PROBLEMATIKA PEMANGGILAN TERHADAP TERGUGAT YANG TIDAK DIKETAHUI Abdil Baril Basith, MH 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROBLEMATIKA PEMANGGILAN TERHADAP TERGUGAT YANG TIDAK DIKETAHUI Abdil Baril Basith, MH 1"

Transkripsi

1 PROBLEMATIKA PEMANGGILAN TERHADAP TERGUGAT YANG TIDAK DIKETAHUI Abdil Baril Basith, MH 1 A. PENDAHULUAN Di akhir tahun 2010, pernah sedikit berdiskusi ketika mengadili perkara pencabutan kekuasaan orang tua, perihal cara pemanggilan terhadap Tergugat. Dalam posita terungkap bahwa sang ayah tidak diketahui tempat tinggal dan atau tempat diamnya, sang ibu telah meninggal dunia, dan sang nenek memerlukan pengurusan berbagai dokumen administrasi untuk sang cucu. Saat itu penulis berpendapat dengan pemanggilan umum, tidak dengan cara Pasal 27 ayat (1) (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP). Penulis kalah suara. Kejadian yang sama berulang pada awal tahun 2013, kali ini perkara harta bersama. Sedikit tulisan ini adalah hasil curat-coret, guna mengundang pendapat dari sidang pembaca terhormat. B. MAKNA PEMANGGILAN Pemanggilan adalah tahapan sebelum persidangan yang menentukan untuk persidangan maupun putusan. Panggilan sah memberi alas untuk persidangan. Panggilan yang sah pun dapat memberi alas untuk dikabulkannya suatu gugatan tanpa kehadiran lawan (bij verstek). Sebaliknya, panggilan yang tidak sah menyebabkan persidangan tidak dapat dilaksanakan, terlebih dalam perkara kontensius. Pemanggilan berkaitan dengan ketaatan terhadap asas hukum acara. Asas persamaan di depan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, juga Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA). 1 Hakim Pengadilan Agama Talu 1

2 Kedua belah pihak memiliki kedudukan yang sama dan memiliki hak yang sama dan sederajat (equality, egality) untuk mengajukan dalil-dalil atau menyampaikan keterangan beserta alat bukti yang menguatkannya. Sebelum itu, kedua belah pihak tersebut berhak untuk mengetahui kapan dan dimana persidangan akan dilaksanakan. Kelalaian memberitahu kapan dan dimana persidangan tersebut akan dilaksanakan menyebabkan segala sesuatu tahap persidangan dan tahapan selanjutnya batal demi hukum. Abdul Kadir Muhammad merinci berbagai akibat apabila panggilan tidak dijalankan menurut aturan, pertama, petugas memikul biaya panggilan yang tidak sah dan wajib memanggil sekali lagi menurut ketentuan perundang-undangan. Kedua, bila pihak menderita kerugian, petugas dapat dituntut membayar ganti kerugian. Ketiga, panggilan yang tidak sah sama dengan mengulur waktu, karena panggilan ulang, dan pengadilan menunda persidangan. 2 Pemanggilan memiliki aturan tertentu menurut peraturan perundangundangan mengenai tata cara agar sah. Aturan tersebut melingkupi hal-ihwal resmi dan patut. Resmi pelaksana pemanggilannya, format surat, dan tata caranya. Yang berkaitan dengan tata cara diantaranya ialah berkaitan dengan kondisi tertentu mengenai pihak Tergugat. Adakalanya pihak Tergugat (atau Turut Tergugat) tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat diamnya, atau bahkan tidak dikenal. Walaupun memang dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khususnya Bab IV tentang Pendaftaran Penduduk, sedemikian rupa telah diatur mengenai Pindah Datang Penduduk. Idealnya, tempat tinggal atau tempat kediaman seseorang tidak akan sulit untuk ditemukan. Namun dalam kenyataan di lapangan, hal tentang tidak diketahuinya tempat tinggal atau tempat diamnya seseorang adalah keniscayaan. 2 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), Cet. IX, hlm

3 C. HUKUM POSITIF PERIHAL PEMANGGILAN PIHAK-PIHAK Pasal 54 UUPA menegaskan bahwa: Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. Saat ini, yang berlaku di negara Republik Indonesia sebagai hukum acara pemanggilan ialah Pasal 122, Pasal 388, dan Pasal 390 HIR (Pasal 146 dan 718 R.Bg.). Disamping itu berlaku pula ketentuan-ketentuan acara pemanggilan menurut Pasal PP. UUPA juga mengatur mengenai pemanggilan, yaitu Pasal 70 ayat (5) dan (6), namun khusus mengenai tata cara pemanggilan untuk acara penyaksian ikrar talak beserta konsekuensi yuridisnya. Artinya, selain hal tersebut berlaku ketentuan umum sebagaimana dimaksud Pasal 54 UUPA tersebut. Mengenai pemanggilan terhadap Tergugat (termasuk Turut Tergugat) yang tidak diketahui tempat tinggal dan atau tempat diamnya diatur dalam Pasal 390 ayat (3) HIR [Pasal 718 ayat (3) R.Bg.]. Selain pasal-pasal tersebut, berlaku pula tata cara pemanggilan sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (1)-(4) PP, sebagaimana kemudian diadopsi mutatis mutandis oleh Pasal 139 ayat (1)-(4) Kompilasi Hukum Islam. Untuk lebih jelasnya, berikut ini bunyi kutipan dari pasal-pasal tersebut diatas. Pasal 390 ayat (3) HIR: Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat diam atau tinggalnya dan tentang orang-orang yang tidak dikenal, maka surat jurusita itu disampaikan pada Bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal Penggugat dan dalam perkara pidana, yang dalam daerahnya hakim yang berhak berkedudukan; Bupati itu memaklumkan surat jurusita itu dengan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan dari hakim yang berhak itu. Pasal 718 ayat (3) R.Bg. Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tentang orang-orang yang tidak dikenal maka ekspolit dijalankan terhadap kepala pamongpraja, setempat dari tempat tinggalnya Penggugat dan dalam perkara pidana dari tempat kediamannya Hakim yang berkuasa mengadilinya; kepala pamongpraja setempat menyuruh 3

4 umumkan eksploit yang diterimanya dengan jalan menempelkannya pada pintu masuk tempat sidangnya hakim yang bersangkutan Pasal 27 PP 9 Tahun 1975 Bab V tentang Tata Cara Perceraian (1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. (2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyaak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. (3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. (4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Dimanakah letak permasalahannya? Yang signifikan adalah adanya perbedaan interval waktu antara HIR/ R.Bg. dengan PP. Pemanggilan menurut aturan PP memberi selisih tambahan waktu setidaknya tiga bulan. Disinilah letak masalahnya. Di lapangan, seringkali pihak berperkara berkerut dahi. Orangnya sudah tidak diketahui lagi, pergi entah kemana, kok masih dipanggil lagi? Lama lagi waktunya! Atas dasar masalah itulah tulisan ini hadir, dan beranjak dari pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: pertama, bagaimanakah kedudukan aturan pemanggilan dalam PP terhadap aturan pemanggilan dalam HIR/ R.Bg.? Kedua, untuk lingkup perkara apa saja aturan pemanggilan dalam PP tersebut? Ketiga, bagaimanakah aturan pemanggilan yang objektif dan realistis untuk kondisi saat ini berkenaan dengan pembaharuan hukum acara perdata? Dalam timbangan asas beracara, khususnya tentang asas cepat, cara pemanggilan menurut PP, penulis menilai untuk saat ini sudah harus diperbaharui mengingat sudah tersedianya sarana untuk menjangkau sebaran yang lebih luas dengan lebih cepat. Masalah lainnya yang cukup mengganggu adalah beragamnya tafsiran mengenai lingkup perkara berlakunya aturan pemanggilan menurut PP. Dimulai dengan tafsir resmi menurut Buku II, diantaranya dikemukakan cara 4

5 pemanggilan di lingkungan peradilan umum, dilanjutkan dengan berbagai doktrina. D. ATURAN PEMANGGILAN PIHAK-PIHAK MENURUT BUKU II Jika yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya atau dimana ia berada, panggilan dilakukan kepada Bupati/ Walikota tempat tinggal Penggugat, yang seterusnya akan mengumumkan hal itu dengan cara menempelkan pada papan pengumuman. Pengumuman serupa dilakukan di papan pengumuman Pengadilan Negeri (Pasal 390 HIR/ 718 R.Bg.). Apabila tempat kediaman tidak diketahui atau tidak punya tempat kediaman yang jelas di Indonesia, maka panggilan dilaksanakan melalui bupati atau walikota setempat dengan cara menempelkan surat panggilan pada papan pengumuman Pengadilan Agama [Pasal 390 (3)/ 718 (3) R.Bg,]. 3 Sedangkan di lingkungan peradilan agama, pemanggilan dilakukan dengan dua cara sesuai jenis perkara. Perkara bidang perkawinan dilakukan dengan menurut tata cara Pasal 22, sedangkan perkara yang berkenaan dengan harta kekayaan menurut tata cara Pasal 390 (3) HIR / 718 (3) R.Bg. 4 Pada Edisi Revisi 2010, di angka 7 (tujuh) disebutkan, apabila tempat kediaman pihak yang dipanggil tidak diketahui atau tidak punya tempat kediaman yang jelas di Indonesia, maka pemanggilannya dilaksanakan melalui bupati/ walikota setempat dengan cara menempelkan surat panggilan pada papan pengumuman pengadilan agama/ mahkamah syariyah. Pada angka 9 (sembilan) disebutkan: sedangkan panggilan dalam perkara perkawinan dan tergugat tidak 3 Pedoman Pelaksanaan Tugas, dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II, (Jakarta: MA RI, 2009), Edisi 2007, hlm Pedoman Pelaksanaan Tugas, dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II, (Jakarta: MA RI, 2009), Edisi 2007, ; Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, (Jakarta: MARI, 2009), Edisi 2007, hlm ; Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II, (Jakarta: MARI, 2008), Edisi 2007, hlm

6 diketahui tempat tinggalnya (ghaib), dilaksanakan menurut tata cara Pasal 27 PP 9 Tahun Yahya Harahap menegaskan bahwa khusus untuk perkara perceraian, berlaku Pasal 27 PP 9 Tahun Namun begitu, Yahya Harahap berpendapat pula bahwa agar panggilan lebih objektif dan realistis, perlu dipedomani ketentuan Pasal 6 ke-8 Rv., yaitu selain menempelkan di pintu ruang sidang, pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah PN yang bersangkutan. 7 Pasal 6 ke-8 Rv. Menyatakan: Selain itu panggilan itu harus dimuat dalam salah satu harian di tempat pengadilan itu bersidang atau jika ada surat kabar di tempat itu, dimuat dalam surat kabar di tempat terdekat. Berbeda dengan Yahya Harahap, menurut Abdul Manan, Panggilan dibedakan dengan jenis perkaranya. Perkara perkawinan dilakukan dengan tata cara Pasal 27 PP 9 Tahun 1975, sedangkan perkara kewarisan dilakukan dengan tata cara Pasal 390 (3) HIR/ 718 (3) R.Bg. 8 Sedangkan menurut Mukti Arto, bila tidak diketahui tempat tinggalnya, atau tidak jelas, tidak punya tempat kediaman tetap, maka dalam perkara perceraian dan pembatalan perkawinan dilakukan panggilan dengan Pasal 27 PP 9 Tahun 75 sebagai aturan khusus. Dalam perkara lain menurut pasal 390 HIR/ 718 R.Bg. yaitu lewat bupati bupati/ walikota tempat tinggal Penggugat yang seterusnya akan mengumumkan hal itu dengan cara menempelkan pada 5 Pedoman Pelaksanaan Tugas, dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi 2010, (Jakarta: MARI, 2011), hlm Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama: UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Edisi kedua, Cet. IV, hlm Hukum Acara Perdata, Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. VII, hlm Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), Cet. I, hlm

7 papan pengumuman. Pengumuman serupa dilakukan di papan pengumuman Pengadilan Agama. 9 Sama dengan pendapat Mukti Arto, Ahmad Mujahidin menerangkan bahwa apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak jelas atau tidak memiliki tempat kediaman yang tetap, maka dalam perkara perceraian dan pembatalan perkawinan, panggilan dilakukan menurut ketentuan Pasal 27 PP 9/75, sedangkan dalam perkara lainnya, dilakukan nmenurut Pasal 390 HIR/ 718 R.Bg. 10 Dari berbagai pendapat tersebut tampak adanya ketidakseragaman pendapat. Padahal masyarakat membutuhkan kepastian hukum. Tidak hanya menyangkut hukum materil, namun juga formil. Mungkin saja pihak yang merasa tidak puas mempertanyakan tentang atas dasar apa persidangan dilaksanakan dengan tata cara tertentu dimana terdapat perbedaan pemahaman dan pelaksanaan. Penulis berpendapat bahwa sumber perbedaan tersebut terletak pada kedudukan PP terhadap HIR/ R.Bg., juga perihal daya lingkup substansi hukum acara yang diatur PP dalam hubungannya dengan kata dan makna perkawinan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). E. KEDUDUKAN PP 9 TAHUN 1975 TERHADAP R.BG./ HIR Peraturan Pemerintah dibuat presiden untuk melaksanakan undangundang. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun Undang-undang tersebut mendelegasikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana 9 Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. VII, hlm Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar iyah di Indonesia, Lengkap dengan Contoh Blanko Perkara, (Jakarta: IKAHI, 2008), Cet. I, hlm Namun pada hlm. 154 pada buku yang sama, disebutkan, pada pembahasan mengenai Aturan Khusus, bahwa: khusus mengenai perceraian tata cara pemanggilan dengan Pasal 27 PP 9 Tahun

8 mengenai beberapa hal. Pertama, Pasal 11 ayat (2) UUP mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai waktu tunggu (iddah). Kedua, Pasal 43 ayat (2) UUP mendelegasikan mengenai kedudukan anak luar perkawinan. Ketiga, Pasal 67 ayat (2) UUP, memandatkan hal yang umum dan lebih luas, yaitu bahwa halhal yang memerlukan peraturan pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Secara substantif PP tersebut mengatur tentang seluk-beluk pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, tata cara poligami, berikut hukum acara. Di samping itu, PP ini pun mengatur kompetensi. Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, HIR/ R.Bg. sebagai undang-undang masih berlaku untuk seluruh perkara baik di peradilan umum maupun peradilan khusus. Yang umum tetap berlaku sepanjang tidak dikecualikan dengan aturan yang khusus. Disebutkan pada Penjelasan Umum PP 9 Tahun 1975 bahwa: Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secera efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang dan sebagainya. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa secara materil maupun formil, PP memuat aturan-aturan baru sebagaimana diperintahkan UUP. Untuk memahami PP tersebut tentu saja harus difahami dahulu sejarah legislasi UUP. Untuk itu akan dibahas selanjutnya pada sub tersendiri. Mengenai bahasan ini, penulis berpendapat bahwa PP sebagai lex specialis atas HIR/ R.Bg. dengan alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, Pasal 27 ayat (1)- (3) PP ada dalam lingkup pengaturan berkenaan dengan Tata Cara Perceraian. Artinya pembuat PP berkehendak bahwa tata cara tersebut memang dikhususkan untuk perkara tertentu sebagaimana dimaksud. Argumentum a contrario-nya, untuk selain itu tidak belaku. Kedua, menurut asas peraturan perundang- 8

9 undangan, aturan umum dapat dikesampingkan oleh aturan khusus, bila keduanya sederajat. Pada soal ini, walaupun PP tidak sederajat dengan UUP, tidaklah salah karena UUP sendirilah yang mendelegasikan kepada pemerintah untuk membuat aturan pelaksanaannya, yang diantaranya ialah mengenai tata cara perceraian. Ketiga, perujukan tata cara pembatalan nikah kepada pasal-pasal tata cara perceraian. Apa maksud pemerintah dengan Pasal 38 (2) PP, yang secara tegas menyatakan bahwa: pembatalan dilakukan dengan tata cara Pasal PP ini? Artinya, pembuat peraturan perundang-undangan memang secara khusus menghendaki agar aturan-aturan dimaksud berlaku untuk hal-hal khusus. Bila tidak, atas alasan apa pengaturannya dibuat secara khusus pada bagian khusus. Sesuai dengan asas peraturan peraturan perundang-undangan, bahwa yang khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang umum (lex specialis derogate lex generalis). Aturan umum, HIR, R.Bg., dikesampingkan sepanjang hal yang diatur dalam PP yang diundangkan pada tanggal 1 Oktober 1975 ini. Adakalanya berdasarkan rasionalisasi, maka dipakai analogi untuk menerapkan aturan pemanggilan dalam PP untuk seluruh perkara perdata. Tentang lembaga itu perlu kiranya dicermati persangkaan atas dasar undangundang, atas dasar hal tersebut hukum acara tegak. Hal mana berkaitan dengan pertanyaan, diantaranya ialah apakah pemanggilan melalui penempelan surat panggilan pada papan pengumuman pengadilan atau melalui pengumuman media massa dengan interval tertentu bisa menjamin bahwa pihak Tergugat mengetahui adanya persidangan kapan dan dimananya padahal sedemikian luasnya wilayah NKRI? Apakah ada jaminan terlebih kepastian ketika surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau yang setingkat dengannya, surat panggilan akan sampai, sehingga Tergugat mengetahui adanya persidangan? Terkait hal tersebut, Sudikno Mertokusumo memberikan pemaparan sebagai berikut: Kalau jurusita telah sudah menyampaikan pemberitahuan kepada kepala desa, maka yang terakhir dianggap telah menyampaikan kepada pihak yang bersangkutan tanpa perlu adanya pembuktian untuk itu, sehingga kelalaian dari kepala desa tidak ada sanksinya dan sebaliknya pihak yang 9

10 bersangkutan mungkin dikalahkan atau dirugikan kaena tidak datang, disebabkan tidak menerima pemberitahuan atau panggilan dari kepala desa. 11 F. TAFSIRAN KATA PERKAWINAN DALAM UUP DAN UUPA Kedudukan PP bisa dilihat dari sejarah legislasi UUP. Sebelum unifikasi hukum perkawinan dengan diundangkannya UUP, terdapat berbagai beragam peraturan sesuai dengan penggolongan penduduk. Bagi Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek (KUHP), bagi golongan Tionghoa dan golongan orang-orang Arab dan Timur Asing lainnya berlaku BW dengan beberapa pengecualian, bagi orangorang Indonesia yang beragama Kristen yang berdomisili di tempat-tempat tertentu berlaku HOCI, dan bagi golongan selainnya berlaku GHR. 12 Bagi golongan Islam tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara materil mengadopsi ketentuan perkawinan sebagaimana yang dikehendaki umat Islam. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 hanya mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi Umat Islam. Diferensiasi pengaturan perkawinan tersebut berakhir dengan diundangkannya UUP. Secara tegas, Pasal 67 ayat (1) menyatakan bahwa UUP ini berlaku pada tanggal diumumkan dan pelaksanaannya secara efektif diatur dengan peraturan pemerintah. Demikian pula dengan hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan, diatur dengan PP. Atas dasar tersebut, tidak mengherankan bila PP mengandung banyak sekali hukum acara karena mendapat mandat seperti tertuang dalam Pasal 39 ayat (3) UUP yang berbunyi: tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Dalam pembahasan sebelumnya telah dicoba dikaji mengenai tidak tepatnya alasan bahwa karena PP sebagai pelaksana UUP, maka aturan dalam PP tersebut mencakup apa-apa yang diatur dalam UUP, dengan kata lain, aturan 11 Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2009), Edisi Delapan, Cet. I, 2009, hlm Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), hlm

11 pemanggilan dalam PP berlaku untuk perkara-perkara yang diatur secara substantif dalam UUP. Atau mungkin juga anggapan tersebut lahir karena mengembalikan kata Perkawinan pada Pasal 49 ayat (1) huruf a UUPA, yang kemudian secara sertamerta dirujuk penjelasan dari pasal tersebut (22 perkara). Hemat penulis, hal tersebut tidaklah mungkin karena UUPA lahir setelah lahirnya UUP dan PP. Kalaupun benar bahwa aturan Pasal 27 ayat (1)-(3) PP berlaku untuk seluruh perkara yang diatur secara subtantif oleh PP dan UUP, maka dengan merujuknya hukum acara PA kepada hukum acara peradilan umum, artinya aturan pemanggilan menurut PP tersebut hanya berlaku untuk perkara-perkara yang diatur dalam PP dan UUP tersebut, tidak untuk perkara-perkara dalam UUPA. Substansi jenis-jenis perkara Perkawinan dalam UUP berbeda dengan UUPA. Dalam UUP hal-ihwal bidang perkawinan dengan merujuk penyebutan kata pengadilan, melingkupi perkara izin poligami [Pasal 3 ayat (2)], Izin Kawin bagi yang belum mencapai usia 21, bila orang tua, wali, atau keluarga dalam hubungan garis lurus ada perbedaan pendapat [Pasal 6 (5)], dispensasi kawin [7 ayat (2)], pencegahan perkawinan (Pasal 17-18), penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (Pasal 21), pembatalan perkawinan (Pasal 25-28), Gugatan kelalaian kewajiban suami atau istri [Pasal 34 ayat (3)], Perceraian dan akibat hukumnya (39-41), sah tidaknya anak (Pasal 44), Pencabutan kekuasan orang tua [Pasal 49 ayat (1)], Penunjukkan wali ketika kekuasaan ortu dicabut (Pasal 53) Penggantian kerugian oleh wali atas harta benda anak di bawah kekuasaannya (Pasal 54), Penetapan Asal-Usul Anak sebagai pengganti akta kelahiran [Pasal 55 ayat (2)], dan keputusan tentang soal apakah penolakan untuk melangsungkan perkawinan campuran oleh pegawai pencatat pernikahan beralasan atau tidak [Pasal 60 ayat (3) dan (4)]. Berbeda halnya dengan UUP, UUPA menyebut secara enumeratif pada penjelasan Pasal 49 ayat (2) UUPA apa itu bidang perkawinan. Perbedaan tampak diantaranya pada angka 22 tentang: Itsbat Nikah, penyebutan secara jelas pada angka 10 mengenai penyelesaian harta bersama, dan lain sebagianya. 11

12 Mengingat adanya berbagai perbedaan sebagaimana dikemukakan di awal pembahasan, kiranya perlu keseragaman, dan ketetapan dengan berlandaskan pertimbangan hukum yang jelas, tegas dan pasti untuk menegakkan beracara yang benar. Terakhir, sebagai perbandingan ada baiknya dilihat RUU Hukum Hukum Acara Perdata Pasal 20 ayat (1) yang ternyata tidak terdapat pengubahan yang signifikan, dimana dinyatakan bahwa: Dalam hal pihak berperkara sebagaimana yang dimaksud Pasal 16 ayat (1) tidak diketahui alamat tempat tinggalnya atau tempat kediamannya, pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan surat panggilan di papan pengumuman atau melakukan panggilan melalui surat kabar harian. G. KESIMPULAN Diujung tulisan, penulis simpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Ketentuan pemanggilan dalam PP merupakan lex specialis atas ketentuan pemanggilan dalam HIR/ R.Bg. 2. Ketentuan pemanggilan dalam PP tersebut hanya melingkupi dua perkara: perceraian dan pembatalan perkawinan. 3. Pemanggilan yang logis dan realistis untuk kondisi saat ini ialah dengan mengakomodasi dan mengadopsi penggunaan teknologi informasi terkini. Wallahu alam Mohon maaf kalau ada salah kata. Yang benar dari Allah Swt, yang salah dari penulis. Masukan dan kritiknya sangat penulis nantikan. Sebelum dan sesudahnya penulis ucapkan jazakumullahu khairan katsira. 12

Sekitar Kejurusitaan

Sekitar Kejurusitaan Sekitar Kejurusitaan (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Pengertian Juru Sita Juru sita adalah salah satu pejabat yang bertugas di pengadilan agama, selain hakim, panitera dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada hakekatnya pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk mencapai suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI DASAR HUKUM PUTUSAN Pengadilan Agama Kendal telah memeriksa dan memberi

Lebih terperinci

Perkara Tingkat Pertama Cerai Gugat. Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :

Perkara Tingkat Pertama Cerai Gugat. Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya : Perkara Tingkat Pertama Cerai Gugat Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya : 1. a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar iyah

Lebih terperinci

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI 1 EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA Drs. H. Masrum M Noor, M.H I EKSEPSI Eksepsi (Indonesia) atau exceptie (Belanda) atau exception (Inggris) dalam istilah hukum acara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi

Lebih terperinci

PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN

PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN (Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim PTA NTB) I. Pendahuluan Pengadilan Agama di wilayah PTA NTB terkenal dengan banyaknya

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya :

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya : Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya : 1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt

BAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt BAB IV ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt A. Analisis Hukum Acara Peradilan Agama terhadap Pertimbangan Majelis Hakim tentang

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI. pejabat pengandilan yang di tugaskan melakukan penggilan-panggilan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI. pejabat pengandilan yang di tugaskan melakukan penggilan-panggilan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI A. Pengertian Jurusita / Jurusita Pengganti Jurusita (deurwaarder : dalam bahasa Belanda) adalah seorang pejabat pengandilan yang di tugaskan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM 57 BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan N0.251/Pdt.G/2013 PA.Sda Dalam memutuskan setiap Perkara di dalam persidangan hakim tidak serta merta memutuskan perkara

Lebih terperinci

Kecamatan yang bersangkutan.

Kecamatan yang bersangkutan. 1 PENCABUTAN PERKARA CERAI GUGAT PADA TINGKAT BANDING (Makalah Diskusi IKAHI Cabang PTA Pontianak) =========================================================== 1. Pengantar. Pencabutan perkara banding dalam

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia berdasarkan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Lebih terperinci

RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR AGAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 03 S/D 05 MEI

RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR AGAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 03 S/D 05 MEI RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR AGAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 03 S/D 05 MEI 2012 NO MASALAH JAWABAN 1. Putusan Pengadilan Agama tidak menerima gugatan Penggugat karena bukan termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun 1989 yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, peradilan agama

Lebih terperinci

MAKALAH : PEMBAHASAN :

MAKALAH : PEMBAHASAN : MAKALAH : JUDUL DISAMPAIKAN PADA : TATA CARA PEMANGGILAN PARA PIHAK : FORUM DISKUSI HAKIM TINGGI MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH DI MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH PADA HARI/ TANGGAL : SELASA, 10 JANUARI 2012 O L E H

Lebih terperinci

PEMECAHAN MASALAH HUKUM YANG TERJADI PADA PENGADILAN AGAMA SE KALIMANTAN BARAT

PEMECAHAN MASALAH HUKUM YANG TERJADI PADA PENGADILAN AGAMA SE KALIMANTAN BARAT 1 PEMECAHAN MASALAH HUKUM YANG TERJADI PADA PENGADILAN AGAMA SE KALIMANTAN BARAT I. PENDAHULUAN 1. Tulisan ini hadir antara lain karena terinspirasi oleh konsep Rumusan Hasil Rapat Kerja Pengadilan Tinggi

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2010/PTA Smd BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Samarinda yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat

BAB I PENDAHULUAN. Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Tempat Pendaftaran : BAGAN PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA Pengadilan Agama Brebes Jl. A.Yani No.92 Telp/ fax (0283) 671442 Waktu Pendaftaran : Hari Senin s.d. Jum'at Jam 08.00 s.d 14.00 wib PADA PENGADILAN

Lebih terperinci

Nomor 103/Pdt.G/2012/PA.Pkc BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan:

Nomor 103/Pdt.G/2012/PA.Pkc BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan: SALINAN PUTUSAN Nomor 103/Pdt.G/2012/PA.Pkc BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA 70 BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA A. Analisis Yuridis Terhadap Dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Pengadilan Negeri Jombang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1989 (AGAMA. KEHAKIMAN. PERADILAN. Perkawinan. Perceraian. Warisan. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Prosedur berperkara pada Pengadilan Agama Sungai Penuh, adalah sebagai berikut:

Prosedur berperkara pada Pengadilan Agama Sungai Penuh, adalah sebagai berikut: Prosedur Berperkara Prosedur berperkara pada Pengadilan Agama Sungai Penuh, adalah sebagai berikut: Tempat Pendaftaran : Kantor Pengadilan Agama Sungai Penuh Jl. Depati Parbo, Kota Sungai Penuh, Jambi

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI

TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI Oleh: H.Sarwohadi, S.H.,M.H., (Hakim PTA Mataram). A. Pendahuluan Judul tulisan ini agak menggelitik bagi para pambaca terutama

Lebih terperinci

Tahap pemanggilan para pihak. 1. Aturan umum

Tahap pemanggilan para pihak. 1. Aturan umum Tahap pemanggilan para pihak 1. Aturan umum Berdasarkan perintah hakim ketua majelis di dalam PHS (Penetapan Hari Sidang), juru sita /juru sita pengganti melaksanakan pemanggilan kepada para pihak supaya

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN. AGAMA MALANG PERKARA NO. 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN. AGAMA MALANG PERKARA NO. 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG PERKARA NO. 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg A. Analisis Terhadap Pijakan Majelis Hakim Menjatuhkan Putusan Neit Onvantkelijk (NO) Dalam Perkara No.0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO. 3400 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: xxx/pdt.g/2013/ms-aceh

P U T U S A N. Nomor: xxx/pdt.g/2013/ms-aceh P U T U S A N Nomor: xxx/pdt.g/2013/ms-aceh DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Syar'iyah Aceh yang mengadili perkara cerai gugat pada tingkat banding dalam persidangan Majelis Hakim

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

BAB III KEWENANGAN PERADILAN AGAMA BAB III KEWENANGAN PERADILAN AGAMA A. Deskripsi Singkat Bab ini membahas tentang kewenangan peradilan agama. Pembahasan ini mempunyai arti penting karena sebelum diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 sering

Lebih terperinci

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram )

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram ) SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram ) A. Pendahuluan : 1. Pengertian Pemeriksaan Setempat Pemeriksaan Setempat atau descente ialah

Lebih terperinci

P U T U S A N. NOMOR : 0471/Pdt.G/2011/PA.Bn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. NOMOR : 0471/Pdt.G/2011/PA.Bn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 P U T U S A N NOMOR : 0471/Pdt.G/2011/PA.Bn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Bengkulu Kelas I A yang mengadili perkara perdata tertentu pada

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 07/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 07/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 07/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Syar'iyah Aceh yang mengadili perkara Harta Bersama pada tingkat banding,

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor XXXX/Pdt.G/2016/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor XXXX/Pdt.G/2016/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor XXXX/Pdt.G/2016/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama telah menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA

FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA 2 2011 DRAFT FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA DIREKTORAT PEMBINAN ADMINISTRASI PA DIREKTORAT JENDERAL BADAN PERADILAN AGAMA MA RI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG CERAI GUGAT DENGAN ALASAN IMPOTEN. A. Prosedur Cerai Gugat Dengan Alasan Impoten

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG CERAI GUGAT DENGAN ALASAN IMPOTEN. A. Prosedur Cerai Gugat Dengan Alasan Impoten 66 BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG CERAI GUGAT DENGAN ALASAN IMPOTEN A. Prosedur Cerai Gugat Dengan Alasan Impoten Prosedur cerai gugat dengan alasan impoten diawali dengan adanya pengajuan

Lebih terperinci

antara pihak-pihak :

antara pihak-pihak : Pengadilan Agama Poso yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara cerai gugat antara pihak-pihak :-------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor: 0186/Pdt.G/2009/PA.Bn

P U T U S A N Nomor: 0186/Pdt.G/2009/PA.Bn P U T U S A N Nomor: 0186/Pdt.G/2009/PA.Bn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

PUTUSAN /Pdt.G/2013/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN /Pdt.G/2013/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Nomor PUTUSAN /Pdt.G/2013/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasir Pengaraian yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

ALASAN PERCERAIAN DAN PENERAPAN PASAL 76 UU NO.7 TAHUN 1989 YANG DIUBAH OLEH UU NO.3 TAHUN 2006 DAN PERUBAHAN KEDUA OLEH UU NOMOR 50 TAHUN 2009

ALASAN PERCERAIAN DAN PENERAPAN PASAL 76 UU NO.7 TAHUN 1989 YANG DIUBAH OLEH UU NO.3 TAHUN 2006 DAN PERUBAHAN KEDUA OLEH UU NOMOR 50 TAHUN 2009 ALASAN PERCERAIAN DAN PENERAPAN PASAL 76 UU NO.7 TAHUN 1989 YANG DIUBAH OLEH UU NO.3 TAHUN 2006 DAN PERUBAHAN KEDUA OLEH UU NOMOR 50 TAHUN 2009 Oleh Drs. H. Jojo Suharjo ( Wakil Ketua Pengadilan Agama

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 0560/Pdt.G/2012/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 0560/Pdt.G/2012/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 0560/Pdt.G/2012/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 0378/Pdt.G/2011/PA.Bn. BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 0378/Pdt.G/2011/PA.Bn. BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 0378/Pdt.G/2011/PA.Bn. BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Bengkulu Kelas I A yang mengadili perkara perdata tertentu dalam

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA DALAM PERSIDANGAN

ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA DALAM PERSIDANGAN ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA Pembuktian. DALAM PERSIDANGAN Di dalam persidangan para pihak dapat saja mengemukakan peristiwa-peristiwa yang bisa dijadikan dasar untuk meneguhkan haknya

Lebih terperinci

TATA CARA PEMANGGILAN Oleh : Dr. Hj. Djazimah Muqoddas, SH.,M.Hum

TATA CARA PEMANGGILAN Oleh : Dr. Hj. Djazimah Muqoddas, SH.,M.Hum 1 TATA CARA PEMANGGILAN Oleh : Dr. Hj. Djazimah Muqoddas, SH.,M.Hum I. Pendahuluan. Pelayanan optimal, transparan dan efektif kepada masyarakat pencari keadilan adalah salah satu tujuan Pengadilan, dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: Bahwa untuk kelancaran pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

PUTUSAN. /Pdt.G/2013/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. /Pdt.G/2013/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN NOMOR : /Pdt.G/2013/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasir Pengaraian yang mengadili perkara Cerai Gugat pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN A. Analisis Terhadap Dasar pertimbangan Hukum yang Dijadikan Pedoman Oleh Hakim Dalam Penetapan

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH 56 BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH A. Analisis Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama Tentang Mut ah dan Nafkah Iddah. Tujuan pihak-pihak

Lebih terperinci

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN PERCERAIAN ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA DAN PENYELESAIANYA JIKA PUTUSAN TERSEBUT TIDAK DILAKSANAKAN A. Pelaksanaan Putusan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA. Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG

P U T U S A N. Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA. Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG P U T U S A N Nomor /Pdt.G/2017/PTA. Bdg. الرحيم الرحمن الله بسم DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG Dalam sidang majelis tingkat banding telah memeriksa,

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor : 720/Pdt.G/2012/PA.TPI BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Tanjungpinang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95 \ PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat 11610 Telp./Fax. (021) 58352092 sd. 95 E-Mail: info@pa-jakartabarat.go.id ; Website: www.pa-jakartabarat.co.id A. Dasar

Lebih terperinci

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan SALINAN P U T U S A N Nomor 0756/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

BAB II KOMPETENSI PERADILAN AGAMA TENTANG PENCABUTAN GUGATAN DAN PERCERAIAN

BAB II KOMPETENSI PERADILAN AGAMA TENTANG PENCABUTAN GUGATAN DAN PERCERAIAN BAB II KOMPETENSI PERADILAN AGAMA TENTANG PENCABUTAN GUGATAN DAN PERCERAIAN A. Tinjauan Umum tentang Pencabutan Gugatan 1. Pengertian Pencabutan Gugatan Mencabut gugatan adalah tindakan menarik kembali

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor XXXX/Pdt.G/2015/PA.Ktbm. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor XXXX/Pdt.G/2015/PA.Ktbm. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor XXXX/Pdt.G/2015/PA.Ktbm. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor : 689/Pdt.G/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

PUTUSAN. Nomor : 689/Pdt.G/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan PUTUSAN Nomor : 689/Pdt.G/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N 37/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N 37/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Salinan Nomor : P U T U S A N 37/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Donggala yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

Putusan Nomor : 276/Pdt.G/2011/PA.Pkc. hal. 1 dari 10 hal.

Putusan Nomor : 276/Pdt.G/2011/PA.Pkc. hal. 1 dari 10 hal. PUTUSAN Nomor : 276/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara cerai gugat pada

Lebih terperinci

PENETAPAN NOMOR XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm

PENETAPAN NOMOR XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm PENETAPAN NOMOR XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2013/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2013/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2013/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN

REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN MAKALAH PEMBANDING I Disampaikan oleh Pengadilan Agama Bukittinggi dalam kegiatan IKAHI PTA Padang tentang diskusi hukum yang diikuti oleh Kordinator

Lebih terperinci

P U T U S A N. NOMOR 52/Pdt.G/2013/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. NOMOR 52/Pdt.G/2013/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N NOMOR 52/Pdt.G/2013/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk

P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Mentok yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara tertentu dalam persidangan Majelis Hakim

Lebih terperinci

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 87/Pdt.G/2009/PA.Pso. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 87/Pdt.G/2009/PA.Pso. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 87/Pdt.G/2009/PA.Pso. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA -------Pengadilan Agama Poso yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

bismillahirrahmanirrahim

bismillahirrahmanirrahim SALINAN P U T U S A N Nomor 1038/Pdt.G/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TERHADAP HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK DALAM CERAI GUGAT (STUDI PUTUSAN NOMOR : 420/PDT.G/2013/PTA.SBY) A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia BAB III PENUTUP Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang diajukan dan juga saran sebagai alternatif pemecahan terhadap permasalahan kasus yang lainnya yang

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor : 80/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN Nomor : 80/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor : 80/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara tertentu

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor: 0383/Pdt.G/2010/PA.Bn. BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor: 0383/Pdt.G/2010/PA.Bn. BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0383/Pdt.G/2010/PA.Bn. BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Bengkulu Kelas 1 A yang mengadili perkara perdata tertentu dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA 77 BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Dasar Penentuan Patokan Asas Personalitas Keislaman di Pengadilan

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

1 Abdul Manan, Penerapan, h R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1995). h. 110.

1 Abdul Manan, Penerapan, h R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1995). h. 110. RINGKASAN SKRIPSI PANDANGAN HAKIM DAN ADVOKAT TERHADAP PASAL 150 HIR TENTANG PEMERIKSAAN SAKSI SECARA SILANG (CROSS EXAMINATION) (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Malang) A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 018/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN

P U T U S A N Nomor : 018/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN Salinan P U T U S A N Nomor : 018/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA -------- Pengadilan Agama Donggala yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu

Lebih terperinci

CARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET

CARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET CARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET Oleh: H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,(Hakim PTA Mataram). I. Pendahuluan : Judul tulisan ini bukan hal yang baru, sudah banyak ditulis oleh para pakar hukum

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA I.A. Prosedur Dan Proses Penyelesaian Perkara Cerai Talak PROSEDUR Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami) atau kuasanya : 1. a. Mengajukan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 1154/Pdt.G/2014/PA.Plg

PUTUSAN Nomor 1154/Pdt.G/2014/PA.Plg PUTUSAN Nomor 1154/Pdt.G/2014/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

SALINAN P U T U S A N Nomor :0869/Pdt.G/2011/PA.Skh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN P U T U S A N Nomor :0869/Pdt.G/2011/PA.Skh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor :0869/Pdt.G/2011/PA.Skh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sukoharjo yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata

Lebih terperinci

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram ) HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram ) A. Pendahuluan Pembuktian merupakan bagian dari tahapan pemeriksaan perkara dalam persidangan

Lebih terperinci

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak BAB IV ANALISIS YURIDIS HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak Menggunakan Hak Ex Officio

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN NOMOR : /Pdt.G/2013/PA.TPI BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Tanjungpinang yang mengadili perkara Cerai Gugat pada tingkat pertama, dalam

Lebih terperinci

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN 1 KUHPerdata 103 106 105 107 KUHPerdata 107 108 110 Akibat perkawinan terhadap diri pribadi masing-masing Suami/Istri Hak & Kewajiban Suami-Istri UU No.1/1974 30

Lebih terperinci