BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menjadi seseorang yang memiliki keterbatasan bukan keinginan atau pilihan hidup setiap manusia. Tentunya semua manusia ingin hidup dengan kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak semua manusia dapat menjalani hidup sesuai dengan keinginannya tersebut, ada beberapa di antaranya yang menjalani kehidupannya dengan kondisi fisik ataupun mental yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan ini dapat menjadi masalah bagi orang-orang yang mengalaminya. Seorang tunanetra, dalam kondisi yang tidak sempurna pada indera penglihatannya dapat menghadapi berbagai masalah. Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Sebagian besar informasi yang diperoleh manusia berasal dari indera penglihatannya dan selebihnya berasal dari panca indera yang lainnya. Dengan demikian, dapat dipahami bila seseorang yang mengalami gangguan pada indera penglihatannya, maka kemampuan aktivitasnya akan menjadi terbatas karena informasi yang didapat akan berkurang. Ketidaksempurnaan pada indera penglihatan seseorang pada akhirnya akan membuat keterbatasan pada diri individu tersebut. Lowenfeld (dalam Uhay, 2008) mengidentifikasikan keterbatasan yang dimiliki tunanetra, di antaranya: (1) keterbatasan dalam tingkat dan keanekaragaman pengalaman, pada tunanetra pengalaman diperoleh dengan menggunakan indera lain khususnya indera 1

2 pendengaran dan perabaan. Namun tidak semua informasi dapat diperoleh secara langsung dengan indera tersebut, misalnya informasi tentang bentuk, ukuran, warna, ruang. (2) keterbatasan dalam kemampuan untuk berpindah tempat, tunanetra harus mempelajari bagaimana melakukan mobilitas dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan. (3) keterbatasan dalam interaksi dengan lingkungan, tunanetra tidak dapat secara cepat memahami lingkungan di mana ia berada karena ia kurang memperoleh kejelasan tentang situasi dalam lingkungan tersebut. Berdasarkan definisi dari wikipedia (2010) individu yang memiliki hambatan di dalam penglihatannya disebut tunanetra. Somantri (2006) menambahkan, tunanetra adalah individu yang indera pengihatannya (keduaduanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas (bukan tunanetra). Sedangkan menurut PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) (2010) tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas/low vision). Keberadaan tunanetra sering kita jumpai di sekitar kita, karena jumlah penyandang tunanetra jumlahnya tidak sedikit. WHO memperkirakan, secara global penderita tunanetra di dunia mencapai juta orang. Sepertiga penderita berada di negara-negara ASEAN. Menurut WHO, setiap menit diperkirakan 12 orang tunanetra, sebanyak 4 orang di antaranya berasal dari 2

3 ASEAN. Dalam waktu yang sama, dari jumlah anak yang mengalami ketunanetraan di dunia, setengahnya ada di ASEAN. Jumlah penderita tunanetra di Indonesia ternyata tertinggi di kawasan ASEAN (sumber: Data dari Departemen Sosial RI tahun 2006 menyebutkan, jumlah tunanetra di Indonesia mencapai 1,2 juta orang (sumber: forum.dudung.net). Sedangkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2009 menyebutkan, jumlah penyandang tunanetra di Tanah Air sekitar 3 juta orang (sumber: bertunet.blogspot.com). Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan tunanetra tidak dapat dikesampingkan. Perlu adanya kesadaran di masyarakat bahwa tunanetra memiliki kesempatan untuk hidup setara dengan orang-orang awas (bukan tunanetra). Seperti misalnya berkesempatan mengenyam pendidikan, memperoleh pekerjaan, mendapatkan informasi dan lain sebagainya. Sama halnya dengan orang awas, tunanetra juga memerlukan pendidikan, sekolah, bimbingan, pelatihan dan lainlain. Wujudnya dapat berbentuk formal dan informal yang berguna bagi perkembangan pengetahuan dan mental mereka. Pendidikan dan keterampilan merupakan hal yang penting bagi tunanetra. Hal ini bertujuan agar tunanetra dapat mengembangkan potensi dalam diri mereka sehingga tunanetra dapat berguna di tengah masyarakat. Lebih lanjut Somantri (2006) memberikan informasi bahwa dari berbagai hasil penelitian sebagian besar para ahli berpendapat bahwa pada dasarnya keadaan inteligensi anak tunanetra itu tidak berbeda dengan anak awas pada umumnya. 3

4 Mata merupakan salah satu indera yang terpenting dalam kehidupan kita. Tidak berfungsinya mata secara optimal dapat menghambat pola interaksi sosial maupun aktivitas sehari-hari. Sebagai contoh, dalam aktivitas pendidikan di mana sebagian besar kegiatannya sangat bergantung dari indera penglihatan. Mengenal warna, memperhatikan raut wajah guru atau teman, membaca atau menulis, dan lain-lain, merupakan kegiatan yang menggunakan indera penglihatan. Kita dapat membayangkan betapa sulitnya orang yang mengalami kelainan pada indera penglihatannya. Namun walau bagaimanapun mereka yang mengalami gangguan pada penglihatannya, seperti juga pada indera yang lain, perlu juga dibantu agar mereka dapat menampilkan dirinya sebagaimana adanya melalui sisa penglihatannya atau indera yang lainnya (Mangunsong, 2009). Pengalaman dalam berinteraksi di lingkungan rumah yang dibimbing orang tua sangat menentukan kepribadian dan kecakapan tunanetra saat berada di sekolah. Adanya perubahan lingkungan baru bagi tunanetra memberikan benturan yang dapat mengakibatkan hal-hal yang menyenangkan atau mengecewakan. Ia harus dapat melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah. Sekolah memiliki norma dan aturan yang berbeda dengan norma dan aturan yang berlaku di rumah. Masa transisi dari orientasi lingkungan keluarga ke sekolah sering menimbulkan masalah pada tunanetra. Ketidaksiapan mental tunanetra dalam menghadapi lingkungan baru di sekolah atau kelompok lain yang berbeda, seringkali mengakibatkan gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya (Uhay, 2008). Situasi dan aktivitas di sekolah bagi tunanetra yang hanya beberapa jam dalam sehari sesungguhnya menggantikan posisi keluarga. Peran orang tua 4

5 diganti oleh bapak/ibu guru, peran saudara diganti oleh teman-teman, dan sebagainya. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan Nasional, sampai pada tahun pelajaran 2009/2010 tercatat 1063 orang siswa tunanetra yang ada di Indonesia dan bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), di antaranya 119 orang siswa tunanetra bersekolah di SLB yang berada di provinsi DKI Jakarta. Dari 119 orang siswa tunanetra tersebut, 17 orang adalah siswa jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK); 63 orang adalah siswa jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD); 25 orang adalah siswa jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP); serta 14 orang adalah siswa jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) (sumber: Memiliki keterbatasan di dalam penglihatan bukan berarti seorang anak tidak dapat bersekolah. Anak-anak yang memiliki keterbatasan di dalam penglihatannya juga tetap perlu mendapatkan pendidikan di bangku sekolah agar dapat mengaktulisasikan diri sesuai dengan potensi yang mereka miliki dan dapat berinteraksi dengan masyarakat luas. Ada beberapa pemaknaan tentang sekolah dalam masyarakat yang meyakininya. Sihotang (2009) mengatakan bahwa ada beberapa pemaknaan tentang sekolah bagi seorang anak tunanetra. Pemaknaan tersebut meliputi dua perspektif yaitu makna sebagai perspektif fungsi dan makna sebagai perspektif simbol. Adapun makna sebagai perspektif fungsi mencakup: makna untuk mengasuh, mendidik, memberdayakan, dan membimbing. Sementara makna sebagai perspektif simbol mencakup: sekolah sebagai kekuatan, 5

6 kekuasaan, kekayaan, wibawa, status/kedudukan sosial, serta sumber ilmu pendidikan. Adapun sebagai perspektif fungsi, sekolah dimaknakan untuk mengasuh. Mengasuh merupakan upaya yang dilakukan untuk menghidupi (menjaga dan merawat) dan memanusiakan manusia sehingga anak memiliki keterampilan hidup yang memungkinkan anak mampu menjalankan berbagai fungsinya dalam kehidupan. Sekolah juga dimaknakan untuk mendidik, karena dengan pendidikan manusia memperoleh bekal untuk hidup. Upaya mendidik dilakukan untuk menjadikan anak lebih berkompetensi dan lebih siap untuk bersosialisasi di masyarakat nantinya. Kemudian, sekolah juga dimaknakan untuk memberdayakan. Memberdayakan merupakan upaya peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan. Upaya memberdayakan dimaksudkan untuk membantu orang tua, pemerintah dan masyarakat dalam membina dan melayani anak tunanetra sehingga mereka dapat mengembangkan potensi dan pengetahuannya. Selain itu, sekolah juga dimaknakan untuk membimbing agar anak pada akhirnya dapat memecahkan setiap masalah yang mungkin akan dihadapi dalam hidupnya dengan kemampuan sendiri (Sihotang, 2009). Sedangkan sebagai perspektif simbol, sekolah dimaknakan sebagai kekuatan karena dengan cara belajar di sekolah seorang anak dapat menggali ilmu pengetahuan yang kelak dapat diandalkan sebagai kekuatan yang mutahir di kemudian hari. Sekolah juga dimaknakan sebagai kekuasaan karena dengan berbekal pengetahuan yang didapat dari sekolah seorang anak dapat menyusun kekuatan yang tangguh untuk mendapat kekuasaan. Kemudian, sekolah juga 6

7 dimaknakan sebagai kekayaan karena dengan memanfaatkan pendidikan yang tinggi untuk bekerja seseorang dapat memperoleh kekayaan. Selain itu, sekolah juga dimaknakan sebagai status/kedudukan sosial karena dengan bersekolah seorang anak tunanetra dapat memperbaiki status atau kedudukan. Sekolah juga dapat dimaknakan sebagai sumber ilmu pengetahun serta dapat juga dimaknakan sebagai wibawa karena dengan pendidikan yang tinggi dan pengetahuan yang lebih banyak seseorang dapat dinilai berwibawa (Sihotang, 2009). Oleh karena itu, seorang anak tunanetra perlu mengeyam pendidikan di sekolah agar kelak dapat hidup mandiri serta dapat meningkatkan nilai dirinya, serta dapat berkarya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Salah satu makna sekolah bagi seorang tunanetra adalah sekolah dimaknakan sebagai kedudukan sosial. Kedudukan sosial adalah salah satu tempat atau posisi seseorang dalam kelompok sosial atau masyarakat secara umum sehubungan dengan keberadaan orang lain di sekitarnya. Kedudukan sosial meliputi lingkungan pergaulan, hak, kewajiban, dan prestasi. Sekolah bagi tunanetra berguna untuk memperbaiki kedudukan sosialnya, sebab dengan bersekolah individu tunanetra dapat menunjukkan prestasinya sehingga tidak dipandang sebelah mata sebagai seorang tunanetra. Dalam prose belajar mengajar, keberhasilan atau prestasi belajar siswa baik pada tingkat dasar maupun lanjutan merupakan masalah yang selalu dianggap penting dalam dunia pendidikan (Prasedyawati, 1997). Prestasi belajar menurut Hawadi (dalam Rensi & Sugiarti, 2010) adalah hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam menuntut pelajaran di sekolah ataupun tempat di mana proses belajar berlangsung. 7

8 Prestasi belajar selalu mendapatkan perhatian yang khusus, baik dari sekolah maupun dari siswa itu sendiri atau keluarganya. Untuk mewujudkan prestasi yang semaksimal mungkin perlu adanya faktor-faktor pengharapan kognitif terhadap hasil usaha dan tingkat keyakinan diri dalam melakukan tugas (Liftiah, 1998). Hasil dari proses kognitif yang berbentuk pengharapan tersebut lebih dikenal dengan istilah self-efficacy (Betz & Heckett dalam Liftiah, 1998). Bandura (dalam Santrock, 2008) percaya bahwa self-efficacy adalah faktor penting yang mempengaruhi prestasi siswa. Self-efficacy siswa akan berpengaruh terhadap aktivitas belajarnya. Seperti yang dikatakan oleh Bandura (dalam Santrock, 2008), bahwa self-efficacy berpengaruh besar terhadap perilaku, misalnya seorang siswa yang self-efficacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal. Self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu tugas tertentu dengan berhasil pada tingkatan tertentu, atau keyakinan seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu dangan berhasil (Bandura dalam Liftiah, 1998). Keyakinan seseorang terhadap keberhasilannya memiliki efek yang beragam, seperti keyakinan mempengaruhi tindakan seseorang untuk memilih, berapa besar usaha yang mereka lakukan dalam mencapai apa yang diinginkan dan berapa lama mereka akan bertahan dalam menghadapi rintangan atau kegagalan (Bandura dalam Sulistyawati, 2010). Betz dan Heckett (dalam Liftiah, 1998) berpendapat bahwa self-efficacy merupakan 8

9 hasil dari proses kognitif yang berbentuk keyakinan atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Seorang siswa tunanetra yang memiliki self-efficacy yang tinggi dapat berfungsi secara normal dan dirinya tidak menjadi tertekan karena adanya keterbatasan dalam penglihatannya tersebut. Ia tidak akan memikirkan ketidakmampuannya tersebut serta tidak melihat lingkungannya sebagai sesuatu yang penuh ancaman. Seperti pendapat dari Beck (dalam Liftiah, 1998), selfefficacy berperan sebagai sebuah mekanisme kognitif yang memungkinkan individu mengendalikan reaksi terhadap tekanan. Apabila individu percaya bahwa ia mampu menghadapi tekanan potensial dengan efektif, maka ia tidak akan merasa gelisah; sebaliknya bila ia percaya bahwa dirinya tidak dapat mengendalikan lingkungan yang mengancam, ia akan menderita karena tertekan. Stipek (dalam Santrock, 2008) mengemukakan sebuah strategi untuk meningkatkan self-efficacy siswa dalam proses belajar mengajar. Salah satu strategi yang disebutkannya adalah ketersediaan dukungan sosial bagi siswa. Keberadaan orang lain di sekitar siswa dapat memberikan dukungan dan motivasi bagi siswa tersebut. Siswa yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi, baik dukungan secara verbal atau non verbal akan secara langsung mempengaruhi selfefficacy dalam diri siswa, sehingga siswa tersebut memiliki keyakinan yang kuat untuk berprestasi. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi. Keberadaan orang lain bermanfaat untuk berbagi beban 9

10 dan pengharapan sehingga secara tidak langsung dukungan sosial dapat mempengaruhi kesejahteraan individu. Rietschlin (dalam Taylor, 2003) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain, yang meyakinkan seseorang bahwa dirinya dicintai dan diperdulikan, dihormati dan dihargai serta dirinya merupakan bagian dari sebuah jaringan komunikasi. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb, dkk yang mendefinisikan dukungan sosial sebagai persepsi kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan dari orang lain, yang dapat diperoleh dari individu secara perorangan maupun kelompok (Cobb, 1976; Gentry & Kobasa, 1984; Wallston, Alagna, DeVellis & DeVellis, 1983; Wills, 1984 dalam Sarafino, 1994). Sedangkan Cohen & Wills (dalam Fibrianti, 2009) mendefinisikan dukungan sosial sebagai bantuan atau pertolongan yang diterima oleh sesorang dari interaksinya dengan orang lain. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wulan (2010) didapatkan sebuah hasil penelitian yaitu ada korelasi atau hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada pecandu narkoba dalam menjalani pemulihan. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulistyawati (2010) juga menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah dukungan sosial juga akan berhubungan positif yang signifikan terhadap self-efficacy bila diterapkan pada siswa-siswi tunanetra, maka peneliti akan melakukan penelitian terkait masalah ini. Penelitian ini mengambil subjek siswa-siswi tunanetra karena mengingat pentingnya self 10

11 efficacy yang akan dapat mempengaruhi proses belajar tunanetra dan mempengaruhi prestasi belajar pada akhirnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka ditarik sebuah rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada siswa tunanetra. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap hubungan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada siswa tunanetra. 1.4 Kegunaan Penelitian Aspek Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada tunanetra. Pengetahuan ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya pada psikologi pendidikan. 11

12 1.4.2 Aspek Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1. Memberikan informasi yang bermanfaat kepada keluarga, teman atau significant other dari tunanetra sehingga dapat membantu membangun self-efficacy yang positif pada siswa tunanetra. 2. Memberikan masukan mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada tunanetra kepada peneliti lain. 3. Mendorong timbulnya penelitian lanjutan tentang dukungan sosial dan self-efficacy. 1.5 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab, dengan rincian sebagai berikut: Bab I Pendahuluan: merupakan bab yang membahas tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian secara teoritis dan praktis, serta sistematika penulisan. Bab II Kajian Pustaka: merupakan pembahasan tentang teori-teori yang mendukung penelitian, yakni teori tentang dukungan sosial, self-efficacy, dan ketunanetraan. Di antaranya meliputi pengertian dukungan sosial, sumber dukungan sosial, bentuk dukungan sosial, faktor yang mempengaruhi dukungan sosial, fungsi dukungan sosial, pengertian self-efficacy, sumber self-efficacy, faktor yang mempengaruhi self-efficacy, pengertian tunanetra, klasifikasi tunanetra, penyebab tunanetra, aspek perkembangan tunanetra. Selain itu, bab ini juga memuat pembahasan kerangka berpikir dan hipotesis penelitian. 12

13 Bab III Metode Penelitian: merupakan bab yang membahas tentang jenis penelitian, variabel penelitian, definisi operasional variabel dukungan sosial dan self-efficacy, deskripsi mengenai subjek penelitian (kriteria subjek, jumlah subjek, teknik pengambilan sampel), teknik pengumpulan data penelitian, skala penelitian, validitas dan reliabilitas skala penelitian serta teknik yang digunakan untuk menganalisis data. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan: merupakan pembahasan tentang prosedur penelitian, uji asumsi dasar, analisis data penelitian, serta pembahasan. Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran: merupakan bab yang berisi tentang kesimpulan dari penelitian, diskusi serta saran yang dapat diberikan kepada pembaca ataupun saran untuk penelitian selanjutnya. 13

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun terakhir terjadi perubahan yang semakin pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari kemajuan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa di mana individu banyak mengambil

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa di mana individu banyak mengambil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa di mana individu banyak mengambil keputusan dalam berbagai hal (Santrock, 2002). Menurut Papalia dan Olds (2009:8), masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai perubahan besar, diantaranya perubahan fisik, kognitif, dan psikososial.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang menginginkan tubuh yang sempurna. Banyak orang yang mempunyai anggapan bahwa penampilan fisik yang menarik diidentikkan dengan memiliki tubuh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, tidak semua orang berada pada kondisi fisik yang sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu sebagai salah satu sumber daya yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi mungkin agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki sifat dan ciri-ciri yang

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki sifat dan ciri-ciri yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk yang berketuhanan, makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki sifat dan ciri-ciri yang khas dan berbeda dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang indah, dimana seorang ibu mengharapkan anak yang ada dalam kandungannya lahir dengan sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..).

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial Orang Tua Definisi dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok kepada individu (Sarafino,

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Masa kanak-kanak adalah masa yang terindah dalam hidup dimana semua terasa menyenangkan serta tiada beban. Namun tidak semua anak dapat memiliki kesempatan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam perkembangan remaja dalam pendidikan formal seperti di sekolah,

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam perkembangan remaja dalam pendidikan formal seperti di sekolah, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perkembangan remaja dalam pendidikan formal seperti di sekolah, pengajaran di kelas pada sekolah menengah merupakan pengajaran yang diarahkan oleh guru. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan bagian tubuh, atau kondisi yang menggambarkan adanya disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketunanetraan yang didapatkan oleh seseorang biasanya tidak hanya terjadi pada usia kanak-kanak ataupun sejak lahir, bisa juga terjadi pada saat seseorang telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu usaha yang memiliki tujuan, maka pelaksanaannya harus berada dalam proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam perjalanan kehidupan suatu Bangsa selalu terjadi proses regenerasi yang pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian. Dengan kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mata dan penglihatan adalah indera yang memiliki manfaat dan penting bagi kehidupan seorang manusia. Mata membantu manusia dalam melihat benda-benda yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda. Tidak seorangpun terlewatkan dua hal tersebut, seperti mata uang yang selalu memiliki dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah upaya untuk mengembangkan potensi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah upaya untuk mengembangkan potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah upaya untuk mengembangkan potensi diri yang tidak terbatas waktu dan tempat dengan memperhatikan adanya nilai-nilai budaya dalam

Lebih terperinci

2016 PENGEMBANGAN PROGRAM LATIHAN ORIENTASI DAN MOBILITAS TEKNIK PENDAMPING AWAS BAGI KELUARGA SISWA TUNANETRA

2016 PENGEMBANGAN PROGRAM LATIHAN ORIENTASI DAN MOBILITAS TEKNIK PENDAMPING AWAS BAGI KELUARGA SISWA TUNANETRA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orientasi dan mobilitas merupakan kebutuhan yang mendasar bagi tunanetra. Dipahami dari pengertiannya, menurut Rahardja (2010) menyatakan bahwa: Orientasi adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Dalam usaha untuk memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut manusia memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1

LAMPIRAN. Lampiran 1 LAMPIRAN Lampiran Lampiran KATA PENGANTAR Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Saat ini saya sedang melakukan penelitian yang dilakukan dalam rangka memenuhi syarat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa anak berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa anak berkebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah terus menunjukkan peningkatan. Tahun 2008 hasil data penjaringan Bidang Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Provinsi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA

IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA Veny Sri Astuti, S.Pd. Prodi Pend.Matematika, Program Pascasarjana

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki atribut fisik dan/atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, sehingga membutuhkan program individual dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai bidang. Salah satu bidang yang ikut mengalami perubahan adalah pendidikan. Dewasa ini masyarakat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas BAB II KAJIAN TEORI A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy Sejarah self efficacy pertama kali diperkenalkan oleh Bandura dalam pembelajaran sosial, dimana self efficacy merupakan turunan dari teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang tua sejak anak lahir hingga dewasa. Terutama pada masa

BAB I PENDAHULUAN. orang tua sejak anak lahir hingga dewasa. Terutama pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mendidik anak dengan penuh kasih sayang adalah menjadi tanggung jawab orang tua sejak anak lahir hingga dewasa. Terutama pada masa globalisasi sa at ini, anak akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata sebagai indera penglihatan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, setiap individu terkadang mengalami suatu hambatan. Hambatan yang terjadi pada suatu individu beragam jenisnya. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, pada setiap jenjang pendidikan, baik itu Sekolah

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, pada setiap jenjang pendidikan, baik itu Sekolah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dunia pendidikan, pada setiap jenjang pendidikan, baik itu Sekolah Dasar(SD), Sekolah Menengah Pertama(SMP), Sekolah Menengah Atas(SMA), maupun Perguruan Tinggi(PT),

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Validitas dan Reliabilitas

Lampiran 1. Hasil Validitas dan Reliabilitas Lampiran 1 Hasil Validitas dan Reliabilitas VALIDITAS KONSEP DIRI NO Item VALIDITAS KETERANGAN 1. 0.410 Diterima 2. 0.416 Diterima 3. 0.680 Diterima 4. 0.421 Diterima 5. 0.174 Ditolak 6. 0.474 Diterima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kepribadian seorang anak merupakan gabungan dari fungsi secara nyata maupun fungsi potensial pola organisme yang ditentukan oleh faktor keturunan dan penguatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Sekolah merupakan salah satu badan pendidikan yang memiliki peran penting dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki kualitas. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Contoh peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya suatu generasi baru, dimana anak menjadi generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang diharapkan mampu memikul

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Setiap individu ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan, tanpa ada kecacatan. Setiap manusia juga ingin memiliki alat indera yang lengkap, terutama mata.

Lebih terperinci

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik BABI ~ PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Juanita Sari, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Juanita Sari, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu lahir dari sebuah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang utama agar dapat tumbuh utuh secara mental, emosional dan sosial. Pertemuan

Lebih terperinci

pengurangan, perkalian dan pembagian. Pada hakikatnya, pelajaran matematika pada jenjang lanjut dikarenakan ketidaksiapan anak dalam

pengurangan, perkalian dan pembagian. Pada hakikatnya, pelajaran matematika pada jenjang lanjut dikarenakan ketidaksiapan anak dalam 2 pengurangan, perkalian dan pembagian. Pada hakikatnya, pelajaran matematika kelas 1 SD memang masih tergolong dalam taraf dasar namun pelaksanaannya harus benar-benar dapat mengenalkan konsep behitung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Efikasi Diri Akademik 1. Pengertian Efikasi Diri Akademik Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri merupakan perkiraan seseorang tentang kemampuannya untuk mengatur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S Winkel 1987 dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pengajaran salah satu kemampuan pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara sekianbanyak ciptaan-nya, makhluk ciptaan yang menarik, yang

BAB I PENDAHULUAN. antara sekianbanyak ciptaan-nya, makhluk ciptaan yang menarik, yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di antara sekianbanyak ciptaan-nya, makhluk ciptaan yang menarik, yang dapat mengidentifikasikan apa yang dilakukannya,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan

BABI PENDAHULUAN. Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalab Sebagai manusia, remaja pada dasarnya menginginkan kesempumaan dalam dirinya. Namun kenyataannya terdapat remaja yang dilahirkan dengan kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia jumlah anak berkebutuhan khusus semakin mengalami peningkatan, beberapa tahun belakangan ini istilah anak berkebutuhan khusus semakin sering terdengar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menjadi bangsa yang kian berkembang adalah harapan seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia mengharapkan adanya pembaharuan di segala bidang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. puncak dari seluruh kegiatan akademik di bangku kuliah adalah menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. puncak dari seluruh kegiatan akademik di bangku kuliah adalah menyelesaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tahap akhir dari perjalanan panjang seorang mahasiswa yang merupakan titik puncak dari seluruh kegiatan akademik di bangku kuliah adalah menyelesaikan skripsi,

Lebih terperinci

93 Suci Nurul Fitriani, 2016 HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN SELF-EFFICACY Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

93 Suci Nurul Fitriani, 2016 HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN SELF-EFFICACY Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi. BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab V ini mendeskripsikan keseluruhan bab dari hasil penelitian yang telah didapatkan, dalam bentuk simpulan serta rekomendasi bagi berbagai pihak serta keterbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara efektif dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. besar siswa hanya berdiam diri saja ketika guru meminta komentar mereka mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. besar siswa hanya berdiam diri saja ketika guru meminta komentar mereka mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan presentasi maupun diskusi biasanya melibatkan guru dan siswa maupun siswa dengan siswa dalam suatu proses belajar mengajar, di dalam kegiatan presentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu kebutuhan dalam kehidupan manusia bukan sekedar untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan namun juga untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber. daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber. daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h. 17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h. 12) menyatakan bahwa pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Gilang Angga Gumelar, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Gilang Angga Gumelar, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Proses pendidikan dapat berlangsung dalam berbagai lingkungan, baik lembaga formal maupun lembaga informal. Pendidikan di sekolah mengarahkan belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan juga menjadi hak setiap individu tanpa terkecuali seperti dijelaskan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan masyarakat luas. Menurut UU Sisdiknas tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Anak cacat adalah anak yang berkebutuhan khusus karena mereka adalah anak yang memiliki kekurangan. Anak cacat atau berkelainan juga memiliki klasifikasi. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Surayya Hayatussofiyyah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Surayya Hayatussofiyyah, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anak jalanan merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Semakin menjamurnya jumlah anak jalanan yang berkeliaran di jalan tak diragukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap masa depan seseorang. Seperti yang dituturkan oleh Menteri Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap masa depan seseorang. Seperti yang dituturkan oleh Menteri Pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dan tidak boleh diabaikan oleh setiap orang karena pendidikan diyakini memiliki peran yang besar terhadap masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat menimbulkan banyak masalah bila manusia tidak mampu mengambil

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat menimbulkan banyak masalah bila manusia tidak mampu mengambil 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai kebutuhan yang beragam. Adanya kebutuhan tersebut dapat menimbulkan banyak masalah bila manusia tidak mampu mengambil yang tepat sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya manusia yang bermutu tinggi karena maju mundurnya sebuah negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber daya manusia yang bermutu tinggi karena maju mundurnya sebuah negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi yang semakin kompetitif seperti saat ini diperlukan sumber daya manusia yang bermutu tinggi karena maju mundurnya sebuah negara sangat bergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekedar persaingan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) saja, tetapi juga produk dan

BAB I PENDAHULUAN. sekedar persaingan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) saja, tetapi juga produk dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era globalisasi ini, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju, hal ini menyebabkan persaingan di dunia menjadi semakin ketat. Persaingan yang terjadi

Lebih terperinci

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan telah memberikan karunia kepada umat manusia secara adil. Masingmasing individu diberikan kelebihan dan kekurangan dalam menjalani hidupnya. Setiap manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. barang ataupun jasa, diperlukan adanya kegiatan yang memerlukan sumber daya,

BAB I PENDAHULUAN. barang ataupun jasa, diperlukan adanya kegiatan yang memerlukan sumber daya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan tempat di mana dua orang atau lebih bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, baik menghasilkan suatu barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dibekali kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Potensi merupakan kemampuan seseorang untuk menghasilkan ide-ide atau informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dirawat dengan sepenuh hati. Tumbuh dan berkembangnya kehidupan seorang

BAB I PENDAHULUAN. dan dirawat dengan sepenuh hati. Tumbuh dan berkembangnya kehidupan seorang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Kehadiran seorang anak ditengah sebuah keluarga adalah merupakan anugerah yang terindah bagi orang tua dari Tuhan Yang Maha Esa. Anak merupakan penerus garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. Pendidikan di Indonesia telah memasuki tahap pembaruan dimana pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pendidikan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap warga negara di Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia bermacam-macam,

Lebih terperinci

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara yang sudah merdeka sudah sepatutnya negara tersebut mampu untuk membangun dan memperkuat kekuatan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain. Maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk individual dan sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk individual dan sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk individual dan sosial dalam kehidupan sehari-harinya yang senantiasa berinteraksi antara satu dengan lainnya. Sebagai makhluk individual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena adanya keterbatasan atau kekurangan pada fisiknya, membuat individu umumnya kurang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika seorang ibu sedang mengandung, tentunya ia mengharapkan anak yang ada dalam kandungannya itu akan lahir dengan sehat dan sempurna. Biasanya para orangtua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan manusia dengan kemampuan berbeda-beda dengan rencana yang. kesialan atau kekurangan dengan istilah cacat.

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan manusia dengan kemampuan berbeda-beda dengan rencana yang. kesialan atau kekurangan dengan istilah cacat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu sangat mendambakan dirinya terlahir dalam keadaan sempurna jasmani dan rohani. Dengan kesempurnaannya tersebut, ia akan berkembang secara wajar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi merupakan suatu hal yang penting dalam berbagai strategi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Efikasi Diri (self-efficacy) Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Fungsi utama Rumah Sakit yakni melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin majunya teknologi kedokteran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan dapat bersaing secara global. Sebagai suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan dapat bersaing secara global. Sebagai suatu sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dan diprioritaskan bagi seluruh umat manusia karena pendidikan merupakan ilmu sepanjang hayat. Pendidikan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang terkait dengan pekerjaan, aktivitas sosialnya, dan lain-lain. 1

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang terkait dengan pekerjaan, aktivitas sosialnya, dan lain-lain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberdayaan diartikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh individu, kelompok dan masyarakat luas agar mereka memiliki kemampuan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap individu karena harus menjalani hidup dengan keterbatasan fisik, sehingga dapat menghambat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian,

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan ditingkat sekolah dasar merupakan pendidikan formal yang paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian, moral,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua. Kelahiran anak adalah saat-saat yang sangat di tunggu-tunggu oleh setiap pasangan suami istri.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan mutlak bagi kehidupan manusia sejalan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan mutlak bagi kehidupan manusia sejalan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan mutlak bagi kehidupan manusia sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Pendidikan yang dikelola dengan tertib, teratur, efektif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sehat menurut WHO 2013 dalam kutipan (Siswanto, 2007) adalah suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layanan pendidikan diperoleh setiap individu pada lembaga pendidikan secara

BAB I PENDAHULUAN. layanan pendidikan diperoleh setiap individu pada lembaga pendidikan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang dibutuhkan oleh setiap individu. Sejak lahir, setiap individu sudah membutuhkan layanan pendidikan. Secara formal, layanan pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan

BAB 1 PENDAHULUAN. semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Mata mengendalikan lebih dari 90 % kegiatan sehari-hari. Dalam hampir semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan kesehatan dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Pendidikan tidak hanya bertindak sebagai alat yang dapat meningkatkan kapasitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara perusahaan-perusahaan di Indonesia semakin ketat. Dunia perekonomian berjalan dengan sangat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perceived Social Support. secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perceived Social Support. secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support, BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perceived Social Support 1. Pengertian Perceived Social Support Sarafino dan Smith (dalam Mumpuni, 20 14) menyatakan bahwa social support bukan hanya mengacu kepada perilaku yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan kehidupannya dapat dijalani dengan baik sesuai harapan-harapan di masa yang akan datang. Namun sering

Lebih terperinci