BAB 1 PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 1 PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Laut memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Menurut Stewart (2008), laut paling tidak memiliki tiga peran utama bagi manusia. Pertama, manusia mengambil banyak bahan makanan dari laut. Kedua, laut juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi, rekreasi, serta sumber energi yang terbarukan, sehingga banyak kegiatan-kegiatan konstruksi yang dilakukan di laut. Ketiga, laut mempengaruhi kondisi iklim dan atmosfer. Laut mempengaruhi iklim regional, banjir, sampai perkembangan badai. Sebagai negara maritim, Indonesia seharusnya memiliki banyak keuntungan dari luasnya wilayah laut yang dimiliki. Namun saat ini sumber daya laut yang melimpah itu belum banyak tergali potensinya. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya informasi tentang laut itu sendiri, terutama informasi geospasial. Dengan informasi yang memadai dapat dilakukan pembangunan yang lebih optimal, misalnya kegiatan konstruksi di laut, serta pengambilan cadangan minyak di bawah permukaan laut. Pemetaan laut, khususnya pemetaan bathimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan, dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan informasi di bidang kelautan (Soeprapto, 2001) Kegiatan Survei bathimetri dilakukan dengan berbagai peralatan dan metode. Kedalaman laut telah diukur secara sistematis selama seabad ini (Hall, 2006). Pada periode tersebut, metode dan peralatan yang digunakan telah berubah secara drastis, mulai dari pengukuran single beam sampai multibeam echosounder (MBES) yang menghasilkan ratusan titik kedalaman pada waktu yang singkat. Dewasa ini alat yang umum dipakai pada pemetaan bathimetri adalah MBES, karena kemampuannya dalam menghasilkan banyak titik kedalaman dalam sekali pengukuran. Ferreira (2013) menjelaskan metode pengolahan data MBES, dalam penyajian data bathimetri, baik dalam bentuk peta topografi maupun pembentukan garis kontur, mutlak dibutuhkan proses gridding. Gridding adalah salah satu pendekatan dalam pembentukan model permukaan digital (Li, Zhu, dan Gold, 2005). 1

2 2 Pendekatan lainnya adalah dengan berbasis titik, segitiga, dan hybrid. Pendekatan yang paling umum digunakan adalah dengan segitiga dan grid. Pendekatan grid lebih populer digunakan karena banyak prosedur perhitungan pada ilmu kebumian membutuhkan data dengan pola geometris yang teratur, termasuk analisis Fourier dan berbagai algoritma penggambaran peta (Smith dan Wessel, 1990). Pembuatan grid pada data bathimetri selain berguna untuk memfasilitasi berbagai perhitungan, juga dibutuhkan karena kebanyakan alat untuk penyajian data seperti monitor dan printer menggunakan prinsip grid. Pembuatan hill shading (Ware, 1989) dan penurunan data topografi seperti perhitungan slope (Zhou dan Liub, 2004) juga memanfaatkan data grid. Tetapi kenyataannya banyak bidang pengukuran bidang geosaintis yang dilakukan secara tidak teratur pada bidang 2D karena beberapa halangan. Seperti keterjangkauan, biaya, dan waktu survei, sehingga distribusi pengukuran tersebar pada area sepanjang garis survei atau pada area tertentu. (Hell dan Jakobson, 2011). Metode rekonstruksi data pengukuran yang tidak teratur menjadi bentuk Cartesian grid inilah yang disebut dengan proses gridding (Sedarat dan Nishimura, 2000). Salah satu contoh data MBES adalah data hasil pengukuran dalam rangka investigasi pencarian kapal karam di perairan Selat Sunda. Survei tersebut dilakukan oleh, Kapal Baruna Jaya IV milik Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT pada tahun Data ini telah diolah menggunakan software MB-System dan penyajiannya menggunakan Generic Mapping Tool dan menghasilkan titik-titik kedalaman terkoreksi dan memiliki kualitas yang baik (Afifuddin dan Prayogo, 2015). Hasil pengolahan data MBES berupa titik-titik kedalaman yang menggambarkan keadaan dasar laut. Visualisasi data MBES dihasilkan dengan software Generic Mapping Tool (GMT). GMT adalah paket software yang digunakan untuk membuat atau memanipulasi visualisasi atau gambar, umumnya adalah data-data kebumian (Wessel dkk, 2014). Paket software GMT digunakan oleh software MB-System untuk visualisasi data MBES. Pengolahan data bathimetri menggunakan kedua paket software ini telah umum digunakan pada komunitas ilmiah karena sifatnya yang open source, gratis, serta menyediakan keleluasaan dalam pengolahan serta penyajian data.

3 3 Untuk menyajikan model permukaan digital, terdapat beberapa metode gridding. GMT menyediakan tiga jenis metode, yaitu triangulasi, nearest neighbor, dan continuous curvature (Okubo dkk, 2004). Ketiga metode ini menyajikan algoritma penentuan grid yang berbeda. Untuk itu perlu digali metode mana yang paling cocok dalam penyajian model permukaan digital dari data bathimetri, dengan melihat metode mana yang memiliki hasil interpolasi paling mendekati titik sampel. I.2. Rumusan Masalah Tahapan akhir pada pengolahan data MBES adalah visualisasi. Umumnya sebelum data bathimetri disajikan dalam bentuk peta bathimetri, perlu dilakukan proses gridding dengan spasi tertentu. Sebab beberapa proses perhitungan dan penurunan data topografi membutuhkan model data grid. Data MBES yang diolah pada software MB-System mengalami proses gridding yang berbasis GMT. GMT memiliki tiga metode gridding, yaitu nearest neighbor, continuous curvature, dan triangulasi. Penelitian yang dilakukan oleh Bater dan Coops (2008) serta Yang dkk (2012) menunjukkan bahwa metode interpolasi grid yang berbeda akan menghasilkan titik elevasi yang berbeda. Perlu dilakukan pengkajian lebih dalam lagi, metode interpolasi grid manakah yang paling baik dalam menyajikan data bathimetri. Serta apakah pada pada jenis permukaan yang berbeda, metode interpolasi terbaik yang bisa digunakan juga berbeda. I.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan pada sub-bab 1.2 maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah model permukaan digital hasil dari metode gridding triangulasi, nearest neighbor, dan continuous curvature bisa mewakili titik observasi dengan beda yang tidak signifikan? 2. Dalam penyajian model permukaan, metode manakah yang paling representatif dan baik diantara ketiga metode gridding tersebut?

4 4 I.4. Ruang Lingkup Masalah Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini dibatasi pada beberapa hal berikut: 1. Data bathimetri yang digunakan adalah hasil pengukuran MBES yang dilakukan oleh Kapal Baruna Jaya IV milik Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT Jakarta yang telah diolah sebelumnya. Pengolahan data MBES menggunakan software MB-System. 2. Data bathimetri yang digunakan berlokasi di laut dangkal, yaitu Selat Sunda. Survei dilakukan untuk investigasi lokasi kapal karam. 3. Perangkat lunak yang digunakan adalah MB-System dan GMT. 4. Metode gridding yang dibandingkan adalah metode triangulasi, nearest neighbor, dan continuous curvature. 5. Jenis permukaan yang dijadikan sampel ada tiga, yaitu permukaan yang relatif datar, curam, dan bergelombang (hilly). 6. Titik kedalaman hasil pengolahan MBES diasumsikan telah mewakili kedalaman sebenarnya. I.5. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui adanya perbedaan yang signifikan diantara perbandingan hasil ketiga metode gridding yang disediakan oleh software GMT dengan titik observasi. 2. Mengetahui metode gridding mana yang paling baik dalam menyajikan model permukaan digital dari data bathimetri pada jenis permukaan yang relatif datar, curam, dan bergelombang. I.6. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dapat dijadikan sebagai dasar penelitian selanjutnya tentang perbedaan metode gridding dari data bathimetri, khususnya menggunakan metode-metode lain.

5 5 2. Dapat mendalami pemanfaatan software GMT yang berbasis open source untuk melakukan penyajian data geografis. 3. Dapat dijadikan pertimbangan penentuan metode gridding yang tepat dalam penyajian data bathimetri sesuai dengan jenis permukaannya. I.7. Tinjauan Pustaka Kurnia (2014) melakukan pengolahan Data Multibeam Echosounder menggunakan perangkat lunak MB-System. Penyajian hasil dalam bentuk visualisasi 2D dan 3D menggunakan perangkat lunak Generic Mapping Tool (GMT). Setelah dilakukan pengolahan, data diuji kualitasnya dengan mengacu pada standar IHO pada orde spesial. Hasilnya semua hasil uji kualitas data telah memenuhi standar toleransi yang ditetapkan oleh IHO, sehingga data hasil pemrosesan dan koreksi menggunakan MB-System memiliki kualitas yang telah teruji sesuai dengan standar IHO pada orde spesial. Yang dkk (2012) melakukan perbandingan 12 metode interpolasi grid yang disediakan software Surfer. Pada penelitian ini, Digital Terrain Model (DTM) dengan spasi grid lima meter dijadikan acuan. Kemudian data interpolasi dari metode gridding dengan spasi grid 40 meter dibandingkan dengan data acuan. Hasilnya tidak ada metode yang terbaik, tetapi terdapat metode paling optimal yang diterapkan sesuai dengan kondisi yang ada. Penelitian tentang perbandingan metode gridding dilakukan oleh Braile (1978). Terdapat empat metode gridding yang dibandingkan, yaitu: weighted average of closest points, weighted average of three closest points with azimuth control, local polynomial surface fitting, dan piecewice cubic polynomial interpolation along profiles. Pengujian metode ini menggunakan data peta aeromagnetic barat daya Ilinois. Dari perbandingan hasil perhitungan Root Mean Square Error (RMSE) didapatkan hasil bahwa metode local polynomial surface fitting memiliki permukaan grid yang lebih akurat dibanding metode lainnya. Heritage, dkk (2009) melakukan penelitian tentang pengaruh strategi survei dan model interpolasi terhadap kualitas Digital Elevation Model (DEM). Data yang digunakan didapatkan dari hasil pengukuran Terrestrial Laser Scanner (TLS) di

6 6 Sengai Nent, Inggris. Model interpolasi yang dibandingkan adalah metode Kriging, Variogram Kriging, Inverse Distance to a power, Minimum curvature, dan Triangulasi dengan interpolasi linear. Salah satu hasil penelitian ini adalah metode Triangulasi adalah metode interpolasi paling baik pada lingkungan fluvial. Penelitian lain dilakukan oleh Okubo, Schultz, dan Stefanelli (2004) yang melakukan gridding terhadap data Mars Orbiter Laser Altimeter (MOLA) dan membandingkan efek ukuran piksel dan metode interpolasi pada DEM. Permukaan planet Mars dibuatkan model permukaan digital menggunakan software GMT. Metode gridding yang dibandingkan adalah metode nearest neighbor, triangulasi Delaunay, dan continuous spline in tension. Perbandingan dilakukan dengan menghitung perbedaan ketinggian dari data hasil interpolasi GMT dengan data hasil pengukuran. Kesimpulan dari penelitian ini adalah metode continuous spline in tension menghasilkan rerata beda ketinggian dan standar deviasi paling rendah dibanding metode lainnya, sehingga metode ini dipilih sebagai metode paling efektif dan akurat. Penelitian yang penulis lakukan bertujuan untuk membandingkan metode gridding nearest neighbor, continuous curvature, dan triangulasi terhadap titik-titik observasi yang mewakili kondisi sebenarnya. Proses perbandingan dilakukan dengan cara uji statistik dan uji kualitas sesuai dengan standar IHO, sehingga didapatkan metode yang paling mendekati kondisi sebenarnya. Data yang digunakan adalah data bathimetri hasil pengukuran MBES dengan tiga buah sampel jenis kelerengan, yaitu datar, bergelombang, dan curam. I.8. Landasan Teori I.8.1. Survei Bathimetri Bathimetri adalah metode atau teknik penentuan kedalaman laut atau profil dasar laut dari hasil analisa data kedalaman (BSN, 2010). Survei Bathimetri secara umum dilaksanakan dengan menggunakan tranduser memancarkan sekaligus menerima kembali gelombang suara tadi yang dipantulkan oleh dasar perairan. Perbedaan waktu saat gelombang dipancarkan dan diterima kembali dihitung, untuk menentukan kedalaman perairan tersebut. Pada waktu yang sama, seperangkat alat GPS digunakan untuk menentukan posisi kapal tersebut. (Anonim, 2012). Standardisasi kegiatan

7 7 survei bathimetri mengacu pada standar International Hydrographic Organization (IHO) Special Publication (SP) No. 44 tahun Secara umum, tahapan survei bathimetri adalah sebagai berikut: a. Tahap Pengumpulan data Tahap pengumpulan data merupakan tahap awal dalam survei bathimetri. Tahap pengumpulan data disini mencakup pengukuran kedalaman menggunakan multibeam echosounder, pengukuran sound velocity, pengamatan pasang surut dan penentuan posisi fix perum. b. Pengukuran kedalaman Pengukuran kedalaman bertujuan untuk memperoleh nilai kedalaman yang akan digunakan untuk memberoleh bentuk topografi dasar perairan. Pengukuran kedalaman memanfaatkan gelombang akustik yang dipancarkan tranduser yang dipasangkan di bawah vessel menuju dasar perairan dan dipantulkan kembali menuju hydrophone sehingga diperoleh nilai kedalaman berdasarkan waktu tempuh gelombang akustik pergi-pulang. Kedalaman suatu perairan dapat dinyatakan dalam persamaan (I.1), d = ½. ν. Δt...(I.1) Keterangan d : kedalaman perairan yang terukur v : cepat rambat gelombang suara ( +/ m/s ) Δt : rentang waktu antara gelombang suara yang saat dipancarkan dengan saat gelombang diterima kembali. I.8.2. Prinsip Kerja Multibeam Echosounder Prinsip kerja Multibeam echosounder adalah dengan memanfaatkan gelombang akustik yang dapat merambat dengan baik di bawah air. Multibeam echosounder akan memancarkan gelombang akustik dan kemudian akan dipantulkan kembali ketika gelombang tersebut menyentuh material di dasar laut. Gelombang kembali atau pantulan gelombang akan diterima kembali oleh sensor (receiver) dan akan dihitung beda waktu saat gelombang dipancarkan dan saat gelombang kembali diterima, sehingga dapat diketahui kedalaman dasar laut yang diakusisi. Pola pancaran

8 8 melebar dan memanjang terhadap badan kapal, dan setiap beam yang dipancarkan mendapatkan satu titik kedalaman yang jika dihubungkan akan membentuk profil dasar laut. Dan jika kapal bergerak maju hasil sapuan multibeam tersebut akan menghasilkan suatu luasan yang menggambarkan permukaan dasar laut. Sistem pemancaran gelombang pada multibeam echosounder ada dua yaitu sistem sweep dan sistem swath. Sistem sweep bekerja dengan memancarkan banyak gelombang single atau dengan kata lain merupakan multi-single beam, sedangkan sistem swath bekerja dengan satu pancaran gelombang yang memiliki lebar dan panjang yang membentuk sebuah kolom dan dapat juga dipakai sebagai Side Scan Sonar (SSS) (de Jong dkk, 2010). Apabila sistem swath dan sistem sweep dibandingkan, sistem swath akan menghasilkan area lebih besar pada perairan dalam, namun pada perairan dangkal kedua sistem tersebut akan menghasilkan cakupan area yang sama. Kapal Survei Arah jalannya kapal Pancaran gelombang MBES Garis nadir kapal Gambar I.1. Ilustrasi sapuan multibeam echosounder Pada sistem swath maupun sistem sweep multibeam echosounder mempunyai alat yang bernama tranduser yang digunakan sebagai pemancar gelombang akustik dan dilengkapi sensor (receiver) untuk menangkap kembali sinyal pantulan dari dasar laut. Konfigurasi tranduser adalah gabungan beberapa stave yang tersusun seperti array (matrik). Stave adalah bagian trasduser yang berfungsi sebagai saluran untuk

9 9 memancarkan maupun menerima pulsa akustik hasil pantulan dari dasar laut (stave tranducer beam). Stave - stave tersebut akan menerima sinyal akustik dari segala arah hasil pantulan objek - objek di dasar laut. Semakin dekat objeknya dengan sumber maka intensitasnya pun semakin kuat. Gelombang akustik yang dipantulkan tersebut kemudian dianalisis oleh tranduser dan dapat dibedakan gelombang pantul yang datang dari arah yang berbeda. Tiap stave pada multibeam tersebut memancarkan sinyal akustik dengan kode tertentu sehingg kode sinyal antara stave yang satu dengan stave yang lain berbeda walaupun menggunakan frekuensi yang sama. Sebuah tranduser menggunakan tiga prinsip untuk mendeteksi arah datangnya sinyal yang dipantulkan oleh dasar laut yaitu pendeteksian amplitudo, fase dan interferometrik (sudut). Kebanyakan multibeam echosounder menggunakan teknik interferometrik untuk mendeteksi arah datangnya gelombang pantul sebagai fungsi dari waktu. Pada multibeam echosounder, dua istilah, yaitu ping dan beam. Ping adalah sekali tembakan gelombang yang diterima kembali oleh tranduser. Di dalam satu ping dapat mencakup beberapa beam. Beam inilah yang menjadi footprint dari multibeam echosounder. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar I.2. Singlebeam echosounder hanya memiliki 1 beam dalam sekali ping. Titik-titik kedalaman hasil pengukuran MBES memiliki pola yang tidak beraturan. Hal ini ditunjukkan pada gambar I.3. Sebuah Beam Sebuah Ping Arah Jalannya kapal Gambar I.2. Ilustrasi ping dan beam

10 10 Keterangan gambar: Titik-titik berwarna hitam merupakan sebaran titik kedalaman yang dihasilkan oleh MBES Gambar I.3. Sebaran titik MBES yang tidak merata I.8.3 Kalibrasi Multibeam Echosounder Setiap pengukuran pada dasarnya harus dilakukan kalibrasi terlebih dahulu untuk meminimalisir kesalahan sistematik karena alat. Kalibrasi merupakan kegiatan untuk memeriksa dan menentukan besarnya kesalahan yang ada dalam alat ukur. Sebelum pengukuran kedalaman menggunakan multibeam echosounder dilakukan perlu adanya kalibrasi pada alat multibeam echosounder. Menurut presentasi dari L3 Communication Elac Nautik (2009) paling tidak ada empat jenis kalibrasi yang harus dilakukan sebelum pengukuran dimulai yaitu : Kalibrasi nilai offset Kalibrasi nilai offset ini diukur atau ditentukan dari titik referensi atau titik tengah kapal. Pada saat pengukuran terkadang pemasangan alat tidak dalam posisi yang sama. Setiap posisi alat didefinisikan menjadi posisi X, Y, dan Z, hal ini menyesuaikan dengan bentuk kapal yang memiliki panjang lebar dan tinggi.

11 11 Gambar I.4. Sistem koordinat pada kapal (Anonim, 2000) Pada pendefinisian koordinat alat, nilai X positif didefinisikan dari titik tengah kapal kearah kiri (port), sedangkan Y positif dari titik tengah kearah depan kapal (fore), dan Z positif dari titik tengah kearah bawah kapal. Gambar I.4 menunjukkan sistem koordinat pada kapal. Pada dasarnya nilai offset ini didefinisikan untuk mendapatkan nilai posisi sebenarnya dari titik pemeruman karena terkadang posisi GPS dan tranduser tidak pada titik yang sama. Sehingga dari nilai offset yang ada dapat dihitung posisi sebenarnya pada tranduser bukan pada titik dipasangnya GPS Kalibrasi roll Kalibrasi roll adalah kalibrasi yang digunakan untuk mengkoreksi kesalahan kedalaman akibat perubahan gerakan kapal searah putaran sumbu Y. Kesalahan ini juga bisa terjadi akibat pemasangan tranduser yang tidak sama rata antara kedua sisi. Kalibrasi roll ini penting dilakukan karena pengaruhnya sangat besar dan harus dilakukan secara hati - hati. Arah yang seharusnya benar adalah sepanjang sumbu X namun terdapat kesalahan sebesar α. Ilustrasi kesalahan roll dapat dilihat pada gambar I.5. Nilai α ini dapat dicari dengan persamaan (I.2) α = Arctan ( x )... (I.2) y

12 12 Keterangan: α = Sudut roll x = Ukuran yang menyimpang pada sumbu X y = Ukuran yang menyimpang pada sumbu Y Keterangan Gambar: Pitch: Pergerakan kapal searah putaran sumbu X Roll: Pergerakan kapal searah putaran sumbu Y Yaw: Pergerakan kapal searah putaran sumbu Z Gambar 1.5. Perputaran sumbu koordinat kapal dari pusat massa (Anonim, 2000) Kalibrasi pitch Kalibrasi pitch merupakan pekerjaan untuk meminimalisir kesalahan akibat anggukan kapal atau pergerakan kapal searah putaran sumbu X. Kesalahan ini akan mengakibatkan pergeseran jalur akibatnya geometri dari jalur pengukuran menjadi tidak sesuai. Ilustrasi besar pergeseran atau offset yang disebabkan oleh kesalahan pitch dapat dilihat pada gambar I.6.

13 13 Sumbu vertikal Daerah yang tercakup MBES Acrosstrack Titik nadir Alongtrack offset Alongtrack Gambar I.6. Ilustrasi offset ping yang terjadi akibat kesalahan pitch (Anonim, 2000) Jarak antara kesalahan figur pada kedua jalur disimbolkan sebagai da. Penjelasan lebih lanjut mengenai da bisa dilihat pada Gambar I.6. Gambar I.7. Penjelasan mengenai da (Anonim, 2009) Titik putih merupakan letak dari objek yang sebenarnya, namun karena kesalahan pitch maka objek berubah posisi menjadi bulatan merah. Untuk mendapatkan nilai koreksi nya yaitu pitch offset maka bisa dicari dengan persamaan (I.3). dα = arctan ( da )... (I.3) 2z

14 14 Keterangan: dα : pitch offset da : jarak antara dua objek yang mengalami kesalahan z : kedalaman Kalibrasi yaw (Gyro) Kalibrasi yaw adalah kalibrasi yang dilakukan untuk mengurangi kesalahan akibat perubahan dari heading kapal sepanjang survei berjalan. Kesalahan ini biasanya dikarenakan angin kencang atau gelombang yang menghempas kapal. Gambar I.8 memperlihatkan ilustrasi dari kesalahan yaw. Persyaratan dari kalibrasi yaw (gyro) adalah sebagai berikut (Anonim, 2000): i. Melintasi dua lajur yang sejajar dengan spasi 2 kali kedalaman ii. Arah yang sama iii. Jalur kapal melintasi kedangkalan dengan gradien yang tajam iv. Kecepatan sama dan menggunakan pancaran terdalam yang overlap sebagai koreksi. Besar kesalahan Yaw Sumbu Y Arah heading kapal Gambar I.8. Ilustrasi kesalahan yaw (Anonim, 2000)

15 15 I.8.4 MB-System MB-System adalah software untuk mengolah data sonar hasil pemetaan bathimetri dalam lebih dari empat lusin format dari peralatan sonar yang dioperasikan di seluruh dunia. MB-System secara khusus digunakan dengan dengan dihubungkan pada Generic Mapping Tools (GMT). GMT adalah kumpulan proses yang efektif untuk memanipulasi data dan membuat post script yang menyertai peta. MB-System dapat mendukung berbagai data sonar (Ferreira, 2013) MB-System merupakan perangkat lunak open source yang berjalan dalam sistem operasi Linux. Source Code untuk MB-System dapat diunduh secara bebas pada situs system.org. Mirip seperti GMT, MB-System secara umum berisi kumpulan command line tools, tapi juga memiliki beberapa editor dengan tampilan grafis. Adapun pemanfaatan MB-System sekarang lebih banyak pada pengolahan data Multi Beam Echo Sounder. Tetapi software ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengolah data bathimetri lain, seperti Side Scan Sonar (Ferreira, 2013) Pada penelitian yang dilakukan oleh (Caress dkk, 2008), data Sidescan diproses setelah dilakukan editing data bathimetri dan navigation adjustment. Kemudian data Sidescan dikoreksi untuk berbagai variasi amplitude dan grazing angle menggunakan model rerata yang didapatkan dari data mentah. Selanjurnya adalah dengan melakukan mosaicking citra side scan dengan prioritas tertentu untuk melihat azimuth dan swath position. Beberapa hal yang menjadi keunggulan dari software ini adalah kemudahan dalam melakukan plotting data bathimetri, cukup memasukkan perintah sederhana pada command line. Selain itu, dapat melakukan konversi dari berbagai format data yang dikeluarkan oleh vendor. MB-System juga bisa menghitung roll and pitch bias serta melakukan koreksi terhadapnya. (Schmidt, Caress, dan Chayes, 2008). Salah satu contoh hasil dari pengolahan data bathimetri pada software MB-System dapat dilihat pada gambar I.9.

16 16 Gambar I.9. Hasil plotting data bathimetri pada software MB-System. I.8.5. Generic Mapping Tool Generic Mapping Tool (GMT) adalah paket software yang digunakan untuk membuat sebuah visualisasi atau gambar. GMT dapat melakukan berbagai proses pengolahan data untuk menghasilkan gambar. Mulai dari mengubah kolom dari data tabular, time-series, dan data grid, serta menampilkan data tersebut dalam berbagai jenis gambar, plot x-y sederhana sampai peta dengan berbagai perspektif dan ilustrasi relief dan bayangan. GMT menggunakan bahasa Postscript (Wessel dkk, 2015a) GMT populer digunakan karena sifatnya open source atau gratis. Selain itu GMT memiliki fleksibilitas dalam mengolah data karena perintah-perintah dalam GMT menggunakan command line. GMT juga bisa diinstal pada hampir semua sistem operasi komputer (Wessel dkk, 2015a). Contoh sistem operasi yang mendukung GMT adalah sistem operasi Linux dan Macintosh. I.8.6. Model Grid Grid adalah bentuk penyajian data spasial dalam bentuk grafik Cartesian dengan spasi titik yang teratur pada sumbu x dan y. Model grid adalah salah satu pendekatan utama untuk pembentukan model permukaan digital (Li dkk, 2005). Metode rekonstruksi data pengukuran yang tidak teratur menjadi bentuk Cartesian grid disebut dengan proses gridding (Sedarat dan Nishimura, 2000).

17 17 (a) (b) Gambar I.10. Model grid (Li dkk, 2005) Pada pembentukan model permukaan digital, model grid memiliki banyak keuntungan (Li dkk, 2005). Salah satunya yaitu dalam hal penanganan data. Contoh model grid ada pada gambar 1.9a. Ilustrasi model permukaan digital berbasis grid dapat dilihat pada gambar 1.9b. Semakin kecil ukuran grid, maka model permukaan akan semakin lembut Untuk membentuk model grid dari titik-titik yang tidak beraturan diperlukan proses interpolasi. Ilustrasi model grid yang terbentuk dari titik-titik yang tidak beraturan dapat dilihat pada gambar I.11. Terdapat banyak metode untuk melakukan interpolasi grid. Gallant dan Hutchinson (2005) menjelaskan metode triangulasi, local surface patches, dan locally adaptive gridding. Sementara Yang dkk (2012) menjelaskan 12 metode gridding yang disediakan oleh software Surfer. Gambar I.11. Ilustrasi pembentukan model grid dari titik observasi yang tidak beraturan (Matarozzo, 2004)

18 18 I.8.7. Metode Gridding Triangulasi Metode gridding triangulasi memanfaatkan algoritma triangulasi Delaunay. Titik-titik observasi membentuk segitiga dengan algoritma Delaunay. Setiap segitiga yang terbentuk mendefinisikan sebuah bidang datar diatas titik grid didalam segitiga. Kemiringan dan elevasi segitiga ditentukan dari tiga titik data yang membentuk segitiga. Metode gridding triangulasi bekerja paling baik ketika data awal telah terdistribusi diatas area grid (Yang, 2012). Algoritma triangulasi Delaunay memiliki tiga prinsip untuk membentuk rangkaian segitiga yang optimal. Pertama prinsip empty circumcircle, ketika tiga titik disambungkan menjadi sebuah lingkaran, maka tidak boleh ada titik lain didalam lingkaran tersebut. Kedua, rangkaian segitiga yang dibentuk harus memenuhi prinsip local equiangularity (Tsai, 1993). Prinsip ini mengatakan bahwa pada jaringan segitiga yang menggabungkan dua segitiga, maka jika diagonal yang membatasi segitiga tersebut ditukar posisinya tidak akan mengubah sudut jaringan tersebut secara drastis. Artinya sudut minimum pada jaringan tersebut tidak akan berubah menjadi maksimal jika diagonalnya ditukar, begitupun sebaliknya. Ketiga, jari-jari pada lingkaran yang menghubungkan ketiga titik harus sekecil mungkin. Gambar I.12. Prinsip empty circumcircle Gambar I.13. Prinsip local equiangularity

19 19 Pada gambar 1.12.a, segitiga yang terbentuk tidak termasuk segitiga Delaunay, karena titik D berada didalam lingkaran. Gambar 1.12.b menunjukkan segitiga Delaunay. Gambar 1.13.a tidak menunjukkan segitiga Delaunay, karena memiliki sudut maximum dan minimum yang berbeda secara drastis. Gambar 1.13b menunjukkan segitiga Delaunay yang optimal. I.8.8. Metode Gridding Nearest Neighbor Metode gridding Nearest neighbor memberikan nilai dari titik observasi terdekat dari titik grid (Anonim, 2011). Metode ini sangat berguna apabila data telah memiliki spasi titik yang merata. Ketika data berada dekat dengan grid tetapi terdapat beberapa nilai yang hilang, metode ini efektif untuk mengisi lubang yang ada di data observasi. Pada software GMT, radius pencarian titik observasi terdekat dari titik grid dapat ditentukan. Secara umum terdapat dua cara mencari titik observasi terdekat dari titik grid (Huang dkk, 2012), yaitu: (1) menentukan jumlah titik tertentu yang ada disekitar titik grid dan (2) Semua titik yang ada pada radius tertentu di sekitar titik grid (J-nearest points). Metode lainnya yaitu dengan menggunakan KD-tree (Xiao, Liu, dan Nie, 2011). Metode pencarian KD-tree memandaatkan indeks struktur dua dimensi, dan memiliki struktur lebih sederhana dan proses traversing yang lebih sederhana. Caranya dengan membagi kotak grid menjadi dua bagian sehingga membatasi titik observasi yang ada di dalamnya. Pada gambar titik p5 berada tepat di garis yang membatasi kedua grid. Kemudian dibuat dua garis yang membagi dua kotak pertama, disini titik p2 dan p7 terkena garis tersebut. Langkah ini diulangi terus sehingga terbentuk search path untuk mencari titik p4, p1, p8, dan p9 yang jaraknya paling dekat dengan titik grid.

20 20 (a) Gambar I.14. Algoritma pencarian KD-tree (Huang dkk, 2012) (b) I.8.9. Metode Gridding Continuous Curvature Metode continuous curvature, atau continuous spline in tension pertama kali diperkenalkan oleh Smith dan Wessel (1990). Metode ini adalah generalisasi dari metode minimum curvature. Pada metode minimum curvature, sebuah interpolant dengan turunan kedua kontinyu dibangun sehingga lengkungan kuadrat yang digabungkan pada seluruh permukaan menjadi minimal. Grid dihasilkan dengan menerapkan persamaan secara berulang untuk memperoleh grid yang lembut (Anonim, 2011). Persamaan tersebut akan diulangi sampai mencapai jumlah batas iterasi yang ditentukan. Metode ini memiliki analogi seperti lembaran karet tipis yang diregangkan sehingga menghasilkan permukaan yang halus dan kontinyu. Persamaan awal dari algoritma minimum curvature ditunjukkan persamaan (I.4). C = ( 2 z) 2 dx dy...(i.4) Persamaan (I.4) valid untuk total kelengkungan dari z ketika z kecil. Briggs (1974) menunjukkan bahwa memperkecil persamaan (I.4) membawa pada persamaan diferensial (I.5). 2 ( 2 z) = f i i δ (x x i, y - y i )... (I.5) Perubahan kecil z pada plat elastis dengan konstanta flexural rigidity D, bergantung pada tekanan vertikal normal q dan tekanan horizontal konstan per unit panjang vertikal Txx, Txy, dan Tyy, memenuhi persamaan (I.6).

21 21 D 2 ( 2 z) [ T xx 2z x2 + 2T xy 2z x y + T yy 2z y2 ] = q...(1.6) Pada persamaan (1.4), ketika T = 0, maka menjadi ekuivalen dengan persamaan (1.5); tetapi untuk nilai T yang besar, solusi didominasi oleh persamaan kedua. Disini T adalah tekanan per unit panjang dan nilai T dibutuhkan untuk menyesuaikan solusi untuk D dan q, hal ini dihindari dengan persamaan (1.7) (1 T1) 2 ( 2 z) Ti 2 z = f i i δ(x xi, y yi)....(1.7) Disini T1 merupakan tension parameter dan I menunjukkan internal tension. Nilai T1 bervariasi mulai dari 0 sampai 1, dengan 0 dan 1 digambarkan sebagai garis utuh. Dengan analogi elastis, T1 = 0 merepresentasikan infinite tension. Untuk nilai T1 pada 0 <= T1 < 1, persamaan (I.7) memberikan solusi dengan lengkung kontinyu, meskipun ini tidak akan memperkecil persamaan (I.4), kecuali T1 = 0. Persamaan-persamaan diatas akan menghasilkan solusi unik yang disebut dengan true solution. Tersebab persamaan tersebut diselesaikan dengan cara iterasi dengan presisi terbatas, maka tidak akan dicapai true solution. Sehingga hasilnya tergantung pada batas konvergensi dari iterasi yang dilakukan. Iterasi akan mencapai batas konvergensi ε ketika perubahan absolut maksimal pada node selama satu kali iterasi lebih kecil dari ε. Hal ini bukan berarti hasilnya ada di dalam ε dari true solution; ini berarti perbaikan lebih lanjut pada hasil akan lebih kecil dari ε untuk setiap iterasi. I Uji Kualitas Robinson dan Metternicht (2005) melakukan perbandingan beberapa metode interpolasi. Dilakukan perbandingan antara data yang telah diketahui (data observasi) dengan data prediksi (hasil interpolasi) menggunakan mean error (ME) dan root mean square error (RMSE). Persamaan ME serupa dengan varian sampel, sedangkan RMSE serupa dengan standar deviasi, seperti pada persamaaan (I.9) dan (I.10) (Johnson dan Bhattacharyya, 2010). Jika nilai prediksi sama dengan nilai observasi, maka standar deviasi akan sama dengan nol, seperti pada persamaan (I.8). Sehingga besaran standar deviasi akan menunjukkan kedekatan nilai-nilai hasil prediksi dengan nilai observasi. Semakin kecil standar deviasi, nilai prediksi akan semakin mendekati nilai observasi.

22 22 S (Simpangan) = S (x i x t ) n σ 2 = i=1 (xi xt) 2 n 1...(I.8)...(I.9) σ = σ 2...(I.10) Keterangan: xi = titik hasil interpolasi xt = titik observasi n = jumlah sampel σ 2 = Varian σ = Standar Deviasi Untuk menentukan kualitas dari titik kedalaman hasil interpolasi dengan titik observasi, dilakukan uji kualitas beda kedalamannya. Uji kualitas ini mengaju pada batas toleransi yang diatur pada IHO SP-44 tahun 2008 dan SNI untuk tingkat kepercayaan 95%. Persamaan untuk menghitung batas toleransi dapat dilihat pada persamaan I.11. ± a 2 + (b x d) 2...(I.11) Keterangan: a : Bagian ketidak pastian yang tidak tergantung kedalaman b : Koefisien ketidak pastian yang tergantung dengan kedalaman d : kedalaman rata-rata (b x d) : Bagian ketidak pastian yang tergantung dengan kedalaman Nilai a dan b pada persamaan I.11 sesuai dengan orde survei yang dilakukan seperti tercantum pada Tabel I.1 menurut IHO SP-44 tahun Orde Ketentuan Konstanta a = 0.025m b = 0.075m Tabel I.1. Standar Ketelitian Kedalaman Spesial 1a 1b 2 a = 0.5m b = 0.013m a = 0.5m b = 0.013m a = 1.0m b = 0.023m Uji kualitas ini dilakukan dengan menghitung nilai kesalahan data beda kedalaman dengan tingkat kepercayaan 95%, yang jika mengacu pada IHO SP-44

23 23 tahun 2008 sebesar 1.96 x σ. Jika nilai ini masih masuk kedalam batas toleransi yang diperoleh dengan persamaan I.11, maka beda kedalaman masih dalam batas toleransi. I.8.9. Uji Perbandingan Data Uji perbandingan data dilakukan untuk membandingkan apakah data kedalaman sebuah lajur berbeda secara signifikan dengan data kedalaman lajur lain yang bertampalan. Untuk melakukan uji perbandingan ini dilakukan uji Z, karena jumlah sampel yang diambil dapat dikategorikan sebagai sampel besar (>30). Persamaan untuk mencari nilai Z0 pada sampel yang berpasangan telah dijabarkan oleh Widjajanti (2011) seperti pada rumus (I.12). Berdasarkan nilai Z0, dapat diketahui apakah data kedalaman hasil pengukuran masuk dalam batas toleransi atau tidak dengan tingkat kepercayaan 95% (± 1.96). Z 0 x 2 1 n 1 1 x 2 n (I.12) Keterangan: x 1 = Rerata kedalaman lajur 1 x = Rerata kedalaman lajur 2 = Varian Sampel lajur 1 = Varian Sampel lajur 2 n1 = Jumlah Sampel lajur 1 n2 = Jumlah Sampel lajur 2 Hipotesis: a. H0 ; atau 1 2 b. HI; atau Sehingga: a. H0 ditolak, jika Z0 > atau Z0 < b. H0 diterima, jika < Z0 < +1.96

24 24 Keterangan: H0 = Hipotesis nol HI = Hipotesis alternatif = Selisih kedalaman I.9. Hipotesis Metode yang berbeda akan menghasilkan nilai yang berbeda, maka pada jenis permukaan yang relatif datar, curam, dan tidak rata diperkirakan masing-masing memiliki metode gridding terbaik yang berbeda. Diperkirakan seluruh metode gridding tidak memiliki perbedaan yang signifikan dari titik observasi.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Echosounder merupakan alat pengukur kedalaman berbasis gelombang akustik. Dengan bantuan GPS sebagai penentu posisi echosounder memberikan data kedalaman suatu daerah

Lebih terperinci

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test DAFTAR PUSTAKA Abidin, Hasanuddin Z. Metode Penentuan dengan GPS dan Aplikasinya. Pradnya Paramita. 2001. Budhiargo, Guntur. Analisis data batimetri multibeam echosounder menggunakan Caris HIPS. Skripsi.

Lebih terperinci

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) N. Oktaviani 1, J. Ananto 2, B. J. Zakaria 3, L. R. Saputra 4, M. Fatimah

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai 27 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai dengan Juli 2012. Data yang digunakan merupakan data mentah (raw data) dari

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA Pada Bab ini akan dibahas mengenai persiapan data, pengolahan data, ekspor data hasil survei multibeam echosounder

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR Pengolahan data side scan sonar terdiri dari dua tahap, yaitu tahap real-time processing dan kemudian dilanjutkan dengan tahap post-processing. Tujuan realtime

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 22 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data atau akuisisi data kedalaman dasar perairan dilakukan pada tanggal 18-19 Desember 2010 di perairan barat daya Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. I.1

BAB I PENDAHULUAN I. I.1 BAB I PENDAHULUAN I. I.1 Latar Belakang Survei batimetri adalah proses penggambaran garis-garis kontur kedalaman dasar perairan yang meliputi pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya. Survei batimetri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Survei dan pemetaan dasar laut telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya kebutuhan informasi akan sumber daya

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Pengukuran kedalaman laut atau pemeruman pada penelitian ini dilakukan di perairan Selat Sunda yang dimaksudkan untuk mendapatkan data kedalaman

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017 ANALISIS PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK MB-SYSTEM DAN CARIS HIPS AND SIPS BERDASARKAN STANDAR S-44 IHO 2008 Sendy Brammadi, Arief Laila Nugraha, Bambang Sudarsono, Imam

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 51 BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 5.1 Data Airborne LIDAR Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara

Lebih terperinci

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002 BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM 3002 3.1 Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002 Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002 merupakan produk SIMRAD dari negara Norwegia. MBES SIMRAD EM 3002

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang dua per tiga (2/3) wilayahnya adalah lautan, sehingga Negara Republik Indonesia dapat dikategorikan sebagai Negara

Lebih terperinci

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN 3.1 Pendahuluan Pada kegiatan verifikasi posisi pipa bawah laut pasca pemasangan ini akan digunakan sebagai data untuk melihat posisi aktual dari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES)

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES) BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES).1 Prinsip Sistem Multibeam Echosounder (MBES) Multibeam Echosounder menggunakan prinsip yang sama dengan singlebeam namun jumlah beam yang dipancarkan adalah

Lebih terperinci

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Survei Lokasi 3.1.1 Lokasi Geografis dan Garis Survei Lokasi dari area survei berada di sekitar Pulau Bawean, Jawa Timur. gambar 3.1 memperlihatkan lokasi dari area

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan data side scan sonar yang berasal dari survei lapang untuk kegiatan pemasangan kabel PLN yang telah dilakukan oleh Pusat

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemetaan laut, khususnya pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Analisis Data DEM/DTM Untuk mengetahui kualitas, persamaan, dan perbedaan data DEM/DTM yang akan digunakan untuk penelitian, maka dilakukan beberapa analisis. Gambar IV.1.

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007] BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Data LIDAR 4.1.1. Analisis Kualitas Data LIDAR Data LIDAR memiliki akurasi yang cukup tinggi (akurasi vertikal = 15-20 cm, akurasi horizontal = 0.3-1 m), dan resolusi yang

Lebih terperinci

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi Hal yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan survey hidrografi adalah ketentuan teknis atau disebut juga spesifikasi pekerjaan. Setiap pekerjaan

Lebih terperinci

KOMPONEN VISUALISASI 3D

KOMPONEN VISUALISASI 3D BAB 1 MENGAPA 3D? Apakah anda sering melihat peta dan langsung merasa bosan dan malas membacanya lebih jauh lagi?. Mungkin, dalam peta itu ada elemen yang langsung membuat bosan yang bisa jadi adalah hanya

Lebih terperinci

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian. BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah Pulau Semak Daun (Gambar 2.1) yang terletak di utara Jakarta dalam gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun adalah pulau yang memiliki

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV 3.1. Persiapan Sebelum kegiatan survei berlangsung, dilakukan persiapan terlebih dahulu untuk mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan selama kegiatan survei

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Profil Kecepatan Suara Profil kecepatan suara (SVP) di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh kesalahan terhadap data multibeam pada

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009] BAB III REALISASI DAN HASIL SURVEI 3.1 Rencana dan Pelaksanaan Survei Survei dilakukan selama dua tahap, yaitu tahap I adalah survei batimetri untuk menentukan Foot Of Slope (FOS) dengan menggunakan kapal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, semakin bertambah pula kemampuan komputer dalam membantu menyelesaikan permasalahanpermasalahan di berbagai

Lebih terperinci

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI 1. Perhitungan Ketelitian Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek 4.1.1 Ketelitian koordinat objek Pada kajian ketelitian koordinat ini, akan dibandingkan ketelitian dari koordinatkoordinat objek berbahaya pada area

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu tujuan survei hidrografi adalah untuk memetakan topografi dasar laut dan perairan lainnya atau secara spesifik disebut sebagai pemetaan batimetri. Pemetaan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang : a. bahwa dalam penetapan standar ketelitian peta

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards For Hydrographic Survei (S.44-IHO) Informasi mengenai kondisi dasar laut dapat diperoleh melalui sebuah kegiatan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2004 sampai bulan Desember 2006. Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Gugus Pulau Pari, Kepulauan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PENGHALUSAN JARING ELEMEN SEGITIGA REGANGAN KONSTAN SECARA ADAPTIF

PENGEMBANGAN PENGHALUSAN JARING ELEMEN SEGITIGA REGANGAN KONSTAN SECARA ADAPTIF PENGEMBANGAN PENGHALUSAN JARING ELEMEN SEGITIGA REGANGAN KONSTAN SECARA ADAPTIF Kevin Tjoanda 1, Wong Foek Tjong 2, Pamuda Pudjisuryadi 3 ABSTRAK : Penelitian ini menghasilkan program matlab yang mampu

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Waduk Sermo merupakan struktur bangunan berisi air yang berada di permukaan tanah yang berlokasi di Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Sound Velocity Profile (SVP) Pengukuran nilai Sound Velocity Profile (SVP) dilakukan dengan menggunkan sebuah instrumen CTD SBE 19. Instrumen ini memiliki tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemantauan dan pemeliharaan infrastruktur khususnya bangunan dapat dilakukan dengan bentuk model tiga dimensi (3D) yang diukur dengan Terrestrial Laser Scanner (TLS).

Lebih terperinci

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum Seperti yang telah dijelaskan dalam Latar Belakang, pipa bawah laut diperlukan untuk keperluan pendistribusian minyak dan gas. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan oleh masyarakat pada saat ini. Masyarakat memerlukan listrik untuk digunakan dalam aktivitas seharihari.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi informasi dalam beberapa waktu ini berkembang sangat pesat, perkembangannya diiringi dengan bertambahnya kemampuan komputer dalam membantu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Data spasial sangat dibutuhkan untuk menyediakan informasi tentang kebumian. Untuk memenuhi data spasial yang baik dan teliti, maka diperlukan suatu metode yang efektif

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 STUDI REFERENSI BAB 2 STUDI REFERENSI Bab ini berisi rangkuman hasil studi referensi yang telah dilakukan. Referensi- referensi tersebut berisi konsep dasar pengukuran 3dimensi menggunakan terrestrial laser scanner, dan

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

BAB 3 PENANGANAN JARINGAN KOMUNIKASI MULTIHOP TERKONFIGURASI SENDIRI UNTUK PAIRFORM-COMMUNICATION

BAB 3 PENANGANAN JARINGAN KOMUNIKASI MULTIHOP TERKONFIGURASI SENDIRI UNTUK PAIRFORM-COMMUNICATION BAB 3 PENANGANAN JARINGAN KOMUNIKASI MULTIHOP TERKONFIGURASI SENDIRI UNTUK PAIRFORM-COMMUNICATION Bab ini akan menjelaskan tentang penanganan jaringan untuk komunikasi antara dua sumber yang berpasangan.

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. BAB III PENGOLAHAN DATA 3.1. Pengolahan Data LIDAR 3.1.1. Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. Sistem LIDAR Jarak Laser Posisi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15

3. BAHAN DAN METODE. dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 13 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Data diperoleh dari survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) pada tanggal 15 Januari sampai 15 Februari

Lebih terperinci

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA By : I PUTU PRIA DHARMA APRILIA TARMAN ZAINUDDIN ERNIS LUKMAN ARIF ROHMAN YUDITH OCTORA SARI ARIF MIRZA Content : Latar Belakang Tujuan Kondisi Geografis Indonesia Metode

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA Teguh Fayakun Alif, ST Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK) BAKOSURTANAL Jl.Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911 Telp.

Lebih terperinci

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 2 Desember 2014: 165-170 TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI (Surveying Technology for Coastal Mapping) Imam Mudita Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI II.1. Survey Bathimetri Survei Bathimetri dapat didefinisikan sebagai pekerjaan pengumpulan data menggunakan metode penginderaan atau rekaman dari permukaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fungsi topografi selain menunjukkan karakteristik permukaan (relief) suatu daerah, juga dapat digunakan untuk mempelajari data selain elevasi. Suatu karakteristik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analitik, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran struktur geologi Dasar Laut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang American Society of Photogrammetry (Falkner dan Morgan, 2002) mendefinisikan fotogrametri sebagai seni, ilmu dan teknologi mengenai informasi terpercaya tentang objek fisik

Lebih terperinci

Pengolahan Data Kolom Air dari Multibeam Echosounder untuk Mendeteksi Gelembung Emisi Gas Dasar Laut

Pengolahan Data Kolom Air dari Multibeam Echosounder untuk Mendeteksi Gelembung Emisi Gas Dasar Laut G148 Pengolahan Data Kolom Air dari Multibeam Echosounder untuk Mendeteksi Gelembung Emisi Gas Dasar Laut Anwar Ghazali, dan Danar G. Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 3 PENERAPAN KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR PADA PERANGKAT LUNAK SONARPRO

BAB 3 PENERAPAN KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR PADA PERANGKAT LUNAK SONARPRO BAB 3 PENERAPAN KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR PADA PERANGKAT LUNAK SONARPRO 3.1 Real-Time Processing pada SonarPro Real-time processing dilakukan selama pencitraan berlangsung dengan melakukan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN Tujuan pembahasan analisis pelaksanaan perencanaan alur pelayaran untuk distribusi hasil pertambangan batubara ini adalah untuk menjelaskan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri BAB II DASAR TEORI 2. Fotogrametri Salah satu teknik pengumpulan data objek 3D dapat dilakukan dengan menggunakan teknik fotogrametri. Teknik ini menggunakan foto udara sebagai sumber data utamanya. Foto

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor BAB III METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dibahas mengenai proses pengolahan data seismik dengan menggunakan perangkat lunak ProMAX 2D sehingga diperoleh penampang seismik yang merepresentasikan penampang

Lebih terperinci

PRESENTASI TUGAS AKHIR

PRESENTASI TUGAS AKHIR PRESENTASI TUGAS AKHIR KAJIAN DEVIASI VERTIKAL ANTARA PETA TOPOGRAFI DENGAN DATA SITUASI ORIGINAL TAMBANG BATUBARA Oleh : Putra Nur Ariffianto Program Studi Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Bone, Perairan Sulawesi dan sekitarnya, Indonesia (Gambar 6). Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian Teluk Bone,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tugu Yogyakarta adalah sebuah monumen yang menjadi simbol Kota Yogyakarta. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pengeran Mangkubumi, Jalan Jendral Sudirman,

Lebih terperinci

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR KAJIAN EFEKTIFITAS ANTARA APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DENGAN PERPADUAN SINGLEBEAM ECHOSOUNDER - SIDE SCAN SONAR DALAM SURVEI LOKASI ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hidrologi sebagai cabang ilmu yang basisnya adalah pengukuran Fenomena Alam, dihadapkan pada tantangan bagaimana memodelkan atau memprediksi proses hidrologi pada

Lebih terperinci

HASIL DAN ANALISA. 3.1 Penentuan Batas Penetrasi Maksimum

HASIL DAN ANALISA. 3.1 Penentuan Batas Penetrasi Maksimum BAB 3 HASIL DAN ANALISA 3.1 Penentuan Batas Penetrasi Maksimum Zonasi kedalaman diperlukan untuk mendapatkan batas penetrasi cahaya ke dalam kolom air. Nilai batas penetrasi akan digunakan dalam konversi

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 APLIKASI ECHOSOUNDER HI-TARGET HD 370 UNTUK PEMERUMAN DI PERAIRAN DANGKAL (STUDI KASUS : PERAIRAN SEMARANG) Muhammad Al Kautsar 1), Bandi Sasmito, S.T., M.T. 2), Ir. Hani ah 3) 1) Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS IV.1. PENGOLAHAN DATA Dalam proses pemodelan gempa ini digunakan GMT (The Generic Mapping Tools) untuk menggambarkan dan menganalisis arah vektor GPS dan sebaran gempa,

Lebih terperinci

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pre-Lay Survey

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pre-Lay Survey BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pekerjaan pemasangan pipa bawah laut dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu Pre- Lay Survey, Pipeline Installation, As Laid Survey [Lekkerkekerk,et al.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemetaan laut khususnya pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan

Lebih terperinci

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus BAB II DASAR TEORI 2.1 Meter Air Gambar 2.1 Meter Air Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus menerus melalui sistem kerja peralatan yang dilengkapi dengan unit sensor,

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi BB 2 DSR TEORI 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi Pemetaan objek tiga dimensi diperlukan untuk perencanaan, konstruksi, rekonstruksi, ataupun manajemen asset. Suatu objek tiga dimensi merupakan

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

BAB 1 ENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 ENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak merupakan salah satu sumber daya alam utama di Indonesia. Jumlah sumber daya dan cadangan minyak bumi yang mencapai 94,98 miliar barel menjadikan Indonesia lahan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sebagai salah satu situs warisan budaya dunia, Candi Borobudur senantiasa dilakukan pengawasan serta pemantauan baik secara strukural candi, arkeologi batuan candi,

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR (2.1) sin. Gambar 2.1 Prinsip Huygen. Gambar 2.2 Prinsip Snellius yang menggambarkan suatu yang merambat dari medium 1 ke medium 2

BAB II TEORI DASAR (2.1) sin. Gambar 2.1 Prinsip Huygen. Gambar 2.2 Prinsip Snellius yang menggambarkan suatu yang merambat dari medium 1 ke medium 2 BAB II TEORI DASAR.1 Identifikasi Bentuk Gelombang Perambatan gelombang pada media bawah permukaan mengikuti beberapa prinsip fisika sebagai berikut : a. Prinsip Huygen menyatakan bahwa setiap titik yang

Lebih terperinci

TERMINOLOGI PADA SENSOR

TERMINOLOGI PADA SENSOR TERMINOLOGI PADA SENSOR Tutorial ini merupakan bagian dari Seri Pengukuran Fundamental Instrumen Nasional. Setiap tutorial dalam seri ini, akan mengajarkan anda tentang topik spesifik aplikasi pengukuran

Lebih terperinci

ANALISA PENENTUAN POSISI HORISONTAL DI LAUT DENGAN MAPSOUNDER DAN AQUAMAP

ANALISA PENENTUAN POSISI HORISONTAL DI LAUT DENGAN MAPSOUNDER DAN AQUAMAP ANALISA PENENTUAN POSISI HORISONTAL DI LAUT DENGAN MAPSOUNDER DAN AQUAMAP Khomsin 1, G Masthry Candhra Separsa 1 Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari2014

Jurnal Geodesi Undip Januari2014 Survei Bathimetri Untuk Pengecekan Kedalaman Perairan Wilayah Pelabuhan Kendal Ahmad Hidayat, Bambang Sudarsono, Bandi Sasmito *) Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. B. Tujuan Praktikum

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. B. Tujuan Praktikum BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pengukuran merupakan penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya terhadap suatu standar atau satuan pengukuran atau dapat dikatakan juga bahwa pengukuran adalah

Lebih terperinci