DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI"

Transkripsi

1 DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka. Bogor, Agustus 2009 Riris Lindiawati Puspitasari NRP B

3 ABSTRAK RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI. Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium. Dibimbing oleh ARIEF BOEDIONO dan FERRY SANDRA Embryonic stem cells (ESCs) merupakan sel pluripoten yang mampu untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel penyusun tubuh. Potensi tersebut telah diyakini sangat bermanfaat dalam pengobatan penyakit degeneratif. Kemampuannya untuk berdiferensiasi hingga saat ini masih terus dikaji. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari tingkat diferensiasi ESCs menjadi neuron secara in vitro dengan menggunakan conditioned medium (CM) tanpa melalui pembentukan embryoid bodies (EB). ESCs mencit dikultur dalam medium dengan penambahan 20 ng/ml Leukemia inhibitory factor (LIF) selama 8 hari hingga terbentuk outgrowth. CM berasal dari supernatan kultur primer sel syaraf. Digunakan 2 konsentrasi CM yaitu 1x-CM (CM tidak dikonsetratkan) dan 10x-CM (CM dikonsentratkan hingga 10 kali). ESCs dikultur dalam petri yang telah dilapisi gelatin selama 7 hari hingga berdiferensiasi. Ekspresi nestin diketahui melalui metode 2 steps reversed transcript polymerase chain reaction (RT-PCR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan 10x-CM ke dalam medium mampu menginduksi pertumbuhan neural-like cells (NLC) dengan persentase sebesar 8.83 ± Hasil PCR memperlihatkan adanya perbedaan ekspresi gen nestin pada tiap sampel. Sementara itu, medium dengan penambahan 1x-CM belum mampu menginduksi terbentuknya NLC. Dengan demikian, penambahan CM yang dikonsentratkan hingga 10 kali dapat mengarahkan perkembangan ESCs mencit menjadi NLC tanpa melalui pembentukan EB. Kata kunci: embryonic stem cells mencit, conditioned medium, nestin, diferensiasi neuron

4 ABSTRACT RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI. Conditioned medium induced neural differentiation of mouse embryonic stem cells. Under direction of ARIEF BOEDIONO and FERRY SANDRA Embryonic stem cells (ESCs) are pluripotent cells having capability in extensive proliferation while maintaining their potential to differentiate into various cells. Therapeutic potential of these cells is promising, however there is still insufficient ability in inducing the differentiation. In this study we examined the effect of conditioned medium that contained many inducing factors in direct differentiation of mouse ESCs (mesc) into neural cells without embryoid bodies formation. Mouse ESCs were cultivated in culture with supplementation of 20 ng/ml Leukemia inhibitory factor (LIF) to form outgrowth within 8 days. Mouse ESCs were induced with neural-cells-primary-culture-conditioned-medium. We used two concentrations of conditioned medium (CM), 1x-CM and 10x-CM. The mescs were cultured on gelatin coated dishes in both of treatments for 7 days to differentiate. The expressions of nestin were analyzed by two steps RT-PCR. Based on result, 10x-CM increased the percentage of neural-like cells outgrowth 8.83 ± 3.06 and also nestin level expression. Mean while the treatment with 1x- CM gave no neural morphology at all. In conclusion, 10x-CM had effect on neural differentiation from mescs. Keywords: mouse embryonic stem cells, conditioned medium, nestin, neural differentiation

5 RINGKASAN RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI. Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium. Dibimbing oleh ARIEF BOEDIONO dan FERRY SANDRA Stem cell atau yang juga dikenal dengan istilah sel punca, merupakan sel yang dapat berproliferasi dengan mempertahankan sifat tidak terdiferensiasi. Sel punca diprediksi memegang kunci untuk pengobatan beberapa penyakit degeneratif yang pada saat ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan konvensional, misalnya pada penyakit Alzheimer, Parkinson, diabetes dan jantung. Salah satu jenis sel punca yang telah banyak diteliti adalah Embryonic Stem Cell (ESC). ESC dihasilkan dari inner cell mass (ICM) yang terdapat pada embrio blastosis. ESC memiliki beberapa karakter diantaranya dapat dipertahankan untuk tetap tidak berdiferensiasi secara in vitro dan dalam kondisi tertentu dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel yang menyusun tubuh. Propagasi ESC untuk dapat berdiferensiasi menjadi sel tipe tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diregulasi oleh mediator pertumbuhan yang sesuai. Secara in vitro, ESC dapat diarahkan perkembangannya menjadi sel neuron dan sel glia. Interaksi antara sel-sel dan kondisi lingkungan mikro dapat mempengaruhi diferensiasi ESC ataupun sel-sel prekursor baik secara in vitro maupun in vivo. Selain itu, pengarahan ESC menggunakan conditioned medium (CM) juga memungkinkan dikarenakan CM dapat menyediakan faktor-faktor penginduksi neuron. CM merupakan medium yang dikoleksi dari kultur primer sel tertentu setelah dikultur selama beberapa hari. Conditioned medium dari kultur primer sel syaraf mengandung sejumlah faktor pertumbuhan antara lain nerve growth factor (NGF), glial derivedneurotrophic factor (GDNF), nestin, dan glial fibrillary acidic protein (GFAP). Pada umumnya tahapan untuk mendiferensiasikan ESCs adalah melalui pembentukan embryoid bodies (EB) terlebih dahulu. EB merupakan agregat sel yang terdiri atas sel-sel ektodermal, mesodermal, dan endodermal. Metode diferensiasi ESC mencit menjadi sel neuron dengan menggunakan CM secara tunggal dan tanpa melalui tahapan EB belum dilaporkan. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penggunaan CM dari kultur primer sel syaraf secara tunggal (tanpa penambahan GF eksternal), terhadap tingkat pengarahan ESC mencit menjadi sel neuron. Penelitian ini menggunakan inner cell mass (ICM) dari blastosis mencit sebagai sumber ESCs. ICM yang berhasil dikoleksi kemudian dikultur dalam medium ESCs dengan penambahan 20 ng/ml LIF. ICM dikultur pada petri yang telah dilapisi gelatin. Penggunaan LIF dimaksudkan agar ESCs tidak berdiferensiasi. Setelah 8 hari, koloni ESCs dikultur dalam medium diferensiasi sebagai perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah 2 konsentrasi CM yaitu CM yang belum dikonsentratkan (1x-CM) dan CM yang telah dikonsentratkan hingga sepuluh kali (10x-CM). Konsentrasinya berturut-turut adalah 490 μg/ml dan 2615 μg/ml. CM berasal dari supernatan kultur primer sel syaraf setelah dikultur selama 8 hari. Volume yang digunakan yaitu 50% (untuk 1x-CM) dan 5% (untuk 10x- CM). Parameter perkembangan ICM yang diamati adalah attachment rate,

6 pembentukan koloni primer, outgrowth, dan tingkat diferensiasi ESC menjadi sel neuron. Data hasil perkembangan ICM dijelaskan secara deskriptif. Isolasi RNA total dilakukan pada hari ke-7. Kemampuan ekspresi gen nestin (penanda untuk sel progenitor neuron) dilihat berdasarkan hasil two steps reversed transcriptpolymerase chain reaction (RT-PCR). Keseluruhan blastosis yang diperoleh berjumlah sekitar 400 embrio. Dengan memberikan kondisi kultur yang sama maka terlihat adanya sejumlah perkembangan dari embrio. Kemampuan ICM untuk melekat ke dasar petri (attachment rate) adalah 73.5 ± 2.52% dan 72.5 ± 4.43%. Attachment rate diobservasi pada 24 dan 48 jam setelah penanaman. ICM yang melekat selanjutnya akan tumbuh dan berkembang membentuk koloni primer. Perkembangan koloni primer ditandai dengan bertambahnya diameter koloni seiring bertambahnya hari pengamatan. Hingga hari ke-8, koloni primer yang terbentuk yaitu 66 ± 7.66% dan 67 ± 5.29%. Pada koloni primer, stem cell tumbuh dan berkembang membentuk multilayer. Selain itu juga terlihat adanya pertumbuhan sel ke arah samping koloni atau outgrowth. Sebanyak 66 ± 7.66% dan 66 ± 4.90% koloni dapat berkembang membentuk outgrowth. Pada tahap diferensiasi, sel neuron yang tumbuh diidentifikasi sebagai neural-like cells (NLC) dikarenakan pengujian lanjutan seperti imunositokimia untuk menentukan tipe atau jenis sel yang tumbuh tidak dilakukan. Secara visual, NLC tumbuh di area tepi dari koloni dan beberapa sel memiliki neurit yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sampel dengan penambahan 1x-CM tidak menunjukkan adanya pertumbuhan NLC. Hal yang berbeda tampak pada sampel dengan penambahan 10x-CM. Sebanyak 8.83 ± 3.06% NLC teramati di bagian outgrowth, sehingga dapat dikatakan bahwa penambahan 10x-CM lebih mampu menginduksi terbentuknya NLC dari mesc. Kemampuan tersebut dikarenakan CM yang telah dikonsentratkan hingga sepuluh kali memiliki kandungan faktor-faktor yang berperan optimal untuk mengarahkan perkembangan mesc menjadi NLC. Lebih lanjut, conditioned medium dari kultur primer syaraf mengandung sejumlah faktor yang penting bagi perkembangan ESC menjadi sel neuron seperti nerve growth factor (NGF), glial derived-neurotrophic factor (GDNF), fibroblast growth factor-2 (FGF-2), dan glial fibrillary acidic protein (GFAP). Isolasi RNA total dari tiap sampel dilakukan setelah kultur diferensiasi berusia 7 hari. Hasil isolasi memperlihatkan bahwa RNA total dari tiap sampel terdapat pada kisaran ng/μl hingga ng/μl. Sebagai kontrol positif terhadap nestin adalah jaringan otak yang memiliki RNA total dengan konsentrasi ng/μl. Setelah RNA total didapat maka dilakukan konversi ke cdna. Untuk mendeteksi ekspresi dari gen target, sebelumnya dilakukan optimasi terhadap primer agar didapatkan hasil pembacaan pita tunggal dan spesifik. Berdasarkan hasil PCR, dapat dikatakan bahwa pemilihan primer sudah cukup spesifik sehingga produk yang dinilai intensitasnya menghasilkan pita tunggal sebesar 327 bp untuk nestin. Hasil pembacaan PCR mengkonfirmasi bahwa sampel dengan penambahan 1x-CM tidak menghasilkan pita. Sedangkan pada sampel dengan penambahan 10x-CM terlihat bahwa nestin terekspresi dengan intensitas pita yang bervariasi. Namun demikian, level ekspresi nestin dari tiap sampel memiliki nilai yang cukup mirip. Sebagai kontrol pembanding digunakan beta aktin. Setelah setiap gel

7 didokumentasikan dengan G-box, maka dilakukan kuantitasi hasil pita-pita bacaannya. Pada sampel dengan penambahan 10x-CM, rasio nestin terhadap beta aktin berkisar pada hingga Sedangkan pada kontrol positif yaitu jaringan otak memiliki nilai rasio Apabila dibandingkan antara nilai rasio nestin/beta aktin dengan jumlah koloni yang berdiferensiasi pada sampel maka didapat nilai rasio ekspresi per koloni berkisar pada Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa conditioned medium yang dikonsentratkan hingga sepuluh kali (10x-CM) dapat menunjang diferensiasi ESC mencit menjadi neural-like cells. Selain itu diferensiasi ESC mencit menjadi NLC dapat dilakukan tanpa melalui pembentukan embryoid bodies. Kata kunci: embryonic stem cells mencit, conditioned medium, nestin, diferensiasi sel neuron

8 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

9 DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. drh. Nurhidayat, M.S.

11 Judul tesis Nama NRP : Diferensiasi Embryonic Stem Cells Mencit menjadi Neuron menggunakan Conditioned Medium : Riris Lindiawati Puspitasari : B Disetujui Komisi Pembimbing Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D Ketua Ferry Sandra, DDS, Ph.D, LFIBA, CIPM Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. drh. Bambang Pontjo P., M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 20 Agustus 2009 Tanggal Lulus:

12 PRAKATA Alhamdulillah, segala puji untuk Allah SWT atas berkat, rahmat, izin, dan pertolongan-nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan kepada: 1. Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing, untuk waktu, dedikasi pemikiran, dan dukungan moral untuk penulis dalam menyelesaikan proses akademis di Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Ferry Sandra, DDS, Ph.D, LFIBA, CIPM selaku anggota komisi pembimbing untuk waktu, dedikasi pemikiran, dukungan moral dan material dalam menempuh proses akademis di Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB. 3. dr. Boenjamin Setiawan, Ph.D yang telah membuka jalan dan motivasi bagi penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. 4. Ahmad R. Utomo, Ph.D selaku peneliti di Stem Cell and Cancer Institute yang dengan suka rela turut memberikan solusi dalam proses pengerjaan penelitian. 5. Dr. Novik Nurhidayat selaku peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI yang dengan suka rela bersedia memberikan solusi demi terselesaikannya penelitian ini. 6. Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil selaku kepala Laboratorium Embriologi dan Terpadu FKH IPB yang telah memberikan kesempatan dan menyumbangkan pemikiran kepada penulis selama proses penelitian. 7. Staf pengajar, staf administrasi, dan rekan-rekan di Laboratorium Embriologi untuk bimbingan dan kerjasamanya dalam keseluruhan proses akademis. 8. Rekan-rekan di Stem Cell and Cancer Institute atas dukungan selama penulis menyelesaikan studi di FKH IPB. 9. Keluarga dan sahabat, pendamping dan motivator terbaik di setiap kesempatan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

13 Akhir kata semoga tesis yang berjudul Diferensiasi embryonic stem cells mencit menjadi neuron menggunakan conditioned medium ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Agustus 2009 Riris L. Puspitasari

14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1979 sebagai anak bungsu dari pasangan Sukamto dan Asmijati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Indonesia, lulus pada tahun Pada tahun 2006, penulis berkesempatan melanjutkan studi ke program magister pada Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai Research Assistant di Stem Cell and Cancer Institute Jakarta sejak tahun Penulis tergabung dalam divisi Cancer. Selama menyelesaikan studi, penulis menjadi anggota Asosiasi Sel Punca Indonesia. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Kultur embryonic stem cell menjadi sel neuron dengan medium bebas serum, pada jurnal Cermin Dunia Kedokteran tahun 2008.

15 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL. xvi DAFTAR GAMBAR xvii PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Tujuan Penelitian. 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA Stem Cell.. 4 Diferensiasi Embryonic Stem Cells... 6 Conditioned Medium... 7 Neural Stem Cell. 8 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Kultur Primer Sel Syaraf.. 12 Pembuatan Conditioned Medium (CM) Superovulasi Mencit dan koleksi Blastosis.. 13 Isolasi Inner Cell Mass (ICM).. 14 Kultur Mouse Embryonic Stem Cell (mesc) Diferensiasi mesc menjadi Sel Neuron dengan CM.. 15 Isolasi RNA total.. 15 Pengukuran RNA total dengan spektrofotometer 16 Konversi RNA total menjadi cdna 17 Reaksi Polymerase Chain Reaction (PCR).. 17 Visualisasi hasil dengan gel elektroforesis dan G-box 18 Analisis hasil digital G-box.. 18 Analisis Data. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur Primer Sel Syaraf. 20 Conditioned medium 23 Kultur ESC Mencit 25 Diferensiasi ESC Mencit menjadi Sel Neuron.. 27 Ekspresi Nestin Potensi 10x-CM dalam Diferensiasi mesc Mencit menjadi Neuron 33 KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA.. 35

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Perkembangan ICM dalam kultur Karakter koloni yang berdiferensiasi Hasil isolasi RNA total dari sampel Hasil rasio ekspresi nestin terhadap beta aktin pada sampel 10x-CM.. 32

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Potongan sagital otak mencit dengan area neurogenesis Skema perkembangan neural stem cell Perkembangan sel syaraf dalam kultur Hasil pengukuran konsentrasi CM Perkembangan ICM selama kultur ESC Beberapa neural-like cells yang teramati Hasil gel elektroforesis sampel 10x-CM. 31

18 DAFTAR SINGKATAN ESC ICM CM NPC mesc bfgf NGF GDNF GFAP EGF ASC HSC MSC CNS EB SVZ OB NSC PNS NMWL PMSG hcg DMEM FBS LIF RT-PCR AMV NGF NLC Embryonic Stem Cell Inner Cell Mass Conditioned Medium Neural Progenitor Cell Mouse Embryonic Stem Cell basic Fibrolast Growth Factor Nerve Growth Factor Glial Derived-Neurotrophic Factor Glial Fibrillary Acidic Protein Epidermal Growth Factor Adult Stem Cell Hematopoietic Stem Cell Mesenchymal Stem Cell Central Nervous System Embryoid Bodies Subventricular Zone Olfactory Bulb Neural Stem Cell Peripheral Nervous System Nominal Molecular Weight Limit Pregnant Mare s Serum Gonadotrophin human Chorionic Gonadotrophin Dulbecco s Modified Eagle s Medium Fetal Bovine Serum Leukemia Inhibitory Factor Reversed-Transcript Polymerase Chain Reaction Avian Myeloblastosis Virus Nerve Growth Factor Neural-Like Cell

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Stem cell atau yang juga dikenal dengan istilah sel punca, merupakan sel yang dapat berproliferasi dengan mempertahankan sifat tidak terdiferensiasi. Dengan stimulasi sinyal-sinyal tertentu, stem cell dapat dipicu untuk berubah menjadi jenis sel yang lain. Istilah stem cell tidak terbatas pada sel yang berasal dari embrio. Jaringan dewasa, termasuk sumsum tulang, plasenta maupun darah tali pusat dapat menjadi sumber alternatif stem cell. Stem cell diprediksi memegang kunci untuk pengobatan beberapa penyakit degeneratif yang pada saat ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan konvensional, misalnya pada penyakit degeneratif seperti Alzheimer, Parkinson, diabetes dan jantung. Beberapa pengobatan yang tersedia untuk penyakit tersebut cenderung panjang dan umumnya tidak dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Hal tersebut mendorong peneliti untuk mengusahakan kemungkinan-kemungkinan perbaikan fungsi organ secara lebih spesifik, elegan, dan tidak invasif misalnya dengan menggunakan stem cell (Mattson et al 2002 dan Atmosukarto 2005). Salah satu jenis stem cell yang telah banyak diteliti adalah embryonic stem cell (ESC). Embryonic stem cell dihasilkan dari inner cell mass (ICM) yang terdapat pada blastosis dan memiliki beberapa karakter diantaranya dapat dipertahankan untuk tetap tidak berdiferensiasi secara in vitro, serta dalam kondisi tertentu dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel yang menyusun tubuh. Aplikasi ESC untuk terapi penyakit neurodegeneratif terbukti bermanfaat meskipun masih dalam tahap penelitian pada hewan coba. Propagasi ESC untuk dapat berdiferensiasi menjadi sel tipe tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diregulasi oleh mediator pertumbuhan yang sesuai. Secara in vitro, ESC dapat diarahkan perkembangannya menjadi sel glia (Bouhon et al 2005) dan neuron (Zhang et al 2006). Bentz et al (2006) mengemukakan bahwa interaksi sel-sel dan kondisi lingkungan mikro dapat mempengaruhi diferensiasi ESC ataupun sel-sel prekursor baik secara in vitro maupun in vivo. Selain itu, Zhang et al (2006) menyatakan bahwa pengarahan ESC menggunakan conditioned medium (CM) juga memungkinkan dikarenakan 1

20 CM mengandung faktor-faktor penginduksi neuron sebagai hasil sekresi dari kultur primer. CM merupakan medium yang dikoleksi dari kultur primer sel tertentu setelah dikultur selama beberapa hari. Ding dan Schultz (2004) menambahkan bahwa stem cell fate ditentukan oleh regulator intrinsik dan lingkungan ekstraseluler (microenvironment). Konsep pentingnya peranan microenvironment dikemukakan oleh Shihabuddin et al (2000) yang menyatakan bahwa neural progenitor cell (NPC) yang ditransplantasikan ke area yang sedang mengalami neurogenesis mampu berdiferensiasi menjadi neuron yang fungsional. Berbagai riset telah dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai penggunaan CM. Dengan melakukan purifikasi protein yang terkandung di dalam CM, maka diharapkan spektrum protein yang ada menjadi lebih sempit sehingga protein target dapat terdeteksi. Salah satu metode awal untuk melakukan purifikasi protein yang terkandung dalam CM yaitu dengan melakukan pemekatan, misalnya dengan menggunakan Centricon plus 20 (Sipione et al 2006 dan Lin et al 2008). Centricon plus 20 menerapkan prinsip ultrafiltrasi, sehingga hanya protein berberat molekul lebih dari 10 kda yang akan tertahan. Dasar pemilihan Centricon dengan cut off 10 kda adalah bahwa sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap diferensiasi mouse ESC (mesc) menjadi neuron memiliki berat molekul bervariasi antara lain basic fibrolast growth factor (bfgf) (17 kda), FGF-2 (18-24 kda) (Giordano et al 1991), nerve growth factor (NGF) (26 kda) (Kitazawa dan Shimizu 2005), glial derived-neurotrophic factor (GDNF) (50 kda) (Hoefen et al 2004 dan Yue et al 2006), dan glial fibrillary acidic protein (GFAP) (55 kda) (Moghadasali et al 2007). Dengan demikian, diharapkan faktor-faktor tersebut yang tertahan setelah dilakukan proses pemekatan. Sejauh ini, penggunaan CM sebagai faktor untuk mendiferensiasikan stem cell umumnya dikombinasikan dengan penggunaan growth factor eksternal antara lain epidermal growth factor (EGF) (Zhang et al 2006) dan bfgf (Moghadasali et al 2007). Selain itu juga dikemukakan bahwa salah satu tahapan untuk mendiferensiasikan stem cell adalah melalui pembentukan embryoid bodies (EB) terlebih dahulu. EB merupakan agregat sel yang terdiri atas sel-sel ektodermal, mesodermal, dan endodermal (Ding dan Schultz 2004). Metode diferensiasi mesc menjadi neuron dengan menggunakan CM secara tunggal dan tanpa 2

21 melalui tahapan EB belum dilaporkan. Oleh sebab itu perlu adanya studi yang mengkaji metode alternatif untuk mendiferensiasikan mesc menjadi neuron. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penggunaan CM dari kultur primer sel syaraf secara tunggal (tanpa penambahan GF eksternal), terhadap tingkat pengarahan ESC mencit menjadi neuron. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan informasi mengenai pengembangan metode diferensiasi ESC mencit menjadi sel-neuron. Selain itu komponen conditioned medium dapat dikaji lebih lanjut guna mendapatkan kandidat protein yang berperan dalam diferensiasi mesc menjadi neuron. 3

22 TINJAUAN PUSTAKA Stem Cell Stem cell atau stem cell, diprediksi memegang kunci untuk pengobatan beberapa penyakit yang pada saat ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan konvensional. Berkat kemajuan medis yang sifatnya preventif dan terapetik, umur rata-rata masyarakat modern pun cenderung meningkat. Hal ini mendorong munculnya penyakit degeneratif seperti Alzheimer, Parkinson, diabetes dan penyakit jantung yang menjadi beban sangat besar dalam sistem kesehatan (Mattson et al 2002). Beberapa pengobatan yang tersedia untuk penyakit tersebut dirasakan belum optimal. Pengobatan yang ada umumnya bersifat mengelola kondisi pasien demi memperbaiki kualitas hidupnya. Kondisi yang diderita tetap harus dimonitor untuk jangka waktu panjang, sehingga pada akhirnya akan menjadi beban finansial yang berat. Hal tersebut mendorong peneliti untuk mencari alternatif metode pengobatan dengan menggunakan stem cell (Atmosukarto 2005). Selama bertahun-tahun para peneliti mencari dan mencoba memahami mengapa sebagian sel dan organ tubuh manusia mampu memperbaiki diri sedangkan sel dan organ lainnya tidak. Saat ini pencarian tersebut difokuskan pada bidang stem cell. Stem cell merupakan hasil penelitian dasar di bidang biologi yang diperkirakan dapat membawa terobosan yang besar di bidang kedokteran. Stem cell adalah jenis sel khusus yang memiliki kemampuan membentuk ulang dirinya dan pada saat bersamaan dengan pacuan yang tepat mampu membentuk diri menjadi sel yang terspesialisasi (NIH 2001). Sel-sel tersebut merupakan kumpulan sel yang dapat ditemukan pada semua tahap perkembangan mulai dari masa embrio preimplantasi hingga masa dewasa. Terdapat dua kelompok utama stem cell menurut sumbernya yaitu yang diisolasi dari inner cell mass embrio dan yang diisolasi dari berbagai jaringan dewasa (Denham et al 2007). Pada tahun 1981, telah dilaporkan bahwa Evans dan Kaufman berhasil mengisolasi stem cell dari embrio mencit. Stem cell ini disebut embryonic stem cell (ESC). Untuk mendapatkannya mereka melakukan pembedahan mikro pada 4

23 bagian inner cell mass (ICM) dari blastosis mencit. Sel-sel tersebut merupakan sel-sel yang belum berdiferensiasi, dapat berproliferasi selama periode yang tak terbatas dalam kultur, dan dapat diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dengan fungsi khusus sehingga bersifat pluripoten. Sementara itu penggunaan ESC dalam dunia klinis sampai saat ini belum dapat tercapai mengingat kontroversi etis masih melingkupinya. Namun demikian tidak menutup kesempatan bagi ESC untuk dikembangkan lebih dalam mengingat sifatnya yang khas tersebut (Setiawan 2006). Stem cell dari jaringan dewasa (adult stem cell) dapat memperbanyak diri, tetapi mempunyai kemampuan diferensiasi yang terbatas. Jenis sel ini hanya dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel tertentu; karena itu sifat ASC adalah multipoten. Terdapat berbagai sumber yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber ASC diantaranya adalah sumsum tulang dan jaringan fetomaternal seperti darah tali pusat, matriks tali pusat, serta plasenta. Subset stem cell yang diketahui terkandung di dalamnya antara lain hematopoietic stem cells (HSC), bone marrow stromal cells, dan mesenchymal stem cells (MSC). Beberapa riset telah dilakukan untuk membuktikan manfaatnya sebagai sarana terapi berbasis sel seperti pada pasien-pasien keganasan hematologi, stroke, maupun terapi infark miokard (Guckin et al 2005). Saat ini, aplikasi ESC dalam terapi beberapa penyakit telah banyak dikembangkan. Transplantasi ESC untuk terapi pada manusia masih menghadapi persoalan. Hal tersebut dikarenakan adanya persoalan reaksi penolakan imun antara resipien dengan donor yang tidak dekat kekerabatannya dan masalah etika ketika harus menggunakan embrio dari manusia. Keadaan itulah yang mendasari mengapa transplantasi ESC untuk terapi penyakit masih menggunakan hewan model (Matahine dan Boediono 2006). Telah dikemukakan bahwa ESC memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel penyusun tubuh, salah satunya adalah sel-sel syaraf. Aplikasi ESC untuk terapi penyakit neurodegeneratif terbukti bermanfaat meskipun masih dalam tahap penelitian pada hewan coba. Beberapa contoh penyakit neurodegeneratif yang telah dilaporkan dapat diterapi dengan menggunakan ESC ataupun sel prekursor pada hewan coba antara lain central 5

24 nervous system (CNS) injury (Liu et al 2000) dan Parkinson (Bjorklund et al 2002). Pada penelitian tersebut terungkap bahwa resipien mampu menunjukkan perbaikan fungsional pada sistem koordinasinya. Diferensiasi Embryonic Stem Cells Stem cell memiliki beberapa sifat dasar yang menjadi ciri-ciri dari stem cell. Pertama, sel ini dapat bertambah banyak dengan cepat, tanpa mengalami perubahan morfologis termasuk pada kariotipnya (jumlah kromosomnya) dan dapat dipertahankan dalam keadaan tidak terdiferensiasi untuk jangka waktu yang lama. Kedua, stem cell yang telah dikultur dapat dikembalikan dengan mikroinjeksi ke dalam blastosis resipien dan berkontribusi pada perkembangan embrio hasil penggabungan sel dari dua sumber yang berbeda itu. Embrio yang dihasilkan dinamakan chimaera (Bryja et al 2006). Berdasarkan karakter yang dimiliki, ESC dapat diarahkan perkembangannya menjadi tiga lapisan embrional yaitu mesoderm, endoderm, dan ektoderm. Berbagai penelitian telah dilakukan guna mengembangkan metode diferensiasi ESC menjadi tipe sel yang lain, termasuk neuron. Metode tersebut antara lain melalui pembentukan embryoid bodies (EB). Embryoid bodies merupakan sekumpulan atau agregat sel yang pertumbuhannya dapat mengarah pada sel-sel ektodermal, endodermal, dan mesodermal. Metode yang kedua adalah kokultur ESC dengan sel stroma. Sel stroma dapat menyediakan berbagai faktor yang dibutuhkan untuk berdiferensiasi. Metode yang ketiga yaitu mengkultur ESC secara monolayer dengan menggunakan protein sebagai matriks ekstraseluler (Hoefen et al 2004, Keller 2005). Ketiga metode tersebut telah banyak dikembangkan guna mendapatkan metode yang dapat diaplikasikan untuk tujuan terapi. Sementara itu, pada proses diferensiasi sering kali dibutuhkan kondisi in vitro yang terukur, salah satunya dengan menggunakan medium bebas serum. Hal tersebut dikarenakan serum memiliki berbagai macam senyawa seperti protein, hormon, dan growth factor (Puspitasari et al 2008). Berbagai riset telah dilakukan dengan menerapkan EB sebagai fase atau tahap prediferensiasi dari ESC. Wei et al 2005 mengungkapkan bahwa pembentukan EB diperlukan dalam diferensiasi in vitro. Selama diferensiasi, 6

25 agregat sel tersebut memiliki kemampuan untuk mengekspresikan perkembangan embriogenesis. Kumpulan sel ini memiliki karakter seluler dari tiga lapis germinal yaitu ektodermal, mesodermal, dan endodermal. Pada kondisi tertentu EB dapat berkembang membentuk suatu tipe sel dengan memberikan sinyal yang tepat dan juga dipengaruhi oleh interaksi antar sel (Bhattacharya et al 2005). Dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dari metode untuk mendiferensiasikan ESC, beberapa peneliti telah memperkenalkan metode yang lebih simpel dengan hasil yang cukup baik. Metode tersebut adalah mendiferensiasikan ESC tanpa melalui pembentukan EB. Hal yang mendasarinya adalah EB memiliki sejumlah sel yang heterogen dengan kompleksitas seluler yang tinggi sehingga perlu dilakukan purifikasi. Metode yang digunakan yaitu dengan menumbuhkan ESC yang akan diarahkan perkembangannya secara monolayer (Conti et al 2005). Metode tanpa pembentukan EB telah diterapkan pada diferensiasi mesc menjadi neuron. Motohashi et al 2007 menjelaskan bahwa mesc yang ditumbuhkan dalam sistem kultur monolayer dengan stimulasi sinyal dari retinoic acid mampu meningkatkan populasi sel prekursor neural secara signifikan. Koloni sel yang terbentuk mengekspresikan marker molekuler untuk neuron (beta Tubulin III) dan sel glia (GFAP). Sementara itu, metode monolayer juga diaplikasikan pada kultur neural stem cells yang disertai induksi dari EGF dan bfgf menghasilkan outgrowth sel-sel yang positif mengekspresikan nestin dan GFAP (Walton et al 2006). Dengan demikian terlihat bahwa metode monolayer yang dikombinasikan dengan penambahan senyawa penginduksi dapat diterapkan untuk mendiferensiasikan stem cell menjadi neuron. Conditioned Medium Teknik diferensiasi menggunakan faktor penginduksi saat ini telah banyak diaplikasikan oleh berbagai kelompok riset stem cell. Dengan menilik kembali pada konsep dasar kultur in vitro, kondisi microenvironment ternyata juga turut menjadi salah satu faktor keberhasilan. Dengan memberikan microenvironment yang spesifik, stem cell dapat tumbuh dan berkembang dengan mengekspresikan karakter tertentu (Sonoyama et al 2007). 7

26 Salah satu teknik pengarahan adalah dengan mengaplikasikan suatu senyawa penginduksi misalnya conditioned medium (CM), yang bertindak sebagai penyedia microenvironment bagi kultur. Conditioned medium merupakan medium yang dikoleksi dari suatu kultur primer dan mengandung sejumlah komponen hasil sekresi kultur primer tersebut. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa CM mengandung sejumlah faktor yang dapat menginduksi diferensiasi ESC. ESC yang dikultur dalam medium bebas serum dengan penambahan CM dapat berkembang menjadi sel-sel progenitor neuron, neuron, maupun sel-sel glia (Bentz et al 2006). Eksplorasi mengenai pengaplikasian CM guna pengarahan stem cell menjadi neuron saat ini telah memberikan berbagai hasil. Hasil tersebut nantinya diharapkan dapat berkontribusi untuk menjawab berbagai permasalahan transplantasi stem cell. Dengan meninjau kembali bahwa CM terdiri atas komponen yang bermanfaat besar bagi pengembangan metode kultur, maka saat ini telah dicoba untuk menguraikan komponen CM itu sendiri. Berbagai metode telah dilakukan guna mendapatkan profil protein penyusun CM (Timmers et al 2007). Dengan demikian dapat diperoleh protein-protein yang menjadi kandidat dalam diferensiasi stem cell menjadi neuron. CM yang digunakan dapat berasal dari kultur neural stem cell (Zhang et al 2006), dorsal root ganglia dan sel astrosit serta glia (Moghadasali et al 2007). Neural Stem Cell Pada otak mamalia terdapat tiga area yang mengalami neurogenesis yaitu subventricular zone (SVZ), olfactory bulb (OB), dan lapisan sel granular hippocampus (gambar 1). Pengujian terhadap tingkat proliferasi dengan menggunakan penanda bromodeoxyuridine (BrdU) pada sejumlah mamalia membuktikan bahwa neurogenesis tetap berlangsung hingga individu mengalami penuaan (senescence) (Doetsch et al 1997). 8

27 Gambar 1. Area neurogenesis pada otak mencit yaitu subventricular zone, olfactory bulb, dan lapisan sel granular hippokampus (Doetsch et al 1997) Beberapa subtipe sel teridentifikasi berada di area SVZ dan memiliki peranan tertentu. Subtipe astrocyte-like cells atau stem cells tipe B memberikan ekspresi positif terhadap penanda GFAP. Sel glia radial mampu berdiferensiasi menjadi neural precursor cells. Neural stem cells (NSC) membelah secara asimetris menghasilkan astrocyte-like cells dan sel prekursor (Tipe C). Selanjutnya sejumlah sel tipe B dan tipe C membentuk semacam saluran sehingga neuroblast bermigrasi menuju sub ventricular zone. Neuroblast yang bermigrasi merupakan hasil diferensiasi sel tipe C dan dinamakan sel tipe A. Neuroblast membelah hingga terintegrasi sebagai sel granular di area OB. Sementara itu, selneuron yang matur mengisi area korteks. Selanjutnya stem cells di lapisan sub granular menghasilkan sejumlah sel prekursor (Gambar 2). Kemudian neuroblast bermigrasi menuju lapisan sel granular dan memiliki dendrit di lapisan molekuler (Cleary et al 2006). Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan NSC melibatkan serangkaian tahapan mulai dari pembelahan, diferensiasi, migrasi, dan maturasi. 9

28 Gambar 2. Skema perkembangan neural stem cell dapat diidentifikasi dengan menggunakan sejumlah penanda yang spesifik (Cleary et al 2006) Pada umumnya diferensiasi stem cell menjadi neuron mengkonfirmasi adanya penanda neural progenitor cell (NPC) yaitu nestin. Nestin mengkode protein filamen intermedit tipe VI. Filamen intermedit diketahui terlibat dalam pengaturan morfologi bipolar dan kinetika sel prekursor (Kang et al 2007). Secara struktural, nestin memiliki domain N terminal terpendek dan domain C terminal terpanjang diantara protein filamen intermedit lainnya. Nestin merupakan molekul besar dengan terminal memiliki lebih dari 500 residu. Pada manusia, nestin mengkode protein dengan 1618 asam amino. Nestin sebagai protein filamen intermedit terlibat dalam pembelahan sel selama tahap perkembangan awal dari CNS, peripheral nervous system (PNS), dan sel myogenic. Selama diferensiasi, nestin mengalami down regulasi dan ekspresinya tergantikan oleh protein filamen intermedit tissue spesific. Ketika berlangsung neurogenesis dan gliogenesis, nestin digantikan oleh filamen intermedit spesifik sel yaitu neurofilamen dan GFAP. Selain itu, ekspresi nestin juga muncul pada saat terjadi kondisi patologis misalnya terjadinya perlukaan sel glia akibat CNS injury dan saat regenerasi jaringan otot yang mengalami cidera. Namun demikian, 10

29 pembahasan detil mengenai fungsi dan regulasi nestin masih kurang. Informasi lain menyatakan bahwa regulasi nestin bergantung pada siklus sel (cell cycledependent). Ekspresinya meningkat ketika sel berada pada fase G1-S yaitu NPC mengalami pemanjangan dari dendrit. Selanjutnya ekspresi akan menurun pada fase G2-M yaitu saat NPC bermitosis. Fosforilasi upstream faktor transkripsi POU kelas III (Pou3f2) menurunkan aktivitas ikatan terhadap elemen enhancer nestin sehingga transkripsi nestin menurun pada fase G2-M. Perlu diketahui bahwa nestin merupakan gen target dari faktor transkripsi SOX-POU dimana protein SOX berkontribusi dalam mempertahankan keadaan tetap NPC (Sunabori et al 2008). 11

30 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai sejak September 2007 dan dilanjutkan hingga Mei Penelitian diselenggarakan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor; serta Laboratorium Stem Cell, Stem Cell and Cancer Institute, Jakarta. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 kali pengulangan. Sebagai perlakuan adalah 2 konsentrasi conditioned medium yaitu CM yang belum dikonsentratkan (1x-CM) dan CM yang telah dikonsentratkan hingga 10 kali (10x-CM). Volume yang digunakan yaitu 5% (untuk 10x-CM) dan 50% (untuk 1x-CM). Metode Penelitian Kultur primer sel syaraf Kultur primer sel syaraf dilakukan sesuai petunjuk dari Bentz et al (2006) dan Zhang et al (2006) dengan sedikit modifikasi. Bagian hemisfer serebri mencit usia 2 hari diisolasi dalam larutan Dulbecco s phosphate buffered saline (DPBS) (Gibco, USA) yang mengandung CaCl 2 2H 2 O 0.89 mm (Merck), MgSO 4 7H 2 O 0.49 mm (Merck), Penicillin 50 U/ml, Streptomycin 50 mg/ml (Sigma, USA), dan fetal bovine serum (FBS) (Gibco, USA) 1%. Kemudian dengan menggunakan pipet Pasteur didapatkan suspensi sel. Suspensi sel dibiarkan mengendap selama 1 menit, kemudian supernatan ditampung ke dalam tabung dan disentrifus dengan kecepatan 200 g selama 1 menit. Setelah pelet didapat, kemudian sel dikultur. Medium kultur yang digunakan adalah Dulbecco s Modified Eagle s Medium (DMEM) high glucose (Sigma, USA) yang telah ditambahkan nonessential amino acids (NEAA) 1 % (Sigma, USA), Penicillin 50 U/ml, Streptomycin 50 mg/ml, β- mercaptoethanol 0.1 mm (Sigma, USA), dan FBS 10%. Sel dikultur dengan kepadatan 32 x 10 3 sel tiap 2 cm 2, dalam culture flask 12.5 cm 2 (BD, USA) dan diinkubasi pada 37 0 C; 5% CO 2. Medium kultur diganti setiap 2 hari. Berdasarkan 12

31 penelitian pendahuluan, setelah hari ke-4 akan terlihat adanya pertumbuhan neuron bipolar dan neural progenitor cell (NPC). Selain itu, juga terlihat adanya pertumbuhan sel-sel fibroblas. Kemudian sel-sel astrosit akan teramati ketika periode kultur diperpanjang. Sel akan mengalami konfluensi setelah 12 hari kultur. Pembuatan Conditioned Medium (CM) Pembuatan CM yang dikonsentratkan dan pengukuran konsentrasinya dilakukan menurut petunjuk Sandra et al (2005). Pada hari ke-8, medium kultur primer syaraf diganti dengan medium kultur tanpa penambahan FBS dan diinkubasi. Setelah 48 jam, medium dikoleksi dari tiap flask untuk kemudian dikonsentratkan dan dilakukan pengukuran konsentrasi protein. Medium yang telah dikoleksi kemudian ditampung dan dikonsentratkan hingga 10 kali dengan menggunakan Centricon plus 20 (10K NMWL, UFC2 LGC02, Milipore, USA), untuk selanjutnya disentrifus pada 4000 g; 4 0 C selama 10 menit. Dengan tipe membran Centricon plus 20 yaitu 10K nominal molecular weight limit (NMWL), maka protein yang tertahan memiliki berat molekul lebih dari 10 kda, yang kemudian akan diukur konsentrasinya. Konsentrasi protein diukur baik terhadap CM yang dikonsentratkan maupun yang tidak. Pengukuran konsentrasi dilakukan dengan menggunakan Quick Start Bradford Protein Assay ( , Bio-Rad, USA). Selanjutnya, pembacaan nilai absorbansi dari larutan standar dan 2 macam sampel CM dilakukan dengan menggunakan Microplate Reader pada λ = 595 nm, sehingga didapatkan konsentrasi proteinnya adalah 490 μg/ml (untuk 1x-CM) dan 2615 μg/ml (untuk 10x-CM). Kedua macam CM yang telah dikoleksi disimpan pada suhu C. Superovulasi mencit dan koleksi blastosis Superovulasi dilakukan menurut petunjuk Nagy et al (2003). Mencit betina galur ddy yang berumur 8-12 minggu disuperovulasi dengan penyuntikan hormon Pregnant Mare s Serum Gonadotrophin (PMSG, Folligon, Intervet, Holland) dengan dosis 7.5 IU/ekor dan jam kemudian disuntik dengan human Chorionic Gonadotrophin (hcg, Chorulon, Intervet, Holland) dengan dosis

32 IU/ekor secara intraperitoneal. Setelah penyuntikan hcg, mencit betina dikawinkan dengan pejantan dengan perbandingan jantan:betina = 1:1. Mencit betina yang telah dikawini pejantan dicirikan oleh adanya sumbat vagina pada 18 jam pasca hcg dan dianggap sebagai hari pertama kebuntingan. Mencit betina dikorbankan pada jam pasca hcg dengan cara cervicalis dislocation. Blastosis diperoleh dengan cara membilas (flushing) kedua kornua uterus dengan menggunakan spuit 1 cc (Terumo, Philippines) yang berisi medium DPBS yang telah ditambahkan FBS 1%. Selanjutnya embrio dicuci di dalam larutan DPBS, kemudian dipindahkan ke dalam medium kultur dan diinkubasi pada 37 0 C; 5% CO 2. Medium kultur yang digunakan adalah DMEM high glucose yang ditambahkan NEAA 1%, Penicillin 50 U/ml, Streptomycin 50 mg/ml, 0.1 mm β- mercaptoethanol, dan FBS 10%. Isolasi Inner Cell Mass (ICM) Isolasi ICM dilakukan menurut petunjuk Nagy et al (2003) dengan beberapa modifikasi. Blastosis yang terkoleksi dihilangkan zona pelusidanya dengan enzim pronase 0.25% (Sigma, USA) selama 5 menit, kemudian blastosis dipindahkan ke dalam medium DPBS + FBS 1% untuk menghentikan pronase. Selanjutnya blastosis tanpa zona dicuci dalam DPBS tanpa serum sebanyak dua kali dan dilanjutkan di cuci dalam DMEM tanpa serum. Isolasi ICM dilakukan dengan metode immunosurgery. Blastosis diinkubasi dalam rabbit anti mouse serum 25% (Sigma, USA) selama 20 menit. Selanjutnya blastosis diinkubasi dalam guinea pig complement 25% (Sigma, USA) selama 20 menit. Untuk mendapatkan metode immunosurgery yang optimal, maka dilakukan optimasi inkubasi serum dan komplemen terlebih dahulu, sehingga sel-sel trofoblas dapat terlisiskan tanpa merusak ICM. Setelah ICM didapat, selanjutnya dipindahkan ke dalam medium DMEM kultur. Kultur mouse Embryonic Stem Cell (mesc) Kultur mesc dilakukan menurut petunjuk dari Zhang et al (2006). ICM yang telah diisolasi dikultur dalam medium ESC yaitu DMEM high glucose yang telah mengandung NEAA 1%, Penicillin 50 U/ml, Streptomycin 50 mg/ml, β- 14

33 mercaptoethanol 0.1 mm, FBS 10%, dan mouse leukemia inhibitory factor 20 ng/ml (LIF) (Sigma). ICM dikultur di dalam petri 3.5 cm (Nunc, Denmark) yang telah dilapisi gelatin 0.1%, sebanyak 50 koloni ICM tiap petri. ICM diinkubasi pada 37 0 C; 5% CO 2 dan medium diganti setiap 2 hari. Perkembangan koloni primer diobservasi untuk mendapatkan informasi mengenai kemampuan proliferasi dari ICM. Diferensiasi mesc menjadi neuron dengan Conditioned Medium Pada hari ke-8 kultur, koloni primer yang telah berproliferasi diganti mediumnya dengan medium perlakuan yaitu 50% untuk 1x-CM dan 5% untuk 10x-CM, yang telah ditambahkan ke dalam medium fresh untuk kultur yaitu DMEM high glucose, NEAA 1%, Penicillin 50 U/ml, Streptomycin 50 mg/ml, dan β-mercaptoethanol 0.1 mm. Medium perlakuan diganti setiap 2 hari dan dikultur selama 7 hari. Setelah 7 hari, kultur sel siap untuk diisolasi RNA totalnya. Isolasi RNA total Prosedur isolasi RNA total dari kultur sel dan hemisfer serebri menggunakan Tripure (Roche Applied Science, Basel, Switzeerland) sesuai petunjuk dari produsen. Untuk kultur sel, sebelumnya dilakukan pembilasan menggunakan PBS dingin sebanyak 2 kali untuk menghilangkan sisa medium kultur. Selanjutnya dapat dilanjutkan tahap homogenisasi. 1. Homogenisasi Sebanyak 100 mg hemisfer serebri mencit usia 2 hari diambil. Jaringan dihancurkan dengan menumbuk dengan mortar dan pestle, dalam 1 ml Tripure. Untuk kultur sel, setelah dibilas dengan PBS dingin, sel dihancurkan menggunakan cell scraper dalam 1 ml Tripure untuk tiap sampel. Setelah jaringan dan sel terhancurkan dengan homogen, homogenate ditransfer ke dalam tube 1.5 ml dan ditutup dengan rapat, dan digoyang dalam greytory shaker selama 5 menit dalam suhu C untuk mendisosiasi kompleks nukleoprotein secara sempurna. 15

34 2. Separasi berdasarkan fase Ke dalam homogenat ditambahkan 200 μl kloroform dan ditutup dengan rapat kemudian dikocok kuat-kuat dengan tangan selama 15 detik, diinkubasi dalam suhu ruang selama 4 menit. Sampel disentrifugasi pada g selama 11 menit pada C. Setelah sentrifugasi, campuran sampel terseparasi menjadi tiga fase. RNA terdapat pada fase aqueus di bagian paling atas. 3. Presipitasi RNA Fase aqueus (cairan bening) pada bagian teratas dipindahkan ke dalam tabung baru. Volume larutan ini sekitar 300 μl. RNA dipresipitasi menggunakan isopropil alkohol dengan perbandingan 1:1, didiamkan dalam suhu ruang selama 10 menit kemudian disentrifugasi dalam suhu C pada g selama 11 menit. RNA akan terpresipitasi membentuk pelet putih di dasar tabung, lalu supernatan dibuang. 4. Pencucian RNA Pelet RNA dicuci dengan etanol 75% sebanyak 1 ml. Setelah divorteks, larutan disentrifugasi dalam suhu C pada 8000 g selama 15 menit. 5. Pelarutan RNA Pada akhir dari prosedur ini, etanol dibuang dan RNA dikeringkan secara perlahan dengan teknik air dry selama 10 menit. RNA dilarutkan dengan elution buffer sebanyak μl dalam pemanas bersuhu C. Setelah diambil sebanyak 5 μl untuk pengukuran dengan spektrofotometer, RNA kemudian disimpan dalam suhu C. Prosedur isolasi ini tidak menggunakan DNAse. Pengukuran RNA total yang didapat dengan spektrofotometer RNA yang didapat dari proses isolasi dijaga integritasnya dengan sesedikit mungkin melakukan freezing dan thawing. Untuk itu sebelum dimasukkan freezer, 5 μl aliquot dari RNA total yang diisolasi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm, dengan pengenceran sebanyak 20 kali, menggunakan faktor konversi RNA yaitu 40 dan diukur rasionya terhadap DNA pada panjang gelombang 280 nm. Hanya RNA berkualitas baik, utuh, dan 16

35 memiliki rasio A260/A280 > 1,8 digunakan untuk konversi ke complementary DNA (cdna). Pengenceran yang dipakai adalah 20 kali sehingga konsentrasi RNA total dapat dihitung dengan rumus berikut: Konsentrasi RNA = konsentrasi A260 nm x faktor konversi x pengenceran x 1 ng/ μl Konversi RNA total menjadi cdna Penelitian ini menggunakan metode two step reversed-transcript polymerase chain reaction (RT-PCR) dimana RNA yang didapat dari isolasi terlebih dulu diubah menjadi cdna dalam proses reversed transcript. RNA dikonversi menjadi cdna menggunakan enzim transkriptor kit avian myeloblastosis virus (AMV) sesuai petunjuk produsen (Promega, Wisconsin, IL). Sebanyak ng/μl RNA total ditambah dengan 2 μl primer random hexamer dengan konsentrasi 600 unit/μl dan 9 μl air. Campuran diinkubasi selama 10 menit dalam suhu 65 0 C. Enzim ini merupakan produk gen dari RNA genom virus AMV. Bentuk yang aktif secara enzimatis merupakan subunit α, ββ, dan αβ. Bentuk αβ merupakan subunit paling aktif memiliki aktivitas RNA-directed DNA polymerase. Kemudian ditambahkan ke dalam setiap tube sebanyak 7 μl campuran yang terdiri dari buffer AMV 5x, RNAse inhibitor 20 unit, dntp 20 mm, dan enzim AMV reverse transcriptor sebanyak 10 unit, menghasilkan volume akhir sebanyak 20 μl. Campuran ini diinkubasi selama 1 jam dalam suhu 42 0 C. Reaksi Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi PCR dijalankan menggunakan PCR Go-taq Flexi sesuai petunjuk produsen (Promega, Madisson, WI). Ke dalam tabung mikro dimasukkan 5 μl buffer TaqPol 1x, 1.5 mm MgCl 2, 0.5 μl dntp mix, 0.5 μm primer forward dan reverse baik untuk beta aktin ataupun nestin, Go-taq Pol 1 unit, dan air hingga volume mencapai 23 μl. Ditambahkan 2 μl cdna. 17

36 Sekuens primer untuk nestin diperoleh dari publikasi Zhang et al tahun 2006 yang telah dikonfirmasi dengan Blast dari National Institute of Health (NIH). Sekuens nestin adalah 5 -GGAGTGTCGCTTAGAGGTGC-3 (forward), 5 -TCCAGAAAGCCAAGAGAAGC-3 (reverse) (327 bp). Sedangkan sekuens beta aktin adalah 5 -GAGAAGATCTGGCACCACACCT-3 (forward), dan 5 -CAGGATTCCATACCCAAGAACC-3 (reverse) (580 bp). Reaksi PCR yang dilakukan adalah 94 0 C selama 5 menit dilanjutkan 94 0 C selama 30 detik, 60 0 C selama 30 detik, 72 0 C selama 30 detik, dan 72 0 C selama 4 menit. Keseluruhan reaksi PCR dijalankan sebanyak 30 siklus. Visualisasi hasil dengan gel elektroforesis dan gel documentation system G-box (Syngene, UK) Produk PCR diseparasi dalam 2% gel agarose dengan elektroforesis. Elektroforesis dijalankan pada voltase 50 volt selama 30 menit dilanjutkan 100 volt selama 30 menit. Hasilnya segera difoto dengan G-box gel documentation system. Setting yang digunakan adalah G-box cheluminescence menggunakan laminator ultraviolet untuk sampel yang mengandung etidium bromida, dengan resolusi 400 dpi. Analisis hasil digital G-box Data yang diperoleh dari pembacaan genetools (Syngene, UK) untuk nestin dirasiokan terhadap data yang terbaca dari beta aktin menghasilkan data pengukuran semikuantitatif. Hanya produk PCR dengan pita tunggal dan sesuai untuk estimasi berat molekul produk sekitar 300 bp yang dianalisis. Densitometer kemudian mengukur intensitas cahaya masing-masing pita yang terbaca dari gel untuk setiap gen beta aktin dan nestin. Metode pengukuran semikuantitatif ekspresi nestin dirasiokan terhadap housekeeping gene beta aktin. Dengan demikian hasil pembacaannya merupakan unit rasio ekspresi gen nestin terhadap gen yang terekspresi secara universal dalam setiap jenis sel yaitu beta aktin. 18

37 Analisis Data Data yang diperolah dari hasil pembacaan dengan G-box untuk masingmasing pita ekspresi nestin dirasiokan terhadap data yang terbaca dari beta aktin, sehingga menghasilkan data pengukuran semikuantitatif. Data hasil perkembangan mesc dijelaskan secara deskriptif. 19

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Stem Cell

TINJAUAN PUSTAKA Stem Cell TINJAUAN PUSTAKA Stem Cell Stem cell atau stem cell, diprediksi memegang kunci untuk pengobatan beberapa penyakit yang pada saat ini tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan konvensional. Berkat kemajuan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 17 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, dan Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST i PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST (CM-REF) DENGAN DAN TANPA LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR (LIF) DALAM MEDIUM TERHADAP TINGKAT PROLIFERASI DAN SIFAT PLURIPOTENSI MESENCHYMAL STEM CELL

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN 18 MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

CONDITIONED MEDIUM DARI KULTUR PRIMER SEL SYARAF Mus musculus

CONDITIONED MEDIUM DARI KULTUR PRIMER SEL SYARAF Mus musculus 17-168 CONDITIONED MEDIUM DARI KULTUR PRIMER SEL SYARAF Mus musculus Riris L. Puspitasari 1, Arief Boediono 2, Ferry Sandra 3 1 Program Studi Biologi Universitas Al Azhar Indonesia 2 Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari September 2006 sampai dengan Mei 2007, di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur Primer Cardiomyocyte Cardiomyocyte yang digunakan dalam kultur primer dikoleksi dari jantung mencit neonatal umur 1-3 hari. Pemakaian sumber jantung mencit neonatal dikarenakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2010 sampai dengan Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penelitian mengenai Stem cell masih memasuki tahap proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi terobosan baru dalam upaya pengobatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. 4.2 Alur Penelitian Kultur Sel dari Penyimpanan Nitrogen Cair Inkubasi selama 48 jam dalam inkubator dengan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, stem sel telah menjadi topik utama pembicaraan banyak ilmuwan, ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang menyusunnya

Lebih terperinci

STEM CELL SEL PUNCA FIKES UMM

STEM CELL SEL PUNCA FIKES UMM STEM CELL SEL PUNCA FIKES UMM History 1908 kata stem cell diperkenalkan oleh Alexander Maksimov 1981 isolasi stem cell pada embrio 1998 aplikasi sel punca untuk kloning 2007 nobel tentang sel punca dan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Disosiasi Sel Testikular Ikan Gurame Berdasarkan kriteria ukuran sel spermatogonia ikan gurame (5-15 µm) menurut Mauluddin (2009), jumlah dan persentase sel spermatogonia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan modern dewasa ini menyebabkan tingkat stress yang tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya berbagai macam penyakit yang memerlukan penanganan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental murni laboratoris in vitro. B. Sampel Penelitian Subjek penelitian ini adalah Human Dermal Fibroblast,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, Viabilitas, dan Abnormalitas Kultur Primer Sel Paru-Paru Fetus Hamster Yang Dipapar Etanol

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Penelitian membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan

Lebih terperinci

BASIC STEM CELL. Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot,

BASIC STEM CELL. Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot, BASIC STEM CELL Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot, Introducing stem cells A life story Stem cell merupakan sel yang belum berdeferensiasi dan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian peran vitamin E (alpha tokoferol) terhadap proliferasi kultur primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Katolik

Pendidikan Agama Katolik Pendidikan Agama Katolik Modul ke: 06Fakultas Psikologi MENSYUKURI ANUGERAH KEHIDUPAN Program Studi Psikologi Drs. Sugeng Baskoro, M.M KILAS BERITA : Di sebuah rumah sakit di London utara, para ilmuwan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and 23 BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and Cancer Biology of the University of Indonesia (IHVCB-UI), Jl. Salemba

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2006 sampai dengan bulan April 2007. Penelitian dilakukan di rumah kaca, laboratorium Biologi Molekuler Seluler Tanaman, dan

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT STEM SEL JENIS STEM CELL Berdasarkan Potensi atau Kemampuan Berdiferensiasi Berdasarkan Sumbernya adult stem cell

SIFAT-SIFAT STEM SEL JENIS STEM CELL Berdasarkan Potensi atau Kemampuan Berdiferensiasi Berdasarkan Sumbernya adult stem cell SIFAT-SIFAT STEM SEL Stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang mempunyai 2 sifat: 1. Kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel lain (differentiate). Dalam hal ini stem cell mampu berkembang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. misalnya sel otot, sel darah, sel otak atau sel jantung. Stem cell berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. misalnya sel otot, sel darah, sel otak atau sel jantung. Stem cell berfungsi sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stem cell merupakan sel yang belum terdiferensiasi dan mempunyai potensi yang tinggi untuk berkembang menjadi jenis sel berbeda di dalam tubuh misalnya sel otot, sel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur yaitu tingkat proliferasi, PDT dan panjang akson-dendrit dianalisis menggunakan metoda statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam

Lebih terperinci

Metode Isolasi Jumlah ICM Total sel ICM Profil sel ICM

Metode Isolasi Jumlah ICM Total sel ICM Profil sel ICM ISSN : 1411-8327 Produksi Embryonic Stem Cells dari Inner Cell Mass Blastosis yang Diisolasi dengan Metode Enzimatik dan Immunosurgery (PRODUCTION OF EMBBRYONIC STEM CELLS FROM INNER CELL MASS OF BLASTOCYST

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA LAMPIRAN 15 15 Lampiran 1 Tahapan penelitian Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri Isolasi DNA kromosom bakteri Pemotongan DNA dengan enzim restriksi Kloning DNA Isolasi DNA plasmid hasil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii SURAT PERNYATAAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... x DAFTAR SINGKATAN... xi INTISARI... xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode deskriptif (Nazir, 1983). B. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar. 27 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Penelitian Biomedik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian. Penelitian ini dapat menerangkan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 19 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2010 di Laboratorium Mikrobiologi, Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2013 sampai dengan April 2014. Sampel diambil dari itik dan ayam dari tempat penampungan unggas, pasar unggas dan peternakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen pada kulit, penurunan daya

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes.

ABSTRAK. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes. ABSTRAK DETEKSI Fc RI PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI Cynthia Winarto, 2009. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes. Penelitian terhadap

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE LAMPIRAN Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Medium kultur DMEM merupakan medium Dulbecco s Modified Eagle s Medium (DMEM; Sigma) yang telah dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial (AANE;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, meliputi empat fase, yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan luka

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian Eksperimental, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor, mulai bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012. Bahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998).

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). B. Populasi dan Sampel 1. Populasi yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian, sehingga dapat menerangkan arti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MARKA MOLEKULER DNA DALAM IDENTIFIKASI SEL GONAD IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN PCR

PENGEMBANGAN MARKA MOLEKULER DNA DALAM IDENTIFIKASI SEL GONAD IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN PCR PENGEMBANGAN MARKA MOLEKULER DNA DALAM IDENTIFIKASI SEL GONAD IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN PCR MARLINA ACHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kartilago artikuler merupakan satu jaringan yang unik dengan fungsi sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang

Lebih terperinci

BAB 2 SEL PUNCA. Biologi sel punca merupakan bidang baru yang maju dan sangat pesat

BAB 2 SEL PUNCA. Biologi sel punca merupakan bidang baru yang maju dan sangat pesat BAB 2 SEL PUNCA Biologi sel punca merupakan bidang baru yang maju dan sangat pesat dengan penemuan-penemuan baru yang dilaporkan dari seluruh dunia. Selama bertahun-tahun para peneliti telah mencari cara

Lebih terperinci

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry

Uji Sitotoksik Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry 8 serta doxorubicin 1 µm. Penentuan nilai konsentrasi pada flow cytometry berdasarkan daya penghambatan yang dimungkinkan pada uji sel hidup dan rataan tengah dari range konsentrasi perlakuan. Uji Sitotoksik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji Kualitatif dan Kuantitatif Hasil Isolasi RNA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji Kualitatif dan Kuantitatif Hasil Isolasi RNA 6 konsentrasinya. Untuk isolasi kulit buah kakao (outer pod wall dan inner pod wall) metode sama seperti isolasi RNA dari biji kakao. Uji Kualitatif dan Kuantitatif Hasil Isolasi RNA Larutan RNA hasil

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN IV (ISOLASI RNA DARI TANAMAN) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI RNA DARI TANAMAN TUJUAN Tujuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode penelitian deskriptif. B. Objek Penelitian Empat spesies burung anggota Famili

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA

POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ABSTRAK APLIKASI SEL-SEL INDUK (STEM CELLS) DALAM TERAPI

ABSTRAK APLIKASI SEL-SEL INDUK (STEM CELLS) DALAM TERAPI ABSTRAK APLIKASI SEL-SEL INDUK (STEM CELLS) DALAM TERAPI Bramantyo Pamugar Tutor I : Sylvia Soeng, dr., MKes Tutor II: Teresa Liliana W., S.Si Penggunaan sel induk dalam terapi berbasis sel adalah salah

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode III.1 Bahan III. 2 Alat

Bab III Bahan dan Metode III.1 Bahan III. 2 Alat Bab III Bahan dan Metode III.1 Bahan Pada penelitian ini, sampel yang digunakan dalam penelitian, adalah cacing tanah spesies L. rubellus yang berasal dari peternakan cacing tanah lokal di Sekeloa, Bandung.

Lebih terperinci

Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa

Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa Tugas Akhir SB 091351 Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa Ika Puspita Ningrum 1507100059 DOSEN PEMBIMBING: Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si N. D. Kuswytasari,

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FARMASI UGM

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FARMASI UGM Halaman 1 dari 7 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201400 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 hingga Agustus 2007. Penangkapan polen dilakukan di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan dan analisa

Lebih terperinci

SINTESIS cdna DAN DETEKSI FRAGMEN GEN EF1-a1 PADA BUNGA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

SINTESIS cdna DAN DETEKSI FRAGMEN GEN EF1-a1 PADA BUNGA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SINTESIS cdna DAN DETEKSI FRAGMEN GEN EF1-a1 PADA BUNGA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Sains (S.Si) pada Jurusan Biologi

Lebih terperinci

PRAKTIKUM ISOLASI DNA DAN TEKNIK PCR

PRAKTIKUM ISOLASI DNA DAN TEKNIK PCR PRAKTIKUM ISOLASI DNA DAN TEKNIK PCR Tujuan: i) Mengerti metode umum mengisolasi DNA ii) Mengisolasi DNA dari buah dan sel-sel epithelial mulut iii) Mengerti dan mempraktek teknik PCR dengan sempel DNA

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam (Nigella

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam (Nigella BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) terhadap kadar transaminase hepar pada tikus (Rattus norvegicus)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar Superoksida Dismutase (SOD) dan Malondialdehide (MDA)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12-

BAB III METODE PENELITIAN. asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12- BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian tentang Pengaruh Ekstrak Pegagan (Centella asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12- dimetilbenz(α)antrasen

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2007 hingga Juli 2009, bertempat di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik Departemen

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

METODE. A. Peremajaan Salmonella sp. B. Verifikasi Salmonella sp.

METODE. A. Peremajaan Salmonella sp. B. Verifikasi Salmonella sp. METODE Alur Penelitian Alur penelitian dan metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 tahapan, yaitu: peremajaan bakteri Salmonella sp., verifikasi bakteri Salmonella sp., isolasi fage,

Lebih terperinci

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml 36 Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer A. Pembuatan Larutan Stok Tris HCL 1 M ph 8.0 (100 ml) : Timbang Tris sebanyak 12,114 g. Masukkan Tris ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 80 ml aquades.

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

POTENSI LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM UNTUK PENGARAHAN EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI CARDIOMYOCYTE

POTENSI LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM UNTUK PENGARAHAN EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI CARDIOMYOCYTE POTENSI LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM UNTUK PENGARAHAN EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI CARDIOMYOCYTE DWI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sel-sel pulpa hasil subkultur dari kultur primer sel pulpa gigi sehat. Gambaran mikroskopis kultur sel primer dan subkultur sel-sel

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Test Seleksi Calon Peserta International Biology Olympiad (IBO) 2014 2 8 September

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel

BAB III METODE PENELITIAN. pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian yang berjudul pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel hepar

Lebih terperinci

Pengujian DNA, Prinsip Umum

Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian berbasis DNA dalam pengujian mutu benih memang saat ini belum diregulasikan sebagai salah satu standar kelulusan benih dalam proses sertifikasi. Dalam ISTA Rules,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci