Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, Juni

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) - Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan, BIG, Juni"

Transkripsi

1 1 MELACAK BUKTI-BUKTI OKUPASI KOMUNITAS PRASEJARAH DI LINGKUNGAN KARST JAWA TIMUR BAGIAN SELATAN (upload: geoarkeologi.blog.ugm.ac.id, tanggal 22 Maret 2015) Oleh: J. Susetyo Edy Yuwono Jurusan Arkeologi Fak. Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Satu hal yang selalu hadir dalam keragaman lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan adalah bentukan gua (cave) dan ceruk (rock shelter) yang menyimpan bukti-bukti kehadiran manusia dan budaya Prasejarah ~ sebuah tataran evolusi yang mengawali dinamika budaya masa lalu. Persoalan yang kemudian muncul adalah dari manakah para pemukim gua tersebut berasal dan bagaimana proses penghunian lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan pada masa Prasejarah? Kedua pertanyaan ini dicoba didekati melalui pendekatan paleogeografis Jawa bagian timur dengan mempertimbangkan distribusi situs-situs bertarikh Plestosen Holosen di sebagian besar wilayah Jawa. Kedua jalur punggungan purba yang hampir paralel di bagian utara dan selatan Jawa bagian timur, yaitu Pegunungan Selatan dan Antiklinorium Kendeng, masing-masing pernah menjadi basis okupasi komunitas Prasejarah pada masanya. Keterkaitan di antara keduanya perlu dikaji dengan menawarkan semacam mata rantai yang menjadikan lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan sebagai lingkungan terbuka bagi kemungkinan berlangsungnya migrasi lokal. Tulisan ini menyajikan dua bagian yang saling melengkapi. Bagian pertama berupa pemaparan singkat hasil-hasil penelitian arkeologis yang pernah dilakukan ditambah temuan terbaru selama pelaksanaan EGI 2012; Bagian kedua berupa model kajian untuk menjelaskan kedudukan Pegunungan Selatan Jawa, khususnya lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan, dalam konstelasi keprasejarahan wilayah timur Jawa. BAGIAN 1: Okupasi Homo sapiens di Lingkungan Karst Jawa Timur Bagian Selatan Pegunungan Selatan Jawa (The Southern Plateau Zone) yang sebagian sisi terluarnya diselimuti batuan karbonat terkarstifikasi, adalah zona plato membujur barattimur yang menyimpan jejak-jejak kehidupan Prasejarah di banyak tempat. Di beberapa bagian, sungai-sungai dan lembah-lembah purba memotong bentangan karst ini menjadi beberapa blok. Bagian paling masif terhampar mulai wilayah Parangtritis (Yogyakarta) di ujung barat hingga Teluk Pacitan Jawa Timur, yang lazim dikenal sebagai Gunungsewu. Dari Teluk Pacitan hingga ujung timur Jawa agihan karst kian beragam, sebagian tersebar sporadis di daerah Pacitan Timur, Ponorogo, Trenggalek, Lumajang, dan Jember. Sebagian lainnya meluas hingga wilayah pedalaman dengan corak

2 2 eksokarst yang bervariasi, seperti dijumpai di daerah Tulungagung, Blitar, Malang, dan Alas Purwo di Semenanjung Blambangan, Banyuwangi. Sejauh ini, bukti-bukti hunian Prasejarah lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan baru terungkap di beberapa gua di daerah Sampung (Ponorogo), Tulungagung, dan Gunung Watangan (Jember). Penelitian di Sampung, diawali oleh L.J.C. van ES pada tahun 1926 di Gua Lawa, diteruskan oleh van Stein Callenfels pada tahun 1928 hingga Gua Lawa adalah situs penting yang kemudian melahirkan istilah Sampung bone culture sebagai salah satu karakter budaya Prasejarah di Jawa, akibat melimpahnya kandungan artefak tulang di lapisan tanah gua. Selama dilakukannya penelitian di Gua Lawa, tiga rangka manusia ditemukan, umumnya dalam posisi terlipat seperti bayi di dalam kandungan. Sebuah teknik penguburan yang sudah mulai dikenal pada masa itu, yang didasari konsep-konsep tentang siklus kehidupan. Jejak komunitas Prasejarah lainnya ditemukan di kompleks ceruk di daerah Campurdarat, 20 km selatan kota Tulungagung, tidak jauh dari kawasan penambangan batugamping (Foto 01 dan 02). Hasil pertanggalan sementara terhadap sampel arang yang berada satu konteks dengan beberapa jenis artefak dan tulang fauna Song Gentong, mewakili masa hunian sekitar 7000 tahun lalu ~ masuk dalam kronologi hunian Kala Holosen (Marliac & Simanjuntak, 1996). Foto 01. Lembah Campurdarat (Tulungagung). Dua tonjolan bukit di sebelah kanan adalah lokasi situs Song Gentong I dan II (foto: jse yuwono) Foto 02. Song Gentong I. Ceruk kecil ini menyimpan bukti-bukti kehadiran manusia sekitar tahun lalu (foto: jse yuwono) Berbagai penelitian di perbukitan karst Tulungagung sudah mengoleksi lebih dari sepuluh individu Homo sapiens. Temuan tengkorak Manusia Wadjak I dan Wadjak II adalah dua spesimen yang telah mengangkat wilayah karst Tulungagung dalam

3 3 khasanah paleoantropologi dunia. Keduanya adalah manusia modern awal yang sejajar tingkat evolusinya dengan spesimen-spesimen dari daerah Asia Tenggara lainnya, yaitu manusia Moh Khiew di Thailand, Niah di Serawak (Malaysia), dan Tabon di Pallawan (Philipina) (Widianto, 2010). Wadjak I (Foto 03), ditemukan oleh B.D. van Rietschoten pada sebuah ceruk di lereng perbukitan karst di baratlaut Campurdarat pada tahun Temuan ini telah menarik perhatian Eugene Dubois yang tengah melakukan ekskavasi gua-gua di Sumatera Barat, yang kemudian memindahkan kegiatan penelitiannya ke lokasi temuan Manusia Wadjak I. Hasilnya adalah ditemukannya tengkorak Wadjak II pada tahun 1890, dengan beberapa gigi lepas, beberapa potongan tulang anggota badan, dan fosilfosil fauna (Widianto, 2010; Aziz & de Vos, 1989). Foto 03. Tengkorak Manusia Wadjak dari Campurdarat (Tulungagung) (Sumber: Widianto, 2010) Wadjak I adalah tengkorak wanita berusia sekitar 30 tahun dengan kapasitas otak 1550 cc, sedangkan Wadjak II adalah tengkorak laki-laki dengan kapasitas otak 1650 cc, dengan muka lebar akibat perkembangan lateral tulang pipinya. Keduanya memiliki tinggi badan sekitar 170 cm (Widianto, 2010), ciri-ciri campuran antara Austromelanesid dan Mongolid tampak pada temuan ini ~ tengkoraknya mencirikan unsur Austromelanesid secara kuat, sementara mukanya mewakili muka Mongolid (Widianto, 2001). Kendati angka pasti mengenai usia Manusia Wadjak belum diperoleh, namun hasil test uranium telah menempatkan fosil ini ke dalam kronologi Kala Holosen (Jacob, 1967), sehingga kemungkinan berasal dari tahun lalu.

4 4 Gunung Watangan Jember adalah wilayah ketiga di lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan yang sudah sering diteliti. Dua dari puluhan gua yang ada, yaitu Gua Sodong dan Gua Marjan, terbukti memberikan informasi arkeologis penting. Pada tahun 1930-an, H.R. van Heekeren yang melakukan ekskavasi di Gua Sodong di bagian utara Gunung Watangan daerah Puger, menemukan rangka manusia pigmi yang cukup lengkap, dikubur secara terlipat dengan tangan kanan menyilang di atas perut. Di Gua Marjan, tidak jauh letaknya dari Gua Sodong, rangka manusia banyak ditemukan. Sebuah rangka dikubur terlipat, berasosiasi dengan rahang bawah yang kekar dan bergigi besar, menunjukkan kesamaan dengan tengkorak Sampung (Widianto, 2010). Selain ketiga daerah di atas, potensi arkeologis gua-gua di daerah Trenggalek, Blitar, Malang, dan Banyuwangi belum pernah diteliti. EGI 2012 di sebagian besar lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan, mensinyalir sejumlah gua dan ceruk yang memiliki potensi arkeologis sebagai situs hunian Prasejarah. Dugaan ini sementara didasarkan atas kriteria morfologis gua, dimensi dan kondisi ruangan gua, temuan permukaan, serta lingkungan sekitar gua terutama kondisi medan dan sumberdayanya yang memberikan akses bagi okupasi manusia Prasejarah. Di Pacitan Timur, jajaran ceruk di sepanjang sisi Lembah Lorok, Kecamatan Ngadirojo (Foto 04 dan 05), memberikan bukti-bukti hunian para pemukim Prasejarah wilayah pesisir. Sejumlah cangkang kerang laut yang terdeposit di permukaan lantai gua adalah bukti bahwa mereka telah memanfaatan sumberdaya lingkungan terdekat. Sebagian cangkang kerang tersebut telah dimodifikasi menjadi perkakas serut. Foto 04 dan 05. Kompleks ceruk di Lembah Lorok (Pacitan Timur) (foto: jse yuwono) Gua Somopuro di Kecamatan Tulakan (Foto 06 dan 07), adalah bukti lain sebuah gua hunian Prasejarah wilayah pedalaman yang tidak pernah kekurangan air.

5 5 Hingga kini, tepian ruangan gua ini masih dialiri sungai kecil yang tidak pernah kering sepanjang tahun, dan menjadi sumber air untuk keperluan irigasi persawahan di lembah yang luas depan mulut gua. Sebagai kaum pemburu, para pemukin gua di daerah Tulakan banyak memanfaatkan batu rijang untuk membuat senjata, yang bahan bakunya melimpah di Kali Padi, sungai utama di daerah setempat yang mengalir di permukaan dan menghilang menjadi aliran sungai bawahtanah (Foto 08 dan 09). Foto 06 dan 07. Gua Somopuro di Tulakan (Pacitan Timur) (foto: jse yuwono) Foto 08. Kali Padi dengan bongkah-bongkah andesit bercampur rijang, salah satu lokasi sumber bahan artefak batu prasejarah (foto: jse yuwono) Foto 09. Mulut Gua Padi, titik menghilangnya aliran Kali Padi (foto: jse yuwono) Nama Gua Lawa juga dijumpai di wilayah karst bagian barat Tulungagung yang kini sudah dikembangkan menjadi objek wisata. Mulut gua yang tampak sekarang adalah bagian ujung dari lorong sungai bawahtanah, yang mendapatkan pasokan airnya dari sungai permukaan yang berhulu di Watulimo, pegunungan berbatuan vulkanik di perbatasan Trenggalek dan Tulungagung (Foto 10 dan 11). Runtuhnya sebagian besar atap gua menampakkan lorong sungai bawahtanah aktif dan sekaligus memperjelas

6 6 ceruk-ceruk kecil dan ruang terbuka di sekitar runtuhan. Di antara kerakal andesit yang berserak di sepanjang dasar sungai bawahtanah ditemukan beberapa fragmen dengan ciri-ciri teknologis sebagai artefak, sebagian di antaranya berbahan rijang (Foto 12 dan 13). Foto 10 (atas). Gua Lawa di perbatasan Trenggalek Tulungagung (foto: jse yuwono) Foto 11 (kanan). Sungai permukaan sebagai upstream sungai bawahtanah di Gua Lawa (foto. jse yuwono) Foto 12. Endapan kerakal di aliran sungai bawahtanah Gua Lawa (foto: jse yuwono) Foto 13. Indikasi artefak di Gua Lawa (foto: jse yuwono) Masih di Tulungagung, deretan perbukitan karst mulai Gua Lawa di perbatasan Trenggalek ke arah timur hingga Campurdarat, menjanjikan informasi penting sehubungan dengan penghunian Prasejarah di lingkungan karst Jawa Timur bagian

7 7 selatan. Fenomena menarik berupa jajaran ceruk dan gua pada satu teras pengangkatan, menjadi indikasi awal yang perlu dilacak untuk melengkapi informasi sebelumnya (Foto 14 dan 15). Foto 14 dan 15. Deretan ceruk di daerah Tulungagung yang berpotensi sebagai situs hunian Prasejarah (foto: jse yuwono) Wilayah karst Malang Selatan juga menyimpan potensi arkeologis yang tidak kecil. Mulai dari Turen ke selatan, sejumlah bentukan gua karst yang layak huni dijumpai. Salah satunya Gua Plethes yang terletak persis di pinggir jalan menuju Sendangbiru (Foto 16 & 17). Kendati artefak belum ditemukan, tetapi morfologi gua, dimensi dan kondisi ruangannya, serta lingkungan sekitarnya, mendukung berkembangnya hunian Prasejarah di gua ini. Lembah subur Sumber Manjing di wilayah selatan, yang morfologinya menyerupai sebuah graben memanjang dengan limpahan mata airnya, adalah potensi lahan yang juga mendukung penghunian wilayah karst Malang Selatan (Foto 18 &19). Fenomena unik lainnya dijumpai di Pulau Sempu, selatan Malang, menyimpan sederet ceruk dan gua yang belum terjamah, dan berpeluang memberikan informasi penghunian awal kawasan yang selama ini masih suram dari sisi keprasejarahannya. Gambaran potensi Pulau Sempu tentunya dijumpai pula di Pulau Barung, selatan Jember, sebagai blok terpisah dari Pegunungan Selatan Jawa. Juga Alas Purwo di Semenanjung Blambangan (Banyuwangi), menyimpan potensi arkeologis dan etnografis yang melimpah dan menantang dilakukannya kajian mendalam. Agihan karstnya yang masif dan unik tentunya mencerminkan keunikan pula secara kultural dan kesejarahan.

8 8 Foto 16 dan 17. Gua Plethes di wilayah karst Malang Selatan, prototipe sebuah gua hunian (foto: jse yuwono) Foto 18 dan 19. Lembah subur di Sumber Manjing, Malang Selatan (foto: jse yuwono) BAGIAN 2: Mata Rantai Penghunian Pegunungan Selatan Jawa Dalam kerangka geomorfologi Jawa, A.J. Pannekoek (1949), menempatkan Pegunungan Selatan Jawa sebagai salah satu zona spesifik pembentuk kawasan timur Pulau Jawa. Punggungan tinggi membujur barat-timur ini bagian utaranya bersinggungan dengan Zona Depresi Tengah yang memisahkannya dari Antiklinorium Kendeng di utara Jawa. Kedua jalur pegunungan di selatan dan utara ini adalah jalurjalur purba yang pernah berperan sebagai rahim-rahim bagi lahirnya cikal-bakal budaya-budaya tertua di Jawa. Situs-situs Plestosen dengan teknologi paleolitiknya bermunculan di utara. Mulai daerah Pati, Sragen, Ngawi, hingga Mojokerto, tercatat situs-situs penting Kelompok Kendeng, di antaranya Patiayam, Sambungmacan, Trinil, Ngandong, Kedungbrubus, Kalibeng, Kabuh, Pucangan, dan Perning, ditambah Sangiran yang agak menyimpang ke selatan, ke sebuah kubah di Depresi Solo.

9 9 Sementara di Pegunungan Selatan, tumbuh subur permukiman bertarikh Holosen di gua-gua karst dengan dominasi mesolitiknya. Penelitian arkeologis di Pegunungan Selatan Jawa sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda hingga sekarang. Sebagian besar situs berupa gua-gua karst, baik di jajaran Gunungsewu maupun di sebagian lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan. Namun demikian, bukan berarti bahwa potensi situs-situs terbuka (open sites) di Pegunungan Selatan tidak ada. Temuan situs paleolitik pertama di Indonesia justru terjadi di wilayah ini, yaitu di aliran Kali Baksoka (Pacitan) (Foto 20 dan 21). Foto 20 dan 21. Lembah Baksoka dan salah satu bagian sungainya, Kedung Maron, adalah situs terbuka yang menjadi area jelajah komunitas Prasejarah Pacitan (foto: jse yuwono) Berpijak pada dua isu besar, dari manakah para pemukim gua di lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan berasal; dan bagaimana mereka memasuki lingkungan karst ini?, maka kajian ini dikembangkan. Di samping aspek spasial dan temporal masing-masing situs, kondisi paleogeografi kawasan dijadikan pertimbangan penting dalam penyusunan hipotesis ini. Dalam deskripsi Pannekoek (1949), fisiografi Pegunungan Selatan Jawa menampakkan bentukan plato sebagai hasil proses pengangkatan (uplifted peneplain) terhadap batuan berumur Miosen. Akibat proses pengangkatan dan sejumlah kejadian geomorfik, wilayah berbatuan gamping di bagian paling selatan kemudian berkembang menjadi topografi karst dengan sistem drainase bawahtanahnya. Kenampakan plato pun berubah menjadi bukit-bukit kecil berbangun kerucut, yang dikenal sebagai Gunungsewu dan lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan. Mengenai umur pengangkatan Pegunungan Selatan Jawa, G.H.R. von Koenigswald memperkirakan terjadi pada akhir Plestosen Bawah. Indikasi umur

10 10 tersebut diperoleh di bagian kipas-kipas batugamping Gunungsewu, berupa sisa-sisa fauna Plestosen Bawah (Tapirus dan Rhinoceros) yang hidup di daerah humid dengan kondisi lingkungan rawa. Ini membuktikan bahwa lokasi temuan tersebut dulu terletak di bagian rendah, yang kemudian terangkat sehingga aliran permukaannya menghilang. Tebing terjal di sepanjang sisi utara Pegunungan Selatan Jawa pada kenyataannya tidak memiliki kenampakan seperti garis lurus. Di beberapa bagian, khususnya di selatan Gunung Wilis dan Gunung Lawu, terdapat ujung-ujung yang menjorok ke arah utara. Ujung kurva ( spur ) di selatan Gunung Wilis, bahkan mengarah jauh ke utara menembus tubuh Gunung Wilis Tua dan kemudian tertutup oleh deposit volkanik; sedangkan di selatan Gunung Lawu, bagian paling utara dari spur merupakan blok terpisah yang membentuk Gunung Gijono. Bagian tenggara Gunung Wilis berupa sistem lembah yang menyusup dari Zona Depresi Tengah ke dalam Pegunungan Selatan (di dekat kota Tulungagung). Bagian dasarnya berupa lembah-lembah lebar yang sebagian besar tertutup dan tenggelam di bawah sedimen muda. Akibatnya, Pegunungan Selatan seolah mundur ke arah selatan, menyisakan punggungan runcing dan rendah yang memisahkan sebaran lembah dengan Samudra Hindia (di dekat Teluk Popoh). Tampaknya pernah terjadi amblesan di bagian ini yang memperendah dan mendorong pembentukan sistem lembah. Bahkan, bagian terluas dari dasar lembah telah tertutup rawa yang luas, yaitu Rawa Bening. Di selatan Gunung Semeru, Jalur Pegunungan Selatan mengalami pemotongan oleh sebuah ngarai berkelok-kelok (sinuous canyon), yang sebagian terisi aliran volkanik Semeru. Di bagian ini pula terdapat lengkungan ke utara membentuk spur seperti di selatan Gunung Wilis, dengan kurva lebih ramping dan memiliki kontur cekung. Ujung rentangan Pegunungan Selatan, tampaknya terletak pada perlapisan di bawah dataran aluvial dari depresi Lumajang. Pada paparan dangkal di selatannya terdapat Pulau Barung, tersusun atas batugamping dengan sejumlah konikal karstnya. Di timur depresi Lumajang, tubuh Pegunungan Selatan muncul kembali pada ketinggian Gunung Betiri. Bagian ini dikepung oleh potongan-potongan terpisah massa batuan yang mencuat di atas dataran aluvial yang mengapitnya. Bagian terakhir dari Pegunungan Selatan adalah Semenanjung Blambangan yang terkesan aneh, tersusun atas plato batugamping yang menampakkan kembali

11 11 karakteristik karstnya, walaupun tingkat pelarutan batuannya tidak seintensif Gunungsewu. Bagian ini tampak dibatasi oleh patahan-patahan di semua sisinya: Di sisi barat terdapat pola kelurusan, segaris dengan pantai timur Jawa sepanjang Selat Bali, sedangkan batas luar sisi-sisi selatan dan timurlautnya ditandai oleh garis-garis kontur yang dalam dan lurus. Meskipun secara fisiografis Pulau Jawa berakhir di sini, bukan berarti bahwa zona tektonik dan fisiografi berhenti di sini pula. Karakter topografi yang sama ternyata muncul kembali di Kepulauan Sunda Kecil yang membentuk semenanjung di selatan Bali, Pulau Nusa Penida, dan barisan selatan Lombok. Di utara Pegunungan Selatan, terdapat Zona Depresi Tengah yang ditumbuhi jajaran gunungapi. Pada dasarnya zona ini adalah bagian lipatan yang lebih rendah dibanding dengan kedua zona yang mengapitnya, yang kemudian terisi oleh endapan hasil aktivitas sejumlah gunungapi, membentuk kipas fluvio-volkanik yang luas. Di beberapa tempat batuan dasar dari masa yang lebih tua tidak tertutup oleh endapan volkanik. Menurut Bemmelen (1949), gunung-gunung yang menjadi generasi pertama di Zona Depresi Tengah adalah Gunung Wilis Tua, Gunung Lawu Tua, Pegunungan Iyang, dan Gunung Anjasmoro. Titik-titik persinggungan antara Pegunungan Selatan dengan Gunung Wilis Tua inilah yang paling memungkinkan bagi komunitas Homo erectus Kendeng memasuki Pegunungan Selatan. Dengan demikian, daerah antara Ponorogo, Trenggalek, dan bagian baratlaut Tulungagung, dapat dijadikan mata rantai untuk merunut proses penghunian Pegunungan Selatan Jawa, di mana komunitas manusia kemudian menyebar dan mengokupasi gua-gua di Gunungsewu dan Jawa Timur bagian selatan. Di antara situs-situs Kelompok Kendeng di utara, sebagian berada di sayap baratlaut dan utara Gunung Wilis, yang memiliki jarak geografis terdekat ke arah Pegunungan Selatan Jawa. Situs Kedungbrubus di sebelah timur Ngawi, misalnya, merupakan lokasi terdekat dengan spur Pegunungan Selatan di selatan Gunung Wilis. Dari titik persinggungan tersebut ke arah selatan, daerah Ponorogo, Trenggalek, dan Tulungagung berada. Bahkan, subfosil manusia purba di Pegunungan Selatan Jawa juga ditemukan di Campurdarat (Tulungagung), yang dikenal sebagai Manusia Wadjak I dan II.

12 12

13 13 Skema penghunian Gunungsewu sudah banyak dibahas (Yuwono, 2005, 2011), tetapi bagaimana yang terjadi di lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan adalah sebuah yang lebih rumit. Hasil-hasil penelitian terdahulu ditambah sejumlah temuan EGI 2012 menjadi bukti bahwa lingkungan karst Jawa Timur bagian selatan adalah lahan subur bagi kajian arkeologi karstik selain Gunungsewu. Luasnya endapan fluviovolkanik di wilayah Lumajang, yang menjadikan Gunung Watangan (Jember) terpisah dari bagian masif Pegunungan Selatan, demikian pula Pulau Barung dan Alas Purwo di Semenanjung Blambangan memberikan tantangan tersendiri. Fisiografi kedua wilayah ini unik dan sama sekali belum tersentuh penelitian arkeologis. RUJUKAN Aziz, F. & J. De Vos, 1989, Rediscovery of the Wadjak Site (Java, Indonesia), Journal of the Anthropological Society of Nippon, Vol. 97, No. 1, Bemmelen, R.W. van, 1949, The Geology of Indonesia, Government Printing Office,The Hague. Marliac, A. & T. Simanjuntak, 1996, Preliminary report on the site of Song Gentong Kabupaten Tulungagung, East Java (Indonesia), Communication to the 6th International Congress of European Association of Southeast Asian Archaeologists, International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden, 2-6 Sept. 1996, Netherlands. Pannekoek, A.J., 1949, Outline of the geomorphology of Java. TAG Th 1949, E.J. Brill, Leiden, Netherland, hlm Widianto, H., 2001, Sisa manusia hunian gua prasejarah di Gunungsewu: Mekanisma migrasi Pasca Plestosen, Proceeding EHPA, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta, hlm , 2010, Jejak langkah setelah Sangiran, BPSMP Sangiran. Yuwono, JSE, 2005, Paleogeografi Pegunungan Selatan Jawa dan implikasinya terhadap penyusunan hipotesis tentang migrasi lokal komunitas prasejarah di Jawa bagian timur, Sumijati As & Sumarsono (ed), Potret transformasi budaya di era global, FIB UGM, Yogyakarta, hlm , 2011, Napak tilas penghunian awal Gunungsewu, Ekspedisi Geografi Indonesia: Karst Gunungsewu, Bakosurtanal, hlm

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005.

POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. POLA OKUPASI GUA KIDANG: HUNIAN PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA 2014 Indah Asikin Nurani Penelitian ini telah memasuki tahap ke delapan, yang dilakukan sejak tahun 2005. A. Hasil Penelitian Sampai Tahun

Lebih terperinci

PENEMU 1. P.E.C. SCHEMULLING TAHUN 1864 FOSIL VERTEBRATA DARI KALIOSO 2. EUGENE DUBOIS, KURANG TERTARIK

PENEMU 1. P.E.C. SCHEMULLING TAHUN 1864 FOSIL VERTEBRATA DARI KALIOSO 2. EUGENE DUBOIS, KURANG TERTARIK PENEMU 1. P.E.C. SCHEMULLING TAHUN 1864 FOSIL VERTEBRATA DARI KALIOSO 2. EUGENE DUBOIS, KURANG TERTARIK 3. 1934, G.H.R. VON KOENINGSWALD MENEMUKAN ARTEFAK DI BARAT LAUT KUBAH SANGIRAN FOSIL MANUSIA SANGIRAN

Lebih terperinci

JAWA TIMUR. Terbagi atas 3 zona : zona plateau selatan Zona tengah vulkanik Zona utara atau zona lipatan

JAWA TIMUR. Terbagi atas 3 zona : zona plateau selatan Zona tengah vulkanik Zona utara atau zona lipatan JAWA TIMUR Terbagi atas 3 zona : zona plateau selatan Zona tengah vulkanik Zona utara atau zona lipatan Zona Plateau Selatan Topografi karst G. Sewu Cekungan Wonosari dan Baturetno Escarpment plateau selatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

Manusia purba atau dikategorikan sebagai manusia yang hidup pada masa tulisan atau aksara belum dikenal, disebut juga manusia prasejarah atau

Manusia purba atau dikategorikan sebagai manusia yang hidup pada masa tulisan atau aksara belum dikenal, disebut juga manusia prasejarah atau KEHIDUPAN MANUSIA PURBA DI INDONESIA Manusia purba atau dikategorikan sebagai manusia yang hidup pada masa tulisan atau aksara belum dikenal, disebut juga manusia prasejarah atau Prehistoric people. Manusia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

Jenis Manusia Purba di Indonesia Beserta Gambar

Jenis Manusia Purba di Indonesia Beserta Gambar Jenis Manusia Purba di Indonesia Beserta Gambar Dalam hal penemuan fosil manusia purba, Indonesia menempati posisi yang penting, sebab fosil-fosil manusia purba yang ditemukan Indonesiaberasal dari semua

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

Mengenal Manusia Purba Sejarah Kelas X

Mengenal Manusia Purba Sejarah Kelas X Mengenal Manusia Purba Sejarah Kelas X A. Manusia Purba Pernahkah kamu mendengar tentang Situs Manusia Purba Sangiran? Kini Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani

POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA. Indah Asikin Nurani POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA A. Hasil Penelitian Selama Enam Tahap Indah Asikin Nurani Hasil penelitian sampai pada tahap keenam (2012), dapat disimpulkan beberapa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Gunungsewu merupakan bagian dari deretan pegunungan yang memanjang di sisi selatan Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki luas sekitar 126.000 Ha yang terbentang

Lebih terperinci

TUGAS SEJARAH II MANUSIA PURBA TRINIL DAN SANGIRAN

TUGAS SEJARAH II MANUSIA PURBA TRINIL DAN SANGIRAN TUGAS SEJARAH II MANUSIA PURBA TRINIL DAN SANGIRAN NAMA : RINI LARASATI KELAS : X MIA 5 MANUSIA PURBA TRINIL Museum Trinil terletak di pinggiran Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Dusun Pilang, Desa Kawu,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang menarik, karena kawasan karst menjadi bukti berlangsungnya kehidupan pada jaman prasejarah.

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI Secara morfologi, Patahan Lembang merupakan patahan dengan dinding gawir (fault scarp) menghadap ke arah utara. Hasil interpretasi kelurusan citra SPOT menunjukkan adanya kelurusan

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL II.1 Tektonik Regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan Sunda. Sistem busur kepulauan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

KAWASAN KARST SUKOLILO JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1

KAWASAN KARST SUKOLILO JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1 KAWASAN KARST SUKOLILO JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1 J. Susetyo Edy Yuwono & Gregorius D. Kuswanto (Arkeologi FIB UGM) A. PENDAHULUAN Kawasan karst merupakan sebuah aset

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M)

Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Grup Perbukitan (H), dan Pergunungan (M) Volkan (V) Grup volkan yang menyebar dari dat sampai daerah tinggi dengan tut bahan aktivitas volkanik terdiri kerucut, dataran dan plato, kaki perbukitan dan pegunungan.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH ANALISIS LANDSKAP TERPADU Proses Geomorfologi Jawa Barat

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH ANALISIS LANDSKAP TERPADU Proses Geomorfologi Jawa Barat TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH ANALISIS LANDSKAP TERPADU Proses Geomorfologi Jawa Barat Disusun Oleh: Mahendra Putra 115040201111256 Rohana Humulyani 115040201111075 Ardo Aprilio 115040201111112 Kelas :

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Daerah Sangiran merupakan daerah yang cukup terkenal penting karena ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak rahang bawah oleh von Koeningswald (1940). Salah satu

Lebih terperinci

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA. Disusun Oleh : 1. Levi Alvita Y / Bayu Setyaningrum / Winda Setya M /

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA. Disusun Oleh : 1. Levi Alvita Y / Bayu Setyaningrum / Winda Setya M / WAWASAN BUDAYA NUSANTARA Disusun Oleh : 1. Levi Alvita Y / 14148126 2. Bayu Setyaningrum / 14148127 3. Winda Setya M / 14148128 Institut Seni Indonesia Surakarta 2015/2016 PERGERAKAN MANUSA DISANGIRAN

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia BAB V PENUTUP Manusia prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini makanan, telah mengembangkan teknologi pembuatan alat batu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mereka untuk dapat bertahan

Lebih terperinci

MANUSIA WAJAK (HOMO WAJAKENIS) purba, yaitu: Homo (erectus) Soloensis atau yang dikenal juga sebagai Solo Man, dan yang

MANUSIA WAJAK (HOMO WAJAKENIS) purba, yaitu: Homo (erectus) Soloensis atau yang dikenal juga sebagai Solo Man, dan yang MANUSIA WAJAK (HOMO WAJAKENIS) A. PENGERTIAN DAN CIRI MANUSIA WAJAK Manusia Wajak (Homo wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara dapat disejajarkan perkembangannya dengan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi.

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi. Bab 8 Peta Tentang Pola dan Bentuk Muka Bumi 149 BAB 8 PETA TENTANG POLA DAN BENTUK MUKA BUMI Sumber: Encarta Encyclopedia, 2006 Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan

Lebih terperinci

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA OBSERVASI SANGIRAN. Dosen Pengampu : Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn.

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA OBSERVASI SANGIRAN. Dosen Pengampu : Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn. WAWASAN BUDAYA NUSANTARA OBSERVASI SANGIRAN Dosen Pengampu : Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn. Oleh: Muhammad Faried (14148116) Alim Yuli Aysa (14148137) Jurusan Seni Media Rekam Fakultas Seni Rupa dan Desain

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Pelajaran

Ringkasan Materi Pelajaran Standar Kompetensi : 5. Memahami hubungan manusia dengan bumi Kompetensi Dasar 5.1 Menginterpretasi peta tentang pola dan bentuk-bentuk muka bumi 5.2 Mendeskripsikan keterkaitan unsur-unsur geografis dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.blogspot.com Lembaga Pelatihan OSN BENTANG ALAM KARST By : Asri Oktaviani Pengertian tentang topografi kars yaitu : suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

1. Berikut ini merupakan jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia adalah...

1. Berikut ini merupakan jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia adalah... Petunjuk A : Pilihlah satu jawaban yang paling tepat. 1. Berikut ini merupakan jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia adalah... A. Pithecanthropus, Sinanthropus pekinensis, Australopithecus africanus

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

SANGIRAN DOME DANANG ENDARTO

SANGIRAN DOME DANANG ENDARTO SANGIRAN DOME DANANG ENDARTO PENDAHULUAN Kisah panjang mengenai evolusi manusia di dunia tampaknya tidak dapat dilepaskan sama sekali dari sebuah bentangan lahan perbukitan tandus yang terletak di tengah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH P.A. Pameco *, D.H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL YOGYAKARTA

GEOLOGI REGIONAL YOGYAKARTA GEOLOGI REGIONAL YOGYAKARTA Fisiografi Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses tektonisme diyakini

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG R. Andy Erwin Wijaya. 1,2, Dwikorita Karnawati 1, Srijono 1, Wahyu Wilopo 1 1)

Lebih terperinci

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract

Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi Medan) Abstract LOYANG 1 MENDALI SITUS HUNIAN PRASEJARAH DI PEDALAMAN ACEH Asumsi Awal Terhadap Hasil Penelitian Gua-gua di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Taufiqurrahman Setiawan (Balai Arkeologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO Purna Sulastya Putra Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung Sari Hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh penulis di bagian barat Cekungan Baturetno

Lebih terperinci

01. Pendahuluan. Salahuddin Husein. TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi. Planet Bumi

01. Pendahuluan. Salahuddin Husein. TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi. Planet Bumi TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi 01. Pendahuluan Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2010 Planet Bumi Jari-jari katulistiwa: 6.371 km Jari-jari kutub:

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

PRASEJARAH INDONESIA

PRASEJARAH INDONESIA Tradisi Penguburan Jaman Prasejarah Di Liang Bua dan Gua Harimau E. Wahyu Saptomo Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta PRASEJARAH INDONESIA Prasejarah Indonesia dapat dibagi dua yaitu: - Prasejarah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. 1. Letak. timur adalah 51 Km dan dari utara ke selatan adalah 34 Km (dalam Peta Rupa

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. 1. Letak. timur adalah 51 Km dan dari utara ke selatan adalah 34 Km (dalam Peta Rupa digilib.uns.ac.id 53 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Letak a. Letak Astronomis Kabupaten Rembang terletak diantara 111 o 00 BT - 111 o 30 BT dan 6 o 30 LS - 7 o 00 LS atau dalam

Lebih terperinci

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan)

Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Tipe Hunian Gua dan Ceruk Arkeologis Masa Prasejarah di Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul (Sebuah Analisis Pendahuluan) Taufiqurrahman Setiawan The prehistoric hunter and gatherers have two type of cave

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Suganda #2 # Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jalan Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Laporan Pendataan Gua, Mata Air dan Telaga di Karst Malang Selatan Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening Kecamatan Bantur Kabupaten Malang 19-20 September 2015 A. Latar Belakang Karst adalah bentukan

Lebih terperinci

ACARA IV POLA PENGALIRAN

ACARA IV POLA PENGALIRAN ACARA IV POLA PENGALIRAN 4.1 Maksud dan Tujuan Maksud acara pola pengaliran adalah: 1. Mengenalkan macam-macam jenis pola pengaliran dasar dan ubahannya. 2. Mengenalkan cara analisis pola pengaliran pada

Lebih terperinci