REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN
|
|
- Inge Chandra
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN MAKALAH PEMBANDING I Disampaikan oleh Pengadilan Agama Bukittinggi dalam kegiatan IKAHI PTA Padang tentang diskusi hukum yang diikuti oleh Kordinator wilayah II (PA. Batusangkar, PA. Padang Panjang, PA. Bukittinggi, PA. Payakumbuh dan PA. Tanjung Pati) Yang diadakan Di Batusangkar 21 Muharram 1436 H/14 November
2 I. Pendahuluan REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN (MAKALAH PEMBANDING) Gugatan rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a dan Pasal 231 b HIR yang disisipkan dalam HIR dengan Stb yang diambil alih dari pasal B.Rv. Sedangkan dalam R.Bg, rekonvensi diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 158. Dalam Hukum Acara Perdata, gugatan rekonvensi dikenal dengan gugat balik, berhubung Tergugat juga melakukan wanprestasi kepada Penggugat. Tergugat baru dapat melakukan gugatan rekonvensi, apabila secara kebetulan berkaitan dengan kebendaan yang sedang diperiksa dalam sidang pengadilan, gugat rekonvensi tidak boleh dilaksanakan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perorangan atau yang menyangkut dengan status orang.jika tidak semua gugatan Penggugat dibalas dengan gugatan rekonvensi 1. II. Pengertian dan Tujuan Gugatan Rekonvensi A. Pengertian Gugatan Rekonvensi Dalam ketentuan Pasal 157 ayat 1 / Pasal 132 a ayat (1) HIR, hanya memberikan pengertian singkat yaitu menurut Pasal tersebut maknanya adalah: Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan Tergugat sebagai Gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan Penggugat kepadanya, dan gugatan rekonvensi diajukan Tergugat kepada pengadilan pada saat berlansungnya proses pemeriksaan gugatan yang diajukan Penggugat kepada Tergugat. Makna gugatan rekonvensi yang terkandung dalam Pasal 244 B.Rv hampir sama dengan yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 157 R.Bg / Pasal 132 a ayat (1) HIR, yang mengatakan bahwa gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan Tergugat terhadap Penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan 2, namun oleh karena HIR dipakai oleh Jawa dan Madura, maka penulis mencukupkan 1 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama,Jakarata: Kencana, 2008, hlm M. Yahya Harahap, Perlawanan terhadap Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dalam hukum eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm
3 memakai R.Bg, karena peradilannya berada diluar Jawa dan Madura, akan tetapi untuk mendapatkan perbandingan untuk istilah dari rekonvensi perlu dimasukan Pasal 244 B.Rv tersebut. Contoh: kasus perceraian, suami mengajukan gugatan cerai terhadap istri ke Pengadilan Agama. Atas gugatan tersebut istri/tergugat mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan Penggugat tersebut yaitu mengenai pembagian harta bersama, nafkah anak, hadhanah, dll.apabila gugatan cerai tidak dapat diterima, maka otomatis gugatan rekonvensi mengenai harta bersama dan seterusnya itu harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena antara kedua gugatan tersebut terdapat koneksitas yang erat, sebagaimana digariskan dalam putusan MA No. 50 K/PDT/ Menurut putusan tersebut demi asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, dapat dikomulasikan gugatan cerai dengan pembagian harta bersama, penguasaan anak (Hadhanah), nafkah anak, nafkah istri, dll sesuai dengan Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun Memang hukum membolehkan proses pemeriksaan dilakukan secara terpisah, sehingga masing-masing dituangkan dalam putusan yang berbeda, namun pada prinsipnya yang harus ditegakkan adalah sedapat mungkin perkara diperiksa dan diputus secara bersamaan dalam putusan supaya tidak menimbulkan putusan yang berbeda. Istilah untuk rekonvensi banyak ragamnya dari para ahli hukum seperti Soepomo, yang menggunakan istilah tuntutan kembali, Abdul Kadir Muhammad menggunakan istilah dengan gugatan balasan samadengan Soebekti dan Wiryono memakai istilah gugat-ginugat. Untuk membuat keseragaman dalam istilah, berdasarkan kenyataan praktek peradilan dan praktisi hukum telah menerima istilah rekonvensi sebagai hal yang baku, untuk mempergunakan istilah tersebut dalam pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini, penulis sudah mencukupkanalas an seperti yang tersebut di atas. Agustus Tanggal 7 Juli 1984, jo PT.Jakarta No. 790, 21 Agustus 1982, jo PN Jakarta Barat No.276/1980, 21 3
4 B. Tujuan Gugatan Rekonvensi Tujuan gugatan rekonvensi adalah untuk mengimbangi gugatan Penggugat, agar sama-sama dapat diperiksa sekaligus, menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan untuk diperiksa dalam persidangan sekaligus, mempermudah prosedur pemeriksaan, menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain, menetralisir tuntutan konvensi, memudahkan acara pembuktian dan menghemat biaya 4, dan berbagai tujuan positif yang terkandung dalam system rekonvensi tersebut. Manfaat yang diperoleh dalam menggabungkan dua gugatan sekaligus, bukan hanya sekedar memenuhi kepentingan pihak Tergugat saja, melainkan meliputi kepentingan Penggugat maupun penegakan kepastian hukum dalam arti luas.yang terpenting diantara tujuan itu adalah 5 : 1. Menegakkan Asas Peradilan Sederhana Sesuai dengan ketentuan Pasal 158 ayat 3 R.Bg / Pasal 132 b ayat (3) HIR, gugatan konvensi dan rekonvensi diperiksa dan diputus secara serentak dan bersamaan dalam satu proses, dan dituangkan dalam suatu putusan. System yang menggabungkan / menyatukan dua tuntutan gugatan pemeriksaan dan putusan dalam satu proses, sangat menyederhanakan penyelesaian perkara. Penyelesaian perkara yang semestinya harus dilakukan dalam dua proses yang terpisah dan berdiri sendiri, dibenarkan hukum untuk menyelesaikan secara bersama. Dengan demikian penggabunga konvensi dan rekonvensi, sesuai dengan asas peradialn sederhan dan biaya ringan yang digariskan dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 1999, dan sekarang berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004.Seperti yang dikatakan Supomo, salah satu tujuan Rekonvensi adalah Untuk Mempermudah Prosedur 6.Dengan arti kata gugatan rekonvensi bertujuan untuk menyederhanakan proses penyelesaian perkara. hlm Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008, 5 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm Soepomo, Hukum Acara Perdata, Pradya Paramita, Jakarta, 1993, hlm
5 2. Menghemat Biaya dan Waktu a. Menghemat Biaya Apabila pemeriksa gugatan rekonvensi dilakukan secara terpisah dengan konvensi, biaya yang mesti dikeluarkan menjadi dua kali lipat.sebaliknya, apabila pemeriksaan dilakukan melalui system rekonvensi, biaya dapat dihemat lebih kurang 50%, karena biaya rekonvensi menjadi nol (Zero cost), diabsorbsi oleh biaya perkara konvensi. b. Menghemat Waktu Apabila proses pemeriksaan gugatan rekonvensi berdiri sendiri, maka sudah harus memerlukan waktu yang berbeda dan terpisah untuk masing-masing gugatan. Gugatan konvensi memerlukan jatah waktu tersendiri dan begitu pula sebaliknya dengan gugatan rekonvensi, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 158 ayat 3 / Pasal 132 b ayat (3) HIR, yang memerintahkan pemeriksaan antara keduanya dalam satu proses dan dalam satu putusan, menyelesaikan kedua perkara menjadi lebih singkat, jangka waktu yang dipergunakan dapat dihemat setengah dari semestinya. Memperhatikan efektifitas dan efisiensi biaya dan waktu yang dihasilkannya, Pelembagaan Sistem Rekonvensi sangat menopang asas yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 yaitu asas Peradilan SEDERHANA,CEPAT dan BIAYA RINGAN. c. Menghindari Putusan Yang Saling Bertentangan Hal lain yang dapat diperoleh dari system rekonvensi adalah untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan 7, terutama akan muncul dalam kasus gugatan rekonvensi yang benar-benar saling berkaitan atau berhubungan (innerlijke semen hangen) dengan gugatan konvensi. Jika pemeriksaan antara keduanya terpisah dan berdiri sendiri, besar kemungkinan putusan yang dijatuhkan saling bertentangan antara putusan gugatan konvensi dengan putusan gugatan rekonvensi maka terjadi innerlijke, apalagi perkara tersebut diperiksa oleh Majelis yang berbeda. 7 Ibid. 5
6 III. Permasalahan: Dari judul makalah yang tertulis di atas, maka penulis menemukan beberapa masaalah yaitu seperti berikut: 1. Apakah gugatan rekonvensi dibolehkan untuk diajukan dalam sidang secara lisan? 2. Apakah gugatan rekonvensi dapat diajukan secara tersendiri? 3. Apakah ada batas pengajuan gugatan rekonvensi tersebut? IV. Pembahasan: Di bawah ini penulis akan mencoba untuk menguraikan masaalah tersebut satu persatu dalam pembahasannya yaitu: 1. Apakah gugatan rekonvensi dibolehkan untuk diajukan dalam sidang secara lisan? Gugatan rekonvensi harus jelas keberadaannya, meski diformulasi atau diterangkan oleh Tergugat dalam jawaban, dengan demikian penegasan putusan MA No. 330 K/Pdt/1986, tanggal 14 Mei 1987 dapat dipedomani dalam menyelesaikan gugatan rekonvensi tersebut, meskipun R.Bg/HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan itu dianggap ada dan sah, maka gugatan itu harus dirumuskan secara jelas dalam jawaban Tergugat tersebut. Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya gugatan rekonvensi yang diajukan oleh Tergugat kepadanya dan majelis dapat mempertimbangkan gugatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bentuk pengajuan, gugatan rekonvensi boleh secara lisan, sebagai mana ketentuan Pasal 157 R.Bg/Pasal 132 a ayat (1) HIR, akan tetapi lebih baik diajukan secara tertulis. Bentuk-bentuk yang mana saja boleh dipilih Tergugat?Apapun bentuknya, yang penting diperhatikan, adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu ada 3 macam: a. Menyebut dengan tegas subjektif yang ditarik sebagai Tergugat rekonvensi. 6
7 b. Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensiberupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijtelijkegrond) yang melandasi gugatan tersebut. c. Menyebut dan merumuskan dengan rinci petitum gugatan rekonvensi tersebut. Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, gugatan rekonvensi tersebut dianggap tidak memenuhi syarat, baik syarat formil maupun syarat materil, maka gugatan rekonvensi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Menurut putusan MA No k/sip/1973, tanggal 1 April 1975, gugatan rekonvensi yang tidak memenuhi unsur syarat formil dan meteril, maka dianggap bukan merupakan gugatan rekonvensi, yang konstruksinya seolah-olah ada gugatan rekonvensi padahal gugatan tersebut tidak tegas dinyatakan dalam jawaban Tergugat atau apabila unsur yang disyaratkan tidak terpenuhi maka tidak dapat dibenarkan. Misal Tergugat menegaskan dalam jawaban mengajukan gugatan rekonvensi, tetapi tidak dibarengi dengan petitum gugatannya. Dalam kasus ini, meskipun gugatan rekonvensi merumuskan dalildan alasan, namun gugatan rekonvensi dianggap tidak sah, apabila dalil itu tidak dibarengi dengan petitum gugatannya, oleh karenanya pada gugatan lisan rekonvensi tersebut majelis dapat membuat bahasa / kata-kata yang tepat mengenai tuntutan yang telah disampaikan Penggugat rekonvensi secara lisan dipersidangan, karena pada umumnya pihak pencari keadilan yang mengajukan rekonvensi secara lisan, biasanya pihak pencari keadilan yang tidak mengetahui tentang hukum. 2. Apakah gugatan rekonvensi dapat diajukan secara tersendiri? Dalam ketentuan Pasal 157 R.Bg / Pasal 132 a ayat (1) HIR selain syarat formil yang berbunyi: Tergugat wajib mengajukan gugatan melawan, bersama-sama dengan jawabannya baik dengan cara tertulis maupun dengan cara lisan. Jadi dengan arti kata, bahwa gugatan rekonvensi harus juga memenuhi syarat materil.makna jawaban dalam kalimat wajib mengajukan bersama-sama dengan jawaban di atas adalah: jawaban pertama denganberdasarkan alasan sebagai berikut: a. Membolehkan atau memberikan kebebasan bagi Tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi di luar jawaban Pertama atau dapat diajukan dalam jawaban pertama apabila tidak diajukan pada waktu tersebut, maka rekonvensi tidak 7
8 memenuhi syarat formil, sehingga gugatan rekonvensi tidak dapat diterima dan dapat menimbulkan kerugian bagi Penggugat dalam membela hak dan kepentingannya. b. Atau memperbolehkan Tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi melampaui jawaban pertama, hal ini dapat menimbulkan ketidaklancaran pemerikasaan dan penyelesaian perkara oleh majelis. c. Rasio yang terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban pertama, adalah agar Tergugat tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya dalam mengajukan gugatan rekonvensi tersebut. 3. Apakah ada batas pengajuan gugatan rekonvensi tersebut? Alasan-alasan yang tersebut diatas tentang makna jawaban dalam Pasal 157 R.Bg / Pasal 132 a ayat (1) HIR, mendasari pendapat Prof. Soebekti, adalah bahwa gugatan rekonvensi dapat diajukan sewaktu-waktu sampai tahap pemeriksaan saksi belum dimulai, hal ini hanya dapat dibenarkan dalam proses secara lisan, dan tidak dalam proses secara tertulis. Dalam praktek, terdapat juga putusan MA yang mendukung pendapat yang sempit ini. Tanpa mengurangi kemungkinan putusan ini sebagai contoh dan dapat dikemukakan salah satu diantaranya, yaitu Putusan MA No. 346K/Sip/1975, tanggal 26 April , yang dikatakan gugatan rekonvensi baru diajukan Tergugat pada jawaban kedua (dalam jawaban/ tanggapan secara duplik Tergugat terhadap replik Penggugat), oleh karena itu gugatan rekonvensi tersebut terlambat diajukan karena telah melampaui batas pengajuan. Hal ini merupakan penafsiran secara sempit, sepertinya kurang bernuansa untuk mencapai penegakan hukum berdasarkan moral justice tetapi lebih mengedepankan penegakan legal justice. Menurut pendapat yang lebih toleran, atau pendapat yang menafsirkan secara luas / elastic, yaitu memberikan batasan pengajuan gugatan rekonvensi sampai tahap sebelum proses pemeriksaan pembuktian dilaksakan. Pengajuan gugatan rekonvensi tidak mesti bersama-sama dengan jawaban pertama, tetapi gugatan rekonvensi tersebut dapat di benarkan sampai proses pemeriksaan sebelum memasuki tahap pembuktian. 8 Rangkuman Yurisprodensi, hlm
9 Dengan demikian gugatan rekonvensi tidak mutlak diajukan pada jawaban pertama, tetapi dimungkinkan juga pada pengajuan tanggapan secara duplik.pendapat tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 158 R.Bg / Pasal 132 b ayat (1) HIR itu sendiri. Dalam Pasal tersebut tidak dijumpai kata atau kalimat secara tegas, bahwa yang dimaksud dengan jawaban adalah jawaban pertama, melainkan kalimatnya hanya menyebutkan bersama-sama dengan jawaban. Dengan demikian, ditinjau dari tata tertib beracara dan teknis yudisial, gugatan rekonvensi tetap terbuka kemungkinan kepada pencari keadilan untuk diajukan selama proses pemeriksaan dalam tahap jawab menjawab. Yang menjadi syarat formil adalah gugatan rekonvensi diajukan secara bersama-sama dengan jawaban / tanggapan secara duplik terhadap replik Penggugat dan kepada Penggugat diberikan kesempatan sekali lagi untuk mengajukan replik (re-replik) atas gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat pada tahap jawaban / tanggapan secara duplik.pendapat tersebut merujuk kepada Pasal 158 R.Bg / Pasal 132 b ayat (1) HIR itu sendiri 9. Apabila tahap tersebut dilampaui atau dibiarkan oleh Tergugat, maka pengajuan gugatan rekonvensi tidak sah karena tidak memenuhi syarat formil dan materil, maka gugatan rekonvensi tersebut sudah seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima.pengajuan yang demikian itu dianggap sewenang-wenang dari Tergugat, oleh karena itu dapat di setujui pendapat dari putusan MA No.642K/Sip/1972, tanggal 18 September , yang mengatakan bahwa gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat pada sidang ke 8 (delapan) yaitu pada proses pemeriksaan alat bukti yang telah sampai pada tahap mendengarkan keterangan saksi-saksi dan begitu juga dengan pengajuan rekonvensi pada tahap perkara banding, maka harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena telah melampaui batas pengajuan gugatan rekonvensi tersebut. Putusan Pengadilan lebih cenderung menerapkan pendapat yang luas atau penafsiran secara elastis sesuai dengan putusan MA No. 239K/Sip/ V. Kesimpulan Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 9 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm Ibid, rangkuman yurisprodensi, hlm Ibid. 9
10 1. Bahwa gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan dalam persidangan, namun alangkah lebih baik bila diajukan secara tertulis supaya apa yang dimaksud oleh Tergugat terangkum secara lengkap / keseluruhan. 2. Bahwa memang hukum membolehkan pemeriksaan dilakukan secara terpisah, sehingga masing-masing dituangkan dalam putusan yang berbeda, namun menurut ketentuan Pasal 157, Pasal 158 R.Bg / Pasal 132 a ayat (1) dan Pasal 132 b ayat (3) HIR, gugatan rekonvensi tidak dapat diajukan secara tersendiri, melainkan harus mempunyai pertautan dengan perkara konvensi, sehingga pengajuannya secara bersama-sama dan diperiksa secara bersama-sama pula untuk menghindari pertentangan isi putusan dan menghemat biaya perkara serta sederhana ( tercapai asas peradilan). 3. Bahwa batas pengajuan gugatan rekonvensi, penafsiran secara sempit, batas pengajuan gugatan rekonvensi adalah pada jawaban pertama dari gugatan Penggugat dan penafsiran secara elastis / luas gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam tahap jawab-menjawab, baik pada jawaban pertama maupun pada tahap jawaban / tanggapan atas replik Penggugat secara duplik oleh Tergugat dan Penggugat dan Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan re-replik atas duplik dan re-duplik atas replik atau masih dalam batas acara jawab-menjawab sebelum masuk kepada acara pembuktian. Makalah ini dibuat sebagai persyaratan dalam pelaksanaan diskusi hukum pada kegiatan IKAHI, dari Pengadilan Tinggi Agama Padang, tanggal 14 November 2014 di Batusangkar yang di ikuti oleh Pengadilan Agama Korwil II yaitu Pengadilan Agama Batusangkar sebagaikoordinator, Pengadilan Agama Padang Panjang (penyedia makalah), Pengadilan Agama Bukittinggi (penyedia makalah pembanding ), Pengadilan Agama Payakumbuh, dan Pengadilan Agama Tanjung Pati (Penyedia makalah pembanding) dan para Hakim Tinggi Agama Padang. Penulis mengakui bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan disana sini, karena keterbatasan ilmu yang penulis peroleh, untuk itu penulis berharap pada diskusi hukum dalam kegiatan yang dilakukan oleh IKAHI Pengadilan Tinggi Agama Padang ini kiranya para peserta yang hadir dapat memberikan sumbangsih dan kritikan yang sehat, sehingga dapat menciptakan suatu makalah yang sempurna untuk 10
11 dapat menunjang dan diterapkan dalam tugas kita sehari-hari guna membantu pencari keadilan dalam menyelesaikan perkara, sehingga ilmu tersebut dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi pencari keadilan serta buat kita para hakim semoga demikian juga. Amiiin.. Bukittinggi, 7November 2014 Masehi 14 Muharram 1436 Hijriyah Penulis, Hakim Pengadilan Agama Bukittinggi 11
BAB IV ANALISIS KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK
61 BAB IV ANALISIS KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK A. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb Dalam putusan yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi
13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi
Lebih terperinciBAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan
Lebih terperinciPutusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di
79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN. A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan
40 BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan Cerai Dengan Harta Bersama. Berdasarkan hasil permusyawaratan yang dilakukan
Lebih terperinciTujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti
TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun 1989 yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, peradilan agama
Lebih terperinciDASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG DALAM MENETAPKAN GUGATAN REKONVENSI MENGENAI HARTA GONO GINI DAN HADHANAH
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG DALAM MENETAPKAN GUGATAN REKONVENSI MENGENAI HARTA GONO GINI DAN HADHANAH BAB I PENDAHULUAN Perceraian itu sesungguhnya dibenci tanpa adanya hajat. Akan
Lebih terperinciKecamatan yang bersangkutan.
1 PENCABUTAN PERKARA CERAI GUGAT PADA TINGKAT BANDING (Makalah Diskusi IKAHI Cabang PTA Pontianak) =========================================================== 1. Pengantar. Pencabutan perkara banding dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi
Lebih terperinciLex Privatum, Vol.III/No. 2/Apr-Jun/2015
SYARAT MATERIL DAN FORMAL GUGATAN REKONVENSI DALAM PERKARA PERDATA 1 Oleh : I Nyoman Setiadi Sabda 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana tata cara mengajukan gugatan
Lebih terperinciMakalah Rakernas MA RI
Makalah Rakernas MA RI 2011 1 BEBERAPA CATATAN DARI TUADA ULDILAG BAHAN RAKERNAS MARI SEPTEMBER 2011 A. Pengantar Berhubung saya dalam kondisi sakit, maka saya hanya memberi catatan-catatan yang saya anggap
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg)
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg) A. Analisis Terhadap Deskripsi Dissenting Opinion Dalam Putusan Perkara
Lebih terperinciSALINAN P U T U S A N Nomor : 72/Pdt.G/2011/PTA.Bdg.
SALINAN P U T U S A N Nomor : 72/Pdt.G/2011/PTA.Bdg. BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah memeriksa dan mengadili perkara perdata
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)
TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat
Lebih terperinciHUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan
Lebih terperinciBAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam kenyataan dilakukan. 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap orang mempunyai kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Kadangkadang kepentingan mereka itu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT
79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Atas Putusan No. 1359/Pdt.
Lebih terperinciTERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI
TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI Oleh: H.Sarwohadi, S.H.,M.H., (Hakim PTA Mataram). A. Pendahuluan Judul tulisan ini agak menggelitik bagi para pambaca terutama
Lebih terperinciLangkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya :
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya : 1. a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH
66 BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH A. Analisis terhadap Pertimbangan Hakim Dalam putusan
Lebih terperinciBAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH
56 BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH A. Analisis Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama Tentang Mut ah dan Nafkah Iddah. Tujuan pihak-pihak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
Lebih terperinciPerkara Tingkat Pertama Cerai Gugat. Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :
Perkara Tingkat Pertama Cerai Gugat Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya : 1. a. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar iyah
Lebih terperinciBAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak
BAB IV ANALISIS YURIDIS HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak Menggunakan Hak Ex Officio
Lebih terperinciPROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
Tempat Pendaftaran : BAGAN PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA Pengadilan Agama Brebes Jl. A.Yani No.92 Telp/ fax (0283) 671442 Waktu Pendaftaran : Hari Senin s.d. Jum'at Jam 08.00 s.d 14.00 wib PADA PENGADILAN
Lebih terperinci1 Abdul Manan, Penerapan, h R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1995). h. 110.
RINGKASAN SKRIPSI PANDANGAN HAKIM DAN ADVOKAT TERHADAP PASAL 150 HIR TENTANG PEMERIKSAAN SAKSI SECARA SILANG (CROSS EXAMINATION) (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Malang) A. Latar Belakang Masalah
Lebih terperinciBAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt
BAB IV ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt A. Analisis Hukum Acara Peradilan Agama terhadap Pertimbangan Majelis Hakim tentang
Lebih terperinciPROSES SIDANG PERDATA DI PENGADILAN NEGERI PUTUSSIBAU
PROSES SIDANG PERDATA DI PENGADILAN NEGERI PUTUSSIBAU 1. Pemeriksaan Perkara a. Pengajuan gugatan b. Penetapan hari sidang dan pemanggilan c. Persidangan pertama : gugatan gugur verstek perdamaian d. Pembacaan
Lebih terperinci[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau
Lebih terperinciBAB IV. Agama Surabaya Tentang Pembatalan Putusan Pengadilan Agama Tuban. itu juga termasuk di dalamnya surat-surat berharga dan intelektual.
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO.162/PDT.G/2009/PTA.SBY TENTANG PEMBATALAN PUTUSAN PA TUBAN NO.1254/PDT.G/2008/PA.TBN DALAM PERKARA PERPINDAHAN HARTA BERSAMA MENJADI HARTA ASAL A. Analisis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan sangat dianjurkan dalam Islam, terutama bagi mereka yang secara lahir dan batin telah siap menjalankannya. Tidak perlu ada rasa takut dalam diri setiap muslim
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam
BAB I PENDAHULUAN Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam hukum perdata formil. Hukum perdata formil bertujuan memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil. Jadi, secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derden verzet merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian
Lebih terperinciP U T U S A N Nomor 4/Pdt.G/2014/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor 4/Pdt.G/2014/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat
Lebih terperinciBAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai
Lebih terperinciHAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )
HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram ) A. Pendahuluan Pembuktian merupakan bagian dari tahapan pemeriksaan perkara dalam persidangan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan
67 BAB IV ANALISIS A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan Verstek pada Perkara Nomor: 1884/Pdt.G/VERZET/2012/PA.Kab.Mlg Terhadap formulasi putusan penulis mengacu pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling
Lebih terperinciP U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2013/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2013/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat
Lebih terperincidengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).
MAKALAH : JUDUL DISAMPAIKAN PADA : MEDIASI DAN GUGAT REKONPENSI : FORUM DISKUSI HAKIM TINGGI MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH PADA HARI/ TANGGAL : SELASA, 7 FEBRUARI 2012 O L E H : Dra. MASDARWIATY, MA A. PENDAHULUAN
Lebih terperinciBAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN. AGAMA MALANG PERKARA NO. 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG PERKARA NO. 0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg A. Analisis Terhadap Pijakan Majelis Hakim Menjatuhkan Putusan Neit Onvantkelijk (NO) Dalam Perkara No.0380/Pdt.G/2012/PA.Mlg.
Lebih terperinciALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA DALAM PERSIDANGAN
ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA Pembuktian. DALAM PERSIDANGAN Di dalam persidangan para pihak dapat saja mengemukakan peristiwa-peristiwa yang bisa dijadikan dasar untuk meneguhkan haknya
Lebih terperinciP U T U S A N. Nomor 793/Pdt.G/2010/PA.Wno BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor 793/Pdt.G/2010/PA.Wno BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Wonosari yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat
Lebih terperinciHUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DISUSUN OLEH : MOHAMMAD FANDRIAN HADISTIANTO Definisi Hukum Acara Hukum acara adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan atau
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM
57 BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan N0.251/Pdt.G/2013 PA.Sda Dalam memutuskan setiap Perkara di dalam persidangan hakim tidak serta merta memutuskan perkara
Lebih terperinciP U T U S A N Nomor : 96 /Pdt.G/2011/PTA.Bdg.
1 P U T U S A N Nomor : 96 /Pdt.G/2011/PTA.Bdg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Bandung yang mengadili perkara perdata dalam tingkat banding,
Lebih terperinciCARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET
CARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET Oleh: H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,(Hakim PTA Mataram). I. Pendahuluan : Judul tulisan ini bukan hal yang baru, sudah banyak ditulis oleh para pakar hukum
Lebih terperinciKAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?
KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG? Oleh: Ahmad Z. Anam (Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Mentok) Pendahuluan Ada dua hak bagi pihak berperkara yang perkaranya dinyatakan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG CERAI GUGAT DENGAN ALASAN IMPOTEN. A. Prosedur Cerai Gugat Dengan Alasan Impoten
66 BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG CERAI GUGAT DENGAN ALASAN IMPOTEN A. Prosedur Cerai Gugat Dengan Alasan Impoten Prosedur cerai gugat dengan alasan impoten diawali dengan adanya pengajuan
Lebih terperinciPEMERIKSAAN PERKARA DALAM PERSIDANGAN
PEMERIKSAAN PERKARA DALAM PERSIDANGAN Hukum Acara Perdata Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta Andrie Irawan, SH., MH TAHAP ADMINISTRATIF (PERKARA PERDATA) PENGGUGAT Mendaftarkan Gugatan
Lebih terperinciHUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN
HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara
Lebih terperinciP U T U S A N. Nomor 35/Pdt.G/2015/PA.Ppg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor 35/Pdt.G/2015/PA.Ppg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasir Pengaraian yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama dalam sidang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
Lebih terperinciSATUAN ACARA PEMBELAJARAN (SAP)
5. Pertemuan minggu ke : I 6. Waktu pertemuan : Kuliah 150 menit. 7. Pokok Bahasan : 1.Orientasi/kontrak kuliah/ penjelasan ruang lingkup perkuliahan; 2. Penjelasan SAP 3. Hukum Acara Peradilan Agama pada
Lebih terperinciP U T U S A N. Nomor 77/Pdt.G/2015/PA.Ppg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor 77/Pdt.G/2015/PA.Ppg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasir Pengaraian yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama dalam sidang
Lebih terperinciIDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TIDAK DITETAPKANNYA NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI ATAS PUTUSAN NOMOR 2542/PDT.G/2015/PA.LMG) A. Pertimbangan Hukum Hakim yang Tidak Menetapkan Nafkah
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat pertama
Lebih terperinciMAKALAH PROBLEMATIKA PERKARA PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN REKONVENSI SERTA PENYELESAIANNYA. H.M.MUNIR ACHMAD, S H, M Hum.
MAKALAH PROBLEMATIKA PERKARA PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN REKONVENSI SERTA PENYELESAIANNYA. H.M.MUNIR ACHMAD, S H, M Hum. PTA MATARAM PENGERTIAN Perkara Permohonan Cerai talak sesuai dengan ketentuan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA
70 BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA A. Analisis Yuridis Terhadap Dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Pengadilan Negeri Jombang
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS HUKUM POSITIF TERHADAP PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TERHADAP HAK ISTRI DALAM PERKARA NOMOR 0241/PDT.G/2016/PA.
BAB IV ANALISIS HUKUM POSITIF TERHADAP PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TERHADAP HAK ISTRI DALAM PERKARA NOMOR 0241/PDT.G/2016/PA.TALU 1. Analisis Dasar Hukum Hakim Dan Pertimbangan Hakim Dalam Menerapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS A. Tinjauan Umum Mengenai Pencabutan Gugatan Salah satu permasalahan yang muncul dalam suatu proses beracara di muka pengadilan
Lebih terperinciP U T U S A N NOMOR 00/Pdt.G/2013/PTA.BTN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N NOMOR 00/Pdt.G/2013/PTA.BTN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor 1387/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
PUTUSAN Nomor 1387/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat pertama
Lebih terperinciPENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN
PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN (Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim PTA NTB) I. Pendahuluan Pengadilan Agama di wilayah PTA NTB terkenal dengan banyaknya
Lebih terperinciBAB III PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA BANGIL
39 BAB III PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA BANGIL A. Sejarah Pengadilan Agama Bangil 1. Dasar Hukum Berdirinya Pengadilan Agama Bangil Tidak dapat diketahui
Lebih terperinciPUTUSAN. Nomor 905/Pdt.G/2010/PA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA
PUTUSAN Nomor 905/Pdt.G/2010/PA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA Pengadilan Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidup yang beraneka ragam. Dalam menjalani kehidupan, manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk yang hidup bermasyarakat mempunyai kebutuhan hidup yang beraneka ragam. Dalam menjalani kehidupan, manusia membutuhkan berbagai jenis
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor: 284/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M E L A W A N
PUTUSAN Nomor: 284/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat
Lebih terperinciBAB IV. A. Analisis hukum formil terhadap putusan perkara no. sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.
81 BAB IV ANALISIS HUKUM FORMIL DAN MATERIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM TENTANG NAFKAH IDDAH DAN MUT AH BAGI ISTRI DI PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO (Study Putusan Perkara No. 1049/Pdt.G/2011/PA.Bjn) A. Analisis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. 1 Dari sini dapat dipahami,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum materiil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. gamelan, maka dapat membeli dengan pengrajin atau penjual. gamelan tersebut dan kedua belah pihak sepakat untuk membuat surat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gamelan merupakan alat musik tradisional yang berasal dari daerah jawa, kemudian alat musik ini digunakan sebagai hiburan seperti acara perkawinan maupun acara-acara
Lebih terperinciKUMULASI PERMOHONAN ITSBAT NIKAH DENGAN ASAL USUL ANAK. A. Penggabungan Gugatan dalam HIR, RBg
KUMULASI PERMOHONAN ITSBAT NIKAH DENGAN ASAL USUL ANAK (Dalam Persfektif Hukum Positif di Indonesia) Oleh: Drs.H.Abdul MUJIB AY,M.H. (Wakil Ketua PA Tanah Grogot Kalimantan Timur) A. Penggabungan Gugatan
Lebih terperinciP U T U S A N Nomor : 0016/Pdt.G/2014/PTA.Pdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor : 0016/Pdt.G/2014/PTA.Pdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Padang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat banding dalam
Lebih terperinciDEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor 31/Pdt.G/2015/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada
Lebih terperinciBAB IV. memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili agar
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NOMOR: 543/Pdt.G/2011/PA.Mlg PERIHAL UPAYA HUKUM VERZET ATAS PUTUSAN VERSTEK DALAM SENGKETA HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA MALANG A. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan
Lebih terperinciKEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH
MENARA Ilmu Vol. X Jilid 1 No.70 September 2016 KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH ABSTRAK Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan
Lebih terperinciPENGAJUAN GUGATAN by Fauzul. FH UPN JATIM 22 Maret 2013
PENGAJUAN GUGATAN by Fauzul FH UPN JATIM 22 Maret 2013 Free Powerpoint Templates Page 1 PEMBAHASAN PENGERTIAN GUGATAN PENGGABUNGAN GUGATAN KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF UPAYA MENJAMIN HAK Free Powerpoint
Lebih terperinciPENETAPAN Nomor 0868/Pdt.G/2014/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
PENETAPAN Nomor 0868/Pdt.G/2014/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang mengadili perkara tertentu pada peradilan tingkat pertama,
Lebih terperinciS A L I N A N P U T U S A N
S A L I N A N P U T U S A N Nomor : 5/Pdt.G/2017/PA.Kras. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Karangasem yang memeriksa dan mengadili pada tingkat pertama dalam persidangan
Lebih terperinciPUTUSAN. PEMOHON, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan Tani Sawit, pendidikan SMP, PEMOHON; Melawan
PUTUSAN Nomor: 78/Pdt.G/2012/PA.Pkc BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata pada
Lebih terperinciIndonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakim dalam mengambil keputusan, dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut.(asas ultra petitum
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS TIDAK DITERIMANYA KUMULASI GUGATAN PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI
BAB IV ANALISIS TIDAK DITERIMANYA KUMULASI GUGATAN PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI A. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Kediri Tidak Menerima Kumulasi Gugatan Perkara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam realita
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma
Lebih terperinciBAB II KOMPETENSI PERADILAN AGAMA TENTANG PENCABUTAN GUGATAN DAN PERCERAIAN
BAB II KOMPETENSI PERADILAN AGAMA TENTANG PENCABUTAN GUGATAN DAN PERCERAIAN A. Tinjauan Umum tentang Pencabutan Gugatan 1. Pengertian Pencabutan Gugatan Mencabut gugatan adalah tindakan menarik kembali
Lebih terperinciP U T U S A N NOMOR:70/Pdt.G/2012/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Marisa yang
1 P U T U S A N NOMOR:70/Pdt.G/2012/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Marisa yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama
Lebih terperinciP U T U S A N Nomor 0001/Pdt.G/2016/PTA.Pdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor 0001/Pdt.G/2016/PTA.Pdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Padang yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat banding dalam persidangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkara perdata islam tertentu, bagi orang-orang islam di Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama merupakan salah satu dari Peradilan Negara di Indonesia yang sah, yang bersifat khusus yang berwenang di dalam jenis perkara perdata islam tertentu,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur
Lebih terperincibismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor 0509/Pdt.G/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dalam tingkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.
Lebih terperinci1. Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon / suami atau kuasanya :
Sabtu, 26 Pebruari 2011 15:06 Pemutakhiran Terakhir Rabu, 05 Pebruari 2014 10:35 PROSEDUR CERAI TALAK 1. Langkahlangkah yang harus dilakukan Pemohon / suami atau kuasanya : Mengajukan permohonan secara
Lebih terperinciBAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN
BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara karena pengadilan dalam
Lebih terperinciSEKITAR PENCABUTAN GUGATAN Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu
1 SEKITAR PENCABUTAN GUGATAN Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu Pencabutan gugatan atau pencabutan perkara dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama sering sekali dilakukan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bidang ilmu hukum adalah hukum perdata yaitu serangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan
Lebih terperinci