marka yang tersedia. Menurut Chalal dan Gosal (2003), populasi RILs memiliki tingkat homozigositas yang paling tinggi sehingga sangat memungkinkan diuji pada berbagai lingkungan. Di samping itu pada populasi RILs dalam setiap unit pengujian dapat diberlakukan ulangan. Dengan demikian pengaruh lingkungan dan interaksi genotipe dengan lingkungan terhadap keragaan fenotipe dapat dikurangi.

84 67 Peta genetik yang diperoleh dari populasi RILs mempunyai tingkat resolusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi F2 atau BC. Kelemahan penggunaan RILs sebagai populasi pemetaan adalah diperlukan waktu yang lebih lama untuk membentuk RILs F6 atau F7 (Liu 1998; Chalal dan Gosal 2003). Tabel 18. Keragaan karakter tinggi saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, dan jumlah polong hampa generasi F5 pada kondisi intensitas cahaya penuh Rata-rata Jumlah Tinggi saat Jumlah cabang Jumlah buku polong panen (cm) produktif total isi Ceneng 41.6± ± ± ± 18.3 Godek 47.7± ± ± ± 33.1 Generasi F5 49.6± ± ± ± 28.4 Tabel 19. Keragaan karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa, persen polong isi, dan daya hasil Generasi F5 pada kondisi intensitas cahaya penuh Rata-rata Jumlah polong hampa Jumlah polong total Persen polong isi (%) Daya hasil (g/tan) Ceneng 3.6± ± ± ± 3.5 Godek 2.8± ± ± ± 4.0 Generasi F5 5.1± ± ± ± 7.5 Populasi pemetaan yang digunakan untuk mengidentifikasi QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah adalah rekombinant inbreed lines (RILs) generasi F6. Sementara itu dari hasil penelitian sebelumnya telah diperoleh RILs generasi F5 sehingga diperlukan satu generasi lagi untuk mendapatkan RILs F6. Pembentukan populasi pemetaan dilakukan pada kondisi intensitas cahaya penuh. Keragaan masing-masing karakter pada populasi RILs F5 terdapat pada Tabel 18 dan Tabel 19. Pendugaan komponen ragam dan nilai heritabilitas sangat penting dalam pemuliaan tanaman khususnya dalam kegiatan seleksi. Nilai heritabilitas mencerminkan seberapa besar peran faktor genetik terhadap penampilan suatu sifat. Di samping itu nilai heritabilitas juga akan menentukan metode pemuliaan yang digunakan dan kemajuan seleksi yang akan diperoleh (Stanfield 1983; Falconer dan Mackay 1996).

85 68 Nilai heritabilitas berkisar antara 0 sampai 1. Jika nilai duga heritabilitas lebih kecil dari 0 maka nilai heritabilitas dianggap 0 atau lebih besar dari 1 maka dianggap 1. Nilai heritabilitas tergolong tinggi jika berkisar antara 0.5-1, tergolong sedang jika berkisar antara , dan tergolong rendah jika kurang dari 0.2 (Stanfield 1983; Poespodarsono 1988). Tabel 20. Nilai parameter genetik kedelai generasi F5 hasil persilangan tetua Ceneng dan Godek Karakter Ragam Ragam Ragam h 2 bs r fenotipe lingkungan genotipe (%) Tinggi saat panen Jumlah cabang produktif ** Jumlah buku total ** Jumlah polong isi ** Jumlah polong total ** Persen polong isi ** Daya hasil Keterangan : h 2 bs= nilai heritabilitas arti luas r = nilai koefisien korelasi antara karakter komponen hasil dengan hasil Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi terdapat pada karakter daya hasil, tergolong sedang terdapat pada karakter tinggi saat panen, jumlah cabang produktif dan jumlah polong total, sedangkan tergolong rendah ditunjukkan oleh karakter jumlah buku total, jumlah polong isi dan persen polong isi (Tabel 20). Hasil penelitian ini didukung oleh laporan Nindra (2005) pada generasi F5 untuk populasi hasil persilangan Ceneng dan Godek. Nindra (2005) melaporkan bahwa daya hasil memiliki nilai heritabilitas paling tinggi di antara karakter agronomi lainnya yaitu 40%, sedangkan nilai heritabilitas karakter agronomi lainnya memiliki nilai heritabilitas yang rendah. Diantara karakter yang diamati, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong total, dan persen polong isi memiliki koefisien korelasi paling tinggi dan nyata terhadap daya hasil (Tabel 18). Nindra (2005) melaporkan bahwa jumlah cabang produktif, jumlah polong isi dan jumlah polong total memiliki nilai koefisien korelasi yang nyata terhadap daya hasil. Shrivasatava et al. (2001) dan Bizeti et al. (2004) melaporkan bahwa jumlah buku dan jumlah polong berkorelasi positif dan nyata terhadap daya hasil

86 69 2. Analisis Fenotipe Rils F6 pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Analisis fenotipe RILs F6 pada kondisi intensitas cahaya rendah dilakukan di bawah naungan paranet 55%. Tujuan tahap percobaan ini adalah mendapatkan informasi tentang keragaan dan keragaman karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Dalam tahapan ini diperoleh informasi tentang perbedaan keragaan antara tetua Ceneng dan Godek, sebaran frekuensi fenotipe RILs F6 dan nilai dugaan komponen ragam dan heritabilitas serta koefisien korelasi antara karakter lainnya dengan daya hasil. Data yang diperoleh akan digunakan untuk mengidentifikasi QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Keragaan Tetua Ceneng dan Godek pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa tetua Ceneng dan Godek merupakan genotipe yang masing-masing toleran terhadap intensitas cahaya rendah (Sopandie et al. 2002, Sopandie et al. 2003c; Sopandie et al. 2006). Berdasarkan hasil uji t diperoleh bahwa tetua Ceneng dan Godek tidak berbeda nyata untuk semua karakter yang diamati kecuali daya hasil (Tabel 21). Dengan demikian dalam keadaan intensitas cahaya rendah hanya daya hasil yang dapat membedakan antara tetua toleran Ceneng dan tetua peka Godek. Tetua Ceneng mempunyai daya hasil lebih tinggi dibandingkan dengan tetua Godek. Hal ini menunjukkan bahwa tetua Ceneng dapat menangkap dan menggunakan cahaya lebih efisien dibandingkan dengan tetua Godek (Sopandie et al. 2003a). Cahaya sangat berperan dalam proses fotosintesis. Semua fotosintat yang diperlukan untuk pengisian biji merupakan hasil fotosintesis (Taiz dan Zeiger 1991). Dengan demikian tetua Ceneng lebih efisien dalam berfotosintesis sehingga menghasilkan fotosintat lebih banyak yang ditunjukkan oleh daya hasil yang lebih besar dibandingkan tetua Godek. Menurut La Muhuria (2007), tetua Ceneng paling efisien dalam menangkap dan menggunakan cahaya karena memiliki daun yang lebih tipis dan lebar, kepadatan trikoma yang lebih rendah, dan kandungan klorofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tetua tetua lainnya. Dibandingkan dengan tetua Godek, maka tetua Ceneng memiliki aktivitas enzim fotosintetik lebih tinggi sehingga memiliki laju fotosintetik lebih

87 70 tinggi. Laju fotosintetik yang lebih tinggi serta laju respirasi yang lebih rendah dibandingkan dengan tetua Godek mengakibatkan akumulasi fotosintat pada tetua Ceneng lebih tinggi. Dengan demikian perbedaan daya hasil di antara kedua tetua tidak disebabkan oleh perbedaan karakter komponen hasil, tetapi oleh akumulasi fotosintat yang digunakan untuk pengisian biji. Tabel 21. Hasil uji nilai tengah antara tetua Ceneng dan Godek Karakter Nilai tengah Nilai tengah Ceneng Godek t hit P value Tinggi saat panen ± ± Jumlah cabang produktif 3.3 ± ± Jumlah buku total 22.2 ± ± Jumlah polong isi 38.6 ± ± Jumlah polong hampa 2.2 ± ± Jumlah polong total 40.8 ± ± Persen polong isi 94.4 ± ± Daya hasil 6.0 ± ± ** 0.00 Sebaran Frekuensi RILs F6 pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Kenormalan sebaran data diukur dari nilai skewness yang menunjukkan kemenjuluran data. Nilai skewness bernilai positif jika data menjulur ke kanan dan bernilai negatif jika data menjulur ke kiri. Data akan menyebar normal jika mempunyai nilai skewness sama dengan nol. Secara umum grafik sebaran karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah bersifat kontinyu. Hal ini menunjukkan bahwa karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah dikendalikan oleh banyak gen atau bersifat poligenik. Hasil pengujian kenormalan sebaran data karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukkan bahwa karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah tidak menyebar normal (Tabel 22). Meskipun tidak menyebar normal, tetapi grafik sebaran frekuensi semua karakter bersifat kontinyu dengan bentuk mendekati bentuk kurva normal. Karakter agronomi adalah karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) dan ekspresinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Pantalone et al. (1996) menyatakan bahwa data yang bersifat poligenik

88 71 mempunyai sebaran normal dan bersifat kontinyu. Menurut Falconer dan Mackay (1996), data yang bersifat kontinyu, tetapi tidak menyebar normal dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang besar atau interaksi genotipe dengan lingkungan. Meskipun hasil pengujian Shapiro-Wilks menunjukkan bahwa data menyimpang dari sebaran normal tetapi karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total dan daya hasil memperlihatkan grafik sebaran frekuensi yang diperoleh mendekati bentuk kurva normal yang ditunjukkan oleh nilai skewness yang kurang dari 0.5. Sebaran data jumlah polong isi, jumlah polong hampa dan jumlah polong total terlihat menjulur ke kanan yang ditunjukkan oleh nilai skewness yang positif, sedangkan sebaran data persen polong isi dan umur panen menjulur ke kiri yang ditunjukkan oleh nilai skewness yang negatif (Gambar 10 dan Gambar 11). Hasil penelitian Wibowo (2002) pada generasi F2 kedelai hasil persilangan Godek A dan Pangrango pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukkan bahwa sebaran data karakter komponen hasil bersifat kontinyu walaupun menyimpang dari sebaran normal dengan bentuk kurva mendekati bentuk kurva normal. Hal ini menunjukkan bahwa karakter komponen hasil pada generasi F2 hasil persilangan Godek A dan Pangrango dalam kondisi intensitas cahaya rendah bersifat poligenik. Tabel 22. Uji kenormalan shapiro-wilk untuk populasi F6 hasil persilangan Ceneng dan Godek pada kondisi intenistas cahaya rendah Karakter W:normal P< W Skewness Kurtosis Tinggi saat panen Jumlah cabang produktif Jumlah buku total Umur panen Jumlah polong isi Jumlah polong hampa Jumlah polong total Persen polong isi Daya hasil Keterangan : W = nilai uji statistik Shapiro-Wilk untuk Kenormalan Data P = peluang untuk Mendapatkan data normal

89 72 G C G C G C G C Gambar 10. Grafik sebaran tinggi tanaman saat panen (TSP), jumlah cabang produktif (JCP), jumlah buku total (JBT), jumlah polong isi (JPI) pada kondisi intensitas cahaya rendah

90 73 C G G C G C G C Gambar 11. Grafik sebaran jumlah polong hampa (JPH), jumlah polong total (JPT), persentase polong isi (C_PI), daya hasil (BBT/TAN) pada kondisi intensitas cahaya rendah

91 74 Seleksi dilakukan menggunakan formula yang dibuat berdasarkan asumsi bahwa data menyebar normal sehingga kemajuan genetik yang diperoleh tidak bias dari hasil perhitungan. Kenyataannya bahwa sebaran data berbagai karakter kuantitatif pada tanaman selalu menjulur ke kiri atau ke kanan yang disebabkan oleh pengaruh epistasis, lingkungan dan interaksi genotipe dan lingkungan (Roy 2000; Khush 2002). Jika pengaruh genetik menyebabkan data menyebar normal, sedangkan pengaruh lingkungan menyebabkan data mempunyai nilai skewness positif atau data menjulur ke kanan maka seleksi akan memberikan kemajuan genetik yang lebih rendah daripada yang diharapkan. Jika pengaruh lingkungan menyebabkan data mempunyai nilai skewness negatif atau data menjulur ke kiri maka kemajuan genetik yang diperoleh akan lebih besar dari yang diharapkan (Kelker dan Kelker 1986; Roy, 2000). Bari (1998) menyatakan bahwa sebaran frekwensi yang menyimpang dari sebaran normal sangat berpengaruh terhadap proses seleksi pada generasi berikutnya karena pengukuran kemajuan genetik dihitung berdasarkan asumsi bahwa data menyebar normal harus dilakukan secara hati-hati. Pendugaan Nilai Heritabilitas Karakter Agronomi Populasi RILs F6 dalam Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Pendugaan ragam sangat penting untuk mengetahui pengaruh genotipe dan pengaruh lingkungan terhadap keragaman yang dapat diamati pada fenotipe. Komponen ragam yang diamati dalam penelitian ini adalah ragam lingkungan dan ragam fenotipe, sedangkan ragam genotipe diduga dari selisih ragam fenotipe dengan ragam lingkungan. Nilai heritabilitas merupakan proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipe yang bernilai antara 0 sampai 1. Nilai heritabilitas dapat diduga secara langsung melalui nilai koefisien regresi tetua-anak atau secara tidak langsung melalui pendugaan komponen ragam (Roy 2000). Dalam penelitian ini nilai heritabilitas diperoleh melalui pendugaan komponen ragam menggunakan data yang terdapat pada Tabel 23.

92 75 Tabel 23. Rekapitulasi analisis sidik ragam pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi kedelai generasi F7 pada kondisi intensitas cahaya rendah Karakter Jumlah Kuadrat P value kuadrat tengah Tinggi tanaman saat panen ** Jumlah cabang produktif ** Jumlah buku total ** Jumlah polong isi ** Jumlah polong hampa Jumlah polong total ** Persen polong isi Daya hasil ** Keterangan: **: berbeda nyata pada taraf 1% Berdasarkan hasil uji F diperoleh hasil bahwa terdapat keragaman genotipe pada karakter agronomi kedelai generasi F6 dalam kondisi intensitas cahaya rendah yang ditunjukkan dengan hasil uji F yang berbeda sangat nyata untuk semua karakter kecuali karakter jumlah polong hampa dan persen polong isi. Hal ini menunjukkan adanya keragaman fenotipe RILs F6 pada kondisi intensitas cahaya rendah. Keragaman yang diamati dapat disebabkan oleh pengaruh genotipe, lingkungan dan interaksi antara genotipe dan lingkungan (Falconer dan Mackay, 1996; Roy 2000). Tabel 24. Nilai ragam fenotipe, ragam lingkungan, ragam genotipe, dan nilai heritabilitas kedelai generasi F6 pada kondisi intensitas cahaya rendah Karakter Ragam fenotipe Ragam genotipe Ragam lingkungan h 2 bs r Tinggi tanaman saat panen ** Jumlah cabang produktif * Jumlah buku total ** Jumlah polong isi ** Jumlah polong hampa Jumlah polong total ** Persen polong isi * Daya hasil Nilai ragam fenotipe, ragam lingkungan, ragam genotipe, dan nilai heritabilitas arti luas (h 2 bs) kedelai generasi F6 pada kondisi intensitas cahaya rendah terdapat pada Tabel 24. Nilai heritabilitas berbagai karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah tergolong sedang dan tinggi yaitu

93 76 berkisar antara 22-59%. Karakter tinggi tanaman pada saat panen memiliki nilai heritabilitas yang paling tinggi di antara karakter lainnya. Karakter daya hasil memiliki nilai heritabilitas tergolong tinggi. Berdasarkan hasil studi pola pewarisan juga diketahui bahwa daya hasil memiliki nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi. Meskipun pendugaan nilai heritabilitas dilakukan pada lingkungan dan populasi yang berbeda, tetapi dapat disimpulkan bahwa intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap keragaman fenotipe sehingga nilai heritabilitas menjadi rendah. Heritabilitas daya hasil pada lingkungan bercekaman pada umumnya lebih rendah jika dibandingkan dengan lingkungan optimum. Lingkungan bercekaman sangat berpengaruh terhadap keragaman daya hasil sehingga mengakibatkan daya hasil mempunyai nilai heritabilitas yang rendah (Ceccareli 1994). Nilai heritabilitas karakter daya hasil pada populasi yang sama cenderung berbeda ketika ditanam pada lingkungan yang berbeda. Di samping disebabkan oleh pengaruh lingkungan, perbedaan nilai heritabilitas juga dapat disebabkan oleh berbedanya gen yang mengendalikan daya hasil pada kedua lingkungan. Dalam kondisi lingkungan bercekaman, daya hasil ditentukan juga oleh ada atau tidak gen-gen yang mengendalikan toleransi terhadap cekaman. Hasil penelitian pada generasi F6 untuk populasi hasil yang sama oleh Wirnas et al. (2006) diperoleh nilai heritabilitas yang lebih besar untuk karakter daya hasil ketika ditanam pada kondisi intensitas cahaya penuh. Hasil penelitian Khumaida (2002) menunjukkan bahwa terdapat beberapa kandidat gen yang mengendalikan toleransi terhadap intensitas cahaya rendah. Kisman et al. (2007) melaporkan ekspresi kandidat gen yang berhubungan dengan karakter fotosintesis seperti gen JJ3. Kandidat gen JJ3 menunjukkan tingkat ekspresi yang berbeda antara kondisi tanpa cekaman dengan kondisi bercekaman intensitas cahaya rendah. Tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi dan jumlah polong total mempunyai hubungan yang erat dengan daya hasil yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang nyata. Di antara beberapa karakter yang sangat berperan dalam meningkatkan daya hasiladalah

94 77 tinggi tanaman saat panen, jumlah buku, jumlah polong isi, dan jumlah polong total (Tabel 24). Wibowo (2002) melaporkan bahwa jumlah cabang dan jumlah polong berkorelasi positif dan nyata dengan daya hasilpada populasi F2 hasil persilangan antara Pangrango dan Godek dalam kondisi intensitas cahaya rendah. La Muhuria (2007) menyatakan bahwa jumlah polong isi berkorelasi positif dan nyata dengan daya hasilpada kondisi intensitas cahaya rendah. 3. Konstruksi Peta Pautan Toleransi terhadap Intensitas Cahaya Rendah Konstruksi peta pautan dimulai dengan seleksi primer yang bertujuan memilih primer yang polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran lalu primer terpilih digunakan untuk menganalisis genotipe RILS F6. Selanjutnya data yang diperoleh digunakan untuk menyusun peta pautan toleransi berdasarkan marka RAPD. Sebelum melakukan amplifikasi maka kualitas dan kuantitas DNA yang akan digunakan perlu diuji terlebih dahulu. Hasil pengujian kualitas dan kuantitas DNA yang diisolasi dengan menggunakan metode CTAB menunjukkan bahwa DNA diperoleh memiliki kualitas dan kuantitas yang cukup bagus. Kualitas DNA ditunjukkan oleh pendaran pita genom dibawah UV transluminator yang sangat terang dan jelas. Visualisasi genom kedua tetua dapat dilihat pada Gambar 10. Tingkat kemurnian DNA yang diperoleh juga cukup bagus karena tidak ditemukan adanya bagian genom yang mengalami degradasi. DNA λ ng/ml C G G Gambar 12. Visualisasi genom tetua dan marker DNA λ 536 Kualitas DNA dapat juga diuji dengan menggunakan enzim restriksi. Jika enzim restriksi mampu mengenali situsnya yang hanya terdiri atas 4 6 nukleotida

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH DESTA WIRNAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRACT DESTA

Lebih terperinci

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi 87 PEMBAHASAN UMUM Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan dapat memperluas areal tanam kedelai sehingga memacu peningkatan produksi kedelai nasional. Kendala yang dihadapi dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan sumber protein terpenting di Indonesia. Kandungan protein kedelai sangat tinggi, sekitar 35%-40%, persentase tertinggi dari seluruh

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

yang dapat ditangkap lebih tinggi karena selain bidang tangkapan lebih besar, jumlah cahaya yang direfleksikan juga sedikit. Peningkatan luas daun

yang dapat ditangkap lebih tinggi karena selain bidang tangkapan lebih besar, jumlah cahaya yang direfleksikan juga sedikit. Peningkatan luas daun PEMBAHASAN UMUM Tanaman kedelai (Glycine max (L) Merrill) termasuk kelompok tanaman C-3 yang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan cahaya penuh (McNellis dan Deng 1995). Namun dalam pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) adalah salah satu tanaman sumber pangan penting di Indonesia. Beberapa makanan populer di Indonesia seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap

Lebih terperinci

Analisis Marka RAPD yang Terpaut dengan Toleransi terhadap Naungan pada Kedelai. Analysis of RAPD Marker Linked to Shading Stress Tolerance of Soybean

Analisis Marka RAPD yang Terpaut dengan Toleransi terhadap Naungan pada Kedelai. Analysis of RAPD Marker Linked to Shading Stress Tolerance of Soybean Analisis Marka RAPD yang Terpaut dengan Toleransi terhadap Naungan pada Kedelai Analysis of RAPD Marker Linked to Shading Stress Tolerance of Soybean Desta Wirnas 1*, Didy Sopandie 1, Trikoesoemaningtyas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat, baik kecukupan protein hewani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil protein dan lemak nabati yang cukup penting untuk memenuhi nutrisi tubuh manusia. Bagi industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, kecap,

Lebih terperinci

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI

STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sub-famili : Papilionoidae. Sub-genus : Soja

TINJAUAN PUSTAKA. Sub-famili : Papilionoidae. Sub-genus : Soja TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai diduga berasal dari daratan pusat dan utara Cina atau kawasan subtropis. Kedelai termasuk

Lebih terperinci

ANALISIS GENETIK TOLERANSI KEDELAI TERHADAP NAUNGAN

ANALISIS GENETIK TOLERANSI KEDELAI TERHADAP NAUNGAN ANALISIS GENETIK TOLERANSI KEDELAI TERHADAP NAUNGAN Desta Wirnas, Trikoesoemaningtyas, Sobir, Didy Sopandie Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung yang merupakan sumber protein utama bagi masyarakat. Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi terutama proteinnya (35-38%) hampir mendekati protein

Lebih terperinci

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : EVALUASI KERAGAMAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) MUTAN ARGOMULYO PADA GENERASI M 4 MELALUI SELEKSI CEKAMAN KEMASAMAN SKRIPSI OLEH : HENDRI SIAHAAN / 060307013 BDP PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) merupakan komoditas pangan kedua setelah padi di Indonesia. Selain sebagai bahan pangan, akhir-akhir ini jagung juga digunakan sebagai pakan ternak.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kedelai merupakan tanaman hari pendek dan memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Penurunan radiasi matahari selama 5 hari atau pada stadium pertumbuhan akan mempengaruhi

Lebih terperinci

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH :

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : DINI RIZKITA PULUNGAN 110301079 / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Permintaan akan komoditas ini dari tahun ke tahun mengalami lonjakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Morfologi tanaman kedelai ditentukan oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji. Akar kedelai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein nabati yang penting mengingat kualitas asam aminonya yang tinggi, seimbang dan

Lebih terperinci

MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA

MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA MEKANISME FISIOLOGI DAN PEWARISAN SIFAT TOLERANSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH LA MUHURIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KORELASI ANTARA KANDUNGAN KLOROFIL, KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERCAK DAUN DAN DAYA HASIL PADA KACANG TANAH ABSTRAK

KORELASI ANTARA KANDUNGAN KLOROFIL, KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERCAK DAUN DAN DAYA HASIL PADA KACANG TANAH ABSTRAK KORELASI ANTARA KANDUNGAN KLOROFIL, KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERCAK DAUN DAN DAYA HASIL PADA KACANG TANAH Yudiwanti 1*), Basuki Wirawan 2), Desta Wirnas 1) 1) Dosen pada Departemen Agronomi dan Hortikultura

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 71 PENDAHULUAN Latar Belakang Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu tanaman pangan utama dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai luas areal tanam, produksi dan kegunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan strategis ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Sejalan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu bahan pangan penting di Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat dominan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit keragaman genetik menjadi suatu bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (Makmur,

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI OLEH MIRZAH FIKRIATI A24053678 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dengan harga terjangkau. Di Indonesia, kedelai banyak

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A24052710 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Keragaan Fenotipik Kedelai pada Dua Kondisi Intensitas Cahaya Ekstrim

Keragaan Fenotipik Kedelai pada Dua Kondisi Intensitas Cahaya Ekstrim AGROTROP, VOL. 4 (1): 83-87 4, NO. (2014) 1 (2014) ISSN: 2088-155X C Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar Bali - Indonesia Keragaan Fenotipik Kedelai pada Dua Kondisi Intensitas Cahaya Ekstrim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merril) merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merril) merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L] Merril) merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan tempe, tahu, kecap, dan susu kedelai. Tanaman yang

Lebih terperinci

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Kedelai TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Kedelai Kedelai merupakan tanaman berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan berbagai kedelai yang kita

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi Peningkatan hasil tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik bercocok tanam yang baik dan dengan peningkatan kemampuan berproduksi sesuai harapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luas

I. PENDAHULUAN. meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, dengan pertumbuhan sekitar 1,6 % tahun -1, sehingga mendorong pemintaan pangan yang terus meningkat.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 974.512 ton. Namun, pada tahun 2010 produksi kedelai nasional mengalami penurunan menjadi 907.031

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merril) merupakan salah satu komoditas penting dalam hal penyediaan pangan, pakan dan bahan-bahan industri, sehingga telah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyediaan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional masih merupakan problema yang perlu diatasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : pertambahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Padi Inbrida di Indonesia Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara definitif merupakan turunan pertama (F1) dari persilangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia tinggi, akan tetapi produksinya sangat rendah (Badan Pusat Statistik,

I. PENDAHULUAN. Indonesia tinggi, akan tetapi produksinya sangat rendah (Badan Pusat Statistik, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman kedelai merupakan salah satu contoh dari komoditas tanaman pangan yang penting untuk dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan kedelai di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI

PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI BREEDING OF BLACK RICE VARIETY FOR DROUGHT TOLERANCE AND HIGH YIELD I Gusti Putu Muliarta Aryana 1),

Lebih terperinci

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi PENDAHULUAN Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman.

Lebih terperinci

STUDI DAYA HASIL GALUR F4 KEDELAI (Glycine max L.) HASIL PERSILANGAN VARIETAS GROBOGAN DENGAN ANJAMORO, UB, AP DAN ARGOPURO

STUDI DAYA HASIL GALUR F4 KEDELAI (Glycine max L.) HASIL PERSILANGAN VARIETAS GROBOGAN DENGAN ANJAMORO, UB, AP DAN ARGOPURO STUDI DAYA HASIL GALUR F4 KEDELAI (Glycine max L.) HASIL PERSILANGAN VARIETAS GROBOGAN DENGAN ANJAMORO, UB, AP DAN ARGOPURO STUDY OF YIELD CAPABILITY ON SOYBEAN (Glycine max L.) F4 LINES CROSSING BETWEEN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pada penelitian F 5 hasil persilangan Wilis x B 3570 ini ditanam 15 genotipe terpilih dari generasi sebelumnya, tetua Wilis, dan tetua B 3570. Pada umumnya

Lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Kegiatan pemuliaan diawali dengan ketersediaan sumberdaya genetik yang beragam. Keanekaragaman plasma nutfah tanaman jagung merupakan aset penting sebagai sumber

Lebih terperinci

Evaluasi dan Seleksi Varietas Tanaman Kedelai Terhadap Naungan dan Intensitas Cahaya Rendah 1)

Evaluasi dan Seleksi Varietas Tanaman Kedelai Terhadap Naungan dan Intensitas Cahaya Rendah 1) Evaluasi dan Seleksi Varietas Tanaman Kedelai Terhadap Naungan dan Intensitas Cahaya Rendah 1) (Selection and Evaluation of Soybean to Shade and Low Intensity of Light) Nerty Soverda 2, Evita 2 dan Gusniwati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia karena merupakan salah satu jenis sayuran buah

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI Oleh Dheska Pratikasari NIM 091510501136 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di Indonesia. Hampir 90 % masyarakat Indonesia mengonsumsi beras yang merupakan hasil olahan

Lebih terperinci

EVALUASI KARAKTER BERBAGAI VARIETAS KEDELAI BIJI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) AZRISYAH FUTRA

EVALUASI KARAKTER BERBAGAI VARIETAS KEDELAI BIJI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) AZRISYAH FUTRA EVALUASI KARAKTER BERBAGAI VARIETAS KEDELAI BIJI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) AZRISYAH FUTRA 060307012 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 EVALUASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unggul yang telah dihasilkan dibagi menjadi empat generasi, yaitu: Generasi-1 ( ) : Seedling selected

BAB I PENDAHULUAN. unggul yang telah dihasilkan dibagi menjadi empat generasi, yaitu: Generasi-1 ( ) : Seedling selected 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian di Indonesia salah satunya dihasilkan dari pengembangan perkebunan karet. Fungsi dari perkebunan karet tidak hanya sebagai sumber devisa, sumber bahan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN

BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang parameter genetik

Lebih terperinci

KERAGAMAN MORFOLOGI DAN GENOTIPE TANAMANROSELLA(Hibiscus SabdariffaL.). GENERASI M2 HASIL IRIDIASI SINAR GAMMA SKRIPSI OLEH:

KERAGAMAN MORFOLOGI DAN GENOTIPE TANAMANROSELLA(Hibiscus SabdariffaL.). GENERASI M2 HASIL IRIDIASI SINAR GAMMA SKRIPSI OLEH: KERAGAMAN MORFOLOGI DAN GENOTIPE TANAMANROSELLA(Hibiscus SabdariffaL.). GENERASI M2 HASIL IRIDIASI SINAR GAMMA SKRIPSI OLEH: AMALUDDIN SYAHPUTRA 130301037 AGROEKOTEKNOLOGI / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN SEBARAN NORMAL KARAKTER-KARAKTER PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HASIL PERSILANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril) VARIETAS ANJASMORO DENGAN GENOTIPA KEDELAI TAHAN SALIN PADA F2 SKRIPSI OLEH : NARWIYAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Segregasi Varietas unggul galur murni dapat dibuat dengan menyilangkan dua genotipe padi yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil persilangan ditanam

Lebih terperinci

homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x

homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x 144 PEMBAHASAN UMUM Penelitian introgresi segmen Pup1 ke dalam tetua Situ Bagendit dan Batur ini memiliki keunikan tersendiri. Kasalath dan NIL-C443 yang sebagai tetua sumber segmen Pup1 memiliki karakteristik

Lebih terperinci

EVALUASI KARAKTER TANAMAN KEDELAI HASIL RADIASI SINAR GAMMA PADA GENERASI M 2

EVALUASI KARAKTER TANAMAN KEDELAI HASIL RADIASI SINAR GAMMA PADA GENERASI M 2 EVALUASI KARAKTER TANAMAN KEDELAI HASIL RADIASI SINAR GAMMA PADA GENERASI M 2 HENRY ARDIANSYAH SIPAHUTAR 060307024 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI GALUR-GALUR PADI GOGO TOLERAN TERHADAP KERACUNAN ALUMINIUM

IDENTIFIKASI GALUR-GALUR PADI GOGO TOLERAN TERHADAP KERACUNAN ALUMINIUM IDENTIFIKASI GALUR-GALUR PADI GOGO TOLERAN TERHADAP KERACUNAN ALUMINIUM IDENTIFICATION OF UPLAND RICE LINES TOLERANCE TO ALLUMINIUM TOXICITY Ida Hanarida 1), Jaenudin Kartahadimaja 2), Miftahudin 3), Dwinita

Lebih terperinci

Agrivet (2015) 19: 30-35

Agrivet (2015) 19: 30-35 Agrivet (2015) 19: 30-35 Keragaan Sifat Agronomi dan Hasil Lima Kedelai Generasi F3 Hasil Persilangan The agronomic performance and yield of F3 generation of five crosses soybean genotypes Lagiman 1),

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan komoditas penting kedua dalam ekonomi tanaman pangan di Indonesia setelah padi/beras. Akan tetapi dengan berkembang pesatnya industri peternakan, dimana

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SELEKSI INDIVIDU TERPILIH PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine maxl.merrill) GENERASI M 5 BERDASARKAN KARAKTER PRODUKSI TINGGI DAN TOLERAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG Athelia rolfsii(curzi) SKRIPSI OLEH : MUTIA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antarnegara yang terjadi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan pertanian Indonesia. Hal ini terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan bahan pangan sebagianbesarpenduduk

Lebih terperinci

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI

METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI METODE PEMULIAAN TANAMAN MENYERBUK SENDIRI Metode Pemuliaan Introduksi Seleksi Hibridisasi penanganan generasi bersegregasi dengan Metode silsilah (pedigree) Metode curah (bulk) Metode silang balik (back

Lebih terperinci

Pemilihan Karakter Agronomi untuk Menyusun Indeks Seleksi pada 11 Populasi Kedelai Generasi F6

Pemilihan Karakter Agronomi untuk Menyusun Indeks Seleksi pada 11 Populasi Kedelai Generasi F6 Bul Agron (34) (1) 19 24 (2006) Pemilihan Karakter Agronomi untuk Menyusun Indeks Seleksi pada 11 Populasi Kedelai Generasi F6 Selection of Agronomic Characters to Construct Selection Index on 11 Soybean

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.)

PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) PENGUKURAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF TETUA SELFING BEBERAPA VARIETAS JAGUNG ( Zea mays L.) SKRIPSI Oleh : FIDELIA MELISSA J. S. 040307013 / BDP PET PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kedelai mengandung sekitar 40% protein, 20% lemak, 35% karbohidrat,

Lebih terperinci

Vol 1 No. 3 Juli September 2012 ISSN:

Vol 1 No. 3 Juli September 2012 ISSN: PENGRUH NUNGN TERHDP KNDUNGN KLOROFIL DUN DN HSIL DU VRIETS TNMN KEDELI (Glycine max L. Merill) (The Effect of Shade on Chlorophyll Content and the Yield of Two Soybean Varietes (Glycine max L. Merill))

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai diduga berasal dari daratan China Utara atau kawasan subtropis. Kedelai

Lebih terperinci

DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2

DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2 J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 20 Jurnal Agrotek Tropika 1(1):20-24, 2013 Vol. 1, No. 1: 20 24, Januari 2013 DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2 HASIL PERSILANGAN

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL LANJUTAN GALUR-GALUR KEDELAI (Glycine max (L ) Merr) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI DESA SEBAPO KABUPATEN MUARO JAMBI

UJI DAYA HASIL LANJUTAN GALUR-GALUR KEDELAI (Glycine max (L ) Merr) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI DESA SEBAPO KABUPATEN MUARO JAMBI UJI DAYA HASIL LANJUTAN GALUR-GALUR KEDELAI (Glycine max (L ) Merr) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI DESA SEBAPO KABUPATEN MUARO JAMBI Oleh : Rina Yunita A24053094 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

SELEKSI GALUR KEDELAI (Glycine max(l.) Merill ) GENERASI F3 PADA TANAH SALIN DENGAN METODE PEDIGREE SKRIPSI. Oleh: BILLY CHRISTIAN /

SELEKSI GALUR KEDELAI (Glycine max(l.) Merill ) GENERASI F3 PADA TANAH SALIN DENGAN METODE PEDIGREE SKRIPSI. Oleh: BILLY CHRISTIAN / 1 SELEKSI GALUR KEDELAI (Glycine max(l.) Merill ) GENERASI F3 PADA TANAH SALIN DENGAN METODE PEDIGREE SKRIPSI Oleh: BILLY CHRISTIAN / 110301063 AGROEKOTEKNOLOGI PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan. Shading Tolerance in Upland Rice

Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan. Shading Tolerance in Upland Rice Hayari. Juni 2003, hlrn. 7 1-75 ISSN 0854-8587 Vol. 10. No. 2 Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan Shading Tolerance in Upland Rice DIDY SOPANDIE 1 *, MUHAMMAD AHMAD CHOZIN', SARSIDI SASTROSUMARJO', TIT1

Lebih terperinci

SELEKSI DUA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) PADA TANAH SALIN

SELEKSI DUA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) PADA TANAH SALIN SELEKSI DUA VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) PADA TANAH SALIN SKRIPSI Oleh: RICHA SILVIA 070307013 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN Hoya diversifolia Blume SINTHO WAHYUNING ARDIE

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN Hoya diversifolia Blume SINTHO WAHYUNING ARDIE PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PEMBUNGAAN Hoya diversifolia Blume SINTHO WAHYUNING ARDIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays saccharata [Sturt.] Bailey) merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays saccharata [Sturt.] Bailey) merupakan salah satu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung manis (Zea mays saccharata [Sturt.] Bailey) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi karena banyak disukai oleh masyarakat.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Capsicum annuum L. merupakan tanaman annual berbentuk semak dengan tinggi mencapai 0.5-1.5 cm, memiliki akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang-cabang.

Lebih terperinci

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata Satu (S1) Program Studi Agronomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Menurut Cock (1985), ubikayu merupakan salah satu tanaman penghasil

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Menurut Cock (1985), ubikayu merupakan salah satu tanaman penghasil PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut Cock (1985), ubikayu merupakan salah satu tanaman penghasil kalori penting di daerah tropik. Tanaman ubikayu ini dapat membentuk karbohidrat dengan efisien. Dalam Widodo

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang terbentuk akibat jagung biasa yang mengalami mutasi secara alami. Terdapat gen utama

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA HERAWATY SAMOSIR 060307005 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

). Produksi asiatikosida dari Casi 016 pada naungan 25% nyata lebih tinggi (1.84 g m -2 ) daripada aksesi lokal (Casi 013); sedangkan pada naungan

). Produksi asiatikosida dari Casi 016 pada naungan 25% nyata lebih tinggi (1.84 g m -2 ) daripada aksesi lokal (Casi 013); sedangkan pada naungan 120 PEMBAHASAN UMUM Asiatikosida merupakan salah satu kandungan kimia pada pegagan yang memiliki aktivitas biologis. Pegagan dikenal aman dan efektif untuk mengobati berbagai macam penyakit, tumbuhan ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia, karena padi merupakan pangan pokok bagi lebih dari setengah penduduk dunia (Lu 1999). Menurut Pusat Data dan

Lebih terperinci

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing NIP NIP Mengetahui : Ketua Program Studi Agroekoteknologi

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing NIP NIP Mengetahui : Ketua Program Studi Agroekoteknologi Judul : Seleksi Individu M3 Berdasarkan Karakter Umur Genjah dan Produksi Tinggi Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merrill) Nama : Yoke Blandina Larasati Sihombing NIM : 100301045 Program Studi : Agroekoteknologi

Lebih terperinci

UJI ADAPTASI DAN TOLERANSI BEBERAPA VARIETAS TANAMAN KEDELAI PADA NAUNGAN BUATAN 1 (THE ADAPTATION OF SOYBEAN TO SHADE) Sari

UJI ADAPTASI DAN TOLERANSI BEBERAPA VARIETAS TANAMAN KEDELAI PADA NAUNGAN BUATAN 1 (THE ADAPTATION OF SOYBEAN TO SHADE) Sari UJI ADAPTASI DAN TOLERANSI BEBERAPA VARIETAS TANAMAN KEDELAI PADA NAUNGAN BUATAN 1 (THE ADAPTATION OF SOYBEAN TO SHADE) Nerty Soverda 2, Evita 2 dan Gusniwati 2 ABSTRACT The objectives of this research

Lebih terperinci

KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT

KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT SKRIPSI KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT Oleh: Julianti 11082201605 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS ISLAM

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci