MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN"

Transkripsi

1 1

2 2 MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN Penyakit zoonosis telah menjadi ancaman global karena penyebarannya dan kemungkinan yang disepakati para pakar bahwa dimasa yang akan datang, penyakit menular yang muncul dan sebagian besar bersumber hewan dapat merupakan penyakit baru ( emerging infectious diseases) atau penyakit menular lama yang muncul kembali ( re-emerging infectious diseases). Selain itu, Penyakit zoonosis memiliki dampak yang luas tidak hanya pada sektor kesehatan, juga pada sektor perekonomian, pariwisata, dan konservasi satwa liar. Meskipun dampak yang ditimbulkan oleh penyakit zoonosis bersifat lintas sektor, namun selama ini pengendalian zoonosis masih bersifat sektoral. Dalam rangka keterpaduan strategi lintas sektor tersebut, Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2011 mengamanatkan bahwa perlu dilakukan pengendalian penyakit zoonosis melalui delapan strategi dan dilaksanakan dibawah koordinasi Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis. Oleh karena itu, perlu dirumuskan Rencana Strategis Nasional Pengendalian Zoonosis Terpadu Tahun sebagai landasan pelaksanaan pengendalian zoonosis secara terpadu yang didukung pelaksanaannya oleh seluruh sektor terkait. Dengan tersusunnya Renstranas Pengendalian Zoonosis Terpadu , diharapkan terjadi harmonisasi dan keterpaduan kegiatan di seluruh sektor terkait dalam rangka percepatan pengendalian zoonosis dan antisipasi terhadap ancaman global penyakit zoonosis. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada seluruh tim penyusun Renstranas Pengendalian Zoonosis baik dari kalangan Pemerintah (Kementerian/Lembaga terkait), Perguruan Tinggi, Organisasi Sosial, dan Organisasi Profesi, sehingga Renstranas ini dapat tersusun. Semoga penerbitan Rencana Strategis Nasional Pengendalian Zoonosis Terpadu Tahun ini, bermanfaat dalam mendukung pembangunan, khususnya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang diakibatkan oleh zoonosis. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Ttd. Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA

3 3 KATA PENGANTAR Indonesia masih menghadapi permasalahan penyakit hewan yang secara alami dapat menular ke manusia atau sebaliknya yang disebut zoonosis pada kondisi tertentu zoonosis berpotensi menjadi wabah atau pandemi yang perlu dikendalikan. Ancaman zoonosis di Indonesia dan dunia cenderung terus meningkat dan berimplikasi pada aspek kesehatan, sosial, ekonomi, keamanan, dan kesejahteraan rakyat. Pengendalian zoonosis yang selama ini dilakukan masih pada masing-masing sektor. Dalam rangka percepatan pengendalian zoonosis diperlukan langkah-langkah komprehensif dan terpadu dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, organisasi profesi, lembaga non pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga internasional serta seluruh lapisan masyarakat serta pihak- pihak terkait lainnya. Selain itu, dalam rangka mengantisipasi dan menanggulangi situasi kedaruratan akibat wabah zoonosis, perlu diambil langkah-langkah operasional dari berbagai sektor yang cepat dalam satu sistem komando pengendalian nasional yang terintegrasi. Dalam rangka mencapai keterpaduan dalam pengendalian zoonosis, perlu disusun Rencana Strategis Nasional Pengendalian Zoonosis Terpadu yang melibatkan seluruh sektor yang terkait dalam pengendalian zoonosis. Rencana Strategis Pengendalian Zoonosis Terpadu ini dirumuskan secara bersama oleh seluruh sektor terkait sehingga telah mencakup seluruh kegiatan prioritas pengendalian zoonosis di sektor terkait. Rencana Strategis Pengendalian Zoonosis Terpadu ini diharapkan mampu menjadi acuan seluruh sektor terkait dalam melaksanakan pengendalian zoonosis. Mengingat penyakit zoonosis berkembang secara dinamis, maka rencana strategis nasional ini bersifat dokumen dinamis yang akan terus disesuaikan (di update ) dengan perkembangan situasi yang ada. Jakarta, Mei 2012 Tim Penyusun

4 4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL.. DAFTARGAMBAR DAFTAR ISTILAH.. DAFTAR GRAFIK. SAMBUTAN Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. ii iii v vi vii ix x xi I II PENDAHULUAN Latar Belakang Dampak Zoonosis Dasar Hukum. 1.4 Masalah dan Hambatan Prinsip Dasar Tujuan Bersama. 1.7 Sasaran Pengendalian Zoonosis KONDISI UMUM ZOONOSIS DI INDONESIA Kondisi umum pengendalian zoonosis di Indonesia Rabies Flu Burung Anthrax Leptospirosis PES Brucellosis Perkembangan Zoonosis di Masa Depan III ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGENDALIAN ZOONOSIS 24 IV STRATEGI NASIONAL PENGENDALIAN ZOONOSIS TERPADU Rencana Strategis Pengendalian Zoonosis Terpadu Keterkaitan antar Strategi dalam Pengendalian Zoonosis Upaya Terpadu dalam Pengendalian Zoonosis Pengukuran Pencapaian (Monitoring dan evaluasi) Pengendalian Zoonosis V PENGORGANISASIAN 35 VI PENUTUP 37 TIM PENYUSUN.. 38 DAFTAR PUSTAKA. 39 MATRIK STRATEGIS RENSTRANAS PENGENDALIAN ZOONOSIS

5 5 DAFTAR TABEL Tabel 1. Peran Sektor terkait Pengendalian Zoonosis...30 Tabel 2. Indikator keberhasilan pengendalian zoonosis...32

6 6 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Keterkaitan antara manusia, hewan domestik dan satwa liar dengan berbagai faktor yang memicu terjadinya emerging disease Gambar 2. Sebaran geografis penyakit rabies di Indonesia. 11 Gambar 3. Perkembangan Kasus Brucellosis 1 Januari s.d. 31 Desember Gambar 4. Keterkaitan antar strategi 29 Gambar 5. Alur Pelaporan 31 Gambar 6. Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi 34 1 DAFTAR GRAFIK Grafik 1. Perkembangan Kasus Rabies secara Nasional antara tahun 2007 sampai dengan Desember Grafik 2. Jumlah kasus Aktif HPAI dari Januari 2009-Februari Grafik 3. Jumlah desa tertular HPAI di Indonesia dari tahun Grafik 4. Perkembangan kasus Flu Burung pada manusia secara Nasional antara tahun 2005 sampai dengan Maret 2012 Grafik 5. Grafik 5. Perkembangan kasus Flu Burung pada manusia berdasarkan Provinsi antara tahun 2005 sampai dengan Maret Grafik 6. Perkembangan kasus Anthrax antara tahun 2006 sampai dengan Grafik 7. Perkembangan kasus leptospirosis antara tahun 2004 sampai dengan Juni

7 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Saat ini masyarakat dunia menghadapi peningkatan ancaman dari penyakit-penyakit menular (infeksius) yang bersumber dari hewan sebagai akibat kerusakan lingkungan,pemanasan global, dan urbanisasi yang progresif. Pemicu paling umum terhadap munculnya penyakit baru adalah pertumbuhan cepat dalam populasi manusia dan hewan, urbanisasi yang cepat, sistem peternakan yang berubah (intensifikasi peternakan), integrasi yang semakin mendekat antara hewan domestik dan satwa liar, perusakan hutan, perubahan-perubahan dalam ekosistem, dan globalisasi perdagangan hewan dan produk-produk hewan. Gambar 1. Keterkaitan antara manusia, hewan domestik dan satwa liar dengan berbagai faktor yang memicu terjadinya emerging diseases (Daszak, 2000)

8 2 Berbagai penyakit menular pada manusia dalam 20 tahun terakhir ini disebabkan oleh agen patogen pada hewan yang menular pada manusia, sehingga dikategorikan sebagai zoonosis. Definisi zoonosis menurut Pan American Health Organization (PAHO) yang menjadi rujukan WHO adalah suatu penyakit atau infeksi yang secara alami ditularkan dari hewan vertebrata (bertulang belakang) ke manusia atau sebaliknya. Penyakit yang bersifat zoonosis diduga akan semakin bertambah di tahun-tahun mendatang. Kejadian zoonosis berdampak luas terhadap kesehatan masyarakat (sakit, kematian, serta kecemasan dan ketakutan), pembangunan peternakan dan pertanian secara umum (kecukupan dan keamanan pangan), ekonomi, pariwisata, dan konservasi satwa liar. Lebih jauh lagi agen patogen zoonosis merupakan ancaman (bioterorisme) yang potensial, antara lain yaitu agen patogen penyebab anthraks, botulismus, plague, tularemia, dan viral hemorrhagic fever (Ebola, Marburg). Karakter agen patogen zoonosis yang digunakan adalah yang mudah menular dari manusia ke manusia, tingkat kesakitan tinggi, potensial berdampak utama pada kesehatan masyarakat, menyebabkan kepanikan masyarakat atau gangguan sosial, memerlukan tindakan khusus untuk kesiagaan masyarakat. Beberapa pertemuan pakar/ilmuwan kesehatan manusia dan hewan tingkat dunia ( The Manhattan Principles on One World One Health, 29 September 2004 di Amerika Serikat; Beijing Principles, Desember 2005 di China; Pertemuan Wina Austria, Juni 2006 dan Bamako Mali, Desember 2006; New Delhi International Ministerial Conference, Desember 2007; International Ministerial Conference di Sharm el Sheikh, Egypt, Oktober 2008) bersepakat bahwa dimasa yang akan datang, penyakit menular yang muncul dan sebagian besar bersumber hewan dapat merupakan penyakit baru ( emerging infectious diseases) atau penyakit menular lama yang muncul kembali (re-emerging infectious diseases). Informasi terkini menyatakan bahwa saat ini di dunia terdapat lebih dari 1415 spesies organisme patogen pada manusia. 868 dari 1415 (61,3%) spesies diklasifikasikan zoonosis, 175 dari 1415 (12,4%) spesies terkait emerging diseases (emerging pathogens), 132 dari 175 (75%) bersifat zoonotic ( emerging zoonoses). Dari yang bersifat zoonosis ditemukan 70% berasal dari satwa liar. Ditingkat regional ASEAN telah tercapai komitmen untuk mewujudkan ASEAN bebas Avian Influenza 2020 dan bebas Rabies 2020, salah satu upaya tersebut adalah dengan membentuk pusat koordinasi pengendalian dan pemberantasan zoonosis tingkat regional yang dikenal dengan Regional Coordination Mechanism (RCM). Indonesia sebagai anggota ASEAN juga sejalan dengan visi ASEAN bebas Avian Influenza dan Rabies tahun 2020 tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pasal 57 ayat 1, 2 dan 3 mengamanatkan untuk pengendalian dan penanggulangan zoonosis diselenggarakan bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri yang menyelenggarakan urusan kesehatan serta secara terkoordinasi dengan menteri terkait. Dari berbagai zoonosis yang ada, sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, maka harus ditetapkan zoonosis prioritas yang merupakan keputusan bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri terkait. Adapun dalam penentuan zoonosis prioritas, maka digunakan kriteria sebagai berikut :

9 3 1. Dampak pada manusia (mortalitas, morbiditas, fatalitas) 2. Dampak sosial 3. Dampak ekonomi 4. Kecenderungan peningkatan kasus (trend) secara nasional 5. Kecenderungan peningkatan kasus (trend) secara global Daftar zoonosis prioritas bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai kondisi/situasi zoonosis di Indonesia dan dunia. Zoonosis yang tadinya bersifat eksotik (tidak ada di Indonesia) saat ini, bisa saja akan menjadi zoonosis prioritas ketika penyakit tersebut masuk dan menyebar ke/di Indonesia. Pada saat ini pengendalian dan pemberantasan zoonosis di Indonesia masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi dalam suatu sistem. Walapun koordinasi antar sektor sudah berjalan, namun koordinasi tersebut belum optimal dan memerlukan sistem terpadu yang dapat mengikat berbagai sektor dalam penanggulangan zoonosis. Dengan adanya Perpres nomor 30 tahun 2011 pengendalian zoonosis, maka diharapkan sistem pengendalian zoonosis dapat dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegratif dengan keterlibatan multi sektor. Penyusunan renstra ini sebagai salah satu bentuk dokumen terpadu nasional yang pada tujuan globalnya adalah untuk mencegah dan mengurangi dampak negatif akibat bencana / wabah zoonosis Dampak Zoonosis Dampak zoonosis dapat terbagi menjadi dua yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung berhubungan dengan kesehatan masyarakat mulai dari dampak penyakit akut hingga kronis serta mulai dari tingkat mortalitas rendah hingga tinggi. Sedangkan dampak tidak langsung berkaitan dengan perekonomian rakyat dan keamanan nasional (national security). Dampak terhadap manusia atau human capital dapat dibagi menjadi dua yaitu investasi sumber daya manusia dan produktivitas penduduk. Seseorang yang terkena infeksi zoonosis akan menurunkan produktivitas kerja selanjutnya menurunkan pendapatan keluarga sedangkan jika terinfeksi zoonosis akut dengan sifat mortalitas penyakit tinggi menimpa kepala keluarga atau tulang punggung perekonomian keluarga maka secara otomatis menimbulkan dampak terhadap perekonomian keluarga sekaligus nilai investasi sumber daya manusia akan hilang atau berkurang. Pengendalian zoonosis strategis seperti Anthrax mengharuskan untuk mengisolasi daerah kasus, tindakan pengendalian tersebut jika terjadi pada daerah dengan sokongan perekonomian utama adalah peternakan rakyat yang terdiri dari jenis ternak ruminansia maka dampaknya rakyat akan kehilangan sumber pendapatan. Selain itu dampak jenis zoonosis strategis mengakibatkan kepanikan pada masyarakat sebagai contoh kepanikan akibat takut makan daging karena terjadinya kasus anthrax disuatu daerah. Kepanikan tersebut akan menurunkan nilai ekonomis sebuah komoditas bahkan akan berdampak pada iklim investasi, pariwisata dan transportasi.

10 4 Dampak kesehatan lainnya sesuai dengan arti kesehatan ( Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, sosial maupun ekonomi yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis ) adalah dampak mental, spiritual dan ekonomis hal ini dapat terjadi akibat komunikasi yang tidak tepat sehingga menimbulkan kepanikan. Sebagai contoh munculnya isu Flu Burung dapat menular melalui konsumsi daging unggas sehingga masyarakat takut untuk mengkonsumsi produk unggas dan komunikasi kepada pemilik anjing ketika dilakukan pemberantasan rabies dengan cara pembunuhan anjing yang berakibat menimbulkan ketakutan, sehingga mereka mengungsikan hewan peliharaannya ke tempat lain yang justru mempercepat percepatan penyerapan virus rabies. Penanggulangan rabies pada hewan penular rabies melalui pengendalian populasi terkendala dengan pertimbangan budaya seperti anjing sebagai sumber protein hewani di beberapa daerah, anjing sebagai mas kawin seperti yang terjadi di Flores dan anjing sebagai hewan suci yang dalam kisah pewayangan pandawa lima anjing jantan mendampingi Yudistira masuk ke swargaloka. Kerugian ekonomi rakyat akibat zoonosis dapat terjadi akibat munculnya penyakit baru dengan morbiditas dan mortalitas tinggi seperti Flu Burung yang menyebabkan kerugian bagi peternak bahkan berpotensi menimbulkan dampak pada ketahanan pangan akibat penurunan ketersediaan bahan pangan. Hal serupa juga dapat terjadi pada bidang pariwisata seperti terjadinya wabah rabies di Bali, dimana muncul peringatan bahaya perjalanan ( travel advisory) dari beberapa negara ke Bali akibat rabies. Akibat rabies sendiri berdampak terhadap melambatnya pembangunan kesejahteraan rakyat akibat APBD yang terserap untuk pengendalian rabies. Dampak zoonosis di bidang keamanan adalah pada kasus digunakannya agen zoonosis sebagai senjata biologis seperti bubuk spora anthrax. Pada kasus bioterrorism yang terjadi melalui penyebaran spora anthrax dalam bentuk tepung diketahui bahwa spora anthrax yang telah direkayasa sehingga bersifat multi resisten terhadap antibiotik. Penggunaan spora anthrax dalam bentuk bubuk memungkinkan terjadinya infeksi anthrax tipe pernafasan yang memiliki angka mortalitas jauh lebih tinggi dibandingkan anthrax tipe kulit. Zoonosis yang tidak ditangani komprehensif dan profesional dapat menimbulkan pandemik global yang mungkin menimbulkan kerugian jiwa hingga jutaan orang. Sebagai contoh pandemik adalah flu spanyol dan flu hongkong, sedangkan saat ini zoonosis yang memiliki potensi menjadi pandemik adalah Flu Burung Dasar Hukum Peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana strategis nasional penanggulangan zoonosis terpadu antara lain adalah sebagai berikut: 1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 ayat (1); 2. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (LN RI Tahun 1984 Nomor 20, TLN Nomor 3273);

11 5 3. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN RI tahun 2004 Nomor 125, TLN Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Perpu Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU (LN RI tahun 2005 Nomor 108, TLN Nomor 4548); 4. Undang Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (LN RI Tahun 2009 Nomor 84, TLN Nomor 5015); 5. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (LN RI Tahun 2009 Nomor 144, TLN Nomor 5063); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan Penyakit Hewan (LN RI Tahun 1977 Nomor 20, TLN Nomor 3101); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (LN RI Tahun 1983 Nomor 28, TLN Nomor 3253); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (LN RI Tahun 1991 Nomor 49, TLN Nomor 3447); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (LN RI Tahun 2007 Nomor 82); 10. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun ; 11. Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis; 12. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan; 13. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1372/MENKES/SK/IX/2005 tentang Penetapan Kondisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Flu Burung (Avian Influenza); 14. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1371/Menkes/SK/IX/2005 tentang Penetapan Flu Burung (Avian Influenza) Sebagai Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah Serta Pedoman Penanggulangannya Masalah dan Hambatan Permasalahan dan hambatan yang dihadapi dalam pengendalian zoonosis, adalah : 1. Belum adanya kesepakatan baku mengenai jenis zoonosis bernilai strategis nasional yang perlu dikendalikan secara lintas sektor; 2. Belum optimalnya sinergi pelaksanaan kebijakan di daerah tertular, fragmentasi pelaksanaan vaksinasi dan eliminasi hewan penular;

12 6 3. Belum difokuskan upaya pengendalian pada penyebab penularan di sektor hulu dan pengurangan faktor risiko penularan antara lain perilaku, lingkungan, sosial budaya dan lain-lain; 4. Keterbatasan sumber daya pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran zoonosis; 5. Tidak adanya chain of command antara pemerintah pusat dan daerah khususnya dalam penanggulangan zoonosis di sumbernya; 6. Sistem kesehatan hewan nasional yang belum berjalan secara optimal karena belum optimalnya otoritas veteriner di pusat dan daerah; 7. Keterbatasan Jumlah dokter hewan sebagai penanggungjawab penanggulangan zoonosis; 8. Kurangnya fasilitas pendukung penanggulangan zoonosis, khususnya fasilitas penanggulangan zoonosis pada sumbernya; 9. Keterbatasan kapasitas kelembagaan; 10. Keterbatasan regulasi; 11. Keterbatasan penelitian dan pengembangan tentang zoonosis; 12. Kurangnya pengawasan lalu lintas hewan dan produknya; 13. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap zoonosis dan kemungkinan risikonya; 14. Belum adanya rencana strategis nasional pencegahan dan penanggulangan zoonosis terpadu; 15. Belum adanya sistem informasi yang terintegrasi Prinsip Dasar Kebijakan rencana strategis nasional berdasarkan 6 (enam) prinsip, yaitu : 1) Mengutamakan keselamatan manusia dari ancaman zoonosis pengendalian zoonosis terpadu dilaksanakan Prinsip pengutamaan keselamatan manusia dari ancaman-ancaman zoonosis yang berpotensi dapat menimbulkan jumlah korban yang lebih besar dalam kurun waktu yang singkat (pandemi). 2) Mencegah penularan kepada manusia dengan melakukan upaya pengendalian zoonosis pada hewan penular Pada saat ini tindakan preventif dan promotif menjadi prioritas dibandingkan kuratif yang cenderung membutuhkan biaya lebih tinggi serta tidak menyelesaikan permasalahan zoonosis pada sumbernya sehingga dalam pengendalian zoonosis upaya pencegahan penularan dengan meningkatkan upaya pengendalian penyakit pada hewan sebagai sumber penularan.

13 7 3) Mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, politik, budaya, dan keamanan Faktor ekonomi perlu dipertimbangkan mengingat dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat zoonosis dapat berakibat pada pembangunan kesejahteraan rakyat. 4) Menekankan upaya terintegrasi seluruh komponen bangsa: pemerintah, dunia usaha, masyarakat, organisasi profesi, lembaga internasional. Implementasi rencana strategis akan diterapkan di tingkat masyarakat, industri, maupun penyedia pelayanan kesehatan manusia yang lebih banyak dilakukan oleh swasta. Pelaksanaan dalam organisasi kepemerintahan maka rencana strategis nasional ini akan menjadi acuan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun rencana strategis daerahnya. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah membuat suatu jejaring koordinasi terstruktur sehingga membentuk kesatuan hubungan pelaksanaan kebijakan dan upaya pengendalian zoonosis. Dalam pelaksanaan renstranas tidak cukup hanya pemerintah namun sangat perlu kesadaran peran aktif swasta dan masyarakat dalam pelaksanaan. Peran organisasi profesi dan lembaga internasional dalam mendukung upaya pengendalian zoonosis harus dilakukan untuk menopang kapasitas sumber daya nasional. 5) Mengacu pada kebijakan nasional dan standar/kesepakatan internasional. Strategi yang dipilih disusun dengan mempertimbangkan standar/kesepaktan internasional yang ditetapkan oleh lembaga internasional seperti World Health Organization (WHO), Office International des Epizooties (OIE) dan Food and Agriculture Organization (FAO), serta kebijakan nasional yang mengacu pada pengendalian zoonosis. 6) Berbasis pemberdayaan masyarakat. Penanggulangan zoonosis harus melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat. Penanggulangan zoonosis berbasis masyarakat diharapkan dapat mengoptimalkan penanggulangan zoonosis di Indonesia melalui program berkelanjutan dari masyarakat dan semua program tersebut tidak hanya tergantung dari program pemerintah saja Tujuan Bersama / Terpadu Berdasarkan perkembangan kasus yang terjadi serta potensi terjadinya dampak negatif akibat zoonosis maka disepakati tujuan pengendalian zoonosis terpadu sebagai berikut : 1. Mencegah meluasnya zoonosis ke daerah yang sebelumnya bebas; Pencegahan meluasnya kasus dilakukan dengan penguatan upaya perlindungan wilayah bebas berdasarkan analisis risiko masuknya penularan penyakit serta melakukan pengawasan transportasi hewan penular zoonosis. 2. Mengurangi daerah endemis zoonosis;

14 8 Saat ini daerah endemis zoonosis telah mendominasi seluruh wilayah Indonesia sehingga perlu dilakukan upaya pembebasan dengan mempertimbangkan karakteristik daerah. 3. Melindungi masyarakat dari penularan zoonosis untuk menurunkan angka kematian pada manusia; Pendekatan perlindungan masyarakat dilakukan melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi untk peningkatan pengetahuan masyarakat tentang zoonosis dan bahaya yang mungkin terjadi serta penguatan pelayanan tatalaksana kasus akibat zoonosis melalui penyediaan sarana-prasarana tatalaksana kasus zoonosis. 4. Penanganan hewan penular zoonosis untuk menurunkan insidensi pada manusia; Penanganan hewan penular dilakukan secara tepat melalui pengendalian dan penanggulangan zoonosis sebagai upaya pemutusan rantai penularan pada hewan untuk mencegah terinfeksinya manusia oleh zoonosis. 5. Menekan dampak yang ditimbulkan akibat zoonosis; Beberapa hewan penular zoonosis memiliki nilai ekonomis sehingga berpotensi terjadi dampak negatif terhadap penjualan hewan dan produk hewan akibat terjadinya peningkatan kasus atau KLB/Wabah zoonosis yang dapat menurunkan pendapatan ekonomi masyarakat. Tanggap darurat secara tepat akan mengurangi dampak negative akibat zoonosis dari segi ekonomi, pembiayaan kesehatan, investasi manusia dan keamanan Sasaran Pengendalian Zoonosis Sasaran yang akan dicapai dalam rangka pengendalian zoonosis, antara lain sebagai berikut: 1. Mempertahankan dan memperluas daerah bebas zoonosis 2. Menurunkan kasus penularan dan kematian akibat zoonosis pada hewan dan manusia di masyarakat. 3. Mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat zoonosis.

15 10 BAB II KONDISI UMUM PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA 2.1. Kondisi umum pengendalian zoonosis di Indonesia Penyakit-zoonosis di Indonesia cenderung menjadi epidemi/mewabah dan selebihnya bersifat endemik yang menyebar secara sporadik dan perlahan, namun pasti menggerogoti kesehatan masyarakat. Harus diakui bahwa pendekatan penanganan zoonosis baik di sektor kesehatan maupun di sektor pertanian, sejauh ini masih lebih bersifat insidental, parsial dan kasuistik, belum kepada pendekatan yang benar-benar preventif, holistik dan terintegrasi. Situasi ini sangat tidak mendukung bagi dicapainya kinerja yang optimal. Dengan kata lain, pendekatan dalam pengendalian zoonosis masih lebih banyak kepada tindakan kuratif daripada pendekatan preventif. Situasi ini sangat tidak menguntungkan karena berakibat kurangnya kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengendalian penyakit. Dalam rangka pengendalian zoonosis, pendekatan di kesehatan manusia cenderung bersifat kuratif sehingga berakibat melemahnya penerapan sistem surveilans dan respon cepat di lapangan. Zoonosis yang disebabkan oleh parasit seperti toksoplasmosis, pes, schistomiasis dan sistiserkosis termasuk dalam kelompok yang kurang mendapatkan perhatian penanganannya di sektor pertanian karena dampak kerugian ekonomi terhadap ternak tidak signifikan. Hal ini berbeda dengan sektor kesehatan yang masih tetap memberikan perhatian pada penyakit-penyakit tersebut karena menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat. Perbedaan pertimbangan mengenai prioritas zoonosis yang bernilai strategis bagi keduanya perlu disepakati untuk ditangani bersama. Pengendalian zoonosis di dalam negeri sudah sangat mendesak dibeberapa daerah karena penyakit tersebut sudah menyatu dengan kondisi sosial budaya serta di pengaruhi oleh tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Zoonosis yang tidak dikendalikan secara perlahan akan menurunkan derajat kesehatan masyarakat khususnya pada kelompok rentan sakit seperti : anak, ibu hamil, orang usia senja dan orang dengan kondisi imunosupresi. Beberapa jenis zoonosis yang bernilai strategis dan mendapatkan prioritas dalam pengendalian secara nasional adalah Rabies, Flu Burung, Anthrax, Leptospirosis, Pes (plaque) dan Brucellosis. Situasi perkembangan dari jenis zoonosis prioritas tersebut adalah sebagai berikut Rabies Rabies pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1884 oleh Esser yaitu ditemukan pada kerbau, selanjutnya pada anjing oleh Penning tahun 1889 dan pada manusia oleh E.V.de Haan (1894) ketiga penemuan tersebut ada di Jawa Barat. Dalam kurun waktu 50 tahun berikutnya pada tahun 1953 rabies teridentifikasi di Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemudian secara bertahap pada tahun-tahun selanjutnya menyebar ke daerah yang lebih luas sebagai berikut : Sumatera Utara (1956), Sumatera Selatan dan Sulawesi

16 11 Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah (197 8), Kalimantan Selatan (1983), Pulau Flores NTT (1997), Pulau Ambon dan Pulau seram (2003). Provinsi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur dinyatakan bebas rabies pada tahun 1997, kemudian pada tahun 2004 Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten juga dinyatakann bebas rabies pada tahun 2004 namun pada awal tahun 2005 provinsi Jawa Barat kembali tertular dengan ditemukan kasus rabies di kabupaten Sukabumi dan pada tahun 2007 provinsi Banten kembali tertular rabies dengan ditemukannya kasus rabies di Kab. Lebak. selama periode tahun 2008 sampai dengan 2010 rabies telah menulari tiga daerah baru yaitu : Bali (2008), Pulau Nias-Sumatera Utara (2010) dan Pulau Larat -Maluku (2010). Sehingga pada akhir tahun 2010 daerah bebas rabies hanya ada 9 provinsi yaitu : Bangka Belitung, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Papua Barat dan Papua. Adapun 24 provinsi lainnya di Indonesia tergolong daerah endemis. Permasalahan rabies yang paling harus dicermati adalah penyebaran rabies ke daerah-daerah yang sebelumnya bebas rabies secara historis seperti ke wilayah Maluku (Halmahera Tengah, Buru Selatan dan Pulau Larat), Pulau Bali, Pulau Nias, serta beberapa Kabupaten di Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Sukabumi), dan di Bant en (Pandeglang dan Lebak). Penyebaran penyakit rabies dapat dilihat pada peta berikut. Gambar 2. Sebaran geografis penyakit rabies di Indonesia tahun 2011 (Sumber : Kementerian Pertanian) Berdasarkan Data Kementerian Kesehatan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terjadi kenaikan jumlah GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies) dan Lyssa (Kasus rabies pada manusia). Pada tahun 2007 hingga 2010 selalu terjadi peningkatan kasus rabies setiap tahunnya. Data terakhir padaa bulan Desember 2011 menunjukkan terjadi penurunan kasus rabies dari tahun sebelumnya. Khususnya dari tahun 2009 hingga 2010 terjadi peningkatan yang cukup signifikan kasus GHPR dari menjadi kasus, demikian pula dengan kasus rabies yang menyebabkan kematian dari 195 kasus meningkat menjadi 206 kasus. Meskipun demikian, jumlah kasus yang ditangani melalui PET ( Post Exposure Treatment) yaitu cuci luka dan pemberian VAR juga mengalami peningkatan dari kasus pada tahun 2009 menjadi kasus pada tahun Hal tersebut seharusnya berpengaruh

17 12 terhadap penurunan jumlah kematian akibat rabies. Masih dari sumber yang sama, selama bulan Januari-Desember 2011 sebanyak 21 Provinsi telah melaporkan 78,578 kasus GHPR dan 150 Lyssa yang tersebar 13 Provinsi. Secara nasional rata-rata kasus kematian yang disebabkan rabies (Lyssa) sebanyak 145 kasus/tahun. Perkembangan kasus rabies dapat dilihat pada grafik 1. Grafik 1. Perkembangan Kasus Rabies secara Nasional antara tahun 2007 sampai dengan Desember 2011 (Sumber : Kementerian Kesehatan RI) GHPR PET Lyssa 50 0 Pada tahun 2010 rabies di Bali telah menjadi perhatian Internasional dengan dikeluarkannya sejumlah peringatan perjalanan bagi wisatawan dari beberapa negara tentang bahaya rabies di Bali, sehingga dikuatirkan akan berdampak terhadap menurunnya jumlah wisatawan mancanegara. Rabies di Bali berawal pada November 2008 yang sebelumnya Bali merupakan daerah bebas historis, dimana kasus rabies sampai dengan November 2010 terdapat Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yang menyebabkan 107 kematian pada manusia (lyssa). Tingginya GHPR dan kematian akibat rabies akibat tingginya populasi Hewan Penular Rabies (HPR), belum optimalnya vaksinasi dan eliminasi HPR. Dari segi ketersediaan sumberdaya maka terdapat kendala dalam pelaksanaan respon cepat penanggulangan KLB/Wabah Rabies di Bali yaitu keterbatasan dana operasional dalam pelaksanaan vaksinasi dan eliminasi HPR. Tantangan dalam pelaksanaan pengendalian rabies di Bali adalah pengaruh dari faktor sosial budaya, pola pemeliharaan anjing yang dilepasliarkan, dan lemahnya pengawasan lalu lintas anjing yang dibawa oleh masyarakat. Program pengendalian rabies dilaksanakan melalui bulan vaksinasi anjing untuk mencapai cakupan vaksinasi dengan harapan timbulnya kekebalan pada populasi hewan. Rabies di Kota Gunung Sitoli Pulau Nias-Sumatera Utara terjadi pada bulan Februari 2010 yang saat ini telah menyebar di ke 5 Kabupaten/Kota Pulau Nias. Situasi sampai dengan November 2010 telah dilakukan 952 terapi post exposur dari kasus gigitan HPR dengan jumlah kematian sebanyak 25 orang. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan rabies di Nias adalah dengan menurunkan tim koordinasi, melakukan surveilans dan investigasi kasus, penyediaan

18 13 VAR (Vaksin Anti Rabies) untuk hewan dan manusia, namun pengendalian rabies di Nias terkendala beberapa faktor, seperti : Tidak tercukupinya SDM terutama tenaga dokter hewan, sehingga capaian vaksinasi HPR sebagai strategi pengendalian hanya 10% dari populasi. Pengetahuan masyarakat tentang rabies sangat rendah. Kurangnya koordinasi pengendalian rabies antar daerah di Pulau Nias. Keterbatasan sarana prasarana dan terbatasnya alokasi dana operasional. Rabies di daerah baru tahun 2010 juga terjadi di Pulau Larat Kecamatan Tanibar Utara Kabupaten yang sebelumnya merupakan daerah bebas historis. Kasus pertama diperkirakan terjadi dalam rentang waktu Januari sampai dengan Juli 2010, menurut data dari Kementerian Pertanian diperkirakan rabies terjadi akibat transportasi anjing yang dibawa dari Ambon pada bulan Desember Sampai tahun 2010 di Pulau Larat terdapat 351 kasus gigitan HPR dengan 19 kasus kematian. Selain itu, kematian akibat rabies pada manusia (l yssa) di Kab. Poso meningkat menjadi 12 kasus (periode Januari Agustus 2011) dibandingkan tahun 2010 hanya 3 kasus lyssa (Desember 2010). Dengan demikian, rabies tetap menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat dan hewan di seluruh Indonesia. Upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan yang sudah dilakukan adalah dengan menurunkan tim bersama untuk mengendalikan kasus rabies, pengalokasian VAR untuk manusia dan hewan, pembentukan tim koordinasi rabies di daerah, eliminasi dan vaksinasi anjing serta pendirian posko KLB rabies di lokasi Flu Burung Flu Burung (Highly Patogenic Avian Influenza) pertama kali dikenal oleh dunia dapat menginfeksi manusia pada tahun Influenza merupakan penyakit yang berpotensi menimbulkan pandemi dengan jumlah kematian cukup tinggi tercatat saat terjadi pandemi akibat flu spanyol terjadi 40 juta kematian manusia di seluruh dunia, tidak hanya itu saat terjadi pandemi flu lainnya pada tahun 1957 mengakibatkan 4 juta orang meninggal dan tahun 1968 mengakibatkan 2 juta orang meninggal diseluruh dunia sehingga penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang berpotensi pandemi. Dalam dua dekade terakhir Flu Burung pertama kali di identifikasi tahun 1997 di Hongkong dengan jumlah sebanyak 18 orang dan menyebabkan 6 orang meninggal. Setelah itu pada tahun 2003 WHO mengkonfirmasi telah terjadi 3 kasus Flu Burung pada manusia yang mengakibatkan kematian di Vietnam. Kasus Flu Burung di Vietnam masih berlanjut di tahun 2004 sebanyak 29 kasus dengan kematian 20 orang. Di Indonesia Flu Burung pada unggas sempat di identifikasi sebagai vilogenik viscerotropik new castle diseases (VVND) karena kemiripan gejala klinis antara Flu Burung dengan VVND yang terjadi di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada bulan Agustus Masih pada tahun 2003 beberapa organisasi terkait perdagangan unggas melakukan pembahasan kemungkinan terjadinya kasus Flu Burung di Indonesia. Pada tanggal 24 Januari 2004 Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga mengumumkan

19 14 hasil identifikasi DNA terhadap sampel unggas dari daerah wabah yang menyimpulkan penyebab wabah tersebut adalah virus H5N1. Kementerian Pertanian menindaklanjuti hasil identifikasi laboratorium kasus wabah kematian unggas di beberapa daerah dengan mengumumkan terjadinya Flu Burung pada unggas di Propinsi Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Bali melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 96/Kpts/PD.620/2/2004 tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas (Avian Influenza) di Beberapa Propinsi di Wilayah Indonesia. Pada bulan Juli 2005, Flu Burung pertama kali dikonfirmasi terjadi pada manusia yang menyebabkan tiga korban jiwa warga Tangerang Banten. Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes dan laboratorium rujukan WHO di Hongkong. Grafik 2. Jumlah kasus Aktif Flu Burung/HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) dari Januari 2009-Februari 2012 (sumber: Kementerian Pertanian) Sampai saat ini, hampir seluruh Provinsi di Indonesia tertular Flu Burung/HPAI dan hanya menyisakan Maluku Utara sebagai Provinsi yang masih bebas, namun demikian terdapat trend penurunan kasus dari tahun ke tahun. Kondisi ini cukup baik dan mendukung rencana pembebasan Flu Burung /HPAI secara bertahap pulau per pulau atau per wilayah. Kasus aktif Flu Burung pada unggas berdasarkan data dari Kementerian Pertanian mulai dari bulan Januari sampai dengan 19 Agustus 2010 mengalami penurunan kasus dengan jumlah kasus aktif tertinggi pada bulan Februari, kasus tersebut tersebar di 23 provinsi, 5 provinsi dengan kasus pada unggas tertinggi secara berturut-turut adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Jawa Timur dan Sumatera Barat. Jumlah kasus aktif dari Januari 2009 sampai November 2011 dan jumlah desa tertularr Flu Burung /HPAI dari tahun 2006 sampai 2011 dapat dilihat pada grafik 2 dan 3.

20 15 Grafik 3. Jumlah desa tertular Flu Burung/HPAI di Indonesia dari tahun (sumber: Kementerian Pertanian) desa Sampai saat ini Flu Burung pada manusia masih terus terjadi, pada tahun 2011 tercatat telah menyebabkan 10 korban jiwa dari 12 kasus yang tersebar di 5 provinsi (DKI Jakarta, Jabar, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Secara kumulatif jumlah kasus Flu Burung pada manusia mulai dari tahun 2005 sampai Maret 2012 terdapat 188 positif H5N1 dengan 156 kematian dan tiga provinsi dengan kasus tertinggi secara berturut-turut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten seperti pada grafik 4 dan 5. Upaya yang telah dilakukan oleh dua kementerian teknis (Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian) adalah dengan pengembangan surveilans dan respon cepat terpadu melalui progam PDSR (Participatory Diseases Surveillance and Respons) oleh Kementerian Pertanian dan DSO (District Surveilance Officer) oleh Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan telah melakukan program surveilans ILI ( Influenza Like Illnes) untuk memantau perkembangan kasus Flu Burung dengan pengambilan sampel dari setiap pasien dengan gejala influenza. Kementerian Pertanian telah mencanangkan tahun 2020 Indonesia bebas Flu Burung melalui 9 strategi pengendalian, perwilayah pengendalian Flu Burung dan pembagian peran pengendalian Flu Burung di Daerah.

21 16 Grafik 4. Perkembangan kasus Flu Burung pada manusia secara Nasional antara tahun 2005 sampai dengan Maret 2012 (Sumber : Kementerian Kesehatan RI) ,5% 82,5% 60 77,3% 81,2% 81,6% 82,7% 83,0% 65,0% POSITIF FB meninggal cum.cfr (%) 90,0% 80,0% 70,0% 60,0% 50,0% 40,0% 30,0% 20,0% 10,0% 0,0% Expon. (POSITIF FB) Grafik 5. Perkembangan kasus Flu Burung pada manusia berdasarkan Provinsi antara tahun 2005 sampai dengan Maret 2012 (Sumber : Kementerian Kesehatan RI) positif FB meninggal Anthrax Di Indonesia anthrax ini telah dilaporkan sejak tahun 1884 di Teluk Betung. Kemudian dilaporkan lagi pada tahun , , dan 1930 di berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa. Sampai dengan tahun 2003 kasus penyakit tersebut telah di laporkan di 23 provinsi, sedangkan di beberapa provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, Gorontalo dan Papua tidak pernah dilaporkan adanya kasus anthrax. Penyakit tersebut bersifat endemik di beberapa provinsi di Indonesia yaitu NTB, NTT dan Jabar. Sampai dengan tahun 2010 anthrax telah menjadi endemis di 11 provinsi

22 17 yaitu : DKI, Jabar, Jateng, NTT, NTB, Sulsel, Sultra, Jambi, Sumbar, Papua, dan Papua Barat. Adapun wilayah yang belum pernah ada laporan kasus adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Anthrax merupakan zoonosis yang sulit dikendalikan karena bakteri penyebab penyakit mampu membentuk spora yang mampu bertahan di lingkungan dalam kurun waktu puluhan tahun, spora yang mencemari tanah dan peralatan lainnya dapat langsung menularkan anthrax pada hewan dan manusia. Selain itu dalam pengendalian kasus anthrax perlu dilakukan isolasi daerah tertular sehingga tidak menyebar ke wilayah lainnya karena dapat berdampak kepada sektor perekonomian khususnya jika terjadi pada daerah penghasil ternak. Angka kematian akibat anthrax berdasarkan jenis penularannya, antara lain melalui kulit, pencernaan dan pernafasan. Anthrax kulit memiliki angka kematian rendah sedangkan kedua jenis lainnya tinggi. Berdasarkan data Kementerian kesehatan, jumlah kasus anthrax pada manusia mengalami cenderung fluktuatif, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir kasus antraks pada manusia paling banyak dilaporkan pada tahun 2007, kemudian mengalami penurunan namun pada tahun 2010 kasus antraks kembali meningkat. Secara singkat dapat dilihat dari grafik 6. Dalam kurun waktu Januari sampai dengan Agustus 2010 telah dilaporkan kasus anthrax di Kabupaten Maros (Sulawesi Selatan) dan Sragen (Jawa Tengah). Kasus anthrax pada manusia di Sragen bermula dari kematian secara mendadak 11 ekor sapi dan 24 ekor kambing yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga terjadi kasus anthraks pada manusia sebanyak 3 kasus di Maros dan 24 kasus serta 1 meninggal di Sragen. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian telah menurunkan tim bersama untuk melakukan upaya pengendalian anthrax di Sragen melalui pendirian posko, melakukan surveilans aktif, pengobatan massal, vaksinasi ternak, sosialisasi pada masyarakat mengenai anthrax dan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Dalam upaya pengendalian anthrax diusulkan untuk memperkuat pemantauan transportasi ternak dan pemotongan ternak di Rumah Potong Hewan mengingat anthrax selain dapat ditularkan dari hewan juga dari media seperti tanah dan peralatan yang tercemar spora Grafik 6. Perkembangan kasus Anthrax tahun 2006 sampai dengan 2011 (Sumber : Kementerian Kesehatan RI) Kasus Mati CFR 9,09 9,30 0,00 6,90 3,03 0,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00

23 Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian. Sumber utama penularan leptospirosis adalah tikus dan binatang lainnya antara lain anjing, babi, sapi, dan kambing. Leptospirosis merupakan penyakit yang paling luas penyebarannya di seluruh dunia, begitu pula di Indonesia tercatat sebanyak 19 Provinsi yang telah melaporkan kasus leptospirosis baik di Rodent maupun manusia. Selain itu, jumlah kasus leptospirosis di Indonesia selama beberapa tahun terakhir cukup fluktuatif peningkatannya. Peningkatan signifikan terjadi pada tahun 2007 tercatat sebanyak 664 kasus dengan jumlah yang meninggal sebanyak 57 orang. Jumlah ini meningkat jauh dari tahun 2006 yang hanya tercatat sebanyak 146 kasus dan yang meninggal sebanyak 14 orang. Jumlah tersebut cenderung mengalami penurunan pada tahun 2008 (426 kasus dan 22 meninggal) dan pada tahun 2009 (335 kasus dan 23 meninggal). Pada tahun 2010, jumlah kasus leptosiprosis meningkat menjadi 409 kasus dan 43 orang meninggal, begitu pula pada tahun 2011 menjadi 766 kasus dan 72 orang meninggal. Untuk lebih singkatnya dapat melihat grafik 7. Grafik 7. Perkembangan kasus leptospirosis antara tahun 2004 sampai dengan 2011 (Sumber : Kementerian Kesehatan RI) ,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 Kasus Meninggal CFR 15,06 13,91 9,59 8,58 5,16 6,87 11,00 9,40 Selain itu, pada periode 2009 sampai dengan 2011 terjadi kejadian KLB Leptospirosis di Provinsi DI Yogyakarata yaitu, di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. KLB di Kabupaten Bantul pada tahun 2010 terjadi dengan tercatatnya sebanyak 110 kasus dengan 12 orang meninggal (CFR : 10,9%), sedangkan pada tahun 2011 tercatat 133 kasus dengan 13 orang meninggal (CFR : 9,8%). KLB di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2010 terjadi dengan tercatatnya sebanyak 53 kasus dengan 7 orang meninggal (CFR : 13,2%), sedangkan pada tahun 2011 tercatat 328 kasus dengan 20 orang meninggal (CFR : 6,1 %).

24 PES (plaque) Penyakit pes adalah infeksi yang disebabkan bakteri Yersinia pestis (Y. pestis) dan ditularkan oleh kutu/pinjal tikus (flea), Xenopsylla cheopis. Selain jenis pinjal tersebut, penyakit ini juga ditularkan oleh pinjal jenis lain. Di Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara pinjal carrier plague adalah Xenophylla astia. Penyakit ini menular lewat gigitan pinjal tikus, gigitan/cakaran binatang yang terinfeksi plague, dan kontak dengan tubuh binatang yang terinfeksi. Pinjal yang terinfeksi dapat membawa bakteri ini sampai berbulan-bulan lamanya. Selain itu pada kasus pneumonic plague, penularan terjadi dari dari percikan air liur penderita yang terbawa oleh udara. Perkembangan kasus pes di Indonesia dari tahun 2002 hingga 2007, sebagian besar selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut dapat terlihat dari jumlah jumlah penemuan kasus PES positif yang meningkat dari tahun 2002 sebesar 1 kasus menjadi 71 kasus pada tahun Hal ini dapat terjadi karena jumlah kasus yang memang meningkat atau karena jumlah suspect yang diperiksa meningkat. Namun demikian, hal itu pun menunjukan bahwa perhatian terhadap penyakit pes telah mengalami peningkatan setiap tahunnya. Grafik 8. Perkembangan kasus PES antara tahun 2002 sampai dengan 2007 (Sumber : Kementerian Kesehatan RI) Positif Diperiksa Brucellosis Penyakit keluron menular atau brucellosis merupakan salah satu zoonosis yang penting di Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia masih menjadi wilayah yang endemis Brucellosis

25 20 seperti Pulau Jawa, beberapa wilayah di Sulawesi, Aceh, beberapa wilayah di bagian timur lainnya. Adapun wilayah yang merupakan daerah bebas adalah Pulau Bali, Bangka Belitung, Kepulauan Riau; dibebaskan Pulau Sumba dan Lombok, Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan), Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Adapun wilayah Provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu akan dibebaskan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian pada tahun Gambar 3. Perkembangan Kasus Brucellosis 1 Januari s.d. 31 Desember 2010 (Data: Kementerian Pertanian) Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, jumlah kasus Brucellosis dari tahun 1 November sampai dengan 30 Oktober 2011 tercatat sebanyak 2557 kasus secara total (sapi dan kerbau). Provinsi dengan kasus tertinggi adalah Sulawesi Selatan dengan jumlah kasus Pada tahun 2007, jumlah kasus tercatat sebanyak 757 kasus untuk 11 Provinsi (DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Maluku Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur, Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi

26 21 Tenggara). Jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 244 yang tersebar pada 7 Provinsi (Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan). Untuk tahun 2009, jumlah kasus, dengan jumlah kasus brucellosis sebanyak 543 untuk 11 Provinsi (Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Lampung, Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur, Riau, dan Sulawesi Selatan). Untuk tahun 2010, jumlah kasus brucellosis sebanyak 558 untuk 10 Provinsi (Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan). Sampai Bulan Oktober 2011, jumlah yang tercatat 106 kasus untuk 5 Provinsi (Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah). Namun demikian, data yang disediakan Kementerian Pertanian tidak dapat mewakili nasional karena diperoleh dari survey di beberapa provinsi. Selain itu, dari data tersebut tidak bisa melihat kecenderungan perkembangan kasus brucellosis karena perbedaan provinsi yang disurvei setiap tahunnya. Oleh karena itu, data ini hanya dapat menggambarkan jumlah kasus brucellosis yang terdata. 2.2 Perkembangan Zoonosis di Masa Depan Mikroba terus berkembang dan berevolusi, dewasa ini sehubungan dengan adanya akselerasi dan ekspansi global yang amat cepat dan lonjakkan populasi manusia dan hewan yang luar biasa tinggi, maka miroba akan memiliki peluang yang lebih besar untuk beradaptasi, berubah dan dibawa ke hospes dan ekosistem baru, dan kadang-kadang dengan akibat yang tidak terduga-duga. Perubahan cuaca yang ekstrim akibat pamanasan global, perubahan ekosistem, sistem produksi ternak, perkembangan ekonomi dan pendayagunaan tanah yang tidak berwawasan lingkungan hidup juga memberikan sumbangan terhadap perubahan keseimbangan antara hospes, vector dan mikroba dengan cara-cara yang belum pernah terjadi di manusia merubah kebiasaan dan gaya hidupnya sehingga kerap kali dapat memperbesar resiko untuk kontak dengan agen zoonosis. Disamping itu pergerakan hewan, disrupsi ekologi, mikroba yang belum berhasil diisolasi dan dikharakterisasi dan adanya penyakit kronis dapat menjadi pemicu munculnya kembali berbagai zoonosis. Contoh zoonosis yang muncul akhir-akhir ini di dunia adalah Flu Burung, ebola, BSE, SARS, ekinokokosis alveolar, hantavirus pulmonary syndrome. Masalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan manusia memiliki banyak aspek, khususnya hewan sebagai sumber penularan atau hospes perantara atau reservoir akan menjadi carrier dapat menghasilkan ekskret dan feses serta produk metabolism lainnya yang mengandung agen penyakit tertentu. Potensi wabah juga diperkuat akibat lemahnya pengawasan transportasi hewan baik transportasi internasional hewan dan produknya juga pengawasan transportasi nasional antar kepulauan. Zoonosis yang tidak dikenal sebelumnya pada suatu daerah memiliki potensi menimbulkan wabah jika tidak ditangani secara tuntas. Metode baru untuk deteksi mikroorganisme secara langsung ataupun tidak langsung akan mempunyai andil yang besar dalam mendeteksi zoonosis baru. Penanganan zoonosis telah diatur oleh peraturan/perundangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah RI. Jika terjadi kasus/letupan zoonosis tertentu, maka sektor terkait dalam hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Lebih terperinci

Institut Pertanian Bogor

Institut Pertanian Bogor Institut Pertanian Bogor Usulan Pengembangan National Zoonoses Center Institut Pertanian Bogor Latar Belakang Peningkatan ancaman penyakitpenyakit infeksius yang bersumber pada hewan merupakan dampak:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang

Lebih terperinci

KEMENHAN. Satuan Kesehatan. Pengendalian. Zoonosis. Pelibatan.

KEMENHAN. Satuan Kesehatan. Pengendalian. Zoonosis. Pelibatan. No.1258, 2014 KEMENHAN. Satuan Kesehatan. Pengendalian. Zoonosis. Pelibatan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PELIBATAN SATUAN KESEHATAN KEMENTERIAN PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Avian Influenza (AI) atau flu burung atau sampar unggas merupakan penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe H5N1 dari family Orthomyxoviridae.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies adalah penyakit viral yang mempengaruhi sistem saraf pusat pada mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita yang dapat bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merebaknya kasus flu burung di dunia khususnya Indonesia beberapa tahun terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM PENGENDALIAN FLU BURUNG DI INDONESIA DIREKTUR PANGAN DAN PERTANIAN BOGOR, 25 FEBRUARI 2009

KEBIJAKAN UMUM PENGENDALIAN FLU BURUNG DI INDONESIA DIREKTUR PANGAN DAN PERTANIAN BOGOR, 25 FEBRUARI 2009 KEBIJAKAN UMUM PENGENDALIAN FLU BURUNG DI INDONESIA DIREKTUR PANGAN DAN PERTANIAN BOGOR, 25 FEBRUARI 29 1 OUTLINE 1. PENDAHULUAN 2. DAMPAK WABAH AI 3. PERMASALAHAN 4. KEBIJAKAN UMUM 4.1. STRATEGI PENGENDALIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit rabies atau anjing gila adalah suatu penyakit yang sangat ditakuti dan dapat menimbulkan kematian. Penyakit ini ditularkan dari hewan yang sudah terkena virus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat negara kita baru mulai bangkit dari krisis, baik krisis ekonomi, hukum dan kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Penyakit

Lebih terperinci

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS Minggu Epidemiologi Ke-52 Tahun 2016 (Data Sampai Dengan 6 Januari 2017) Website: skdr.surveilans.org Dikeluarkan oleh: Subdit Surveilans, Direktorat SKK, Ditjen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Influenza merupakan penyakit saluran pernafasan akut yang di sebabkan infeksi Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C. Penyakit

Lebih terperinci

FLU BURUNG. HA (Hemagglutinin) NA (Neoraminidase) Virus Flu Burung. Virus A1. 9 Sub type NA 15 Sub type HA. 3 Jenis Bakteri 1 Jenis Parasit

FLU BURUNG. HA (Hemagglutinin) NA (Neoraminidase) Virus Flu Burung. Virus A1. 9 Sub type NA 15 Sub type HA. 3 Jenis Bakteri 1 Jenis Parasit Penyakit influensa pada unggas (Avian Influenza/A1) yang saat ini kita kenal dengan sebutan flu burung adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influensa tipe A dari Family Orthomyxomiridae. Virus ini

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA

KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA Drg. Vensya Sitohang, M. Epid Direktur P2PTVZ, Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan Bincang-bincang tentang PP NO 3 Tahun 2017 Jakarta, 24 Februari 2017 ZOONOSIS

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Prof. Dr. Drh. I Gusti Ngurah Mahardika Universitas Udayana Denpasar-Bali HP:

Prof. Dr. Drh. I Gusti Ngurah Mahardika Universitas Udayana Denpasar-Bali   HP: M Prof. Dr. Drh. I Gusti Ngurah Mahardika Universitas Udayana Denpasar-Bali Email: gnmahardika@indosat.net.id HP: 08123805727 Gambaran Umum penyakit zoonosis yang berpotensi menjadi Emerging Infectious

Lebih terperinci

ISSN situasi. diindonesia

ISSN situasi. diindonesia ISSN 2442-7659 situasi diindonesia PENDAHULUAN Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Flu burung merupakan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas bagi masyarakat karena

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017 Gambar 1. Kelengkapan dan Ketepatan laporan SKDR Minggu ke 05 tahun 2017 (Pertanggal 9 Februari 2017) Minggu ke-5 2017, terdapat 13 provinsi yang memiliki ketepatan dan kelengkapan laporan SKDR >= 80%.

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2 No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PIDATO PENGANTAR MENTERI PERTANIAN PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IV DPR-RI TANGGAL 1 FEBRUARI 2007

PIDATO PENGANTAR MENTERI PERTANIAN PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IV DPR-RI TANGGAL 1 FEBRUARI 2007 PIDATO PENGANTAR MENTERI PERTANIAN PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IV DPR-RI TANGGAL 1 FEBRUARI 2007 Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh Saudara Ketua dan Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI, yang terhormat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Polio merupakan (keluarga Picornaviridae), sering disingkat sebagai "Polio" adalah virus yang paling ditakuti abad ke-20 di dunia yang menghasilkan permulaan program

Lebih terperinci

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA N I KETUT DIARMITA DIREKTUR KESEHATAN HEWAN BOGOR,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang ditularkan kepada manusia dan menyerang susunan saraf pusat. Penyakit ini mendapat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Workshop Pengendalian dan Penanggulangan Bahaya Penyakit Rabies Banda Aceh,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PASIEN PENYAKIT INFEKSI EMERGING TERTENTU

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PASIEN PENYAKIT INFEKSI EMERGING TERTENTU PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PASIEN PENYAKIT INFEKSI EMERGING TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis. Di daerah endemis, puncak kejadian leptospirosis

Lebih terperinci

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001 31 KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENCEGAH DAN MENANGGULANGI PENYAKIT HEWAN YANG TERKAIT DENGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN SOFYAN SUDARDJAT Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG KOMITE NASIONAL PENGENDALIAN FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA) DAN KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI PANDEMI INFLUENZA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada empat misi pembangunan.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit zoonotik.

Lebih terperinci

Implementasi One Health Menjembatani Sektor Kesehatan Masyarakat dengan Sektor Kesehatan Hewan

Implementasi One Health Menjembatani Sektor Kesehatan Masyarakat dengan Sektor Kesehatan Hewan Implementasi One Health Menjembatani Sektor Kesehatan Masyarakat dengan Sektor Kesehatan Hewan Dr. Ir. Muladno, MSA Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Disampaikan dalam: Seminar Nasional

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia

LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN 2014 PENDAHULUAN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap

Lebih terperinci

PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PENGENDALIAN FLU BURUNG DI JAWA BARAT. oleh : Ir. Koesmajadi TP Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat

PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PENGENDALIAN FLU BURUNG DI JAWA BARAT. oleh : Ir. Koesmajadi TP Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PENGENDALIAN FLU BURUNG Latar Belakang DI JAWA BARAT oleh : Ir. Koesmajadi TP Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Highly Pathogenic Avian influenza(hpai) adalah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah suatu penyakit yang menular yang disebabkan oleh virus tipe A dan B dan ditularkan oleh unggas.

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT Menimbang WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 49 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri patogen Leptospira, yang ditularkan secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia,

Lebih terperinci

Pengembangan Jejaring Perguruan Tinggi, Pemerintah, Pemangku Kepentingan dalam Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis di Hewan dan Manusia

Pengembangan Jejaring Perguruan Tinggi, Pemerintah, Pemangku Kepentingan dalam Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis di Hewan dan Manusia Pengembangan Jejaring Perguruan Tinggi, Pemerintah, Pemangku Kepentingan dalam Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis di Hewan dan Manusia Direktorat Jenderal PP-PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya

Lebih terperinci

1. 3 TUJUAN 1. Untuk mengetahui pengertian dari OH dan Zoonosis 2. Untuk mengerti peran veteriner dalam OH 3. Untuk mengetahui pemeran lain OH

1. 3 TUJUAN 1. Untuk mengetahui pengertian dari OH dan Zoonosis 2. Untuk mengerti peran veteriner dalam OH 3. Untuk mengetahui pemeran lain OH BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Zoonosis adalah jenis penyakit yang penularannya berasal dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Contoh zoonosis yang penularannya berasal dari hewan ke manusia adalah

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di dunia dan Indonesia yang ditularkan oleh hewan ke manusia. Penyakit zoonosis adalah penyakit

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Jakarta, 26 Januari 2017 Penyediaan pasokan air melalui irigasi dan waduk, pembangunan embung atau kantong air. Target 2017, sebesar 30 ribu embung Fokus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Virus avian influenza tipe H5N1 yang dikenal dengan Flu Burung adalah suatu virus yang umumnya menyerang bangsa unggas yang dapat menyebabkan kematian pada manusia.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN FLU BURUNG DI DESA KIPING KECAMATAN SAMBUNGMACAN KABUPATEN SRAGEN

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN FLU BURUNG DI DESA KIPING KECAMATAN SAMBUNGMACAN KABUPATEN SRAGEN HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN FLU BURUNG DI DESA KIPING KECAMATAN SAMBUNGMACAN KABUPATEN SRAGEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini membahas mengenai implementasi pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini membahas mengenai implementasi pelayanan kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini membahas mengenai implementasi pelayanan kesehatan hewan yang berlokasi di Kabupaten Sleman dengan fokus penelitian pada tahun 2012. Alasan utama yang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi

Lebih terperinci

MENYIKAPI MASALAH FLU BURUNG DI INDONESIA

MENYIKAPI MASALAH FLU BURUNG DI INDONESIA Konferensi Pers Tempat : Café Bebek Bali Senayan, 26 September 2005 MENYIKAPI MASALAH FLU BURUNG DI INDONESIA I. ASPEK KEDOKTERAN HEWAN Menyikapi masalah flu burung (avian influenza) yang akhir-akhir ini

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba

2018, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2018 KEMHAN. Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN Kementerian Pertanian Seminar Nasional Agribisnis, Universitas Galuh Ciamis, 1 April 2017 Pendahuluan Isi Paparan Kinerja dan permasalahan Posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Flu burung yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah avian flu atau avian influenza (AI) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas kesadaran itu, Departemen Pertanian (2011) mengarahkan pengembangan subsektor peternakan sebagai bagian

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DALAM OTONOMI DAERAH

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DALAM OTONOMI DAERAH KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DALAM OTONOMI DAERAH Disampaikan oleh : DIREKTORAT JENDERAL PEMERINTAHAN UMUM KEMENTERIAN DALAM NEGERI 1 I. LATAR BELAKANG WILAYAH INDONESIA MEMILIKI KONDISI

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG DAN KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI PANDEMI INFLUENZA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG DAN KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI PANDEMI INFLUENZA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG KOMITE NASIONAL PENGENDALIAN FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA) DAN KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI PANDEMI INFLUENZA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENYAKIT ZOONOSIS BERDASARKAN PRIORITAS DEPARTEMEN PERTANIAN

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENYAKIT ZOONOSIS BERDASARKAN PRIORITAS DEPARTEMEN PERTANIAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENYAKIT ZOONOSIS BERDASARKAN PRIORITAS DEPARTEMEN PERTANIAN TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan ABSTRAK Zoonosis didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU Menimbang : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan utama di berbagai negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World Malaria Report 2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang World Malaria Report (2011) menyebutkan bahwa malaria terjadi di 106 negara bahkan 3,3 milyar penduduk dunia tinggal di daerah berisiko tertular malaria. Jumlah kasus

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Data World Health Organization (2012) menunjukkan bahwa dua miliar orang di seluruh dunia telah terinfeksi virus Hepatitis B dan sekitar 600.000 orang meninggal

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penanggulangan Krisis, Dr. Rustam S. Pakaya, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penanggulangan Krisis, Dr. Rustam S. Pakaya, MPH NIP KATA PENGANTAR Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, buku Buku Profil Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana Tahun 2008 ini dapat diselesaikan sebagaimana yang telah direncanakan. Buku ini menggambarkan

Lebih terperinci

MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO

MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO DepKes RI 2007 Tujuan Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Umum : Dapat menjelaskan dasar dasar Flu Burung, pandemi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta

BAB I PENDAHULUAN. yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit campak merupakan penyebab kematian pada anak-anak di seluruh dunia yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta orang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya. No.503, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1501/MENKES/PER/X/2010 TENTANG JENIS PENYAKIT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan menurut Sistem Kesehatan Nasional adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat,

Lebih terperinci

Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan. Disampaikan dalam Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013

Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan. Disampaikan dalam Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013 Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan dalam Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013 SISTEMATIKA 1. Arah Kebijakan Prioritas Nasional 2. Isu-isu Penting dalam Prioritas Nasional (PN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mengalami dua musim setiap tahun, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering terjadinya banjir di beberapa daerah.

Lebih terperinci

LAUNCHING RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI (RAN-PG) TAHUN

LAUNCHING RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI (RAN-PG) TAHUN SAMBUTAN Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, MA LAUNCHING RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI (RAN-PG) TAHUN 2011-2015 Jakarta, 28 Februari 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan Pasal 5, 8, 65, 66,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan Pasal 5, 8, 65, 66, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan Pasal 5, 8, 65, 66, 71 dan 72 menggambarkan bahwa upaya kesehatan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT DI PROVINSI

Lebih terperinci

Perkembangan Flu Burung pada Manusia dan Langkah-Langkah Pengendaliannya

Perkembangan Flu Burung pada Manusia dan Langkah-Langkah Pengendaliannya Perkembangan Flu Burung pada Manusia dan Langkah-Langkah Pengendaliannya Disampaikan pada Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tentang Pengendalian Flu Burung Jakarta, 27 Desember 2012 1 Flu Burung (H5N1)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran 55. jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika dan Asia, sedangkan jumlah orang yang mendapatkan perawatan

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB II. PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Rencana Strategis atau yang disebut dengan RENSTRA merupakan suatu proses perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu tertentu

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 311/MENKES/SK/V/2009 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 311/MENKES/SK/V/2009 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 311/MENKES/SK/V/2009 TENTANG PENETAPAN PENYAKIT FLU BARU H1N1 (MEXICAN STRAIN) SEBAGAI PENYAKIT YANG DAPAT MENIMBULKAN WABAH MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 1. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahun, dengan puncak peringatan pada tanggal 1 Desember. 2. Panitia peringatan Hari AIDS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN ZOONOSIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sampai saat ini, Indonesia masih menghadapi permasalahan penyakit hewan

Lebih terperinci