Tabel 1. Beberapa perbedaan signifikan dari Bubu Besi dan Bubu Bambu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tabel 1. Beberapa perbedaan signifikan dari Bubu Besi dan Bubu Bambu"

Transkripsi

1 36 Tabel 1. Beberapa perbedaan signifikan dari Bubu Besi dan Bubu Bambu Alat Tangkap Bubu Besi Bubu Bambu Bentuk Ukuran Operasi Hasil Bentuk Ukuran Operasi Hasil - Silinder - Anakan bubu 2 mulut - Katrol - Tali dihubungkan dengan talinya - Pelampung - Pemberat - Panjang Lebar 70 - Tinggi 60 - Perahu bermesin (jukung) - Pemberat - Pada daerah berpasir/ berlumpur - Peletakam diikat secara sambung mnyambung (seri) dan biasa lebih dari 1 bubu - Menggunakan umpan - Pengambilan 1 hari - Ikan merah (Lutjanus altifrontalis) - Kerapu karang (Cephalopholis bunack) - Kerapu Lumpur (Epinephulusn tanvina) - Baji-baji (Serinsa nigrofasciatus) - Gorara (Lutjanus vitta) - Janggut merah (Lutjanus malabaricus) - Bambangan (Lutjanus sanguineus) - Trapesium - Anakan bubu 1 mulut - Tali/tanpa tali - Pelampung - Panjang Lebar Tinggi Perahu dayung - Dengan cara diselam - Diletakkan satu demi Satu - Pemberat/tanpa pemberat - Penempatan pada daerah karang - Tanpa umpan - Pengambilan 2 hari - Ikan kakap (Lutjanus spp) - Ekor kuning (Caesio spp) - Ikan gorara (Lutjanus vitta) - Ekor kuning (Caesio eryhrogaster) - Kambing-kambing (Pomacanthus semicirculatus) - Ketang-ketang (Drepane punctata) - Parang-parang (Chirocentrus dorab) - Tembangan (Lutjanus johni) - Swangi (Biacanthus tayenus - Napoleon Sebagai kelanjutan dari perbandingan antara bubu besi dan bubu bambu dalam melakukan target tangkapan pada kedalaman tertentu maka dapat diperoleh jumlah hasil tangkapan yang berbeda. Jumlah hasil tangkapan kedua bubu ini mengalami beberapa perbedaan, baik dari trip, lama perendaman, maupun beberapa faktor-faktor penunjang. Secara analisis regresi sederhana dapatlah diperlihatkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan dengan lama perendaman yang lebih efisien dan efektif.

2 37 Jum lah hasil tangkapan (ekor) y = x R 2 = Trip Gambar 13. Hubungan Trip terhadap jumlah hasil tangkapan bubu besi Dari hasil analisis regresi dan korelasi antara jumlah hasil tangkapan bubu besi (ekor) yang tertangkap dari 25 kali trip adanya hubungan yang erat antara kedua peubah pada Lampiran 1. Hasil ini ditunjukan oleh nilai korelasi 0,73 atau mendekati 1 (Tabel nilai korelasi). Arah hubungan yang positif menunjukkan bahwa semakin lama trip dengan bubu besi yang dilengkapi dengan umpan lama didalam laut, maka semakin banyak pula hasil tangkapan (ekor), sesuai dengan luasan bubu yang dibuat. Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi menghasilkan 0,000, karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05, maka korelasi antara jumlah hasil tangkapan (ekor) dengan umpan sebanyak 25 kali trip sangat nyata. Dengan demikian model regresi bisa dipakai untuk memprediksi hasil tangkapan. Koefisien determinasi (R²) adalah 0,6908 (Tabel nilai determinasi), berarti 69,08 %, hasil tangkapan dapat disebabkan oleh perubahan dari trip, sedangkan sisanya 30,92 % dijelaskan oleh faktor-faktor lain (Gambar 13). Persamaan regresi akan menjadi, Y = 0,6846x + 6,1 dimana Y = hasil tangkapan jumlah (ekor) X = Trip Konstanta sebesar 6,1 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip dengan umpan, maka bubu akan selalu mendapatkan hasil tangkapan. Tanda plus ini menunjukkan pengaruh sangat nyata dari banyaknya trip terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor). Koefisien regresi

3 38 sebesar 0,6846 menyatakan bahwa semakin banyak trip akan menambahkan jumlah hasil tangkapan (ekor) sebesar 0,6846 ikan. Jum lah hasil tangkapan (eko y = x R 2 = Trip Gambar 14. Hubungan trip terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor) bubu bambu Dari hasil analisis regresi dan korelasi antara hasil tangkapan bubu bambu jumlah ekor yang tertangkap dari 25 kali trip adanya hubungan yang erat antara kedua peubah pada Lampiran 1. Hasil ini ditunjukan oleh nilai korelasi 0,237 atau menjauhi 1 (Tabel nilai korelasi). Arah hubungan yang positif menunjukkan bahwa semakin lama trip dengan bubu bambu tidak dilengkapi umpan maka semakin lama ada hasil tangkapan (ekor). Bubu bambu akan berfungsi sebagai alat perangkap ikan jika direndam selama mungkin di laut. Untuk bubu bambu yang baru dioperasikan biasanya terperangkap ikan selama 1 bulan penuh. Disamping memakan waktu yang lama, perendaman bubu bambu dilakukan selama 3 hari untuk mendapat hasil tangkapan. Bubu bambu ini dirancang beroperasi hanya pada kedalaman tertentu, pada daerah sekitar terumbu karang. Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi menghasilkan 0,000, karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05, maka korelasi antara hasil tangkapan jumlah (ekor) dengan umpan sebanyak 25 kali trip sangat nyata. Dengan demikian model regresi bisa dipakai untuk memprediksi hasil tangkapan.

4 39 Koefisien determinasi (R²) adalah 0,6816 (Tabel nilai determinasi), berarti 68,16 %, hasil tangkapan dapat disebabkan oleh perubahan dari trip, sedangkan sisanya 31,84 % dijelaskan oleh faktor-faktor lain (Gambar 14). Persamaan regresi akan menjadi, Y = 0,1377x + 3,65 dimana Y = hasil tangkapan jumlah (ekor) X = Trip Konstanta sebesar 3,65 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip, maka bubu akan selalu mendapatkan hasil tangkapan, namun lebih kecil dari bubu besi. Koefisien regresi sebesar 0,1377 menyatakan bahwa semakin banyak trip dengan lama perendaman akan menambahkan jumlah (ekor) hasil tangkapan sebesar 0,1377 ikan. 8 7 Bubu bambu berat (kg) Bubu besi berat (kg) Gambar 15. Perbandingan Produktivitas antara berat hasil tangkapan (kg) bubu besi terhadap berat hasil tangkapan (kg) bubu bambu Dari hasil penelitian lapangan perbandingan antara bubu bambu dan bubu besi dilihat dari jumlah (ekor) dan berat (kg) pada Gambar 15, masing-masing ikan yang ditimbang. Ternyata bubu besi mempunyai pengaruh sangat nyata, baik dari hasil tangkapan jumlah (ekor) ikan yang tertangkap yang berdampak

5 40 pada berat (kg). Ini menunjukkan, bahwa bubu besi yang telah diadopsi teknologi mengalami beberapa kelebihan dibandingkan dengan bubu bambu milik masyarakat setempat. Bubu besi secara spesifik lokasi dapat diterima secara baik, karena memiliki beberapa ketentuan yang sesuai dengan daerah operasi bubu besi. Secara umum bubu besi dapat mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan variabel-variabel yang mempengaruhi bubu besi selama perendaman dilaut, sampai pada penurunan dan pengangkatan serta hasil tangkapan yang ada. 4.5 Beberapa Variabel Penting Yang Mempengaruhi Operasi Bubu Dasar Dalam pengoperasian bubu besi ini akan ada terjadi perubahanperubahan yang merupakan variabel penentu sebagai alat tangkap yang berpengaruh langsung berada didasar laut. Beberapa variabel yang berpengaruh adalah : (1) Lama Operasi (Trip) (2) Kedalaman (3) Kecepatan Arus Permukaan (4) Fase Bulan Hasil analisis regresi yang diperoleh pada pengoperasian bubu besi menunjukkan bahwa dari jumlah (ekor), berat (kg) dan rata-rata (unit) terdapat pada lampiran 1. Variabel berpengaruh sangat nyata pada 25 kali trip dengan nilai 9,1, dan arus permukaan dengan nilai 8,2. Untuk kedalaman dan umur bulan berpengaruh nyata (Gambar 20). Pada pengoperasian bubu bambu variabel yang berpengaruh sangat nyata pada 25 kali trip dari jumlah (ekor) dan rata-rata (unit) bernilai dengan nilai 11,4, dan 12,1 bagi berat (kg) (Gambar 21). Untuk kedalaman, arus permukaan dan umur bulan berpengaruh nyata.

6 41 Tabel 2. Faktor-faktor Determinasi Hasil Tangkapan Bubu Besi dan Bubu Bambu. Bubu Besi Bubu Bambu Variabel Independen Koefisien P-Value Koefisien P-Value regresi (signifikansi) regresi (signifikansi) Intercept Lama Operasi (X1) * * Kedalaman (X2) Arus Permukaan (X3) * Fase Bulan (X4) * Koefisien determinasi ( R²) = 78.1 % 36.4 % P Value = Berdasarkan hasil analisis regresi dari variabel-variabel (X1, X2, X3, X4) yang berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan bubu besi diperoleh persamaan sebagai berikut : Yi = X X X X4 Dari persamaan di atas terlihat bahwa variabel yang mempunyai nilai signifikansi diatas 0,05 atau faktor yang berpengaruh pada jumlah hasil penangkapan (ekor) bubu besi yaitu (X1), (X2), (X3) dan (X4), sehingga dapat dijelaskan bahwa keempat variabel tersebut, secara bersama-sama dan X2 (kedalaman) tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor). Namun yang sangat signifikansi terjadi pada lama operasi (trip), arus permukaan dan fase bulan. Koefisien variabel X2 (kedalaman), X3 (arus permukaan), X4 (fase bulan), pada persamaan diatas memiliki nilai negatif menunjukkan bahwa semakin dalam pemasangan bubu dan semakin cepat perputaran arus, serta fase (umur) bulan yang berubah, maka semakin sedikit nelayan yang melaut, disebabkan oleh gerakan gelombang pada waktu pasang dan surut. Nilai koefisien untuk X1 (lama operasi/trip) yang memiliki nilai positif menunjukkan bahwa semakin sering mengadakan operasi penangkapan, maka akan sering tertangkap. Nilai Fhit didapat dari uji regresi atau Ftest 17,83 dengan tingkat signifikansi 0,000 (Tabel Uji Anova). Karena probabilitas 0,000 jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi hasil

7 42 tangkapan, Ftabel untuk tingkat signifikansi (á) 5 % adalah 4,49. Karena F hitung > Ftabel, maka Ho ditolak, dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa banyak trip berpengaruh terhadap hasil tangkapan bubu besi. Berdasarkan analisis regresi diperoleh hasil untuk bubu bambu sebagai berikut: Yi = X X X X4 Dari persamaan di atas terlihat bahwa variabel yang mempunyai nilai signifikansi diatas 0,05 atau faktor yang berpengaruh pada jumlah hasil penangkapan (ekor) bubu bambu yaitu (X1), (X2), (X3) dan (X4), sehingga dapat dijelaskan bahwa keempat variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor). Tingkatan signifikansi yang terlihat terjadi pada lama operasi yang berkaitan dengan jumlah hasil tangkapan (ekor). Nilai t hitung koefisien variabel X2 (kedalaman) pada persamaan diatas memiliki nilai negatif menunjukkan bahwa semakin dalam bubu bambu diletakan akan berakibat pada hilangnya dan berbahaya bagi kehidupan nelayan dengan cara menyelam bubu tersebut. Nilai koefisien untuk X1 (lama operasi/trip), X3 (arus permukaan), X4 (fase/umur bulan) yang memiliki nilai positif menunjukkan bahwa semakin lama pengoperasian dan arus permukaan serta fase bulan, maka ketiga variabel tersebut berbanding lurus dengan jumlah hasil tangkapan (ekor) bubu bambu. Nilai Fhit didapat dari uji regresi atau Ftest 2,87 % dengan tingkat signifikansi 0,050 (Tabel Uji Anova). Karena probabilitas 0,050 jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi pengaruh nyata dari variabel-variabel yang ada, Ftabel untuk tingkat signifikansi (á) 5 % adalah 4,49. Karena Fhitung > Ftabel, maka Ho ditolak, dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa jumlah variabel berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor) bubu bambu Lama Operasi (Trip) Pengoperasian bubu dilakukan secara berderetan, dihubungkan pada tiaptiap bubu, yang diberikan pemberat utama dan pelampung tanda yang berbendera. Bubu dioperasikan selama jam untuk melihat sampai

8 43 sejauh mana, ketahanan bubu di dasar laut dan masuknya ikan kedalam bubu tersebut. Lama pengoperasian (Trip) dilakukan dari 1 hari sampai hari yang ke- 25. Bubu boleh diselubungi dengan kawat galvanis atau pun jaring (net) dan tidak rentan terhadap pengaruh arus. Setiap kali pengoperasian selalu ada kendala-kendala yaitu antara lain, penentuan daerah penangkapan ikan yang tepat (fishing ground), gelombang dan upacara-upacara keagamaan yang tidak dapat ditingggalkan oleh masyarakat nelayan di Bali Kedalaman Operasi bubu dasar atau laut dalam biasanya antara 15 m sampai tak terhingga dalamnya, tergantung dari besar kecilnya bubu yang dibuat. Karena bubu ini berada dilaut dalam, maka sangat bertentangan dengan bubu tradisional yang diletakan pada kedalaman tertentu, diatas terumbu karang. Pada kedalaman yang tak terhingga dibutuhkan sejumlah tali yang cukup panjang yang digunakan sebagai pelampung tanda, sekaligus menarik bubu dari dasar laut. Jenis hewan laut dapat ditangkap terdiri atas, ikan kakap, kerapu, lobster, kepiting, udang dan belut laut, yang peka terhadap sinar (phototaxis negatif) (Nontji, 2000). Kedalaman bubu dapat dijadikan sebagai alat yang baik didalam mengetahui fishing ground atau hewan-hewan apa sajakah yang tidak dapat dijangkau oleh teknologi seperti echo sounder atau satelit. Bubu laut dalam juga dapat membantu kita dalam mengatasi penggunaan alat tangkap trawl yang berkelebihan dengan anggapan dapat merusak. Bubu bambu dan bubu besi dioperasikan pada kedalaman yaitu pada bubu bambu 5 15 m, sedangkan bubu besi meter. Disamping itu kedalaman laut diperairan Indonesia pada garis besarnya dibagi dua yakni perairan dangkal berupa paparan, dan perairan laut dalam. Paparan (shelf) adalah zone dilaut terhitung mulai dari garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar m, yang kemudian biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke laut dalam. Kedalaman pulau Bali dan sekitarnya termasuk Paparan Sunda pada umumnya mempunyai dasar yang rata dan melandai dari arah barat ke timur terdiri dari lumpur dan lumpur pasir.

9 44 Daerah berpasir terdapat sekitar tonjolan padas (rock) dan terumbu karang (fringing reef), batas kedalaman basin atau palung 1000 m dengan kedalaman maksimum 1.590, dengan luasan km² (Nontji, 2000). Pada kedalaman bubu dioperasikan banyak terdapat kontur (lembah kecil) sebagai tempat banyak terdapat makanan, yang menjadi sasaran ikan target tangkapan itu berada Arus Permukaan Arus merupakan variabel penting yang sangat berpengaruh pada kedudukan bubu didasar laut. Arus yang kita kenal dibagi atas dua bagian yaitu; 1) Arus Macro dan 2) Arus Micro. Arus macro adalah arus global yang terjadi setiap musim dalam satu tahun, sedangkan arus micro adalah arus lokal yang terjadi oleh adanya pergantian musim. Dengan menggunakan GPS, maka arus permukaan dapat diketahui, pada daerah fishing ground di pulau Nusa Penida dengan posisi ,0 LS dan ,5 BT pada tiga daerah penangkapan ikan yaitu Batu Nunggul, Suana, dan Kutampi (sampai ke Toyopake) setiap 24 jam terjadi perubahan kecepatan arus antara k/t. Arus bisa mencapai 20 k/t diakibatkan oleh adanya tekanan air pada permukaan yang menyebabkan zona divergensi pada permukaan air, maka air dibagian dasar laut lebih dingin, naik menggantikan air permukaan sejalan dengan suhu permukaan naik pada waktu siang hari, hal ini terjadi pada laut terbuka sepanjang zone divergensi dan sepanjang pantai (Brown et al, 1989). Selanjutnya sering dikenal dengan nama upwelling dimana terjadi penaikan massa air laut yang kaya akan nutrien menuju permukaan laut dan biasanya hal ini berlangsung bersamaan dengan kumpulan arus yang berubah menjadi gelombang. Terkadang nelayan akan takut untuk melaut jika musim yang berlangsung di Nusa Penida adalah musim angin barat dengan kecepatan angin dari siang hingga malam yang sangat kuat dan cepat. Ikan dasar tidak terlalu terpengaruh oleh karena belum tentu arus yang dipermukaan akan sama atau lebih cepat dengan arus permukaan. Hal ini dapat ditelusuri dengan alat tangkap bubu dengan berat 22,5 kg tiap-tiap bubu yang diletakan didasar laut yang digunakan pada daerah fishing ground

10 45 disekitar Nusa Penida tidak terbawa oleh arus dasar. Biasanya bubu diletakan sejajar dengan arah arus bergerak, karena ikan-ikan dasar juga cendrung bergerak searah arus dan melawan arus Fase Bulan Di Bali sering dikenal dengan juga dengan pembagian 1 bulan pada setiap 15 hari akan berlangsung bulan purnama dan setiap 15 hari lagi akan berlangsung bulan mati/gelap (tilem). Bulan purnama dan bulan mati akan terjadi dua hari sebelum/sesudah pasang tertinggi dan surut terjauh. Biasanya menjelang purnama atau tilem terjadi pasang tertinggi dari 1.25 m 1.50 m, sesudah purnama atau tilem dapat mencapai 40 m. Hal ini merupakan kejadian alam perputaran antara bumi dan bulan. Setiap 12 jam terjadi dua kali perubahan arus pasang dan surut, dimana untuk 1 minggu ada 7 jam surut dan 5 jam pasang naik. Jika terjadi bulan purnama atau pun tilem tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan-ikan dasar (demersal), tetapi dapat mempengaruhi gerakan arus pasang surut, dimana ikan demersal pun berpindah sesuai dengan gerak pasang surut air laut. Bubu adalah merupakan alat tangkap yang dapat secara tidak langsung membantu untuk mencari daerah penangkapan ikan dengan jenis-jenis tertentu dimana ikan itu bersarang. 4.6 Analisis Anggaran Parsial (AAP) Analisis anggaran parsial (partial budget analysis) dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi akibat yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam metode produksi suatu usaha. Dalam analisis anggaran parsial hanya diperhatikan faktor-faktor yang ada kaitannyan dengan perubahan. Perubahanperubahan itu antara lain analisis parsial mengenai kemungkinan penggunaan bubu dari besi sebagai bandingan dengan bubu bambu serta apa pengaruhnya terhadapm hasil tangkapan bagi nelayan. Dengan membandingkan kedua bubu tersebut, dimana bubu yang tanpa memakai umpan dengan bubu hasil introduksi teknologi yang memakai umpan, tindakan ini terhadap ukuran keragaan usaha dapat dinilai.

11 46 Pendekatan dengan anggaran parsial mempunyai beberapa manfaat yaitu; - Tidak memerlukan banyak data bila dibandingkan dengan anggaran usahatani keseluruhan (whole-farm budgeting). - Tidak memerlukan informasi mengenai segi-segi usaha yang tidak dipengaruhi oleh perubahan yang sedang diamati karena keragaan bagianbagian ini tidak akan berubah. - Pada umumnya lebih sederhana dari pada analisis usaha keseluruhan. - Sifatnya dapat ditempatkan pada keadaan usahatani yang lebih luas dari pada anggaran usaha keseluruhan. Bentuk anggaran parsial yang sangat umum ialah anggaran keuntungan parsial (partial profit budget) yang menunjukan pengaruh suatu perubahan terhadap beberapa ukuran keuntungan seperti pendapatan bersih usaha dan penghasilan bersih usaha. Sukartawi et al (1986) menyebutkan beberapa langkah yang ditempuh dalam anggaran parsial ialah langkah pertama menjelaskan perubahan dalam suatu usaha atau metode produksi secara hati-hati dan tepat. Hal ini penting, karena pengalaman menunjukkan bahwa sumber kesalahan umum dalam anggaran parsial ialah tidak memahami sifat perubahan yang diamati, sehingga menimbulkan kebingungan. Untuk memperoleh resiko kesalahan tersebut, perubahan yang diusulkan itu harus diperinci dan harus ditulis diatas anggaran, sehingga dapat menunjukkan kapan analisis itu dilakukan. Langkah-langkah ini juga akan memperkecil kebingungan yang mungkin terjadi apabila anggaran itu dibahas lagi dikemudian hari. Langkah pertama ialah mendaftar dan menghitung keuntungan dan kerugian yang diakibatkan oleh perubahan itu. Kerugian dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama yaitu pengeluaran atau biaya tambahan yang terjadi karena ada perubahan. Kedua, yaitu pendapatan kotor atau penghasilan yang hilang dan tidak akan diteima lagi sebagai akibat terjadinya perubahan. Kerugian ini harus ditambahkan pada kelompok yang pertama. Keuntungan dapat juga digolongkan dalam dua kelompok. Pertama yaitu tiap pengeluaran atau biaya yang dihemat sebagai akibat perubahan proses produksi. Pengeluaran ini adalah biaya-biaya yang seharusnya dikeluarkan

12 47 dalam metode produksi yang berlaku sekarang, tetapi dapat ditiadakan apabila perubahan yang diusulkan itu dilaksanakan. Kedua, yaitu tambahan pendapatan kotor atau penghasilan yang timbul sebagai akibat perubahan tersebut. Keuntungan ini harus ditambahkan pada kelompok pertama. Perubahan keuntungan usahatani yang berkaitan dengan perubahan anggaran dapat dihitung dengan cara mengurangi keuntungan total dengan kerugian total. Apabila keuntungan total lebih besar dari pada kerugian total, maka anggaran jelas menunjukkan bahwa perubahan yang diusulkan itu menguntungkan. Apabila terjadi sebaliknya, maka perubahan yang diusulkan itu tidak menguntungkan. Tentu saja penilaian perubahan keuntungan usaha ini bergantung kepada kebenaran data yang digunakan dalam anggaran. Analisis anggaran parsial ini akan dijelaskan sebagai berikut pada Tabel 3.

13 48 Tabel 3. Hasil perhitungan keuntungan Analisis Anggaran Parsial BP = (BT + PH) MP = (BH + PT) Biaya Tambahan/Tetap (BT) Biaya yang di Hemat - Biaya pembuatan bubu total Waktu operasikan bubu Rp. 450,000,-per 1 unit Menyewa tenaga kerja 7 kali - Perahu motor (jukung) angkat-turun bubu Sewa Rp. 100,000,- per bulan Rp. 100,000 per 1 unit per bln - Bubu besi Untuk 1 bln dibutuhkan = Rp. 50,000,- per 1 unit Rp. 240,000,-per 1 unit per bln - Katrol Rp. 20,000,- per bh - Tali Untuk trip biaya operasional Rp ,- per 1 unit Rp. 240,000,-per 7 trip - Pelampung Rp per 1 unit per bln Rp. 130,000,- per bh Untuk tiap-tiap 1 unit bubu Rp. 39,600 per bln bubu besi Rp. 10,000 per bln bubu bambu Penghasilan yang Hilang (PH) Penghasilan Tambahan (PT) Terjadi pada bubu bambu Produksi bubu besi untuk tiap- Rp. 10,000,- per 1 unit per bln tiap 1 unit = Rp. 39,600 per bln. Dimana berat ikan hasil tangkapan keseluruhan 99 kg. Harga 1 kg ikan Rp ,- Ë P = MP BP Rp. 640,000,- = Rp.1,090,000, - Rp. 450,000,- untuk 1 unit bubu besi dalam 1 tahun Bila Biaya Tambahan (BTi) dan Biaya yang Dihemat (Bhi) adalah modal Rp. 1,150,000,- dari perahu motor (jukung), pembuatan bubu besi, tali, katrol, penggunaan umpan dan pelampung tanda. Untuk perhitungan biaya per trip dimana harga sisa pada akhir ekonomi Rp. 630,000,-. Berdasarkan atas perhitungan dengan rumus depresiasi akan menghasilkan Rp. 142,466, dengan

14 49 perkiraan daya tahan bubu selama 1 tahun atau 365 hari, serta jumlah trip sebanyak 100 kali. Di pulau Nusa Penida umumnya alat tangkap bubu bambu sudah mulai kurang diminati, karena hasil tangkapan tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Bahan baku bambu sudah mulai sulit ditemukan, disatu pihak ada larangan untuk mengkonsumsi bambu yang akibatnya dapat mengganggu keseimbangan alam, sedangkan dilain pihak harga bambu sudah mulai mahal dan dipergunakan untuk kegiatan ritual agama Hindu di Bali. Teknologi bubu dasar laut ini harus diadakan perubahan bahan dari bambu ke besi. Bubu besi secara ekonomis dianggap merugikan, tapi dunia perikanan tidak selalu harus stagnasi, namun perlu perkembangan teknologi dan tentunya membutuhkan biaya jika ingin nelayan maju. Bentuk dari bubu beragam disesuaikan dengan keinginan, rata-rata bubu bambu yang dimiliki oleh nelayan di Nusa Penida berbentuk trapesium. Bubu besi dirancang berbentuk silinder atau setengah lingkaran. Pengoperasian bubu besi ini tentunya berbeda dengan bubu bambu, walaupun keduanya merupakan alat tangkap ikan pasif. Jika bubu bambu tanpa umpan dioperasikan satu demi satu dengan cara menyelam, maka kebalikannya bubu besi memakai umpan, diturunkan kelaut menggunakan tali dan katrol, secara berangkai. Daya tenggelam dari bubu bambu hampir tidak diketahui sama sekali, dengan bantuan beberapa pemberat yang ditutupi karang agar tidak goyang didasar, bubu bambu sangat jelas merusak habitat pada daerah karang. Untuk 1 bubu besi dengan luasan 252 cm², memiliki berat 22,5 kg dan tidak mudah untuk digoyang oleh arus dasar, sedangkan bubu bambu memiliki berat antara 5 untuk yang ukuran kecil, sedangkan ukuran besar 10 kg. Daerah penangkapan pun tidak berada pada sekitar terumbu karang, tetapi pada daerah berpasir atau berlumpur. Ikan target tangkapan merupakan ikan dasar seperti, ikan kerapu (Epinephalus spp), kakap (Lutjanus spp), belut, kepiting, udang dan lobster. Dari hasil rata-rata unit terdiri dari 5 buah bubu bambu dan besi pada saat dilakukan trip bagi bubu bambu hanya bisa tertangkap 2 ekor ikan karang yang berukuran kecil, selama 3 hari

15 50 perendaman. Bubu besi rata-rata ikan tertangkap mencapai 4 ekor selama 1 hari perendaman, untuk tiap-tiap unit bubu. Bubu besi secara keseluruhan dilihat dari jumlah (ekor) selama 25 trip, menunjukkan beberapa pengaruh yang sangat signifikan. Nilai konstanta sebesar 6,1 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip dengan umpan, maka bubu besi akan selalu mendapatkan hasil tangkapan sebesar nilai itu. Hal ini menunjukkan pengaruh sangat nyata dari banyaknya trip terhadap hasil jumlah tangkapan (ekor). Koefisien regresi sebesar 0,6846 menyatakan bahwa semakin banyak trip akan menambahkan jumlah (ekor) hasil tangkapan sebesar 0,6846 ikan. Konstanta sebesar 1,405 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip dengan umpan, maka bubu akan selalu mendapatkan hasil tangkapan. Permasalahan yang sering ditemui dalam melakukan pengoperasian bubu, baik bubu bambu atau bubu besi, variabel-variabel yang mempengaruhinya adalah lama operasi, kedalaman, kecepatan arus permukaan dan fase bulan. Variabel-variabel ini acap kali akan muncul, karena lautan di seluruh bumi ini merupakan medium yang bergerak dinamis dan saling berkaitan atau berhubungan satu dengan lainnya hingga merupakan kesatuan yang sinambung. Dalam hubungannya dengan aspek, baik fisik maupun kimiawi, laut menunjukkan lingkungan yang dapat dinyatakan seragam untuk suatu jarak maupun lapisan tertentu. Disamping itu laut merupakan lingkungan hidup yang luas dan sangat bervarisai sejalan dengan letak lintang dan faktorfaktor yang sebagai variabel-variabel terhadap tingkah laku ikan (Gunarso, 1985). Dengan memasang umpan pada bubu besi, maka kemungkinan besar sekali untuk masuknya ikan ke dalam bubu. Diprediksikan bahwa ikan karnivora kecil sebagai penunjuk jalan lebih dulu terperangkap dengan adanya bau dari umpan. Umpan memegang peranan sangat penting dalam penangkapan dengan perangkap (traps). Umpan memenuhi syarat yang dapat merangsang indera penciuman dan rasa dari ikan serta Crustacea (Gunarso, 1985). Selain pengaruh dari jenis umpan, faktor lain yang ikut berpengaruh

16 51 terhadap keberhasilan penangkapan dengan perangkap adalah penampilan dari umpan tersebut yang meliputi : jumlah umpan yang dipergunakan, lokasi penempatan umpan dalam perangkap, frekuensi pengganti umpan dan cara pemasangan umpan (apakah menggunakan tali/kantong atau kotak berlubang). Bubu bambu selama perendaman 3 hari dengan 25 kali trip, tidak terlalu memberikan harapan yang lebih baik pada tangkapan jumlah (ekor). Konstanta sebesar 3,65 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip, maka bubu akan selalu mendapatkan hasil tangkapan, namun lebih kecil hasilnya dari bubu besi. Hal ini menunjukkan pengaruh signifikansi dari banyak trip terhadap jumlah hasil tangkapan (ekor). Koefisien regresi sebesar 0,1377 bahwa semakin banyak trip akan menambahkan jumlah (ekor) hasil tangkapan sebesar 0,1377 ikan. Nilai konstanta sebesar 0,73 menyatakan bahwa jika ada kegiatan penangkapan selama beberapa kali trip dengan tanpa umpan, maka bubu akan sulit mendapatkan hasil tangkapan. Melihat kapada kenyataan yang ada pada experimental dilapangan dari biaya pengeluaran untuk membuat 5 unit bubu sampai pada pengoperasian didapat keuntungan total sbesar Rp ,- per 1 unit per tahun dari hasil penjualan ikan yang tertangkap. Dengan hasil depresiasi per trip sebesar Rp. 142,466, menandakan bahwa bubu besi masih layak untuk dipakai oleh nelayan.

Berikut ini adalah gambar secara skematis karangka pemikiran penelitian :

Berikut ini adalah gambar secara skematis karangka pemikiran penelitian : 13 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Potensi sumberdaya alam laut yang terdapat di Pulau Bali terdapat dua kegiatan yakni budidaya laut dan perikanan tangkap. Kedua potensi ini yang

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEKNOLOGI ALAT TANGKAP BUBU DASAR UNTUK MENGETAHUI EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN DEMERSAL EKONOMIS PENTING DI KLUNGKUNG BALI

PERBANDINGAN TEKNOLOGI ALAT TANGKAP BUBU DASAR UNTUK MENGETAHUI EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN DEMERSAL EKONOMIS PENTING DI KLUNGKUNG BALI PERBANDINGAN TEKNOLOGI ALAT TANGKAP BUBU DASAR UNTUK MENGETAHUI EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN DEMERSAL EKONOMIS PENTING DI KLUNGKUNG BALI R. THOMAS MAHULETTE Pusat Riset Perikanan Tangkap Jalan Pasir Putih

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Pulau Nusa Penida Pulau Nusa Penida secara umum berada pada 155º30 00 dan 155º36 00 bujur timur dan -8º40 00 sampai -8º45 00 lintang selatan. Kecamatan nusa Penida

Lebih terperinci

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Secara geografis propinsi Bali terletak pada posisi 8º 03 40-8º 50 48 LS dan 144º 50 48 BT. Luas propinsi Bali meliputi areal daratan sekitar 5.632,66 km² termasuk keseluruhan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang sangat mempengaruhi, seperti arus pasang dan arus surut.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 25 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu daerah penghasil

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 25 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu daerah penghasil

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base. 31 4 HASIL 4.1 Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Kapal Jumlah perahu/kapal yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari 124 perahu/kapal tanpa motor, 376 motor tempel, 60 kapal motor 0-5 GT dan 39

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung

Lebih terperinci

Lift Net & Traps. Ledhyane Ika Harlyan. Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1

Lift Net & Traps. Ledhyane Ika Harlyan. Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1 Lift Net & Traps Ledhyane Ika Harlyan Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1 Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa yg mengikuti materi ini

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH Teknik Penangkapan Ikan Sidat..di Daerah Aliran Sungai Poso Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 50 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak ditujukan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus),

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dengan pengumpulan data di lapangan sejak tanggal 16 Agustus 2011 hingga 31 September 2011 di Desa Kertajaya, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad yang telah dilakukan di perairan pantai Cirebon, daerah Kecamatan Gebang, Jawa Barat

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF USAHA ALAT TANGKAP BUBU KARANG

STUDI KOMPARATIF USAHA ALAT TANGKAP BUBU KARANG STUDI KOMPARATIF USAHA ALAT TANGKAP BUBU KARANG SISTEM KEPEMILIKAN SENDIRI DAN SISTEM BAGI HASIL DI KECAMATAN BINTAN TIMUR KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Ilham Rhamadhan 1), Hendrik 2),Lamun

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya ikan atau binatang air lainnya serta

Lebih terperinci

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang 5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang Daerah operasi penangkapan udang terbentang mulai dari bagian utara Delta Mahakam, Tanjung Santan hingga Tanjung Sembilang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penangkapan Ikan Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha manusia untuk menghasilkan ikan dan organisme lainnya di perairan, keberhasilan usaha penangkapan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

UJI COBA PENGGUNAAN BERBAGAI MACAM BAHAN BUBU UNTUK PENANGKAPAN LOBSTER DI DANAU MANINJAU

UJI COBA PENGGUNAAN BERBAGAI MACAM BAHAN BUBU UNTUK PENANGKAPAN LOBSTER DI DANAU MANINJAU UJI COBA PENGGUNAAN BERBAGAI MACAM BAHAN BUBU UNTUK PENANGKAPAN LOBSTER DI DANAU MANINJAU Eko Pramono Sipayung 1),H. Bustari 2), Irwandy Syofyan 2) Email : pramonoeko67@gmail.com 1) Mahasiswa Fakultas

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Daerah Kecamatan Pulau Tiga merupakan salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Natuna yang secara geografis berada pada posisi 3 o 34 30 3 o 39

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN PANAH DAN BUBU DASAR DI PERIRAN KARIMUNJAWA

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN PANAH DAN BUBU DASAR DI PERIRAN KARIMUNJAWA ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PENANGKAPAN IKAN MENGGUNAKAN PANAH DAN BUBU DASAR DI PERIRAN KARIMUNJAWA Ficka Andria Pratama *), Herry Boesono, dan Trisnani Dwi H. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya

Lebih terperinci

Alat Lain. 75 Karakteristik perikanan laut Indonesia: alat tangkap

Alat Lain. 75 Karakteristik perikanan laut Indonesia: alat tangkap Gambar 4.11 Alat tangkap Pukat Harimau atau Trawl (kiri atas); alat Mini-Trawl yang masih beroperasi di Kalimantan Timur (kanan atas); hasil tangkap Mini-Trawl (kiri bawah) dan posisi kapal ketika menarik

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal 83 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal Produksi perikanan bubu yang tercatat di PPN Sibolga pada tahun 2011 mencapai 14.847 kg, sedangkan pada tahun 2012 sampai bulan Februari mencapai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pancing Ulur Pancing Ulur (Gambar 2) merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang sering digunakan oleh nelayan tradisional untuk menangkap ikan di laut. Pancing Ulur termasuk

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

4 HASIL. Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar. 1)

4 HASIL. Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar. 1) 4 HASIL 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan daerah Kabupaten Bangka Selatan merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang resmi menjadi daerah otonom sejak tanggal 25 Februari

Lebih terperinci

DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR. Riza Rahman Hakim, S.Pi

DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR. Riza Rahman Hakim, S.Pi DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR Riza Rahman Hakim, S.Pi Ciri-ciri daerah perairan yang subur 1. Daerah konvergensi - Daerah perairan tempat pertemuan dua masa air berupa pertemuan dua arus yang kuat. - Perbedaan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Karang Makassar, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang secara geografis terletak di koordinat 8

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember 2011. Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember 2011. Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan SAMBUTAN Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayahnya serta kerja keras penyusun telah berhasil menyusun Materi Penyuluhan yang akan digunakan bagi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Menurut Rahardja (2006) dalam aktivitas produksinya, produsen mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan hubungannya dengan tingkat produksi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

memanfaatkan tingkah laku ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Hal ini terlihat dari bentuk bubu itu sendiri yang menyerupai batang kayu berlubang

memanfaatkan tingkah laku ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Hal ini terlihat dari bentuk bubu itu sendiri yang menyerupai batang kayu berlubang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam tersedia dalam jumlah yang melimpah belum dapat menjamin bahwa suatu bangsa itu akan sejahtera apabila sumberdaya tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan di wilayah perairan Pulau Bira Besar TNKpS. Pulau Bira Besar terbagi menjadi 2 Zona, yaitu Zona Inti III pada bagian utara dan Zona

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati)

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati) UPAYA, LAJU TANGKAP, DAN ANALISIS USAHA PENANGKAPAN UDANG PEPEH (Metapenaeus ensis) DENGAN TUGUK BARIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metode penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya sudah sejak lama diketahui sebagai perlakuan yang efektif untuk tujuan penangkapan ikan tunggal maupun berkelompok (Ben-Yami,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Prinsip dari metode ini adalah mengumpulkan ikan dalam ruang lingkup suatu alat tangkap. Dalam menarik perhatian ikan, digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Penelitian

Lebih terperinci

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti EKOLOGI IKAN KARANG Sasanti R. Suharti PENGENALAN LINGKUNGAN LAUT Perairan tropis berada di lintang Utara 23o27 U dan lintang Selatan 23o27 S. Temperatur berkisar antara 25-30oC dengan sedikit variasi

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Deskripsi umum lokasi penelitian 3.1.1 Perairan Pantai Lovina Kawasan Lovina merupakan kawasan wisata pantai yang berada di Kabupaten Buleleng, Bali dengan daya tarik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis masalah Kemiskinan dan Ketimpangan pendapatan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon (Lampiran 1). Survey dan persiapan penelitian seperti pencarian jaring,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian peranan apartemen ikan pada penangkapan ikan dengan pancing ulur ini dilakukan di perairan Kota Cirebon dengan berpusat di Pangkalan Pendaratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaring Arad Jaring arad (mini trawl) adalah jaring yang berbentuk kerucut yang tertutup ke arah ujung kantong dan melebar ke arah depan dengan adanya sayap. Bagian-bagiannya

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Karakteristik Nelayan Tangkap Kelurahan Untung Jawa. Pulau Untung Jawa yang berbasis sumberdaya perikanan menyebabkan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Karakteristik Nelayan Tangkap Kelurahan Untung Jawa. Pulau Untung Jawa yang berbasis sumberdaya perikanan menyebabkan VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Nelayan Tangkap Kelurahan Untung Jawa Pulau Untung Jawa yang berbasis sumberdaya perikanan menyebabkan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Sekitar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

BAB 6: GEOGRAFI LAUT DAN PESISIR

BAB 6: GEOGRAFI LAUT DAN PESISIR www.bimbinganalumniui.com 1. Berdasarkan proses terjadinya Laut Banda adalah laut a. Transgresi b. Regresi c. Ingresi d. Tepi e. Pedalaman 2. Karena faktor tenaga endogen, dasar laut yang mengalami penurunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN tangkapan yang berbeda. Untuk hari pertama tanpa menggunakan lampu, hari ke menggunakan dua lampu dan hari ke menggunakan empat lampu. Dalam satu hari dilakukan dua kali operasi penangkapan. Data yang

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

KAJIAN KONSTRUKSI DAN LOKASI JARING WARING TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN TERPERANGKAP IKAN HIU PAUS (Rhincodon typus) DI SELAT MADURA

KAJIAN KONSTRUKSI DAN LOKASI JARING WARING TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN TERPERANGKAP IKAN HIU PAUS (Rhincodon typus) DI SELAT MADURA KAJIAN KONSTRUKSI DAN LOKASI JARING WARING TERHADAP UPAYA PENCEGAHAN TERPERANGKAP IKAN HIU PAUS (Rhincodon typus) DI SELAT MADURA Mochamad Arief Sofijanto 1, Dwi Ariyoga Gautama 2, Bagus Ramadhan 3, Fernandes

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Hasil Penelitian 4... Keadaan umurn perairan Secara geografis Perairan Pulau Mampu berada di sebelah Barat Laut perairan Dumai dan perairan ini terletak pada titik koordinat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perairan Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi laut yang rumit dilihat dari topografi

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : LIMBAH IKAN SEBAGAI ALTERNATIF UMPAN BUATAN UNTUK ALAT TANGKAP PANCING TONDA

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : LIMBAH IKAN SEBAGAI ALTERNATIF UMPAN BUATAN UNTUK ALAT TANGKAP PANCING TONDA LIMBAH IKAN SEBAGAI ALTERNATIF UMPAN BUATAN UNTUK ALAT TANGKAP PANCING TONDA Indah Wahyuni Abida Firman Farid Muhsoni Aries Dwi Siswanto Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo E-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

PERBEDAAN BENTUK KRENDET DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN LOBSTER (PANULIRUS SP.) DI PERAIRAN CILACAP

PERBEDAAN BENTUK KRENDET DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN LOBSTER (PANULIRUS SP.) DI PERAIRAN CILACAP PERBEDAAN BENTUK KRENDET DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN LOBSTER (PANULIRUS SP.) DI PERAIRAN CILACAP The Different Forms of Krendet and The Length of Immersion Towards the Catches of Lobster

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Sumberdaya Maritim Indonesia Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudera. Ekosistem perairan ini merupakan seumber dari berbagai macam produk dan

Lebih terperinci

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI 8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI Aktivitas-aktivitas perikanan tangkap yang ada di PPI Jayanti dan sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai aktivitas wisata bahari

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Trilogi pembangunan yang salah satunya berbunyi pemerataan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Trilogi pembangunan yang salah satunya berbunyi pemerataan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trilogi pembangunan yang salah satunya berbunyi pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, telah dilaksanakan

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 40 V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km 2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km 2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km 2 atau

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci