5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal"

Transkripsi

1 83 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal Produksi perikanan bubu yang tercatat di PPN Sibolga pada tahun 2011 mencapai kg, sedangkan pada tahun 2012 sampai bulan Februari mencapai kg. Data ini menjadi sangat kecil karena banyaknya nelayan yang tidak melaporkan hasil tangkapan kepada petugas perikanan. Data yang diperoleh pada tahun 2011 merupakan data dari 2 pemilik kapal bubu yang rutin melakukan pelaporan, sedangkan data pada 2012 merupakan data dari 9 pemilik usaha bubu. Agar dapat memperoleh kondisi perikanan bubu yang mendekati angka tepat, sebaiknya pemerintah memperhatikan teknik pengumpulan data yang ada di pelabuhan perikanan swasta. Ikan yang menjadi target utama untuk ekspor pada penangkapan bubu adalah ikan kerapu merah, kerapu macan, kakap merah, kakap putih, jenaha dan kuwe. Ikan ini menjadi kategori ikan target utama untuk ekspor karena merupakan komoditas ekspor. Ikan target utama pasar lokal merupakan jenis ikan yang tidak masuk dalam dikategori ekspor. Jenis ikan target utama pasar lokal yang dihasilkan bubu antara lain pari, cumi-cumi, bayeman, ekor kuning, kurisi dan baronang. Hasil tangkapan sampingan pada bubu merupakan kelompok ikan yang tidak memiliki nilai jual dan biasanya dijadikan sebagai bahan pembuat ikan asin atau makanan ternak seperti ikan kepe-kepe, giro pasir, gabus laut, jabung (triger) dan butana garis. Penentuan kualitas ikan karang bukan saja ditentukan oleh jenis, tetapi dapat juga dari ukuran dan kondisi ikan. Bagi nelayan bubu penangkapan ikan target utana akan sangat mempengaruhi pendapatan dalam satu tripnya. Hasil tangkapan bubu yang didaratkan pada pelabuhan perikanan di Sibolga didominasi ikan demersal ekonomis utama antara lain ikan kerapu, kakap, kuwe dan jenaha. Hasil tangkapan nelayan bubu biasanya diekspor ke negara Singapura dan Hongkong. Hal ini disebabkan nilai tukar penjualan menggunakan mata uang dolar. Untuk sortasi ikan, nelayan bubu mengenal istilah grade A dan bekas sortir (BS). Hasil wawancara dengan pedagang pengumpul, harga ikan hasil tangkapan bubu dapat dilihat pada Tabel 13.

2 84 Tabel 13 Daftar harga ikan hasil tangkapan bubu Tahun 2011 No Nama ikan Grade Ukuran (gram) Harga (Rp) 1 Kerapu merah A > Jenaha A > Kerapu macan A > Kakap merah A > Kakap putih A > Kuwe A > Sumber: Hasil wawancara nelayan Sibolga Data staatistik perikanan Sibolga, ada 3 (tiga) kelompok ikan demersal ekonomis penting yang banyak diperdagangkan nelayan Sibolga. Tingkat pemanfaatan ikan demersal ini berbeda satu sama lainnya. Ketiga jenis kelompok ikan demersal tersebut adalah: 1) Ikan kakap Data hasil tangkapan ikan kakap pada tahun , penagkapan ikan kakap didominasi oleh alat tangkap bubu sekitar 40,87%, pancing ulur 29,86% dan pukat ikan 29,28%. Alat tangkap standar ikan kakap yang sesuai berdasarkan nilai Fishing Power Index (FPI) adalah bubu. Ikan kakap merupakan salah satu ikan ekonomis penting yang banyak diekspor ke Hongkong dan Singapura. Gambar 14 menunjukkan grafik MSY untuk ikan kakap berdasarkan data dinas perikanan kota Sibolga. Model Walter-hilborn menunjukkan effort optimum untuk ikan kakap merah sebanyak 60 unit bubu dan catch MSY 2754,11 ton/tahun. Produksi (ton) Ikan kakap Jumlah bubu (unit) Data aktual Kurva produksi surplus Batas MSY Gambar 14 Grafik maximum sustainable yield ikan kakap

3 85 Grafik pemanfaatan ikan kakap pada Gambar 14 menunjukkan pada saat ini jumlah penangkapan ikan tersebut telah mencapai titik MSY. Peningkatan upaya penangkapan melalui bubu sebaiknya mulai dibatasi untuk menghindari terjadinya over fishing. 2) Ikan kerapu Hasil perhitungan nilai maximum sustainable yield (MSY) untuk ikan kerapu merah (kerapu sunu) menunjukkan tingkat eksploitasi yang belum optimal. Gambar 15 menunjukkan grafik produksi surplus ikan kerapu sampai pada tahun Data pemanfaatan ikan kerapu menunjukkan bahwa penangkapan ikan kerapu belum mengalami batas over fishing. Produksi (ton) Ikan kerapu Jumlah bubu (unit) Data aktual Batas MSY Kurva produksi surplus Gambar 15 Grafik maximum sustainable yield ikan kerapu Tingkat upaya pemanfaatan ikan kerapu sampai pada tahun 2010 belum mencapai titik jumlah maksimum. Armada penangkapan ikan demersal khususnya bubu masih dapat ditingkatkan. Hal ini menggambarkan bahwa bubu sebagai alat tangkap perikanan demersal di Sibolga masih memiliki peluang yang cukup besar. Berdasarkan total hasil tangkapan, ikan kerapu di Sibolga masih berada di bawah nilai MSY. Pemanfaatan sumberdaya ikan kerapu secara bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek biologi akan membantu keberlanjutan usaha bubu. 3) Ikan kuwe Ikan kuwe merupakan ikan yang hidup berasosiasi dengan ekosistem karang dan masih ditemukan pada pengoperasian bubu. Berdasarkan data Dinas Periukanan Sibolga sampai pada tahun 2010, bubu merupakan alat tangkap standar yang dapat digunakan untuk menangkap ikan kuwe dengan total hasil

4 86 tangkapan 44,8%, selain itu pukat ikan juga memiliki peran dalam menangkap ikan kuwe, terlihat dari nilai tangkapan sebesar 33,4%. Upaya penangkapan ikan kuwe khususnya pada ukuran ekonomis masih cukup rendah. Berdasarkan data statistik perikanan Sibolga, nilai upaya penangkapan ikan kuwe menunjukkan effort optimum sebanyak 59 unit bubu dan catch MSY 787,84 ton/tahun. Gambar 16 menunjukkan grafik MSY untuk pemanfaatan ikan kuwe berdasarkan kurva produksi surplus masih barada pada garis yang belum terindikasi kelebihan tangkap. Berdasarkan data statistik perikanan tahun 2009 sampai tahun 2010 produksi mengalami penurunan disebabkan banyaknya nelayan bubu yang beralih pada alat tangkap lain. Peralihan ini disebabkan tingginya biaya operasional yang dibutuhkan dalam pengoperasian alat tangkap bubu. Produksi (ton) Ikan Kuwe Jumlah bubu (unit) Data aktual Kurva produksi surplus Batas MSY Gambar 16 Grafik maximum sustainable yield ikan kuwe Dalam empat tahun terakhir, hasil penangkapan ikan kuwe masih berada di bawah garis MSY. Tingkat upaya pemanfaatan untuk jenis ikan kuwe juga masih belum mencapai titik maksimum. Bubu bukan merupakan alat tangkap yang paling baik dalam memanfaatkan sumberdaya ikan kuwe di pantai Barat Sumatera. Berdasarkan data statistika perikanan di Sibolga, pukat ikan merupakan alat tangkap standar yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan kuwe. Pemanfaatan ikan kuwe pada bubu paling rendah jika dibandingkan dengan ikan target utama untuk ekspor lainnya.

5 Teknik Pengoperasian Bubu nelayan Konstruksi bubu nelayan Bubu nelayan Sibolga memiliki bentuk persegi dengan satu funnel pada bagian sisi. Pada bagian alas bubu nelayan dilengkapi dengan tulang rangka yang terbuat dari rotan dengan diameter 2 cm. Bagian selimut atas bubu ditopang dengan tulang rangka sebanyak 5 ruas dengan diameter 2 cm, agar bubu tetap tegak. Pintu bubu terletak pada bagian alas sebagai lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan. Selimut bubu terbuat dari kawat besi berdiameter 0,2 cm dengan mesh size 5 cm. Desain bubu nelayan nelayan Sibolga berdasarkan dimensi dan ukuran penyusunnya dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17 Desain dan konstruksi bubu kawat nelayan Sibolga Pembuatan bubu diawali dengan menyelesaikan rangka alas, rangka selimut atas, rangka bagian sisi depan dan belakang. Pembuatan funnel dilakukan secara terpisah karena selimut kawat pada bagian ini dibentuk sedemikian rupa untuk mengatur gerakan ikan saat memasuki bubu. Setiap sudut alas dibuat berbentuk siku dan diikat pada setiap persambungannya. Desain bubu nelayan telah dilakukan sejak awal tahun 1970 sampai saat ini. Desain ini dibawa oleh nelayan asing yang dahulu beroperasi di pantai Barat Sumatera. Funnel bubu nelayan berbentuk silinder dan memiliki diameter yang semakin mengkerucut. Diameter bagian depan funnel berukuran 44 cm, bagian tengah 29 cm dan bagian dalam 12 cm. Funnel yang dimiliki bubu nelayan

6 88 merupakan pintu satu-satunya jalan masuk ikan, sehingga bagian dinding dari funnel dilengkapi dengan kawat berduri yang diarahkan ke bagian dalam bubu. Pemberian kawat sebagai duri ini bersifat elastis dan searah dengan jalan masuk ikan, tujuannya agar ikan yang telah bergerak masuk diantara bagian funnel tidak mungkin keluar lagi. Desain bubu nelayan berdasarkan tampak muka dilihat pada Gambar 18. Gambar 18 Bubu nelayan berdasarkan tampak depan Tinggi bubu nelayan dari rangka alas adalah 50 cm, sedangkan tinggi bubu dibagian tengah 60 cm. Perubahan tinggi bagian bubu disebabkan rangka rotan pada selimut atas memiliki elevasi sebesar 105 o-. Desain seperti ini dirancang agar selimut kawat lebih elastis dan ruang menjadi lebih besar. Semakin kecilnya ukuran diameter kawat bubu nelayan berpengaruh terhadap umur teknis alat tersebut. Sebelum tahun 2006 kawat selimut bubu nelayan diimpor dari Singapura dan memiliki diameter 0,3 cm, sedangkan saat ini kawat yang digunakan merupakan kawat galvanis yang berasal dari Batam dengan diameter 0,2 cm. Desain rangka bubu nelayan tampak atas dapat menunjukkan konstruksi funnel yang dirancang oleh nelayan Sibolga. Funnel tidak hanya dibuat mengerucut, namun memiliki kemiringan dan berbelok pada bagian ujungnya. Kawat galvanis selimut bubu juga berfungsi dalam memperkokoh konstruksi bubu nelayan. Kawat selimut dirancang oleh nelayan menjadi 4 bagian. Bagian pertama digunakan untuk menutup rangka bubu dari bagian sisi samping menuju sisi lainnya. Bagian kedua digunakan untuk menutup bagian sisi depan sampai sisi belakang. Bagian ketiga untuk menutup sisi alas yang memiliki pintu untuk

7 89 mengeluarkan hasil tangkapan. Bagian keempat digunakan sebagai kawat funnel. Kerangka bubu nelayan tampak atas dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19 Desain bubu nelayan tampak atas Teknologi pembuatan bubu besi ini sudah dilakukan oleh beberapa negara di dunia khususnya Amerika Serikat dan Jepang. Bubu didesain untuk memikat ikan masuk ke dalam dan mempersulit ikan untuk keluar kembali. Jika melihat bubu nelayan milik nelayan Sibolga, konstruksi dasar yang dimiliki hampir menyerupai bubu yang telah dikembangkan oleh nelayan Amerika Serikat pada awal tahun 1960 sampai Gambar 20 Konstruksi bubu dasar pada tahun 1970 (Rose, 1998)

8 90 Konstruksi bubu yang didesain masyarakat nelayan Amerika dipublikasikan oleh Rose (1998). Desain konstukrsi bubu yang digunakan oleh nelayan di Amerika Serikat pada tahun 1970 dapat dilihat pada Gambar 20. Menurut Cann (1990) bubu untuk penangkapan ikan demersal banyak menggunakan selimut berbahan kawat karena harus memperhatikan profitabilitas dari pengembangan dan umur teknis alat Daerah penangkapan ikan Nelayan Sibolga di pantai Barat Sumatera memiliki daerah pengoperasian bubu yang cukup luas, dimulai dari perairan Aceh sampai pada perairan Sumatera Barat. Ada 4 daerah penangkapan ikan yang digunakan nelayan Sibolga dalam mengoperasikan bubu. Daerah pengoperasian ini memiliki karakteristik dan kondisi lingkungan yang berbeda. Pulau Mursala merupakan daerah kepulauan yang paling dekat dengan Sibolga. Perairan ini terletak pada sekitar 98 o 25''30 Bujur Timur dan 01 o 47''25 Lintang Utara (Gambar 21). Berdasarkan karakteristik perairannya, Pulau Mursala merupakan daerah perairan yang memiliki kedalaman 48 sampai 54 meter. Topografi perairan ini pada umumnya berkarang dengan substrat lumpur. Berdasarkan peta batimetri LANAL Sibolga penutupan karang paling tinggi di Pulau Mursala sekitar 5 meter. Gambar 21 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Mursala

9 91 Dilihat dari posisi perairan Pulau Mursala, bubu nelayan Sibolga banyak ditempatkan pada perairan yang mengarah ke Pulau Sumatera (main land). Penempatan bubu seperti ini memudahkan nelayan dalam proses pencariannya. Pulau mursala merupakan daerah yang memiliki penduduk cukup banyak, sehingga nelayan bubu menempatkan alat sedikit lebih jauh dari pantai. Penempatan titik pengoperasian bubu di perairan Pulau Mursala dilakukan pada 9 titik. Pengamatan pergeseran titik penempatan bubu menjadi salah satu aspek yang dikaji dalam stabilitas bubu di dasar perairan (Lampiran 4). Penutupan karang pada perairan Pulau Mursala cukup banyak, hal ini dapat mempengaruhi pola pergerakan arus di dasar perairan. Berdasarkan sifatnya terhadap bentuk dasar perairan, arus akan lebih kuat jika melewati dasar perairan yang lebih landai. Penempatan bubu pada sela-sela karang akan membantu mengurangi gerak bubu. Pergeseran titik penjatuhan bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Mursala Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m) Rata-rata Pulau Pini merupakan daerah perairan yang termasuk pada daerah administratif Nias Selatan. Perairan Pulau Pini memiliki karakteristik dengan kedalaman 54 sampai 63 meter, topografi yang berkarang dan memiliki substrat perairan yang berlumpur. Penutupan karang berdasarkan peta batimetri milik LANAL Sibolga, yang paling tinggi sekitar 8 meter. Daerah pengoperasian bubu di perairan Pulau Pini dapat dilihat pada Gambar 22.

10 92 Gambar 22 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Pini Pola pergeseran bubu nelayan di perairan Pulau Pini dapat menggambarkan karakteristik daerah penangkapan ikan di daerah tersebut. Pergeseran bubu nelayan yang terjadi di Pulau Pini tergolong sangat variatif yaitu dari 32 meter sampai 207 meter. Penyebaran bubu yang cukup berjauhan memberikan dampak terhadap pola pergeseran titik setting bubu di perairan Pulau Pini. Secara umum pergeseran titik bubu dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Pini Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m) Rata-rata 98.46

11 93 Hasil perhitungan rata-rata pergeseran bubu di perairan Pulau Pini adalah 98,46 meter. Kecepatan arus pada perairan ini selama melakukan pengoperasian diperoleh sebesar 1,1 m/s sampai pada 2,1 m/s. Pola pergerakan arus yang paling tinggi diperoleh saat angin musim barat sedang berlangsung. Pulau Nias merupakan daerah pengoperasian bubu yang paling dekat pada laut lepas. Perairan ini memiliki karakteristik perairan dengan kedalaman 38 sampai 70 meter. Topografi perairan pada umumnya berkarang dengan substrat lumpur. Penutupan karang yang paling tinggi di daerah perairan Pulau Mursala sekitar 5 meter. Peletakan bubu nelayan pada daerah perairan ini dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Nias Pergerakan arus pada perairan Pulau Nias relatif lebih besar jika dibandingkan dengan Pulau Mursala dan Pini. Kecepatan arus saat proses penjatuhan bubu yang diperoleh pada perairan Pulau Nias adalah 1,6 m/s sampai 2,2 m/s. Daerah perairan Nias merupakan wilayah yang memiliki ekosistem terumbu karang paling luas dan masih dikategorikan dalam kondisi yang baik. Berdasarkan hasil pemetaan batimetri perairan Nias, ketinggian karang pada perairan ini sangat bervariasi seperti yang dimiliki Pulau Pini. Masyarakat banyak menempatkan bubu pada perairan terbuka karena kondisi terumbu karang yang lebih baik dibandingkan dengan perairan bagian timur Nias.

12 94 Secara umum pola pergeseran arus telah menyebabkan pergeseran bubu nelayan yang dioperasikan di Pulau Nias. Pergeseran titik pengoperasian bubu sangat bervarasi, yaitu dari 42,67 meter sampai pada 163,51 meter. Berdasarkan nilai rata-ratanya, pergeseran bubu di perairan Pulau Nias diperoleh sebesar 138,89 meter. Pergeseran jarak bubu pada perairan Nias secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Nias Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m) Rata-rata Penempatan bubu nelayan sebagian bessar dilakukan di perairan barat Nias menyebabkan pergeseran yang lebih besar baik saat musim timur maupun musim barat. Perbandingan yang dilakukan dengan peta 135, menunjukkan perairan timur Nias juga memiliki ekosistem terumbu karang yang cukup baik. Nelayan tidak menempatkan bubu pada bagian timun pulau Nias didasarkan karena tingginuya aktivitas penangkapan dan banyaknya nelayan yang berdomisili di sekitar pantai. Hal ini dapat dicegah dengan menempatkan bubu pada perairan yang sedikit lebih jauh dari garis pantai. Perairan Pulau Karang adalah perairan yang paling dekat dengan Pulau Sumatera. Perairan Pulau Karang merupakan perairan terbuka yang memiliki substrat pasir berlumpur. Topografi perairan ini berkarang dengan kedalaman tergolong dangkal dengan kisaran 21 sampai 39 meter. Penutupan karang yang paling tinggi di perairan Pulau Karang sekitar 6 meter. Posisi peletakan bubu nelayan pada perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Gambar 24.

13 95 Perairan Pulau Krang yang sangat terbuka tidak dihalangi oleh pulau lain yang berukuran lebih besar. Kondisi Pulau karang yang sangat kecil menyebabkan arus pada daerah perairannya sangat dipengaruhi oleh pasang surut, angin, turbulensi dan proses termoklin. Gerakan air pada perairan Pulau Karang dapat bersifat vertikal maupun horizontal karena perairannya tergolong dangkal. Gambar 24 Peta daerah pengoperasian bubu nelayan Sibolga di perairan Karang Paparan benua yang langsung berhadapan dengan perairan Pulau Karang menyebabkan pembentukan substrat pada perairan ini cenderung lumpur berpasir. Hal ini dapat dilihat dari titik penjatuhan bubu yang digunakan oleh nelayan Sibolga (Gambar 24). Perairan ini memiliki ekosistem karang yang cenderung tumbuh dengan baik karena selain dangkal kondisi air pada bersih. Ekosistem seperti ini membuat wilayah perairan karang cukup subur sebagai habitat ikan demersal. Penempatan bubu pada daerah ini sangat potensial mengingat keberadaan ekosistem karang sebagai tempat berkembangbiaknya ikan. Kecepatan arus rata-rata pada saat kondisi normal adalah 1,6 m/s sampai 2,2 m/s. Kecepatan arus yang cukup tinggi telah menyebabkan pergeseran bubu di daerah pengoperasian Pulau Karang. Pada beberapa titik penempatan bubu nelayan di Pulau Karang, sering terjadi ghost fishing. Hasil perhitungan jarak antara penjatuhan dan pengangkatan bubu di Pulau Karang menunjukkan nilai yang paling besar di antara perairan lain. Sebaran data titik pergeseran bubu pada perairan Pulau Karang disajikan pada Tabel 17.

14 96 Tabel 17 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu nelayan di Pulau Karang Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m) Rata-rata Secara umum bubu nelayan nelayan pantai Barat Sumatera dioperasikan pada karang yang tergolong pada terumbu karang pantai. Ekosistem karang ini banyak ditemukan pada sekitar garis pantai pulau-pulau kecil dengan kedalaman perairan tidak lebih dari 70 meter. Berdasarkan data batimetri milik Pangkalan Angkatan Laut Sibolga, tinggi karang yang berada pada sekitar paparan benua Samudera Hindia berkisar 5 sampai 11 meter. Penentuan fishing ground oleh nelayan bubu Sibolga didasarkan pada beberapa karakteristik dasar perairan. Adapun kriteria pemilihan lokasi daerah pengoperasian bubu antara lain: terdapatnya gugus karang di sekitar lokasi penjatuhan bubu; memiliki jarak lebih dari 1 mil dari garis pantai atau pulau terdekat yang berpenduduk; dan kedalaman perairan berkisar antara 15 sampai 70 meter. Tingginya potensi sumberdaya ikan demersal di pantai Barat Sumatera harus disesuaikan dengan pengoperasian bubu yang efektif. Berdasarkan pengamatan, pergeseran bubu nelayan pada daerah pengoperasian di empat wilayah perairan menunjukkan perbedaan. Pulau Karang merupakan daerah penangkapan ikan yang mengalami ghost fishing. Pergeseran titik pada daerah pengoperasian bubu yang berbeda, dapat dijadikan nelayan sebagai informasi dalam menempatkan bubu. Hasil penelitian menunjukkan pergeseran titik

15 97 pengoperasian bubu berdasarkan daerah perairan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 25. Pergeseran bubu nelayan pada Pulau Karang memiliki rata-rata 195,25 meter, nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan pergeseran bubu pada ketiga daerah pengoperasian lainnya. Pulau Mursala memiliki pergeseran yang relatif paling kecil yaitu sebesar 61,20 meter. Hasil pergeseran titik operasi bubu nelayan menyertakan karakteristik daerah penempatan bubu. Posisi peletakan bubu yang lebih cenderung terbuka pada umumnya menyebabkan pergeseran yang lebih besar dibandingkan dengan karakteristik perairan yang lebih tertutup. Penempatan bubu pada Pulau Karang berada pada posisi yang menghadap laut lepas. Bubu nelayan yang ditempatkan pada Pulau Mursala berada pada bagian selatan pulau tersebut. 250 Rata rata Pergeseran Posisi Bubu Konvensional (m) Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang Daerah Penangkapan Ikan Gambar 25 Grafik rata-rata dan standar error pergeseran titik operasi bubu pada daerah pengoperasian yang berbeda Operasi penangkapan ikan dengan bubu nelayan Berdasarkan hasil survei terhadap nelayan bubu, pemilihan konstruksi bubu nelayan dan metode pengoperasian merupakan ilmu yang diperoleh nelayan secara turun temurun (intuisi). Nelayan tidak dapat memberikan alasan yang pasti terhadap pemilihan metode pengoperasian bubu nelayan saat ini. Beberapa faktor yang diidentifikasi pada percobaan bubu nelayan disajikan pada Tabel 18.

16 98 Tabel 18 Faktor pengoperasian bubu nelayan Sibolga No Faktor pengoperasian Penelaahan Sudah Belum 1 Waktu penjatuhan bubu 2 Teknik penjatuhan bubu 3 Gerak jatuh bubu 4 Posisi peletakan bubu di dasar perairan 5 Lama perendaman Sumber: Hasil wawancara nelayan bubu, 2011 Hasil observasi yang dilakukan terhadap nelayan bubu Sibolga menggambarkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi metode pengoperasian bubu nelayan. Faktor tersebut anatara lain: 1) jarak lokasi penjatuhan bubu dari aktivitas nelayan lain; 2) hasil tangkapan dari pengoperasian sebelumnya; 3) Proses menemukan bubu yang telah dijatuhkan. Pada prinsipnya pengoperasian bubu kawat nelayan dilakukan pada dasar perairan khususnya daerah yang memiliki karang pantai (fringing reef). Terumbu karang pantai tumbuh dan berkembang tidak jauh dari pulau yang terletak disepanjang pantai Barat Sumatera. Jenis terumbu karang pantai yang digunakan nelayan sebagai tempat peletakan bubu adalah reef flat yaitu karang yang memiliki permukaan mendatar (Froelich, 2002). Pengoperasian bubu oleh nelayan dibagi menjadi empat tahap yaitu pra setting, setting, towing dan hauling (Hermawan, 2007). Sebelum masuk ke tahap pertama yaitu persiapan alat tangkap, biasanya bubu yang sudah selesai dirakit dan dicat, direndam terlebih dahulu sebelum dioperasikan. Waktu perendaman ini 4 sampai 6 hari atau dilihat dengan ciri terdapatnya biota dan lumut yang melekat pada kawat bubu. Hal ini bertujuan untuk menghindari bau polymer cat yang melekat pada kawat bubu pada saat dioperasikan pertama sekali. Setting, kegiatan ini meliputi persiapan bubu yang sudah ditempatkan pada sisi kapal dan juga tali ris (main line) yang akan menghubungkan kedua bubu yang dijatuhkan ke dalam air. Setelah tiba di daerah fishing ground, kecepatan kapal motor dikurangi agar juru kemudi (tekong) bisa dengan mudah melihat topografi dasar perairan pada monitor. Setelah menentukan fishing ground yang

17 99 tepat maka juru kemudi memberikan perintah kepada anak buah kapal (ABK) untuk menjatuhkan bubu. 1) Penjatuhan bubu nelayan Waktu penjatuhan bubu nelayan belum menjadi acuan yang konsisten dilakukan oleh nelayan. Nelayan dapat menjatuhkan bubu saat pagi, siang, sore dan bahkan malam hari. Hal tersebut dilakukan secara bersamaan dengan proses pencarian bubu. Jumlah bubu nelayan yang dapat dijatuhkan oleh nelayan dalam satu hari rata-rata 10 bubu, dengan jumlah maksimal 12 bubu dan minimal 5 bubu. Penjatuhan bubu dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama menempatkan bubu pada lokasi yang sama dengan lokasi saat diangkat, dilakukan bila jumlah hasil tangkapan sesuai. Pendekatan kedua dengan mencari lokasi baru, penjatuhan bubu dilakukan sesuai kriteria ekosistem yang mereka tentukan. Berdasarkan hasil wawancara, penjatuhan satu unit bubu membutuhkan waktu sekitar 1 sampai 3 menit. Pemetaan dasar sebelum penjatuhan bubu nelayan dianalisis berdasarkan conventional depth acoustic yang dimiliki nelayan. Hasil wawancara terhadap nelayan, bubu yang ditempatkan pada karang yang topografinya landai cenderung mengalami pergeseran sampai pada tahap hilang. Diantara empat lokasi penjatuhan bubu yang ditentukan pada penelitian ini, Pulau Karang merupakan tempat peletakan bubu nelayan mengalami ghost fishing terbesar. Berdasarkan pengalaman nelayan bubu Sibolga menunjukkan bahwa dari 30 unit bubu yang dijatuhkan di perairan Pulau Karang akan hilang sekitar 2 sampai 3 pasang bubu. Penjatuhan bubu dimulai saat kapal telah menemukan titik koordinat yang sesuai dengan bentuk topografi yang diinginkan nelayan. Kecepatan kapal akan diperlambat, kemudian salah satu bubu ditempatkan pada bagian sisi badan kapal untuk dijatuhkan. Sebelum bubu pertama dijatuhkan, tekong kapal akan melihat tanda-tanda di sekitar perairan. Pada umumnya tanda yang digunakan oleh juru mudi kapal adalah pulau kecil yang ada di sekitar daerah penjatuhan bubu. Tujuan pengamatan lingkungan di sekitar penjatuhan agar arah pencarian bubu saat hauling dapat disesuaikan dengan penjatuhan bubu. Juru mudi akan menggunakan arah yang berlawanan antara proses penjatuhan dan penarikan bubu.

18 100 Bubu nelayan yang dijatuhkan nelayan Sibolga menggunakan sistem rawai. Bubu ini menggunakan tali ris sebagai penghubung antara bubu pertama terhadap bubu yang lain. Tali ris yang digunakan memiliki panjang 24 meter dengan jarak penjatuhan setiap pasangan bubu sejauh 15 meter. Proses penjatuhan bubu diawali dengan pembersihan selimut kawat bubu, dilanjutkan dengan mengikatkan tali ris dan tali terajut. Beberapa kali pengoperasian, nelayan memberikan pemberat pada bagian dasar bubu dengan menggunakan batu karang yang telah diambil dari laut. Proses penjatuhan pasangan bubu berikutnya dimulai dengan menggerakkan kapal sesuai dengan arah topografi yang diinginkan juru mudi kapal. Biasanya penjatuhan pasangan bubu berikutnya kurang lebih 15 meter dari penjatuhan bubu pertama. Proses penjatuhan bubu dengan menggunakan tali ris penghubung akan mempermudah nelayan mencari bubu. Tali ris merupakan alat bantu yang akan disentuh oleh gancu saat proses penarikan, sehingga tali ris yang posisinya tidak mengkerut memastikan bubu berpeluang besar dapat ditemukan. Proses penjatuhan bubu sangat mempengaruhi hasil tangkapan. Saat pengoperasian, nelayan akan menjatuhkan bubu sebagai sebuah tim karena mereka harus melakukan koordinasi. ABK akan mengikuti kode yang diberikan nahkoda kapal (tekong) sesaat setelah menemukan titik koordinat yang tepat. Proses penjatuhan bubu dilakukan pada bagian sisi sebelah kanan kapal nelayan. Bagan proses penjatuhan bubu kawat dapat dilihat pada Gambar 26. Penentuan DPI Kriteria: 1) Kedalaman > 30 meter 2) Topografi berkarang 3) Jauh dari garis pantai (>1 mil) 4) Memiliki substrat berlumpur Kapal di perlambat dengan kecepatan <4 knot Mengikatkan tali ranjut sepanjang 3,5 m dan menghubungkan tali ris pada bubu lain Bubu 1 diletakkan di sisi kanan kapal Kapal bergerak ke utara sejauh m dan bubu kedua di jatuhkan Gambar 26 Diagram alir proses penjatuhan bubu nelayan

19 101 Bubu dijatuhkan tidak secara bersamaan agar tali ris (main line) dapat tetap renggang. Sebelum proses penjatuhan bubu, terlebih dahulu dilakukan pengukuran terhadap seluruh komponen penyusun bubu. Saat penjatuhan, kapal akan bergerak lambat (< 1 knot) dan tekong akan memperhatikan arah gerak haluan kapal. Perhatian kepada arah gerak kapal agar proses pencarian bubu lebih mudah, kapal akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan saat penjatuhan. Setelah menemukan fishing ground yang tepat, maka kapal akan berjangkar dan menyimpan titik koordinat dari posisi kapal. Ada beberapa kriteria penempatan bubu saat dijatuhkan ke dalam air yaitu: kedalaman air, bentuk dasar perairan, kondisi terumbu karang dan arus. Beberapa faktor lain adalah perairan yang jarang dikunjungi oleh nelayan bubu lain, untuk menghindari pencurian. Penggunaan krieria yang konsisten dalam pengoperasian bubu diperoleh dari pengalaman nelayan Sibolga. Parameter perairan yang sering digunakan menjadi hasil pengamatan dalam penelitian pengoperasian bubu nelayan. Hasil identifikasi kriteria perairan saat penjatuhan bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Kriteria perairan saat penjatuhan bubu nelayan No Kriteria Nilai Parameter Minimum Maksimum 1 Kedalaman air 30 meter 70 meter 2 Kecepatan arus 0,8 m/s 2,4 m/s 3 Sapuan tinggi karang 3 meter 8 meter 4 Substrat pasir berlumpur Lumpur Kedalaman perairan menjadi salah satu faktor penting saat penjatuhan bubu. Nelayan Sibolga pada umumnya menjatuhkan bubu pada kedalaman di atas 30 meter untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih besar, sekaligus menghindari pengambilan bubu oleh nelayan atau alat tangkap lain. Dalamnya perairan sering mengakibatkan bubu yang dijatuhkan bergeser dari titik setting yang telah disimpan dalam alat akustik yang mereka miliki. Pada kedalaman 70 meter matahari sulit menembus kolom perairan, hal ini mempengaruhi para penyelam swallow tidak beroperasi pada kedalaman tersebut. Bagi nelayan bubu, pencurian hasil tangkapan oleh penyelam juga sering terjadi disekitar periaran yang dangkal.

20 102 Bentuk topografi dasar perairan adalah salah satu parameter utama yang digunakan oleh nelayan saat menjatuhkan bubu. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan mengikuti kebiasaan nelayan, bentuk topografi yang memiliki karang menjulang dan warna permukaan garis pada echosounder terlihat merah adalah pilihan yang paling tepat menjatuhkan bubu. Hal ini didasarkan pada pengalaman nelayan yang menyimpulkan bahwa pewarnaan merah pada layar menunjukkan dasar perairan yang sangat sesuai untuk peletakan bubu. Arus permukaan saat penjatuhan bubu dapat diketahui pada daerah fishing ground. Data kecepatan arus diambil pada posisi '3170'' BT dan ''1172''' LU pada lokasi yang menjadi stasiun tempat penjatuhan bubu (Lampiran 3). Kecepatan arus yang diperoleh berkisar antara 0,8 m/s sampai dengan 2,4 m/s. Kecepatan arus permukaan semakin besar saat daerah pengoperasian menuju laut terbuka yaitu Samudera Hindia. Hasil wawancara pada nelayan bubu mengungkapkan bahwa variabel arus bukan menjadi faktor utama yang diperhatikan saat menjatuhkan bubu. Nelayan bubu melakukan penjatuhan atau setting saat gelombang pada permukaan laut kecil dan akan bersandar pada pulaupulau di sekitar pantai Barat Sumatera saat gelombang besar. 2) Pencarian bubu nelayan Waktu yang dibutuhkan oleh nelayan untuk menemukan bubu nelayan di pantai Barat Sumatera berkisar antara 20 menit sampai pada 90 menit untuk satu pasang bubu. Lamanya kisaran waktu pencarian bubu sangat bervariasi dan tergantung pada daerah pengoperasian bubu. Berdasarkan stasiun percobaan, waktu pencarian bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Waktu pencarian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera No Daerah Pengoperasian Waktu Minimum Maksimum 1 Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang Perhitungan waktu pencarian bubu dilakukan saat memulai pengangkatan. Pengangkatan dilakukan setelah gancu menyentuh tali ris (main line) pasangan

21 103 bubu. Tal ris tersebut telah ditambatkan pada tali terajut di bawah funnel bubu. Tali terajut (branch line) bubu memiliki ukuran panjang 3,5 meter dan pada bagian tengah dibuat untaian tempat menambatkan tali ris. Hasil analisis data waktu pencarian bubu nelayan berdasarkan empat daerah perairan pengoperasian menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Waktu pencarian bubu nelayan tentunya dilihat dari pergeseran yang dialami oleh alat tangkap itu sendiri. Hasil wawancara nelayan menyatakan bahwa pergeseran bubu yang cukup jauh menyebabkan bubu tidak dapat ditemukan kembali saat pencarian. Waktu pencarian pada suatu daerah pengoperasian akan dihentikan jika telah melebihi 2 jam. Bubu nelayan di perairan Pulau Pini memiliki waktu minimum tercepat untuk ditemukan, sedangkan waktu maksimum untuk menemukan bubu terletak di perairan Pulau Karang. Pulau Mursala sebagai wilayah perairan yang paling dekat ke Sibolga memiliki waktu rata-rata pencarian bubu sebesar 38,3 menit. Rata-rata waktu pencarian bubu tercepat adalah di Pulau Pini sedangkan waktu rata-rata terlama pencarian bubu adalah di Pulau Karang. Pencarian bubu di Pulau Karang membutuhkan waktu rata-rata 79,3 menit. Pencarian titik pengangkatan bubu nelayan sangat ditentukan dengan bentuk topografi yang terlihat pada layar echosounder. Tekong akan mengingat kembali ciri-ciri topografi perairan saat penyimpanan titik koordinat setting. Bubu kawat yang dimiliki nelayan Sibolga pada umumnya memperhatikan posisi dan kondisi perairan yang disekitarnya. Salah satu kriteria yang paling diperhatikan oleh nelayan adalah bagaimana bubu tidak mudah ditemukan oleh nelayan lain karena perendaman bubu di pantai Barat Sumatera cukup lama. Hasil perhitungan waktu pencarian bubu nelayan, nelayan Sibolga hanya mampu mencari 5 sampai 10 unit bubu dalam satu hari. Secara teknis, sistem kerja pengoperasian bubu nelayan dapat dikategorikan tidak efisien karena penggunaan waktu yang lebih lama akan meningkatkan biaya operasional. Bubu nelayan yang tidak ditemukan dalam waktu lebih dari 2 jam akan dianggap hilang dan pencarian tidak dilanjutkan lagi. Pengalaman ini sangat sering terjadi khususnya pada perairan Pulau Karang dan Nias Selatan. Waktu rata-rata pencarian bubu nelayan dapat dilihat pada Gambar 27.

22 104 Waktu rata rata (menit) ,7 Pulau Mursala Bubu nelayan Pulau Pini 56,2 Daerah Pengoperasian 79.3 Pulau Nias Pulau Karang Gambar 27 Waktu rata-rata pencarian bubu nelayan Dengan melihat hasil perhitungan waktu rata-rata pencarian bubu nelayan, dapat diperkirakan ada beberapa faktor alam yang mempengaruhi waktu pencarian bubu. Adapun faktor tersebut antara lain: 1) Kedalaman perairan, pengoperasian bubu di laut yang semakin dalam akan mempersulit daya gerak gancu dalam menemukan tali ris. Disamping sulitnya menemukan tali ris, gerakan arus di dasar perairan sering mempersulit tekong dalam membedakan gancu yang telah terkait dengan arus dasar yang kuat. 2) Posisi perairan terhadap samudera, perairan yang terbuka merupakan perairan yang memiliki arus dasar lebih kuat, sehingga bubu akan bergeser mengikuti arah gerak arus. 3) Topografi dasar perairan, jenis substrat yang disenangi oleh ikan target merupakan jenis substrat berlumpur. Penempatan bubu di sekitar karang akan membantu menahan gerak bubu saat dibawa oleh arus Dampak pengoperasian bubu nelayan Hasil pengamatan pengoperasian bubu nelayan terlihat saat bubu telah berhasil ditarik dari dasar perairan. Pada umumnya bubu nelayan yang tersangkut pada karang akan terlihat dari rusaknya selimut bubu dan ditemukannya beberapa bunga karang yang terkait pada bubu. Disamping kerusakan yang ditimbulkan terhadap ekosistem, bubu yang tersangkut pada karang menyebabkan kerugian

23 105 pada nelayan karena alat tersebut tidak dapat digunakan kembali dan ikan yang tertangkap sebagian ada yang lepas. Kerusakan yang terjadi pada ekosistem karang di pantai Barat Sumatera khususnya daerah Kepulauan Nias, Pini, Mursala dan Pulau Karang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia dan bukan hanya bubu. Hasil observasi dan melalui wawancara menyimpulkan ada beberapa faktor penyebab kerusakan ekosisitem terumbu karang akibat pengoperasian bubu, faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Dampak pengoperasian bubu terhadap kerusakan karang No Jenis kerusakan Faktor penyebab 1 Patahan bunga karang Terkait pada selimut alas bubu atau tali ris saat pengoperasian 2 Terangkatnya terumbu dari dasar Ikut bersama bubu saat proses perairan penarikan 3 Polusi dan pencemaran Ghost fishing 4 Menurunnya sumberdaya ikan Ghost fishing dan upaya demersal penangkapan yang berlebihan 5 Pecahnya terumbu karang Penggunaan alat bantu saat pencarian bubu 5.3 Kinerja Teknis Untuk mencapai pengembangan kegiatan usaha perikanan demersal di pantai Barat Sumatera, perbaikan terhadap bubu nelayan dari aspek teknis dan metode pengoperasian adalah solusi yang ditawarkan dari penelitian ini. Kinerja teknis bubu dimulai dengan mengukur massa penyusun bubu dan mengamati stabilitas gerak bubu modifikasi saat mendarat di dalam air. Pergeseran bubu saat masa perendaman merupakan salah satu penentu keberhasilan ditemukannya bubu kembali. Hasil perbaikan bubu nelayan diamati dari tingkat produktivitas hasil tangkapan yang dapat diperoleh oleh bubu modifikasi Stabilitas gerak bubu modifikasi Hasil perhitungan kecepatan gerak bubu modifikasi saat menyentuh dasar perairan pada kondisi arus normal adalah 0,34 m/dtk sedangkan bubu nelayan sebesar 0,22 m/dtk (Lampiran 4). Bubu yang diberikan pemberat cenderung bergerak secara vertikal dan tidak mengalami pergeseran yang signifikan dari titik

24 106 awal penjatuhan di atas kapal. Diameter rotan yang digunakan pada rangka bubu termodifikasi dibuat lebih kecil yaitu 0,2 cm dengan tujuan keseimbangan gerak bubu ditekankan pada bagian dasar yang telah diberi pemberat. Hasil analisis regresi hubungan waktu penjatuhan bubu modifikasi menuju dasar perairan dengan kedalaman air dapat dilihat pada Gambar 28. Waktu (detik) y = 2.631x R² = Kedalaman (m) Gambar 28 Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu modifikasi dengan kedalaman perairan Untuk membantu nelayan agar bubu tidak jatuh terlalu jauh dari titik awal, percobaan ini melakukan pengukuran waktu yang diperlukan bubu sampai pada dasar perairan. Analisis regresi yang dilakukan menunjukkan nilai determinasi sebesar 97,31% dengan nilai korelasi 6,7110. Dengan adanya analisa gerak bubu saat penjatuhan maka nelayan dapat memperkirakan berapa lama bubu akan sampai di dasar perairan sehingga tidak terlalu jauh terbawa arus. Jika kecepatan jatuh bubu dihubungkan dengan kecepatan arus di dasar perairan, maka semakin cepat bubu menyentuh dasar perairan akan membantu nelayan menemukan kembali bubu saat hauling. Bubu yang dioperasikan nelayan berada pada kisaran kedalaman 30 sampai 70 meter, pada analisis regresi maka waktu yang dibutuhkan bubu untuk menyentuh dasar perairan pada gerakan arus normal adalah sebesar 204,23 detik atau sekitar 3,4 menit.

25 107 Gerak jatuh bubu nelayan yang digunakan sebagai perbandingan stabilitas gerak bubu modifikasi menunjukkan nilai kecepatan rata-rata 0,22 m/s. Nilai ini lebih redah dibandingkan dengan bubu modifikasi. Sebaran waktu penjatuhan bubu nelayan pada kedalaman tertentu dapat dilihat pada Gambar 29. Waktu (detik) y = 5.084x R² = Kedalaman (m) Gambar 29 Analisis hubungan waktu penjatuhan bubu nelayan dengan kedalaman perairan Hasil analisis regresi dari dua jenis bubu memiliki persamaan dalam nilai korelasi dan determinasi. Kedua variabel tersebut sama-sama menunjukkan bahwa kedlaman perairan sangat berpengaruh nyata terhadap waktu yang dibutuhkan bubu menuju dasar perairan. Nilai determinasi pada bubu nelayan 98.60% sedangkan bubu modifikasi 98,67%. Nilai ini menujukkan bahwa pemberian pemberat pada bubu modifikasi tidak berpengaruh nyata terhadap pola arus tetapi memberikan pengaruh terhadap kecepatan jatuh bubu secara vertikal. Untuk menjaga posisi bubu agar bukaan mulut bubu tidak mengarah ke dasar laut, maka pada bagian atas selimut bubu modifikasi diberikan pelampung. Pemberian pelampung menjaga proses gerakan bubu dalam air tetap sama seperti saat dijatuhkan dari atas kapal. Perhatian nelayan pada teknis penjatuhan bubu di pantai Barat Sumatera selama ini hanya difokuskan pada penentuan fishing ground saja, sementara hilangnya bubu yang selama ini mereka jatuhkan dianggap sebagai proses alamiah akibat arus semata. Hasil pengamatan gerak bubu

26 108 modifikasi telah membuktikan bahwa penjatuhan bubu pada keempat stasiun secara keseluruhan dapat ditemukan kembali Operasi penangkapan ikan dengan bubu modifikasi Pengoperasian bubu modifikasi secara umum memiliki prosedur penjatuhan dan pencarian yang hampir sama dengan bubu modifikasi. Perbedaan pengoperasian bubu modifikasi terletak pada perlengkapan bubu dan tali ris (main line) saat penjatuhan bubu. 1) Penjatuhan bubu modifikasi Evaluasi peningkatan kerja bubu modifikasi saat proses penjatuhan diukur dari gerak bubu saat dijatuhkan. Variabel lain yang diukur adalah bagaimana arus mempengaruhi kedudukan bubu di dasar perairan. Secara umum dari keempat wilayah pengoperasian bubu, titik peletakan bubu modifikasi tidak jauh dari pengambilan titik bubu nelayan (Lampiran 5). Hasil pengamatan titik koordinat penjatuhan bubu pada Pulau Mursala sebagian besar tetap berada pada koordinat saat dijatuhkan. Karakteristik perairan yang tertutup dari laut terbuka, menjadikan perairan lokasi penjatuhan bubu relatif stabil dari arus. Titik koordinat penjatuhan bubu dan pergeseran kedudukan bubu berdasarkan daerah pengoperasian dapat dilihat pada Tabel 22 sampai Tabel 25. Tabel 22 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Mursala Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m) Rata-rata 7,25

27 109 Pergeseran bubu pada perairan Pulau Mursala sudah lebih rendah dibandingkan dengan bubu nelayan. Bubu yang ditempatkan pada bagia selatan Pulau Mursala lebih terlindung dari gerak arus akibat pasang surut dan angin yang ditimbulkan oleh perbedaan suhu permukaan laut. Nilai pergeseran rata-rata bubu modifikasi di Pulau Mursala adalah 7,25 meter. Pola pergeseran seperti ini semakin memudahkan nelayan dalam menemukan kembali bubu yang telah dijatuhkan. Karakteristik perairan Pulau Pini seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan perairan yang memiliki ekosistem karang yang masih baik. Pola penyebaran karang yang tinggi menyebabkan perairan ini memiliki topografi curam. Pengambilan titik koordinat pengoperasian bubu di Pulau Pini dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Pini Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m) Rata-rata 9,77 Nilai pergeseran bubu modifikasi setelah dijatuhkan pada perairan Pulau Pini terjauh adalah 12 meter, sedangkan pergeseran terdekat adalah 7 meter. Jarak rata- rata pergeseran bubu di Pulau Pini adalah 9,77 meter, nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan Pulau Mursala. Pergerakan arus di perairan Pulau Pini dapat disebabkan oleh gerakam massa air dari pasang surut, angin dan upwelling. Hal ini dapat terjadi karena perairan Pini lebih mendekati Samudera Hindia dibandingkan Mursala.

28 110 Hasil perekaman titik koordinat dari peletakan bubu modifikasi di Perairan Pulau Nias menunjukkan pergeseran yang tidak terlalu jauh. Dampak dari pergeseran yang relatif dekat ini, telah memudahkan proses pencarian bubu pada perairan Pulau Nias. Data koordinat peletakan bubu modifikasi di perairan Pulau Nias selama berlangsungnya penelitian dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Nias Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m) Rata-rata 10,93 Hasil perhitungan nilai rata-rata pergeseran bubu di perairan Pulau Nias sebesar 10,93 meter menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan bubu nelayan. Bubu nelayan mengalami pergeseran rata-rata sejauh 138,89 meter dimungkinkan karena dua faktor yaitu lama perendaman dan proses penjatuhan. Perairan terbuka sebagai daerah penjatuhan bubu modifikasi hampir sama dengan penjatuhan bubu nelayan, akan tetapi kedalaman perairan yang mencapai 70 meter membuat pemberat mampu membantu gerak jatuh bubu modifikasi. Pergerakan arus pada perairan ini hampir sama dengan karakteristik arus pada perairan Pulau Pini. Gerakan massa air menuju daratan akibat pasang surut adalah salah satu faktor utama pergeseran bubu di perairan Nias. Data perekaman titik koordinat penjatuhan bubu modifikasi pada perairan Pulau Karang menunjukkan nilai pergeseran yang relatif lebih besar dari ketiga perairan lain. Pergeseran titik terjauh pada Lintang Utara sebesar 18 meter, sedangkan pada bujur Timur 14,92 meter. Pergeseran titik terendah pada Lintang Utara sebesar 5,15 meter sedangkan pada Bujur Timur sebesar 3,09 meter. Data

29 111 pergeseran titik penjatuhan bubu modifikasi pada daerah perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Jarak antara posisi penjatuhan dan pengangkatan bubu modifikasi di Pulau Karang Posisi titik Selisih bujur (m) Selisih lintang (m) Perubahan pergeseran (m) Rata-rata 14,13 Pergerakan bubu pada perairan Pulau Karang yang terjauh berada pada sekitar 20 meter. Untuk nilai rata-rata pergeseran bubu di Pulau Karang diperoleh sebesar 14,13 meter. Nilai ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan daerah pengoperasian Pulau Mursala, Pini dan Nias. Secara umum nilai pergeseran titik operasi bubu modifikasi perairan Pulau Karang sudah lebih baik jika dibandingkan dengan pergeseran bubu modifikasi di sekitar perairan yang sama. Faktor internal yang mempengaruhi semakin rendahnya pergeseran bubu modifikasi di keempat daerah penjatuhan bubu adalah pemasangan pemberat pada alas bubu modifikasi. Gerak jatuh yang lebih cepat membantu bubu untuk berada pada posisi yang relatif lebih stabil. Faktor eksternal yang mempengaruhi pola pergeseran bubu modifikasi adalah sistem perendaman bubu yang lebih singkat. Dengan melakukan perendaman yang lebih singkat maka pergeseran bubu akibat gerakan massa air akan dapat dikurangi. Untuk membandingkan pergeseran titik penempatan bubu modifikasi, dapat kita lihat pada Gambar 30. Grafik pergeseran titik penempatan bubu modifikasi pada daerah pengoperasian yang telah ditentukan sebelumnya, dapat menjelaskan perbedaan untuk setiap pulau. Pada grafik dapat dilihat bagaimana pola pergeseran bubu modifikasi di pantai Barat Sumatera jika dibandingkan dengan

30 112 bubu nelayan nelayan. Pemberian modifikasi pada bubu kawat telah membantu mengurangi pergeseran bubu di dasar perairan. Rata rata Pergeseran (m) Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang Daerah Penangkapan Ikan Gambar 30 Grafik rata-rata dan standar error perbandingan pergeseran bubu modifikasi Perbedaan daerah pengoperasian bubu modifikasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pergeseran bubu di dasar perairan (Gambar 30). Nilai standar error pada pergeseran ini relatif lebih kecil dari bubu nelayan yaitu 7,25 sampai 14,13. Nilai standar error ini menunjukkan bahwa jarak antara nilai satu unit pergeseran bubu semakin rendah terhadap nilai tengahnya. 2) Pencarian bubu modifikasi Hasil perhitungan waktu pencarian bubu modifikasi untuk empat daerah pengoperasian yang telah dilakukan di pantai Barat Sumatera menunjukkan nilai yang berbeda (Lampiran 3). Hasil pengukuran waktu pencarian bubu cukup beragam, namun berdasarkan wilayah perairan Pulau Mursala memiliki keragaman waktu yang paling rendah. Keragaman waktu pencarian bubu yang paling tinggi ditemukan pada perairan Pulau Pini. Hasil pengukuran waktu pencarian bubu modifikasi setelah proses perendaman dapat dilihat pada Gambar 31.

31 113 Lama Pencarian Bubu (menit) Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang Daerah Pengoperasian Waktu Pencarian Minimum (menit) Waktu Pencarian Maksimum (menit) Gambar 31 Waktu pencarian bubu modifikasi berdasarkan daerah pengoperasian Perhitungan waktu rata-rata yang dibutuhkan dalam mencari satu unit bubu modifikasi, dilakukan dengan pengulangan pada 9 titik di setiap perairan. Dari hasil pengolahan data waktu pencarian bubu modifikasi diperoleh rata-rata waktu tercepat pencarian berada pada lokasi Pulau Mursala yaitu 19,8 menit. Waktu rata rata(menit) Pulau Mursala Pulau Pini Pulau Nias Pulau Karang Daerah pengoperasian Gambar 32 Waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi Grafik waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi berdasarkan daerah pengoperasiannya memberikan perbedaan satu sama lain seperti yang ditunjukkan pada Gambar 32. Untuk Pulau Pini, waktu rata-rata pencarian bubu modifikasi

32 114 membutuhkan 23,8 menit. Waktu ini lebih cepat jika dibandingkan dengan pencarian bubu modifikasi di Pulau Karang dan Pulau Nias. Proses pengangkatan bubu dimulai dengan pencarian titik koordinat lokasi bubu yang tersimpan pada echosunder garmin 178 C. Bubu yang diletakkan pada koordinat tertentu akan dicari kembali dengan memperhatikan arah kapal saat proses penjatuhan. Bila posisi kapal menghadap Utara-Selatan maka proses pencarian bubu harus menggunakan arah Timur-Barat. Penggunaan arah ini adalah salah satu teknik nelayan mempermudah menemukan tali ris bubu yang digunakan sebagai penghubung bubu. Proses pengangkatan bubu dari dasar perairan setelah dilakukannya perendaman sangat terkait dengan pergeseran titik penempatan. Pergeseran bubu yang semakin jauh akan mempengaruhi waktu pencarian bubu saat hauling. Dari hasil pergeseran yang telah dipaparkan sebelumnya, terlihat Pulau Mursala yang memiliki pergeseran paling rendah memerlukan waktu yang paling sedikit untuk mengangkat bubu. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa penempatan bubu yang baik akan memperngaruhi efektivitas pengoperasian. Semakin baik kedudukan bubu di dasar perairan akan mempercepat proses pencarian bubu tersebut. Kesimpulan yang dapat diberikan dari waktu pencarian bubu membuktikan bahwa proses setting akan mempengaruhi kegiatan hauling. Proses pengangkatan bubu yang menghasilkan angka 100% menjadi peluang nelayan Sibolga untuk mengembangkan metode pengoperasian bubu modifikasi di pantai Barat Sumatera. Bubu kawat nelayan Sibolga pada daerah perairan Pulau Karang sebaiknya mendapatkan perhatian khususnya dalam posisi penempatannya. Pulau karang merupakan daerah sekitar garis pantai pulau Sumatera yang tidak dilindungi oleh pulau besar, pengoperasian bubu saat arus kencang dapat menyebabkan terjadinya resiko kehilangan bubu Perbandingan konstruksi dan pengoperasian bubu modifikasi dengan bubu nelayan Perbandingan bubu modifikasi dan nelayan pada prinsipnya tidak jauh berbeda. Perubahan diameter rangka pada alas menjadi lebih besar ditujukan untuk menahan massa pemberat agar konstruksi tidak mudah rusak. Untuk diameter selimut, bubu nelayan dan modifikasi dinyatakan sama, tetapi selimut

33 115 atas pada bubu modifikasi dilengkapi pelampung. Secara umum perbandingan antara bubu modifikasi dengan bubu nelayan dapat dilihat pada Tabel 26. Perubahan bubu modifikasi dari milik nelayan pada dasarnya ditujukan untuk tiga hal yaitu; 1) perbaikan teknik operasi; 2) peningkatan nilai produksi; dan 3) peningkatan nilai efisiensi. Ketiga tujuan pokok perubahan bubu nelayan diukur dari nilai hasil tangkapan dan umur teknis yang dihasilkan bubu modifikasi. Tabel 26 Perbandingan bubu nelayan dan bubu modifikasi No Parameter Bubu nelayan Bubu modifikasi 1 Teknik Operasi: Perendaman 7-10 hari 4 hari Penjatuhan bubu Sistem rawai Sistem rawai Pelampung main line Tidak ada Ada 2 Waktu pencarian bubu Minimum 20 menit 10 menit Maksimum 120 menit 45 menit 3 Umur teknis bubu Minimum 5 trip 8 trip Maksimum 6 trip 12 trip Perbedaan antara konstruksi bubu nelayan dan bubu modifikasi terletak pada pelengkap tali ris dan selimut bubu. Pemberian pemberat dan pelampung dilakukan untuk menjaga stabilitas gerak bubu saat akan menyentuh dasar perairan. Resultan gaya akibat arus horizontal dikurangi dengan mempercepat daya gerak bubu modifikasi yang diberi massa 2,75 kg pada setiap sudut. Perbedaan waktu perendaman bubu antara bubu nelayan dengan bubu modifikasi juga mempengaruhi metode pengoperasian dua jenis bubu tersebut. Perbedaan waktu perendaman antara kedua bubu tersebut berimplikasi terhadap jumlah operasi selama umur teknis bubu. Bubu modifikasi memiliki jumlah operasi yang lebih banyak karena lama perendaman bubu yang tidak terlalu lama. Jumlah operasi bubu modifikasi dapat meningkat dua kali lipat dari bubu nelayan yaitu 8 sampai 12 trip selama umur teknis bubu. Hasil lain yang terlihat menonjol antara bubu nelayan dengan bubu modifikasi adalah waktu pencarian bubu saat hauling. Waktu pencarian bubu

34 116 nelayan berkisar 20 sampai 120 menit, sedangkan bubu modifikasi memiliki waktu pencarian selama 10 sampai 45 menit. Hal ini disebabkan bubu nelayan lebih mudah bergeser terkena arus laut, berbeda dengan bubu modifikasi yang lebih stabil karena diberi pemberat. Selain itu akibat lamanya perendaman, alga yang menempel pada bubu nelayan lebih banyak sehingga menyebabkan bubu lebih berat saat diangkat dan menimbulkan kerusakan di banyak sisi. Perbedaan waktu pencarian bubu ini juga dipengaruhi oleh lamanya perendaman bubu. Bubu nelayan yang direndam dalam waktu lebih lama telah memberikan peluang pergeseran akibat kegiatan alam yang terjadi di dasar perairan. Fenomena alam yang mungkin menggeser kedudukan bubu adalah arus akibat pasang surut, arus akibat turbulensi, arus akibat lapisan termohalin dan akibat upwelling. 5.4 Produktivitas Bubu Hasil tangkapan bubu secara umum menemukan jenis dan komposisi tangkapan yang relatif sama. Sebanyak dua puluh enam spesies ditemukan pada keempat daerah pengoperasian bubu (Lampiran 6). Hasil tangkapan ini didominasi oleh 4 (empat) famil ikan karang antara lain: Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap merah), Centroponidae (kakap putih) dan Carangidae (kuwe). Ikan ini merupakan kelompok ikan target utama untuk ekspor dalam usaha penangkapan dengan bubu Komposisi jenis dan jumlah hasil tangkapan Data perhitungan jumlah individu ikan yang tertangkap pada keempat daerah pengoperasian bubu menunjukkan target utama untuk ekspor mendominasi jumlah hasil tangkapan. Jumlah target utama untuk ekspor tertinggi diperoleh pada daerah pengoperasian Pulau Pini dengan nilai 1049 ekor, nilai ini merupakan hasil tangkapan dari bubu modifikasi. Jumlah individu tertinggi pada bubu nelayan juga diperoleh dari daerah pengoperasian Pulau Pini dengan nilai 1042 ekor. Sebaran data individu ikan target utama untuk ekspor, target utama pasar lokal dan hasil sampingan dapat dilihat pada Gambar 33. Jumlah total individu ikan yang tertangkap berdasarkan jenis bubu terendah diperoleh pada perairan Pulau Karang. Bubu modifikasi pada Pulau Karang

35 117 memperoleh hasil tangkapan target utama sedangkann bubu nelayan 301 ekor. Nilai untuk ekspor untuk ekspor 227 jumlah individu ikan demersal ekor, pada Pulau Karang menunjukkan bahwa pengoperasian bubu di daerah ini memiliki produktivitas yang cukup rendah dibandingkan dengann perairan lainnya. Jumlah Jenis Hasil Tangkapan (ekor) BM BN P. MURSALA BM BN BM BN P. PINI P. NIAS BM BN P. KARANG Perbandingan Jenis Bubu pada 4 DPI HTUE HTUL HTS Gambar 33 Grafik sebaran jumlah individu ikan yang tertangkap Perbandingan produktivitas jumlah individu pada hasil samping menunjukkan nilai yang lebih besar padaa bubu modifikasi (Gambar 33). Pada perairan Pulau Mursala by cacth yang tertangkap 173 ekor sedangkan bubu nelayan 158 ekor. Jenis ikan hasil samping yang tertangkap pada bubu modifikasi didominasi dari ikan butana garis. Ikan ini merupakan jenis ikan hias yang memiliki ukuran tubuh maksimal relatif kecil dan biasanya banyak tinggal di sekitar anemon laut. Ikan hasil samping pada bubu nelayan didominasi oleh jenis trigger fish yang memiliki ukuran menyerupai ikan napoleon dan banyak ditemukan pada sekitar karang keras. Produktivitas hasil tangkapan kedua jenis bubuu ini, makaa menurut FAO (1995) alat tangkap bubu masih memerlukan perbaikan. CCRF menekankan pendekatan biologi pada pengembangan alat tangkap ramah lingkungan dengan kriteria memperkecil spesies hasil tangkapan. Metodee pengoperasian bubu yang menggunakan perendaman cukup lama bisa menjadi penyebab tingginya jumlah individu by catch pada bubu di pantai Barat Sumatera. Metode perendaman bubu di daerah lain pada umumnya hanya menggunakan perendaman maksimal 3 hari seperti yang dikembangkan oleh masyarakat Kupang.

36 118 Nilai persentase hasil tangkapan jumlah individu pada kedua jenis bubu, bubuu nelayan memiliki persentase jumlah individu tertinggi dengan nilai 69,03%. Persentase yang tertinggi pada bubu modifikasi ditemukan pada perairan Pulau Karang dengann nilai 66,37%. Perbandingan sebaran data persentase jumlah individu ikan yang tertangkap pada kedua jenis bubu dapat dilihat pada Gambar 34. Perbandingan Jenis Bubu pada 4 DPI P. MURSALA P. PINI P. NIAS P. KARANG BN BM BN BM BN BM BN BM 53.65% 63.45% 61.11% 63.07% 69.03% 72.74% 61.62% 64.13% 27.81% 18.54% 21.35% 15.20% 23.02% 15.88% 23.99% 12.94% 20.58% 10.39% 18.17% 9.09% 21.30% 17.08% 21.97% 13.90% 0% 20% 40% 60% 80% 100% Presentase Jumlah pada Jenis Hasil Tangkapan HTUE HTUL HTS Gambar 34 Perbandingann persentasee jumlah hasil tangkapan kedua jenis bubu Berdasarkan perbandingan produktivitas menangkap ikan target utama untuk ekspor, empat daerah penangkapan ikan menunjukkan kinerja bubu modifikasi lebih baik daripada bubu nelayan. Bubu modifikasi memperoleh jumlah hasil tangkapan target utama untuk ekspor tertinggii pada perairan Pulau Pini dengan nilai 72%. Produktivitas bubu nelayan dalam menangkap ikan target utama untuk ekspor memperoleh nilaii sebesar 70% juga ditemukan pada perairan Pulauu Pini. Hasil tangkapan sampingan by-catch tertinggi diperoleh dari perairan Pulauu Karang dengan nilai sebesar 20% Secara ekologi, hasil penelitian penangkapan individu ikan di pantai Barat Sumatera menunjukkan bahwa ekosistem yang masih baik akan mempengaruhi hasil tangkapann ikan demersal di daerah tersebut. Pulau karang yang memiliki produktivitas paling rendah di antara daerah lainnya tidak memiliki gugusan karang yang cukup besar sebagai daerah persembunyian ikan karang.

37 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Jenaha Kakap Bakau Gorara Kakap Merah Kakap Putih Kerapu sunu Kerapu lumpur Kerapu macan Kerapu merah Kerapu Minyak Kerapu putih Kuwe Nama Ikan (a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor 8 7 Rata rata Jumlah Ikan Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari Nama Ikan (b) Hasil tangkapan utama untuk lokal 8 7 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam Nama Ikan (c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 35 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Mursala (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan

38 120 Sebaran data jumlah ikan target utama untuk ekspor, target utama pasar lokal dan hasil samping pada perairan Pulau Mursala dapat dilihat pada Gambar 35. Jumlah individu hasil tangkapan bubu modifikasi dan nelayan pada perairan Pulau Mursala didominasi jenis ikan kakap putih (lates calcarifer) dan kerapu macan (Epinepheluts fuscoguttus). Pada bubu nelayan sebaran rata-rata jumlah individu ikan kakap putih memiliki nilai 15 ekor/trip, sedangkan jenis ikan kerapu macan sebesar 13 ekor/trip. Pada bubu modifikasi jumlah individu ikan yang tertinggi berasal dari jenis kerapu macan dengan nilai 10 ekor/trip. Sebaran data penangkapan individu ikan di perairan Pulau Mursala sebagian besar sama dengan daerah penangkapan lain. Produktivitas kedua jenis bubu menangkap ikan target utama pasar lokal memiliki persentase yang cukup berbeda. Pada bubu nelayan, ikan target utama pasar lokal yang tertinggi diperoleh dari jenis ikan ayam-ayam, sedeangkan pada bubu modifikasi ikan target utama pasar lokal paling tinggi berasal dari jenis bayeman (cheilinux undulates). Ikan ayam-ayam (Naso brevisrostris) merupakan ikan dasar yang memiliki pola berenang secara bergerombol. Bila ikan ini tertangkap pada suatu alat tangkap, biasanya akan memiliki jumlah yang cukup besar. Bubu nelayan yang memiliki perendaman lebih lama, memungkinkan ikan dari famili Acanthunidae dapat masuk dan berlingung dalam bubu. Hasil samping pada kedua jenis bubu didominasi oleh jenis ikan butana garis (Acanthurus nubilus). Jumlah hasil tangkapan pada bubu modifikasi rata-rata 6 ekor/trip, sedangkan pada bubu modifikasi 12 ekor/trip. Persentase sebaran hasil tangkapan pada perairan Pulau Pini merupakan hasil yang paling tinggi, jika dibandingkan dengan daerah pengoperasian bubu lainnya. Jenis ikan target utama pada bubu modifikasi didominasi ikan kerapu macan (Epinepheluts fuscoguttus), sedangkan pada bubu nelayan didominasi oleh ikan kakap putih (lates calcarites). Untuk target utama pasar lokal, jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan bubu nelayan berasal adalah ikan ayam-ayam (Naso brevisrostris), sedangkan pada bubu modifikasi didominasi ikan bayeman (Scarus quoyi). Sebaran data jumlah ikan yang tertangkap pada Pulau Pini dapat dilihat pada Gambar 36.

39 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Jenaha Kakap Bakau Gorara Kakap Merah Kakap Putih Kerapu sunu Kerapu lumpur Nama Ikan Kerapu macan Kerapu merah Kerapu Minyak Kerapu putih Kuwe (a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari Nama Ikan (b) Hasil tangkapan utama untuk lokal Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam Nama Ikan (c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 36 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Pini (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan

40 122 Perbandingan produktivitas kedua jenis bubu dalam menangkap by-catch dapat dilihat dari jenis dan jumlah ikan yang tertangkap. Pada perairan Pulau Pini bubu modifikasi memiliki hasil samping yang paling dominan dari jenis ikan butana garis (Acanthurus nubilus), hal yang sama juga diperoleh pada bubu nelayan. Sebaran data hasil tangkapan ikan di Perairan Pulau Pini menunjukkan daerah tersebut sangat potensial sebagai daerah penangkapan ikan demersal. Bubu modifikasi dominan menangkap kerapu macan, sedangkan bubu nelayan dominan menangkap ikan kakap putih. Secara ekonomi produktivitas bubu modifikasi lebih baik daripada bubu nelayan karena nilai jual ikan kerapu macan lebih baik dari kakap putih. Jumlah individu ikan kerapu macan pada bubu modifikasi sebesar 31 ekor/trip sedangkan kakap putih pada bubu nelayan 29 ekor/trip. Rata-rata bobot tangkapan bubu modifikasi kerapu macan di Pulau Pini adalah 41,11 kg, sedangkan bubu nelayan menangkap kakap putih sebesar 35,00kg. Jumlah ikan target utama untuk ekspor yang tertangkap pada perairan Pulau Pini baik pada bubu modifikasi dan nelayan telah melewati ukuran ekonomis untuk ekspor yaitu 1 kg untuk kerapu dan 0,6 kg untuk kakap putih. Dengan melihat produktivitas bubu dalam menangkap ikan target utama untuk ekspor pada perairan Pulau Pini, nelayan dapat mengembangkan usaha bubu dengan memperbaiki metode yang ada saat ini. Produktivitas bubu dalam menangkap jumlah individu hasil samping masih tergolong tinggi. Ikan butana garis (Acanthurus nubilus) dari famili Acanthuridae dapat dijadikan indikator dalam mengukur kinerja kedua jenis bubu. Hasil tangkapan jumlah individu ikan pada perairan Pulau Nias memiliki sebaran yang relatif sama dengan perairan Pulau Pini. Perairan Pulau Nias merupakan daerah yang paling mendekati perairan lepas dan memiliki kedalaman perairan yang paling tinggi diantara ketiga daerah pengoperasian bubu lainnnya. Penyebaran hasil tangkapan utama berdasarkan jumlah individu ikan didominasi oleh kerapu merah (Epinepheluts fuscoguttus) dan kakap putih (lates calcarites). Secara umum sebaran data jumlah hasil tangkapan ikan berdasarkan jenis di perairan Pulau Nias dapat dilihat pada Gambar 37.

41 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Jenaha Kakap Bakau Gorara Kakap Merah Kakap Putih Kerapu Kerapu sunu lumpur Nama Ikan Kerapu macan Kerapu merah Kerapu Minyak (a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor Kerapu putih Kuwe 10 9 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari Nama Ikan (b) Hasil tangkapan utama untuk lokal Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam Nama Ikan (c) Hasil tangkapan sampingan (d) Gambar 37 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Nias (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan

42 124 Ikan target utama pasar lokal berdasarkan jumlah individu, pada bubu modifikasi dan nelayan sama-sama didominasi oleh jenis ikan bayeman (Scarus quoyi). Pada ikan yang menjadi hasil samping bubu modifikasi, jumlah individu yang memiliki ukuran paling tinggi adalah ikan butana garis (Acanthurus nubilus). Nilai rata-rata maksimum hasil tangkapan jumlah ikan bubu nelayan di Pulau Nias adalah 16 ekor/trip, sedangkan bubu modifikasi 20 ekor/trip. Dilihat dari nilai rata-rata hasil tangkapan, bubu yang dioperasikan, bubu modifikasi memperoleh ikan yang memiliki nilai ekonomis lebih baik dari bubu nelayan. Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan ikan yang mendominasi hasil tangkapan bubu modifikasi memiliki nilai jual yang lebih baik dari kakap putih. Ikan bayeman yang tertangkap pada kedua jenis bubu adalah ikan yang mendominasi hasil tangkapan kedua. Ikan ini pada umumnya tertangkap dalam ukuran yang besar relatif besar (> 1kg). Tingginya hasil tangkapan sampingan pada bubu yang dioperasikan pada perairan Pulau Nias dimungkinkan karena proses perendaman bubu yang cukup lama. Ikan demersal yang menjadi hasil sampingan pada perairan Pulau Nias didominasi spesies butana garis (Acanthurus nubilus). Butana garis merupakan jenis kelompok ikan yang memiliki habitat di sekitar anemon laut dan berenang secara berkelompok. Data penangkapan ikan di Pulau Nias memperoleh spesies ikan Triger sp atau Jabung yang rendah. Jabung merupakan ikan karang yang memiliki gigi yang sangat tajam dan sifat predator terhadap sesama ikan demersal. Tertangkapnya ikan ini dalam bubu akan mengurangi produktivitas bubu terhadap jumlah ikan target terutama yang masih berukuran kecil. Jumlah hasil tangkapan individu ikan oleh bubu nelayan pada perairan Pulau Karang menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan bubu modifikasi. Produktivitas sebaran jumlah individu ikan pada perairan Pulau Karang yang tertinggi ditemukan pada spesies kakap putih (Lates calcarites) dengan bobot 9 kg/trip dengan alat tangkap bubu nelayan. Bubu modifikasi memperoleh hasil tangkapan tertinggi pada jenis kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebesar 6 kg/trip. Data sebaran jumlah individu hasil tangkapan bubu di perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Gambar 38.

43 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Jenaha Kakap Bakau Gorara Kakap Merah Kakap Putih Kerapu Kerapu sunu lumpur Nama Ikan Kerapu macan Kerapu merah Kerapu Minyak Kerapu putih Kuwe (a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari Nama Ikan (b) Hasil tangkapan utama untuk lokal Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam Nama Ikan (c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 38 Rata-rata jumlah individu ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Karang (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan

44 126 Secara keseluruhan jumlah spesies ikan yang tertangkap pada bubu konvensial dan bubu modifikasi ada 26 jenis (Lampiran 2). Hasil tangkapan bubu secara umum dalam sembilan kali trip penangkapan didominasi oleh 17 spesies. Kelompok famili utama terdiri dari yaitu Serranidae, Lutjanidae, dan Carangidae. Kelompok target utama untuk ekspor terdiri dari 11 spesies yaitu ikan kerapu macan, kerapu merah, kerapu belang, kerapu lumpur, kakap putih, kakap kuning, kakap merah, lencam, kuwe dan jenaha, sedangkan kelompok target utama pasar lokal yaitu baronang, bayeman, ayam-ayam, pari, ekor kuning dan kurisi. Untuk ikan hasil sampingan terdiri dari 5 spesies yaitu jabung, butana garis, kaci, gabus laut dan platax. Berdasarkan persentase keragaman hasil tangkapan, ikan kerapu lumpur mendominasi jumlah hasil tangkapan selama penelitian dengan nilai 31,95%. Data ini menunjukkan bahwa operasional bubu yang dilakukan di pantai Barat Sumatera sesuai dengan target ikan yang menjadi sasaran. Jenis ikan yang persentasenya lebih kecil terdapat pada spesies ikan kuwe dengan nilai 4,90%. Sebaran data ikan hasil tangkapan pada bubu modifikasi dan nelayan menunjukkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda. Bubu modifikasi dominan menangkap ikan target utama untuk ekspor dari jenis kerapu macan, sedangkan bubu nelayan memiliki hasil tangkapan utama kakap putih dan kerapu macan Komposisi jenis dan bobot hasil tangkapan Hasil penangkapan ikan demersala berdasarkan daerah pengoperasian menunjukkan nilai yang berbeda antara ikan target utama untuk ekspor, target utama pasar lokal dan hasil samping. Bubu modifikasi memiliki bobot hasil tangkapan yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Setiap daerah penangkapan ikan di pantai Barat Sumatera menunjukkan hasil tangkapan bubu didominasi oleh ikan target utama untuk ekspor. Ikan target yang tertangkap pada umumnya berasal dari famili Serranidae (kerapu merah, kerapu macan, kerapu lumpur, kerapu belong, dan kerapu muara), famili Lutjanidae (kakap merah, kakap gorara dan Jenaha), family Centropongidae (kakap putih) dan famili Carangidae (kuwe).

45 127 Hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor bubu modifikasi tertinggi diperoleh dari perairan Pulau Pini sebesar 1282 kg. Penagkapan ikan target utama untuk ekspor untuk bubu modifikasi yang paling rendah terdapat di Pulau Karang sebesar 263 kg. Perbandingan hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor dengan menggunakan bubu nelayan memperoleh hasil yang berbeda. Bubu nelayan tertinggi menangkap ikan target di perairan pulau pini sebesar 1467 kg, sedangkann hasil tangkapan terendah dari Bubu nelayann adalah 308 kg. Hasil tangkapan target utama pasar lokal bubuu adalah jenis ekor kuning (Caesinodae cuning), bayeman (Scarus quoyi), baronang (siganus canaliculuatus), ayam-ayam (Naso brevisrostris) dan kurisi (nimimterus hexodon) dan pari (Dasyatus sp). Target utama pasar lokal yang paling tinggi tertangkap di daerah Pulau Pini dengan bobot 280 kg dari bubu nelayan. Sedangkan target utama pasar lokal yang paling rendah diperoleh dari perairan Pulau Karang dengan bobot 23 kg. Sebaran data penangkapan ikan demersal yang tertangkap pada bubuu nelayan dan bubu modifikasi dapat dilihat pada Gambar 39. Jumlah Jenis Hasil Tangkapan (kg) BM BN P. MURSALA BM P. PINI BN BM BN P. NIAS BM BN P. KARANG Perbandingan Jenis Bubu pada 4 DPI HTUE HTUL HTS Gambar 39 Sebaran data bobot hasil tangkapan bubu berdasarkan DPI Perbandingan yang ditunjukkan dari bobot hasil tangkapan antara bubu nelayan dan bubu modifikasi, memperlihatkan hasil yang lebih besar pada bubu nelayan. Nilai perbandingan bobot hasil tangkapan ini harus distandarisasi dengan jumlah tangkapan per hari operasi. Berdasarkan jumlah bobot hasil tangkapannya, bubu modifikasi memiliki produktivitas harian yang lebih tinggi dibandingkan

46 128 dengan bubu nelayan. Hasil tangkapan bubu nelayan yang paling tinggi dalam satu hari sebesar 23,28 kg, sedangkann bubu modifikasi padaa menghasilkan bobot harian sebesar 35,61 kg. Perbandingan bobot hasil tangkapan ini diperoleh dari perairan Pulau Pini yang paling potensial menangkap ikan demersal. Dalam membandingkan produktivitas bubu, digunakan juga perbandingan persentase jumlah bobot hasil tangkapan dari target utama untuk ekspor sampai padaa by-catch. Nilai perbandingan persentase ini akan mengukur sejauh mana alat tangkap yang digunakann efektif dalam menghasilkan ikan target. Hasil perhitungan persentase bobot hasil tangkapan pada bubuu nelayan modifikasi menunjukkan kedua jenis bubu ini cukup efektif. Nilai dan bubu persentase target utama untuk ekspor lebih besar dari target utama pasar lokal, dan nilai target utama pasar lokal juga lebih besar dari bobot hasil samping. Perbandingan persentase bobot hasil tangkapan bubuu dapat dilihat pada Gambar 40. Perbandingan Jenis Bubu pada 4 DPI P. P. MURSALA P. PINI P. NIAS KARANG BN BM BN BM BN BM BN BM 0% 20% % 59.33% 80.84% 78.24% 83.21% 85.46% 83.47% 76.28% 40% 18.38% 20.33% 16.87% 19.78% 15.59% 13.20% 13.36% 20.85% 60% 80% 100% 18.38% 20.33% 2.29% 1.98% 1.20% 1.34% 3.17% 2.87% Presentase Jumlah pada Jenis Hasil Tngkapan HTUE HTUL HTS Gambar 40 Perbandingan persentase bobot hasil tangkapan bubu Melihat nilai perbandingan persentase bobot hasil tangkapan bubu modifikasi dan nelayan di perairan pantai Barat Sumatera, alat tangkap ini dapat dikategorikan ramah lingkungan. Perbandingann persentase bobot ikan target utama untuk ekspor dan target utamaa untuk ekspor dapat mencapai nilai di atas 75%. Perairan Pulau Pini pada bubu modifikasi mencapai 84,8% dan menghasilkan by-catch sebesar 15,2% %. Bobot jenis hasil tangkapan pada perairan Pulauu Mursala dapat dilihat pada Gambar 41.

47 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Jenaha Kakap Bakau Gorara Kakap Merah Kakap Putih Kerapu sunu Nama Ikan Kerapu lumpur Kerapu macan Kerapu merah Kerapu Minyak Kerapu putih Kuwe (a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor Rata rata Jumlah Ikan Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari Nama Ikan (b) Hasil tangkapan utama untuk lokal 0.8 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam Nama Ikan (c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 41 Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Mursala (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan

48 130 Berdasarkan FAO (1995) terkait dengan kriteria biologi alat tangkap yang ramah lingkungan, bubu yang dikembangkan di pantai Barat Sumatera dapat dikategorikan ramah lingkungan. Pendekatan biologi lain yang dapat dilihat dari bobot hasil tangkapan kedua jenis bubu adalah kemampuan bubu dalam menghasilkan ukuran bobot hasil tangkapan yang relatif sama. Perbandingan produktivitas kedua bubu berdasarkan nilai ekonomi menunjukkan bahwa bubu modifikasi lebih baik dari bubu modifikasi. Aspek ekonomi yang menjadi tolak ukur bobot hasil tangkapan bubu modifikasi dan nelayan menunjukkan bahwa rata-rata hasil tangkapan tetapi memberikan nilai ekonomi yang berbeda. Hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor, kedua dan hasil samping pada masing-masing daerah pengoperasian juga dianalisis dengan tujuan melihat daerah penangkapan yang potensial dikembangkan nelayan Sibolga. Hasil tangkapan kedua jenis bubu di Perairan Pulau Mursala, ikan target yang memiliki bobot tertinggi diperoleh dari spesies kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan rata-rata tangkapan 135 kg/trip. Untuk ikan target yang memiliki bobot paling tinggi diperoleh dari spesies ayam-ayam dengan rata-rata tangkapan 42,03 kg/trip. Total tangkapan hasil samping pada bubu rata-rata diperoleh sebesar 39,96 kg/trip dari jenis butana garis. Berdasarkan produktivitas menangkap ikan target di Pulau Mursala, bubu modifikasi memiliki persentase lebih tinggi jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Bobot hasil tangkapan ikan demersal pada perairan Pulau Pini menunjukkan nilai yang paling tinggi jika dibandingkan dengan perairan lainnya. Sebaran data ikan target utama untuk ekspor pada bubu modifikasi dan bubu nelayan masih didominasi dari keluarga ikan Serranidae, yaitu jenis ikan kerapu. Ikan target utama pasar lokal yang tertangkap pada perairan Pulau Pini berasal dari jenis Bayeman. Sebaran data bobot ikan hasil sampingan pada operasi penangkapan di Pulau Pini didominasi jenis butana garis. Komposisi bobot hasil tangkapan ikan demersal di perairan Pulau Pini dapat dilihat pada Gambar 42.

49 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Jenaha Kakap Bakau Gorara Kakap Merah Kakap Putih Kerapu sunu Nama Ikan Kerapu lumpur Kerapu macan Kerapu merah Kerapu Minyak Kerapu putih Kuwe (a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari Nama Ikan (b) Hasil tangkapan utama untuk lokal 0.7 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam Nama Ikan (c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 42 Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Pini (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan

50 132 Ikan kerapu macan menjadi ikan target utama untuk ekspor yang mendominasi hasil tangkapan di perairan Pulau Pini. Total bobot rata-rata jenis ikan kerapu yang tertangkap pada bubu modifikasi dan nelayan relatif sama. Ikan ini tergolong pada jenis ikan demersal yang tertangkap pada ukuran dewasa. Ikan kerapu macan yang tertangkap pada bubu nelayan memiliki bobot rata-rata 41,11 kg, sedangkan pada bubu modifikasi 38,33 kg. Ikan kerapu yang tertangkap pada bubu modifikasi memiliki bobot rata-rata 2,64 kg. Ikan target utama untuk ekspor yang tertangkap paling sedikit berdasarkan bobot hasil tangkapan berasal dari jenis kakap belang (Lutjanus vita). Jenis ikan baronang (siganus canaliculuatus) yang ditemukan pada perairan ini memiliki bobot yang cukup besar (>0,25 kg) jika dibandigkan dengan ikan baronang yang ada di sekitar pantai. Hasil tangkapan bubu nelayan dan modifikasi di perairan Pulau Nias memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan perairan Pulau Pini dan Pulau Mursala. Jenis kerapu macan masih mendominasi tangkapan utama di perairan Pulau Nias. Perbedaan yang terjadi adalah rasio tangkapan jenis kerapu macan tidak diikuti oleh penangkapan jenis kerapu lainnya. Ikan target utama untuk ekspor yang tertangkap paling banyak setelah kerapu macan adalah kakap putih. Ikan target utama pasar lokal yang ditemukan pada perairan Pulau Nias didominasi oleh jenis bayeman (Scarus quoyi) sebesar 9 kg/trip pada bubu nelayan dan 7 kg/trip pada bubu modifikasi. Hasil tangkapan terendah pada target utama pasar lokal untuk perairan Pulau Nias diperoleh dari jenis ikan baronang dan pari. Ikan baronang yang ditemukan pada bubu nelayan biasanya bersifat musiman dan umumnya tertangkap secara bergerombol. Hasil tangkapan samping yang diperoleh bubu nelayan dan bubu modifikasi pada perairan Nias relatif lebih kecil. Hasil tangkapan sampingan ini didominasi oleh jenis ikan butane garis yaitu ikan yang banyak hidup di sekitar karang lunak. Secara umum sebaran data bobot hasil tangkapan ikan demersal pada perairan Pulau Nias dapat dilahat pada Gambar 43.

51 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Jenaha Kakap Bakau Gorara Kakap Merah Kakap Putih Kerapu sunu Kerapu lumpur Kerapu macan Kerapu merah Kerapu Minyak Kerapu putih Kuwe Nama Ikan (a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor 10 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari Nama Ikan (b) Hasil tangkapan utama untuk lokal 0.9 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam Nama Ikan (c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 43 Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Nias (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil angkapan sampingan

52 134 Perbandingan produktivitas bubu nelayan dan bubu modifikasi pada perairan Pulau Nias dalam memperoleh ikan target utama untuk ekspor terlihat sama untuk semua jenis ikan. Perbedaan produktivitas bubu nelayan dan modifikasi terlihat lebih jelas pada penangkapan ikan target utama pasar lokal yaitu pada jenis ikan bayeman dan kurisi merah. Untuk penangkapan hasil samping, bubu modifikasi lebih efektiv karena menghasilkan jumlah bobot hasil tangkapan yang lebih rendah daripada bubu nelayan. Secara umum dapat dilihat, perbedaan produktivitas bubu pada perairan Pulau Nias lebih baik daripada bubu nelayan. Hal ini sesuai dengan ketetapan FAO (1995) dalam CCRF yang menilai produktivitas suatu alat tangkap dari by catch yang dilebih rendah. Pada perairan Pulau Nias ini juga bubu nelayan telah menangkap ikan kerapu (epinephelus fuscoguttatus) dengan bobot maksimum yaitu 14,2 kg/ekor. Pengoperasian bubu di Pulau Karang memberikan sebaran data bobot hasil tangkapan yang lebih rendah dibandingkan dengan perairan lain. Hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor, kedua dan hasil samping pada perairan Pulau Karang. Penangkapan ikan target melalui bubu modifikasi sangat fluktuatif, sedangkan bubu nelayan relatif lebih stabil untuk semua jenis ikan. Ikan kerapu macan tetap mendominasi bobot hasil tangkapan pada perairan Pulau Karang, Bobot hasil tangkapan rata-rata tertinggi pada ikan target diperoleh sebesar 7,67 kg dari jenis kerapu, sedangkan pada ikan target utama pasar lokal berasal dari jenis ayam-ayam dengan bobot 5,67 kg. Sebaran data bobot hasil tangkapan ikan di perairan Pulau Karang dapat dilihat pada Gambar 44.

53 135 8 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Jenaha Kakap Bakau Gorara Kakap Merah Kakap Putih Kerapu sunu Nama Ikan Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu lumpur macan merah Minyak putih Kuwe (a) Hasil tangkapan utama untuk ekspor 4 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Ayam ayam Baronang Bayeman Ekor Kuning Kurisi Merah Pari Nama Ikan (b) Hasil tangkapan utama untuk lokal 4 Rata rata Jumlah Ikan (ekor) Butana Garis Gabus Laut Ikan Giro Pasir Jabung Kepe kepe Lencam Nama Ikan (c) Hasil tangkapan sampingan Gambar 44 Rata-rata bobot ikan berdasarkan jenis hasil tangkapan di Pulau Karang (a) hasil tangkapan utama untuk ekspor, (b) hasil tangkapan utama untuk lokal, (c) hasil tangkapan sampingan

54 136 Hasil percobaan bubu modifikasi pada pemilihan lokasi penempatan bubu yang sama memberikan dampak yang signifikan jika dibandingkan dengan hasil tangkapan bubu nelayan setempat. Ukuran bobot hasil tangkapan ikan memiliki keseragaman yang lebih tinggi, sedangkan nilai by-catch dari bubu rmodifikasi lebih rendah dari bubu nelayan. Bobot tangkapan rata-rata ikan yang terbesar pada bubu modifikasi berdasarkan lokasi pengoperasian terdiri dari kerapu macan (135 kg/trip), kakap putih (65 kg/trip) dan kerapu lumpur (59 kg/trip). Untuk perbandingan bobot tertinggi pada daerah pengoperasian yang sama, bubu nelayan memperoleh bobot tertinggi 41,11 kg dari jenis kerapu macan, sedangkan bubu modifikasi memperoleh 38,33 kg dari jenis yang sama.. Bagi nelayan bubu nelayan, hasil tangkapan ikan target terutama dari famili Serranidae telah memberikan keuntungan tersendiri dalam menutupi biaya operasionalnya. Bila nelayan mampu menghasilkan kerapu merah dengan bobot rat-rata individu di atas 1 kg sebanyak 50 kg sudah mencukupi biaya operasional yang dikeluarkan. Ukuran hasil tangkapan turut mempengaruhi nilai ekonomi ikan yang dihasilkan. Bobot rata-rata individu ikan dari kelompok kerapu minimal 1000 gram, untuk kelompok kakap minimal 600 gram, dan kelompok kuwe minimal 500 gram. Ukuran ikan di bawah ukuran ekonomi akan dijual di pasar lokal dan mengakibatkan harga menjadi turun. Dari ketiga kelompok ikan yang tertangkap ternyata ikan yang ditemukan pada bubu modifikasi memiliki umur yang telah matang gonad. Pada ikan target khususnya dari famili serranidae bobot tertinggi untuk satu ekor ikan diperoleh sebesar 14,2 kg dari spesies kerapu macan. Ikan-ikan ini justru banyak diburuh karena ukuran nilai ekonomis yang diminta pasar ekspor. Komposisi tangkapan bubu terhadap ikan target utama untuk ekspor pada bubu modifikasi tidak berbeda nyata dengan bubu nelayan. Nilai rata-rata hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor bubu konevensional 281 kg/trip, sedangkan nilai rata-rata hasil tangkapan bubu modifikasi 299 kg/trip. Bubu modifikasi menghasilkan ikan target yang lebih baik jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Perbandingan fluktuasi hasil tangkapan bubu terhadap ikan target dari 9 kali pengoperasian dapat dilihat seperti pada Gambar 45.

55 137 Target kedua 13,90 Hasil sampi ngan, 10,80 % Target utama 75,28 % Hasil sampi ngan 23,99 % Target kedua 18,34 % Target utama 57,66 % (a) (b) Gambar 45 Perbandingan komposisi hasil tangkapan; (a) komposisi hasil tangkapan bubu modifikasi; (b) komposisi hasil tangkapan bubuvnelayan Berdasarkan komposisi hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor, target utama pasar lokal dan hasil samping, bubu modifikasi dan nelayan memiliki hasil yang berbeda. Hasil tangkapan ikan target padaa bubu modifikasi diperoleh sebesar 75,28% sedangkan ikan target utama untuk ekspor pada bubu nelayan sebesar 57,66%. Dataa hasil tangkapan menunjukkan bahwa lamanya perendaman bubu dalam air tidak memberikan hasil tangkapan yang lebih besar terhadap ikan target pada pengoperasian bubu. Nilai perbandingan ikan target utama pasar lokal pada bubu modifikasi diperoleh sebesar 13,90%, sedangkann bubu nelayan 18,34%. Perbandingan nilai jumlah individu ikan target utama pasar lokal menunjukkan bahwa bubu modifikasi sedikit lebih baik daripada bubu nelayan Ukuran panjang ikan hasil tangkapan Penyebaran habitat dan kecepatan pertumbuhan ikan demersal sangat dipengaruhi oleh kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan. Ikan karang akan bermigrasi ke tempatt lain yang lebih sesuai (cocok) apabila habitatnya tercemar. Perkembanga larva di tempat pemijahan (spawning area) sangat tergantung pada persediaan makanan. Tingkat keberhasilan rekruitment telur/larva menjadi ikan dewasa juga sangat tergantungg pada kehadiran hewan pemangsa (predator) disekitar spawning area (Simbolon, 2011).

56 138 Hasil pengamatan ukuran panjang ikan pada penelitian ini didasarkan pada jenis ikan demersal ekonomis penting yang tertangkap pada bubu nelayan dan bubu modifikasi. Jenis ikan tersebut antara lain: kerapu merah, kerapu macan, kakap merah, kakap putih, jenaha dan kuwe. Keenam jenis ikan ini merupakan ikan ekonomis penting yang mendominasi hasil tangkapan nelayan. Panjang ukuran rata-rata kerapu merah yang tertangkap pada bubu nelayan sedikit berbeda dengan hasil tangkapan bubu modifikasi. Bubu nelayan memiliki dominasi hasil tangkapan kerapu merah pada ukuran panjang 24 sampai 36 cm. Hasil tangkapan kerapu merah yang memiliki ukuran paling panjang berdasarkan daerah penangkapannya ditemukan pada perairan Pulau Pini. Sebaran data panjang ikan kerapu merah hasil tangkapan bubu nelayan dan bubu modifikasi dapat dilihat pada Gambar 46. Daerah Penangkapan Ikan Pulau Karang Pulau Mursala Pulau Nias Pulau Pini Kerapu Merah Jumlah Ikan (ekor) Selang cm Selang cm Selang cm Gambar 46 Sebaran data panjang ikan kerapu merah hasil tangkapan bubu Bubu modifikasi memberikan hasil tangkapan dengan ukuran panjang ikan yang lebih baik daripada bubu nelayan. Bubu modifikasi dominan menangkap ikan kerapu merah pada ukuran 37 sampai 49 cm, sedangkan ukuran ikan kerapu merah yang tertangkap bubu nelayan berada pada kisaran 24 sampai 36 cm. Ukuran ikan paling panjang hasil tangkapan bubu berdasarkan daerah penangkapan ditemukan pada daerah perairan Pulau Pini. Ukuran ikan pada selang 50 sampai 62 cm ditemukan sebanyak 12 ekor pada bubu modifikasi dan

57 ekor pada bubu nelayan. Hasil pengukuran ikan kerapu merah pada selang 37 sampai 49 cm ditemukan pada perairan Pini dengan jumlah 77 ekor. Hasil penangkapan kerapu macan merupakan hasil tangkapan yang paling dominan ditemukan pada bubu. Hasil tangkapan paling banyak ditemukan pada selang ukuran 38 sampai 52 cm dengan jumlah 176 ekor. HAsil tangkapan pada selang ukuran 53 sampai 67 cm juga ditemukan pada perairan Pulau Pini, hasil tangkapan ini ditemukan pada bubu modifikasi dengan jumlah individu58 ekor. Sebaran data ukuran panjang hasil tangkapan bubu berdasarkan daerah penangkapannya dapat dilihat pada Gambar 47. Daerah Penangkapan Ikan Pulau Karang Pulau Mursala Pulau Nias Pulau Pini Kerapu Macan Jumlah Ikan (ekor) Selang cm Selang cm Selang cm Gambar 47 Sebaran data panjang ikan kerapu macan hasil tangkapan bubu Secara umum penyebaran hasil tangkapan kerapu macan berdasarkan daerah penangkapannya menunjukkan nilai yang berbeda satu sama lain. Pulau Mursala merupakan daerah penangkapan yang memiliki hasil tangkapan bubu modifikasi dengan ukuran paling baik. Dari 102 ekor ikan yang ditemukan di Pulau Mursala hanya 14 ekor yang memiliki ukuran 23 sampai 37 cm. Rata-rata hasil tangkapan ikan kerapu macan yang diperoleh dari bubu modifikasi berada pada selang ukuran yang sesuai dengan permintaan pasar yaitu lebih dari 30 cm. Hasil tangkapan ikan kakap merah berdasarkan daerah penangkapan paling tinggi ditemukan pada perairan Pulau Pini. Hasil penangkapan ini masih

58 140 sama dengan hasil tangkapan kerapu merah dan kerapu macan. Selang ukuran 33 sampai 45 cm paling banyak ditemukan pada perairan Pini dengan jumlah 38 ekor. Selang ukuran panjang 46 sampai 58 cm tertinggi juga ditemukan pada perairan Pulau Pini dengan jumlah 9 ekor. Ukuran ikan dengan selang 20 sampai 32 cm paling rendah ditemukan pada Pulau Karang dan Mursala dengan jumlah 10 ekor. Sebaran panjang hasil tangkapan kakap merah secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 48. Daerah Penangkapan Ikan Pulau Karang Pulau Mursala Pulau Nias Pulau Pini Kakap Merah Jumlah ikan (ekor) Selang cm Selang cm Selang cm Gambar 48 Sebaran data panjang ikan kakap merah hasil tangkapan bubu Hasil tangkapan bubu terhadap jenis kakap merah pada selang ukuran 20 sampai 32 cm masih trergolong cukup besar. Total hasil tangkapan kakap merah pada Pulau Pini yang diperoleh bubu modifikasi sebesar 79 ekor, hanya 9 ekor diantaranya yang telah mencapai ukuran pada selang 46 sampai 56 cm. Penangkapan kakap merah dengan sebaran data yang cukup tinggi pada ukuran di bawah 32 cm (Gambar 48) dapat mengancam keberlangsungan sumberdaya ikan tersebut. Berdasarkan jenis bubu, penangkapan kakap merah terhadap ukuran panjang ikan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Bubu modifikasi dan bubu nelayan masih memiliki hasil yangkapan yang cukup rendah pada ukuran 46 sampai 58 cm. Hasil penangkapan kakap putih berdasarkan daerah penangkapan ikan memiliki pola yanh hamper sama. Sebanyak 172 ekor kakap putih pada perairan

59 141 Pulai Pini ditemukan pada selang ukuran panjang 20 sampai 32 cm. Untuk daerah penangkapan lain, sebaran data panjang ikan kakap putih juga didominasi pada ukuran di bawah 32 cm. Hasil pengukuran terhadap ikan kakap putih berdasarkan jenis bubuu menunjukkan bubu nelayan lebih dominan memperoleh ikan pada selang 20 sampai 32 cm jika dibandingkan dengan bubu modifikasi. Secara umum sebaran data panjang ikan kakap putih dapat dilihat pada Gambar 49. Daerah Penangkapan Ikan Pulau Karan g Pulau Mursa la Pulau Nias Pulau Pini Kakap Putih Jumlah Ikan (ekor) Selang cm Selang cm Selang cm Gambar 49 Sebaran data panjang ikan kakap putih hasil tangkapan bubuu Sebaran data panjang ikan kuwe hasil tangkapan bubu menunjukkann nilai tertinggi pada selang 19 sampai 26 cm. Ukuran ikan kuwe hasil tangkapan bubu relatif lebih kecil dari ikan ekonomis penting lain yang dihasilkan bubu. Ukuran selang panjang yang paling rendah pada penangkapa an ikan kuwe justru berada pada selang 35 sampai 42 cm. Ukuran ikan ini rata-rata masih berada di bawah length at first maturity. Pada kondisi seperti ini keberlangsungan sumberdayaa ikan kuwe akibat pengoperasian bubuu dapat terancam. Sebaran data panjang ikan kuwe hasil tangkapan bubuu dapat dilihat pada Gambar 50.

60 142 Daerah Penangkapan Ikan Pulau Karang Pulau Mursala Pulau Nias Pulau Pini Kuwe Jumlah Ikan (ekor) Selang cm Selang cm Selang 19 26cm Gambar 50 Sebaran data panjang ikan kuwe hasil tangkapan bubu Hasil tangkapan ikan jenaha (Lutjanus argentimaculatus) menunjukkan perbedaan pada bubu modifikasi dan bubu nelayan. Sebaran data panjang ikan jenaha yang tertangkap bubu dapat dilhat pada Gambar 51. Daerah Penangkapan Ikan Pulau Karang Pulau Mursala Pulau Nias Pulau Pini Jenaha Jumlah Ikan (ekor) Selang cm Selang cm Selang cm Gambar 51 Sebaran data panjang ikan jenaha hasil tangkapan bubu Hasil pengukuran ikan yang tertangkap pada bubu nelayan untuk jenis ikan target yaitu famili Serranidae, Carangidae dan Lutjanidae diperoleh panjang minimum 22 cm dan panjang maksimum 55 cm. Panjang minimum ikan target diperoleh dari jenis ikan kerapu lumpur, sedangkan panjang maksimum diperoleh

61 143 dari jenis ikan kerapu muara. Untuk kelompok ikan target utama pasar lokal, panjang maksimum diperoleh dari jenis ikan pari dengan ukuran 60 cm dan yang terkecil berasal dari jenis ikan ayam-ayam dengan ukuran 14 cm. Untuk hasil tangkapan bubu modifikasi, ukuran ikan yang paling panjang berasal dari kelompok famili Serranidae, yaitu jenis kerapu lumpur dengan panjang 58 cm. Untuk jenis ikan target yang memiliki ukuran rata-rata paling kecil berasal dari jenis kakap yaitu family Lutjanidae. Ukuran ikan yang terpendek dari kakap yang tertangkap adalah 17 cm, sedangkan ukuran yang paling panjang diperoleh sebesar 40 cm dari jenis kakap merah. Pada bubu modifikasi jenis ikan non target yang tertangkap terkecil berasal dari jenis butane garis dengan ukuran 9 cm. Ukuran ikan non target seperti ikan hias dan butane garis pada bubu modifikasi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Berdasarkan hasil pengukuran struktur biologi ikan, bubu kawat nelayan Sibolga yang menggunakan mesh size 2 inchi sudah termasuk alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan pengukuran hasil tangkapan ikan target yang paling kecil adalah 14 cm dari famili carangidae dengan bobot 140 gr/ekor dan yang terbesar adalah 56 cm dengan bobot gram/ekor dari famili serranidae. Jika usaha peningkatan produktivitas hasil tangkapan yang memperhatikan kelestarian ikan diperhatikan, maka modifikasi bubu nelayan sibolga sebaiknya lebih memperhatikan teknik operasi bubu yang sering dianggap merusak Terumbu karang Pengaruh jenis bubu terhadap berat hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu modifikasi dan bubu nelayan menunjukkan nilai yang berbeda pada setiap daerah pengoperasian. Bobot hasil tangkapan tertinggi pada bubu modifikasi diperoleh dari perairan Pulau Pini dengan nilai 278 kg. Bubu konvesional memiliki bobot hasil tangkapan tertinggi pada perairan Pulau Pini dengan nilai 258 kg. Perbedaan jenis bubu pada daerah pengoperasian yang berbeda memberikan hasil tangkapan bobot ikan bervariasi. Berdasarkan jenis bubu, hasil tangkapan ikan demersal secara keseluruhan ditemukan lebih besar pada bubu nelayan daripada bubu modifikasi. Bubu

62 144 modifikasi memperoleh hasil tangkapan total sebesar kg, sedangkan bubu nelayan sebesar 4455 kg. Total berat target utama untuk ekspor yang diperoleh bubu modifikasi adalah 2794 kg dan bubu nelayan adalah 2569 kg. Secara umum perbandingan nilai bobot ini telah menunjukkan perbedaan antara setiap jenis bubu. Hasil ini perlu dibuktikan secara statistika, apakah jenis bubu yang berbeda telah memberikan pemngaruh yang nyata terhadap bobot hasil tangkapan. Untuk meilihat pengaruh penentuan daerah penangkapan ikan dan jenis bubu yang berbeda terhadap hasil tangkapan digunakan data berat (kg) dan jumlah individu (ekor). Data berat dan jumlah individu merupakan dasar pengambilan keputusan apakah kedua faktor yaitu DPI dan jenis bubu memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan. Hasil perhitungan total hasil tangkapan kedua jenis bubu berdasarkan bobot hasil tangkapan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Bobot hasil tangkapan berdasarkan DPI (kilogram) Jenis bubu Bubu modifikasi Bubu nelayan Daerah penangkapan ikan P. Pini P. Nias P. Mursala P Karang Berdasarkan daerah penangkapannya, bubu modifikasi dan bubu nelayan sama-sama memperoleh hasil tangkapan tertinggi pada perairan Pulau Pini. Nilai tangkapan tertinggi pda perairan Pulau Pini adalah 278 kg, sedangkan bobot terendah diperoleh dari perairan Pulau Karang yaitu 32 kg. Karakteristik daerah

63 145 penangkapan yang cukup berbeda memberikan hasil tangkapan terhadap bobot menjadi bervariasi. Perbedaan hasil tangkapan berdasarkan daerah penangkapan ikan dibuktikan dengan melakukan analisis faktorial. Hasil analisis faktorial, pengaruh daerah pengoperasian bubu terhadap bobot (kg) ikan hasill tangkapan memberikan nilai F hitung 132,56. Nilai F hitung yang lebih tinggi dari F tebel menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan penempatan bubu pada daerah penangkapan yang berbeda terhadap bobot hasil tangkapan. Sinergis dengan pengaruh daerah penangkapan, jenis bubu memberikan nilai F hitung (12,57) lebih besar dari nilai F tabel (3,09) (Lampiran 7). Nilai ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan jenis bubu nelayan dan bubu modifikasi terhadap bobot hasil tangkapan. Bubu modifikasi yang cenderung stabil karena dilengkapi pemberat dan metode penempatan yang peluang bubu terbalik kecil menghasilkan bobot tangkapan yang lebih baik. Bubu yang terletak secara sempurna dalam air akan menyebabkan ikan lebih mudah masuk, karena jenis bubu pantai Barat Sumatera hanya memiliki satu bukaan mulut. Untuk interaksi diantara perlakuan DPI dan jenis bubu diperoleh nilai F hitung sebesar 58,90 dengan nilai F tabel 5,11. Hasil analisis interaksi faktorial telah menunjukkan adanya interaksi antara jenis bubu dan daerah pengoperasian bubu terhadap bobot hasil tangkapan. Secara keseluruhan pengaruh pemberian perlakuan terhadap bobot ikan hasil tangkapan bubu memberikan pengaruh yang nyata. Hasil penangkapan pada daerah yang memiliki terumbu karang mendukung alat tangkap bubu dalam peningkatan bobot hasil tangkapan. Keberdaan ekosistem karang telah membantu ikan demersal dalam mencari makan, berlindung dan tumbuh secara konsisten. Sesuai dengan penelitian Risamasu (2008) penempatan bubu pada ekosistem karang yang baik akan meningkatkan hasil tangkapan secara sugnifikan. Migrasi ikan karang berukuran dewasa tidak akan terjadi jika ketersediaan makanan di sekitar lingkungannya masih tercukupi.

64 Pengaruh jenis bubu terhadap jumlah hasil tangkapan Jumlah individu ikan hasil tangkapan kedua jenis bubu memberikan hasil yang bervariasi. Pulau Pini merupakan perairan yang memiliki hasil tangkapan individu ikan terbesar. Bubu modifikasi pada perairan Pulau Pini menghasilkan tangkapan tertinggi dengan nilai 234 ekor, sedangkan bubu nelayan pada perairan Pulau Pini menghasilkan jumlah tertingg 210 ekor. Nilai ini tentunya harus dibuktikan dengan melihat apakah jenis bubu memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan. Sebaran jumlah individu ikan yang tertangkap dengan pengoperasian bubu disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan DPI (ekor) Jenis bubu Bubu modifikasi Bubu nelayan Daerah penangkapan ikan P. Pini P Nias P Mursala P Karang Jumlah individu ikan yang tertangkap pada daerah pengoperasian Pulau Pini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai hasil tangkapan Pulau Nias, Mursala dan Karang. Penggunaan jenis bubu yaitu bubu nelayan dan bubu modifikasi juga memberikan jumlah individu hasil tangkapan yang berbeda. Bubu modifikasi pada daerah Pulau Pini menghasilkan jumlah individu yang lebih besar, tetapi bubu modifikasi pada daerah pengoperasian Pulau Karang memberikan hasil tangkapan

65 147 yang lebih kecil jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Untuk melihat pengaruh dua faktor yaitu DPI dan jenis bubu terhadap jumlah individu hasil tangkapan dilakukan analisis faktorial dengan tabel sidik ragam. Berdasarkan hasil analisis faktorial pengaruh daerah penangkapan terhadap jumlah individu ikan menunjukkan bahwa nilai F hitung 27,01 lebih besar dari F critical 3,09 (Lampiran 8). Kesimpulan yang dapat diberikan terhadap hipotesa, daerah penangkapan ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah individu ikan yang tertangkap. Ikan demersal adalah ikan yang bersifat soliter dan mendiami sebuah ekosistem tidak dalam waktu yang singkat. Hasil penangkapan ikan pada bubu yang ditempatkan pada empat wilayah perairan pantai Barat Sumatera memberikan hasil yang berbeda. Ikan kerapu, kakap dan triger merupakan ikan yang jumlah individu mendominasi pada bubu. Ikan kerapu dan kakap merupakan endemik asli perairan demersal yang mencari makan dan berlindung di sekitar dasar perairan. Pengamatan jenis bubu terhadap jumlah individu hasil tangkapan, nilai F hitung sebesar 0,41 menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan jenis bubu terhadap jumlah individu ikan. Jumlah individu ikan pada bubu modifikasi di perairan Pulau Karang tertinggi 64 ekor sedangkan bubu nelayan 106 ekor. Nilai hasil tangkapan jenis bubu yang berbeda ternyata tidak berpengaruh untuk setiap wilayah percobaan. Jumlah individu ikan pada pada bubu modifikasi di Pulau Pini lebih besar dari pada bubu nelayan sedangkan pada Pulau Karang sebaliknya. Jumlah individu ikan ini memiliki jenis dan keanekaragaman yang berbeda. Pada bubu nelayan, ikan yang tertangkap didominasi oleh jenis ikan karang berupa ikan triger dan ikan ikan hias yang lebih menyukai sela-sela karang sebagai tempat tinggal. Hasil analisis interaksi diantara dua faktor yang digunakan, nilai F hitung interaksi perlakuan diperoleh sebesar 12,01 sedangkan F ctabel 5,11. Nilai F menggambarkan adanya pengaruh yang signifikan faktor interaksi dua perlakuan terhadap jumlah individu ikan hasil tangkapan bubu.

66 Keberlanjutan Usaha Bubu Keberlanjutan usaha bubu dalam pengembangan perikanan demersal di Sibolga dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan teknis, yaitu dengan mengukur tingkat efisiensi bubu. Tingkat efisiensi bubu membandingkan antara bubu nelayan dengan bubu modifikasi. Pendekatan kedua adalah pendekatan ekonomi, berupa kelayakan usaha bubu. Kelayakan usaha bubu memperhitungkan analisis rugi laba dan investment kriteria Tingkat efisiensi bubu Efesiensi bubu diukur dari berapa banyak bubu dapat dioperasikan dalam satu kali operasi, kemudian berapa umur teknis satu unit bubu dan berapa hasil yang mampu diberikan bubu dalam setiap unitnya. Produktivitas alat tangkap ini menggunakan persamaan seperti yang telah dituliskan dalam metodologi. Besarnya produktivitas bubu diperoleh dari banyaknya ikan yang ditangkap dalam satu unit bubu dibagi jumlah trip. Hasil analisis produktivitas bubu modifikasi dalam penelitian ini memperoleh tangkapan 117,21 kg/unit sedangkan bubu yang dioperasikan nelayan 103,28 kg/unit. Jumlah tangkapan maksimum satu unit bubu modifikasi dengan perendaman 4 hari adalah 164 kg/unit sedangkan bubu yang dioperasikan nelayan dengan perendaman 7 sampai 10 hari 108,20 kg/unit. Hasil tangkapan ikan target utama untuk ekspor yang dihasilkan bubu modifikasi mencapai 75,28% dan ikan target utama untuk ekspor pada bubu nelayan 57,66%. Nilai efisiensi bubu modifikasi terhadap target utama untuk ekspor sebesar 88,23 kg/unit, sedangkan pada bubu nelayan sebesar 58,87 kg/unit. Jika hasil ini dihubungkan dengan nilai ekonomi maka keberlangsungan usaha nelayan bubu yang mengoperasikan bubu modifikasi ternyata memberikan keuntungan yang relatif lebih besar. Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif pada dua metode pengoperasian bubu yang berbeda diperoleh perbedaan nilai standar deviasi yang cukup tinggi. Data pada bubu modifikasi memiliki standar deviasi sebesar 28,36 sedangkan pada bubu yang dioperasikan nelayan 4,53. Hal ini menunjukkan

67 149 bahwa data yang diperoleh dari bubu modifikasi memiliki sebaran data yang cukup besar, dengan kata lain kemampuan satu unit bubu menghasilkan berapa kg ikan belum konsisten atau bersifat fluktuatif. Nilai standar deviasi pada bubu nelayan sebesar 4,53 menunjukkan hasil tangkapan yang relatif konsisten. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hasil tangkapan bubu sangat beragam, diantaranya adalah komposisi hasil tangkapan ikan target yang cenderung besar pada bubu modifikasi. Bubu nelayan memiliki hasil tangkapan yang relatif sama, kendati demikian besarnya angka hasil tangkapan non target adalah nilai yang turut mempengaruhi jumlah hasil tangkapan satu unit bubu. Efisiensi bubu berdasarkan terjadinya ghost fishing juga menjadi variabel yang diperhatikan. Berdasarkan posisi setting dan hauling yang dilakukan pada bubu modifikasi, pergeseran bubu akibat arus maupun saat proses penjatuhan relatif kecil atau kurang dari 3 menit. Pemberian pemberat secara seimbang telah membantu gerak jatuh benda menjadi lebih stabil. Pemberian pelampung pada bagian atas selimut bubu juga memastikan mulut bubu tidak terbalik atau memposisikan bubu menjadi vertikal. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, ada beberapa penyebab bubu hilang saat dioperasikan. Hal pertama yang paling logis adalah pergeseran arus dasar yang terjadi pada sekitar wilayah penempatan bubu. Walaupun secara statistik kedua percobaan penempatan bubu dengan pemberat seimbang dan bubu nelayan tidak berbeda nyata, namun kehilangan 2-3 unit bubu pada daerah Pulau Karang telah meningkatkan biaya operasional pengusaha bubu. Bubu yang dioperasikan pada penelitian ini (bubu modifikasi) secara keseluruhan dapat ditemukan kembali. Hal ini disebabkan tali ris merentang secara sempurna sehingga proses pencarian bubu paling lama terjadi hanya di Pulau Karang yang membutuhkan waktu sekitar 45 menit Kelayakan usaha bubu Perikanan tangkap membutuhkan keberlanjutan ekonomi agar dapat memenuhi kebutuhan hidup stakeholder dan konsumen. Keberlanjutan ekonomi perikanan bubu pada penelitian ini dikaji dengan menghitung kelayakan usaha

68 150 unit penangkapan bubu. Kelayakan usaha akan dihitung dengan analisis finansial cashflow dan analisis investment criteria. Hasil perhitungan nilai investasi usaha bubu nelayan sebesar Rp ,00 sedangkan bubu modifikasi sebesar Rp ,00. Nilai investasi diperoleh dari modal yang harus ditanamkan pemilik kapal terhadap: satu unit kapal, satu unit alat akustik, 100 unit bubu dan perlengkapan lain seperti tali. Hasil analisis kelayakan usaha bubu modifikasi dan nelayan menunjukkan perbandingan yang cukup signifikan (Lampiran 9 dan 10). Nilai perbandingan analisis kelayakan usaha bubu modifikasi dan nelayan dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Perbandingan analisis kelayakan usaha bubu nelayan dan bubu modifikasi Parameter Bubu nelayan Bubu modifikasi NPV Rp ,00 Rp ,00 IRR 42,40% 57,91% NET B/C 2,13 2,90 Π Rp ,00 Rp ,00 R/C 2,47 2,61 PP 19 bulan 11 bulan BEP Rp ,00 Rp ,00 Nilai Net Present Value (NPV) kelayakan usaha untuk ke dua jenis bubu menunjukkan angka lebih dari 1, artinya pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera masih layak untuk dikembangkan. Nilai NPV yang diperoleh telah dihitung dengan discount rate sebesar 12%. Bubu modifikasi memiliki NPV lebih besar dibandingkan bubu nelayan. Berdasarkan nilai IRR, bubu modifikasi memiliki nilai yang lebih baik dari pada bubu nelayan yaitu 57,91% berbanding 42,40%. Artinya kedua jenis bubu ini layak untuk dikembangkan karena tingkat keuntungan dari suku bunga yang diperoleh lebih dari tingkat suku bunga bank yang berlaku. Nilai IRR sangat dipengaruhi oleh metode pengoperasian yang dilakukan oleh nelayan Sibolga. Bubu nelayan memiliki masa perendaman yang lebih lama dari bubu modifikasi. Fakta tersebut mendorong jumlah operasional bubu nelayan pada umur teknis yang sama lebih rendah dibandingkan bubu modifikasi yang pengoperasiannya hanya 4 hari.

69 151 Berdasarkan B/C ratio, bubu modifikasi tetap memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan bubu nelayan. Perbandingan B/C pada bubu modifikasi adalah 2,90 sedangkan perbandingan B/C bubu nelayan adalah 2,13. Perbandingan B/C ini menunjukkan perbandingan antara keuntungan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan selama umur teknis alat tangkap. Berdasarkan 3 kriteria dari investment criteria menunjukkan bahwa bubu modifikasi lebih baik dibandingkan bubu nelayan. Berdasarkan perhitungan nilai rugi laba, laba yang diperoleh dari bubu nelayan dan bubu modifikasi, masing-masing adalah Rp ,00 dan Rp ,00. Perbandingan pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan pada bubu nelayan sebesar 2,47 sedangkan pada bubu modifikasi sebesar 2,61. Nilai pada bubu modifikasi tetap menunjukkan nilai yang lebih tinggi, artinya usaha bubu modifikasi lebih layak. Jangka waktu pengembalian investasi yang ditanamkan pada bubu nelayan (PP) adalah 19 bulan sedangkan PP pada bubu modifikasi adalah 11 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bubu modifikasi mengembalikan modal/investasi lebih cepat dibandingkan bubu nelayan. Artinya bubu modifikasi lebih layak daripada bubu nelayan secara pengembalian modal. Analisis anggaran parsial atau partial budget analysis dilakukan untuk mengevaluasi akibat yang disebabkan oleh perbahan-perubahan dalam metode produksi suatu usaha. Dalam analisis anggaran parsial hanya diperhatikan faktorfaktor yang ada kaitannya dengan perubahan. Dalam usaha bubu nelayan Sibolga, ada beberapa variabel yang mengalami perubahan antara lain; analisis parsial mengenai kemungkinan penggunaan 1 bubu kawat untuk berapa trip penangkapan, kemungkinan hilangnya bubu saat pengoperasian dan fluktuasi hasil tangkapan antara ikan target dan non target. Sedangkan waktu penggunaan satu bubu diperkirakan hanya memiliki umur teknis 3 bulan, umur kapal 5 tahun, umur tali 1 tahun dan alat akustik 5 tahun. Hasil perhitungan nilai BEP menunjukkan pendapatan minimum yang harus diperoleh nelayan untuk mendapatkan keadaan impas (tidak untung maupun rugi) selama umur teknis unit penangkapan bubu. Nilai BEP bubu nelayan adalah Rp ,00 sedangkan nilai BEP untuk bubu modifikasi lebih tinggi yaitu

70 152 sebesar Rp ,00. Lebih tingginya BEP pada bubu modifikasi disebabkan adanya penambahan investasi pada unit penangkapan berupa penambahan pelampung dan pemberat pada bubu. 5.6 Pengembangan Perikanan Bubu Prioritas pengembangan Identifikasi model pengembangan perikanan demersal melalui pengoperasian bubu difokuskan pada tiga aspek yaitu: 1) perbaikan teknik operasi (PTO), 2) peningkatan nilai produktivitas (PNP), 3) peningkatan nilai efisiensi (PNE). Setiap fokus pada strategi pengembangan perikanan demersal dibagi menjadi tiga kriteria. Matriks analysis hierarchy process (AHP) dari pengembangan perikanan demersal dapat dilihat pada Gambar 52. PTO 0,759 TMT 0,401 LDS 0,106 MDT 0,252 PTU 0,103 BBK 0,227 Pengembangan Perikanan Bubu PNP 0,159 PBC 0,019 PGF 0,037 BBM 0,773 NPV 0,044 PNE 0,082 BCR 0,024 ROI 0,013 Gambar 52 Hasil analisis prioritas pengembangan perikanan demersal

71 153 Keterangan gambar: Kriteria Keterangan BBK bubu nelayan BBM bubu modifikasi BCR peningkatan B/C rasio LDS landing sempurna MDT mudah ditemukan NPV peningkatan NPV PBC pengurangan by catch PGF pengurangan ghost fishing PNE peningkatan nilai efisiensi PNP peningkatan nilai produksi PTO perbaikan teknik operasi PTU peningkatan target utama ROI Return of Investment cepat TMT tidak merusak terumbu Tiga kriteria yang perlu untuk diperbaiki pada fokus PTO adalah tidak merusak terumbu karang (TMT), landing dengan sempurna (LDS) dan mudah ditemukan (MDT). Bubu seringkali dianggap tidak ramah lingkungan karena banyak merusak terumbu karang. Hal ini disebabkan proses saat penjatuhan bubu maupun saat pencarian bubu di dalam laut yang dilakukan secara acak, tanpa mengetahui dengan pasti letak terumbu karang. Penggunaan gancu juga menambah potensi kerusakan pada terumbu karang. Pendaratan bubu sangat mempengaruhi hasil tangkapan, jika bubu jatuh di dasar perairan pada posisi yang tidak tepat maka kemungkinan ikan terperangkap akan semakin kecil. Bubu juga harus memiliki kriteria mudah ditemukan dengan kata lain tidak mengalami pergeseran yang jauh dari saat setting. Bubu yang sulit untuk ditemukan akan memperpanjang waktu hauling sehingga berimplikasi terhadap bahan bakar yang digunakan dan menyebabkan meningkatnya biaya operasi penangkapan. Bubu yang terlalu lama tidak ditemukan akan dianggap hilang sehingga menjadi penyebab ghost fishing. Kriteria yang penting untuk diperhatikan pada PNP antara lain: peningkatan target utama untuk ekspor (PTU), pengurangan nilai by-catch (PBC) dan pengurangan ghost fishing (PGF). Alat tangkap yang efektif adalah alat tangkap yang dapat menangkap spesies target dengan jumlah yang lebih banyak dibanding hasil tangkapan sampingan. By-catch adalah hasil tangkapan yang tidak dapat dimanfaatkan atau memiliki nilai ekonomi rendah. By-catch pada bubu

72 154 merupakan ikan hias yang memiliki nilai ekonomi tinggi jika ditangkap dalam kondisi hidup, namun pada saat hauling ikan-ikan tersebut kebanyakan dalam kondisi mati. Nelayan bubu tidak memiliki sistem penyimpanan untuk ikan hidup sehingga ikan hias tidak dapat dijual dengan harga tinggi, ikan-ikan ini biasanya diasinkan untuk konsumsi nelayan. Ghost fishing akan merusak sistem ekologi di perairan, karena alat penangkap ikan yang hilang akan terus menangkap ikan sedangkan manusia tidak dapat memanfaatkannya. Hal ini terjadi pada bubu nelayan yang beroperasi di Pulau Karang, untuk itu PGF menjadi kriteria pada PNP. PNE memiliki tiga kriteria yang harus diperhatikan, yaitu: peningkatan pendapatan selama umur teknis alat tangkap (NPV), peningkatan perbandingan antara keuntungan dengan biaya yang dikeluarkan (B/C) dan tingkat kecepatan pengembalian investasi (ROI). Hasil perhitungan kelayakan usaha pada unit penangkapan bubu menunjukkan bahwa bubu modifikasi memiliki kelayakan usaha lebih tinggi daripada bubu nelayan. Hal ini ditunjukkan pada nilai NPV dan B/C rasio bubu modifikasi yang lebih tinggi, serta pengembalian investasi bubu modifikasi yang lebih cepat dibandingkan dengan bubu nelayan. Hasil analisis AHP menunjukkan pengembangan usaha perikanan demersal melalui pengoperasian bubu diprioritaskan pada perbaikan teknik operasi. Nilai analisis AHP secara berurut untuk PTO adalah 0,759, PNP 0,159 dan PNE adalah 0,082. Berdasarkan prioritas pengembangan jenis alat tangkap dari perbandingan bubu nelayan dan modifikasi diperoleh nilai koefisien internal bubu modifikasi 0,773 sedangkan bubu nelayan 0,277. Berdasarkan nilai yang telah dianalisis menggunakan AHP, bubu modifikasi memiliki peluang yang lebih baik sebagai prioritas utama penangkapan ikan demersal. Perbaikan metode pengoperasian yang digambarkan pada AHP dilakukan dengan pendaratan bubu yang sempurna, teknik pengangkatan bubu yang tidak merusak karang dan bubu mudah untuk ditemukan atau tidak mengalami pergeseran yang cukup jauh. Hasil analisis rasio prioritas pada pengoperasian bubu di Sibolga dapat menggambarkan bahwa perbaikan teknik operasi akan mempengaruhi peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai ekonomi bagi nelayan. Urutan

73 155 prioritas dari inventarisasi pendapat stakeholder di Sibolga dapat dilihat pada Gambar 53. Gambar 53 Prioritas pengambilan kebijakan berstruktur Gambaran urutan prioritas menunjukkan hubungan yang sinergis antara perbaikan teknik pengoperasian bubu dengan peningkatan nilai produktivitas bubu. Perbandingan nilai produktivitas pada bubu modifikasi juga telah menggambarkan, bahwa teknik pengoperasian bubu kovnesional dengan metode saat ini menghasilkan nilai yang lebih kecil. Lamanya sistem pengoperasian dan besarnya biaya telah mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan di Sibolga Perumusan strategi pengembangan Berdasarkan hasil analisis SWOT pada faktor-faktor internal dan eksternal, perikanan bubu masih memiliki potensi yang cukup besar dikembangkan di Sumatera. Hasil perhitungan bobot faktor internal menunjukkan nilai 2,96 sedangkan faktor eksternal menunjukkan nilai 2,79. Hal ini menggambarkan bahwa perikanan demersal di pantai Barat Sumatera memiliki kekuatan dan peluang yang besar. Tabel 30 dan Tabel 31, masing-masing menunjukkan faktor internal dan faktor eksternal perikanan demersal menggunakan alat tangkap bubu di pantai Barat Sumatera. Nilai IFAS memiliki banyak kekuatan yang mendukung perikanan demersal di pantai Barat Sumatera. Kekuatan tersebut disebabkan potensi sumberdaya ikan demersal yang tersedia cukup banyak, lokasi yang sangat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal

6 PEMBAHASAN 6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal 163 6 PEMBAHASAN 6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal oleh nelayan Sibolga khususnya melalui operas penangkapan dengan bubu masih memiliki peluang

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base. 31 4 HASIL 4.1 Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Kapal Jumlah perahu/kapal yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari 124 perahu/kapal tanpa motor, 376 motor tempel, 60 kapal motor 0-5 GT dan 39

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad yang telah dilakukan di perairan pantai Cirebon, daerah Kecamatan Gebang, Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian. 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data untuk kebutuhan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga Mei 2011 bertempat di Sibolga Propinsi Sumatera Utara (Gambar 3).

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 43 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dalam dua kali tahapan yaitu mengevaluasi pengoperasian bubu yang dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai Agustus 2011. Penelitian tahap

Lebih terperinci

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang sangat mempengaruhi, seperti arus pasang dan arus surut.

Lebih terperinci

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

Gambar 6 Peta lokasi penelitian. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dimulai dengan penyusunan proposal dan penelusuran literatur mengenai objek penelitian cantrang di Pulau Jawa dari

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Daerah Kecamatan Pulau Tiga merupakan salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Natuna yang secara geografis berada pada posisi 3 o 34 30 3 o 39

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 14 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengamatan tingkah laku ikan pada proses penangkapan ikan dengan alat bantu cahaya dilakukan di perairan Kabupaten Barru Selat Makassar, Sulawesi

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon (Lampiran 1). Survey dan persiapan penelitian seperti pencarian jaring,

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 25 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu daerah penghasil

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

4 HASIL. Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar. 1)

4 HASIL. Kabupaten Bangka Selatan dapat dilihat pada Gambar. 1) 4 HASIL 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan daerah Kabupaten Bangka Selatan merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang resmi menjadi daerah otonom sejak tanggal 25 Februari

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas perairan wilayah yang sangat besar. Luas perairan laut indonesia diperkirakan sebesar 5,4 juta km 2 dengan garis pantai

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara geografis terletak pada 104 0 50 sampai 109 0 30 Bujur Timur dan 0 0 50 sampai 4 0 10 Lintang

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian peranan apartemen ikan pada penangkapan ikan dengan pancing ulur ini dilakukan di perairan Kota Cirebon dengan berpusat di Pangkalan Pendaratan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA

TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA Agus Salim Teknisi Litkayasa pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 29 Mei 2008; Diterima

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan SAMBUTAN Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayahnya serta kerja keras penyusun telah berhasil menyusun Materi Penyuluhan yang akan digunakan bagi

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 25 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu daerah penghasil

Lebih terperinci

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta (Gambar 9) terletak pada 5 o 55 30-6 o 07 00 Lintang Selatan dan 106 o 42 30-106 o 59 30 Bujur Timur. Batasan di sebelah

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH Teknik Penangkapan Ikan Sidat..di Daerah Aliran Sungai Poso Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang, yang dilengkapi dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga dimana kapal dapat bertambat untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk mempresentasikan data kecepatan angin dalam bentuk mawar angin sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR Pengaruh Penggunaan Mata Pancing.. terhadap Hasil Tangkapan Layur (Anggawangsa, R.F., et al.) PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCNG GANDA PADA RAWA TEGAK TERHADAP HASL TANGKAPAN LAYUR ABSTRAK Regi Fiji Anggawangsa

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penangkapan Ikan Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha manusia untuk menghasilkan ikan dan organisme lainnya di perairan, keberhasilan usaha penangkapan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

Lampiran 1. Desain dan spesifikasi alat tangkap gillnet dan trammel net. Gillnet

Lampiran 1. Desain dan spesifikasi alat tangkap gillnet dan trammel net. Gillnet Lampiran 1. Desain dan spesifikasi alat tangkap gillnet dan trammel net Gillnet Keterangan: 1. Tali pelampung 2. Pelampung 3. Tali ris atas 4. Badan jarring 5. Tali ris bawah 6. Tali pemberat 7. Pemberat

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERIKANAN BUBU UNTUK KEBERLANJUTAN USAHA NELAYAN SIBOLGA LUCIEN PAHALA SITANGGANG

PENGEMBANGAN PERIKANAN BUBU UNTUK KEBERLANJUTAN USAHA NELAYAN SIBOLGA LUCIEN PAHALA SITANGGANG PENGEMBANGAN PERIKANAN BUBU UNTUK KEBERLANJUTAN USAHA NELAYAN SIBOLGA LUCIEN PAHALA SITANGGANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar 21 3METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada tanggal 15 September 11 Desember 2010 ini bertempat di TPI Palabuhanratu. Sukabumi Jawa Barat. Kegiatan penelitian meliputi eksperimen langsung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Kotamadya Medan merupakan salah satu daerah penghasil ikan di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan penghasil ikan yang produktif di daerah ini ialah Kecamatan Medan Belawan. Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN PERAIRAN PELABUHAN

BAB III PERENCANAAN PERAIRAN PELABUHAN BAB III PERENCANAAN PERAIRAN PELABUHAN III.1 ALUR PELABUHAN Alur pelayaran digunakan untuk mengarahkan kapal yang akan masuk ke dalam kolam pelabuhan. Alur pelayaran dan kolam pelabuhan harus cukup tenang

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA LAPORAN PRAKTIKUM REKLAMASI PANTAI (LAPANG) REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA Dilaksanakan dan disusun untuk dapat mengikuti ujian praktikum (responsi) mata kuliah Reklamasi Pantai Disusun Oleh :

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

BAB IV ALTERNATIF PEMILIHAN BENTUK SALURAN PINTU AIR

BAB IV ALTERNATIF PEMILIHAN BENTUK SALURAN PINTU AIR Penyusunan RKS Perhitungan Analisa Harga Satuan dan RAB Selesai Gambar 3.1 Flowchart Penyusunan Tugas Akhir BAB IV ALTERNATIF PEMILIHAN BENTUK SALURAN PINTU AIR 4.1 Data - Data Teknis Bentuk pintu air

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun 37 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Aspek Teknis Perikanan Purse seine Aspek teknis merupakan aspek yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan, yaitu upaya penangkapan, alat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa serta Selat Karimata di bagian utara dengan Samudera Hindia di bagian selatan. Topografi perairan ini secara

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 40 V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km 2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km 2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km 2 atau

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA

4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA 4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA 4.1 Gambaran Umum Kecamatan Tobelo 4.1.1 Kondisi kewilayahan Kecamatan Tobelo 1) Letak geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak pada posisi koordinat 0 o 40

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Teknik Unit penangkapan pancing rumpon merupakan unit penangkapan ikan yang sedang berkembang pesat di PPN Palabuhanratu. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci