BAB II LANDASAN TEORI. dipengaruhi oleh sejumlah variabel (Aron et al., 1989; Feingold, 1992;

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. dipengaruhi oleh sejumlah variabel (Aron et al., 1989; Feingold, 1992;"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. PEMILIHAN PASANGAN 1. Pengertian Pemilihan Pasangan Salah satu keputusan yang penting dalam hidup ialah memilih pasangan. Memilih pasangan merupakan suatu proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh sejumlah variabel (Aron et al., 1989; Feingold, 1992; Hartin,1990 dalam Lemme 1995). Developmental Process Theories adalah salah satu teori mengenai pemilihan pasangan. Developmental Process Theories (DeGenova, 2008), menjelaskan bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan dan penyisihan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat hingga akhirnya terpilih seseorang yang tepat. 2. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pasangan Menurut DeGenova (2008), terdapat dua faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan, yaitu : a. Latar Belakang Keluarga Latar belakang keluarga mempengaruhi semua hal yang ada pada individu, baik keinginannya ataupun perlakuannya. Tidak ada bagian dari individu yang tidak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, termasuk dalam hal memilih pasangan. Dengan mengetahui latar belakang keluarga

2 calon pasangan dapat membantu individu untuk mengetahui mengenai calon pasangannya yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga tersebut (DeGenova, 2008). Anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak menunjukkan kasih sayang biasanya akan sulit untuk mengekspresikan kasih sayang ketika dewasa. Individu terkadang merasa tidak nyaman dan sulit untuk mengetahui bagaimana memberikan atau menerima kasih sayang, khususnya pria. Hal ini dikarenakan pada umumnya pria kurang menerima kasih sayang dibandingkan wanita. Pria terkadang merasa seperti wanita atau tidak jantan jika mengekspresikan kelembutan (Carter dan Sokol, dalam DeGenova, 2008). Menurut DeGenova (2008), dalam mempelajari latar belakang keluarga dari calon pasangan ada beberapa hal yang diperhatikan, yaitu : 1) Kelas Sosioekonomi Kesempatan untuk mendapatkan kepuasan pernikahan akan lebih besar jika individu menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosioekonomi yang setara dengan dirinya. Jika kelas sosioekonomi merupakan faktor utama bagi individu dalam proses pemilihan pasangan, maka individu yang menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosioekonomi yang lebih rendah akan lebih mengalami stres dibandingkan dengan individu yang menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosioekonomi yang lebih tinggi.

3 2) Pendidikan dan inteligensi Terdapat kecenderungan pada individu untuk memilih pasangan yang peduli dengan pendidikan. Secara keseluruhan, wanita yang lulus dalam waktu 4 tahun di perguruan tinggi cenderung akan menikah dengan pria yang juga lulus dalam waktu 4 tahun di perguruan tinggi atau pria yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi darinya. Pada umumnya, pernikahan dari pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama lebih harmonis dibandingkan dengan pernikahan dari pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Pada kenyataannya, resiko ketidakstabilan pernikahan juga lebih tinggi pada pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda (Tzeng, dalam DeGenova, 2008). 3) Pernikahan Antar Ras atau Suku Salah satu permasalahan yang akan muncul dalam pernikahan antar ras atau suku adalah permasalahan sosial. Permasalahan tersebut bukan berasal dari pasangan itu sendiri melainkan dari reaksi keluarga, teman, dan lingkungan sosial yang ada di sekitar pasangan tersebut (Olofsson, dalam DeGenova, 2008). Tanpa dukungan dari keluarga, teman, dan lingkungan sosial, suatu hubungan akan lebih rentan mengalami masalah.

4 4) Pernikahan Antar Agama Salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan ialah faktor agama. Tingkat religiusitas yang dimiliki oleh individu dan dukungan dari keluarga menjadi dorongan bagi individu untuk menikah dengan pasangan yang memeluk agama yang sama dengan individu tersebut. Diasumsikan bahwa pernikahan satu agama akan lebih stabil dibandingkan dengan pernikahan beda agama. Dengan latar belakang agama yang sama, anak akan tumbuh dengan prinsip agama yang kuat dan memiliki standar moral yang baik. b. Karakteristik Personal Salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih pasangan yang akan dijadikan pendamping hidup ialah kecocokan. Beberapa karakteristik personal yang berkontribusi pada kecocokan tersebut, yaitu : 1) Sikap dan Perilaku Individu Penelitian pada sifat individu berfokus pada fisik, kepribadian, dan kesehatan mental. Sakit fisik menjadi penyebab munculnya stress dalam hubungan, dan membuat hubungan menjadi kurang memuaskan dan kurang stabil. Perilaku neurotic dan sakit mental menyebabkan berkurangnya kestabilan dan kualitas pernikahan. Depresi juga memiliki efek negatif terhadap kualitas pernikahan. Self-esteem yang tinggi dan konsep diri yang baik secara positif berkaitan dengan kepuasan pernikahan. Sociable

5 (extraversion) secara positif berkaitan dengan stabilitas dan kualitas pernikahan (J. H. Larson dan Holman, 1994 dalam DeGenova, 2008) 2) Perbedaan Usia Salah satu hal yang diperhatikan dalam memilih pasangan ialah perbedaan usia di antara pasangan tersebut. Secara keseluruhan, rata-rata perbedaan usia di antara pasangan adalah dua tahun. Menikah dengan pasangan yang berusia lebih tua atau lebih muda akan mempengaruhi kualitas pernikahan. Sebagai contoh, ketika seorang wanita muda menikah dengan pria yang berusia lebih tua, maka biasanya wanita tersebut akan menjadi janda di usia muda. Tetapi, ketika pria dan wanita menikah di usia yang setara maka mereka cenderung akan hidup bersama lebih lama jika telah menikah sejak usia muda (Davidson, 1989; Foster, Klinger-Vartabedian, dan Wispe, 1984 dalam DeGenova, 2008). 3) Memiliki Kesamaan Sikap dan Nilai Kecocokan pernikahan akan meningkat jika pasangan memiliki kesamaan sikap dan nilai mengenai hal-hal yang dianggap penting bagi mereka. Seseorang yang saling berbagi sikap dan nilai biasanya akan merasa lebih nyaman satu sama lain. Dari sudut pandang ini, kecocokan dinilai sebagai bagian dari kesetujuan dan ketidaksetujuan mengenai hal-hal, seperti pekerjaan, tempat tinggal, uang, hubungan dengan orang tua, kehidupan sosial, agama, sex, kebiasaan dan peran gender (DeGenova, 2008).

6 4) Peran Gender dan Kebiasaan Personal Kecocokan tidak hanya didasarkan pada kesamaan nilai dan sikap, tetapi juga melibatkan perilaku. Pasangan akan merasa lebih puas jika pasangan mereka berbagi harapan yang sama mengenai peran gender dan jika mereka dapat saling bertoleransi tentang kebiasaan personal satu sama lain. Salah satu pengukuran kecocokan dalam pernikahan adalah persamaan harapan antara pria dan wanita. Setiap pria memiliki konsep peran sendiri mengenai hal-hal yang harus dilakukan sebagai seorang suami dan memiliki harapan mengenai peran yang seharusnya dilakukan oleh pasangannya. Begitu juga dengan wanita, wanita memiliki konsep peran sendiri sebagai seorang istri dan memiliki harapan mengenai peran yang seharusnya dilakukan oleh pasangannya. Harapan di antara keduanya bisa saja berbeda dengan yang terjadi (DeGenova, 2008). 3. Proses Pemilihan Pasangan Developmental Process Theories (DeGenova, 2008), menjelaskan bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan dan penyisihan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat hingga akhirnya terpilih seseorang yang tepat. Teori ini menjelaskan beberapa tahap yang dilalui oleh individu dalam proses penyeleksian pasangan, yaitu :

7 a. Field of Eligibles Tahap pertama yang dilalui oleh individu dalam memilih pasangan ialah menentukan kriteria pasangan yang dianggap paling sesuai dengan diri individu tersebut. Pernikahan yang baik cenderung meningkat ketika menikah dengan pria dengan status yang tinggi dibandingkan menikah dengan pria dengan status yang rendah (diukur dari pendidikan dan pekerjaan) (Litcher, Anderson, dan Hayward, dalam DeGenova, 2008). b. Propinquity Propinquity adalah kedekatakan geografis yang merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pemilihan pasangan (DeGenova, 2008). Propinquity menjadi salah satu alasan kenapa individu cenderung memilih pasangan dari kelas sosial yang sama, hal ini dikarenakan tempat tinggal, sekolah, dan lingkungan kerja berhubungan dengan status sosialekonomi. Hal ini juga yang menyebabkan individu cenderung tertarik dan akrab dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang yang sama (Feingold, 1988 dalam Lemme, 1995). c. Attractiveness Ketertarikan meliputi ketertarikan fisik dan ketertarikan pada sifat kepribadian tertentu (DeGenova, 2008). Wanita lebih tinggi memprioritaskan lebih tinggi pada aspek SES, ambisi, karakter, dan intelegensi, dibandingkan dengan pria yang lebih berfokus pada ketertarikan secara fisik (Lemme, 1995).

8 Wanita juga cenderung menyukai pasangan yang berusia lebih tua atau seusia namun pria lebih menyukai pasangan yang berusia lebih muda (Baron & Byrne, dalam Lemme, 1995). d. Homogamy dan Heterogamy Dua konsep penting yang juga harus dipahami dalam memilih pasangan yaitu homogamy dan heterogamy. Homogamy mengarah pada kecenderungan individu untuk memilih pasangan yang sama seperti dirinya dan heterogamy mengarah pada kecenderungan individu untuk memilih pasangan yang berbeda dari dirinya (DeGenova, 2008). Individu cenderung menikahi seseorang yang sama dengan dirinya dalam hal usia, ketertarikan fisik, kepribadian, sikap, kemampuan kognitif, pendidikan, dan latar belakang kelas sosialekonominya (Epstein & Guttman et al, dalam Lemme, 1995). Pernikahan yang homogamous cenderung lebih stabil dibandingkan dengan pernikahan yang heterogamous, meskipun tidak secara keseluruhan. Alasan utama individu untuk melakukan pernikahan yang homogamous ialah individu lebih menyukai orang-orang yang sama seperti dirinya dan merasa tidak nyaman jika berada di dekat orang-orang yang berbeda dari dirinya (DeGenova, 2008). e. Compatibility Kecocokan mengarah kepada kemampuan individu untuk tinggal bersama dengan pasangannya dalam keadaan harmonis. Kecocokan dapat dievaluasi dari aspek tempramen, sikap dan nilai, kebutuhan, peran, dan

9 kebiasaan pribadi. Dalam memilih pasangan individu akan berusaha untuk mendapatkan pasangan yang sesuai atau cocok dengan dirinya (DeGenova, 2008). f. The Filtering Process Dalam proses penyaringan pemilihan pasangan ini, individu akan melalui serangkaian proses penyaringan dan mengeliminasi calon pasangan yang dianggap tidak sesuai hingga akhirnya membuat suatu keputusan. Proses ini diawali dengan menentukan kriteria pasangan, lalu calon pasangan akan diseleksi berdasarkan kedekatan (propinquity) dan kemudian ketertarikan fisik akan memainkan peranan yang penting diikuti oleh ketertarikan pada sikap kepribadian. Secara bertahap, individu mulai memilah calon pasangan berdasarkan faktor sosiokultural : usia, etnis, pendidikan, kelas sosioekonomi, dan agama. Semakin berkembangnya hubungan tersebut, individu akan merasakan kecocokan satu sama lain. Sebelum membuat keputusan akhir, individu biasanya melewati suatu periode percobaan yang biasanya disebut dengan tunangan. Jika individu dapat melewati proses penyaringan ini, keputusan akhir yang dibuat oleh individu ialah keputusan untuk menikah. Berikut adalah bagan dari proses pemilihan pasangan :

10 Tabel 1. Proses Penyaringan Pemilihan Pasangan Field of Eligible Propinquity Filter Attraction Filter Ketertarikan Secara Fisik dan Ketertarikan Personal Homogamy filter Usia, Etnis, Pendidikan, Kelas Sosioekonomi, Agama Compatibility Filter Tempramen, Sikap dan Nilai, Kebutuhan, Peran dan Kebiasaan Trial Filter Kohabitasi dan Tunangan Decision Filter Menikah Sumber : Intimate Relationship, Marriage & Families, Mary Kay DeGenova, 2008 B. TUNANETRA 1. Pengertian Tunanetra Kata tunanetra berasal dari kata tuna yang artinya rusak dan kata netra yang artinya mata, jadi kata tunanetra berarti rusak mata atau penglihatan. Tunanetra merupakan salah satu kelainan fisik pada indra penglihatan. Secara legal, seseorang dikatakan tunanetra jika ketajaman visualnya sama dengan atau kurang dari 20/200 baik setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya. Maksud dari

11 20/200 ialah bila dibandingkan dengan individu normal yang mampu melihat hingga jarak 200 kaki, maka tunanetra hanya mampu melihat sampai 20 kaki (Heward, 1992). Peyandang tunanetra adalah seseorang yang karena suatu hal mengalami disfungsi visual atau kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Seseorang dikatakan tunanetra apabila Ia menggunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar atau kegiatan lainnya (Manurung, 2012). Seseorang juga dikatakan tunanetra jika individu tersebut memiliki visus sentralis sama dengan atau lebih kecil dari 6/60, atau setelah dilakukan upaya pemulihan secara maksimal penglihatannya tidak memungkinkan lagi untuk mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang biasa digunakan oleh anak normal (Efendi, 2006). 2. Klasifikasi Tunanetra Menurut WHO (dalam Manurung, 2012) istilah tunanetra terbagi kedalam dua bagian, yaitu blind atau yang disebut dengan buta dan low vision atau penglihatannya yang kurang. Blind menggambarkan kondisi penglihatan yang tidak dapat diandalkan lagi meskipun dengan alat bantu, sehingga tergantung dengan fungsi indra yang lain. Low vision menggambarkan kondisi penglihatan dengan ketajaman yang kurang, mempunyai kesulitan dengan tugas-tugas yang menuntut fungsi penglihatan, namun masih dapat dibantu dengan alat khusus.

12 Klasifikasi tunanetra berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan terbagi atas (Lumbangaol, 2010) : a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan b. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil, mereka memiliki kesankesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan c. Tunanetra pada usia sekolah atau pada usia remaja, mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan memberikan pengaruh terhadap proses perkembangan kepribadian. d. Tunanetra pada usia dewasa e. Tunanetra pada lanjut usia C. DEWASA AWAL 1. Pengertian Dewasa Awal Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa. Transisi dari remaja ke dewasa awal ini disebut sebagai tumbuh dewasa (emerging adulthood) (Arnett, dalam King, 2010). Masa dewasa awal adalah periode perkembangan yang berawal pada akhir usia 18 tahun dan berakhir pada usia 40 tahun (Hurlock, 1980). Menurut Erikson (dalam King, 2010), pada masa dewasa awal individu memasuki tahap keenam dari perkembangan psikososial yaitu, intimacy vs isolation. Pada masa ini, individu dewasa akan dihadapkan dengan tugas perkembangan yakni menjalin hubungan dengan orang lain

13 atau terisolasi secara sosial. Bila pada masa ini individu mengembangkan hubungan persahabatan yang sehat dan hubungan yang intim dengan pasangan, maka intimacy akan tercapai. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dewasa awal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang berusia 18 sampai 40 tahun. 2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal antara lain : Menurut Hurlock tugas perkembangan pada masa dewasa awal, a. Mulai bekerja b. Memilih pasangan c. Belajar hidup dengan tunangan d. Mulai membina keluarga e. Mengasuh anak f. Mengelola rumah tangga g. Mengambil tanggung jawab sebagai warga Negara h. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan 3. Ciri- ciri Masa Dewasa Awal a. Perkembangan Fisik Pada masa dewasa awal biasanya individu berada di puncak kesehatan, kekuatan, energi, dan daya tahan. Pada masa ini juga individu berada di puncak sensoris dan motoris dengan sempurna. Ketajaman visual juga mencapai puncaknya dari usia 20 sampai 40

14 tahun. Rasa, bau, serta sensitivitas terhadap rasa sakit dan temperature akan mulai menurun pada usia 45 tahun (Papalia, et al, 2008). b. Perkembangan Kognitif Pada masa dewasa awal pemikiran cenderung tampak fleksibel, terbuka, adaptif, dan individualistis. Hal tersebut ditandai dengan kemampuan individu berhadapan dengan ketidakpastian, ketidakkonsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi. Tahap kognitif pada masa dewasa awal ini sering kali disebut dengan pemikiran postformal (Papalia, et al, 2008). c. Perkembangan Psikososial Tahap keenam perkembangan psikososial Erikson yaitu, intimacy vs isolation merupakan isu utama masa dewasa awal. Jika seorang dewasa awal tidak mampu membuat komitmen personal yang dalam terhadap orang lain maka mereka akan terisolasi dan self-absorb (terpaku pada kegiatan dan pikirannya sendiri). Akan tetapi, individu dewasa awal juga membutuhkan kesendirian sebagai upaya merefleksikan kehidupan mereka. Ketika mereka berusaha menyelesaikan tuntutan yang berlawanan dari intimasi, kompetisi, dan jarak, mereka mengembangkan pemahaman etis yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan (Papalia et al, 2008).

15 4. Pengertian Tunanetra Dewasa Awal Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa. Masa dewasa awal adalah periode perkembangan yang berawal pada akhir usia 18 tahun dan berakhir pada usia 40 tahun (Hurlock, 1980). Tunanetra merupakan salah satu bentuk ketunaan dengan hilangnya fungsi penglihatan. Penyandang tunanetra adalah seseorang yang karena suatu hal mengalami disfungsi visual atau kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Berdasarkan uraian di atas, maka tunanetra dewasa awal merupakan individu yang berusia 18 sampai 40 tahun di mana fungsi penglihatannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. D. GAMBARAN PROSES PEMILIHAN PASANGAN PADATUNANETRA Tunanetra merupakan salah satu bentuk ketunaan di mana individu kehilangan salah satu fungsi panca indra yaitu, mata. Mata merupakan salah satu organ penting yang berfungsi sebagai penyalur informasi yang utama. Hilangnya fungsi penglihatan mengakibatkan hilangnya salah satu saluran untuk mendapatkan informasi mengenai lingkungan sekitar (Efendi, 2006). Hilangnya fungsi penglihatan ini juga akan menghambat seorang tunanetra dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ketunanetraan yang ada pada

16 seseorang menyebabkan dirinya mengalami keterpisahan dengan lingkungan fisiknya yang dapat menyebabkan kepasifan pada tunanetra. Keterbatasan lain yang merupakan akibat langsung dari ketunanetraan tersebut ialah keterbatasan dalam berpindah tempat. Keterbatasan dalam berpindah tempat dapat membuat seorang tunanetra menarik diri dari kegiatan sosial atau pergaulan masyarakat. Meskipun kehilangan fungsi penglihatan, biasanya pendengaran dan perabaan akan menjadi sarana alternatif bagi tunanetra dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya (Efendi, 2006). Seluruh aspek kehidupan dan kebutuhan seorang tunanetra akan dipengaruhi oleh ketidakmampuan dan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya termasuk hubungan interpersonal dengan orang-orang di sekitarnya. Bersosialisasi dan membangun hubungan dengan teman sebaya atau dengan lawan jenis merupakan tugas perkembangan pada masa dewasa awal baik dewasa awal yang normal ataupun tunanetra Tugas perkembangan lainnya pada masa dewasa awal ini ialah memilih pasangan. Memilih pasangan merupakan salah satu keputusan penting yang dibuat oleh individu sepanjang hidupnya (DeGenova, 2008). Memilih pasangan merupakan suatu proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak variabel. Proses pemilihan pasangan merupakan salah satu langkah awal yang dilalui individu sebelum memasuki ke jenjang pernikahan. Developmental Process Theories menjelaskan bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan dan penyisihan orang-orang yang

17 dianggap tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat hingga akhirnya terpilih seseorang yang tepat (DeGenova, 2008). Proses penyeleksian pasangan ini diawali dengan menentukan kriteria yang sesuai dengan diri individu, kemudian mempertimbangkan calon pasangan yang dianggap hampir memenuhi kriteria dan mengeleminasi yang tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya (Feingold, dalam Lemme, 1995). Banyak orang yang terkadang tidak menyadari kriteria pasangan yang mereka harapkan. Misalnya, pria cenderung menikahi wanita yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya. Meskipun pria tidak secara terang-terangan mengemukakan hal tersebut sebagai salah satu kriteria pasangan, namun mereka tidak tertarik dengan pasangan yang usianya lebih tua (Buunk et al., 2001, dalam Newman & Newman, 2006). Fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa banyak tunanetra yang menikah dengan pasangan yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Epstein & Guttman (dalam Lemme, 1995), mengemukakan bahwa individu cenderung akan menikahi seseorang yang sama dengan dirinya dalam hal usia, ketertarikan fisik, sifat kepribadian, sikap, kemampuan kognitif, pendidikan, dan latar belakang sosial ekonomi. Alasan utama mengapa kita cenderung memilih pasangan yang sama dengan kita ialah kita akan cenderung menyukai seseorang yang sama dengan kita dan merasa tidak nyaman jika berada di sekitar orang- orang yang berbeda dengan kita (DeGenova, 2008). Meskipun demikian tidak semua tunanetra menikah

18 dengan pasangan yang juga tunanetra. Beberapa dari mereka memiliki keinginan untuk menikah dengan pasangan yang normal. Proses pemilihan pasangan yang dilalui tunanetra juga tentu berbeda dengan individu yang normal. Salah satu perbedaan yang paling khas ialah ketertarikan fisik. Pada umumnya, kita cenderung menilai seseorang dari fisiknya. Satu studi menemukan bahwa daya tarik fisik (physical attraction) merupakan salah satu variabel yang penting dalam membentuk chemistry dengan orang lain (Peretti, abplanalp, dan Peretti dan DeGenova, 2008). Namun, pada tunanetra ketertarikan tidak berasal dari fisik melainkan dari suara. Hal ini tentu merupakan akibat langsung dari hilangnya fungsi penglihatan yang mengakibatkan tunanetra harus mengandalkan indra lain dalam memperoleh informasi (Efendi, 2006). Satu studi yang dilakukan untuk membandingkan mate preference pada individu normal dengan individu dengan hambatan penglihatan menunjukkan hasil bahwa secara keseluruhan individu normal dengan individu dengan hambatan penglihatan memiliki pilihan trait yang sama dalam memilih pasangan. Perbedaan yang terlihat jelas hanya pada aspek good looks, di mana aspek tersebut merupakan aspek yang lebih penting bagi individu yang normal daripada individu dengan hambatan penglihatan (Trelfa, 2006). Beberapa penjelasan yang dapat dikemukakan mengenai hal tersebut ialah yang pertama individu dengan hambatan penglihatan dapat berpedoman

19 pada isyarat lain dalam memberikan penilaian baik pada penampilan fisik atau kualitas dari penampian fisik tersebut. Miller (dalam Trelfa, 2006) mengemukakan sebuah model yang menyatakan bahwa pemilihan pasangan meliputi serangkaian keputusan. Setiap keputusan dianggap sebagai rintangan yang harus diselesaikan sebelum mengambil keputusan yang berikutnya. Urutan dari setiap keputusan tergantung pada diri individu dalam membuat keputusan dan situasi diri individu tersebut. Individu dengan (hubungan jangka pendek) akan menilai penampilan fisik terlebih dahulu daripada traits lainnya. Individu dengan (hubungan jangka panjang akan menilai terlebih dahulu pada trait seperti keadaan ekonomi daripada penampilan fisik calon pasangan. Satu studi dilakukan untuk melihat perbedaan kriteria pasangan (hubungan jangka panjang) pada individu normal dan individu dengan hambatan penglihatan. Hasilnya menunjukkan bahwa individu dengan hambatan penglihatan tidak mengutamakan ketertarikan wajah dibandingkan dengan individu normal. Individu dengan hambatan penglihatan terlebih dahulu mengumpulkan informasi mengenai calon pasangannya sebelum memberikan penilaian pada penampilan fisik pasangannya (Trelfa, 2006) Meskipun demikian, studi yang dilakukan oleh Karremans, Frankenhuis, dan Arons menunjukkan bahwa pria dengan hambatan penglihatan lebih menyukai wanita dengan tingkat WHP (waist-to-hip-ratio) yang rendah. Studi tersebut menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat

20 menyebabkan hal tersebut ialah pria dengan hambatan penglihatan dapat saja memperoleh informasi mengenai hal-hal yang dianggap menarik oleh individu yang dapat melihat secara verbal, meliputi teman sebaya, orang tua, dan saudara mereka (cf. Yu, Proulx, & Shepard dalam Karremans, 2009). Trelfa (2006) juga mengemukakan bahwa salah satu cara yang dapat digunakan oleh individu dengan hambatan penglihatan untuk mengetahui mengenai calon pasangan tersebut berkualitas atau tidak ialah dengan menggunakan informasi-informasi tentang calon pasangan secara psikologis dan behavioural. Informasi ini dapat diperoleh tanpa harus melihat secara langsung apa yang mereka lakukan. Dengan berbicara kita dapat mengetahui bagaimana nilai-nilai yang dimiliki orang tersebut, kemampuan bersosialisasinya, inteligensinya, dan kepribadian lainnya. Sebagai penambahan informasi ini juga dapat diperoleh dari orang lain. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan bagi tunanetra (Trelfa, 2006) Hilangnya fungsi penglihatan pada tunanetra mengharuskan tunanetra menggunakan indra lain yang masih berfungsi dalam mengumpulkan informasi mengenai calon pasangannya. Pengumpulan informasi mengenai pasangan melalui suara dan informasi dari orang lain tentu akan berbeda dengan informasi yang diperoleh dari penglihatan. Hal inilah yang pada dasarnya memunculkan perbedaan-perbedaan dalam proses pemilihan pasangan yang dilalui oleh tunanetra.

21 E. PARADIGMA BERPIKIR Tunanetra Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal Mendapatkan Pekerjaan Memilih Pasangan Membentuk Suatu Keluarga Karakteristik tunanetra : Lebih berkonsentrasi pada suara dan berusaha memanfaatkan panca indera yang lain Memiliki keterbatasan dalam keanekaragaman pengalaman Memiliki keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan Memiliki keterbatasan dalam mobilitas Proses Pemilihan Pasangan DeGenova (2008) : Field of eligible Propinquity filter Kesamaan sikap dan nilai Sikap dan perilaku Peran gender dan kebiasaan personal Attraction filter Homogamy filter Compatibility filter Trial filter Decision filter Usia Etnis Pendidikan Sosioekonomi Agama

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut salah satu teori utama pemilihan pasangan, Developmental

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut salah satu teori utama pemilihan pasangan, Developmental BAB II LANDASAN TEORI A. Pemilihan Pasangan 1. Pengertian Pemilihan Pasangan Menurut salah satu teori utama pemilihan pasangan, Developmental Process Theories, pemilihan pasangan adalah suatu proses penyaringan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. orang tua dari anak anak kelak (Lyken dan Tellegen, 1993). Pemilihan

BAB II LANDASAN TEORI. orang tua dari anak anak kelak (Lyken dan Tellegen, 1993). Pemilihan BAB II LANDASAN TEORI A. Pemilihan Pasangan 1. Pengertian Pemilihan Pasangan Memilih pasangan, berarti memilih seseorang yang diharapkan dapat menjadi teman hidup, seseorang yang dapat menjadi rekan untuk

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup saling membutuhkan satu sama lain. Salah satunya adalah hubungan intim dengan lawan jenis atau melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat seseorang memutuskan untuk menikah, maka ia akan memiliki harapan-harapan yang tinggi atas pernikahannya (Baron & Byrne, 2000). Pernikahan merupakan awal terbentuknya

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesiapan Menikah 2.1.1 Definisi Kesiapan Menikah Kesiapan menikah merupakan suatu kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 101 BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk memperoleh gambaran mengenai kebutuhan intimacy melalui wawancara mendalam. Berdasarkan hasil analisis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, tidak semua orang berada pada kondisi fisik yang sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Setiap pasangan yang mengikrarkan diri dalam sebuah ikatan pernikahan tentu memiliki harapan agar pernikahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menjadi seseorang yang memiliki keterbatasan bukan keinginan atau pilihan hidup setiap manusia. Tentunya semua manusia ingin hidup dengan kondisi fisik maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN RUMUSAN MASALAH. Menurut Branden (dalam Esri, 2004) perilaku seseorang mempengaruhi dan

BAB II LANDASAN TEORI DAN RUMUSAN MASALAH. Menurut Branden (dalam Esri, 2004) perilaku seseorang mempengaruhi dan 6 BAB II LANDASAN TEORI DAN RUMUSAN MASALAH II.1 Pengertian Harga diri (Self-Esteem (SE)) II.1.1 Definisi Harga diri (Self-Esteem) Menurut Branden (dalam Esri, 2004) perilaku seseorang mempengaruhi dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah 7 TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Beberapa dekade lalu, orang tua sering menjodohkan anak mereka dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Beberapa dekade lalu, orang tua sering menjodohkan anak mereka dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beberapa dekade lalu, orang tua sering menjodohkan anak mereka dengan anak kenalannya untuk dinikahkan. Pada proses penjodohan itu sendiri terkadang para anak tersebut

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu utama bagi individu yang ada pada masa perkembangan dewasa awal. Menurut Erikson,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan jarak jauh (long distance relationship) Pengertian hubungan jarak jauh atau sering disebut dengan long distance relationship adalah dimana pasangan dipisahkan oleh jarak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap manusia akan mencari pasangan hidupnya dan menjalin suatu hubungan serta melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan yang sah dan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap makhluk hidup didunia memiliki keinginan untuk saling berinteraksi. Interaksi social yang biasa disebut dengan proses sosial merupakan syarat utama terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1). Menurut hukum adat, atau merupakan salah satu cara untuk menjalankan upacara-upacara yang

BAB I PENDAHULUAN. (Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1). Menurut hukum adat, atau merupakan salah satu cara untuk menjalankan upacara-upacara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu proses penyatuan dua individu yang memiliki komitmen berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antar manusia, yaitu antara seorang pria dengan seorang wanita (Cox, 1978). Menurut Hurlock (1999) salah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Menurut Rosenberg (dalam Mruk, 2006), Self-Esteem merupakan bentuk evaluasi dari sikap yang di dasarkan pada perasaan menghargai diri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas empat sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai komunikasi sebagai media pertukaran informasi antara dua orang atau lebih. Sub bab kedua membahas mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman banyak perubahan yang terjadi, salah satunya adalah perubahan dalam pandangan orang dewasa mengenai pernikahan. Hal ini didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada usia dewasa awal tugas perkembangan yang harus diselesaikan adalah intimacy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk menjalin suatu hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Resolusi Konflik Setiap orang memiliki pemikiran atau pengertian serta tujuan yang berbeda-beda dan itu salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu hubungan kedekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti mempunyai harapan-harapan dalam hidupnya dan terlebih pada pasangan suami istri yang normal, mereka mempunyai harapan agar kehidupan mereka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pernikahan merupakan komitmen yang disetujui oleh dua pihak secara resmi yang dimana kedua pihak tersebut bersedia untuk berbagi keitiman emosional & fisik, bersedia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individual yang bisa hidup sendiri tanpa menjalin hubungan apapun dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. individual yang bisa hidup sendiri tanpa menjalin hubungan apapun dengan individu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia di dunia ini dimana manusia memiliki akal, pikiran, dan perasaan. Manusia bukanlah makhluk individual yang

Lebih terperinci

BAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran

BAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran BAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai simpulan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan pada bab

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap 7 BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap perkembangan khususnya pada tahapan dewasa muda, hubungan romantis, attachment dan tipe attachment. 2.1 Dewasa

Lebih terperinci

Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog

Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog PELATIHAN PSIKOLOGI DAN KONSELING BAGI DOSEN PEMBIMBING AKADEMIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog MAHASISWA Remaja Akhir 11 20 tahun,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita yang bernama Mimi, usia 21 tahun, sudah menikah selama 2 tahun dan memiliki 1 orang anak, mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan sosial 2.1.1 Definisi kecerdasan sosial Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rumah tangga sudah tentu terdapat suami dan istri. Melalui proses perkawinan, maka seseorang individu membentuk sebuah miniatur dari organisasi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Preferensi pemilihan pasangan A.1 Definisi Preferensi pemilihan pasangan Preferensi pemilihan pasangan merupakan salah satu topik yang sudah pernah diteliti oleh beberapa peneliti.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam kehidupannya, setiap orang pasti membutuhkan orang lain, entah dalam saat-saat susah, sedih, maupun bahagia. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini sering terjadi di belahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang melaju sangat pesat dan persaingan global

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang melaju sangat pesat dan persaingan global 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang melaju sangat pesat dan persaingan global yang terjadi sekarang ini menuntut manusia untuk berusaha sebaik mungkin dalam menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Adanya interaksi sosial antara manusia yang satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat

Lebih terperinci

Kesiapan menikah hasil identifikasi dari jawaban contoh mampu mengidentifikasi tujuh dari delapan faktor kesiapan menikah, yaitu kesiapan emosi,

Kesiapan menikah hasil identifikasi dari jawaban contoh mampu mengidentifikasi tujuh dari delapan faktor kesiapan menikah, yaitu kesiapan emosi, 61 PEMBAHASAN Hampir seluruh dewasa muda dalam penelitian ini belum siap untuk menikah, alasannya adalah karena usia yang dirasa masih terlalu muda. Padahal ketentuan dalam UU No.1 tahun 1974, seharusnya

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada penelitian ini, definisi yang akan dijelaskan secara lebih mendalam oleh

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada penelitian ini, definisi yang akan dijelaskan secara lebih mendalam oleh BAB 2 LANDASAN TEORI Pada penelitian ini, definisi yang akan dijelaskan secara lebih mendalam oleh peneliti berkaitan dengan 3 hal, yaitu intensitas komunikasi melalui fitur blackberry messenger, kepribadian

Lebih terperinci

Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti

Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa Faktor-faktor yang mempengaruhi Tumbuh Kembang 1. Faktor Genetik. 2. Faktor Eksternal a. Keluarga b. Kelompok teman sebaya c. Pengalaman hidup d. Kesehatan e.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 11 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Saat seseorang telah mencapai tahap perkembangan dewasa muda, salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah menikah. Menurut Erikson (dalam Turner

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dewasa Muda. Tabel 1 Pendapat ahli mengenai tahapan masa dewasa dan usianya

TINJAUAN PUSTAKA. Dewasa Muda. Tabel 1 Pendapat ahli mengenai tahapan masa dewasa dan usianya 7 Tahap perkembangan dewasa muda TINJAUAN PUSTAKA Dewasa Muda Penentuan usia dewasa muda menurut pendapat beberapa ahli disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai usia dewasa muda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masa dewasa merupakan masa dimana setiap individu sudah mulai matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock (dalam Jahja, 2011), rentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan kesempurnaan yang berbeda. Kesempurnaan tidak hanya dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki. Umumnya seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kepuasan pernikahan adalah perasaan yang bersifat sujektif dari pasangan suami istri mengenai perasaan bahagia, puas, dan menyenangkan terhadap pernikahannya secara menyeluruh. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut Papalia et, al (2008) adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dan membentuk hubungan sosial dengan orang lain, karena pada dasarnya manusia tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kepuasan Pernikahan 2.1.1. Definisi Kepuasan Pernikahan Kepuasan pernikahan merupakan suatu perasaan yang subjektif akan kebahagiaan, kepuasan dan pengalaman menyenangkan yang

Lebih terperinci

MASA DEWASA AWAL. Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

MASA DEWASA AWAL. Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA MASA DEWASA AWAL Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Sosial Pada Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalab Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan dalam dirinya. Namun kenyataannya terdapat remaja yang dilahirkan dengan kekurangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang menginginkan tubuh yang sempurna. Banyak orang yang mempunyai anggapan bahwa penampilan fisik yang menarik diidentikkan dengan memiliki tubuh yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996). dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. tugas perkembangannya (Havighurst dalam Hurlock, 1996). dalam Hurlock, 1996). Di masa senjanya, lansia akan mengalami penurunan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Semasa hidup, manusia akan melewati tahap-tahap perkembangan tertentu. Perkembangan manusia diawali dari pertumbuhan janin di dalam rahim hingga masa lansia. Setiap

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Madya dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Setiap fase

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sepanjang hidupnya individu mempunyai tugas perkembangan yang berbeda pada masing-masing tahapannya, pada masa dewasa merupakan masa yang paling lama dialami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit terkecil masyarakat yang terjalin hubungan darah, ikatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tipe Kepribadian Kepribadian (personality) adalah suatu pola watak yang relatif permanen dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualitas bagi perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia yang dipercaya Tuhan untuk hidup di dunia dan memanfaatkan segala yang ada dengan bijaksana. Seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak perubahan dimana ia harus menyelesaikan tugas-tugas perkembangan, dari lahir, masa kanak-kanak,

Lebih terperinci