Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Sebelumnya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Sebelumnya"

Transkripsi

1 Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya tentang Pengelompokkan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Indikator Kemiskinan Dengan Metode Cluster Analysis. Peneliti ini melakukan pengelompokkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur berdasarkan indikator kemiskinan dengan 14 variabel dan melakukan evaluasi terhadap hasil pengelompokkan yang telah terbentuk pada masing-masing metode penggabungan dan jarak kedekatan (Komariyah dkk, 2011). Berbeda dengan penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan data Provinsi Jawa Tengah hanya menggunakan variabel pengangguran, berobat sendiri, tabungan dan pendidikan yang di tamatkan dengan penyelesaian algoritma linkage serta jarak kedekatan euclid. Peneliti lain meneliti tentang Evaluasi dan Perbandingan Algoritma Clustering Hierarki Agglomerative Single dan Complete Linkage dengan Fungsi Minimum Rastrigin dan Rosenbrock Menggunakan Iterasi Newton Raphson. Maksud dari penelitian ini adalah menerapkan, mengevaluasi dan membandingkan kedua algoritma cluster hirarki berdasarkan studi pustaka. Sehingga dapat diperoleh berbagai informasi yang berhubungan dengan analisis cluster dan optimasi (Mualvi, 2009). Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini membahas Clistering Hierarki 1

2 2 agglomerative single linkage, complete linkage dan average linkage dengan menggunakan perhitungan jarak Euclidean Distance. 2.2 Landasan Teori Kemiskinan Miskin adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya (BPS, 2004). Kemiskinan merupakan suatu masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi yang lebih tinggi (Muljono, 2010). Kemiskinan hampir menjadi problem di hampir semua negara. Tak perduli apakah negara maju atau negara yang sedang berkembang. Tingkat kekompleksitas masalahnya pun berbeda antar negara menyelesesaikan masalah kemiskinan. Di Indonesia, sebagai negara berkembang angka kemiskinan masih cukup tinggi. Karena itu, pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) membuat kriteria kemiskinan, agar dapat menyusun secara lengkap pengertian kemiskinan sehingga dapat diketahui dengan pasti jumlahnya dan cara tepat menanggulanginya. Pengertian kemiskinan antara satu negara dengan negara lain juga berbeda. Pengertian kemiskinan di Indonesia dibuat oleh BPS. Lembaga tersebut mendefinisikan kemiskinan dengan membuat kriteria besarannya pengeluaran per

3 3 orang per hari sebagai bahan acuan. Dalam konteks itu, pengangguran dan rendahnya penghasilan menjadi pertimbangan untuk penentuan kriteris tersebut. Kriteria statistik BPS tahun 2012 tersebut adalah: 1. Tidak miskin adalah mereka yang pengeluaran per orang per bulan lebih dari Rp Hampir tidak miskin dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp s/d. Rp atau sekitar antara Rp s/d. Rp per orang per hari. Jumlanya mencapai 27,12 juta jiwa. 3. Hampir miskin dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp s/d Rp atau sekitar antara Rp s/d Rp per orang per hari. Jumlahnya mencapai 30,02 juta 4. Miskin dengan pengeluaran per orang perbulan per kepala Rp kebawah atau sekitar Rp kebawah per orang per hari. Jumlahnya mencapai 31 juta 5. Sangat miskin (kronis) tidak ada kriteria berapa pengeluaran per orang per hari. Tidak diketahui dengan pasti berapa jumlas pastinya. Namun, diperkirakan mencapai sekitar 15 juta. Berdasarkan kriteria kemiskinan yang dilansir oleh BPS tersebut menunjukan jumlah keluarga miskin di Indonesia cukup besar. Total jumlah penduduk Indonesia kalau dihitung dengan kriteria pengeluaran per orang hari Rp kebawah, mencapai sekitar 103,14 juta jiwa. Angka kemiskinan tersebut tentu sangat besar untuk ukuran negara kaya sumber daya alam seperti Indonesia. Namun, hal tersebut tak membantu masyarakat mengatasi

4 4 kekurangannya. Selain itu, sebaran angka kemiskinan dari BPS, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2011, jumlah penduduk miskin di desa selalu lebih besar dibanding dengan di kota. Salah satu sumbangan kenaikan angka kemiskinan di desa antara lain, rendahnya tingkat pendidikan, banyak yang jadi buruh tani karena ketidaan lahan dan banyknya anak dalam satu keluarga. Untuk tahun 2011, sebaran angka kemiskinan berjumlah 63,2 % ada di desa, sedang 36,8 % berada di perkotaan. Kemiskinan di perkotaan disebabkan, lowongan kerja sempit dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (BPS, 2012). Pada umumnya di negara Indonesia penyebab-penyebab kemiskinan adalah sebagai berikut: a. Laju Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk Indonesia terus meningkatdi setiap 10 tahun menurut hasil sensus penduduk. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 1990 Indonesia memiliki 179 juta lebih penduduk.kemudian di sensus penduduk tahun 2000 penduduk meningkat sebesar 27 juta penduduk atau menjadi 206 juta jiwa. dapat diringkaskan pertambahan penduduk Indonesia persatuan waktu adalah sebesar setiap tahun bertambah 2,04 juta orang pertahun atau, 170 ribu orang perbulan atau orang perhari atau 232 orang/jam atau 4 orang/menit. Banyaknya jumlah penduduk ini membawa Indonesia menjadi negara ke-4 terbanyak penduduknya setelah China, India dan Amerika. Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesia semakin terpuruk dengan keadaan ekonomi

5 5 yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak sebanding dengan jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus ditanggung membuat penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. b. Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran Secara garis besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja ialah penduduk yang berumur didalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap negara yang satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi setiap orang atau semua penduduk berumur 10 tahun tergolong sebagai tenaga kerja. Sisanya merupakan bukan tenaga kerja yang selanjutnya dapat dimasukan dalam katergori beban ketergantungan. Tenaga kerja (manpower) dipilih pula kedalam dua kelompok yaitu angkatan kerja (labor force) dan bukan angkatan kerja. Yang termasuk angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang bekerja atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak bekerja, dan yang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk sebagai bukan angkatan kerja adalah tenaga kerja dalam usia kerja yang tidak sedang bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak sedang mencari pekerjaan, yakni orang-orang yang kegiatannya bersekolah, mengurus rumahtangga, serta orang yang menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya. Selanjutnya angkatan kerja dibedakan pula

6 6 menjadi dua subkelompok yaitu pekerja dan penganggur. Yang dimaksud dengan pekerja adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang bekerja maupun orang yang memilki pekerjaan namun sedang tidak bekerja. Adapun yang dimaksud dengan pengangguran adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan. c. Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Kriteria ketidak merataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah (penduduk miskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpendapatan tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan dan ketidak merataan distribusi dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12 persen pendapatan nasional. Ketidak merataan dianggap sedang atau moderat bila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati 12hingga 17 persen pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk miskin menikmati lebih dari 17 persen pendapatan nasional makan ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dikatakan cukup merata. (Dumairy, 1996) Pendapatan penduduk yang didapatkan dari hasil pekerjaan yang mereka lakukan relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari

7 7 sedangkan ada sebagian penduduk di Indonesia mempunyai pendapatan yang berlebih. Ini disebut juga sebagai ketimpangan. Ketimpangan pendapatan yang ekstrem dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi. Penyebabnya sebagian adalah pada tingkat pendapatan rata ± rata bearapa pun, ketimpangan yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman atau sumber kredit. Selain itu ketimpangan dapat menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien. Ketimpangan yang tinggi menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi dengan mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar, dan kemudian menyebabkan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar (Todaro,2006). Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk dan aspek atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah tetapi ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Ketimpangan sektoral dan regional dapat ditengarai antara lain dengan menelaah perbedaan mencolok dalam aspek ± aspek seperti penyerapan tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan. Sepanjang era PJP I (lima pelita) yang lalu, sektor pertanian rata ± rata hanya tumbuh 3,54 persen per tahun. Sedangkan sektor industri pengolahan tumbuh dengan rata-rata 12,22 persen per tahun.

8 8 Di Repelita VI sektor pertanian saat itu ditargetkan tumbuh rata-rata 3,4 persen per tahun, sementara pertumbuhan rata-rata tahunan sektor industri pengolahan ditargetkan 9,4 persen per tahun. Tidak sepertimasa era PJP I, dimana dalam pelita-pelita tertentu terdapat sektor lain yang tingkat pertumbuhannya lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan sektor industry pengolahaan, selama Repelita VI tingkat pertumbuhan sektor ini dicanangkan yang tertinggi suatu hal yang terencana dan memang disengaja terkait dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara industry. Akan tetapi sampai sejauh manakah ketimpangan ini dapat ditolerir? Pemerintah perlu memikirkan kembali perihal ketepatan keputusan menggunakan industrialisasi sebgai jalur pembangunan karena akan sangat berdampak bagi pendapatan penduduk dan selanjutnya kemiskinan (Dumairy, 1996). d. Tingkat pendidikan yang rendah Rendahnya kualitas penduduk juga merupakan salah satu penyebab kemiskinan di suatu negara Ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan tenaga kerja. Untuk adanya perkembangan ekonomi terutama industry, jelas sekali dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang mempunyai skill atau paling tidak dapat membaca dan menulis. Menurut Schumaker pendidikan merupakan sumber daya yang terbesar manfaatnya dibandingkan faktor-faktor produksi lain ( Irawan, 1999).

9 9 e. Kurangnya perhatian dari pemerintah Pemerintah yang kurang peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat miskin dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan. Pemerintah tidak dapat memutuskan kebijakan yang mampu mengendalikan tingkat kemiskinan di negaranya. Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan (BPS, 2007). Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) merupakan ukuran ratarata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin (BPS SulBar). 2.3 Analisis Cluster Ada beberapa devinisi tentang analisis cluster dari beberapa literatur sebagai berikut: Definisi 1: Analisis klaster adalah suatu analisis statistika yang bertujuan memisahkan objek ke dalam beberapa kelompok yang mempunyai sifat berbeda antar kelompok yang satu dengan yang lain (Prayudho, 2007:1). Definisi 2:

10 10 Analisis cluster adalah teknik analisis yang mengelompokkan observasi dalam grup atau klaster, seperti: 1. Masing-masing grup atau klaster bersifat homogen, yakni observasi pada tiap kelompok memiliki kemiripan satu sama lain. 2. Masing-masing grup akan berbeda dengan grup yang lainnya karena mempunyai karakteristik yang berbeda, yakni observasi dari satu kelompok harus berbeda dari observasi kelompok yang lainnya (Sharma, 1996:185). Definisi 3: Analisis cluster adalah suatu teknik yang secara otomatis menilai objek ke dalam kelompok yang belum diketahui berdasarkan pehitungan tingkat kesamaan di antara objek (Santoso, dkk, 2001:334 dalam Arwendria, 2009). Analisis cluster merupakan suatu kelas teknik, dan dipergunakan untuk mengklasifikasi obyek atau kasus ke dalam kelompok yang relatif homogen, yang disebut cluster. Obyek dalam setiap kelompok cenderung mirip satu sama lain dan berbeda jauh (tidak sama) dengan obyek dari cluster lainnya (Supranto, 2004). Pengelompokkan dilakukan berdasarkan kemiripan (similarity) antar obyek. Kemiripan diperoleh dengan cara meminimalkan jarak antar obyek dalam kelompok (within-cluster) dan memaksimalkan jarak antar kelompok (between-cluster) (Jaya, 2011). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan cluster hirarki aglomerative untuk penyelesaian studi kasus ini. Tipe dasar dalam metode hirarki adalah aglomerasi dan pemecahan. Dalam metode aglomerasi tiap observasi pada mulanya dianggap sebagai cluster tersendiri sehingga terdapat cluster sebanyak jumlah observasi.

11 11 Kemudian dua cluster yang terdekat kesamaannya digabung menjadi suatu cluster baru, sehingga jumlah cluster berkurang satu pada tiap tahap. Sebaliknya pada metode pemecahan dimulai dari satu cluster besar yang mengandung seluruh observasi, selanjutnya observasiobservasi yang paling tidak sama dipisah dan dibentuk clustercluster yang lebih kecil. Proses ini dilakukan hingga tiap observasi menjadi cluster sendiri-sendiri. Hal penting dalam metode hirarkhi adalah bahwa hasil pada tahap sebelumnya selalu bersarang di dalam hasil pada tahap berikutnya, membentuk sebuah pohon. 2.4 Single linkage method Single Linkage adalah proses pengklasteran yang didasarkan pada jarak terdekat antar objeknya. Jika dua objek terpisah oleh jarak yang pendek, maka kedua objek tersebut akan digabung menjadi satu klaster dan demikian seterusnya. D(XY)Z = min {dxz,dyz} Dimana : D(XY)Z = jarak antara cluster XY dengan obyek Z dxz = jarak antara cluster XZ dyz = jarak antara cluster YZ 2.5 Complete linkage method Complete Linkage Method adalah proses pengklasteran yang didasarkan pada jarak terjauh antar objek. Jika dua objek terpisah oleh jarak yang jauh, maka kedua objek tersebut akan digabung menjadi satu klaster dan demikian seterusnya. D(XY)Z = max {dxz,dyz} Dimana : D(XY)Z = jarak antara cluster XY dengan obyek Z

12 12 dxz dyz = jarak antara cluster XZ = jarak antara cluster YZ 2.6 Average linkage method Average Linkage Method adalah proses pengklasteran yang didasarkan pada jarak rata-rata antar objeknya. D(XY)(ZA) = ½ {dxz,dyz,dxa,dya} Dimana : D(XY)(ZA) = jarak antara cluster XY dengan obyek ZA dxz = jarak antara cluster XZ dyz = jarak antara cluster YZ dxa = jarak antara cluster XA dya = jarak antara cluster YA Gambar 2.1 Prosedur klaster

13 13 Dari gambar 2.1 untuk mengelompokkan data yang ingin kita peroleh, bisa menggunakan perhitungan jarak dengan Euclidean Distance. Jika dimasukkan kedalam rumus misalkan ukuran jarak antara dua item X dan Y. D(X,Y)= [(X i -X j ) 2 +(Y i -Y j ) 2 ] 1/2 Dimana: D(X,Y) = Jarak item X dan Y X i X j Y i = X 1,X 2,X 3...X i,x j = X 1,X 2,X 3...X i,x j = Y 1,Y 2,Y 3...Y i,y j Y j = Y 1,Y 2,Y 3...Y i,y j Sebelum dilakukan penghitungan jarak dengan metode jarak Euclidean, peubah yang akan dianalisis harus memenuhi 3 syarat, yaitu: peubah tidak saling berkorelasi, memiliki satuan pengukuran yang sama, dan pengukuran terstandarisasi (Manly, 1988). Uji Normalitas merupakan uji yang sering dilakukan sebagai prasyarat untuk melakukan analisis data, banyak sekali metode analisi yang mensyaratakan data harus normal misalnya analisis regresi dan lain sebagainya, bahkan ada juga yang uji normalitas pada residual model statistika. Uji normalitas dilakukan sebelum data diolah berdasarkan model-model penelitian yang diajukan. Uji normalitas data bertujuan untuk mendeteksi distribusi data dalam suatu variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak untuk membuktikan model-model penelitian tersebut adalah data yang memiliki distribusi normal (Dunistika, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. 7). Analisis ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu analisis dependensi dan

BAB I PENDAHULUAN. 7). Analisis ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu analisis dependensi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Analisis multivariat merupakan analisis multivariabel yang berhubungan dengan semua teknik statistik yang secara simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis statistik multivariat adalah metode statistik di mana masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Analisis statistik multivariat adalah metode statistik di mana masalah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Analisis statistik multivariat adalah metode statistik di mana masalah yang diteliti bersifat multidimensional dengan menggunakan tiga atau lebih variabel

Lebih terperinci

LABORATORIUM DATA MINING JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA. Modul II CLUSTERING

LABORATORIUM DATA MINING JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA. Modul II CLUSTERING LABORATORIUM DATA MINING JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA Modul II CLUSTERING TUJUA PRAKTIKUM 1. Mahasiswa mempunyai pengetahuan dan kemampuan dasar dalam

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN

TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVI, 02 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2016 No. 40/07/72/Th. XIX, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2016 RINGKASAN Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Tengah selama periode 2012 2016 cenderung mengalami

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. linier, varian dan simpangan baku, standarisasi data, koefisien korelasi, matriks

BAB II KAJIAN TEORI. linier, varian dan simpangan baku, standarisasi data, koefisien korelasi, matriks BAB II KAJIAN TEORI Pada bab II akan dibahas tentang materi-materi dasar yang digunakan untuk mendukung pembahasan pada bab selanjutnya, yaitu matriks, kombinasi linier, varian dan simpangan baku, standarisasi

Lebih terperinci

Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016

Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016 Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016 Rana Amani Desenaldo 1 Universitas Padjadjaran 1 rana.desenaldo@gmail.com ABSTRAK Kesejahteraan sosial adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,

Lebih terperinci

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN MARET 2015

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN MARET 2015 Nomor : 049/08/63/Th. XIX, 15 September 2015 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN MARET 2015 Persentase penduduk miskin di Kalimantan Selatan pada September 2014 tercatat 4,81 persen

Lebih terperinci

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN SEPTEMBER 2015

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN SEPTEMBER 2015 Nomor : 04/01/63/Th. XX, 04 Januari 2016 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN SEPTEMBER Persentase penduduk miskin di Kalimantan Selatan pada Maret tercatat 4,99 persen dan pada September

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN MARET 2014 Nomor : 038/07/63/Th. XVIII, 01 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN MARET 2014 Tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan selama periode September 2013 Maret 2014 mengalami

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2015 No. 54/09/72/Th. XVIII, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2015 RINGKASAN Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Tengah selama periode 2011 2015 terus

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 05/01/72/Th. XVIII, 02 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER RINGKASAN Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Tengah selama periode 2010 terus mengalami

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2011 No. 05/01/72/Th. XV, 02 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER RINGKASAN Perkembangan selama lima tahun terakhir yaitu periode 2007- jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2016

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2016 No.06/01/81/Th. XX,03 Januari 2017 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada dibawah Garis Kemiskinan) di Maluku

Lebih terperinci

Analisis Cluster, Analisis Diskriminan & Analisis Komponen Utama. Analisis Cluster

Analisis Cluster, Analisis Diskriminan & Analisis Komponen Utama. Analisis Cluster Analisis Cluster Analisis Cluster adalah suatu analisis statistik yang bertujuan memisahkan kasus/obyek ke dalam beberapa kelompok yang mempunyai sifat berbeda antar kelompok yang satu dengan yang lain.

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 37/07/34/Th.XV, 1 Juli 2013 TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat

BAB I PENDAHULUAN. (growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi suatu Negara secara umum beroreintasi pada pertumbuhan (growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat kegiatan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar daerah, dimana perbedaan antar daerah merupakan konsekuensi logis dari perbedaan karakteristik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa diberlakukannya Otonomi Daerah, untuk pelaksanaannya siap atau tidak siap setiap pemerintah di daerah Kabupaten/Kota harus melaksanakannya, sehingga konsep

Lebih terperinci

No.01/07/81/Th. XX,17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada dibawah Garis Kemiskinan) di Maluku pada bulan Maret

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN 05/01/Th.XII, 03 JANUARI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan September

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah garis kemiskinan (poverty line), kurangnya tingkat pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. bawah garis kemiskinan (poverty line), kurangnya tingkat pendidikan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2015 No. 05/01/72/Th. XIX, 04 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2015 RINGKASAN Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Tengah selama periode 2011 2015 terus

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 38/07/34/Th.XVI,1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 34/07/33/Th. IV, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemiskinan merupakan masalah yang dialami secara global dan telah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemiskinan merupakan masalah yang dialami secara global dan telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang dialami secara global dan telah terjadi sejak dahulu kala. Kemiskinan sangat terkait dengan kepemilikan modal, kepemilikan lahan,

Lebih terperinci

No.06/07/81/Th. XVIII,18 Juli 2016 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada dibawah Garis Kemiskinan) di Maluku

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN SEPTEMBER 2014 Nomor : 005/07/63/Th. XIX, 02 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN SEPTEMBER 2014 Tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan pada Bulan September 2014 adalah sebesar 4,81

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 6/07/33/Th. III/1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 04/01/32/Th. XVIII, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2015 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.05/01/16 Th. XVII, 02 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI SUMATERA SELATAN (KEADAAN SEPTEMBER TAHUN ) RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ini juga harus disertai

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ini juga harus disertai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada suatu wilayah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ini juga harus disertai dengan pemerataan pada tiap-tiap

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN 07/07/Th. XI, 18 JULI 2016 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik. Perencanaan berfungsi sebagai alat koordinasi antar lembaga pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik. Perencanaan berfungsi sebagai alat koordinasi antar lembaga pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara tidak terlepas dari proses perencanaan yang baik. Perencanaan berfungsi sebagai alat koordinasi antar lembaga pemerintahan untuk

Lebih terperinci

METODE CLUSTERING DENGAN ALGORITMA K-MEANS. Oleh : Nengah Widya Utami

METODE CLUSTERING DENGAN ALGORITMA K-MEANS. Oleh : Nengah Widya Utami METODE CLUSTERING DENGAN ALGORITMA K-MEANS Oleh : Nengah Widya Utami 1629101002 PROGRAM STUDI S2 ILMU KOMPUTER PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2017 1. Definisi Clustering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2016 No. 04/01/72/Th. XX, 03 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER RINGKASAN Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Tengah selama periode 2012 cenderung mengalami

Lebih terperinci

PENENTUAN JUMLAH CLUSTER OPTIMAL PADA MEDIAN LINKAGE DENGAN INDEKS VALIDITAS SILHOUETTE

PENENTUAN JUMLAH CLUSTER OPTIMAL PADA MEDIAN LINKAGE DENGAN INDEKS VALIDITAS SILHOUETTE Buletin Ilmiah Math. Stat. dan Terapannya (Bimaster) Volume 05, No. 2 (2016), hal 97 102. PENENTUAN JUMLAH CLUSTER OPTIMAL PADA MEDIAN LINKAGE DENGAN INDEKS VALIDITAS SILHOUETTE Nicolaus, Evy Sulistianingsih,

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 47/08/32/Th.XVIII, 5 Agustus 2016 TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT MARET 2016 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan Maret

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2013 No. 05/01/72/Th. XVII, 02 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER RINGKASAN Perkembangan selama lima tahun terakhir yaitu periode 2009, jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik analisis yang

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik analisis yang BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan indeks pembangunan manusia juga telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2017 No. 39/07/72/Th. XX, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2017 RINGKASAN Perkembangan penduduk miskin di Sulawesi Tengah selama periode 2013 2017 meskipun secara absolut terlihat meningkat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011 No. 05/01/33/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki oleh

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI SUMATERA SELATAN (KEADAAN SEPTEMBER TAHUN 2013)

TINGKAT KEMISKINAN DI SUMATERA SELATAN (KEADAAN SEPTEMBER TAHUN 2013) BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.05/01/16 Th. XVI, 02 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI SUMATERA SELATAN (KEADAAN SEPTEMBER TAHUN ) RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Kondisi Ketenagakerjaan terus menunjukkan perbaikan. Pada bulan ruari 2011, TPT Aceh tercatat 8,27%, sementara TPAK juga menunjukkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN BPS PROVINSI SULAWESI TENGGARA 07/01/Th. X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi

Lebih terperinci

*Corresponding Author:

*Corresponding Author: PERBANDINGAN KINERJA METODE COMPLETE LINKAGE DAN AVERAGE LINKAGE DALAM MENENTUKAN HASIL ANALISIS CLUSTER (Studi Kasus: Produksi Palawija Provinsi Kalimantan Timur 2014/2015) Silvia Ningsih 1, Sri Wahyuningsih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya didasarkan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya didasarkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya didasarkan pada hubungan satu variabel atau dua variabel saja, akan tetapi cenderung melibatkan banyak variabel. Analisis

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 6/07/33/Th. II/1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya dan penyediaan lapangan pekerjaan, juga menginginkan adanya

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 02 / 07 Th.XI / Juli PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010 RINGKASAN Meskipun Penduduk miskin Provinsi NTT pada Maret 2010 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Maret

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Traveling Salesmen Problem (TSP) Travelling Salesman Problem (TSP) merupakan sebuah permasalahan optimasi yang dapat diterapkan pada berbagai kegiatan seperti routing. Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indikator pekerjaan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. indikator pekerjaan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada Era globalisasi yang semakin berkembang maka pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, hal ini menyebabkan taraf memenuhi kebutuhan hidup dan angka pertumbuhan

Lebih terperinci

DATA MINING DAN WAREHOUSE A N D R I

DATA MINING DAN WAREHOUSE A N D R I DATA MINING DAN WAREHOUSE A N D R I CLUSTERING Secara umum cluster didefinisikan sebagai sejumlah objek yang mirip yang dikelompokan secara bersama, Namun definisi dari cluster bisa beragam tergantung

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri kecil dan Menengah (IKM) memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia, karena sektor ini dapat mengatasi permasalahan pemerataan dalam distribusi pendapatan

Lebih terperinci

Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2015

Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 55/09/32/Th. XVII, 15 September 2015 Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2015 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan

Lebih terperinci

KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2015

KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2015 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 05/01/12/Th. XIX, 04 Januari 2016 KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara pada September sebanyak 1.508.140 orang (10,79%),

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. survei yang dilakukan BPS pada 31 Oktober Langkah selanjutnya yang

BAB III PEMBAHASAN. survei yang dilakukan BPS pada 31 Oktober Langkah selanjutnya yang BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam skripsi ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari buku saku Ikhtisar Data Pendidikan Tahun 2016/2017. Data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Data

Lebih terperinci

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perbaikan kualitas segenap bidang kehidupan manusia. Dalam konteks bernegara, pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kuznet dalam todaro (2003:99) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara bersangkutan untuk menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010:

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 06/01/12/Th. XVIII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara pada September 2014 sebanyak 1.360.600

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Clustering Analysis Clustering analysis merupakan metode pengelompokkan setiap objek ke dalam satu atau lebih dari satu kelompok,sehingga tiap objek yang berada dalam satu kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI LUWU TIMUR KEADAAN MARET TAHUN 2015

TINGKAT KEMISKINAN DI LUWU TIMUR KEADAAN MARET TAHUN 2015 No : 01/10/7325/Th. I, 11 Oktober 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI LUWU TIMUR KEADAAN MARET TAHUN 2015 RINGKASAN Pengukuran kemiskinan oleh BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN 38/07/Th. XX, 17 JULI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN 07/01/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan September

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG

BPS PROVINSI LAMPUNG BPS PROVINSI LAMPUNG No. 07/01/18/TH.VII, 2 Januari 2015 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2014 Angka kemiskinan Lampung pada September 2014 sedikit mengalami penurunan dibanding Maret 2014 yakni dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan angka kemiskinan. Berdasarkan tujuan pembangunan Millennium

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan angka kemiskinan. Berdasarkan tujuan pembangunan Millennium BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan selalu menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat di suatu daerah, negara bahkan di dunia, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk bisa menurunkan angka

Lebih terperinci

No. 09/15/81/Th. XVII, 15 September 2015 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang BAB III PEMBAHASAN Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Asumsi-asumsi dalam analisis cluster yaitu sampel

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2016 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2016

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT SEPTEMBER 2011 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT SEPTEMBER 2011 RINGKASAN BADAN PUSAT STATISTIK No. 05 / 01/53/ Th.XVI /2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Persentase penduduk miskin Provinsi NTT pada periode Triwulan III mengalami penurunan

Lebih terperinci

ANALISIS CLUSTER DENGAN METODE K-MEANS (TEORI DAN CONTOH STUDY KASUS)

ANALISIS CLUSTER DENGAN METODE K-MEANS (TEORI DAN CONTOH STUDY KASUS) ANALISIS MULTIVARIAT ANALISIS CLUSTER DENGAN METODE K-MEANS (TEORI DAN CONTOH STUDY KASUS) Oleh : Rizka Fauzia 1311 100 126 Dosen Pengampu: Santi Wulan Purnami S.Si., M.Si. PROGRAM STUDI SARJANA JURUSAN

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016 No. 49/07/33/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 4,507JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar Rp 321.056,-

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015 BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XVIII, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya pertumbuhan ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu usaha daerah untuk

Lebih terperinci