DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 3 DAFTAR TABEL... 7 DAFTAR GAMBAR... 11

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 3 DAFTAR TABEL... 7 DAFTAR GAMBAR... 11"

Transkripsi

1

2 2

3 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 3 DAFTAR TABEL... 7 DAFTAR GAMBAR BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan dan Sasaran Sasaran Keluaran Ruang Lingkup Ruang Lingkup Wilayah Ruang Lingkup Kegiatan Metodologi Metodologi Pengumpulan Data Metodologi Analisis BAB 2 KONDISI UMUM Potensi Wilayah Sumatera Wilayah Jawa Wilayah Kalimantan Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua Wilayah Sulawesi Identifikasi Isu Strategis Isu Strategis Wilayah Sumatera Isu Strategis Wilayah Jawa Isu Strategis Wilayah Kalimantan Isu Strategis Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua Isu Strategis Wilayah Sulawesi

4 BAB 3 REVIEW RPJMN Permasalahan dan Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi pada RPJMN Produksi dan Cadangan Minyak dan Gas Bumi Penganekaragaman Sumber Daya Energi Primer (Diversifikasi) Pemanfaatan Panas Bumi Pemanfaatan LPG dan Gas Bumi Pemanfaatan Batubara Peningkatan Produktivitas dan Pemerataan Pemanfaatan Energi Permasalahan dan Isu Strategis Sektor Mineral Pertambangan dan Batubara pada RPJMN Perkembangan Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara Pertumbuhan PDB dan Industri Pengolahan BAB 4 TANTANGAN DAN SASARAN KE DEPAN 4.1 Energi Pendahuluan Kondisi Kebutuhan dan Penyediaan Energi Kondisi Kebutuhan Energi Final Kondisi Penyediaan Energi Kebutuhan Energi Nasional Dengan Pemodelan LEAP Skenario BAU Kebutuhan Energi Final dan Primer Skenario RPJMN Kebutuhan Energi Final dan Primer Ketahanan Energi Indonesia Konsep Energi Hijau Pembangunan Berkelanjutan Energi Hijau Energi Bersih Energi Bersih Indonesia Pertambangan Pendahuluan Tantangan

5 4.2.3 Pengkajian dan Pemikiran ke Depan Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah Dampak Pembatasan Ekspor Pajak Komoditas Unggulan Indonesia Rencana Pengembangan Industri Manufaktur Kontribusi Sektor Energi dan Pertambangan terhadap PDB BAB 5 ARAH KEBIJAKAN SEKTOR ENERGI, MINERAL DAN PERTAMBANGAN 5.1 Kebijakan Harga Energi Harga BBM Harga Gas Harga Panas Bumi Harga Listrik Harga Batubara Harga Energi Baru Terbarukan Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Energi Infrastruktur BBM Infrastruktur Gas Permintaan Gas Domestik yang Tidak Terpenuhi dan Tahun Pertama Impor Neraca Suplai-Permintaan Gas Tingkat Regional Kebutuhan Infrastruktur di Seluruh Wilayah Rekomendasi Pembangunan Infrastruktur Gas Infrastruktur Listrik Kebijakan Bidang Mineral dan Pertambangan

6 BAB 6 KEBIJAKAN SEKTOR ENERGI, MINERAL DAN PERTAMBANGAN DALAM RPJMN Kesimpulan Isu Strategis Penguatan Pasokan, Bauran dan Efisiensi Konsumsi Energi Kondisi Saat Ini Produksi Energi Nasional Cadangan Energi Nasional Konsumsi Energi Nasional Penetapan Harga dan Pembangunan Infrastruktur Energi Intensitas dan Efisiensi Energi Energi Baru dan Terbarukan Sasaran Arah Kebijakan Dan Strategi Peningkatan Pasokan Energi Primer Penyediaan Infrastruktur Energi Pemanfaatan Batubara Kalori Rendah Kerangka Regulasi Kerangka Kelembagaan Kerangka Pendanaan Isu Strategis Peningkatan Nilai Tambah Industri Mineral dan Pertambangan Berkelanjutan Kondisi Saat Ini Sasaran Arah Kebijakan Meningkatkan Keterpaduan Pengembangan Industri Penerapan Insentif Fiskal dan Non-Fiskal Meningkatkan Kepastian Hukum Pengusahaan Pertambangan Memperkuat Penanganan PETI dan Rehabilitasi Pasca-tambang Kerangka Regulasi Kerangka Kelembagaan Kerangka Pendanaan

7 DAFTAR TABEL Tabel 1 Potensi Sumber Daya Energi di Pulau Sumatera Tabel 2 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Sumatera Tabel 3 Potensi Sumber Daya Energi di Pulau Jawa Tabel 4 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Jawa Tabel 5 Potensi Sumber Daya Energi di Wilayah Kalimantan Tabel 6 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Kalimantan Tabel 7 Potensi Sumber Daya Energi di Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara, Papua Tabel 8 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua Tabel 9 Potensi Sumber Daya Energi di Wilayah Sulawesi Tabel 10 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Sulawesi Tabel 11 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Sumatera Tabel 12 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Jawa Tabel 13 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Kalimantan Tabel 14 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat Tabel 15 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Sulawesi Tabel 16 Pencapaian Tahun dan Perkiraan Tahun Tabel 17 Pemanfaatan BBG untuk Sektor Transportasi Tabel 18 Pertumbuhan Penerimaan Negara dan Investasi Tahun Tabel 19 Realisasi dan Rencana Produksi Mineral dan Batubara Tahun Tabel 20 Ekspor Mineral dan Batubara Tahun Tabel 21 Potensi Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Mineral Tabel 22 Sumber Daya dan Cadangan Batubara (Juta Ton) Tahun Tabel 23 Izin Usaha Pertambangan Minerba Tabel 24 Ekspor Komoditi Berbasis Sumber Daya Alam Tabel 25 Nilai Ekspor Komoditi Tambang (2013)

8 Tabel 26 Volume Ekspor Komoditi Tambang (2013) Tabel 27 Perkembangan Rasio Harga Komoditas Energi Tabel 28 Konsumsi Energi per Kapita Tabel 29 Tabel Intensitas Penggunaan Energi per Kendaraan Tabel 30 Perbandingan Parameter Penentu dari Skenario BAU dan RPJMN Tabel 31 Proyeksi Total Primary Energy Supply Sampai Tahun Tabel 32 Proyeksi Jumlah Impor Energi Sampai Tahun Tabel 33 Proyeksi Jumlah Ekspor Energi Sampai Tahun Tabel 34 Perkembangan Kebutuhan dan Beban Puncak Listrik Sampai Tahun Tabel 35 Perkembangan Kapasitas Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun Tabel 36 Perkembangan Produksi Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun Tabel 37 Proyeksi Pengembangan Panas Bumi Tabel 38 Roadmap Mandatori BBN sampai Tahun 2025 (Permen ESDM No 25 Tahun 2013) Biodiesel (Minimum) Tabel 39 Proyeksi Pengembangan Kapasitas Produksi Bioenergi Tabel 40 Proyeksi Pengembangan Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air dan Tenaga Surya Tabel 41 Tahapan Pencapaian Target Penghematan Energi Pada Sektor Pengguna. 134 Tabel 42 Tahapan Pencapaian Target Penghematan Energi Pada Proses Transformasi Energi Tabel 43 Tahapan Pencapaian Target Penghematan Energi Pada Proses Penyediaan Energi Tabel 44 Proyeksi Total Primary Energy Supply Sampai Tahun Tabel 45 Proyeksi Jumlah Impor Energi Sampai Tahun Tabel 46 Proyeksi Jumlah Ekspor Energi Sampai Tahun Tabel 47 Perkembangan Kebutuhan dan Beban Puncak Listrik Sampai Tahun Tabel 49 Perkembangan Produksi Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun Tabel 50 Alokasi Penurunan Emisi di 5 sektor utama pada tahun

9 Tabel 51 Simulasi Trade-off antara CNG dan Gasoline Tabel 52 Simulasi Perbandingan antar Pembangkit Listrik Tabel 53 Rangkuman Hasil Simulasi Trade-off Penggunaan Gas untuk Transportasi dan Pembangkit Listrik Tabel 54 Faktor Kesetaraan GWP Tabel 55 Faktor Kesetaraan POCP Tabel 56 Faktor Kesetaraan AP Tabel 57 Ringkasan Dampak Pajak Ekspor Bagi Negara Pengekspor - Kasus Tabel 58 Produksi Tahunan Perusahaan Kabel yang Telah Go Public Tabel 59 Volume Ekspor Produk Tembaga Tabel 60 Nilai Ekspor Produk Tembaga Tabel 61 Volume Impor Produk Tembaga Tabel 62 Nilai Neraca Perdagangan Produk Tembaga Indonesia Tabel 63 Volume Neraca Perdagangan Produk Tembaga Indonesia Tabel 64 Volume Ekspor dan Impor Nikel Berdasarkan Kode SITC, Tabel 65 Nilai Ekspor dan Impor Nikel, Tabel 66 Neraca Perdagangan Kelompok Produk Nikel (Juta USD) Tabel 67 Neraca Asal Impor Beberapa Kelompok Produk Nikel Tabel 68 Pengelompokan Industri Baja Nasional Tabel 69 Rencana Aksi Pengembangan Industri Baja Nasional Tabel 70 Tarif Bea Masuk Produk Semen Berdasarkan HS Tahun Tabel 71 Kerangka Pengembangan Industri Semen Tabel 72 Sumber Deposit Bahan Baku Tabel 73 Pengelompokan Produk Keramik Tabel 74 Kerangka Pengembangan Industri Keramik Tabel 75 Nilai PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun , Laju Pertumbuhan dan Sumber Pertumbuhan Tahun Tabel 76 Perubahan Harga BBM Bersubsidi Sejak Tahun Tabel 77 Kebijakan Kenaikan Tarif Dasar Listrik di Indonesia Tahun Tabel 78 Tabel Perkembangan Subsidi Listrik dari Tahun Tabel 79 Tabel Jenis dan Formula Harga Patokan Batubara Tabel 80 Tabel Produksi Kilang dan Permintaan Minyak Pertamina Tabel 81 Rencana Penambahan Kapasitas Pembangkit Hingga Tahun

10 Tabel 82 Rencana Pengembangan Sistem Penyaluran Listrik Hingga Tahun Tabel 83 Rencana Pengembangan Sistem Distribusi Listrik Hingga Tahun

11 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Peran Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral Dalam Pembangunan Gambar 2 Tahapan Penjaringan Isu Strategis di Wilayah Kajian Gambar 3 Pemanfaatan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan minyak Gambar 4 Perbandingan Penggunaan Minyak Tanah dan LPG Gambar 5 Produksi Batubara Gambar 6 Pertumbuhan Industri Pengolahan dibandingkan dengan Pertumbuhan PDB ( ) Gambar 7 Kontribusi Sektor Industri Pengolahan terhadap Pertumbuhan PDB Gambar 8 Ekspor Komoditi Baerbasis Sumber Daya Alam Gambar 9 Proporsi Penggunaan Energi Industri Berdasarkan Kelompok Industri Gambar 10 Proporsi Penggunaan Energi Industri Berdasarkan Sumber Energi Gambar 11 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Pengguna Akhir atau End-user Consumers ( ) Gambar 12 Konsumsi BBM ( ) Gambar 13 Konsumsi Gas untuk Sektor Industri Pupuk dan Pengolahan ( ) Gambar 14 Produksi Energi Primer: Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Batubara ( ) Gambar 15 Konsumsi dan Produksi Batubara ( ) Gambar 16 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Sektor Pengguna Sampai Tahun 2025 (Skenario DASAR) Gambar 17 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Sampai Tahun 2025 (Skenario DASAR) Gambar 18 Proyeksi Bauran Energi (dengan Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario DASAR Gambar 19 Proyeksi Bauran Energi (Tanpa Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario DASAR Gambar 20 Proyeksi Perkembangan Kapasitas Listrik Sampai Tahun Gambar 21 Proyeksi Produksi Listrik Sampai Tahun Gambar 22 Rencana Pengembangan Lapangan Migas

12 Gambar 23 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Sektor Pengguna Sampai Tahun 2025 (Skenario RPJMN) Gambar 24 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Sampai Tahun 2025 (Skenario RPJMN) Gambar 25 Proyeksi Bauran Energi (Dengan Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario RPJMN Gambar 26 Proyeksi Bauran Energi (Tanpa Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario RPJMN Gambar 27 Proyeksi Perkembangan Kapasitas Listrik Sampai Tahun Gambar 28 Proyeksi Produksi Listrik Sampai Tahun Gambar 29 Skor ESI Indonesia dan Grafik Nilai Indikator Relatifnya Tahun Gambar 30 Sebelas Sektor Fokus Pengembangan Transisi Ekonomi Hijau Gambar 31 Perbandingan PDB Konvensional dan PDB Hijau Indonesia Gambar 32 Perbandingan Pola Hubungan Konsumsi Energi dan Emisi CO 2 untuk Lima Negara Berkembang Gambar 33 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Cina Gambar 34 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Thailand Gambar 35 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Turki Gambar 36 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Brazil Gambar 37 Target Bauran Energi 2025 dan Potensi Emisi Relatif Sumber Energi Gambar 38 Proyeksi Emisi CO 2 dari Penggunaan Bahan Bakar Fosil di Indonesia Gambar 39 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Indonesia Gambar 40 Klasifikasi Harga Eceran Aktual Energi dalam Interval Dua Tahun Gambar 41 Perbandingan Harga Eceran Gasoline dan Diesel di Beberapa Negara Tahun Gambar 42 Kebijakan Harga Listrik Tahun 2011 per Kategori Tarif Gambar 43 Konsumsi Gasoline per Kapita pada Tingkat PDB per Kapita yang Berbeda-beda untuk Beberapa Negara Tahun Gambar 44 Trade-off antara CNG dan Gasoline di Indonesia pada Harga Tahun Gambar 45 Skor CEI Indonesia dan Grafik Nilai Indikator Relatifnya Tahun

13 Gambar 46 Dampak Pajak Ekspor Bagi Negara Pengekspor - Kasus Negara Kecil. 187 Gambar 47 Dampak Pajak Ekspor Bagi Negara Pengekspor Kasus Negara Besar 189 Gambar 48 Sumber daya, Cadangan, Produksi, Smelter, dan Rencana Pembangunan Smelter Tembaga di Indonesia Gambar 49 Nilai Total Ekspor dan Impor Produk Tembaga dan Turunannya (Ribu USD) Gambar 50 Sumber Daya, Cadangan, Smelter dan Rencana Pengembangan Nikel Indonesia Gambar 51 Produksi Ore Laterite dan Nickel Matte Indonesia, Gambar 52 Volume Ekspor Total Bijih Nikel (Ton) Gambar 53 Pohon Industri Baja Gambar 54 Road Map Industri Baja Gambar 55 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Sektor Tahun (BOE) Gambar 56 Volume BBM Bersubsidi ( ) Gambar 57 Besaran Subsidi BBM dan Listrik ( ) Gambar 58 Harga Jual Gas Konsumen dari PGN dan Harga Energi Lainnya yang Merupakan Kompetitor Gas (2013) Gambar 59 Harga Rata-rata Gas Domestik dan Ekspor (2012) Gambar 60 Komponen Harga Gas untuk Sektor Transportasi Gambar 61 Harga Patokan Gas Dalam Negeri ( ) Gambar 62 Harga Listrik Panas Bumi dengan Skema Feed-In Tariff Gambar 63 Harga Listrik Panas Bumi untuk Beberapa Lapangan Panas Bumi yang Saat Ini Sedang Dikembangkan: Sumatra, Jawa, dan NTT/Maluku Gambar 64 Perkembangan Harga Batubara ( ) Gambar 65 Kilang Pertamina dan Kapasitas Produksinya Gambar 66 Penyediaan dan Permintaan Gasoline Gambar 67 Penyediaan dan Permintaan Diesel Gambar 68 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario BAU. 261 Gambar 69 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario Berorientasi Ekspor Gambar 70 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario Produksi Tinggi Gambar 71 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario 13

14 Berorientasi Domestik Gambar 72 Proyeksi Permintaan Domestik Belum Terpenuhi Gambar 73 Proyeksi Neraca Permintaan dan Suplai Hingga 2070 (Skenario BAU). 265 Gambar 74 Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan BAU Gambar 75 Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan Skenario Berorientasi Ekspor Gambar 76 Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan Skenario Produksi Tinggi Gambar 77 Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan Skenario Berorientasi Domestik Gambar 78 Neraca Suplai-Permintaan di Seluruh Wilayah berdasarkan Skenario BAU Gambar 79 Neraca Suplai-Permintaan di Seluruh Wilayah Berdasarkan Skenario Produksi Tinggi Gambar 80 Neraca Suplai-Permintaan di Seluruh Wilayah Berdasarkan Skenario Domestik

15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan kondisi saat ini serta tantangan dan permasalahan yang akan dihadapi selama 20 tahun mendatang, Visi nasional pembangunan jangka panjang adalah terciptanya manusia yang sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia dan masyarakat yang makin sejahtera dalam pembangunan yang berkelanjutan didorong oleh perekonomian yang makin maju, mandiri, dan merata di seluruh wilayah didukung oleh penyediaan infrastruktur yang memadai serta makin kokohnya kesatuan dan persatuan bangsa yang dijiwai oleh karakter yang tangguh dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diselenggarakan dengan demokrasi (yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila) sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta menjunjung tegaknya supremasi hukum. Dengan kata lain, visi Pembangunan Nasional Tahun adalah: Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Visi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam 8 (delapan) misi pembangunan nasional antara lain (i) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila; (ii) Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (iii) Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum; (iv) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu; (v) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan; (vi) Mewujudkan Indonesia asri dan lestari; (vii) Mewujudkan Indonesia menjadi Negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, dan (viii) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional. RPJMN tahun adalah tahap ketiga dari empat tahapan yang tertuang dalam RPJP dengan skala prioritas ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Dengan melihat pentahapan dan skala prioritas pada masing-masing RPJMN, periode tahun merupakan periode paling penting dalam RPJPN sebagai titik tolak untuk keberhasilan RPJPN. 15

16 Gambar 1 Peran Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral Dalam Pembangunan Beberapa kebijakan terkait sumber daya energi, mineral dan pertambangan dalam mendukung skala prioritas RPJMN sudah mulai dikeluarkan, di antaranya pengembangan gas untuk pemanfaatan dalam negeri dan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara. Sebagai sektor yang paling penting, sektor sumber daya energi, mineral dan pertambangan memiliki peran strategis dalam pembangunan di antaranya (Gambar 1) : 1. Sektor ESDM berperan sebagai penjamin sumber pasokan bahan bakar dan bahan baku (energi dan minerba) yang didukung oleh harga energi yang terjangkau dan kemampuan meningkatkan nilai tambah. 2. Sektor ESDM berpengaruh terhadap indikator fiskal, moneter dan sektor riil. 3. Untuk fiskal, sektor ESDM berkontribusi kepada penerimaan negara (revenue) tapi juga menimbulkan konsekuensi subsidi dalam upaya mewujudkan harga energi yang terjangkau. Untuk moneter, komoditas ESDM yang bersifat administered price berpengaruh kepada inflasi. Untuk sektor riil, secara timbal balik, sektor ESDM menumbuhkan investasi dan sekaligus membutuhkan investasi. 16

17 4. Semua menjadi landas gerak pembangunan nasional melalui four tracks yaitu pertumbuhan (pro-growth), penciptaan lapangan kerja (pro-job), pemerataan pembangunan dengan orientasi pengentasan kemiskinan (pro-poor), dan kepedulian terhadap lingkungan (pro-environment). Dalam rangka mempersiapkan bahan pertimbangan bagi penyusunan RPJMN maka diperlukan pemahaman yang baik berdasarkan fakta dan data yang ada atas capaian dan berbagai masalah yang dihadapi selama pelaksanaan RPJMN Di sisi lain, penyusunan RPJMN wajib memperhatikan tren perkembangan lingkungan strategis baik di dalam negeri maupun luar negeri. Untuk menggali informasi terhadap capaian dan permasalahan pada periode pembangunan sebelumnya terkait kebijakan sektor sumber daya, energi, mineral dan pertambangan pada lima tahun mendatang serta melihat pentingnya peran sektor sumber daya energi, mineral dan pertambangan maka penentuan arah kebijakan pada sektor ini akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Untuk itulah perlu adanya finalisasi background study untuk menentukan strategi dan arah kebijakan sektor sumber daya energi, mineral dan pertambangan jangka menengah yang telah dimulai pada tahun 2013 dengan judul kegiatan yang sama. Pada tahun 2013 telah dilakukan inventarisasi dan analisis isu-isu strategis yang ada di setiap region yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan Sulawesi dan Indonesia bagian timur (NTT, NTB, Maluku dan Papua). Sedangkan kegiatan background study yang akan dilaksanakan ini akan lebih difokuskan pada sinkronisasi kebijakan dan perencanaan sektor energi dengan sektor lainnya dalam mengatasi pada isu-isu strategis nasional dan regional yang telah diinventarisir pada tahun Tujuan dan Sasaran Tujuan dari kegiatan ini adalah dapat menghasilkan strategi dan arah kebijakan sektor sumber daya energi, mineral dan pertambangan jangka menengah Manfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah kesamaan pemahaman dari sektor energi, mineral dan pertambangan dan sektor terkait lainnya untuk penentuan arah kebijakan pada RPJMN sesuai dengan skala prioritas. 17

18 1.3 Sasaran Sedangkan sasaran dalam kegiatan ini yang ingin dicapai adalah tersinkronisasinya arahan kebijakan energi dengan sektor lainnya dalam perencanaan RPJMN dan indikator dari kegiatan ini adalah jumlah dokumen rancangan rencana pembangunan nasional terkait lingkup sumber daya energi, mineral dan pertambangan. 1.4 Keluaran Keluaran dari kegiatan ini adalah laporan backgound study RPJMN, yang dapat dijadikan rekomendasi arah kebijakan untuk stakeholder sumber daya energi, mineral dan pertambangan sebagai bahan penyusunan RPJMN Ruang Lingkup Ruang Lingkup Wilayah Pada kegiatan penyusunan background study RPJMN ini mencakup hasil proyeksi permintaan energi dalam skala nasional dan menganalisis kondisi energi di Indonesia serta menjaring isu strategis berbagai wilayah di Indonesia Ruang Lingkup Kegiatan Dalam rangka pencapaian tujuan diatas, ruang lingkup kegiatan akan meliputi: a. Inventarisasi dan mengevaluasi kebijakan dan peraturan di sektor energi, mineral dan pertambangan. b. Inventarisasi permasalahan dan identifikasi permasalahan pokok pembangunan sektor energi, mineral dan pertambangan. c. Analisis kajian akademis sebagai landasan penyusunan arah kebijakan pada RPJMN d. Perumusan arah kebijakan guna penyusunan arah kebijakan pada RPJMN Metodologi Metodologi Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penyusunan background study RPJMN ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer melakukan kunjungan lapangan ke 18

19 daerah-daerah untuk mengetahui kondisi data yang terkait dengan kegiatan background study RPJMN, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur dan review dokumen. Berkaitan dengan pengumpulan data dalam penyusunan background study RPJMN, maka perlu dilakukan langkah-langkah antara lain: a. Melaksanakan koordinasi melalui rapat kerja, konsinyasi, lokakarya ataupun seminar. Rapat kerja anggota tim kajian dilakukan untuk mengkoordinasikan kegiatan kajian agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan, sasaran dan timeline yang telah disepakati, konsinyasi dilakukan untuk mempersiapkan perumusan dan pembuatan laporan awal, tengah dan akhir. Untuk mendapatkan masukan lebih banyak dan mendalam mengenai penyediaan dan permintaan energi nasional sebagai bahan untuk melakukan pemodelan perencanaan energi dilakukan kegiatan lokakarya/seminar, dengan mengundang pemangku kebijakan baik pusat maupun daerah, stakeholder, asosiasi energi, serta narasumber pakar. b. Melaksanakan studi pustaka dengan melakukan review peraturan perundangan, laporan hasil kajian, jurnal, buku, data keuangan daerah, dan data statistik. Dari bahan bahan studi pustaka tersebut akan dilakukan analisa mengenai capaian RPJMN dan arah kebijakan dan strategi RPJMN di masa yang akan datang. c. Melakukan Forum Group Discussion (FGD) dengan beberapa pemangku kebijakan serta stakeholder khususnya yang terkait dengan sektor energi. FGD dilakukan dalam bentuk diskusi (brainstorming) yang bertujuan untuk mendapatkan, mengidentifikasi dan menggali informasi lebih mendalam mengenai perencanaan energi yang akan dijadikan masukan bagi penyusunan background study RPJMN ini. Dalam FGD tersebut membahas isu strategis sektor energi dan membahas kondisi energi di masing-masing wilayah. 19

20 1.6.2 Metodologi Analisis Analisis kebijakan publik merupakan bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi serta berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan. Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalahmasalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan. Analisis ini digunakan untuk melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berhubungan dengan sumber daya energi, mineral dan pertambangan, baik itu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dengan melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan tersebut yang berhubungan dengan sumber daya energi, mineral dan pertambangan diharapkan terciptanya suatu keterpaduan antara kebijakan tersebut dengan kebijakan yang ada dibawahnya. Adapaun metoda analisisnya dengan metoda normatif, yaitu dengan menggunakan analisis deskriptif. Sedangkan Analisis matriks adalah suatu alat yang sederhana, tetapi efektif. Alat ini dapat berfungsi untuk membandingkan beberapa kelompok kategori/kajian. Semua elemen dalam kategori tersebut melakukan kegiatan yang sama. Artinya, bahwa ada suatu tujuan yang sama dari setiap kategori tersebut. Berkaitan dengan kegiatan pekerjaan, adapun kategori-kategori tersebut, yakni legal dan kebijakan, organisasi dan kondisi wilayah, yang kemudian kategori-kategori tersebut akan dikaji secara penggabungan yang nantinya akan menghasilkan suatu potensi dan masalah di sektor sumber daya energi, mineral dan pertambangan. 20

21 BAB 2 KONDISI UMUM 2.1 Potensi Wilayah Sumatera Pulau Sumatera merupakan pulau terbesar keenam di dunia. Pulau ini membujur dari barat laut ke arah tenggara dan melintasi khatulistiwa, membagi Pulau Sumatera menjadi dua bagian, Sumatera belahan sebelah utara dan Sumatera belahan sebelah selatan. Pegunungan Bukit Barisan dengan beberapa puncaknya yang melebihi m di atas permukaan laut yang merupakan barisan gunung berapi aktif sepanjang sisi barat pulau dari ujung utara ke arah selatan sehingga membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan pantai yang terjal dan dalam ke arah Samudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang luas dan landai dengan pantai yang landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat Bangka dan Laut China Selatan. Berdasarkan Hasil Focus Group Discusion (FGD) 1 yang menunjukkan bahwa potensi energi di Wilayah Sumatera sangat besar namun sebaliknya kebutuhan energi di wilayah ini juga cukup besar permintaannya terutama untuk dapat menunjang pertumbuhan ekonomi, transportasi dan industri yang semakin tinggi di wilayah ini. Sehingga akibatnya terjadi defisit kebutuhan energi yang besar di hamper seluruh Wilayah Sumatera khususnya BBM, listrik dan gas alam. Tabel 1 Potensi Sumber Daya Energi di Pulau Sumatera No Provinsi Infrastruktur Energi 1 Aceh PLTA, LNG Arun 2 Sumatera PLTA, PLTU, Utara PLTG, PLTP, Smelter Aluminium 3 Sumatera Barat 4 Riau Kilang BBM, Jalur Pipa Gas Potensi Minyak Bumi 150,68 MMSTB 109,05 MMSTB PLTA 3.386,55 MMSTB Potensi Potensi Potensi Gas Bumi Panas Bumi Batubara 6,93 TSCF mwe 450 juta ton 1,20 TSCF mwe 27 juta ton 8,06 TSCF mwe 795 juta ton 25 mwe 1.8 milyar ton 1 Focus Group Discusion (FGD) untuk Wilayah Sumatera dilaksanakan di Provinsi Jambi 21

22 No Provinsi Infrastruktur Potensi Potensi Potensi Potensi Energi Minyak Bumi Gas Bumi Panas Bumi Batubara 5 Kepulauan Jalur Pipa Gas 373,23 50,48 TSCF - - Riau MMSTB 6 Jambi PLTA, Jalur Pipa Gas mwe 2.2 milyar ton 7 Bengkulu PLTA mwe 192 juta ton 8 Sumatera Selatan Kilang BBM, PLTU, PLTG, 1.007,07 MMSTB 18,32 TSCF mwe 50 milyar ton Pabrik Pupuk 9 Bangka Smelter Timah mwe - Belitung 10 Lampung PLTA, PLTU, PLTP mwe 107 juta ton Sumber: Hasil FGD sektor sumber daya energi mineral dan pertambangan tahun 2014 Kondisi suplai produksi gas alam di Wilayah Sumatera masih diprioritaskan untuk ekspor melalui pipa ke Singapura dan Malaysia, sehingga kegiatan industri di Wilayah Sumatera masih akan terus dipersoalkan oleh kekurangan sumber daya. Hal itu juga akan mengakibatkan terhentinya suplai gas alam secara tidak terduga jika terjadi gangguan atau masalah pada produksi di hulu atau pada pipa transmisi gas alam itu sendiri. Dalam hal ini konsumen gas alam di Wilayah Sumatera tidak dapat melakukan apa-apa karena sesuai kontrak penjualan jangka panjang gas alam ke luar negeri pembeli luar negeri selalu dilindungi dengan berbagai cara untuk memperoleh penggantian suplainya dengan cara best effort, dan ini tidak berlaku untuk kontrak penjualan gas di dalam negeri. Namun demikian, meskipun di Wilayah Sumatera banyak perkebunan sawit yang memproduksi banyak CPO berkualitas yang dapat dijadikan bioenergi, namun perusahaan lebih suka mengekspor CPOnya karena dapat memperoleh nilai jual yang lebih tinggi dibanding jika dijual di dalam negeri. Selain itu juga konsumen di dalam negeri tidak diedukasi untuk menggunakan bioenergi atau biodisel sebagai alternatif dari pemakaian BBM, terutama jika dilihat dari disparitas harga yang dapat mendorong masyarakat untuk menggunakan energi terbarukan. Rasio Elektrifikasi di Wilayah Sumatera mencapai 81,9% dan untuk sistem kelistrikan di Pulau Sumatera telah menggunakan Sistem Interkoneksi Sumatera (SIS) yang dibagi menjadi 3 bagian antara lain: 22

23 1. Sistem Sumatera Bagian Utara (Sumut Aceh) 2. Sistem Sumatera Bagian tengah (Padang Riau) dan 3. Sistem Sumatera Bagian Selatan (Sumsel Jambi Bengkulu Lampung) Tabel 2 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Sumatera No Provinsi Rasio Elektrifikasi 1 NAD Sumatera Utara Riau Kepri Sumatera Selatan Sumatera Barat Jambi Bengkulu Lampung Bangka Belitung Sumber: Renstra KESDM 2014 Adapun Sistem pembangkitan berskala besar yang berada di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Lampung telah terhubung oleh suatu jaringan transmisi 150 KV jalur barat, sementara untuk jalur timur masih terkendala pembebasan lahan. Fungsi transmisi adalah untuk menyalurkan daya yang dibangkitkan dari suatu lokasi ke lokasi lain sesuai kebutuhannya karena sistem ini direncanakan akan dikembangkan sampai ujung utara, ujung barat dan ujung selatan Pulau Sumatera Wilayah Jawa Pulau Jawa merupakan pulau terbesar ke tiga belas di dunia. Pulau Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari adanya aktivitas vulkanik. Hampir keseluruhan wilayah di Pulau Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi. Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini dan pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Deretan gununggunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini yang membuat sumber daya mineral dan pertambangan banyak dijumpai di Pulau Jawa. 23

24 Berdasarkan Hasil Focus Group Discusion (FGD) 2 yang menunjukkan bahwa potensi energi di Wilayah Jawa cukup besar dan kebutuhan energi di wilayah ini juga sangat besar terutama untuk dapat menunjang pertumbuhan ekonomi, transportasi dan industri yang semakin tinggi di wilayah tersebut sehingga berdampak pada terjadinya defisit kebutuhan energi yang besar khususnya untuk BBM dan listrik. Tabel 3 Potensi Sumber Daya Energi di Pulau Jawa No. Provinsi Infrastruktur Potensi Potensi Gas Potensi Panas Potensi Energi Minyak Bumi Bumi Bumi Batubara 1 Banten PLTD mwe 18 juta 494,89 ton 2 Jawa Barat PLTU, PLTA, MMSTB 3,18 TSCF mwe - PLTP 3 DIY PLTD, PLTU mwe - 4 Jawa Tengah PLTMH, PLTS, PLTP mwe 820 ribu ton 5 Jawa Timur Jalur Pipa Gas 1.312,03 MMSTB 5,89 TSCF mwe 80 ribu ton 6 DKI Jakarta Jaringan Gas Kota Sumber: Hasil FGD sektor sumber daya energi mineral dan pertambangan tahun 2014 Kebutuhan energi di Wilayah Jawa sangat besar dan salah satu sumber energi yang terbesar di Wilayah Jawa adalah panas bumi yang berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi dan Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi yang memiliki sumber panas bumi terbesar di Wilayah Jawa maupun di Indonesia. Total sumber panas bumi di Provinsi Jawa Barat mencapai MWe atau 21,7% yang tersebar pada 43 lokasi di 11 Kabupaten. Sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional yang mentargetkan peningkatan peran energi panas bumi menjadi 5% pada tahun 2025 atau Mwe, Pemerintah Provinsi Jawa Barat justru mentargetkan pemanfaatan panas bumi pada tahun 2025 mencapai MW atau sekitar 27% lebih tinggi dari Road Map Panas Bumi Nasional. Selain terdapat di Provinsi Jawa Barat sumber energi panas bumi juga terdapat di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur, untuk potensi panas bumi di Provinsi Jawa Timur terdapat 13 lapangan potensial yang mempunyai potensi antara Mwe. Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah secara hipotetik potensi panas bumi 2 Focus Group Discusion (FGD) untuk Wilayah Jawa dilaksanakan di Provinsi DIY 24

25 diperkirakan mencapai sebesar MW atau 5,7% dari seluruh cadangan Nasional yang mencapai MW. Tabel 4 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Jawa No Provinsi Rasio Elektrifikasi 1 Banten Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Sumber: Renstra KESDM 2014 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Jawa mencapai 86,2% dan untuk kondisi infrastruktur energi khususnya pembangkit listrik di Pulau Jawa menggunakan Sistem Interkoneksi Jawa Madura Bali atau Jamali yang memasok daya listrik bertegangan 500 kv melalui Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) ke seluruh wilayah Jawa, Madura dan Bali. Daya listrik ini dihasilkan dari beberapa pembangkit besar di Wilayah Jawa seperti Pembangkit Suryalaya di Provinsi Banten, Pembangkit Tanjung Jati di Provinsi Jawa Tengah dan Pembangkit Paiton di Provinsi Jawa Timur. Sistem interkoneksi juga berfungsi mempermudah penanganan dan pemulihan pada saat salah satu atau beberapa pembangkit dalam keadaan trip. Sistem interkoneksi memungkinkan adanya pembagian beban pada tiap pembangkit. Jika salah satu pembangkit mengalami trip maka beban pembangkit tersebut dialihkan kepada pembangkitpembangkit lain. Jika sistem ini kelebihan beban maka PLN akan memadamkan listrik di beberapa daerah untuk agar kelebihan beban dalam sistem menjadi berkurang. Hal itu yang menjadi keuntungan lain dari sistem interkoneksi karena selama pembangkit yang tak beroperasi sedang di perbaiki maka sistem masih tetap dapat berjalan Wilayah Kalimantan Pulau Kalimantan merupakan Pulau terbesar ketiga di dunia. Pulau Kalimantan memiliki sumber daya energi yang berlimpah seperti cadangan minyak mentah di Pulau Kalimantan adalah sebesar sebesar 9,3% dari cadangan nasional atau mencapai 598,58 25

26 MMSTB yang tersebar di Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan untuk cadangan gas bumi di Pulau Kalimantan diperkirakan mencapai 16,65 TSCF sehingga Pulau Kalimantan disebut sebagai lumbung energi nasional. Sementara itu untuk sektor pertambangan khususnya untuk cadangan batubara mencapai 49,6% dari cadangan batubara nasional dan dari jumlah tersebut sebesar 72,2% (30,1 milyar ton) terdapat di Provinsi Kalimantan Timur, 23,7% (12,3 milyar ton) berada di Provinsi Kalimantan Selatan, 3,1% (1,6 milyar ton) dan 1% (0,5 milyar ton) berada di Provinsi Kalimantan Barat. Sedangkan untuk nilai tambah industri pertambangan mineral masih terbilang rendah dikarenakan belum adanya industri pengolahan didalam negeri khususnya di Wilayah Kalimantan yang dapat mengubah mineral sebagai bahan mentah, bahan setengah jadi atau bahan jadi. Hal ini dapat ditingkatkan dengan menciptakan demand atau permintaan terhadap produk tersebut di pasar lokal, nasional dan internasional. Seperti dengan meningkatkan penggunaan bahan bangunan dari material produk bahan galian pertambangan dibanding dengan yang selama ini, yaitu menggunakan produk dari kayu hasil hutan yang suplainya telah semakin menipis dan merusak lingkungan. Berdasarkan Hasil Focus Group Discusion (FGD) 3 yang menunjukkan bahwa potensi sumber daya energi di Wilayah Kalimantan cukup besar untuk dapat menunjang pertumbuhan ekonomi, transportasi dan industri yang semakin tinggi diwilayah tersebut. Untuk potensi di sektor pertambangan batubara di Pulau Kalimantan menjadi peluang pengembangan dan pembangunan ekonomi di Pulau Kalimantan. Hal itu dikarenakan tingginya penggunaan migas dalam negeri dan minimnya konsumsi batubara nasional memberikan peluang bagi pengembangan ekonomi di sektor batubara. Pada tahun 2013, konsumsi batubara nasional sebanyak 72 juta ton dan sebanyak 349 juta ton batubara di ekspor. Surplus produksi batubara nasional ini mengindikasikan bahwa adanya peluang untuk meningkatkan pemanfaatan batubara sebagai keberlangsungan energi nasional. Selain itu, keunggulan yang dimiliki sektor batubara di Wilayah Kalimantan adalah tingkat kalorinya yang tinggi mencapai kalori/kg 4. 3 Focus Group Discusion (FGD) untuk Wilayah Kalimantan dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Barat 4 Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) 26

27 No. Provinsi 1 Kalimantan Barat 2 Kalimantan Timur 3 Kalimantan Selatan 4 Kalimantan Tengah 5 Kalimantan Utara Tabel 5 Potensi Sumber Daya Energi di Wilayah Kalimantan Infrastruktur Energi Potensi Minyak Bumi Potensi Gas Bumi Potensi Panas Bumi Potensi Batubara PLTD, PLTG, - 65 mwe 491 juta ton PLTMH, PLTG PLTD, PLTU 575,5 30 mwe 47 milyar MMSTB ton PLTA, PLTG, - 14,63 TSCF 50 mwe 12 milyar PLTU, PLTD ton PLTD milyar ton Sumber: Hasil FGD sektor sumber daya energi mineral dan pertambangan tahun 2014 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Kalimantan mencapai 77.4% dan infrastruktur energi yang ada di Wilayah Kalimantan khususnya untuk penyediaan tenaga listrik terdiri dari berbagai jenis pembangkit antara lain air, batubara, dan gas. Selain potensi sumber daya energi fosil dan pertambangan, Pulau Kalimantan juga memiliki potensi energi baru dan terbarukan. Pulau Kalimantan memiliki potensi energi alternatif seperti potensi tenaga air, mikrohidro, tenaga surya, dan biodiesel. Beberapa wilayah di Pulau Kalimantan telah mengembangkan energi alternatif tersebut dan telah mensuplai energi listrik untuk sejumlah wilayah di Pulau Kalimantan. Tabel 6 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Kalimantan No Provinsi Rasio Elektrifikasi 1 Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Sumber: Renstra KESDM Wilayah Kalimantan memiliki potensi tenaga air mencapai MW, dengan kapasitas terpasang PLTA sebesar 30 MW pada tahun 2010 dan kapasitas terpasang mikrohidro sebesar KW pada tahun Wilayah Kalimantan juga telah 27

28 mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya dengan kapasitas terpasang pertahun mencapai 1,9 MWp per tahun. Beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit di Wilayah Kalimantan juga telah mengembangkan bahan bakar nabati dengan memanfaatkan limbah sawit seperti biodiesel. Seperti di Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki potensi energi baru berbahan baku limbah sawit dengan potensi sebesar 71,7 MW Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua merupakan wilayah yang memiliki banyak sumber daya energi, mineral dan pertambangan yang tersebar di masing-masing Provinsi atau Pulau. Selain wilayah tersebut juga berada pada zona lingkaran cincin api dan zona tumbukan lempeng yang menjadikan wilayah ini mempunyai tingkat resiko terhadap bencana alam gunung berapi dan geologi. Namun demikian, potensi sumber daya khususnya mineral dan pertambangan banyak tersebar di disekitar gunung berapi. Berdasarkan Hasil Focus Group Discusion (FGD) 5 yang menunjukkan bahwa potensi energi di Wilayah ini cukup besar untuk dapat menunjang pertumbuhan ekonomi, transportasi dan industri diwilayah tersebut. Wilayah Maluku memiliki potensi cadangan minyak bumi, gas bumi maupun batubara. Potensi cadangan minyak bumi wilayah Maluku diperkirakan mencapai 27,71 MMSTB yang tersebar dibeberapa titik seperti Blok Babar, Blok Yamdena, Blok Laut Aru Selatan, dan Blok Selaru. Sementara potensi gas bumi di wilayah ini diperkirakan mencapai 15,21 TSCF yang tersebar di Pulau Seram, Pulau Buru, Kepulauan Aru, dan Kepulauan Tanimbar. Maluku juga memiliki cadangan batubara yang diperkirakan mencapai 2,31 juta ton yang tersebar disejumlah titik di Maluku bagian utara seperti Bacan, Jailolo, Galela, Kao, Makian/Malifut, Morotai Selatan, Obi, Sanana, Taliabu Barat dan Loloda. Selain memiliki potensi cadangan energi fosil, Maluku juga memiliki potensi energi baru dan terbarukan seperti panas bumi, listrik tenaga air/mikrodhidro, listrik tenaga surya dan tenaga angin/bayu. Potensi sumber energi panas bumi di Provinsi Maluku yang bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik yang mencapai 624 MW, diantaranya di Pulau Buru, Pulau Seram, Pulau Ambon, Pulau 5 Focus Group Discusion (FGD) untuk Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan Papua Barat dilaksanakan di Provinsi Bali 28

29 Haruku, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, dan Pulau Weta. Sejumlah wilayah di Maluku juga memiliki potensi listrik tenaga angin terutama di daerah Tual, Ambon, Saumlaki, Ternate dan Bandanaeira. Potensi listrik tenaga angin Maluku diperkirakan mencapai 3455, ,4 watt day/tahun. Maluku juga memiliki potensi listrik tenaga air dan mikrohidro yang mencapai 5000 MW. Maluku juga telah mengembangkan listrik tenaga surya dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara dengan kapasitas 6 MW. Wilayah Papua memiliki potensi migas yang tersebar pada sejumlah titik di Wilayah Papua Barat. Potensi minyak bumi di Wilayah Papua diperkirakan mencapai 66,07 MMSTB. Sementara potensi gas bumi wilayah tersebut diperkirakan mencapai 24,14 TSCF. Papua juga memiliki potensi batubara dimana cadangan batubara wilayah Papua diperkirakan mencapai 128,57 juta ton yang tersebar di daerah Horna, Sorong, dan Igomo. Selain potensi energi fosil, Papua juga memiliki potensi energi baru dan terbarukan seperti tenaga air, panas bumi, surya dan angin. Papua, memiliki potensi pembangkit listrik tenaga air yang diprediksi mencapai MW yang tersebar pada di sejumlah sungai seperti sungai Memberamo, Derewo, Ballem, Tuuga, Wiriagar/Sun, Kamundan dan Kladuk. Wilayah Papua juga memiliki potensi listrik tenaga surya mencapai 10 MW, serta listrik tenaga angin mencapai 80 MW. Sedangkan untuk potensi energi terbarukan di Wilayah Nusatenggara sangat beragam, diantaranya energi air/mikrohidro, energi panas bumi, energi biomasa, energi surya, energi angin, energi gelombang/arus laut dan bahan bakar nabati. Tabel 7 Potensi Sumber Daya Energi di Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara, Papua No. Provinsi Infrastruktur Potensi Potensi Potensi Potensi Energi Minyak Bumi Gas Bumi Panas Bumi Batubara 1 Maluku PLTD, PLTU 17, mwe - 15,21 2 Maluku PLTD, PLTS MMSTB 427 mwe 6 juta ton TSCF Utara 3 NTT PLTD, PLTP mwe 4 NTB PLTD, PLTMH, PLTA mwe - 5 Papua PLTD, PLTA, - 75 mwe 3 juta ton 23,9 TSCF PLTMH 6 Papua Barat PLTD 65, juta 29

30 No. Provinsi Infrastruktur Potensi Potensi Potensi Potensi Energi Minyak Bumi Gas Bumi Panas Bumi Batubara MMSTB ton 7 Bali PLTD, PLTS Sumber: Hasil FGD sektor sumber daya energi mineral dan pertambangan 2014 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan Papua Barat mencapai 60.3% dan untuk infrastruktur energy di Provinsi Papua telah memiliki sistem kelistrikan isolated yang terdiri dari 7 sistem besar (beban > 1 MW) yaitu sistem Jayapura, Wamena, Timika, Merauke, Nabire, Serui dan Biak. Selain itu, terdapat sistem kelistrikan isolated yang beban puncak < 1 MW (listrik perdesaan) tersebar di 54 lokasi. Beban puncak seluruh sistem kelistrikan di Provinsi Papua adalah 108,2 MW dan dipasok dari pembangkit-pembangkit jenis PLTD dan PLTM. Energi listrik disalurkan melalui jaringan tegangan menengah (JTM) 20 kv dan jaringan tegangan rendah (JTR) 400/231 Volt. Sistem kelistrikan Jayapura merupakan sistem terbesar di antara ketujuh sistem kelistrikan di Provinsi Papua. Saat ini rasio elektrifikasi Provinsi Papua baru mencapai 34,62% dan rasio desa berlistrik sebesar 42,94%. Tabel 8 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua No Provinsi Rasio Elektrifikasi 1 Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Sumber: Renstra KESDM 2014 Provinsi Papua Barat memiliki sistem kelistrikan dengan kapasitas terpasang mencapai 67,01 MW, daya mampu sebesar 46,43 MW, serta beban puncak mencapai 42,77 MW. Sistem kelistrikan Provinsi Papua Barat ditopang oleh sejumlah pembangkitan seperti PLTD (155 MW) dan PLTM (2 MW), serta Mesin sewa (15 MW) yang terhubung langsung melalui jaringan tegangan menengah 20 kv. Sistem 30

31 kelistrikan Sorong merupakan sistem terbesar di Provinsi Papua Barat dengan beban puncak 2011 sekitar 28,6 MW. Saat ini rasio elektrifikasi Provinsi Papua Barat mencapai 67,88% dan rasio desa berlistrik sebesar 85,08%. Provinsi Maluku memiliki sistem kelistrikan dengan kapasitas terpasang mencapai 134,65 MW, dengan daya mampu sebesar 60,87 MW dan beban puncak mencapai 56,90 MW. Pembangkit listrik wilayah Maluku didominasi oleh PLTD dan ditopang dengan sejumlah pembangkit listrik tenga kecil seperti PLTU dan Marine Fuel Oil (MFO). Rasio Elektrifikasi Provinsi Maluku mencapai 72,07 % dan rasio desa berlistrik sebesar 95,42 %. Kelistrikan di Provinsi Maluku Utara mempunyai kapasitas terpasang sebesar 82,54 MW, daya mampu 45,37 MW dengan beban puncak sebesar 35,094 MW. Adapun energi terjual sebesar 154,449 MWh. Sistem pembangkit listrik terbesar di Maluku Utara adalah sistem Ternate dimana sistem ini memiliki pasokan pembangkit sekitar 35 MW yang terdiri dari pembangkit sendiri 625 unit dengan daya mampu 14,8 MW dan mesin sewa 20,3 MW. Saat ini rasio elektrifikasi Provinsi Maluku Utara mencapai 74,12% dan rasio desa berlistrik sebesar 100% Wilayah Sulawesi Sulawesi merupakan salah satu wilayah yang juga memiliki potensi sumber daya fosil dan non-fosil. Wilayah ini memiliki cadangan minyak dan gas bumi yang tersebar di Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Potensi cadangan batubara di Wilayah Sulawesi merupakan ketiga terbesar di Indonesia. Sulawesi juga memiliki potensi energi alternatif terbarukan yang cukup besar seperti panas bumi, tenaga air, mikrohidro dan tenaga angin. Berdasarkan Hasil Focus Group Discusion (FGD) 6 yang menunjukkan bahwa Potensi cadangan minyak bumi Sulawesi mencapai 48,51 MMSTB pada tahun Sulawesi juga memiliki potensi gas bumi dengan cadangan mencapai 2,57 TSCF. Cadangan minyak dan gas bumi tersebut tersebar di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Sulawesi juga memiliki potensi cadangan batubara yang cukup besar yakni mencapai 233 juta ton pada tahun Potensi batubara tersebut tersebar di wilayah Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. 6 Focus Group Discusion (FGD) untuk Wilayah Sulawesi dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Utara 31

32 Selain potensi migas dan batubara, Sulawesi juga memiliki potensi energi baru terbarukan baik panas bumi, tenaga surya, tenaga air, mikrohidro serta tenaga angin. Potensi energi panas bumi tersebar dihampir seluruh wilayah Sulawesi. Salah satu proyek pemanfaatan energi panas bumi di Sulawesi adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong di Sulawesi Utara. PLTP ini telah beroperasi sejak tahun 2001 dan telah memasok 60% listrik di Sulawesi Utara. Pada tahun 2011, kapasitas terpasang PLTP Lahendong mencapai 80 MW (7% dari potensi total). Sulawesi juga memiliki potensi PLTA mencapai MW dengan kapasitas terpasang mencapai 1.351,58 MW pada tahun PLTMH juga telah dikembangkan di sejumlah wilayah di Sulawesi dan sampai tahun 2010 kapasitas terpasang PLTMH wilayah Sulawesi mencapai 108,5 MW. PLTS dan PLT Angin juga telah dikembangkan di beberapa wilayah Sulawesi. Pada tahun 2010 kapasitas terpasang PLTS di wilayah Sulawesi mencapai 2,85 MWp dan kapasitas terpasang PLT Angin/Bayu mencapai 618,14 KW. Tabel 9 Potensi Sumber Daya Energi di Wilayah Sulawesi No. Provinsi Infrastruktur Potensi Potensi Potensi Potensi Energi Minyak Bumi Gas Bumi Panas Bumi Batubara 1 Sulawesi Utara PLTD, PLTP mwe - 2 Gorontalo PLTD, PLTMH, mwe - PLTA 3 Sulawesi Tengah PLTD 51,87 MMSTB 718 mwe - 4 Sulawesi Selatan PLTD, PLTU, mwe 2,58 TSCF 231 juta PLTA, PLTMH, ton PLTG 5 Sulawesi PLTD, PLTA, mwe 1 juta ton Tenggara PLTG, PLTU 6 Sulawesi Barat PLTA, PLTG, PLTU mwe - Sumber: Hasil FGD sektor sumber daya energi mineral dan pertambangan 2014 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Sulawesi mencapai 73,2% dan untuk infrastruktur energi khususnya pembangkit listrik di Provinsi Sulawesi Utara ditopang oleh beberapa pembangkit seperti PLTD, PLTD, PLTP, dan PLTA/M. Kapasitas terpasang sistem kelistrikan di Provinsi Sulawesi Utara mencapai 198,64 MW yang terdiri dari PLTD 32

33 (73,26MW), PLTP (60 MW), PLTA/M (52,38 MW) dan PLTU (10 MW). Sementara daya mampu sistem kelistrikan Provinsi Sulawesi Utara mencapai 195 MW dan beban puncak mencapai 188 MW. Tabel 10 Rasio Elektrifikasi di Wilayah Sulawesi No Provinsi Rasio Elektrifikasi 1 Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sumber: Renstra KESDM Provinsi Gorontalo memiliki sistem kelistrikan yang ditopang oleh pembangkit bertenaga diesel. Total kapasitas terpasang sistem kelistrikan Gorontalo mencapai 33,20 MW dimana 31,70 MW dipasok oleh pembangkit listrik bertenaga diesel (PLTD) dan 1,50 MW berasal dari pembangkit listrik tenaga air dan mikrohidro. Daya mampu sistem kelistrikan Gorontalo mencapai 19,50 MW dengan beban puncak sebesar 16 MW. Pasokan utama listrik Provinsi Sulawesi Tengah berasal dari PLTD dan PLTA/M. Sistem kelistrikan Sulawesi Tengah memiliki kapasitas terpasang mencapai 148,73 MW, diantaranya 110,73 MW dipasok oleh PLTD dan 8,55 MW dipasok oleh PLTA/M. Daya mampu sistem kelistrikan Sulawesi Tengah mencapai 84 MW dengan beban puncak mencapai 51 MW. Kondisi kelistrikan Provinsi Sulawesi Selatan ditioapang oleh sejumlah pembangkit kapasitas besar seperti PLTD, PLTU, PLTA/M, dan PLTG. Kapasitas terpasang sistem kelistrikan Sulawesi Selatan mencapai 583 MW yang terdiri dari PLTD (72,69 MW), PLTU (12,50 MW), PLTG (122,72), dan PLTA/M (151,05 MW). Daya mampu sistem kelistrikan Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 440 MW dan beban puncak mencapai 442 MW. Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki sistem kelistrikan yang ditopang oleh pembangkit utama bertenaga diesel. Pasokan listrik Provinsi Sulawesi Tenggara 33

34 sepenuhnya berasal dari PLTD dan sedikit dari PLTA/M. Kapasitas terpasang sistem kelistrikan Sulawesi Tenggara mencapai 91,30 MW yang diantaranya berasal dari PLTD (89,70 MW) dan PLTA/M (1,60 MW). Daya mampu sistem kelistrikan Sulawesi Tenggara mencapai 69,77 MW, sementara beban puncak mencapai 56,60 MW. Provinsi Sulawesi Barat memiliki sistem kelistrikan yang ditopang oleh sejumlah pembangkit seperti PLTA Bakaru, PLTA Tello Makassar, PLTG Sengkang dan PLTU Janeponto. Kapasitas terpasang sistem kelistrikan Sulawesi Barat mencapai 180 MW dengan daya mampu mencapai 130 MW. 2.2 Identifikasi Isu Strategis Direktorat Sumber Daya Energi Mineral dan Pertambangan telah melaksanakan Focus Group Discusion atau FGD yang dilaksanakan di beberapa wilayah untuk menjaring isu strategis energi, mineral, dan pertambangan. Pada pertemuan FGD tersebut terdapat masukan tentang strategi dan arah kebijakan yang sudah disusun berdasarkan masukan FGD tahun 2013 apakah sudah sesuai dengan rencana didaerah. Dari tinjauan potensi per wilayah seperti yang telah dilakukan pada sub bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dalam perkembangannya wilayah-wilayah tersebut dihadapkan pada beberapa isu strategis. Untuk menjaring aspirasi pemerintah daerah dan menginventarisasi isu-isu yang dinilai strategis oleh pemerintah daerah, telah dilaksanakan diskusi-diskusi terarah di lima wilayah Indonesia, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali Nusa Tenggara Maluku Papua. Hasil penjaringan aspirasi isu strategis ini terangkum dalam pembahasan berikut. 34

35 Gambar 2 Tahapan Penjaringan Isu Strategis di Wilayah Kajian Isu Strategis Wilayah Sumatera Isu strategis di wilayah sumatera untuk bidang sumber daya energi, mineral dan pertambangan antara lain: i) Rendahnya penyediaan energi listrik; ii) Minimnya ketersediaan infrastruktur energi; iii) Belum optimalnya ketersediaan penggunaan energi baru terbarukan; iv) Minimnya regulasi dan tata kelola tentang pengelolaan bahan tambang; dan v) rendahnya kesadaran hemat energi. 1. Rendahnya Penyediaan Energi Listrik Di Provinsi Aceh, kebutuhan akan listrik terus meningkat setiap tahunnya dan rata-rata pertumbuhan permintaan tenaga listrik 5 tahun terakhir adalah 13 persen. Untuk Sumatera Utara, daya mampu pasok energi listrik sebesar MW dengan beban puncak sebesar MW dan cadangan yang tersisa 94 MW. Hal tersebut belum bisa dikatakan dalam kondisi aman, jika salah satu pembangkit mengalami kerusakan atau dalam pemeliharaan maka akan terjadi pemadaman listrik. Untuk mendapatkan kondisi yang aman, Provinsi Sumatera Utara harus mempunyai cadangan daya sebesar 400 MW. Selain itu, di Provinsi Sumatera Utara juga terjadi hambatan beberapa pembangunan pembangkit tenaga listrik dan belum optimalnya pengembangan energi nonfosil. Untuk wilayah Provinsi Jambi, masih banyak terdapat wilayah-wilayah yang 35

36 belum tersambung dengan jaringan interkoneksi listrik. Hal ini menyebabkan rasio elektrifikasi di Provinsi Jambi termasuk yang rendah di Wilayah Sumatera. Di Provinsi Bengkulu, kapasitas terpasang pembangkit adalah sebesear 273,08 MW dengan rasio elektrifikasi sebesar 23 persen. Selain itu, masih terdapat wilayah-wilayah yang belum tersambung dengan jaringan interkoneksi listrik (isolated). Namun demikian, dengan asumsi pertumbuhan penduduk sebesar 1,7 persen/tahun dan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,4 7,5 persen maka dibutuhkan tambahan daya rata-rata sebesar 17,7 MW/tahun. Untuk Provinsi Sumatera Selatan, rasio elektrifikasi termasuk yang masih rendah sebesar 58,6 persen atau kedua yang terkecil di kawasan barat Indonesia. 2. Minimnya Ketersediaan Infrastruktur Energi Di Provinsi Sumatera Selatan, minimnya ketersediaan infrastruktur energi menyebabkan belum maksimalnya kemampuan eksploitasi sumber daya energi batubara sebagai cadangan energi terbesar. Namun demikian, Provinsi Sumatera Selatan juga menghadapi masalah ketidaktersediaan dan rusaknya infrastruktur jalan akibat belum memiliki jalan khusus batubara. Selain itu masalah belum tersedianya jalan khusus batubara ini juga dialami oleh Provinsi Jambi. 3. Belum Optimalnya Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan Potensi energi terbarukan di Provinsi Sumatera Selatan antara lain panas bumi, air, limbah sawit dan biogas. Potensi panas bumi yang telah terbukti adalah sebesar 375 MW dengan jumlah kapasitas yang telah digunakan sebagai pembangkit sebesar 2 MW. Sementara itu untuk wilayah Provinsi Bengkulu, potensi energi baru tebarukan yang sedang dikembangkan adalah panas bumi sebesar MW. Namun demikian, dengan potensi yang begitu besar, hanya terdapat satu perusahaan yang melaksanakan kegiatan pengusahaan panas bumi di area Hulu Lais yaitu PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE). Pengembangan wilayah kerja PGE tersebut terbilang cukup lambat, sementara pemerintah tidak memberikan batasan waktu yang mengikat untuk sampai dengan tahapan eksploitasi (produksi). Sementara itu potensi energi terbarukan di Provinsi Aceh didominasi oleh panas bumi dan air yaitu sebesar 599,42 MW dan 1.482,5 MW. Namun, pemanfaatan potensi panas bumi dan air ini masih kurang maksimal yaitu masing-masing hanya sebesar 165 MW dan 508 MW yang telah termanfaatkan untuk untuk tenaga listrik. 36

37 4. Minimnya Regulasi dan Tata Kelola Tentang Pengelolaan Bahan Tambang Di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan dalam waktu dekat akan dilakukan moratorium pertambangan batubara akibat kerusakan jalan yang ditimbulkan oleh aktifitas tersebut. Kerusakan ini disebabkan karena belum jelasnya regulasi yang mengatur pengangkutan batubara. Selain itu, di Provinsi Bengkulu juga muncul isu perihal belum dapat diterbitkannya perizinan pengusahaan mineral dan batubara baru mengingat belum tersedianya turunan peraturan khususnya untuk penetapan WP dan ketentuan lelang wilayah kerja pertambangan. Hal ini menjadi kendala dalam meningkatkan ketersediaan sumber daya mineral dan batubara dalam jangka panjang akibat tidak adanya eksplorasi baru. 37

38 Tabel 11 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Sumatera Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Energi Listrik Rendahnya penyediaan energi listrik - Kebutuhan akan listrik terus meningkat setiap tahunnya dan rata-rata pertumbuhan permintaan tenaga listrik 5 tahun terakhir adalah 13%. - Rendahnya penyediaan energy listrik. Kebutuhan energy listrik 375 MW, sedangkan penyediaan dari PLTD terpasang di aceh 106 MW - Kebutuhan listrik di Aceh mencapai beban puncak 391 MW - Daya mampu pasok energi listrik sebersar MW dengan beban puncak sebesar MW dan cadangan yang tersisa 94 MW. Hal tersebut belum bisa dikatakan dalam kondisi aman, jika salah satu pembangkit mengalami kerusakan atau dalam pemeliharaan maka akan terjadi pemadalam listrik. - Untuk mendapatkan kondisi aman, Sumut harus mempunyai cadangan sebesar 400 MW. - Terjadi hambatan beberapa pembangunan pembangkit tenaga listrik dan belum optimalnya pengembangan energi non fosil. - Kondisi pembangkit listrik sebagian besar PLTA (235, MW), kondisi mesin sudah tua dan kapasitas beban terpasang masih belum memadai. Dengan angka pertumbuhan beban kebutuhan listrik sekitar 9-10% per tahun. - Kapasitas terpasang Pembangkit direncanakan 1.179,4 MW, sehingga terjadi kelebihan atau cadangan sebesar 468,4 MW - Rasio elektrifikasi pada bulan desember 2013 mencapai 69,66%, Sistem isolated mempunyai 146 unit pembangkit kecil yang tersebar berbahan bakar BBM dengan kapasitas total 181 MW, daya mampu 117 MW beban puncak 103,9 MW dan dengan kondisi mesin yang rata-rata sudah tua - Pertumbuhan ekonomi 8,82%, pertumbuhan listrik6,73% dan khusus Batam 12% - Masih banyak terdapat wilayahwilayah yang belum tersambung dengan jaringan interkoneksi listrik. - Rasio elektrifikasi di Jambi termasuk yang rendah di Sumatera. - Kapasitas terpasang pembangkit adalah sebesear 273,08 MW dengan rasio elektrifikasi sebesar 23%. - Masih terdapatnya wilayah-wilayah yang belum tersambung dengan jaringan interkoneks listrik (isolated). - Rasio elektrifikasi termasuk yang masih rendah sebesar 58.6% atau kedua yang terkecil di kawasan barat Indonesia. - Kondisi Kelistrikan di Provinsi Lampung masih mengalami defisit daya yang masih di supply dari sistem Interkoneksi Sumbagsel - Penyelesaian Pembangunan PLTU Sebalang Unit 1 & 2 tidak sesuai jadwal - PLTA Besai tidak dapat beroperasi penuh karena terkendala air. - Terbatasnya kemampuan transfer dari Sumatera Selatan - Terlambatnya pembangunan tranmisi 150 KV. Transmisi dari GI Seputih Banyak GI Menggala masih terkendala ijin lahan untuk tapak tower, Transmisi dari GI Bukit Kemuning GI 38

39 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Energi Baru dan Terbarukan Belum optimalnya ketersediaan penggunaan energi baru terbarukan - Potensi energi terbarukan yang mendominasi adalah panas bumi dan air yaitu sebanyak 599,42 MW dan 1.482,5 MW. - Pemanfaatan EBT Panas bumi dan air masih kurang maksimal yaitu hanya sebesar yang besar di Aceh tersebut belum diimbangi dengan pemanfaatan untuk tenaga listrik sebesar 165 MW dan - Pembangunan PLTMG dengan pemanfaatan CNG 2 x 3 MW di Bintan tahun 2014 dan perlu dikembangkan di Karimun, dan PLTMG dengan pemanfaatan LNG di Lingga/Singkep, Natuna, dan Kepulauan Anambas - Tersedianya potensi gas alam sebesar 50,27 TSCF (status 2012) laut Natuna dapat dikembangkan untuk pembangkit listrik dengan pemanfaatan CNG dan LNG - Pembangunan PLTG - Potensi energi baru tebarukan yang sedang dikembangkan adalah panas bumi sebesar Mwe. - Dengan potensi yang begitu besar hanya terdapat 1 perusahaan yang melaksanakan kegiatan pengusahaan panas bumi di area Hulu Lais oleh PT. Pertamina Geothermal Energy. - Pengembangan wilayah kerja - Potensi energi terbarukan di Sumatera selatan antara lain panas bumi, air, limbah sawit dan biogas. - Untuk potensi panas bumi yang telah terbukti adalah sebesar 375 MW dengan jumlah kapasitas yang telah digunakan sebesar 2 MW. Liwa masih terkendala ijin lahan untuk tapak tower dan pembangunan penambahan sirkuit ke-2 pada transmisi 150 kv dari GI Kotabumi menuju GI Menggala karena ada penolakan masyarakat terkait jalur bebas (Right of Way RoW). 39

40 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung 508 MW. - Potensi air untuk PLTA di 17 lokasi dengan kapasitas 2.862,2 MW. PLTA Peusangan 88 MW (tahap pembangunan) - Potensi air untuk PLTMH di 50 Lokasi terdapat di 15 Kab/ Kota dengan kapasitas 194,517 MW. (6,19 MW telah beroperasi) - Potensi Panas Bumi terdapat di 17 Lokasi tersebar dalam 9 Kab/Kota dengan Kapasitas Mwe - Batubara dengan cadangan tersedia sebesar1,7 Miliar Ton (Estimasi di Kab. Aceh Barat sebesar 571 Ton). - PLTG Gas Arun 2 x 35 MW dan PLTGU 2 x 40 MW + 40 MW di Batam dengan memanfaatkan gas Natuna yang sedang berjalan - Tersedia potensi gelombang laut dan arus laut - Tersedia potensi Energi angina - Perlu Pembangunan PLTS komunal daya 1 MW di pulau-pulau terpencil ple PGE tersebut terbilang lambat, sementara pemerintah tidak memberikan batasan waktu yagn mengikat untuk sampai tahapan eksploitasi (produksi). 40

41 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Infrastrutur Minimnya ketersediaan infrastruktur energi untuk Pemerintah Aceh 3 x 32 MW (kendala penyediaan Gas Bumi, akibat pemenuhan Kuota Ekspor). - Rata-rata pertumbuhan permintaan tenaga listrik 5 tahun terakhir adalah 13 % pertahun. Sedangkan Aceh masih mengalami defisit pasokan listrik dan masih bergantung dari Medan. - Diperlukan pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan - Rata-rata usia pembangkit listrik di Sumut adalah tahun - Energi listrik di Sumut mempunyai cadangan sebesar 94 MW, namun jika salah satu pembangkit listrik mengalami kerusakan atau pemeliharaan akan terjadi pemadaman - Banyaknya potensi tenaga air dan panas bumi - Terhambatnya beberapa pembangunan pembangkit tenaga listrik (PLTA Asahan III, PLTP Sarulla, PLTU Sumut 1 dan 2). - Distribusi Energi listrik melalui pembangunan transmisi Batam- Bintan sepanjang 258 Km perlu percepatan - Tersedia Sistem Transportasi Gas Bumi Natuna (West Natuna Transportation Sistem/WNTS) panjang 640 Km dari laut Natuna ke Singapura dan gas tersebut belum mengalir ke Indonesia - Percepatan penyelesaian infrastruktur pipa gas bawah laut dari WNTS (West Natuna TransportationSistem) ke Batam - Rencana pengembangan penambahan jaringan pipa gas bawah laut Batam Bintan dan Batam Karimun - Rencana pembangunan LNG Receiving Terminal di - Masih adanya pembangkit listrik yang menggunakan BBM - Ketidaktersediann rusaknya infrastruktur jalan akibat belum memiliki jalan khusus batubara - Banyak potensi yang bisa dikembangkan di Bengkulu seperti energy air yang bisa dikembangkan sebagai PLTM - Masih interkoneksi dengan sistem kelistrikan Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu (Jaringan 150 Kva) - Ironi pemerataan energi listrik bagi masyarakat (desa) disekitar pusat pembangkit listrik. Belum tersedianya jaringan. - Provinsi Sumatera Selatan telah kelebihan daya, sampai dengan tahun 2014 terjadi surplus daya sebesar 23 MW. Kemudian pada tahun 2015 dan seterusnya dibutuhkan pembangkit baru dengan total kapasitas sebesar 159 MW pada Minimnya ketersedian infrastruktur energi menyebakan belum maksimalnya kemampuan eksploitasi sumber daya energi batubara sebagai cadangan energi terbesar. - Ketidaktersedian 41

42 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Regulasi/Kebijakan Pertambangan Minimnya regulasi ketenagalistrikan dan tata kelola pengelolaan bahan tambang Belum adanya pabrik pengolahan dan pemurnian bijih mineral tambang - Belum selesianya turunan dari Undang-Undang No.11 Tahun 2006, yaitu: 1) PP tentang Pengelolaan bersama MIGAS Aceh, 2) PP tentang Pembagian Kewenangan. - Inkonsistensi peraturan perundangan bahkan kebijakan pemerintah juga menjadi kendala utama dalam pembangunan, terlihat untuk kasus sumatera utara untuk penanggulangan krisis gas - Belum terjaminnya kepastian hukum berusaha di bidang pertambangan. - Tumpang tindih lokasi prospek pertambangan dengan kawasan hutan lindung. - Permasalahan pengembangan, terutama untuk pengembangan potensi air perizinan tidak dilanjuti dengan progress selanjutnya. - Pengembangan potensi panas bumi tumpang tindih wilayah pengembangan panas bumi dengan wilayah cagar alam dan atau wilayah taman nasional. - Pengembanga n potensi pertambangan sebagian besar tehambat karena belum adanya Batam - Tersedianya Compress Natural Gas (CNG - Rencana pembangunan jaringan pipa gas bawah laut dari blok Natuna (eks Natuna D Alpha) Batam - Sumatera - Belum tersedia regulasi/kebijakan Energi/kelistrikan berbasis kepulauan dan pesisir - Regulasi/kebijakan kontrak jual beli daya (IPP) PLN Persero yang dapat meningkatkan kehandalan pelayanan listrik tidak merugikan pelanggan listrik (menghindari pemadaman) - Regulasi percepatan pemanfaatan EBT kepulauan dan kelautan - Kondisi saat ini bahwa potensi mineral bauksit di Provinsi Kepulauan Riau dan kegiatan pertambangannya saat ini terhenti karena ada - Akan dilakukan moratorium terhadap pertambangan batubara dikarenakan kerusakan jalan - Izin pengusahaan mineral (logam) dan batubara yang baru belum dapat diterbitkan, mengingat turunan peraturan (khususnya Penetapan WP dan ketentuan Lelang Wilayah Kerja belum ada). - Muncul isu tentang izin pengusahaan mineral dan batu bara yang baru belum dapat diterbitkan n rusaknya infrastruktur jalan akibat belum memiliki jalan khusus batubara - Akan dilakukan moratorium terhadap pertambangan batubara dikarenakan kerusakan jalan 42

43 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung bauksit investor. larangan ekspor untuk bahan tambang yang diolah dan dimurnikan yang ditimbulkan. - Kerusakan ini dikarenakan belum jelasnya regulasi untuk pengangkutan batubara. mengingat turunan peraturan khususnya penetapan WP dan ketentuan lelang wilayah kerja belum ada. yang ditimbulkan. - Kerusakan ini dikarenakan belum jelasnya regulasi untuk pengangkutan batubara. - Tata kelola lingkungan juga selalu muncul dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang 43

44 2.2.2 Isu Strategis Wilayah Jawa Pertambangan masih merupakan salah satu andalan sektor ekonomi Pulau Jawa selain sektor distribusi barang dan jasa. Pertambangan migas maupun non-migas tersebar di sejumlah wilayah Pulau Jawa seperti di Provinsi Banten, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur. Potensi sumber daya energi, mineral, dan pertambangan di sejumlah daerah di Pulau Jawa cukup besar dan diharapkan terus meningkat guna mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. Isu strategis sektor sumber daya energi, mineral, dan pertambangan Wilayah Jawa meliputi (1) Penataan sistem peraturan perundang-undangan terkait penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) serta Ijin Usaha Pertambangan (IUP); (2) Optimalisasi potensi dan penyediaan energi listrik dalam rangka memenuhi kebutuhan pasokan energi listrik masyarakat dan pelaku usaha; (3) Optimalisasi penyediaan dan pemenuhan air bersih terutama kebutuhan air bersih daerah sulit air dan kawasan industri; (4) Optimalisasi pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan energi; (5) Optimalisasi sistem pengendalian konservasi lingkungan dan mitigasi bencana. 1. Penataan Sistem Peraturan Perundang-Undangan Terkait Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) serta Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Maraknya kegiatan pertambangan liar merupakan salah fenomena buruk pertambangan di Indonesia. Aktivitas pertambangan liar tentu merugikan negara baik dari segi finasial serta berpotensi besar merusak kelestarian ekosistem lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu kerangka kebijakan yang mengatur mengenai penggunaan lahan tambang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kerangka kebijakan tersebut penting sebagai usaha meminimalisasi maraknya fenomena Pertambangan Tanpa Ijin (PETI). Tidak sampai disitu, program pembinaan dan pengawasan kegiatan tambang juga harus dilakukan secara rutin untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terutama para pelaku usaha tambang terkait dampak negatif pertambangan liar dan kerugiannya bagi Negara Indonesia. Penataan ulang sistem peratutan perundang-undangan terkait penetapan wilayah dan ijin tambang merupakan salah satu strategi dalam menjawab maraknya fenomena pertambangan liar dan kerusakan lingkungan. 44

45 2. Optimalisasi Potensi dan Penyediaan Energi Listrik dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan Pasokan Energi Listrik Masyarakat dan Pelaku Usaha Sampai dengan tahun 2013, rata-rata rasio elektrifikasi di Pulau Jawa telah mencapai lebih dari 70 persen. Rasio elektrifikasi Provinsi Banten misalnya sudah mencapai 78,93 persen, Provinsi Jawa Tengah 79,98 persen, Provinsi DIY 76,80 persen serta Provinsi Jawa Timur 75,56 persen pada tahun Artinya, sebagian besar wilayah di Pulau Jawa telah menikmati fasilitas listrik walaupun faktanya masih terdapat sejumlah daerah yang sama sekali belum dialiri energi listrik. Kebutuhan energi listrik Pulau Jawa terus meningkat mengingat target rasio elektrifikasi 100 persen harus segera dicapai serta pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi yang semakin pesat. Sebagai contoh, pada tahun 2012 lalu beban penggunaan tenaga listrik sistem kelistrikan Jawa-Bali menembus titik tertinggi sepanjang sejarah yakni hampir MW. Kenaikan beban listrik tersebut disebabkan karena kenaikan beban listrik yang signifikan di hampir semua wilayah sistem kelistrikan Jawa - Bali. Pertumbuhan penggunaan tenaga listrik yang terus meningkat signifikan di Pulau Jawa harus diikuti dengan ketersediaan pasokan energi listrik. Artinya, kapasitas seluruh pembangkit listrik terutama pembangkit listrik yang tergabung dalam sistem jaringan transmisi listrik Jawa - Bali harus mampu bekerja secara optimal untuk menutupi kebutuhan energi listrik khususnya Pulau Jawa. Optimalisasi penyediaan energi listrik di Pulau Jawa akan lebih mudah diwujudkan mengingat akses, sarana dan prasarana pendukung telah sangat memadai di hampir semua wilayah di Pulau Jawa. Optimalisasi penyediaan listrik dapat dilakukan melalui pengembangan kapasitas pembangkit listrik yang sudah ada saat ini atau melalui pembangunan infrastruktur berupa pembangkit listrik baru. 3. Optimalisasi Penyediaan dan Pemenuhan Air Bersih Khususnya Kebutuhan Air Bersih Daerah Sulit Air dan Kawasan Industri Optimalisasi penyediaan air bersih dilakukan seiring dengan meningkatnya kebutuhan air bersih masyarakat. Peningkatan kebutuhan air bersih sejalan dengan pertumbuhan kondisi perekonomian daerah yang juga semakin meningkat serta masih ditemukannya daerah-daerah rawan kekeringan yang ada di sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Optimalisasi penyediaan air bersih di Pulau Jawa memiliki tantangan tersendiri bagi masing-masing daerah. Provinsi Banten misalnya telah menentukan 5 (lima) satuan 45

46 Cekungan Air Tanah (CAT) yang layak dan siap dieksploitasi untuk menghasilkan air bersih. Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah tuntutan penyediaan air bersih dilakukan sejalan dengan peningkatan kondisi perekonomian masyarakat serta masih banyak daerah di Jawa Tengah yang rawan kekeringan. Lain halnya dengan Provinsi DIY yang mana hambatan utama penyediaan air bersih dikarenakan belum ditetapkannya Peraturan Pengelolaan Air Tanah pada Cekungan Air Tanah Lintas Provinsi. Peraturan tersebut dinilai sangat vital untuk mendukung peraturan daerah terkait pengelolaan air tanah di Provinsi DIY. Sementara kondisi di Provinsi Jawa Timur adalah masih ditemukannya wilayah-wilayah yang sulit air dan tidak memiliki potensi air tanah. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah berupaya untuk meningkatkan intensitas pengambilan air tanah pada sumur-sumur yang telah ada. 4. Optimalisasi Pemanfaatan Potensi Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Pemenuhan Kebutuhan Energi Pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan merupakan salah satu jawaban atas masalah kelangkaan energi masa kini. Ketersediaan sumber daya energi terbarukan serta perkembangan teknologi pendukung merupakan modal utama dalam mengembangkan potensi energi alternatif baru. Pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan sudah dilakukan di hampir semua Provinsi di Pulau Jawa. Akan tetapi hasil yang didapatkan belum optimal dikarenakan sejumlah faktor. Pemerintah Provinsi Banten misalnya telah mengembangkan potensi energi biomassa, mikrohidro, energi angin, energi gelombang, dan energi tenaga surya. Akan tetapi masih dihadapkan pada masalah keterbatasan infrastruktur pendukung. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga telah mengembangkan potensi energi baru biomasa, bioethanol, biogas, dan biofuel, namun kinerja pembangkit listrik tersebut belum optimal. Sementara itu, Pemerintah Provinsi DIY juga telah mengembangkan potensi energi baru terbarukan. Hasil identifikasi Pemerintah DIY menyebutkan bahwa potensi energi baru dan terbarukan provinsi DIY mencapai 20 MW, akan tetapi yang layak dibangkitkan menjad energi listrik hanya kurang dari 10 MW. Pengembangan energi baru terbarukan di Provinsi DIY dinilai masih belum optimal karena sejumlah faktor seperti terbatasnya ketersediaan anggaran pemerintah, rendahnya partisipasi masyarakat, dan harga jual yang kalah dibandingkan dengan energi bersubsidi. Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga telah mengembangkan potensi energi baru terbarukan seperti biogas dan 46

47 mikrohidro, namun belum optimal dan terbentur dengan keterbatasan infrastruktur dan anggaran. 5. Optimalisasi Sistem Pengendalian Konservasi Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pertambangan merupakan salah satu aktivitas manusia yang pada satu sisi merupakan salah satu motor penggerak perekonomian suatu negara dan berkontribusi besar dalam menyumbang devisa suatu negara. Namun, pada sisi lain aktivitas pertambangan juga dapat menjadi bumerang bagi kelestarian lingkungan suatu negara. Aktivitas pertambangan yang tidak terkontrol akan berpotensi besar merusak ekosistem lingkungan bahkan menimbulkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Prinsip tersebut berlaku untuk semua aktivitas pertambangan dimana dampak dari aktivitas pertambangan yang tidak terkontrol adalah kerusakan ekosistem lingkungan. Aktivitas pertambangan yang tidak terkontrol misalnya, masih banyak ditemukan di Pulau Jawa. Di Provinsi Jawa Tengah dampak negatif kegiatan pertambangan misalnya terjadinya degradasi lingkungan seperti penurunan permukaan air tanah serta berkurangnya daerah resapan air. Demikian halnya di Provinsi Jawa Timur, masih banyak ditemukan kegiatan Pertambangan Tanpa Ijin (PETI). Kesadaran masyarakat pelaku usaha akan kelestarian lingkungan memang masih sangat rendah. Hal ini ditandai dengan maraknya penggunaan lahan peruntukan tambang yang tidak sesuai dengan RTRW serta penggunaan teknologi yang tidak sesuai dengan tata cara penambangan yang tepat. Selain kesadaran masyarakat pelaku usaha yang masih sangat rendah, penyebab lain kerusakan lingkungan dikarenakan masih kurangnya sistem pengawasan dan pengendaliaan terhadap aktivitas pertambangan oleh pemerintah. Kerusakan ekosistem lingkungan akibat kegiatan pertambangan akan menjadi dampak jangka panjang jika tidak segera ditanggulangi. Salah satu bentuk penanggulangan dini kerusakan lingkungan akibat aktifitas pertambangan adalah melalui pengembangan sistem konservasi lingkungan dan mitigasi bencana. 47

48 Tabel 12 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Jawa Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Banten Jawa Barat Jawa Tengah D. I Yogyakarta Jawa Timur Peraturan Perundangundangan Potensi Energi Listrik Potensi Air Bersih Penataan sistem peraturan perundang-undangan terkait penetapan Wilayah Usaha Pertambangan(WUP) serta Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Optimalisasi potensi dan penyediaan energi listrik dalam rangka memenuhi kebutuhan pasokan energi listrik masyarakat dan pelaku usaha Optimalisasi penyediaan dan pemenuhan air bersih terutama kebutuhan air bersih daerah sulit air dan kawasan industri - Rasio elektrifikasi baru mencapai 78,93%. (tahun 2012); - Rumah Tangga Perdesaan yang belum berlistrik pada umumnya berada di wilayah Banten bagian selatan. - Keberadaan air tanah di Provinsi Banten dapat diklasifikasikan menjadi 5 (lima) satuan Cekungan Air Tanah (CAT) yang telah diidentifikasi dan bersifat lintas kabupaten maupun kota, antara lain CAT Labuan, CAT Rawadano, CAT Malingping, CAT Serang-Tangerang, dan CAT Jakarta. - Belum optimalnya cakupan pelayanan elektrifikasi rumah - Ketahanan energi dan kualitas air baku - Terkendalanya kebutuhan mineral dan batuan dalam pembangunan di Jawa Tengah dengan adanya Surat Edaran Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM tentang Penghentian Sementara Penertiban IUP Baru sampai ditetapkannya Wilayah Pertambangan. - Rasio Elektrifikasi (RE) di Jawa Tengah sebesar 79,98 %; - Masih banyak dusun belum berlistrik di Jawa Tengah - Peningkatan kebutuhan air bersih seiring meningkatnya kondisi perekonomian daerah sehingga diperlukan perencanaan peningkatan pemenuhan kebutuhan air bersih bagi masyarakat terutama di daerah sulit air; - Penurunan kuantitas dan kualitas air tanah sehingga diperlukan upaya peningkatan upaya konservasi air tanah. - Kegiatan usaha pertambangan belum dilaksanakan secara optimal dikarenakan belum ditetapkannya Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) oleh Bupati - Rasio elektrifikasi DIY pada tahun 2012 adalah 76,80%; - Masih terdapat kurang lebih 238 dusun dari total 4508 dusun di DIY belum berlistrik terutama di wilayah-wilayah yang terpencil; - Belum ditetapkannya Peraturan Pengelolaan Air Tanah pada Cekungan Air Tanah lintas Provinsi; - Pemerintah DIY telah menetapkan Perda No 5 Tahun 2012 tentang pengelolaan air tanah, sedangkan untuk pengelolaan air tanah kewenangan pusat belum disusun regulasinya. - Masih belum ditetapkannya Wilayah Pertambangan (WP) oleh Pemerintah Pusat; - Surat edaran dari Kementerian ESDM tentang: penghentian sementara penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru. - Tingkat elektrifikasi 75,56 % - Desa/dusun belum berlistrik : pedesaan, terpencil & kepulauan - Suplai energi untuk kawasan industri masih kurang. - Peningkatan intensitas pengambilan air tanah; - Terdapat wilayah sulit air karena kurang/tidak memiliki potensi air tanah. Potensi Energi Baru Optimalisasi pemanfaatan - Pemerintah Provinsi - Pengendalian eksploitasi - Pemerintah Provinsi Jawa - Potensi energi baru - Pengembangan Energi 48

49 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Banten Jawa Barat Jawa Tengah D. I Yogyakarta Jawa Timur dan Terbarukan Konservasi Lingkungan dan Mitigasi Bencana potensi energi baru dan terbarukan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan energi Optimalisasi sistem pengendalian konservasi lingkungan dan mitigasi bencana Banten telah mengembangkan potensi energi alternative dan terbarukan seperti Biomasa, Mikrohidro, Energi Angin, Energi Gelombang, dan Energi Surya. berlebihan sumber daya mineral dan non mineral - Terbatasnya pemanfaatan energi baru terbarukan - Belum optimalnya konservasi energi dan sumber daya mineral - Belum optimalnya pendayagunaan produksi energi sumberdaya mineral - Belum teridentifikasi dan terpetakannya sumber daya geologi dan mineral untuk peruntukan lainnya seperti geowisata dan geopark - Belum diberdayakannya potensi/peruntukan sumberdaya geologi dan mineral lainnya seperti sumberdaya keragaman geologi untuk geoheritage dan geopark Tengah telah mengembangkan Biomasa, Bioethanol, Biogas, dan Biofuel namum belum optimal. - Ancaman degradasi lingkungan akibat pemanfaatan sumber daya geologi (penurunan muka air tanah, berkurangnya daerah resapan,kegiatan penambangan); - Keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap usaha hulu migas; - Kesadaran masyarakat maupun pelaku usaha terhadap keselamatan ketenagalistrikan masih rendah; - Potensi tambang yang tidak masuk dalam kawasan peruntukan tambang dalam RTRW. terbarukan Provinsi DIY mencapai 20 MW, akan tetapi yang layak dibangkitkan menjad energi listrik hanya kurang dari 10MW; - Implementasi pengembangan EBT masih minimal karena terbatasnya ketersediaan anggaran pemerintah, masih rendahnya partisipasi masyarakat, dan harga jual yang kalah dibandingkan energi bersubsidi. Baru dan Terbarukan belum optimal; - Pengembangan energi baru terbarukan baru sebatas energi Biogas dan Mikrohidro. - Pertambangan dan pengambilan air tanah tidak sesuai dengan tata cara penambangan yang tepat; - Kerusakan lahan pasca penambangan serta maraknya kegiatan Pertambangan Tanpa Ijin (PETI); 49

50 2.2.3 Isu Strategis Wilayah Kalimantan Isu strategis regional Kalimantan meliputi (1) Optimalisasi penyediaan energi listrik melalui pembangunan sarana dan infrastruktur pembangkit listrik terbaru; (2) Optimalisasi pengelolaan potensi air tanah untuk mengatasi kelangkaan air bersih; (3) Optimalisasi pengembangan potensi energi baru alternatif dan terbarukan guna mendukung dan meningkatkan ketersediaan pasokan energi; dan (4) Penataan sistem pengawasan kegiatan/usaha sektor sumber daya energi, mineral dan pertambangan dalam rangka meminimalisasi penyalahgunaan lahan dan kerusakan lingkungan. 1. Optimalisasi Penyediaan Energi Listrik Melalui Pembangunan Sarana dan Infrastruktur Pembangkit Listrik Terbaru Sampai dengan tahun 2013, keterbatasan pasokan energi listrik masih menjadi persoalan utama di Pulau Kalimantan. Kelangkaan energi listrik tidak hanya dirasakan oleh para pelaku usaha akan tetapi juga dirasakan oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan. Salah satu indikator keterbatasan pasokan energi listrik di Pulau Kalimantan adalah rendahnya rasio elektrifikasi masing-masing provinsi. Sampai dengan tahun 2013 misalnya, rasio elektrifikasi masing-masing Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah secara berturut-turut baru mencapai 65,70 persen, 73,10 persen, 59,70 persen, dan 61,10 persen. Faktor utama penyebab kelangkaan pasokan energi listrik di Pulau Kalimatan dikarenakan masih rendahnya kapasitas sebagian besar pembangkit listrik yang ada saat ini. Sampai dengan tahun 2013, PLTU Asam-Asam dan PLTD Trisakti yang terletak di Kalimantan Selatan masih menjadi pembangkit listrik andalan bagi sebagian besar wilayah di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat bahkan Kalimantan Tengah. Sebenarnya terdapat banyak pembangkit listrik yang beroperasi di Pulau Kalimantan baik tenaga air, uap, diesel, maupun tenaga surya akan tetapi kapasitas energi listrik yang dihasilkan tidak sebesar PLTU Asam-Asam dan PLTD Trisakti. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan sarana infrastruktur pembangkit listrik di Pulau Kalimantan. Pengembangan sarana dan infrastruktur tersebut dapat dilakukan melalui pembangunan sarana pembangkit listrik yang baru atau melalui pengembangan kapasitas pembangkit listrik yang ada saat ini. 50

51 2. Optimalisasi Pengelolaan Potensi Air Tanah Untuk Mengatasi Kelangkaan Air Bersih Ketersediaan air bersih di sebagian besar wilayah Kalimantan masih cukup langka. Tidak hanya di kawasan industri, kelangkaan ketersediaan air bersih di kawasan pemukiman penduduk juga sering terjadi. Penyebab kelangkaan air bersih pada setiap daerah berbeda-beda. Di Kalimantan Barat misalnya, kelangkaan air bersih disebabkan karena belum maksimalnya kegiatan pengeboran air bawah tanah serta belum terpetakannya daerah cekungan air bersih. Kelangkaan air bersih di Kalimantan Timur juga disebabkan karena belum maksimalnya kegiatan pengeboran air bawah tanah terutama di daerah kawasan industri. Sementara penyebab kelangkaan air bersih di Kalimantan Selatan disebabkan karena sungai-sungai utama sangat mudah keruh terutama di musim penghujan. Bahkan sejumlah sungai utama juga telah mulai terkontaminasi limbah akibat kegiatan industri di sekitar sungai-sungai utama. Pada dasarnya, potensi air bawah tanah Pulau Kalimantan dinilai cukup besar mengingat luasnya hutan penyimpan air serta banyaknya sungai-sungai besar. Kelangkaan air bersih di Kalimantan lebih dikarenakan pada penggunaan teknologi terutama teknologi pengeboran air bawah tanah yang belum maksimal. 3. Optimalisasi Pengembangan Potensi Energi Baru Alternatif dan Terbarukan Guna Mendukung Dan Meningkatkan Ketersediaan Pasokan Energi Pulau Kalimantan dikenal sebagai pulau yang memiliki potensi besar dalam pengembangan sumber daya energi terbarukan. Hal ini mengingat Pulau Kalimantan merupakan pulau yang kaya sumber daya alam serta memiliki letak yang sangat strategis. Posisi Pulau Kalimantan yang dilalui garis khatulistiwa sangat mendukung pengembangan potensi energi alternatif dan terbarukan. Kalimantan Barat misalnya sudah mulai mengembangkan potensi energi alternatif terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, Pembangkit Listrik Tenaga Surya, Sistem Konversi Energi Angin, serta Biogas. Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 2010 juga telah mengembangkan sistem Biogas Power Plant sebagai alternatif energi baru dan terbarukan. Demikian pula halnya Provinsi Kalimantan Tengah yang telah mengembangkan sejumlah potensi energi alternatif terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, Pembangkit Listrik Tenaga Angin, serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Sementara Provinsi Kalimantan Selatan sudah sejak Tahun

52 memulai proyek pengembangan potensi energi baru alternatif pemanfaatan energi surya, pengembangan potensi Biogas, pemanfaatan energi air serta pemanfaatan energi briket batubara. Pengembangan potensi energi di Pulau Kalimantan tidak hanya berorientasi pada energi baru terbarukan akan tetapi juga berorientasi pada potensi energi ramah lingkungan. 4. Penataan Sistem Pengawasan Kegiatan/Usaha Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Dalam Rangka Meminimalisasi Penyalahgunaan Lahan dan Kerusakan Lingkungan Pertumbuhan kegiatan/usaha terutama usaha pertambangan di Pulau Kalimantan sangat pesat mengingat potensi sumber daya alam yang sangat besar dimiliki pulau tersebut. Dampak positif dari pesatnya pertumbuhan usaha pertambangan di Pulau Kalimantan adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Akan tetapi, pesatnya pertumbuhan usaha tambang tersebut juga berdampak negatif pada lingkungan sekitar. Akar permasalahannya adalah masih lemahnya sistem pengawasan usaha yang berakibat terjadinya penyalahgunaan lahan dan kerusakan lingkungan. Di Kalimantan Barat misalnya, masih ditemukan banyak kegiatan usaha yang berpotensi mencemari linkungan akibat kegiatan-kegiatan PETI. Demikian pula halnya di Kalimantan Tengah, sistem pengawasan lapangan juga masih belum maksimal dikarenakan kekurangan jumlah personil inspektur tambang di lapangan. Aktivitas pertambangan yang memang memiliki potensi dan dampak negatif pada lingkungan harus mendapatkan usaha-usaha pembinaan dan pengawasan sehingga meminimalisasi penyalahgunaan lahan dan kerusakan lingkungan hidup. 52

53 Tabel 13 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Kalimantan Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Kalimantan Barat Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Sarana dan infrastruktur kelistrikan Optimalisasi penyediaan energi listrik melalui pembangunan sarana dan infrastruktur pembangkit listrik terbaru - Infrastruktur (mesin) pembangkit listrik sudah tua, diperlukan mesin-mesin baru; - Rendahnya Rasio Elektrifikasi dan Rasio Desa Berlistrik; - Perlunya percepatan pembangunan pembangkit listrik baru. - Pembangunan pembangkit listrik oleh Investor (IPP) tidak berjalan. - Kemampuan daya pembangkit dan jaringan listrikyang ada saat ini masih sangat terbatas dan kecil. - Belum adanya interkoneksi jaringan listrik dari dan ke Kalimantan Timur. - Pemerintah Pusat perlu memperhatikan daerah/wilayah yang merupakan lumbung energi - Rasio eletrifikasi persen; - Pemanfaatan energi listrik belum efisien hal ini ditandai dengan intensistas energi yang tinggi serta elastisitas energi yang masih besar. - Koordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota / Kabupaten dalam hal pengelolaan sumber daya energi belum maksimal. - Pembangkit Listrik Di Kalimantan Tengah Masih Tergantung Pada Penggunaan BBM Dan Kondisi Mesinya Rata- Rata Sudah Tua; - Rasio Elektrifikasi Atau Rumah Tangga Berlistrik Di Kalimantan Tengah masih 61,1 persen. - Sumber energi listrik di Kalimantan Tengah masih mengandalkan suplai dari sistem kelistrikan Kalimantan Selatan. Sarana dan infrastruktur air bersih Optimalisasi pengelolaan potensi air tanah untuk mengatasi kelangkaan air bersih - Sebagian potensi energi air yang dapat dimanfaatkan untuk PLTMH lokasinya berada dlm kawasan hutan, sehingga memerlukan izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. - Potensi air tanah di Kalimantan Barat cukup besar tetapi penyediaan air bersih bersumber dari pengeboran air tanah untuk kebutuhan masyarakat di daerah sulit air belum maksimal dilaksanakan; - Belum terpetakannya daerah sulit air di Provinsi Kalimantan Barat; - Belum tersedianya peta geologi dan peta cekungan air tanah dengan skala yang lebih besar. - Optimalisasi pengelolaan potensi air tanah untuk mengatasi kelangkaan air bersih - Kelangkaan air bersih untuk suplai kawasan industri dan masyarakat; - Pengembangan pemboran air bawah tanah di kawasan industri Maloy, Kariangau dan Masyarakat yang sulit air bersih. - Sungai-sungai utama mudah mengalami kekeruhan terutama pada musim penghujan 53

54 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Kalimantan Barat Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Energi alternatif dan terbarukan Sistem pengawasan tambang Optimalisasi pengembangan potensi energi baru alternatif dan terbarukan guna mendukung dan meningkatkan ketersediaan pasokan energi Penataan sistem pengawasan kegiatan/usaha sektor sumber daya energi, mineral dan pertambangan dalam rangka meminimalisasi penyalahgunaan lahan dan kerusakan lingkungan - Banyaknya potensi energi baru dan terbarukan tetapi belum dapat dipemanfaatkan secara maksimal sehingga belum dapat meningkatkan rasio elektrifikasi; - Masih tingginya ketergantungan pembangkit listrik pada penggunaan bahan bakar minyak - Banyak terjadi pemanfaatan lahan ganda antara kegiatan usaha pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lain - Terjadinya kerusakan lahan dan pencemaran lingkungan akibat kegiatan PETI - Jumlah IUP akhir 2013 mencapai (799 IUP, 66 IUP diterbitkan pemprov, 733 IUP diterbitkan pemda kab/kota), tetapi yang sampai tahap eksploitasi / operasi produksi hanya 177 IUP, dan yang aktif ada kegiatan dilapangan hanya sedikit sekitar 25 %. - Kontribusi PNBP (Landrent dan Royalti) dari pemegang IUP belum maksimal. - Masih rendahnya kesadaran pemegang Izin Tambang dalam mentaati kewajiban sesuai aturan yang berlaku. - Sering terjadi konflik sosial antara pemegang IUP dengan masyarakat setempat. - Dikembangkan dan dimanfaatkannya energi baru dan terbarukan seperti biomassa, angin, mikrohidro, uranium, biodisel dan bioetanol - Pengawasan lingkungan bidang pertambangan umum, - Perlunya kejelasan konsep tema MP3EI Kalimantan Koridor III, dengan Tema Pembangunan Koridor Ekonomi Kalimantan sebagai Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional - - Adanya Komitment untuk meningkatkan nilai tambah produk tambang. - Belum optimalnya pengembangan energi alternatif pengganti BBM, disebabkan masih tingginya investasi yang dibutuhkan sehingga menyebabkan biaya produksi energi menjadi relatif mahal - Masih banyak permasalahan tumpang tindih lahan yang melibatkan para pemilik lahan dengan masyarakat, - Aktifitas pertambangan memiliki dampak terhadap lingkungan hidup maupun sosial sehingga perlu usahausaha pembinaan dan pengawasan aktifitas pertambangan - Adanya perpindahan kepemilikan perusahaan (IUP), saham PKP2B secara mudah tanpa pengawasan dari pemerintah - Potensi energi baru dan terbarukan yang sudah di kembangkan di Kalimantan Tengah adalah pembangkit listrik tenaga mikrohidro, pembangkit listrik tenaga angin, pemanfaatan energi surya; - Program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Finland dalam mengembangkan energi baru terbarukan di Kalimantan Tengah dalam Program EEP Indonesia. - Kurangnya aparatur pembinaan dan pengawasan dibanding dengan jumlah perizinan, sehingga pelaksanaan pengawasan dan pembinaan tidak dapat dilakukan secara optimal 54

55 2.2.4 Isu Strategis Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua Isu strategis di regional Bali, NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat antara lain: (1) Optimalisasi penyediaan energi listrik; (2) Optimalisasi penggunaan energi alternatif dan terbarukan; (3) Optimalisasi infrastruktur pendukung energi, mineral, dan pertambangan; (4) Optimalisasi pengelolaan pertambangan yang ramah terhadap lingkungan; (5) Mitigasi bencana dalam menghadapi potensi bencana alam; (6) Penataan kawasan pertambangan dan kehutanan; dan (7) Peningkatan sumber daya manusia pengelola pertambangan. 1. Optimalisasi Penyediaan Energi Listrik untuk Mendukung Pertumbuhan Kegiatan Ekonomi Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya yang melimpah ternyata masih memiliki permasalahan dalam bidang energi listrik dan energi alternatif. Banyak wilayah di Indonesia khususnya di wilayah Regional Bali (NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat) belum mendapatkan sambungan listrik, hal itu dikarenakan kurangnya ketersediaan pembangkit listrik. Keterbatasan akan tersedianya pembangkit listrik ini antara lain terjadi di wilayah Provinsi Maluku dan Provinsi NTB, karena hampir semua energi listrik dipasok dari PLTD dan sebagian kecil dari PLTU serta PLTMH. Selain itu, rasio elektrifikasi yang begitu rendah di beberapa wilayah seperti di Provinsi NTT sebesar 53,42 persen dan Provinsi NTB sebesar 53,56 persen juga menjadi masalah tersendiri. Lain halnya dengan Provinsi Bali yang sudah memiliki rasio elektrifikasi sebesar 74,95 persen, permasalahan pada Provinsi Bali adalah minimnya ketersediaan pasokan energi listrik yang hanya sekitar 600 MW dari kebutuhan MW dan Provinsi Bali masih bergantung pada hubungan interkoneksi Pulau Jawa dan Pulau Bali yang memiliki daya sebesar 200 MW, sehingga apabila suatu saat terjadi pemadaman di Pulau Jawa akan berakibat pada ketersediaan sambungan listrik di Pulau Bali. Selain itu yang menjadi perhatian adalah masih rendahnya masyarakat yang menikmati listrik di Provinsi Maluku Utara, masyarakat yang bisa mendapatkan aliran listrik sekitar 57 persen penduduk. 55

56 2. Optimalisasi Penggunaan Energi Alternatif dan Terbarukan Indonesia saat ini masih sangat tergantung pada energi fosil dan hampir 90 persen dari kebutuhan energi Indonesia masih disuplai oleh energi fosil. Selain karena akan habis, energi fosil juga berdampak negatif terhadap lingkungan. Emisi gas rumah kaca dari pembakaran energi fosil berdampak pada pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Energi alternatif merupakan solusi dari permasalahanpermasalahan diatas. Beberapa energi alternatif telah dikembangkan seperti panas bumi, biomassa, sinar matahari, dan sebagainya. Kebanyakan energi alternatif yang dikembangkan merupakan energi terbarukan. Salah satu energi alternatif yang tersedia adalah panas bumi dan air yang belum dioptimalkan penggunaannya seperti di Provinsi Papua Barat karena belum tersedianya PLTU maupun PLTH. Selain itu permasalahan yang terjadi dalam pengembangan energi alternatif adalah terbatasnya anggaran dalam mendukung upaya pemeliharaan infrastruktur energi alternatif seperti yang terjadi di Provinsi NTB. Namun demikian, di Provinsi Maluku Utara terdapat PLTS Morotai yang mempunyai kapasitas 600 kilo Watt peak (kwp) dan merupakan PLTS terbesar yang pernah dioperasikan PLN diseluruh Indonesia karena memiliki luas lahan cukup besar yang mencapai 3 Ha. Selain itu, terdapat sumber energi alternatif selain panas bumi dan sinar matahari di Provinsi Maluku Utara yang memiliki potensi untuk dikembangkan yaitu energi biomassa berupa limbah pengolahan kayu dan batok kelapa yang bisa digunakan sebagai penghasil energi. 3. Optimalisasi Infrastruktur Pendukung Sektor Energi, Mineral, dan Pertambangan Pembangunan infrastruktur sangat penting dalam mendukung sektor energi, mineral, dan pertambangan karena merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Infrastruktur adalah struktur dan fasilitas fisik yang dikembangkan oleh pemerintah dalam menyediakan air, energi, transportasi, dan layanan sejenisnya untuk memfasilitasi pencapaian tujuan sosial dan ekonomi khususnya dalam sektor energi, mineral, dan pertambangan. Salah satu kendala dalam pengembangan infrastruktur khususnya air antara lain banyaknya wilayah yang secara hidrogeologi tidak memungkinkan untuk memperoleh air dengan cara mudah, untuk itu perlu dikembangkan dengan sumur bor dalam seperti yang terjadi di Provinsi NTB. Adanya keterbatasan anggaran pemerintah dalam membiayai pengembangan infrastruktur air 56

57 bersih di Provinsi NTB yang berpengaruh terhadap rendahnya cakupan layanan air bersih di wilayah tersebut. Namun demikian, terbatasnya ketersediaan infrastruktur energi untuk mendukung sektor pertambangan juga berpengaruh terhadap kewajiban pengelola pertambangan untuk membuat pabrik pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri seperti yang diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang bertujuan untuk menambah nilai terhadap hasil tambang itu sendiri. 4. Optimalisasi Pengelolaan Pertambangan yang Ramah Terhadap Lingkungan Pengelolaan pertambangan juga harus memperhatikan aspek lingkungan, karena pertambangan yang ramah lingkungan (green mining) bertujuan untuk mengelola pertambangan yang aman dan ramah terhadap lingkungan sekitarnya. Hal itu dapat terwujud apabila dalam perusahaan yang mengelola pertambangan tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan. Sementara itu, pengelolaan pertambangan yang selama ini dilakukan belum optimal. Hal itu dikarenakan masih tingginya jumlah penambangan tanpa ijin (PETI) yang cenderung merusak lingkungan seperti yang terdapat di Provinsi NTT dan banyaknya pertambangan yang belum memperhatikan kelestarian lingkungan di Provinsi Maluku Utara. Selain itu adanya tambang terbuka (open pit mining) di Provinsi Papua Barat yang mengubah bentang alam sehingga mempengaruhi ekosistem dan habitat asli. 5. Mitigasi Bencana dalam Menghadapi Potensi Bencana Alam Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Kerusakan lingkungan yang terjadi juga berdampak dengan timbulnya bencana. Kepulauan Nusa Tenggara merupakan salah satu wilayah yang mempunyai gunung berapi aktif pasca letusan Gunung Tambora pada tahun Gunung tersebut terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan hal itu dikarenakan wilayah tersebut berada pada zona lingkaran cincin api dan zona tumbukan lempeng yang menjadikan ini mempunyai tingkat resiko terhadap bencana alam gunung berapi dan geologi. Namun demikian terdapat potensi antara lain seperti di Provinsi NTB yang memiliki potensi dibidang pertambangan berupa mineral disekitar gunung berapi. 57

58 6. Penataan kawasan pertambangan dan kehutanan Tumpang tindihnya kawasan pertambangan dan kawasan kehutanan yang terjadi di Provinsi NTT, Provinsi NTB, Provinsi Maluku, dan Provinsi Papua Barat dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Untuk itu, perlu segera dilakukan penyesuaian kebijakan sesuai dengan regulasi yang telah diatur oleh Pemerintah melalui Rencana Tata Ruang yang mengatur arah kebijakan pemanfaatan ruang kawasan hutan maupun kawasan pertambangan. Hal itu dimaksudkan untuk mengarahkan agar kegiatan pertambangan dapat berlangsung secara jelas, efisien dan produktif tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. 7. Peningkatan sumber daya manusia pengelola pertambangan Pengelolaan pertambangan dihadapkan kepada tantangan untuk meningkatkan SDM yang profesional baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Tingkat penguasaan teknologi tenaga-tenaga pertambangan belum dapat memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Kegiatan eksplorasi dan pengusahaan pertambangan pada masa mendatang cenderung semakin mengarah ke daerah yang lebih sulit dan terpencil. Namun kenyataan yang terjadi adalah sektor pertambangan kurang memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat karena SDM yang masih relatif rendah di Provinsi NTT. Selain itu, kurangnya pemberdayaan masyarakat lingkar tambang dan tanggung jawab sosial perusahaan tambang seperti yang terjadi di Provinsi NTB. 58

59 Tabel 14 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Bali, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Bali NTB NTT Papua Papua Barat Maluku Maluku Utara Energi/Kelistrikan Optimalisasi penyediaan energi listrik untuk mendukung pertumbuhan kegiatan ekonomi - Ketersediaan pasokan energi listrik di Provinsi Bali hanya 600 mw dari kebutuhan 1095 mw - Masih bergantung pada hubungan interkoneksi Pulau Jawa dan Bali yang memiliki daya sebesar 200 mw - Kebutuhan bahan bakar untuk pembangkit di Bali harus dikirim dari provinsi lain, meliputi BBM seperti saat ini, batubara terkait dengan PLTU Celukan Bawang - Terdapat defisit daya listrik di Provinsi NTB - Masih rendahnya rasio elektrifikasi yaitu 53,65% di Provinsi NTB - Rasio elektrifikasi di Provinsi NTT masih dibawah 50% - Pasokan energi masih terbatas untuk pembangkitan (jumlah, kualitas, dan keandalan) Efisiensi dan konservasi Energi sangat kecil dibandinkan potensi - Bauran energi (energy mix) belum optimal - Pelayanan Listrik belum menjangkau 44 Pulau yang dihuni - Kebutuhan PT. Freeport menggunakan PLTA Urumuka Yawei yang sedang dibangun dan akan menghasilkan daya sebesar 500 MW yang dibagi untuk kebutuhan PT. Freeport sebesar 350 MW dan 150 dibagi untuk kebutuhan Kabupaten sekitar - Wilayah Membramo direncanakan sebagai kawasan industri sekala besar - Penggunaan energi listrik masih belum merata - Beberapa Kabupaten belum mendapatkan pasokan listrik 24 jam, seperti di Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Maybrat - Peningkatan rasio desa berlistrik terutama di daerah terpencil/terisolir melalui pengembangan energi terbarukan (PLTMH, PLTS) - Kebutuhan energi listrik kedepan akan semakin tinggi seiring dengan pertumbuhan industri dan jasa, seperti pabrik semen di Manokwari (butuh 26 MW) - Pembangkit listrik di Provinsi Maluku hanya menggunakan PLTD - Masih rendahnya rasio elektrifikasi yaitu 60,95% di Provinsi Maluku - Terdapat 43% masyarakat yang belum tersentuh listrik di Provinsi Maluku Utara 59

60 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Bali NTB NTT Papua Papua Barat Maluku Maluku Utara Infrastruktur Optimalisasi penggunaan energi alternatif dan terbarukan Optimalisasi infrastruktur pendukung sektor energi, mineral, dan - Energi listrik di Provinsi Bali sebagian besar masih di suplai dari Pulau Jawa, untuk itu perlu pengembangan energi alternatif - Pembangunan infrastruktur energi alternatif masih terkendala dengan besarnya investasi yang dibutuhkan untuk dapat membangun infrastruktur pemanfaatan energi alternatif dalam skala besar - Terbatasnya anggaran dalam mendukung upaya pemeliharaan infrastruktur energi alternatif - Pengembangan Panas Bumi di Provinsi NTB terkendala oleh : - Regulasi - Infrastruktur - Permodalan - Keterbatasan anggaran pemerintah dalam membiayai pengembangan infrastruktur air bersih - Belum tersedianya PLTU maupun PLTH sebagai bentuk pemanfaatan energi terbarukan - Wilayah Membramo direncanakan sebagai kawasan industri sekala besar - Belum dioptimalkannya penggunaan batubara dan panas bumi di Provinsi Papua Barat - Terdapat energi panas bumi yang belum dikelola. - Masih lambatnya pengembangan sektor ESDM karena belum memadainya - Provinsi Maluku Utara memiliki potensi energi biomassa yaitu batok kelapa dan limbah kayu - Energi surya yang sudah dikembangkan di Maluku Utara dengan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Pulau Morotai dengan kapasitas 6 MW - Provinsi Maluku Utara memiliki potensi energi panas bumi yang tersebar di Kabupaten Halmahera Selatan, Kabuoaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, dan Kota Tidore 60

61 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Bali NTB NTT Papua Papua Barat Maluku Maluku Utara Pertambangan pertambangan - Masih ada 20% masyarakat kota dan 25% masyarakat desa yang belum terjangkau pelayanan air bersih - Terdapat 30% jalan provinsi yang belum baik, sehingga perlu pengembangan sistem transportasi inter dan antar wilayah Optimalisasi pengelolaan Pertambangan yang ramah terhadap lingkungan Peningkatan SDM pengelola - Adanya penambangan batupadas yang merusak saluran irigasi di Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar - Kurangnya pemberdayaan masyarakat lingkar tambang dan - Masih tingginya jumlah Penambangan Tanpa I jin (PETI) yang cenderung merusak lingkungan di Provinsi NTT - Pertambangan kurang memberikan dampak terhadap kesejahteraan - Adanya tambang terbuka (open pit mining) di Papua Barat yang merubah bentang alam sehingga mempengaruhi ekosistem dan habitat asli - Potensi pertambangan belum dapat dimanfaatkan secara optimal mengingat adanya keterlambatan penetapan Wilayah Pertambangan oleh Pemerintah infrastruktur pendukung yang menghambat masuknya investor di Provinsi Maluku - Banyaknya pertambangan yang belum memperhatikan keletarian lingkungan di Provinsi Maluku Utara 61

62 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Bali NTB NTT Papua Papua Barat Maluku Maluku Utara Bencana pertambangan Penataan kawasan pertambangan dan kehutanan karena pada umummya potensi tambang berada di kawasan hutan Mitigasi bencana dalam menghadapi potensi bencana alam tanggung jawab sosial perusahaan tambang - Provinsi NTB yang berada pada lingkaran cincin api dan zona tumbukan lempeng menjadikan daerah ini mempunyai tingkat resiko terhadap bencana alam geologi seperti meletusnya gunungapi, gempa bumi dan tsunami. masyarakat karena SDM yang masih relatif rendah di Provinsi NTT - Perlu sinkronisasi dan peninjauan kembali peraturan peraturan di sektor pertambangan dan kehutanan, terkait dengan eksplorasi/eksploita si tambang di kawasan hutan di Provinsi Papua Barat 62

63 2.2.5 Isu Strategis Wilayah Sulawesi Isu strategis regional Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, dan Gorontalo antara lain: (1) Optimalisasi pengelolaan energi listrik; (2) Optimalisasi pemanfaatan energi alternatif dan terbarukan; (3) pengendalian distribusi BBM dan LPG; (4) Optimalisasi pemenuhan kebutuhan infrastruktur air bersih; (5) Peningkatan kualitas lingkungan sekitar tambang dengan menertibkan pencemaran limbah pertambangan; (6) Penataan kawasan pertambangan; dan (7) Mitigasi bencana khususnya bencana alam geologi. 1. Optimalisasi Pengelolaan Energi Listrik Tenaga listrik merupakan infrastruktur yang menyangkut hajat hidup orang banyak, untuk itu tenaga listrik harus dapat terjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, harga yang wajar dan mutu yang baik. Sampai tahun 2013 di Provinsi Sulawesi Selatan, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan sambungan listrik terutama masyarakat pedesaan, hal itu dikarenakan akibat keterbatasan pemenuhan listrik oleh PLN. Selain di Provinsi Sulawesi Selatan, keterbatasan akan pemenuhan listrik ini antara lain terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Di Provinsi Sulawesi Tengah, terjadi keterbatasan pemenuhan listrik karena pembangkit listrik sebagian besar masih menggunakan mesin diesel yang kondisinya sudah tua, sehingga tidak dapat berfungsi maksimal dan mengakibatkan kekurangan energi listrik serta memerlukan pembiayaan pemeliharaan yang besar. Keterbatasan pemenuhan energi listrik juga dapat terjadi karena rendahnya investasi pembangkit listrik seperti yang terjadi di Provinsi Sulawesi Utara. Selain itu keterbatasan kapasitas energi listrik saat ini juga tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dalam menunjang atau pengembangan industri unggulan di Provinsi Sulawesi Tengah. Permasalahan lainnya adalah terdapat rasio elektrifikasi yang rendah di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 45,97 persen dan rasio desa terlistriki sebesar 39 persen. Namun demikian dengan adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas 2 x 25 Megawatt (MW) Anggrek yang terletak di Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara diharapkan dapat membantu wilayah lainnya dalam meningkatkan pemenuhan energi listrik khususnya di Wilayah Regional Sulawesi. 63

64 2. Optimalisasi Pemanfaatan Potensi Energi Alternatif dan Terbarukan Pulau Sulawesi memiliki potensi dalam pengembangan sumber daya energi alternatif dan terbarukan. Hal ini dikarenakan Pulau Sulawesi memiliki sumber daya yang berlimpah mencakup air, matahari, dan angin. Energi alternatif yang dapat dimanfaatkan di Provinsi Sulawesi Tengah adalah air yang dapat menghasilkan energi sebesar 995 MW dan energi alternatif seperti biogas yang dapat menghasilkan energi sebesar kw apabila dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, terdapat lahan kritis yang berpotensi untuk dimanfaatkan budi daya tanaman jarak pagar (biofuel) seluas ha dan adanya potensi panas bumi yang terdapat dibeberapa titik tersebar di Kabupaten Poso dan Donggala dengan potensi berkisar antara 20 s.d. 40 Mwe. Potensi pemanfaatan energi alternatif dan terbarukan juga terdapat di Provinsi Sulawesi Barat yaitu adanya 142 desa yang memiliki potensi air untuk dapat dimanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Air Skala Kecil atau lebih dikenal Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Provinsi Sulawesi Barat juga memiliki lahan kelapa sawit sebesar Ha dan produksi sebesar Ton pertahun dan diperkirakan akan memberikan energi sebesar 30,769 GWh pertahun bila residu sawit (EFB, Serat, dan Tempurung) 42 persen dan kandungan energinya 0,282 MWh per ton dapat dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, adanya pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan di Provinsi Sulawesi Selatan juga diharapkan akan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pembangunan PLT Biomassa. 3. Pengendalian Distribusi BBM dan LPG Energi fosil adalah sumber daya utama dalam pemenuhan kebutuhan energi. Energi fosil yang digunakan adalah bahan bakar minyak dan gas bumi. Karena wilayahnya yang luas dan terdiri dari banyak pulau, penyediaan BBM dan LPG di Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi merupakan satu hal yang kompleks sehingga dibutuhkan infrastuktur penyediaan BBM yang tidak sederhana. Hal itu dapat mengakibatkan terhambatnya pendistribusian lalu lintas BBM dan LPG 3 kg di Provinsi Sulawesi Barat. 4. Optimalisasi Pemenuhan Kebutuhan Infrastruktur Air Bersih Salah satu kendala dalam pengembangan infrastruktur khususnya air bersih antara lain belum optimalnya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air bersih, 64

65 khususnya pada wilayah pesisir dan daerah kritis air seperti yang terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Belum optimalnya pengelolaan air tanah yang diakibatkan belum tersedianya pemetaan CAT untuk pendayagunaan air tanah. Selain itu rendahnya kemampuan fiskal daerah untuk membiayai pembangunan infrastruktur di Provinsi Sulawesi Tengah juga berpengaruh terhadap rendahnya cakupan layanan air bersih di wilayah tersebut. Namun demikian, adanya perubahan iklim yang tidak menentu serta pemanasan global yang memberi pengaruh terhadap ketersediaan air permukaan maupun dalam tanah seperti yang terjadi di Provinsi Sulawesi Utara. Kendala yang terakhir adalah banyaknya pembuangan limbah industri dan rumah tangga ke daerah aliran sungai yang mengakibatkan pencemaran sumber air bersih masih terjadi di Provinsi Gorontalo. 5. Peningkatan Kualitas Lingkungan Sekitar Tambang Dengan Menertibkan Pencemaran Limbah Pertambangan Pertumbuhan kegiatan/usaha terutama usaha pertambangan di Pulau Sulawesi meningkat pesat mengingat potensi sumber daya alam yang sangat besar yang dimiliki pulau tersebut. Dampak positif dari pesatnya pertumbuhan usaha tambang adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, pesatnya pertumbuhan usaha tambang tersebut ternyata berdampak negatif pada lingkungan sekitar. Kualitas lingkungan di Indonesia akhir-akhir ini terus mengalami penurunan. Khususnya di Provinsi Sulawesi Utara, hal ini disebabkan oleh beberapa pencemaran dan kerusakan lingkungan antara lain banyaknya kegiatan pembuangan limbah perusahaan tidak sesuai prosedur yang dapat mengakibatkan banyaknya bahan kimia dan unsur hara yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Selain itu, di Provinsi Sulawesi Utara juga terdapat penambang liar yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan yang berdampak pada kawasan sekitar pertambangan antara lain seperti banyaknya lubang bekas tambang dan adanya pencemaran air disekitar tambang. 6. Penataan Kawasan Pertambangan Tumpang tindihnya izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menyebabkan terjadinya kerusakan disekitar kawasan pertambangan. Untuk itu, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Provinsi Sulawesi Tengah, baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, perlu untuk segera disempurnakan. Hal ini terkait 65

66 dengan peran RTRW sebagai acuan kebijakan dan pengembangan investasi, karena dengan RTRW maka Pemerintah Daerah memiliki kejelasan mengenai status kawasan yang tumpang tindih arah pemanfaatan ruang khususnya untuk kawasan peruntukan pertambangan. Hal itu dimaksudkan untuk mengarahkan agar kegiatan pertambangan dapat berlangsung secara jelas, efisien dan produktif tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Selain itu kendala yang terjadi adalah pemerintah belum menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) menyebabkan makin banyaknya PETI di Sulawesi Utara dan penambangan tanpa izin dan banyaknya tumpang tindih lahan izin usaha pertambangan di Provinsi Sulawesi Barat 7. Mitigasi Bencana Khususnya Bencana Alam Geologi Tingginya frekuensi terjadinya bencana alam geologi di Provinsi Sulawesi Barat dikarenakan wilayah tersebut berada pada zona lingkaran cincin api dan zona tumbukan lempeng yang menjadikan daerah ini mempunyai tingkat resiko terhadap bencana alam gunung berapi dan geologi. Selain itu kerusakan lingkungan yang terjadi juga berdampak dengan timbulnya bencana. Namun demikian, biasanya terdapat potensipotensi dibidang pertambangan berupa mineral disekitar gunung berapi. 66

67 Tabel 15 Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Wilayah Sulawesi Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Barat Gorontalo Energi/Kelistrikan Energi Alternatif dan Terbarukan Optimalisasi pengelolaan energi listrik Optimalisasi pemanfaatan potensi energi alternatif dan terbarukan - Belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat perdesaan akan energi listrik akibat keterbatasan pemenuhan listrik oleh PLN - Adanya pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan yang juga diharapkan akan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pembangunan PLT Biomassa - Kesinambungan produksi listrik khususnya yang bersumber dari PLTA, PLTMH, PLTPH - Pembangkit listrik sebagian besar menggunakan mesin diesel yang kondisinya sudah tua, sehingga tidak dapat berfungsi maksimal dan mengakibatkan kekurangan energi listrik serta memerlukan pembiayaan pemeliharaan yang besar. - Rasio kelistrikan Propinsi Sulawesi Tengah hingga saat ini mencapai 42,70 % - Keterbatasan kapasitas energi listrik, saat ini tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dalam menunjang atau pengembangan industri unggulan di wilayah Sulawesi Tengah. - Adanya potensi energi alternatif dan terbarukan antara lain: Air : 995 MW Matahari : % Angin : 2 5 m/s Biogas : kw - Terdapat luas lahan kritis yang bisa dimanfaatkan untuk budi daya tanaman jarak pagar (Biofuel) seluas ha - Potensi Panas Bumi terdapat - Ketergantungan penyedia listrik terhadap penggunaan diesel yang memiliki biaya operasional yang relatif tinggi masih besar. - Investasi pembangkit listrik masih relatif rendah. - Terdapat potensi air yang belum dimanfaatkan untuk kebutuhan energi listrik diperkirakan sebesar 80,54 MW - Pemanfaatan panas bumi dan tenaga air sebagai energi pembangkit listrik belum optimal. - Belum ada upaya serius untuk melihat kemungkinan penggunaan arus bawah laut - Rendahnya rasio elektrifikasi yaitu sebesar 45,97 % - Persentase Kecamatan terlistriki sebesar 78 persen - Persentase Desa terlistriki sebesar 39 persen - Rendahnya pemanfaatan dan pengembangan energi baru terbarukan - Terdapat 142 desa yang memiliki potensi air yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Skala Kecil atau lebih dikenal Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro - Meningkatkan pemanfaatan gas bumi untuk energi listrik - Adanya pembangunan PTLU dengan kapasitas 2 x 25 Megawatt (MW) Anggrek yang terletak di Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara. - Mengembangkan energi alternatif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan - Pengembangan WKP Panas Bumi di Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo Utara 67

68 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Barat Gorontalo Energi (BBM dan Gas) Infrastruktur air bersih Pengendalian Distribusi BBM dan LPG Optimalisasi pemenuhan kebutuhan infrastruktur membutuhkan penanganan terpadu guna menjamin keberlanjutan akan ketersediaan air baku melalui pelaksanaan konservasi hutan dan pengendalian sedimentasi - Belum optimalnya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air bersih, khususnya pada wilayah pesisir dan daerah kritis air - Belum optimalnya pengelolaan air tanah yang diakibatkan belum tersedianya pemetaan CAT untuk pendayagunaan air tanah. dibeberapa titik yang tersebar di Kabupaten Poso dan Donggala dengan potensi berkisar antara 20 s/d 40 Mwe. - Rendahnya kemampuan fiskal daerah untuk membiayai pembanguanan infrastruktur di Provinsi Sulawesi Tengah sebagai pembangkit tenaga listrik. - Biaya investasi awal untuk menggunakan teknologi penghasil energi yang lain masih tinggi. - Belum ada upaya serius untuk mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) dengan memanfaatkan komoditi lokal seperti kelapa, aren, dan balacae masih rendah. untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) - Perubahan iklim yang tidak menentu serta pemanasan global yang memberi pengaruh terhadap ketersediaan air permukaan maupun dalam tanah. (PLTMH). - Luas areal kelapa sawit yang ada sebesar Ha dan produksi sebesar Ton pertahun, diperkirakan akan memberikan energi sebesar 30,769 GWh pertahun bila residu sawit (EFB, Serat, dan Tempurung) 42% dan kandungan energinya 0,282 MWh per ton - Kurangnya pasokan Listrik, Minyak dan Gas Bumi - Kurang tertibnya pendistribusian lalulintas BBM dan LPG 3 kg - Pembuangan limbah industri dan rumah tangga ke daerah aliran sungai yang mengakibatkan pencemaran sumber air bersih masih terjadi. 68

69 Aspek Isu Strategis Kondisi Saat Ini Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Barat Gorontalo Pertambangan Peningkatan kualitas lingkungan sekitar tambang dengan menertibkan pencemaran limbah pertambangan - Pembuangan limbah perusahaan yang tidak sesuai prosedur dan keberadaan banyak - Terdapat penambang liar yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Peraturan dan Kebijakan Bencana Penataan kawasan pertambangan Mitigasi bencana khususnya bencana alam geologi - Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi Tengah baik tingkat provinsi maupun kabupaten / kota sebagai acuan pengembangan investasi - Tumpang tindihnya ijin yang dikeluarkan oleh Pemeerintah Kabupaten/Kota - Pemerintah belum menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) menyebabkan makin banyaknya PETI di Sulawesi Utara - Maraknya penambangan tanpa izin - Banyaknya tumpang tindih lahan izin usaha pertambangan - Tingginya kuantitas bencana alam geologi di Provinsi Sulawesi Barat 69

70 70

71 BAB 3 REVIEW RPJMN Permasalahan dan Isu Strategis Sektor Sumber Daya Energi pada RPJMN Dalam lima tahun mendatang, isu-isu strategis di sektor energi akan berkaitan dengan gap yang semain lebar antara kebutuhan energi dengan pasokan energi. Konsumsi BBM, misalnya, akan terus meningkat dengan pertumbuhan diperkirakan mencapai 4,33 persen per tahun. Demikian juga dengan kebutuhan listrik yang semakin tinggi seiring dengan semakin berkembangnya industri manufaktur dan industri pengolahan komoditi. Dilain pihak, produksi minyak bumi tidak akan beranjak banyak dari tingkat produksi dalam dua-tiga tahun terakhir ini. Produksi gas akan meningkat, namun pemanfaatannya akan terkendala oleh infrastruktur gas yang masih terbatas. Secara ringkas pencapaian sampai tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel Produksi dan Cadangan Minyak dan Gas Bumi Sepanjang lima tahun terakhir ini, produksi rata-rata minyak bumi dibawah 1 juta barel per hari. Tingkat produksi yang cukup rendah ini terutama disebabkan oleh sebagian besar produksi minyak bumi berasal dari ladang minyak tua (mature), di mana tingkat produksinya terus mengalami penurunan (natural depletion). Ladang atau sumur minyak yang sudah lama berproduksi terutama yang berlokasi di Sumatera (Minas dan Duri) dan Kalimantan. Jumlah lapangan mature ini sekitar 60 persen dari total lapangan minyak yang saat ini ada, yakni sekitar 670 lapangan minyak. Sumur-sumur yang masih penuh berproduksi (undepleted wells) terletak di sekitar laut Jawa dan Sulawesi (12 persen), sedangkan sumur-sumur baru yang masih dalam early production (20 persen) ataupun dalam tahap eksplorasi atau undeveloped wells (6 persen), umumnya terletak di wiayah timur Indonesia. 71

72 Tabel 16 Pencapaian Tahun dan Perkiraan Tahun Sasaran Indikator Satuan Baseline (2009) Target (2014) Perkembangan Pencapaian Perkiraan Capaian Produksi Minyak Bumi Ribu Barrel/Hari *) Meningkatnya Produksi Gas Bumi Ribu Barrel setara Minyak/Hari Kapasitas Energi Kapasitas Pembangkit Tambahan (MW) Terpasang (Kumulatif MW) MW/ Tahun Rasio Elektrifikasi Persen 65, ,15 72,95 76,56 79,30 81,4 Meningkatnya Pemanfaatan Panas Bumi Kapasitas PLTP Terpasang (Kumulatif MW) ,6 Meningkatnya Konversi Penggunaan Gas Pembangunan Kota/Sambungan Rumah 2/ 6/ 9/ 13/ 17/ 21/ 19/ Jaringan Gas Kota (Kumulatif) Pembangunan SPBG Unit (Kumulatif) n.a 21 FEED

73 2011 BPMIGAS All rights reserved Peningkatan produksi selanjutnya dari lapangan yang sudah mature, yakni produksi dari secondary/tertiary recovery, dibutuhkan teknologi baru dan mahal (Enhanced Oil Recovery - EOR) 7. Pemanfaatan teknologi EOR ini masih terbatas di beberapa sumur, seperti teknologi steam-flooding (injeksi uap) di lapangan minyak Duri (Chevron Pacific Indonesia CPI), sejak tahun , dan teknologi Water Flooding (injeksi air) di lapangan minyak Intan, Vita, Aryani, Widuri, Krisna, dan Widuri West (CNOOC); lapangan NE Air Serdang, dan Guruh (JOB Pertamina-Talisman); lapangan Kaji-Semoga (Medco); lapangan Pungut, dan Balam South (CPI); Sabak (BOB); lapangan Kenali Asam, dan Tempino (PT Pertamina). Sedangkan penggunaan teknologi ini di sumur-sumur lainnya masih dalam taraf feasibility study atau penelitian BPMIGAS. All rights reserved. The information consist in this document is exclusively designed and prepared for BPMIGAS purposes only. No part of this publication can be reproduced, stored in an information access system, used Gambar 3 Pemanfaatan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di lapangan minyak (BP Migas, 2012) 8 7 Enhanced Oil Recovery adalah metoda untuk menambah jumlah minyak yang bisa diambil setelah melalui tahap primary dan secondary recovery. EOR biasa juga disebut tertiary recovery yang prinsipnya adalah meng-introduce material lain yang dapat mengubah sifat fisik batuan dan/atau fluida sehingga memudahkan minyak mengalir ke sumur-sumur produksi (BP Migas, 2012). 8 Lapangan minyak Duri, yang terletak di Sumatera, ditemukan pada tahun Lapangan ini mulai berproduksi (primary) pada tahun 1958, dan mencapai puncaknya pada sekitar tahun 1964 dengan produksi mencapai 50 ribu per barel. Pada tahun 1975 pertama ali dilakukan tes uji coba EOR (Thermal Testing), dan diperlukan sekitar 10 tahun sebelum Steam-Flooding EOR dapat diterapkan untuk meningkatkan produksi (secondary/tertiary). Mulai tahun 1985, sumur-sumur di lapangan ini menerapkan Steam-Flooding EOR. Produksi awal EOR mencapai 30 ribu barel/hari dan mencapai puncaknya dengan tingkat produksi 296 ribu barel/hari (1994). Produksi minyak rata-rata dari lapangan Duri dengan EOR ini mencapai 200 ribu barel/hari. 73

74 Pemanfaatan teknologi EOR ini juga akan dilakukan di beberapa sumur lainnya dalam tahun-tahun mendatang, seperti teknologi Water Flooding di lapangan minyak Pedada dan Beruk (BOB); teknologi CO 2 Flooding di lapangan minyak Jati Barang dan N. Gerai (PT Pertamina), teknologi Chemical/surfactant Injection di Minas (CPI), Kaji- Semoga (Medco), Tanjung dan Limau (PT Pertamina), Zamrud (BOB), Handil (Total); teknologi Steam Flooding di lapangan N. Duri, Batang, dan Kulin (CPI), serta teknologi Microbialdi lapangan minyak KS/TMP/LS (PT Pertamina). Gambar 3 memperlihatkan sebaran dan jenis teknologi EOR yang sudah/akan diterapkan di beberapa lapangan minyak. Di samping diperlukan waktu yang lama untuk melakukan kelayakan teknologi EOR, ada beberapa tantangan yang diidentifikasi dapat menghambat penggunaan tekbologi EOR guna melakukan produksi dari secondary/tertiary recovery, antara lain: i) keterbatasan informasi subsurface disekitar sumur, terutama yang berkaitan dengan karakteristik reservoir dan pengelolaan reservoir; ii) ketersediaan teknologi EOR yang sesuai dengan kondisi sumur, sehingga diperlukan uji coba teknologi (Research and Development R&D) yang sesuai; iii) diperlukan biaya yang besar, terutama untuk R&D, sehingga ada potensi mengurangi cash flow secara signifikan; iv) keterbatasan sumber daya manusia yang menguasai teknologi EOR; v) keterbatasan supplier chemical/steam dalam jumlah banyak yang digunakan sebagi surfactant guna mengurangi kerekatan antara minyak dan batuan; vi) keterbatasan aturan mengenai intellectual property rights dari teknologi EOR yang dikembangkan,; dan vii) keterbatasan/kesulitan dalam memitigasi dampak negatif lingkungan, terutama apabila lapangan/sumur minyak berada di daerah dengan padat penduduk. Guna mendorong peningkatan produksi minyak, langkah-langkah antisipasi untuk melakukan tahapan Secondary/Tertiary Recovery, termasuk panerapan EOR, perlu dirancang sejak persetujuan Plan of Development (POD) I untuk kontrak-kontrak PSC yang baru. Insentif untuk secondary/tertiary recover ini dapat diberikan melalui beberapa cara, antara lain adalah melalui mekanisme split yang memungkinkan adanya penambahan bagian KKKS untuk memperhitngkan tambahan pengeluaran untuk R&D dan Feasibility Study EOR yang akan diterapkan. Di samping itu, insentif dapat juga diberikan melalui mekanisme investment credit, dan Domestic Market Obligation (DMO). Mekanisme-mekanisme ini dapat secara langsung dan jelas diatur di dalam kontrak kerja sama, PSC. Di samping itu, ada juga insentif yang secara tidak langsung 74

75 di atur melalui PSC, antara lain adalah melalui peyempurnaan split namun tidak secara eksplisit dituliskan didalam PSC, dan/atau melalui kerjasama antara KKKS dengan Pemerintah dalam melakukan pilot project bersama di dalam penerapan EOR. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract PSC), baik perusahaan swasta internasional/nasional maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN (Pertamina EP) menyumbang sekitar persen dari produksi minyak bumi nasional. Sekitar persen ( ribu barel/hari) berasal dari lapangan minyak yang dikelola oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Sumatera, yakni lapangan Duri dan Minas (SLC - Sumatran Light Crude). Produksi minyak dari lapangan Duri dan Minas sudah mulai menurun. Dalam tahun mendatang, produksi minyak diperkirakan hanya mencapai 700 ribu barel/hari, dan tambahan produksi baru terbesar berasal dari lapangan Banyu Urip di Cepu (130 ribu barel/hari) Pertamina EP. Belum lengkapnya regulasi mengenai pengawasan dan enforcement dalam penyediaan energi karena belum diterapkannya punishment bagi KKS yang tidak memenuhi target POD lifting migas. Kontrak unconventional gas PSC (shale gas, coal bed methane/cbm) masih sangat terbatas. Meskipun umlah cadangan unconventional gas sangat besar, kegiatan eksplorasi gas tersebut masih terbatas dan belum menjadi perhatian perusahaan migas besar. Potensi cadangan CBM mencapai 453 TCF (trillioncubic feet) dan shale gas mencapai 574 TCF. Pilot project untuk eksplorasi CBM di lapangan gas Rambutan (2004) di Provinsi Sumatera Selatan, dan saat ini telah ditandatangani beberapa kontrak eksplorasi CBM di Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan CBM untuk pembangkit listrik telah dilakukan dalam skala kecil, sejak tahun Saat ini telah teridentifikasi beberapa cekungan (basin) dari shale gas, seperti di Sumatera (2), Jawa (3), Kalimantan (2) dan Papua (1). Insentif telah diberikan untuk mempercepat kegiatan eksplorasi gas unconventional, antara lain: split yang fleksibel tergantung dari kondisi lapangan, cost recovery 100%, dengan kontrak 30 tahun. Pengembangan lapangan CBM terkendala oleh rezim perizinan yang belum lengkap (hak eksploitasi dan penguasaan lapangan dikeluarkan oleh dua lembaga/ditjen berbeda). Pengembangan shale gas terkendala oleh belum terakuisisinya teknologi hydraulic fracture/cracking oleh pelaku industri migas dalam negeri, serta penanganan dampak lingkungan/water waste yang banyak. 75

76 3.1.3 Penganekaragaman Sumber Daya Energi Primer (Diversifikasi) Harga energi belum dapat mendorong diversifikasi energi yang sehat. Harga BBM bersubsidi menyebabkan energi lainnya tidak kompetitif. Pemanfaatan energi terbarukan, terutama panas bumi, untuk pembangkit listrik masih terbatas. Hal ini disebabkan adanya konflik pemanfaatan lahan, di mana sebagian besar lapangan panas bumi terletak di hutan lindung/konservasi, serta harga produksi listrik yang relatif tinggi. Pemanfaatan gas juga terhambat, karena harga yang relatif rendah, sehingga pasokan gas tidak dapat trjamin dan infrastruktur gas tidak dapat terbangun Pemanfaatan Panas Bumi Pengembangan lapangan panas bumi untuk pembangkit listrik terhambat. Potensi panas bumi untuk pembangkit listrik mencapai MW, namun sampai saat ini (2013) baru 1.343,5 MW (4,7 persen) yang dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Untuk penyediaan pasokan energi panas bumi jangka menengah dan panjang perlu segera diaktifkan lapangan panas bumi yang telah ditetapkan sebanyak 58 Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP). Dalam lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) hanya mencapai 157 MW. Lapangan panas bumi umumnya terletak di kawasan hutan lindung dan konservasi, sehingga pengembangannya memerlukan persiapan yang matang dan waktu yang lama. Konflik lahan seperti ini membutuhkan solusi, baik dalam hal mekanisme pengambilan keputusan maupun metoda/alat/analisa yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Saat ini, insentif dan instrumen fiskal telah diterapkan, baik berupa penyiapan dana eksplorasi terbatas guna memitigasi sebagian resiko eksplorasi, maupun feed-in tarif, namun belum mampu mempercepat pengembangan lapangan secara sistematis. Untuk wilayah kerja pengusahaan (WKP) lapangan panas bumi yang telah diserahkan kepada pemerintah derah untuk dikembangkan, mekanisme lelang belum memberikan kenyamanan (comfortibility) bagi pengembang panas bumi yang berkualitas untuk ikut-serta dalam proses pelelangan WKP. Harga jual listrik panas bumi berkisar di antara US$ 9-16 sen per kilo watt hour (kwh), relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual listrik dari batubara, sebesar US$ 7-9 sen/kwh yang menjadi basis bagi pembelian listrik dari off-taker listrik nasional, yakni Perusahaan Lisrtik Negara (PLN). Feed-in tariff untuk memasukkan faktor eksternalitas dari panas bumi, sebagai sumber energi bersih mengurangi emisi 76

77 gas rumah kaca belum melembaga dan pendanaannya belum dimasukkan sebagai bagian dari APBN. Di samping itu, dengan aturan perundangan yang saat ini berlaku, harga jual listrik yang mejadi basis dari kontrak jual-beli listrik (Power Purchase Agreement PPA) dengan PLN umumnya belum mendasarkan informasi yang akurat mengenai kualitas reservoir panas bumi. Ketidakpastian ini menjadikan biaya feed-in tariff dari panas bumi masih mengalami kesulitan untuk dibebankan ke dalam APBN Pemanfaatan LPG dan Gas Bumi Produksi gas cukup stabil, namun penggunaannya di dalam negeri masih belum maksimal. Pemanfaatan gas untuk kebutuhan industri di dalam negeri, seperti untuk bahan baku di industri pupuk dan bahan bakar untuk pembangkit listrik dan industri manufaktur, cukup meningkat, namun masih belum dapat memenuhi kebutuhan gas secara nasional. Pada tahun 2013, pasokan gas ke dalam negeri mencapai MMSCFD, atau sekitar 52,1 persen dari total produksi gas nasional. Pasokan gas untuk tiga pengguna strategis, pembangkit listrik, pupuk, dan industri manufaktur, masingmasing mencapai 912,42; 735,84; dan 1.345,05 BBTUD, namun angka ini jauh lebih rendah dari angka kebutuhan gas nasional yang mencapai 7.937,09 BBTUD. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) serta harga gas yang relatif rendah, dibandingkan dengan BBM, telah memicu konsumsi gas secara signifikan. Gas sebagai bahan baku untuk industri pupuk sangat penting, karena masih langkanya bahan baku pangganti. Permintaan pupuk meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, dan memicu peningkatan permintaan gas bumi. Laju pertumbuhan rata-rata permintaan gas dalam lima tahun terakhir untuk industri pupuk ini mencapai 12 persen per tahun. Demikian juga permintaan gas untuk sektor industri manufaktur, yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 8 persen per tahun. Walaupun pemanfaatan gas untuk pembangkit tenaga listrik dalam beberapa terakhir mengalami penurunan, dari 948,6 BBTUD (2012) dan 912,4 BBTUD (2013) karena adanya peralihan ke pembangkit dengan bahan bakar batubara (PLTU) namun dalam lima tahun kedepan permintaan gas akan kembali meningkat, seiring dengan laju pertumbuhan kebutuhan listrik nasional. 77

78 Persentase Volume (%) % % 80.00% 98.86% 79.66% 67.96% 77.56% 87.20% 60.00% 51.90% 48.10% 40.00% 20.00% 0.00% 32.04% 20.34% 22.44% 12.80% 1.14% Tahun Minyak Tanah LPG (setara minyak tanah) Sumber: Kementerian ESDM, 2012 Gambar 4 Perbandingan Penggunaan Minyak Tanah dan LPG Di samping ketiga pengguna strategis, gas juga dialokasikan untuk sektor rumah tangga. Konversi BBM jenis minyak tanah ke LPG sudah berhasil menaikkan konsumsi LPG dan menurunkan konsumsi minyak tanah. Bila pada tahun 2007, persentase penggunaan minyak tanah (98,86 persen) lebih tinggi dari LPG (1,14 persen), hal ini berbanding terbalik pada tahun 2012 (12,80 persen vs 87,20 persen) sebagaimana Gambar 4. Saat ini konsumsi minyak tanah mencapai 1,11 juta KL, jauh menurun dibandingkan dengan konsumsi minyak tanah pada tahun 2010, sebesar 2,35 juta KL. Pada tahun 2013, konsumi LPG rumah tangga mencapai 4,40 juta ton, dengan laju pertumbuhan rata-rata 2 persen per tahun. Karena kapasitas kilang LPG nasional terbatas, kebutuhan LPG ini sebagian besar dipenuhi melalui impor. Pasokan gas ke industri dalam negeri terkendala oleh keterbatasan kapasitas infrastruktur gas, yakni pipa transmisi dan distribusi gas, serta fasilitas/terminal regasifikasi. Saat ini pipa transmisi yang ada sepanjang 3.773,82 km, menghubungkan lapangan-lapangan gas di Sumatera ke pusat permintaan gas di Jawa Barat. Namun demikian, kapasitasnya masih terbatas, dan pusat-pusat permintaan gas di Jawa, sepanjang pantai utara Jawa Barat, Tengah, dan Timur, belum terhubung oleh pipa transmisi secara terpadu. Demikian juga jaringan gas distribusi baru dibangun di beberapa kota besar dengan kapasitas terbatas, dengan sebanyak 73 ribu sambungan rumah tangga di 13 kota. Fasilitas atau terminal penerima dan regasifikasi LNG masih belum terbangun sesuai degan kebutuhan, sehingga pasokan gas dalam bentuk LNG 78

79 masih terbatas. Floating Storage/Receiving Unit (FSRU) yang terletak di Teluk Jakarta baru selesai dibangun (2012), dan saat ini baru dapat menerima pasokan LNG sebesar 3 MMTPA. Tabel 17 Pemanfaatan BBG untuk Sektor Transportasi Pembangunan Oleh Pemerintah sd Partisipasi Jumlah SPBG yang Alokasi Gas 2014 Badan Usaha Wilayah Kendaraan Membangun dibutuhkan (MMSCFD) Umum Jaringan Konventer SPBG SPBG Mulai Pipa (km) KIT 2015 Jabodetabek ,1 9*) 109,2 59 Jawa Timur (Surabaya, Gresik, Sidoarjo) ,2 4-9 Sumsel ,2 4-1 (Palembang) **) Kaltim (Balikpapan) Jawa Tengah (Semarang) ,0 - Kepri (Batam) ,8 - Total , ,0 69 Fasilitas penyaluran bahan bakar gas untuk sektor transportasi juga masih sangat terbatas, dan masih terpusat di beberapa kota besar, serta masih melayani sebagian kecil dari kendaraan umum. Sampai saat ini (2013), jumlah SPBG yang dibangun pemerintah baru mencapai 16 unit yang tersebar di di Jabodetabek, Palembang, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Balikpapan, dan yang dibangun Badan Usaha sebanyak 25 unit, juga tersebar di Jabodetabek, Surabaya, dan Pekanbaru, serta 22 km jaringan pipa gas, dan konverter kit unit. Harga jual BBG rendah sehingga tidak menjamin pasokan gas dan infrastruktur gas (SPBG dan jaringan gas) yang diperlukan Pemanfaatan Batubara Produksi batubara meningkat namun pemanfaatannya di dalam negeri masih 79

80 terbatas dan menghadapi tantangan isu lingkungan. Produksi batubara meningkat cukup pesat sejalan dengan peningkatan permintaan domestik dan ekspor. Pada tahun 2013, produksi batubara mencapai 421 juta ton, meningkat dibandingkan dengan produksi pada tahun 2012, yang mencapai 386 juta ton. Namun sebagian besar produksi batubara, terutama yang berkalori tinggi (kandungan kalori diatas kalori/gr), diserap oleh pasar ekspor. Pada tahun 2013, ekspor batubara mencapai 83 persen dari total produksi nasional. Jenis batubara yang di konsumsi di dalam negeri umumnya berkalori sedang (dengan kandungan kalori/gr) dan rendah (lignite) dengan kandungan dibawah kalori/gr, atau disebut dengan low rank coal. Penggunaan batubara kalori rendah untuk pembangkit listrik, pada tahun 2013 mencapai sekitar 59 juta ton, atau sekitar 14 persen dari total produksi batubara. Jumlah cadangan batubara dengan jenis low rank coal mencapai 8,7 miliar ton, atau sekitar 41 persen dari total cadangan batubara nasional. Pemanfaatan batubara jenis ini memerlukan teknologi khusus melalui proses upgrading brown coal, sehingga kadar airnya dapat diturunkan, dan pengangkutannya akan lebih ekonomis. Pengubahan batubara menjadi cair (Coal Liquifaction) akan sangat diperlukan guna memanfaatkan batubara menjadi bahan bakar sintetik atau bahan bakar cair pengganti BBM untuk sektor transportasi. Demikian juga pengubahan batubara menjadi gas (Coal Gasification), untuk menghilangkan kandungan/senyawa sulfur dan abu, dapat bermanfaat untuk pembangkit listrik jenis Integrated Gas Coal Combined Cycle (IGCC) sehingga tingkat efisiensinya lebih tinggi, dan emisi CO 2 nya dapat dikurangi. Saat ini penerapan beberapa teknologi bersih (Clean Coal Technology) ini masih terbatas sebagai obyek penelitian dan pilot project, dan belum diterapkan secara komersial karena penerapannya memerlukan biaya yang cukup besar. Dengan jumlah cadangan yang besar ini, batubara merupakan sumber energi yang cukup untuk dapat menutup kekurangan sumber energi, setelah minyak, gas, dan energi terbarukan. Namun demikian pemanfaatannya memerlukan beberapa upaya besar, agar pemanfaatannya dapat dilakukan ecara ekonomis dan emisinya dapat di kurangi Peningkatan Produktivitas dan Pemerataan Pemanfaatan Energi Pada saat ini Indonesia merupakan pengguna energi yang boros. Hal ini ditunjukkan dengan besaran intensitas energi yang tinggi, manajemen energi serta regulasi reward/punishment belum terlembaga dan tenaga untuk melakukan audit 80

81 energi terbatas. Di samping itu, insentif dan fasilitas perbankan untuk mendukung upaya penghematan energi juga belum tersedia. Ada kecenderungan masyarakat untuk menggunakan energi secara berlebihan, karena harga energi (BBM/listrik) yang rendah tidak mencerminkan ongkos produksi serta tingkat kepedulian masyarakat atas pentingnya upaya penghematan yang rendah. Potensi penghematan energi di sektor industri, transportasi, komersial dan rumah tangga relatif tinggi sebesar: persen. Sesuai PP No. 70 Tahun 2009, sasaran dari upaya efisiensi energi ditujukan ke tiga kelompok: pemanfaatan/pengguna energi industri, transportasi, komersial, dan rumah tangga penyediaan energi kegiatan explorasi dan produksi energi, dan pengusahaan energi pembangkit listrik, transmisi/distribusi, dan kilang minyak. Target penurunan konsumsi energi melalui penghematan mencapai 17 persen dari BAU pada tahun 2025, dan penurunan intensitas energi nasional 1 persen per tahun. Insentif dan fasilitas perbankan untuk mendukung upaya penghematan energi belum tersedia. Peraturan perbankan dari BI belum dapat mengakomodasi pinjaman kredit lunak untuk investasi efisiensi energi, sedangkan perusahaan ESCO (Energy Service Company), diharapkan dapat menjadi jembatan/ intermediasi perbankan dengan industri saat ini yang belum berkembang. Akses energi yang tidak merata terutama jika dilihat dari rasio elektrifikasi dan layanan BBM. Kondisi kepulauan dan demografi menjadi salah satu faktor utama penyebabnya di samping sumber daya energi dan tingkat kebutuhan energi di daerah yang bervariasi. Rasio elektrifikasi menunjukkan ketimpangan pelayanan energi listrik antar daerah. Provinsi di Pulau Jawa memiliki akses yang jauh lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Papua dan NTT merupakan dua provinsi dengan akses listrik yang paling rendah. Pemerintah, BUMN, dan swasta mempunyai peran yang saling mendukung dalam membangun/mengelola infrastruktur energi, Tiga modalities institusi kerja sama dalam pembangunan infrastruktur energi: Public Private Partnership (PPP), Penyertaan Modal Pemerintah (PMP), dan Joint Operating Company (JOC). Pemerintah menyiapkan infrastruktur dan anggaran untuk penyediaan energi secara bertahap, tergantung sumber pendanaannya, proyek infrastruktur energi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni proyek PPP, BUMN, dan proyek pemerintah. APBN Rupiah Murni dapat membiayai ketiga kategori tersebut, dalam bentuk investasi proyek pemerintah, penyertaan modal (BUMN), garansi (BUMN dan PPP), ataupun 81

82 memfasilitasi proses transaksi/pengelolaan (PPP). Infrastruktur penyediaan BBM energi yaitu depot, pipa, kapal belum merata sehingga akses energi terbatas. 3.2 Permasalahan dan Isu Strategis Sektor Mineral Pertambangan dan Batubara pada RPJMN Pada sektor pertambangan, permasalahan utama adalah kurangnya kepastian hukum yang disebabkan banyaknya tumpang tindih baik antar Wilayah Ijin Usaha Pertambangan maupun dengan kawasan hutan atau perkebunan. Konflik fungsi peruntukan lahan ini telah mengurangi jaminan hukum dalam pengusahaan pertambangan. Untuk itu perlu ada harmonisasi yang lebih efektif antara pemanfaatan potensi mineral dan batubara dengan pelestarian jasa lingkungan kawasan hutan. Oleh karenanya pemerintah mencoba memfasilitasi melalui kegiatan rekonsiliasi bersama Pemerintah Daerah terhadap status daerah Kuasa Pertambangan (KP) yang sudah ada untuk dikonversi menjadi Ijin Usaha Pertambangan dengan mensyaratkan status Clear and Clean. Belum ditetapkannya Wilayah Pertambangan sebagai amanat dari UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan menjadi salah satu kendala untuk penerbitan IUP baru sehingga investasi yang berkembang saat ini lebih pada tahapan eksploitasi atau penambangan. Investasi di hulu atau pada tahapan eksplorasi sangat sedikit sehingga dikhawatirkan kontribusi sektor pertambangan akan stagnan di masa mendatang. Selain itu lambatnya proses penetapan WP beserta WIUP akan menumbuhkan potensi penambangan liar tanpa ijin (PETI) atau illegal mining. Sebagai persiapan penerapan mekanisme lelang wilayah ijin usaha pertambangan (WIUP) di daerah, kapasitas pengelolaan database dan informasi geologi sumber daya mineral di daerah masih terbatas. Selain itu, peningkatan kapasitas database menjadi sangat perlu dengan adanya kewenangan pemerintah untuk menyusun neraca sumber daya mineral dan batubara. Permasalahan lainnya adalah kurangnya pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup pada proses penambangan akibat belum optimalnya kapasitas pemerintah daerah, baik dari kelembagaan maupun sumber daya manusianya. Permasalahan pertambangan rakyat menjadi permasalahan tersendiri walaupun sudah diatur dalam UU No. 4 tahun 2009 dan PP No. 23 tahun 2010 tentang 82

83 Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara namun dalam implementasinya seringkali mengabaikan kelestarian lingkungan, keselamatan kerja. Penataan pertambangan rakyat secara lebih baik selain akan meningkatkan konservasi pertambangan mineral dan batubara dan perlindungan lingkungan juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Kegiatan usaha pertambangan banyak menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup fisik meliputi air, udara, tanah, dan bentang alam, ataupun nonfisik seperti sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Persyaratan lingkungan yang semakin ketat di tingkat nasional dan internasional memerlukan perhatian yang semakin besar terhadap aspek lingkungan hidup dalam kegiatan pertambangan. Di samping itu, pembangunan pertambangan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya alam belum dilaksanakan, ditata, dan dikembangkan secara terpadu dengan pembangunan wilayah dalam suatu kerangka tata ruang yang terintegrasi. Kegiatan eksplorasi dan pengusahaan pertambangan pada masa mendatang cenderung menghadapi tantangan yang mengarah ke daerah yang terpencil dan marginal. Hal ini menuntut upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan yang lebih maju. Oleh karenanya pembangunan sektor pertambangan di masa mendatang akan dihadapkan pada kebutuhan sumber daya manusia profesional dalam penguasaan teknologi tenaga-tenaga pertambangan baik dari segi jumlah maupun kualitas. Pertumbuhan industri pertambangan dalam perekonomian nasional tahun mencapai 5,19 persen sementara pertumbuhan industri semen dan galian non logam hanya 1,09 persen. Bahkan industri logam dasar, besi dan baja justru melambat 0,83 persen. Selama ini sektor yang memanfaatkan produk pertambangan seperti industri peralatan, mesin dan alat transportasi relatif tumbuh stabil sebesar 6,92 persen, dan sektor kontruksi sebesar 7,41 persen. Hal ini menunjukkan industri hulu produk pertambangan tidak/kurang berperan dalam mendukung sektor hilir.sampai saat ini keterkaitan usaha pertambangan dengan industri pengolahan dan sektor-sektor lainnya belum optimal berkembang. Hal ini berakibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh nilai tambah yang potensial, serta ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor bahan baku hasil tambang. Dalam kaitan itu, peningkatan industri pengolahan hasil tambang, pengembangan serta penerapan standardisasi produk dan jasa pertambangan, merupakan tantangan yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam rangka 83

84 pengembangan keterkaitan usaha pertambangan dengan sektor industri secara efisien. Permintaan akan komoditi tambang, terutama batubara, dari luar negeri meningkat dari tahun ke tahun, terutama apabila harga minyak mentah dunia meningkat. Peningkatan permintaan ini diikuti dengan peningkatan produksi dan ekspor batubara. Namun di lain pihak, kebutuhan batubara di dalam negeri meningkat dengan tajam, terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik. Ke depan, Domestic Market Obligation (DMO) bagi pengusaha batubara menjadi sesuatu yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan batubara untuk dalam negeri. Untuk mendukung kebijakan DMO ini, perlu adanya peningkatan kapasitas infrastruktur. Apalagi dengan adanya perbedaan lokasi supply-demand batubara sehingga diperlukan moda transportasi laut yang handal dan pelabuhan yang memadai untuk mengantisipasi cuaca buruk. Amanat UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU No. 12 tahun 2008 tentang Otonomi Daerah, memberikan peran lebih besar kepada daerah belum diikuti dengan peningkatan kemampuan teknis/manajerial aparat Pemerintah Daerah. Karakteristik industri pertambangan yang unik dan khusus memerlukan pemahaman yang mendalam, baik dari segi teknis penambangan, pembiayaan, maupun penanganan dampak sosial/lingkungan dari kegiatan penambangan, termasuk reklamasi dan konservasi. Rendahnya kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan serta kurang harmonisnya peraturan perundangan lintas sektor, menyebabkan timbulnya permasalahan dalam perijinan, pengawasan eksploitasi, produksi, serta pengendalian dampak lingkungan dan konflik lahan Perkembangan Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara Sampai saat ini telah dicapai berbagai hasil dan kemajuan di sektor pertambangan mineral dan batubara. Hasil ini merupakan tumpuan yang kuat untuk memasuki pembangunan jangka menengah mendatang. Salah satu amanat dari UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah kewajiban pemegang kontrak/perjanjian pertambangan untuk menyesuaikan ketentuan-ketentuan dalam kontrak dengan ketentuan dalam UU No. 4 tahun Di samping itu, UU ini juga mengamanatkan kewajiban perusahaan tambang yang sudah berproduksi untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam rangka 84

85 optimalisasi peningkatan nilai tambah, menjamin ketersediaan bahan baku industri dalam negeri, membantu penyerapan tenaga kerja dan peningkatan penerimaan negara. Dalam lima tahun terakhir ini, penerimaan negara dari pertambangan umum mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2009, penerimaan tersebut sebesar Rp. 51,2 triliun dan meningkat menjadi Rp. 122,2 triliun pada tahun 2012 serta pada tahun 2013 meningkat menjadi 145,1 triliun. Peningkatan penerimaan negara dari tahun yang paling besar berasal dari pajak yang mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat per tahun dari Rp. 36,1 triliun menjadi Rp. 97,1 triliun. Sementara, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meningkat hanya sebesar 10,1 triliun rupiah (22 persen per tahun). Peningkatan penerimaan negara ini tidak lepas dari peningkatan harga komoditas pertambangan yang cukup pesat sehingga terjadi peningkatan keuntungan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan. Sebagai contoh, harga batubara acuan (HBA) Indonesia yang naik dari 70,70 USD/ton di tahun 2009 menjadi 95,48 USD/ton di tahun 2012 (ESDM). Sementara untuk sektor mineral, komoditas yang meningkat secara tajam adalah batubara dan timah yang meningkat dari 254 dan 72 ton di tahun 2009 menjadi 386 dan 105 ton di tahun 2012.Pada periode yang sama, investasi mengalami peningkatan dari USD 2,21 miliar menjadi USD 4,20 miliar. Investasi dalam sektor pertambangan terutama di sektor hulu menjadi penting untuk menjaga keberlanjutan sektor pertambangan. Tabel 18 Pertumbuhan Penerimaan Negara dan Investasi Tahun No. Indikator Tahun (Rupiah Triliun) *) 1 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 15,1 18,6 24,2 25,1 33,1 2 Pajak 36,1 48,3 83,0 97, Investasi (Miliar USD) 2,21 3,19 3,41 4,20 3,77 4 Total 51,2 66,9 107,2 122,2 145,1 Sumber: KESDM 2013 *) Perkiraan capaian 2013 Perkembangan produksi komoditas tertentu pada periode 2009 sampai 2012 umumnya mengalami peningkatan walaupun beberapa komoditas mengalami fluktuasi dan penurunan seperti mineral tembaga dan emas. Produksi batubara dari tahun 2009 sampai 2012 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 52 persen dari 254 juta ton menjadi 386 juta ton. Realisasi produksi ini umumnya melebihi yang ditargetkan pemerintah 85

86 Juta Ton dalam RPJMN sebesar 332 ton pada tahun Tingkat pemanfatan batubara di dalam negeri meningkat dari 56 juta ton (2009) menjadi 72 juta ton (2013). Sebagian besar pemanfaatan batubara di dalam negeri diserap oleh pembangkit listrik tenaga uap, industri semen, industri tekstil, industri pulp, pabrik peleburan nikel dan timah, serta berbagai industri kecil lainnya. Volume ekspor batubara juga meningkat, dari 198 juta ton (2009) menjadi 349 juta ton (2013). Negara tujuan ekspor batubara Indonesia yang utama pada tahun 2012 adalah Cina, India dan Jepang Produksi Ekspor Domestik Gambar 5 Produksi Batubara Untuk komoditi mineral, produksi konsentrat tembaga dan emas secara konstan mengalami penurunan sejak tahun Hal ini disebabkan oleh banyaknya negara yang menjual cadangan emasnya karena resesi global. Sementara untuk komoditi lainnya umumnya mengalami peningkatan. Walaupun sempat menurun di tahun 2010 dan 2011, produksi timah meningkat dari 60 ribu ton di tahun 2009 menjadi 95 ribu ton di tahun Pada tahun 2013, produksi timah menurun mencapai 88 ribu ton. Sementara itu produksi bijih nikel dan bijih besi meningkat cukup signifikan dari masing-masing 6 dan 5 juta ton di tahun 2009 menjadi 37 dan 10 juta ton di tahun 2012, kemudian meningkat menjadi 60 dan 19 juta ton pada tahun Bijih bauksit juga mengalami peningkatan produksi dari 5 juta di tahun 2009 menjadi 29 juta ton di tahun 2012 dan 56 juta ton pada tahun Menjelang tahun 2014 yang merupakan batas waktu penerapan larangan ekspor bahan mentah produk pertambangan. 86

87 Tabel 19 Realisasi dan Rencana Produksi Mineral dan Batubara Tahun No. Indikator Satuan Tahun *) 1 Batubara Juta Ton Konsentrat Tembaga Ribu Ton Emas Ribu Kg Timah Ribu Ton Bijih Nikel Juta Ton Bauksit Juta Ton Bijih Besi Juta Ton Sumber: KESDM 2013 *) Perkiraan capaian 2013 Tabel 20 Ekspor Mineral dan Batubara Tahun No. Indikator Satuan Tahun *) 1 Batubara Juta Ton Tembaga Ribu Ton Konsentrat Tembaga Ribu Ton Emas Ribu Kg Timah Ribu Ton Bijih Nikel Juta Ton Bauksit Juta Ton Bijih Besi Juta Ton Sumber: KESDM 2013 *) Perkiraan capaian 2013 Pada tahun 2012, Pemerintah mulai mengatur pembatasan ekspor bijih melalui Peraturan Menteri ESDM No. 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, yang kemudian diperbarui dengan diterbitkannya Permen ESDM No , dan terakhir dengan diterbitkannya Permen ESDM No. 20/2013 sebelum nantinya akan diberlakukan pelarangan ekspor bahan mentah produk pertambangan di tahun Di samping itu, telah ditetapkan beberapa peraturan tentang tata niaga dan pengendalian ekspor produk tambang yang belum diolah diantaranya Peraturan Menteri Perdagangan No. 29 tahun 2012 tentang 87

88 Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan dan PMK No. 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Penetapan tentang tata niaga dan pengendalian ekspor tersebut mengharuskan setiap eksportir produk pertambangan untuk terdaftar sebagai Eksportir Terdaftar (ET) dan membayar Bea Keluar (BK) sebesar 20 persen dari harga ekspor. Dalam mendukung implementasi kebijakan ini, sudah dikeluarkan berbagai kebijakan insentif di antaranya dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2011 tentang Insentif Pajak Bagi Smelter di Luar Pulau Jawa. Penyesuaian KK dan PKP2B dilakukan untuk menyempurnakan dan memperbaiki semua kontrak dan perjanjian yang ada sesuai dengan amanat UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Terdapat enam isu strategis dalam rangka penyesuaian tersebut, yaitu: (1) luas wilayah kerja, (2) perpanjangan kontrak, (3) penerimaan negara, (4) kewajiban pengolahan dan pemurnian, (5) kewajiban divestasi, dan (6) kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam negeri. Sampai Juni 2013, renegosiasi penyesuaian KK dan PKP2B adalah sebagai berikut: (1) KK, secara prinsip setuju seluruhnya sebanyak 2 Perusahaan, setuju sebagian sebanyak 35 Perusahaan; (2) PKP2B, secara prinsip setuju seluruhnya 10 Perusahaan dan setuju sebagian sebanyak 64 Perusahaan. Selain itu, telah dilakukan sosialisasi kebijakan peningkatan nilai tambah, baik kepada pihak swasta/investor, asing maupun lokal, asosiasi pengusaha pertambangan mineral, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), serta dinas pertambangan di daerah. Sampai saat ini sebanyak 285 perusahaan telah menyampaikan dokumen rencana pengolahan dan pemurnian produk tambang. Terdapat 11 fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral yang berpotensi untuk dibangun dengan rincian pada Tabel 21. Tabel 21 Potensi Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Mineral No Perusahaan Lokasi Komoditas Produk Total Investasi Kapasitas (USD) (Ton) 1 PT. Antam, Tbk Halmahera Timur, Maluku Utara Nikel FeNi Miliar 2 PT.Indonesia Sanggau, Kalimantan Bauksit CGA Juta Chemical Alumina Barat 88

89 Total Investasi No Perusahaan Lokasi Komoditas Produk Kapasitas (USD) (Ton) 3 PT.Bintang Delapan Energy 4 PT Stargate Pasific Resources 5 PT. Meratus Jaya Iron Steel 6 PT. Sebuku Iron Lateric Ore (SILO) Morowali, Sulawesi Tengah Nikel FeNi Juta Konawe Utara Nikel NPI Miliar Sulawesi Tenggara Batu Licin, Besi Pig Iron Juta Kalimantan Selatan Kotabaru, Besi Sponge Miliar Kalimantan Selatan Iron 7 PT. Indoferro Cilegon, Banten Besi Pig Iron Juta 8 PT. Harita Prima Abadi Mineral Tanah Laut, Kalimantan Selatan Bauksit CGA Miliar 9 PT Putra Mekongga Kolaka, Sulawesi Nikel Sponge juta Sejahtera Tenggara FeNi 10 PT. Indosmelt Maros, Sulawesi Tembaga Copper Juta Selatan Cathode 11 PT. Sumber Suryadaya Prima Sukabumi, Jawa Barat Pasir Besi Pelet Besi Juta Sumber: KESDM 2013 *) Perkiraan capaian 2013 Sejumlah peta dan informasi geologi mengenai potensi sumber daya mineral dan energi telah diselesaikan. Pemetaan geologi bersistem, telah diselesaikan seluruhnya, terdiri 58 lembar peta geologi dengan skala 1: untuk Pulau Jawa dan Madura, 162 lembar dengan skala 1: untuk daerah di luar Pulau Jawa dan Madura. Pemetaan gaya berat bersistem di Pulau Jawa dan Madura dengan skala 1: telah diselesaikan sebanyak 49 lembar, sedangkan untuk luar Pulau Jawa dan Madura dengan skala 1: telah selesai sebanyak 75 lembar. Bersamaan dengan itu, pemetaan geologi dasar laut bersistem skala 1: telah diselesaikan sebanyak 17 lembar, peta geologi kelautan regional dengan skala 1: Sebanyak 74 lembar peta hidrogeologi bersistem di luar Pulau Jawa dan Madura skala 1: , sedangkan untuk Pulau Jawa dan Madura peta skala 1: telah diselesaikan sebanyak 5 lembar. Penyelidikan potensi cekungan air tanah tingkat awal telah menyelesaikan 105 cekungan atau 49,1 persen, dan penyelidikan tahap rinci sebanyak 22 cekungan atau 89

90 10,3 persen dari seluruh cekungan air tanah di Indonesia. Di samping itu, telah diselesaikan pemetaan geokimia mineral skala 1: sebanyak 38 lembar, inventarisasi sumber daya mineral skala 1: sebanyak 50 lembar, dan peta penyebaran potensi panas bumi dengan skala 1: ; pemetaan geologi panas bumi skala 1: telah diselesaikan di 52 lokasi; penyelidikan geofisika panas bumi di 29 lokasi; penyelidikan geokimia panas bumi di 19 lokasi; dan pengeboran uji panas bumi di 2 lokasi. Bersamaan dengan itu, diselesaikan pula inventarisasi batubara skala 1: sebanyak 23 lembar atau sekitar 46,0 persen dari seluruh wilayah Indonesia yang mengandung batubara. Berdasarkan inventarisasi sumber daya geologi, sumber daya dan cadangan batubara Indonesia meningkat dari 104,9 miliar ton di tahun 2009 menjadi 119,4 miliar ton. Sementara yangsudah berstatus cadangan meningkat dari 21 miliar ton di tahun 2009 menjadi 28,9 miliar ton di tahun Sumber daya dan cadangan tersebut terutama tersebar di Pulau Sumatera sebear 60 persen dan Pulau Kalimantan 35 persen, sedangkan sisanya tersebar di Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, dan Papua. Sementara sumber daya mineral logam utama yang terdiri dari timah 2 juta ton, nikel 901,2 juta ton, bauksit 924,4 juta ton, emas 1,7 ribu ton, dan perak 8,7 ribu ton. Untuk sumber daya mineral industri: batu kapur 30 miliar ton, dolomit 1,5 miliar ton, kaolin 9,3 juta ton, pasir kuarsa 4,7 miliar ton, belerang 5,7 juta ton, fosfat 4,3 juta ton, bentonit 1,4 miliar ton, feldspar 2,5 miliar ton, zeolit 207 juta ton, pirofilit 550 juta ton, granit 10 miliar ton, dan marmer 8,6 miliar ton. Tabel 22 Sumber Daya dan Cadangan Batubara (Juta Ton) Tahun No. Indikator Tahun Sumber Daya *) , , , ,4 2 Cadangan , , , ,6 Total , , , Sumber: KESDM 2013 *) Tidak termasuk sumber daya hipotetik Sebagai amanat dari UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP No. 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam pemanfaatan ruang bagi usaha pertambangan, telah disusun rancangan WP terdiri dari: (1) Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), 90

91 yaitu wilayah yang memiliki informasi ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi; (2) Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat; dan (3) Wilayah Pencadangan Negara (WPN), dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Rancangan WP ini telah disampaikan kepada DPR untuk dikonsultasikan dan nantinya akan ditetapkan oleh Pemerintah. Saat ini, dari 7 kluster WP yang meliputi pulau dan kepulauan yaitu P. Sumatera, P. Kalimantan, P. Jawa-Bali, P. Sulawesi, P. Papua, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku, telah ditetapkan WP kluster Pulau Sulawesi dan selanjutnya akan ditetapkan untuk kluster WP lainnya. UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengakhiri rezim kontrak/perjanjian dan menetapkan pola IUP dalam pengusahaan pertambangan. Seluruh pemegang KP/SIPD/SIPR diwajibkan melakukan penyesuaian menjadi IUP/IPR. Total IUP yang terdata adalah sebanyak IUP, dimana sebanyak IUP telah diverifikasi sebagai IUP Clear and Clean (CnC) dan IUP Non-Clear and Clean (Non-CnC), yaitu IUP yang secara administrasi perizinannya bermasalah dan atau tumpang tindih (Tabel 23). Tabel 23 Izin Usaha Pertambangan Minerba Mineral Batubara No Indikator Operasi Operasi Eksplorasi Eksplorasi Produksi Produksi 1 Clear and Clean Non-Clear and Clean Total Sumber: KESDM 2013 Keterangan: Status 25 Juli 2013 Untuk menyelesaikan IUP Non-Clear and Clean, telah dilakukan koordinasi antarkementerian, termasuk Kemendagri dan Badan Informasi Geospasial (BIG), untuk melakukan evaluasi dan verifikasi atas keabsahan IUP. Kebijakan pengutamaan pemenuhan batubara dan mineral untuk keperluan dalam negeri (DMO) dilakukan guna menjamin pasokan bahan baku industri di dalam negeri. Pada tahun 2012 target DMO sebesar 82,1 juta ton terdiri atas 40 PKP2B, 1 BUMN dan 22 IUP dan direvisi menjadi 67,3 juta ton. Penurunan ini disebabkan oleh 91

92 mundurnya jadwal COD dari program percepatan pembangunan pengembangan pembangkit listrik (fast track program) tahap I batubara MW. Rencana DMO tahun 2013 sebesar 74,3 juta ton Pertumbuhan PDB dan Industri Pengolahan Pola pertumbuhan PDB sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor industri pengolahan. Pertumbuhan industri selalu lebih tinggi dari pertumbuhan PDB (sebelum 2004), sesudahnya pertumbuhan industri menurun sehingga lebih rendah dari pertumbuhan PDB. Secara perlahan pertumbuhan industri meningkat dan pada kwartal- 3 tahun 2013 pertumbuhan industri sudah menyamai pertumbuhan PDB :Q1 2013:Q2 PRODUK DOMESTIK BRUTO INDUSTRI PENGOLAHAN INDUSTRI NONMIGAS Gambar 6 Pertumbuhan Industri Pengolahan dibandingkan dengan Pertumbuhan PDB ( ) Sumbangan sektor industri terhadap PDB menurun dari 29,1 persen pada tahun 2001 menjadi 23,6 persen pada tahun Namun sektor ini merupakan sektor yang memberikan sumbangan pertumbuhan terbesar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. 92

93 Kontribusi Industri Pengolahan (%) Pertumbuhan PDB (%) Gambar 7 Kontribusi Sektor Industri Pengolahan terhadap Pertumbuhan PDB ( ) Ekspor komoditi non-migas didominasi oleh produk tambang. Dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan ekspor komoditi tambang yang luar biasa. 140, , , , , , , (Jan-Agu) Pertanian 3, , , , , , ,348.8 Industri 11, , , , , , ,896.7 Tambang 76, , , , , , ,699.0 Gambar 8 Ekspor Komoditi Baerbasis Sumber Daya Alam (Pertanian, Industri, dan Tambang) Sebagian besar ekspor Indonesia merupakan komoditas. Proporsi ekspor komoditas terlihat meningkat, di mana sejak tahun 2011 kontribusinya mencapai lebih dari 50 persen. 93

94 Tabel 24 Ekspor Komoditi Berbasis Sumber Daya Alam Kode Nilai (Juta US Dolar) Nama Produk (HS) TOTAL All Products Coal; Briquettes, Ovoids & Similar Solid Fuel Manufactured from Coal Petroleoum Gases Palm Oil & Its Fraction Crude Petroleum Oils Natural Rubber, Balata, Gutta-Percha etc Copper Ores and Concentrates Coconut (Copra), Palm Kernel/ Babassu Oil & Their Fractions Petroleoum Coke, Petroleoum Bitumen & Other Residues of Petroleum Oils Unwrought tin Gold Unwrought or In Semi-Manuf Forms Nickel Ores and Concentrates Coffe Kontribusi Komoditi SDA 48.70% 47.60% 49.60% 53.00% 50.90% Volume ekspor bahan tambang mengalami kenaikan, namun harganya turun (2013). Volume ekspor bahan tambang, terutama bahan bakar mineral (batubara) mengalami penurunan, hal ini yang memberikan kontribusi penurunan terhadap ekspor tambang. Tabel 25 Nilai Ekspor Komoditi Tambang (2013) NilaiEkspor (USD Juta) Pertumbuhan Proporsi HS Komoditas Q Q Q Q (QtQ) (YoY) Q Bahan Bakar Mineral 6.493, ,7-0,2% -8,5% 17,3% 26 Bijih, Kerak, dan Abu 1.338, ,3 3,7% 4,4% 3,7% 94

95 HS Logam Komoditas NilaiEkspor (USD Juta) Pertumbuhan Proporsi Q Q Q Q Q (QtQ) (YoY) 74 Tembaga 457,8 423,1-7,6% 11,8% 1,1% 80 Timah 646,7 657,0 1,6% 22,4% 1,8% Tabel 26 Volume Ekspor Komoditi Tambang (2013) HS Komoditas Volume Ekspor Pertumbuhan Proporsi (Juta/Kg) Q2>2013 Q2>2013 Q1>2013 Q2>2013 Q2>2013 (QtQ) (YoY) 27 Bahan Bakar Mineral , ,5 1,3% 13,3% 66,9% 26 Bijih, Kerak, dan Abu Logam , ,8 7,7% 49,8% 20,4% 74 Tembaga 59,6 61,0 3,4% 35,5% 0,0% 80 Timah 27,6 31,6 14,5% 4,4% 0,0% 95

96 96

97 BAB 4 TANTANGAN DAN SASARAN KE DEPAN 4.1 Energi Pendahuluan Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,23 persen dan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,39 persen pada tahun 2012 mengindikasikan bahwa kebutuhan energi juga akan meningkat karena energi merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi dan mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Saat ini, pertumbuhan konsumsi energi rata-rata per tahun mencapai 7 persen. Kebutuhan energi dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri maupun dari impor. Produksi dalam negeri sebagian besar berasal dari jenis energi fosil yaitu minyak bumi, gas alam, dan batubara. Hanya sebagian kecil saja yang berasal dari jenis energi baru dan terbarukan. Produksi dalam negeri tidak sepenuhnya dapat dikonsumsi di dalam negeri, sebagian di antaranya diekspor ke luar negeri dan menghasilkan penerimaan negara, terutama gas alam dan batubara. Pemanfaatan jenis energi fosil perlu dikelola dengan lebih efisien dan berkesinambungan. Energi fosil merupakan energi yang tidak terbarukan, untuk itu penggunaannya harus dilakukan seefisien mungkin dan dapat dimanfaatkan dalam kurun waktu sepanjang mungkin serta memberikan nilai tambah. Peralihan pemanfaatan energi fosil ke energi baru dan terbarukan harus didorong dan terus dilakukan. Keberpihakan pada energi baru dan terbarukan baik dalam bentuk insentif maupun dukungan riset dan teknologi menjadi kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya. Akses masyarakat dan industri untuk mendapatkan jaminan suplai energi masih perlu ditingkatkan. Produksi gas dan batubara belum secara optimal dapat dimanfaatkan di dalam negeri. Ketersediaan infrastruktur energi sebuah keniscayaan, tanpa infrastruktur maka distribusi energi tidak akan dapat berjalan lancar. Pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar gas, batubara, dan energi baru dan terbarukan harus diperluas untuk menggantikan pembangkit berbahan bakar minyak. Infrastruktur jaringan pipa gas, stasion bahan bakar gas, dan receiving gas terminal perlu dipercepat untuk memanfaatkan gas di dalam negeri. 97

98 4.1.2 Kondisi Kebutuhan dan Penyediaan Energi Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi dan mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan kapasitas energi, pemanfaatan energi alternatif terutama panas bumi, dan melakukan konversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) Kondisi Kebutuhan Energi Final Konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi selalu memiliki hubungan, meskipun arah dari hubungan kausal ini masih diperdebatkan, apakah pertumbuhan ekonomi mendorong konsumsi energi atau sebaliknya bahwa konsumsi energi merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Untuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang tinggi umumnya selalu dibarengi dengan pertumbuhan konsumsi energi yang tinggi juga sehingga untuk perkiraan kebutuhan energi final perlu memperhatikan tingkat output nasional pada pendapatan domestik bruto. Secara makro, selama satu dekade terakhir indonesia termasuk ke dalam negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang stabil. Walaupun secara global ekonomi dunia mengalami beberapa konstraksi di tahun namun sejak tahun 2000, indonesia secara umum mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi dari 3,83 persen menjadi 6,29 persen di tahun Faktor pendorong kebutuhan energi lainnya adalah kondisi demografi Indonesia. Hasil sensus penduduk yang dilaksanakan oleh BPS tahun 2010 menunjukkan laju pertumbuhan penduduk rata-rata dari tahun 2000 sampai 2010 sebesar 1,46 persen. Berdasarkan Buku Proyeksi Penduduk Indonesia yang disusun Bappenas bersama BPS penduduk Indonesia diperkirakan akan mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 1,29 persen di tahun yang kemudian melambat menjadi 1,1 persen di tahun , 0,95 persen di tahun dan menjadi 0,78 di tahun Faktor eksternal yang berpengaruh pada konsumsi energi nasional adalah kondisi ekonomi global dan perkembangan harga komodistas energi. Pertumbuhan ekonomi global cenderung melemah sebagai dampak dari resesi di negara-negara Zona Euro paska krisis utang dan lambatnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat paska krisis finansial. Ekonomi AS secara perlahan mulai membaik meski masih rentan dan dibayangi isu keterbatasan stimulus fiskal (fiscal cliff) serta krisis lapangan pekerjaan. Resesi di Eropa dan Amerika Serikat tersebut mempengaruhi hampir seluruh negara di 98

99 dunia akibat ekonomi dunia yang makin terintegrasi. Negara-negara Asia yang diharapkan mampu menjadi mesin pendorong pertumbuhan global justru pertumbuhan ekonominya terhambat. Pertumbuhan ekonomi global yang melambat juga diikuti dengan penurunan harga komoditas yang cukup tajam sehingga menyebabkan penurunan ekspor dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Khusus komoditas energi, sampai tahun 2008 harga minyak dunia naik secara signifikan. Di Indonesia harga minyak Indonesian Crude Price (ICP) dari tahun 2001 sampai 2008 mengalami kenaikan ratarata 23,5 persen dari 21,94 USD per barel menjadi 96,13 USD per barel dengan kenaikan tertinggi di tahun 2005 dan 2008 yang mencapai hampir 20 USD per barel. Pada tahun 2009 seiring dengan puncak krisis global ICP terjun bebas ke angka 61,58 USD per barel yang kemudian setelah itu sampai 2011 terjadi kenaikan ICP pesat sebesar 34,5 persen per tahun yang mencapai 111,5 USD per barel. Harga gas internasional LNG untuk pengiriman Jepang CIF dari tahun mengalami kenaikan rata-rata 10,94 persen dari 4,72 USD/mBTU menjadi 14,73 USD/mmBtu. Perkembangan terakhir keberhasilan penemuan cadangan di beberapa proyek unconvensional gas sejak tahun 2008 di Amerika dan Kanada mendorong penurunan harga gas. Harga gas Indeks Hub di tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 56,05 persen dari 8,85 USD/mmBtu menjadi 3,89 USD/mmBtu yang kemudian stabil sampai tahun 2011 di angka 4,01 USD/mmBTU. Demikian juga dengan indeks alberta kanada yang turun 57,7 persen dari 7,99 USD/mmBTU menjadi 3,38 USD/mmBTU dan stabil di angka tahun 3,47 di tahun Dengan adanya perbedaan gap antara harga gas domestik Amerika dengan harga gas ekspor regional, di tahun mendatang ada kemungkinan ekspor gas dari Amerika ke wilayah Asia Pasifik sehingga harga ekspor gas regional akan berpotensi turun. Untuk komoditas batubara, terjadi peningkatan harga batubara ekspor secara signifikan dari tahun 2003 sampai 2011 dengan kenaikan rata-rata 15,95 persen per tahun dari 28,63 USD/Ton menjadi 93,56 USD/ton. Seiring dengan perlambatan ekonomi India dan China sebagai konsumen batubara terbesar di tahun 2012 dan 2013, harga batubara secara global mengalami koreksi yang cukup dalam. 99

100 Tabel 27 Perkembangan Rasio Harga Komoditas Energi Tahun Batubara (FOB) LNG (FOB) 6,92 7,50 7,01 6,70 10,06 8,53 9,59 12,81 12,81 16,26 20,42 21,88 24,00 24,78 26,95 33,41 40,03 47,27 50,33 66,65 66,65 38,70 43,49 65,70 ICP 113,63 112,47 114,38 110,50 107,57 110,55 114,14 109,02 114,78 109,02 114,38 111,55 Rasio Batubara Rasio LNG Rasio ICP 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,03 0,06 0,06 0,06 0,06 0,05 0,06 0,06 0,05 0,06 0,05 0,06 0,06 Dari Tabel 27 dapat diambil kesimpulan bahwa secara regional batubara masih menjadi energi fosil termurah dengan rasio harga 1 sampai 3 sampai 5 di tahun Rasio ini semakin berkurang dari tahun Hal ini disebabkan banyaknya peralihan dari minyak ke batubara sehingga mengakibatkan excess demand yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan harga batubara secara signifikan. Tren ini diperkirakan akan terus terjadi dengan sedikit penurunan harga gas sehingga rasio harga akan berkisar di harga gas akan semakin kompetitif dengan harga batubara. Memperhatikan kondisi ini perlu adanya percepatan pembangunan infrastruktur gas untuk memaksimalkan pemanfaatannya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah saat ini sedang gencar melakukan upaya untuk mengurangi penggunaan BBM dan beralih ke penggunaan bahan bakar gas terutama di sektor rumah tangga dan transportasi. Penggunaan BBG untuk rumah tangga melalui program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg dan pembangunan jaringan gas kota. Sedangkan di sektor transportasi melalui percepatan pembangunan stasiun pengisian BBG (SPBG) serta penyediaan dan pendistribusian konverter kit. Secara umum, sektor pengguna energi Indonesia digolongkan menjadi 5 yaitu: Rumah Tangga yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk keperluan di rumah tangga seperti memasak, penerangan dan lainnya, tetapi tidak termasuk penggunaan untuk mobil pribadi. Industri yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk keperluan 100

101 proses industri seperti pemanasan langsung, penerangan dan peralatan mesin tetapi tidak termasuk energi yang digunakan untuk pembangkitan listrik. Golongan dalam industri ini disesuaikan dengan penggolongan industri pengolahan non migas dalam PDB seperti kelompok industri makanan, tekstil, kayu, kimia, non logam, logam, mesin dan lainnya. Komersial yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk penerangan, AC, peralatan mesin, peralatan memasak dan pemanasan air tetapi tidak termasuk konsumsi untuk transportasi. Termasuk ke dalam golongan ini adalah kelompok komesial dan bisnis umum seperti perdagangan, hotel, restoran, jasa keuangan, pemerintahan, sekolah dan lainnya. Transportasi yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk keperluan transportasi di semua sektor ekonomi. Subsektor transportsi meliputi transportasi darat (mobil penumpang, sepeda motor, truk dan bis), transportsi udara, transportasi laut, transportasi penyebrangan, dan kereta api. Sektor lainnya.yaitu sektor pengguna yang memanfaatkan energi untuk keperluan perikanan, konstruksi dan pertambangan. Sektor non energi yaitu sektor pengguna yang memenafaatkan komoditas energi untuk keperluan energi meliputi minyak pelumas, bahan baku untuk industri petrokimia (naphta, gas bumi dan kokas), bahan baku gas untuk methanol dan pupuk.. Tabel 28 Konsumsi Energi per Kapita Tahun Total Konsumsi Energi 296,57 301,35 303,03 309,05 314,12 313,77 312,72 319,33 316,80 314,09 310,52 320,37 (juta SBM) Jumlah Penduduk (juta orang) Konsumsi Energi Per Kapita (SBM/orang) 205,84 208,65 212,00 215,28 217,85 218,87 222,19 225,64 228,52 234,43 237,64 241,13 1,44 1,44 1,43 1,44 1,44 1,43 1,41 1,42 1,39 1,34 1,31 1,33 101

102 Kebutuhan energi sektor rumah tangga erat kaitannya dengan perubahan kesejahteraan. Semakin sejahtera, penggunaan energi semakin meningkat. Dari tahun 2000, penduduk miskin cenderung turun rata-rata 2,45 persen dari 39 juta orang (19,41 persen penduduk) menjadi 30,12 juta orang (12,49 persen penduduk) di tahun Pemanfaatan energi di sektor rumah tangga meningkat rata-rata 1,45 persen dari 297 juta SBM di tahun 2000 ke 319 juta SBM di tahun 2007 yang kemudian menurun sampai tahun 2010 di angka 310 juta SBM. Pada tahun 2011, terjadi peningkatan yang cukup tinggi ke angka 320 juta SBM. Walaupun demikian, secara keseluruhan terjadi penurunan intensitas konsumsi energi di sektor rumah tangga dari tahun 2000 sampai 2011 sebesar 0,8 persen per tahun dari 1,43 SBM per kapita menjadi 1,31 SBM per kapita. Mulai tahun 2007, program konversi minyak tanah ke gas dijalankan. Dengan program tersebut sampai tahun 2011, telah terjadi penurunan rata-rata intensitas konsumsi minyak tanah per kapita sebesar 34 persen yang disubstitusi oleh LPG yang mengalami peningkatan sebesar 41 persen Pemanfaatan energi di rumah tangga masih didominasi oleh penggunaan kayu bakar secara tradisional terutama di daerah pedesaan dengan porsi sampai 70 persen. Bila penggunaan kayubakar di rumah tangga ini dikecualikan, jenis energi terbesar yang dikonsumsi rumah tangga adalah listrik dan LPG yang masing-masing meliputi 46 dan 41 persen di tahun Peningkatan porsi LPG ini sangat signifikan mengingat di tahun 2007 porsinya hanya 9 persen. LPG berpotensi terus meningkat dan menjadi jenis energi utama dalam rumah tangga seiring dengan berlanjutnya program konversi minyak tanah dan potensi peralihan dari energi biomassa tradisional (kayu bakar). Akibatnya impor LPG akan semakin membengkak dan berpotensi membebani anggaran negara melalui kebijakan subsidinya. Perlu dikaji mengenai percepatan program gas kota atau program kompor listrik di beberapa tahun mendatang. 102

103 100% 80% 60% 40% 20% 0% Lainnya Mesin Logam Non Logam Kimia Kertas Kayu Tekstil Makanan Gambar 9 Proporsi Penggunaan Energi Industri Berdasarkan Kelompok Industri Sementara itu, pemanfaatan sektor industri dan sektor komersil sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi Indonesia yang dinamis. Sektor komersil (perdagangan, jasa dan keuangan) mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,15 persen dari 470 triliun di tahun 2000 menjadi 970 triliun (nilai konstan 2000) di tahun Oleh karenanya porsi sektor ini terhadap PDB konstan 2000 meningkat dari 33,69 persen di tahun 2000 menjadi 37,06 persen di tahun Sementara sektor industri pengolahan non migas mengalami kenaikan rata-rata 5,34 persen dari 367 triliun di tahun 2000 menjadi 625 triliun di tahun Walaupun begitu, porsi industri terhadap PDB mengalami fluktuasi. Porsi sektor industri naik dari 23,84 persen di tahun 2000 menjadi 25,30 persen di tahun 2005 yang kemudian terus menurun sampai tahun 2010 menjadi 23,76 persen seiring dengan lesunya perlambatan ekonomi global. Sampai tahun 2012, porsi industri mengalami kenaikan menjadi 23,86 persen. Subsektor industri yang mengalami peningkatan porsi secara signifikan dari tahun 2000 sampai 2011 adalah sub sektor industri permesinan dan alat transportasi yang merupakan industri hilir. Konsumsi energinya tidak sebesar pada industri hulu. Pada tahun 2000, porsi subsektor ini masih 20,7 persen sementara pada tahun 2011 porsinya menjadi 34,6 persen. Subsektor lainnya yang cukup dominan adalah subsektor industri makanan. Tren data dari tahun 2000 sampai 2011 menunjukkan subsektor industri makanan mengalami penurunan porsi dari 33 persen menjadi 30 persen. Demikian juga dengan industri tekstil yang mengalami penurunan porsi dari 14 persen di tahun 2000 menjadi 10 persen di tahun 2011 sebagai pengaruh gempuran produk tekstil Cina. Dari 103

104 gambar di atas terlihat kelompok industri hulu seperti industri logam dasar, semen, keramik dan non logam, serta kertas dan kayu yang memerlukan konsumsi energi yang besar umumnya mengalami penurunan sementara industri hilir seperti mesin dan lainnya relatif konstan dan bahkan meningkat. Pemanfaatan energi untuk sektor industri tahun 2000 sampai 2011 meningkat rata-rata 3,06 persen dari 258,18 juta SBM menjadi 359,62 juta SBM. Walau demikian terjadi penurunan intensitas pemanfaatan energi sebesar 2,16 persen dari dari 0,78 SBM per juta rupiah output di tahun 2000 menjadi 0,61 SBM per juta rupiah di tahun Penurunan ini disebabkan oleh salah satu atau ketiga faktor berikut: - Terjadinya pergeseran jenis industri, dari industri padat energi menjadi industri yang lebih padat modal, dan/atau - Terjadinya pergeseran dari industri hulu yang membutuhkan energi besar menjadi industri hilir yang memerlukan energi lebih sedikit, dan/atau - Proses produksi dan mesin industri yang baru mengkonsumsi lebih sedikit energi atau hemat energi. Pemanfaatan energi di sektor industri mengalami pergeseran dari dominasi bahan bakar minyak ke batubara. Pada periode ini penggunaan batubara meningkat ratarata 7,7 persen dari 0,11 SBM per juta rupiah menjadi 0,25 SBM per juta rupiah. Sementara rata-rata penurunan intensitas bahan bakar minyak (FO, diesel, dan kerosen) tahun mencapai 30 persen per tahun dari 0,23 SBM per juta rupiah menjadi 0,08 SBM per juta rupiah. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Biomass Coal Briquette Gas Kerosene ADO IDO FO LPG Electricity Gambar 10 Proporsi Penggunaan Energi Industri Berdasarkan Sumber Energi 104

105 Pangsa batubara meningkat dari hanya 13,97 persen di tahun 2000 menjadi 40,2 persen di tahun Sementara pangsa bahan bakar minyak mengalami penurunan dari 29,75 persen menjadi 12,78 persen. Sementara penggunaan gas untuk industri mulai naik sejak kenaikan minyak yang cukup signifikan di tahun 2008 dari 29 persen di tahun 2007 menjadi 30 persen di tahun 2009 dan sedikit menurun di tahun 2011 di angka 25 persen. Tingginya dominasi penggunaan batubara ini tentunya akan berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan. Optimalisasi pemanfaatan gas seringkali terkendala masalah jaminan pasokan dan kondisi infrastruktur distribusi yang kurang. Untuk sektor komersil, porsi yang dominan adalah subsektor perdagangan dan hotel yang mencakup 47 persen dari keseluruhan sektor komersil. Pada periode 2000 sampai 2011, konsumsi sektor komersil mengalami peningkatan 20 juta SBM menjadi 32,96 juta SBM. Secara intensitas terjadi penurunan rata-rata 1,76 persen dari 40 SBM per triliun rupiah ke 36 SBM per triliun rupiah. Penurunan terbesar ada pada penggunaan kerosene sebesar 18 persen. Diesel dan LPG mengalami penurunan yang hampir sama di kisaran 5 persen. Energi yang meningkat secara signifikan adalah gas alam sebesar 15 persen. Pertumbuhan konsumsi energi di sektor transportasi tahun meningkat rata-rata sebesar 6,44 persen dari 139 juta SBM menjadi 277 juta SBM. Berdasarkan kajian Pertamina, sebanyak 88 persen BBM sektor transportasi dikonsumsi transportasi darat dengan perkiraan bensin untuk transportasi darat dikonsumsi oleh mobil penumpang sebanyak 60 persen dan sepeda motor sebanyak 40 persen. Sementara untuk solar, konsumsi terbesar oleh truk sebanyak 43 persen, bis 40 persen dan mobil penumpang sebanyak 17 persen. Penggunaan gas (bahan bakar gas) untuk sektor transportasi masih terbatas, Harga jual BBG rendah, sehingga tidak menjamin pasokan gas, Infrastruktur BBG (SPBG dan jaringan gas) terbatas/belum terbangun. Sampai dengan 2013, telah dibangun 16 SPBG, 22 km jaringan pipa gas, dan pendistribusian konverter kit unit. Tahun 2014 akan dibangun 13 SPBG, jaringan pipa sepanjang 153,8 km, dan penyediaan konverter kit unit. Pada tahun 2015, diharapkan badan usaha mulai terlibat didalam penyediaan BBG untuk kendaraan umum, baik dalam membangun jaringan pipa BBG maupun SPBG (60-70 unit), termasuk dalam penyediaan konverter kit (80-85 ribu unit), serta penyediaan BBG di kota-kota lain. 105

106 Tabel 29 Tabel Intensitas Penggunaan Energi per Kendaraan Tahun Total Konsumsi Energi (juta SBM) Jumlah Kendaraan (juta) Konsumsi Energi Per Kendaraan (SBM/kend araan) 122,5 130,5 133,3 137,5 157,0 157,0 149,7 157,6 173,3 197,9 224,9 244,1 19,0 20,9 23,0 26,6 30,5 37,6 43,3 54,8 61,7 67,3 76,9 85,6 6,4 6,2 5,8 5,2 5,1 4,2 3,5 2,9 2,8 2,9 2,9 2,9 Meskipun tren pertumbuhan kendaraan bermotor menunjukkan angka yang sangat besar, namun secara intensitas penggunaan energi per kendaraan mengalami penurunan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan teknologi kendaraan baru dan/atau penurunan tingkat aktifitas dari masing-masing kendaraan yang disebabkan faktor kejenuhan kemacetan terutama di kota-kota besar. Melihat tren pertumbuhan rata-rata kendaraan moda angkutan darat tahun 2000 sampai 2011 yang mencapai lebih 10 persen, permintaan energi untuk sektor transportasi ini di masa depan akan tetap emnjadi sektor yang dominan selain sektor industri. Kondisi sebagian besar bahan bakar untuk transportasi yang masih disubsidi akan membebani kondisi keuangan negara sehingga perlu segera diambil lankah diversifikasi energi ke energi yang lebih murah seperti gas. Untuk sektor lainnya, dari tahun 2000 sampai 2011 terjadi penurunan rata-rata sebesar 1,42 persen dari 29,05 juta SBM menjadi 24,82 juta SBM. Selain untuk bahan bakar, komoditas energi juga digunakan untuk keperluan non energi di antaranya sebagai bahan baku untuk pabrik pupuk, baja dan by product proses pengolahan minyak seperti oli dan sebagainya. Konsumsi untuk penggunanan non energi di tahun 2011 ini meningkat dari tahun 2000 sampai 2011 sebesar 8.43 persen per tahun. Peningkatan paling tinggi pada penggunaan Oil product yaitu sebesar 16,19 persen per tahun. Sementara pemanfaatan gas sebagai bahan baku untuk industri pupuk 106

107 Ribu SBM dan baja hanya mencapai 0,49 persen per tahun. Secara umum, konsumsi energi periode 2000 sampai 2011 masih didominasi oleh sektor industri dengan porsi di kisaran 30 sampai 22 persen. Di waktu yang sama porsi sektor rumah tangga mengalami penurunan dari 38 persen di tahun 2000 menjadi 29 persen di tahun Peningkatan yang cukup signifikan dari konsumsi energi adalah di sektor transportasi dari hanya 18 persen di tahun 2000 menjadi 25 persen di tahun Transportasi Komersial 6.218, 7.224, 8.317, 9.911, Rumah Tangga Industri *tidak termasuk biomasa Gambar 11 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Pengguna Akhir atau End-user Consumers ( ) Sementara bila energi tradisional biomassa tidak disertakan, porsi sektor industri dalam konsumsi energi berkisar 35 sampai 40 persen. Konsumsi energi rumah tangga hanya berkisar 17 persen di tahun 2000 dan semakin menurun menjadi 10 persen di tahun Sementara untuk sektor transportasi meningkat dari 27 persen menjadi 33 persen. Untuk memenuhi kebutuhan energi terutama sektor transportasi, penyediaan BBM dilakukan melalui dua mekanisme, yakni penyediaan BBM subsidi dan BBM non-subsidi. Selama periode waktu tahun menunjukkan tingginya konsumsi BBM. Pada tahun 2000 konsumsi BBM sebesar juta SBM dan tahun 2011 sebesar juta SBM. Dari Error! Reference source not found. menunjukkan onsumsi BBM yang cukup fluktuatif namun memiliki tren yang meningkat sebesar 1,41 persen selama 11 tahun. Tingginya konsumsi bahan bakar minyak disebabkan oleh 107

108 Juta SBM disubsidinya beberapa jenis bahan bakar minyak, khususnya bensin (premium) dan solar untuk umum (sektor transportasi dan rumah tangga) dan usaha skala kecil, serta terbatasnya akses energi non-fosil BBM Sumber: Buku Statistik Ekonomi dan Energi Indonesia, 2012 Gambar 12 Konsumsi BBM ( ) Konsumsi batubara selama kurun waktu 21 tahun ( ) menunjukkan pertumbuhan yang signifikan yakni sebesar 9,72 persen pertahun. Pada kurun waktu 10 tahun pertama (tahun 1990 sampai dengan tahun 2000) pertumbuhan konsumsi batubara yang cukup berarti dengan rata-rata per tahun sebesar 14,22 persen. Konsumsi batubara pada tahun 1990 adalah sebesar 24,51 juta SBM dan tahun 2000 sebesar 101,6 juta SBM. Sedangkan periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2012 mengalami kenaikan pertumbuhan yaitu sebesar 5 persen. Konsumsi batubara pada tahun 2001 dan 2012 adalah sebesar119,98 SBM dan 208,20 juta SBM. Konsumsi gas terutama didorong oleh sektor industri (pupuk dan industri pengolahan) serta pembangkit listrik. Konsumsi gas untuk industri pupuk dan pengolahan mencapai sekitar 34 persen dari total pangsa gas, listrik sekitar 15 persen, serta selebihnya, sekitar 51 persen, untuk ekspor (2011). Penggunaan gas di industri meningkat seiring dengan telah dihilangkannya subsidi solar industri, dan kecenderungan kenaikan ini akan terus terjadi untuk tahun-tahun yang akan datang. Gambar 13Error! Reference source not found. menunjukkan konsumsi gas untuk 108

109 has increased from 27% in 2010 to 34% of available supply in This is partially driven by the removal of government subsidy on diesel fuel (HSD) for industrial sectors, which encourages a significant shift from diesel to natural gas in all industrial sectors. Figure 7 shows the breakdown of industrial gas demand in 2010, 2011 and sektor industri pupuk dan pengolahan untuk beberapa tahun terakhir. Figure 7 Breakdown of Industrial Gas Demand in Total industrial demand (mmsfcd) ,096 2,000 2,136 Sumber: Forum Industri Pengguna Gas Bumi - FIPGB Source: Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Fertilisers are very significant for Indonesian agriculture and for the Gambar 13 Konsumsi Gas untuk Sektor Industri Pupuk dan Pengolahan ( ) production of fertilisers natural gas is a crucial resource. There is no alternative feedstock available. The demand for fertilisers is growing and the Kondisi Penyediaan Energi Peningkatan konsumsi energi final tentu dibarengi dengan peningkatan produksi Gas Development Master Plan energi primer, yakni minyak dan gas bumi, batubara. Penggunaan energi final untuk 25 October 2013 ketiga jenis energi primer (migas dan batubara) diperlihatkan dalam Gambar 14. Terlihat bahwa produksi batubara meningkat dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi, yakni 14,22 persen per tahun ( ), dan 5 persen per tahun ( ). Pada tahun 2002, produksi batubara secara nasional bahkan sudah melewati penggunaan minyak mentah, dan juga gas. Produksi batubara hanya mencapai jauh kurang dari 200 juta SBM pada tahun 1990, meningkat mencapai 400 juta SBM dalam sepuluh tahun kemudian, dan pada tahun 2011, produksi batubara mencapai 1,2 milyar SBM. Produksi minyak bumi terus mengalami tren penurunan. Penyebab utamanya adalah produksi minyak bumi/mentah yang tidak bergerak dari 1 juta barel per hari, bahkan dalam lima tahun terakhir ini produksinya berada di bawah 1 juta barel per hari. Sejak tahun 2005, penggunaan minyak bumi secara nasional terus berada di bawah 400 juta SBM. Pencapaian produksi minyak bumi masih belum cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya produksi minyak bumi bila dibandingkan 109

110 SBM dengan tahun-tahun sebelumnya. Bila pada tahun 2010 produksi minyak bumi mencapai 945 ribu barel per hari, pada tahun 2011 turun menjadi 902 ribu barel per hari, dan hanya sebesar 860 ribu barel per hari pada tahun 2012 atau selama kurun waktu tersebut produksi minyak bumi mengalami penurunan rata-rata sekitar 4,5 persen. Untuk tahun 2013, produksi minyak bumi diperkirakan mencapai 840 ribu barel per hari Minyak Bumi Gas Bumi Batubara Gambar 14 Produksi Energi Primer: Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Batubara ( ) Tidak seperti halnya minyak bumi, penggunaan gas bumi terus mengalami kenaikan, dengan laju pertumbuhan sebesar 8,18 persen per tahun (tahun ). Laju pertumbuhan penggunaan gas bumi memang jauh berada di bawah pertumbuhan penggunaan batubara, namun kenaikan penggunaan gas terlihat stabil di tingkat laju pertumbuhan tersebut. Mulai tahun 2013, asumsi makro Rencana Kerja Pemerintah tidak hanya dari produksi minyak bumi namun juga telah memasukkan produksi gas bumi. Sebagai gambaran, produksi gas bumi juga mengalami penurunan dari tahun 2010 ke Pada tahun 2010, produksi gas bumi dapat mencapai ribu barel setara minyak per hari, turun menjadi dan ribu barel setara minyak per hari pada tahun 2011 dan 110

111 SBM Pada tahun 2013 diperkirakan produksi gas bumi turun kembali menjadi sebesar ribu setara barel minyak per hari. Sementara untuk produksi batubara, terjadi peningkatan selama 20 (dua puluh) tahun terakhir sejalan dengan peningkatan permintaan domestik dan ekspor. Dari tahun 1990 sampai 2000, pertumbuhan produksi energi final untuk sektor ini cukup pesat yakni sebesar 19,67 persen per tahun. Pada tahun 1990 diproduksi sebesar 14,28 juta SBM sedangkan tahun 2000 sebesar 323,57 juta SBM. Sedangkan periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2012 mengalami kenaikan pertumbuhan yaitu sebesar 5 persen. Produksi batubara pada tahun 2001 dan 2012 adalah sebesar 388,67 juta SBM dan 1217,28 juta SBM. Produksi batubara Indonesia sebagian besar (80 persen) dihasilkan oleh perusahaan tambang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) dan sisanya berasal dari BUMN (PTBA) dan KP (Kuasa Penambangan) Produksi Konsumsi DN Produksi Per Hari Konsumsi Per Hari Ekspor Gambar 15 Konsumsi dan Produksi Batubara ( ) Di sektor ketenagalistrikan, adanya partisipasi swasta baik itu melalui program percepatan MW maupun IPP sangat mendukung tercapainya sasaran tambahan kapasitas pembangkit listrik MW per tahun dan peningkatan rasio elektrifikasi. Selama kurun waktu terdapat penambahan kapasitas pembangkit listrik rata-rata MW per tahun. Pada tahun 2012, kapasitas pembangkit listrik telah mencapai MW atau meningkat sekitar 10,5 persen bila dibandingkan dengan kapasitas pembangkit listrik tahun 2011 sebesar MW. Demikian halnya juga 111

112 dengan rasio elektrifikasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Rasio elektrifikasi pada tahun 2010 mencapai 67,15 persen, meningkat menjadi 72,95 persen pada tahun 2011 dan 76,56 persen pada tahun Pada tahun 2013, kapasitas pembangkit listrik diperkirakan bertambah sebesar MW atau menjadi MW dan rasio elektrifikasi diperkirakan dapat mencapai 79,30 persen. Untuk mengurangi ketergantungan penggunaan BBM pada pembangkit listrik, pemerintah telah berupaya mengembangkan penggunaan energi alternatif terutama panas bumi. Namun demikian, pencapaian pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik belum sesuai dengan harapan. Pemerintah telah menargetkan pada tahun 2014, kapasitas terpasang pembangkit listrik yang bersumber dari panas bumi (PLTP) sebesar MW. Jika melihat kapasitas terpasang yang saat ini terbangun, rasanya akan sulit untuk mencapai sasaran tersebut. Pada tahun 2010, kapasitas terpasang PLTP adalah sebesar MW dan dapat ditingkatkan menjadi MW dan MW pada tahun 2011 dan Artinya, peningkatannya tidak cukup siginifikan. Pada tahun 2013, kapasitas terpasang PLTP diperkirakan juga akan meningkat namun tidak cukup signifikan yaitu sebesar MW. Pemanfaatan panas bumi baru 4 persen dari total potensi panas bumi dan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) baru mencapai MW, dari total potensi MW. Lapangan yang sudah menghasilkan listrik adalah lapangan Pertamina, sedangkan yang telah diserahkan ke Pemda (Green Fields) belum ada yang berproduksi masih dalam proses lelang/tender dan negosiasi (Power Purchase Agreement PPA) dengan pihak pembeli listrik (PLN) Dari total potensi MW, sebanyak MW (21 persen) diidentifikasi berada di hutan konservasi dan MW (23 persen) berada di hutan lindung Kebutuhan Energi Nasional Dengan Pemodelan LEAP Skenario BAU Kebutuhan Energi Final dan Primer Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa skenario merupakan rangkaian perkiraan bagaimana sistem energi berubah tiap waktunya pada kondisi aspek sosial ekonomi dan kebijakan tertentu. Pengaturan skenario pada model LEAP menjadi sangat krusial dan dapat dikatakan menjadi aspek pokok dari model LEAP. User dapat menggunakan skenario untuk menjawab berbagai pertanyaan hipotesis seperti apa yang akan terjadi bila kebijakan efisien diterapkan, apa yang akan terjadi jika pengembangan 112

113 pembangkit dilakukan dengan cara berbeda, apa yang terjadi bila transportasi massal dikembangkan dan banyak pertanyaan lainnya. Semua skenario didasarkan pada skenario Current Account merupakan kondisi saat ini. Current Account dapat merupakan data satu titik maupun berupa data time series. Skenario di LEAP mengandung semua faktor yang dapat berubah sepanjang waktu termsuk hal-hal yang diakibatkan intervensi kebijakan dan yang merefleksikan asumsi sosial ekonomi yang berbeda. Secara umum asumsi dasar yang terdapat pada simulasi model LEAP nasional dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 30 Perbandingan Parameter Penentu dari Skenario BAU dan RPJMN PARAMETER SKENARIO DASAR SKENARIO RPJMN Data Dasar 2011 Pertumbuhan GDP Pertumbuhan penduduk Struktur ekonomi (PDB) Demand rumah tangga Sudah diverifikasi ke tahun 2000 dan divalidasi sesuai data Handbook of Energy dari Pusdatin KESDM tahun 2012 Data masukan Deputi Ekonomi Bappenas untuk skenario dasar/rpjmn : 2012 = 6.23%; 2013 = 5.7%; 2014 = 5.9%, 2015 = 6.1%, 2016 = 6.3%, 2017 = 6.5%, 2018 = 6.7%, 2019 = 7% Data masukan Deputi Ekonomi Bappenas untuk skenario high/ High RPJMN : 2012 = 6.23%; 2013 = 5.7%; 2014 = 6.1%, 2015 = 6.5%, 2016 = 7%, 2017 = 7.3%, 2018 = 7.4%, 2019 = 7.9% Mengikuti Proyeksi Penduduk Bappenas-BPS : : 1.29%, : 1.1%, : 0.95% 2025 dan setereusnya, 0.78% Skenario DASAR : Porsi industri mengikuti pertumbuhan medium Deputi Ekonomi Bappenas Skenario HIGH : Porsi industri mengikuti pertumbuhan optimis Deputi Ekonomi Bappenas Porsi Komersil di PDB meningkat dengan elastisitas pertumbuhan PDB sebesar 0.13 Data aktivitas dan intensitas energi bersumber pada raw data susenas 2011 dan di "back casting" ke tahun 2000, berdasarkan Porsi Penduduk miskin menurun menjadi 8 persen di tahun 2019 dan 6 persen di tahun 2025 Pertumbuhan sektor transportasi Mengikuti pertumbuhan GDP/kapita dengan tingkat elastisitas: kendaraan penumpang (1.77), kendaraan roda dua (2.37). Untuk moda lainnya mengikuti pertumbuhan GDP dengan tingkat elastisitas : Truk (1.3), Bus (2.24), Kereta api (0.91), ASDP (0.76), angkutan laut (0.008) dan angkutan udara (0.97) Khusus untuk transportasi darat : Kendaraan penumpang, roda dua, truk dan bus proyeksi pertumbuhan dipengaruhi strategi Avoid, Shifting dan Improve sampai tahun 2025 yang dapat mengurangi aktifitas kendaraan pribadi di area perkotaan (60 persen) sebesar 40 persen 113

114 PARAMETER SKENARIO DASAR SKENARIO RPJMN Proyeksi intensitas energi dan efisiensi infrastruktur Berdasarkan persentase pertumbuhan hasil "back casting" Berdasarkan persentase pertumbuhan hasil "back casting" dikurangi roadmap konservasi dari draft RIKEN Skenario Dasar (Berdasarkan Data Historis) Skenario DASAR mengacu kepada data-data sepuluh tahun terakhir, dan data tahun 2011 dianggap sebagai data dasar. Tabel 30. memperlihatkan asumsi dasar yang digunakan untuk memproyeksikan kebutuhan energi. Pertumbuhan GDP mengikuti masukan dari Direktorat Perencanaan Makro Bappenas, yakni pada tahun 2012 sebesar 6,23 persen yang kemudian melambat menjadi 5,7 persen di tahun Mulai tahun 2014, pertumbuhan ekonomi berakselerasi dari 5,9 persen menjadi 7 persen di tahun Untuk pertumbuhan penduduk, proyeksi mengikuti proyeksi penduduk BAPPENAS dan BPS (2012), di mana laju pertumbuhan akan mencapai 1,29 persen pada kurun waktu , dan selanjutnya akan menurun menjadi 1,1 persen pada tahun dan menjadi 0,95 persen sampai dengan tahun 2024 dan 0,78 persen di tahun 2015 dan seterusnya. Proporsi penduduk miskin akan menurun menjadi 8 persen di tahun 2015 dan 6 persen di tahun Kontribusi sektor industri pengolahan nonmigas terhadap PDB dengan harga konstan 2000 diproyeksikan akan semakin meningkat dari 23,81 persen di tahun 2011 menjadi 24,40 persen di tahun 2015 dan 24,96 persen di tahun Sementara kontribusi sektor komersial juga akan meningkat dengan elastisitas sebesar 0,137 (ratarata elastisitas tahun ) terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan jumlah sektor transportasi mengikuti pertumbuhan PDB per kapita dengan tingkat elastisitas untuk mobil penumpang sebesar 1,77 dan sepeda motor sebesar 2,37. Sementara, untuk moda transportasi lainnya mengikuti pertumbuhan PDB yaitu dengan tingkat elastisitas: i) bis sebesar 2,24; ii) truk sebesar 1,3; iii) angkutan asdp sebesar 0,76; iv) kereta api sebesar 0,91; v) angkutan laut 0,008; dan vi) angkutan udara 0,98. Perkembangan intensitas energi di sektor end user disesuaikan dengan data historis yang dikalibrasi dengan data dari Pusdatin ESDM. Untuk pemanfaatan BBM Blending9 hanya dimanfaatkan pada sektor transportasi. Sementara untuk penyediaan 9 BBM yang dicampurkan dengan Bahan Bakar Nabati (BBN) seperti biodiesel atau bioethanol. Produk akhir dari proses pencampuran ini saat ini dikenal dengan nama pasar Biosolar dan Biopremium. 114

115 energi proyeksi dilakukan sesuai dengan tren data historis (Handbook KESDM), seperti produksi minyak bumi mengalami penurunan sebesar 4,03 persen per tahun, produksi gas bumi naik sebesar 1,06 persen per tahun sampai tahun 2019 (tahun puncak produksi gas), produksi batubara meningkat secara logaritmik. Sementara produksi energi listrik didasarkan pada simulasi dari kapasitas yang direncanakan dalam RUPTL Persentase losses transmisi dan distribusi akan berkurang sebesar 2,57 persen per tahun dari tahun sebelumnya. Proyeksi kelistrikan setelah tahun 2021 dilakukan dengan mengekstrapolasi berdasarkan data progres antara Untuk produksi kilang akan menurun sebesar 1,26 persen per tahun, hal ini disebabkan karena berkurangnya produktivitas kilang seiring dengan semakin tuanya mesin-mesin dan peralatan kilang minyak. Skenario dasar ini lebih bersifat Business as Usual (BAU) yang artinya skenario ini mendasarkan pada tren statistik tanpa melakukan langkah dan kebijakan yang signifikan dalam sektor energi. Oleh karenanya pada penyediaan energi, skenario ini belum memasukkan kebijakan EBTKE yang tercermin pada draft roadmap EBTKE yang saat ini dalam tahap finalisasi dan kebijakan peningkatan produksi migas. Di level demand, skenario ini belum memasukkan kebijakan konversi BBG dan gas rumah tangga. Hasil Proyeksi Kebutuhan Energi Skenario DASAR Pada skenario DASAR, kebutuhan energi final di tahun 2025 akan mencapai juta SBM atau lebih dari 2 kali kebutuhan energi final pada tahun Pada kurun RPJMN tahap III ( ), kebutuhan energi final akan berkisar dari sampai juta SBM atau rata-rata meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 5,5 persen per tahun. Sebagai penggerak ekonomi nasional, kebutuhan energi sektor industri diperkirakan terus meningkat dan mendominasi total kebutuhan energi final yang kemudian diikuti oleh kebutuhan energi sektor transportasi sebagai sektor pendukung kegiatan ekonomi. Pada skenario DASAR, konsumsi energi sektor industri akan terus meningkat dari 359 juta SBM pada tahun 2011 menjadi 970 juta SBM di tahun Antara tahun 2015 sampai 2019 konsumsi energi sektor ini meningkat dari 452 juta SBM di tahun 2015 menjadi 602 juta SBM di tahun 2019 dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,44 persen per tahun. Tingginya pertumbuhan konsumsi industri ini didorong antara lain 115

116 oleh kebijakan dan program hilirisasi di sektor industri yang berbasis sumber daya alam seperti industri pengolahan kelapa sawit, industri pengolahan mineral logam dan mineral industri serta komoditas lainnya. Sementara itu, konsumsi sektor transportasi meningkat dari 277 juta SBM di tahun 2011 menjadi 693 juta SBM di tahun Antara tahun konsumsi energi pada sektor transportasi akan berkisar dari juta SBM dengan laju pertumbuhan rata-rata 6,49 persen per tahun. Dengan kondisi di atas, pangsa konsumsi energi sektor industri meningkat secara signifikan dari 32,28 persen pada tahun 2011 menjadi dan 39,74 persen di tahun Pada tahun pangsa konsumsi energi sektor industri berkisar 33,14 35,65 persen. Sementara pangsa konsumsi energi sektor transportasi pada periode 2011 sampai 2025 akan terus meningkat sampai 28 persen Non Energi 98,41 145,41 171,34 210,58 Energi Lainnya 24,82 23,39 26,81 36,22 Energi Komersial 32,93 44,91 60,46 95,1 Energi Transportasi 277,39 335,14 430,97 693,4 Energi Industri 359,27 451,9 602,15 970,55 Energi Rumah Tangga 320,1 362,73 397,2 436,15 Energi Rumah Tangga Energi Industri Energi Transportasi Energi Komersial Energi Lainnya Non Energi ,62 10,14 17,86 3,89 10,66 23,52 3,58 8,84 3,29 26,6 2,96 28,76 28,39 24,92 25,52 24, ,28 33,14 35,65 39,74 Energi Rumah Tangga Energi Industri Energi Transportasi Energi Komersial Energi Lainnya Non Energi Gambar 16 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Sektor Pengguna Sampai Tahun 2025 (Skenario DASAR) Sementara untuk sektor komersial, walaupun jumlah konsumsi energinya relatif kecil namun terjadi peningkatan yang signifikan yang bahkan menjadi yang tertinggi dari sektor lainnya. Di tahun 2025, jumlah konsumsi energi untuk sektor komersial diperkirakan akan terus meningkat menjadi 95 juta SBM. Pada tahun , konsumsi energi sektor ini berkisar juta SBM dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,71 persen per tahun. Hal sebaliknya terjadi pada sektor rumah tangga yang mengalami pertumbuhan paling kecil yaitu 2,23 persen per tahun sampai tahun Hal ini menyebabkan penurunan pangsa kebutuhan energi yang cukup signifikan terjadi pada sektor rumah tangga dari 28,76 persen di tahun 2011 menjadi 17,86 persen di tahun 116

117 2025. Penurunan ini selain karena penetrasi teknologi yang lebih efisien juga disebabkan akan berkurangnya konsumsi energi tradisional biomassa (kayu bakar) seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara lengkap, perkembangan konsumsi energi final dan perkembangan pangsa berdasarkan sektor pengguna energi sampai tahun 2025 dapat dilihat pada gambar berikut. Berdasarkan jenis energi finalnya, Bahan Bakar Minyak (BBM) masih mendominasi pemanfaatan energi final. Sampai tahun 2025, pemanfaatannya terus meningkat menjadi 752 juta SBM. Pada tahun , konsumsi BBM meningkat dari 476 juta SBM menjadi 564 juta SBM dengan laju pertumbuhan rata-rata 4,33 persen per tahun. Walau demikian, pangsa BBM cenderung akan menurun dari 38,18 persen di tahun 2011 menjadi 30,82 persen di tahun Pangsa BBM di tahun 2015 sampai 2019 akan menurun dari 34,92 persen menjadi 33,40 persen. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada konsumsi energi BBM Blending, gas dan listrik. Sampai tahun 2025, konsumsi BBM Blending akan terus meningkat menjadi 256 juta SBM. Pada tahun , konsumsi BBM meningkat dari 76 juta SBM menjadi 121 juta SBM dengan laju pertumbuhan rata-rata 12,15 persen per tahun. Dengan kondisi tersebut, pangsa BBM Blending akan meningkat dari 4,19 persen di tahun 2011 menjadi 10,48 persen di tahun Pangsa BBM Blending di tahun 2015 sampai 2019 akan meningkat dari 5,59 persen menjadi 7,15 persen. Pada gas, konsumsinya akan meningkat menjadi 436 juta SBM di tahun Pada tahun , konsumsi gas akan berkisar juta SBM dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,62 persen per tahun. Pertumbuhan yang cukup pesat ini menyebabkan peningkatan pangsa gas yang cukup signifikan dari hanya 10,89 persen di tahun 2011 menjadi 14,96 persen di tahun 2015 dan 16,20 persen di tahun Sementara itu, pemanfaatan listrik juga akan meningkat menjadi 314 juta SBM atau 517 ribu Gwh di tahun Pada tahun , konsumsi listrik akan berkisar juta SBM atau ribu Gwh dengan laju pertumbuhan rata-rata 10,11 persen per tahun. Dengan kondisi tersebut, konsumsi energi listrik per kapita akan meningkat dari 654 kwh/kapita di tahun 2011 menjadi masing-masing 905 kwh/kapita, kwh/kapita dan kwh/kapita di tahun 2015, 2019 dan Pangsa energi listrik juga akan meningkat dari 8,71 persen di tahun 2011 menjadi 12,88 persen di tahun

118 (Dalam juta SBM) (Dalam Persen) Listrik 96,93 140,29 201,53 314,46 Gas Bumi 121,2 204,01 273,68 436,29 EBT 279,05 277,58 275,15 276,25 BBM Blending 46,58 76,28 120,68 255,99 BBM 424,89 476,08 564,12 752,64 Batubara 144,26 189,23 253,77 406,37 Batubara BBM BBM Blending EBT Gas Bumi Listrik ,89 14,96 16,2 17,87 12,88 16,64 11,93 15,03 10,29 13,88 8,71 12, ,07 38,18 33,4 34,92 20,36 30,82 16,29 4,19 11,31 5,59 7,15 10,48 Batubara BBM BBM Blending EBT Gas Bumi Listrik Gambar 17 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Sampai Tahun 2025 (Skenario DASAR) Untuk batubara, seluruh konsumsi berasal dari sektor industri yang diperkirakan akan meningkat menjadi 406 juta SBM atau 95 juta ton di tahun Pada tahun , konsumsi batubara akan berkisar juta SBM atau juta ton dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,62 persen per tahun sehingga akan menyebabkan peningkatan pangsa batubara dari 12,96 persen di tahun 2011 menjadi 13,88 persen di tahun 2015 dan 16,64 persen di tahun Sementara untuk energi terbarukan yang didominasi oleh penggunaan biomassa tradisional berupa kayu bakar akan menurun menjadi 276 juta SBM di tahun Pada tahun 2015 sampai 2019, konsumsinya berkisar juta SBM dengan pertumbuhan rata-rata hanya -0,22 persen per tahun. Oleh karenanya, pangsa EBT ini akan mengalami penurunan dari 25,07 persen di tahun 2011 menjadi 20,36 persen di tahun 2015 dan 16,29 persen di tahun Secara lengkap, perkembangan konsumsi energi final dan perkembangan pangsa berdasarkan jenis energi sampai tahun 2025 dapat dilihat pada gambar berikut ini. Untuk memenuhi kebutuhan energi, diperlukan sistem penyediaan energi yang handal. Total Primary Energy Supply (TPES) atau total penyediaan energi utama sampai tahun 2025 akan meningkat menjadi juta SBM dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 6,14 persen (Tabel 31). Dengan asumsi kapasitas infrastruktur energi yang tidak banyak berubah saat ini, jenis energi batubara, gas bumi dan BBM (termasuk yang blending dengan BBN) akan menjadi pasokan energi yang dibutuhkan. Kondisi ini disebabkan tingkat kebutuhan yang akan sangat tinggi ke 118

119 depannya dan kapasitas infrastruktur konversi energi saat ini yang masih sangat rendah khususnya untuk BBM. Sebagai konsekuensi, impor beberapa jenis energi akan meningkat diantaranya LPG, BBM dan minyak bumi. Program konversi minyak tanah ke LPG membuat peningkatan tajam dari permintaan LPG. Sementara pada periode yang sama impor BBM terutama dari sektor transportasi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus membaik dan juga tidak adanya penambahan kilang baru. Di sisi lain, pasokan minyak bumi sebagai bahan baku kilang juga terus menurun dari tahun ke tahun. Sedikitnya penemuan lapangan baru berakibat kurangnya pengembangan sumur-sumur baru yang dapat meningkatkan produksi minyak bumi. Proyeksi jumlah ekspor dan impor secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 32 dan Tabel 33. Dengan merujuk pada hasil simulasi tersebut, diperkirakan pada tahun 2024, Indonesia akan menjadi net importir. 119

120 Tabel 31 Proyeksi Total Primary Energy Supply Sampai Tahun 2025 Dalam juta SBM Annual Growth BBM Blending 0 7,01 14,68 21,94 29,7 38,46 48,54 60,24 74,1 89,89 107,89 128,43 151,9 178,72 209,41 0,00% Biomassa (Kayu) 279,17 277,72 278,05 278,6 278,43 278,27 277,86 277,12 276,05 276,74 277,27 277,59 277,7 277,6 277,28-0,05% Minyak Bumi 248,7 245,97 243,27 240,59 237,95 235,33 232,74 230,18 227,65 225,14 222,67 220,22 217,8 215,4 213,03-1,10% Listrik 1,54 1,54 1,54 1,54 1,54 1, ,00% BBM 203,73 191,74 201,55 213,71 229,78 239,28 253,92 270,37 293,56 319,07 348,29 378,5 410,9 445,68 483,04 6,36% Panas Bumi 16,49 15,55 15,32 15,92 17,83 25,3 35,93 44,95 59,85 70,44 72,57 78,04 83,67 89,5 95,54 13,37% Hidro 31,27 29,33 31,9 34,29 37,58 40,66 51,13 52,73 59,35 67,79 76,76 84,37 92,74 101,94 112,05 9,54% LNG -176,93-157,43-150,68-144, ,73-100,75-98,85-90,13-85,63-81,29-71,27-67,21-63,28-59,49-7,49% LPG 23,91 33,79 41,72 48,68 54,51 59,25 63,06 66,14 68,67 70,74 72,51 74,06 75,47 76,75 77,95 8,81% Gas Bumi 410,56 432,35 447,23 461,42 471,16 463,8 470,61 479,78 489,45 506,22 527,57 544,21 568,06 595,14 626,05 3,06% Non BBM 54,55 48,28 50,33 52,71 55,45 58,52 61,86 65,41 69,12 72,96 76,89 80,89 84,95 89,05 93,18 3,90% Batubara 308,85 341,89 384,64 427,06 463,26 516,61 571,27 634,61 679,07 726,45 783,84 845,28 910,81 980, ,45 9,17% Total 1401, , , , , , , , , , , , ,8 2987, ,51 6,03% Catatan : Nilai positif untuk Jenis Energi Final seperti BBM, BBM Blending, LNG, LPG dan lainnya menunjukkan net impor. Nilai negatif menunjukkan net ekspor 120

121 Dalam juta SBM Tabel 32 Proyeksi Jumlah Impor Energi Sampai Tahun BBM Blending 0 7,01 14,68 21,94 29,7 38,46 48,54 60,24 74,1 89,89 107,89 128,43 151,9 178,72 209,41 N/A Minyak Bumi 96,86 96,24 105,03 113,39 121,33 128,88 136,04 142,84 149,29 155,41 161,21 166,7 171,9 176,81 181,46 4,59% Listrik 1,54 1,54 1,54 1,54 1,54 1, ,00% BBM 222,73 190,72 200,05 212,55 229,59 240,58 254,36 270,18 292,89 318, ,01 409,27 443,94 481,22 5,66% LPG 23,91 33,79 41,72 48,68 54,51 59,25 63,06 66,14 68,67 70,74 72,51 74,06 75,47 76,75 77,95 8,81% Gas Bumi 0 59,13 71,2 51,85 34,79 18,46 17, ,44 50,18 91,97 128,33 152,59 185,46 236,08 N/A Non BBM 82,59 48,28 50,33 52,71 55,45 58,52 61,86 65,41 69,12 72,96 76,89 80,89 84,95 89,05 93,18 0,87% Batubara 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,00% Total 427,83 436,89 484,74 502,84 527,1 545,87 581,79 604,99 667,7 757,41 857,65 955, , , ,49 8,14% Annual Growth Tabel 33 Proyeksi Jumlah Ekspor Energi Sampai Tahun Minyak Bumi 171,29 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57-1,66% BBM 30,53 19,56 19,08 19,42 20,39 21,88 21,02 20,39 19,91 19,56 19,29 19,09 18,95 18,84 18,76-3,42% LNG 176,94 157,43 150,68 144, ,73 100,75 98,85 90,13 85,63 81,29 71,27 67,21 63,28 59,49-7,49% Gas Bumi 163,39 206,82 210,17 182,83 162,31 159,69 158,58 138,15 117,01 113,08 110,59 108,3 87,58 73,09 73,35-5,56% Batubara 1173, , , ,7 1192, , , , ,6 1019,39 969,83 914,39 853,46 787,04 715,03-3,48% Total , , , , , , , , , , , , , ,2-3,88% Annual Growth 121

122 Secara komposisi, bauran energi Indonesia 10 akan berubah dari dominasi BBM ke dominasi batubara. Gambar 18 memperlihatkan bauran energi yang memperhitungkan biomassa tradisional (kayu). Sampai tahun 2025, terjadi pergeseran di mana BBM akan semakin berkurang menjadi 32,8 persen di tahun 2015; 22,8 persen di tahun 2019; dan 16,4 persen di tahun Sementara batubara terutama dengan kecenderungan peningkatan kebutuhan terutama untuk pasokan untuk pembangkit dan industri, akan terus meningkat menjadi 24,8 persen di tahun 2015; 32,2 persen di tahun 2019; dan 35,5 persen di tahun Porsi EBT sendiri akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan jenis energi utama yaitu biomassa tradisional berupa kayu bakar mulai ditinggalkan oleh masyarakat pedesaan seiring dengan peningkatan kesejahteraan. Kondisi serupa juga terlihat pada bauran energi tanpa menyertakan biomassa tradisional (Gambar 19). Yang menarik dari gambar tersebut adalah peningkatan bauran EBT non biomassa dari hanya 4,4 persen di tahun 2011 menjadi 12 persen di tahun 2025 atau lebih besar dari skenario DASAR yang hanya 7,8 persen. Gambar 18 Proyeksi Bauran Energi (dengan Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario DASAR 10 Penghitungan bauran energi tidak menyertakan penghitungan listrik dan BBM blending karena energi tersebut merupakan hasil konversi gabungan dari berbagai jenis energi. Selain itu juga untuk menghindari double counting. 122

123 Gambar 19 Proyeksi Bauran Energi (Tanpa Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario DASAR Pengembangan kapasitas listrik dilakukan untuk memenuhi target elektrifikasi rasio 100 persen di tahun Selain itu pengembangan kapasitas ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sektor perekonomian dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan terus meningkat. Merujuk pada asumsi-asumsi pertumbuhan ekonomi yang diambil, kebutuhan tenaga listrik selanjutnya diproyeksikan dan hasilnya seperti yang ditampilkan pada Tabel 34. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan energi listrik pada tahun 2025 akan menjadi 517 TWh, atau tumbuh rata-rata 8,77 persen per tahun, sedangkan beban puncak pada tahun 2025 akan menjadi MW atau tumbuh rata-rata 7,46 persen per tahun. Sampai tahun 2025, total kapasitas pembangkit yang dibangun PLN akan terus meningkat sampai 118 GW dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 8,08 persen per tahun. Sebagian besar dari kapasitas pembangkit berasal dari PLTU batubara. Di tahun 2011, pangsa kapasitas PLTU batubara masih 14,84 GW atau sekitar 40 persen dari total pembangkit namun seiring dengan penyelesaian program Fast Track Program MW tahap I yang didominasi PLTU Batubara maka akan meningkat menjadi 67 GW atau 56 persen dari total pembangkit di tahun 2025 kapasitas PLTU Batubara dengan pertumbuhan rata-rata dari tahun 2011 sebesar 11,37 persen per tahun. 123

124 Selain batubara, pembangkit yang akan mengalami peningkatan cukup tinggi adalah PLTP yang berasal dari panas bumi. Pada tahun 2011, kapasitas pembangkit ini mencapai MW dan diharapkan akan meningkat pada tahun 2025 menjadi MW dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 16,62 persen per tahun. Pembangkit ini bersama pembangkit PLTA (termasuk pico-mini-mikro hidro) diharapkan dapat menjadi pembangkit yang memenuhi kebutuhan listrik pada kondisi baseload. Gambar 20 Proyeksi Perkembangan Kapasitas Listrik Sampai Tahun

125 Tabel 34 Perkembangan Kebutuhan dan Beban Puncak Listrik Sampai Tahun 2025 Tahun Pertumbuhan Ekonomi (%) Total Kebutuhan (Gwh) Beban Puncak (GW) 6,49 6,23 5,70 5,90 6,10 6,30 6,50 6,70 7,00 7,00 7,00 7,00 7,00 7,00 7,00 159,53 173,53 190,70 209,75 230,89 254,29 277,85 303,56 331,68 357,27 384,81 414,44 446,33 480,64 517,55 25,19 27,06 29,38 31,92 34,70 37,75 41,11 44,32 47,79 50,80 54,01 57,41 61,03 64,88 68,97 125

126 Pembangkit lainnya yang diharapkan akan meningkat adalah PLT Biomassa yang meningkat dari 40 MW di tahun 2011 menjadi 270 MW di tahun 2025 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 15 persen per tahun. Apabila disertakan dengan pembangkit yang offgrid (non PLN), jumlah kapasitas pembangkit ini akan lebih besar lagi dimana pada tahun 2011 saja kapasitas PLT Biomassa (offgrid) sudah mencapai 1600 MW. Pembangkit lainnya yang akan dibangun adalah PLTG dan PLTGU yang diplot sebagai pembangkit untuk kondisi medium dan peak load. Gambar 20 dan Tabel 35 memperlihatkan proyeksi perkembangan kapasitas pembangkit dari masing-masing pembangkit. Berdasarkan simulasi model dari proses pembangkitan dengan memperhatikan perkembangan jumlah kapasitas dan capacity factor dari masing-masing pembangkit maka didapatkan jumlah listrik tersalurkan di tahun 2025 akan mencapai 553 Twh dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun 8,21 persen. Sebagian besar produksi listrik dipasok dari PLTU sebanyak 339 Twh atau 61 persen dari total keseluruhan. Gambar 21 dan Tabel 35 memperlihatkan perkembangan jumlah listrik yang dihasilkan masing-masing pembangkit. Gambar 21 Proyeksi Produksi Listrik Sampai Tahun

127 Tabel 35 Perkembangan Kapasitas Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun 2025 Dalam GW Annual Growth PLTU B 14,84 19,1 22,2 24,91 27,11 31,81 37,47 44,68 47,31 50,26 52,5 56,12 59,75 63,37 67,00 11,37% PLTU G 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,00% PLTU MFO 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,30 1,30 0,00% PLTG 4,24 4,54 4,95 5,6 7,57 7,71 7,84 8,02 8,2 8,23 8,31 8,71 9,11 9,50 9,90 6,25% PLTGU 8,48 9,22 9,38 9,47 10,02 10,27 10,27 10,27 10,27 10,27 10,42 10,56 10,71 10,85 11,00 1,88% PLTD 5,47 5,48 5,48 5,48 5,49 5,5 5,5 5,5 5,51 5,52 5,52 5,54 5,56 5,58 5,60 0,17% PLTA 3,94 4,09 4,33 4,49 4,76 5,34 7,08 7,75 8,69 9,62 10,25 10,87 11,48 12,09 12,70 8,71% PLTP 1,21 1,32 1,32 1,39 1,57 2,34 3,55 4,78 6,42 7,66 7,77 8,43 9,09 9,74 10,40 16,62% PLTMG 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,00% PLT Bayu ,00 0,00 0,00% PLTGB 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,00% PLTS 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,00% PLTU Biomasa 0,04 0,04 0,06 0,21 0,23 0,23 0,25 0,26 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 0,27 15,00% PLT MSW 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,00% Total 39,95 45,52 49,47 53,28 58,48 64,94 73,69 82,99 88,4 93,56 96,78 102,23 107,69 113,15 118,60 8,08% 127

128 Tabel 36 Perkembangan Produksi Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun 2025 Dalam GWh Annual Growth PLTU B 81 92,2 107,59 122,62 134,65 154,02 173,8 197,32 211,88 227,02 246,39 267,24 289,56 313,46 339,09 10,77% PLTU G 1,16 1,02 1,03 1,04 1,05 1,03 0,98 0,94 0,95 0,96 0,99 1,01 1,03 1,05 1,07-0,54% PLTU MFO 6,38 5,64 5,67 5,76 5,81 5,66 5,42 5,16 5,24 5,28 5,49 5,57 5,67 5,78 5,92-0,54% PLTG 11,05 10,47 11,46 13,18 17,96 17,82 17,36 16,91 17,54 17,75 18,63 19,81 21,08 22,45 23,93 5,68% PLTGU 45,21 43,45 44,39 45,53 48,61 48,56 46,53 44,29 44,92 45,3 47,74 49,11 50,67 52,42 54,36 1,33% PLTD 16,58 14,67 14,74 14,99 15,15 14,77 14,16 13,5 13,71 13,84 14,39 14,65 14,96 15,33 15,73-0,37% PLTA 12,42 11,39 12,12 12,74 13,65 14,92 18,95 19,74 22,44 25,06 27,76 29,84 32,08 34,49 37,07 8,12% PLTP 9,37 9,04 9,11 9,69 11,1 16,11 23,41 29,97 40,82 49,15 51, ,53 68,43 74,73 15,99% PLTMG 0,05 0,13 0,13 0,13 0,14 0,13 0,13 0,12 0,12 0,12 0,13 0,13 0,13 0,13 0,14 7,82% PLT Bayu ,54% PLTGB N/A PLTS ,54% PLTU Biomasa 0,2 0,23 0,38 1,27 1,38 1,39 1,43 1,44 1,49 1,51 1,56 1,59 1,61 1,65 1,69 16,53% PLT MSW N/A Total 183,42 188,25 206,61 226,96 249,51 274,42 302,17 329,39 359, ,9 445,95 479,33 515,2 553,74 8,21% 128

129 Selain peningkatan kapasitas pembangkit, kehandalan infrastruktur kelistrikan didorong oleh peningkatan efisiensi dari masing-masing pembangkit. Untuk menjaga ketersediaan kelistrikan maka ditentukan planning reserve margin yang diperkirakan pada tahun akan berkisar antara persen dari jumlah beban puncak. Selain pembenahan dalam infrastruktur pembangkit, kondisi transmisi dan distribusi listrik juga perlu dibenahi agar dapat mengurangi losses dari energi listrik yang dihasilkan sampai ke tingkat konsumen. Berdasarkan data historis tahun , tingkat losses semakin berkurang dari 16 persen menjadi hanya 9 persen di tahun Diharapkan pada tahun 2025, tingkat losses akan menjadi hanya 6,54 persen. Kondisi lainnya yang akan mendukung perbaikan sistem kelistrikan di Indonesia adalah perbaikan load factor. Pada tahun 2000, load factor hanya mencapai 69,54 persen yang artinya sebanyak kapasitas yang ada hanya digunakan secara rata-rata sebanyak 69,54 persen dari total waktu pada tahun 2000 sehingga cenderung tidak efisien. Pada tahun 2011, kondisi load factor sudah membaik menjadi 78,53 persen dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai lebih dari 90 persen Skenario RPJMN Kebutuhan Energi Final dan Primer Transportasi. Skenario RPJMN merupakan gabungan skenario dari skenario EBTKE, Migas, Skenario RPJMN Sub-skenario Pengembangan Energi Terbarukan Sub-skenario Pengembangan Energi Terbarukan berdasarkan skenario BAU yang sudah diintersep dengan semua roadmap pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi yang saat ini sedang dalam proses revisi di bawah dikoordinasi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), KESDM. Sebagai contoh, untuk pengembangan panas bumi, pada model ini diskenariokan berdasarkan draft revisi roadmap panas bumi seperti yang tercantum pada gambar di bawah ini. Pada tahun 2025 direncanakan kapasitas pembangkit panas bumi mencapai MW. Untuk tahun 2015 sampai 2019, kapasitas pembangkit berkisar dari MW sampai MW (penambahan kapasitas mencapai MW). 129

130 Geothermal Development Installed Capacity (MW) Tabel 37 Proyeksi Pengembangan Panas Bumi Development (MW) Added Capacity (MW) Total Installed Capacity Sumber : Draft Roadmap EBTKE, 2012 Tabel 38 Roadmap Mandatori BBN sampai Tahun 2025 (Permen ESDM No 25 Tahun Sektor September ) Biodiesel (Minimum) Januari 2014 Januari 2015 Januari 2016 Januari 2020 Januari 2025 Transportasi, PSO 10% 10% 10% 20% 20% 25% Transportasi, Non PSO 3% 10% 10% 20% 20% 25% Industri 5% 10% 10% 20% 20% 25% Pembangkit Listrik 7.50% 20% 25% 30% 30% 30% Bioetanol (Minimum) Sektor September 2013 Januari 2014 Januari 2015 Januari 2016 Januari 2020 Januari 2025 Transportasi, PSO - 0,5% 1% 2% 5% 20% Transportasi, Non PSO 3% 1% 2% 5% 10% 20% Industri - 1% 2% 5% 10% 20% Pembangkit Listrik Minyak Nabati (Minimum) Sektor September 2013 Januari 2014 Januari 2015 Januari 2016 Januari 2020 Januari 2025 Industri dan Transportasi (Low and Medium Speed Engine) Industri 1% 5% 10% 20% 20% 20% Transportasi Laut Transportasi Udara - 5% 10% 20% 20% 20% % 3% 5% Pembangkit Listrik 1% 6% 15% 20% 20% 20% 130

131 Untuk pengembangan bahan bakar berbasis biofuel, diskenariokan berdasarkan berdasarkan roadmap yang tercantum pada Peraturan Menteri ESDM No. 25 tahun 2013 tentang perubahan Perubahan Atas Permen ESDM No.32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain di mana pada tahun 2014 penggunaan bioethanol secara mandatori terus diberlakukan bertahap dari B10 di tahun 2014, B20 di tahun 2016, dan B25 di tahun Khusus untuk pembangkit listrik, mandatori akan berlaku dari B20 di tahun 2014 sampai B30 di tahun Sementara untuk bioethanol, terkecuali pembangkit listrik, mandatori BBN akan dilakukan bertahap dari E1 di tahun 2014, E2 di tahun 2015, E5 di tahun 2016, E10 di tahun 2020 sampai E20 di tahun Khusus untuk sektor transportasi PSO pentahapannya berbeda dari E0,5 di tahun 2014 sampai E20 di tahun Secara lengkap berikut adalah roadmap mandatori pemanfaatan BBN sesuai dengan Permen ESDM No. 25 tahun

132 Tabel 39 Proyeksi Pengembangan Kapasitas Produksi Bioenergi Jenis Bioenergi Satuan Biofuel Juta KL 0,36 0,90 1,93 2,31 2,69 3,16 3,63 4,28 4,92 5,80 6,67 8,61 9,91 11,75 13,51 Biodiesel Juta KL 0,359 0,9 1,78 2,05 2,35 2,71 3,11 3,58 4,12 4,73 5,45 6,26 7,20 8,28 9,52 Bioethanol Juta KL 0 0 0,06 0,16 0,20 0,30 0,36 0,60 0,68 0,80 0,92 2,00 2,30 3,00 3,45 Biooil Juta Kt ,1 0,12 0,13 0,15 0, ,23 0,27 0,31 0,35 0,40 0,47 0,54 Bioavtur Juta Kt ,08 0,08 0,13 0,14 0,14 0,14 0,15 0,15 0,16 0,16 Biogas Juta m Biomass Mwe Sumber: Draft Roadmap EBTKE,

133 Adapun untuk pengembangan kapasitas biofuel akan mengikuti proyeksi dari Ditjen EBTKE di mana produksi biofuel akan meningkat seriring dengan peningkatan kebutuhan dan persentase BBN yang diwajibkan (mandatori). Pada tahun 2015 produksi biodiesel diproyeksikan meningkat menjadi 2,35 juta kiloliter, dan terus meningkat menjadi 4,12 juta kiloliter di tahun 2019 dan 9,52 juta kiloliter di tahun Untuk jenis bioethanol yang saat ini vakum, diproyeksikan akan meningkat menjadi 0,2 juta kiloliter di tahun 2015, dan terus meningkat menjadi 0,58 juta kiloliter di tahun 2019 dan 3,45 juta kiloliter di tahun Tabel 39 menunjukkan secara lengkap rencana pengembangan kapasitas produksi dari semua jenis bioenergi. Sementara untuk energi lainnya diproyeksikan akan meningkat seperti tercantum pada Tabel 40 sebagai berikut. Tabel 40 Proyeksi Pengembangan Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Air dan Tenaga Surya Hidro Jenis Energi Satuan Tambahan Kapasitas MW 209, , , ,7 Kumulatif Kapasitas Terpasang MW 6.866, , , ,2 Surya Jenis Energi Satuan Tambahan Kapasitas MW Kumulatif Kapasitas Terpasang MW Sumber: Draft Roadmap EBTKE, 2012 Pada skenario ini juga dilakukan simulasi dari program konservasi yang tertuang dalam Draft Rencana Induk Konservasi Energi Nasional status 2011 sebagaimana tertuang pada tabel-tabel berikut ini. 133

134 Tabel 41 Tahapan Pencapaian Target Penghematan Energi Pada Sektor Pengguna Sektor Potensi Penghematan Pangsa Konsumsi Energi Target ( ) Implementasi Target ( ) Target ( ) Target Total Industri 25% 49% 5% 7% 10% 22% Komersial 25% 4% 5% 5% 5% 15% Trensportasi 35% 30% 5% 10% 10% 25% Rumah Tangga 30% 14% 5% 10% 10% 25% Lein-Loin 25% 3% 5% 5% 5% 15% NASIONAL 29% 100% 5.00% 8.2% 9.7% 23% Tabel 42 Tahapan Pencapaian Target Penghematan Energi Pada Proses Transformasi Sektor Potensi Penghematan Sektoral Pangsa Energi Potensl Penghematan terhadap Supply Naslonal Target ( ) Implementasi Target ( ) Target ( ) Target Power Generator 10% 12,5% 1,25% 0,25 0' 5% 0,5% 1,25% Trensmission & Distribution 6% 12,5% 0,75% 0,2% 0,25% 0,3% 0,75% % Refinery 1% 50% 0,5% 0,1% 0,2% 0,2% 0,5% NASIONAL 2,5% 0,55% 0 95% 1,0% 2,5% 134

135 Tabel 43 Tahapan Pencapaian Target Penghematan Energi Pada Proses Penyediaan Sektor Potensi Penghematan Sektoral Energi Potensi Penghematan terhadap Supply Nasional Target ( ) Implementasi Target ( ) Target ( ) Target Eksplorasi dan Eksploitasi 0,5% 0,75% 0,2% 0,25% 0,3% 0,75% Sub-skenario Pengembangan Minyak dan Gas Bumi Sub skenario ini berdasarkan skenario BAU yang sudah diintersep dengan semua roadmap atau indikasi perencanaan pengembangan migas yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, KESDM bersama SKK Migas. Produksi minyak dan gas diskenariokan bertambah seiring dengan proyeksi produksi berdasarkan rencana pengembangan lapangan migas dan neraca gas yang dikeluarkan oleh Ditjen Migas dan SKK Migas. Dari pipeline itu diperkirakan produksi minyak dari tahun 2012 sampai 2018 akan relatif stabil di kisaran 331 sampai 337 juta SBM per tahun. Sementara khusus untuk produksi gas , diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai puncaknya di tahun 2018 dengan kapasitas produksi di 637 juta SBM per tahun. 135

136 Tunu 13C 40 MMSCFD, 800BOPD Peciko 7B 220 MMSCFD, 4300 BOPD Terang Sirasun 300 MMSCFD KKKS: TOTAL E&P (KALTIM) KKKS: TOTAL E&P (KALTIM) KKKS: KANGEAN ENERGY (JATIM) Banyu Urip 165 MBOPD Ande-Ande Lumut 4300 BOPD Madura BD 100 MMSCFD, 750BOPD Kepodang 116 MMSCFD KKKS: MCL (JATIM) KKKS: GENTING OIL NATUNA (KEPRI) KKKS: HUSKY MADURA (JATIM) KKKS: PCML (JATIM) IDD Gendalo Hub 560 MMSCFD KKKS: CHEVRON INDONESIA CO. (KALTIM) KKKS: INPEX MASELA (MALUKU) Masela 355 MMSCFD, 2200 BOPD Sumpal 40 MMSCFD Rubi 50 MMSCFD South Mahakam 202 MMSCFD KKKS: COPI GRISSIK (SUMSEL) KKKS: PEARL OIL SEBUKU (SULBAR) KKKS: TOTAL E& P (KALTIM) Catatan: Slide ini pernah dipresentasikan DJM di kantor Wapres (menjadi pegangan bersama SKKMigas dan DJ Migas). Senoro 280 MMSCFD, 9000 BOPD IDD - Bangka 50 MMSCFD Jangkrik 290 MMSCFD, 400 BOPD Peciko 7C 20 MMSCFD, 280 BOPD KKKS: JOB PERTAMINA-MEDCO TOMORI (SULTENG) KKKS: CHEVRON INDONESIA CO. (KALTIM) KKKS: ENI MUARA BAKAU(KALTIM) KKKS: TOTAL E&P (KALTIM) IDD Gehem Hub 330 MMSCFD KKKS: CHEVRON INDONESIA CO. (KALTIM) : Minyak Bumi : Gas Bumi : Minyak dan Gas Bumi Gambar 22 Rencana Pengembangan Lapangan Migas Pengembangan infrastruktur kilang diskenariokan berdasarkan rencana pengembangan kilang oleh Pertamina dan yang melalui APBN. Di tahun 2018 diperkirakan kapasitas kilang akan bertambah sebanyak 600 MBSD yang berasal dari kilang Balongan II dan kilang Jawa Timur dan di tahun 2019, diperkirakan kilang APBN sudah bisa beroperasi dan dapat menambah kapasitas sebesar 300 MBSD. Untuk pemanfaatan gas kota dan gas untuk transportasi, proyeksi didasarkan pada Permen ESDM No. 19 tahun 2010 tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Bahan Bakar Gas Yang Digunakan Untuk Transportasi dan diproyeksikan secara linier sampai tahun Sub-skenario Transportasi Masal Sub-skenario ini berdasarkan skenario BAU yang sudah diintersep dengan asumsi penerapan transportasi masal di daerah perkotaan. Skenario transportasi ini mengasumsikan sejumlah 60 persen dari total kendaraan pribadi tersebut berada di perkotaan dan penerapan transportasi masal berpengaruh pada pergerakan kendaraan pribadi di 30 persen dari wilayah perkotaan maka intensitas penggunaan kendaraan pribadi akan menurun yang disertai dengan peningkatan jumlah kendaraan umum bis. 136

137 Hasil Proyeksi Kebutuhan Energi Skenario RPJMN Secara umum, pada skenario RPJMN terjadi penghematan konsumsi energi total di tahun 2025 sebesar 22,45 persen dari skenario DASAR. Hal ini disebabkan oleh program konservasi energi di tingkat pengguna. Kebutuhan energi final skenario RPJMN di tahun 2025 akan mencapai juta SBM atau hampir 2 kali kebutuhan energi final pada tahun Pada kurun , kebutuhan energi final akan berkisar dari sampai juta SBM atau rata-rata meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 3,87 persen per tahun. Angka ini lebih rendah dibandingkan skenario DASAR yang mencapai 5,5 persen per tahun. Kebutuhan energi sektor industri masih mendominasi total kebutuhan energi final yang kemudian diikuti oleh kebutuhan energi sektor transportasi. Pada sektor industri, diperkirakan terjadi penghematan konsumsi energi di tahun 2025 sebesar 21,80 persen dari skenario DASAR. Konsumsi energi sektor ini akan terus meningkat dari 359 juta SBM pada tahun 2011 menjadi 759 juta SBM di tahun Antara tahun 2015 sampai 2019 konsumsi energi sektor ini meningkat dari 432 juta SBM di tahun 2015 menjadi 537 juta SBM di tahun 2019 dengan laju pertumbuhan rata-rata 5,49 persen per tahun. Sementara itu pada sektor transportasi, penghematan konsumsi energi di tahun 2025 akan lebih besar yaitu sebesar 30,94 persen dari skenario DASAR. Sementara itu, konsumsi sektor transportasi meningkat dari 277 juta SBM di tahun 2011 menjadi 478 juta SBM di tahun Antara tahun konsumsi energi pada sektor transportasi akan berkisar dari juta SBM dengan laju pertumbuhan rata-rata 3,98 persen per tahun. Dengan kondisi di atas, pangsa konsumsi energi sektor industri meningkat secara signifikan dari 32,28 persen pada tahun 2011 menjadi dan 40,08 persen di tahun Pada tahun pangsa konsumsi energi sektor industri berkisar 33,73 36,07 persen. Sementara pangsa konsumsi energi sektor transportasi pada periode 2011 sampai 2025 akan sedikit meningkat sampai 25,29 persen. Sementara itu pada sektor komersial, penghematan konsumsi energi di tahun 2025 mencapai 30,01 persen dari skenario DASAR. Pada tahun , konsumsi energi sektor ini berkisar juta SBM dengan laju pertumbuhan rata-rata 5,16 persen per tahun. Pada sektor rumah tangga, konsumsi energi mengalami pertumbuhan paling kecil yaitu 1,30 persen per tahun sampai tahun Hal ini menyebabkan penurunan pangsa kebutuhan energi yang cukup signifikan terjadi pada sektor rumah 137

138 tangga dari 28,76 persen di tahun 2011 menjadi 20,25 persen di tahun Penurunan ini selain karena penetrasi teknologi yang lebih efisien juga disebabkan akan berkurangnya konsumsi energi tradisional biomassa (kayu bakar) seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara lengkap, perkembangan konsumsi energi final dan perkembangan pangsa berdasarkan sektor pengguna energi sampai tahun 2025 dapat dilihat pada gambar berikut ini (Dalam juta SBM) Non Energi 98,41 134,51 150,29 176,55 Energi Lainnya 24,82 22,75 24,2 29,24 Energi Komersial 32,93 40,79 49,88 66,56 Energi Transportasi 277,39 307,58 361,63 478,89 Energi Industri 359, ,35 758,99 Energi Rumah Tangga 320,1 343,28 366,45 383,45 Energi Rumah Tangga Energi Industri Energi Transportasi Energi Komersial Energi Lainnya Non Energi (Dalam Persen) 9,32 10, ,25 3,51 10,5 3,35 8,84 24,6 3,18 26,8 2,96 28, ,29 24,92 24,27 24,01 32,28 33,73 36,07 40,08 Energi Rumah Tangga Energi Industri Energi Transportasi Energi Komersial Energi Lainnya Non Energi Gambar 23 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Sektor Pengguna Sampai Tahun 2025 (Skenario RPJMN) Berdasarkan jenis energi finalnya, porsi BBM murni akan berkurang secara signifikan dan akan tergantikan dengan BBM Blending apabila penerapan kewajiban pemanfaatan biofuel sebagaimana yang tertuang dalam Permen ESDM No. 25 tahun 2013 berhasil dilaksanakan. Namun perlu diingat bahwa BBM Blending ini merupakan campuran dari BBM murni dengan Biofuel murni dan di tahun 2025, rasio BBM murni dengan Biofuel Murni akan berkisar 75 sampai 80 persen berbanding 20 sampai 25 persen. Sampai tahun 2025, pemanfaatan BBM murni akan menurun menjadi 129 juta SBM. Pada tahun , konsumsi BBM menurun dari 360 juta SBM menjadi 287 juta SBM dengan laju penurunan rata-rata 8,15 persen per tahun. Demikian juga dengan pangsanya yang akan menurun dari 38,18 persen di tahun 2011 menjadi hanya 6,83 persen di tahun Pangsa BBM di tahun 2015 sampai 2019 akan menurun dari 28,10 persen menjadi 19,26 persen. 138

139 Sebagaimana telah disampaikan di atas, sampai tahun 2025 konsumsi BBM Blending akan terus meningkat menjadi 532 juta SBM. Pada tahun , konsumsi BBM Blending meningkat dari 135 juta SBM menjadi 264 juta SBM dengan laju pertumbuhan rata-rata 18,99 persen per tahun. Dengan kondisi tersebut, pangsa BBM Blending akan meningkat dari 4,19 persen di tahun 2011 menjadi 28,07 persen di tahun Pangsa BBM Blending di tahun 2015 sampai 2019 akan meningkat dari 10,58 persen menjadi 17,70 persen. Sementara itu, konsumsi gas akan meningkat menjadi 412 juta SBM di tahun Pada tahun , konsumsi gas akan berkisar juta SBM dengan laju pertumbuhan rata-rata 9,14 persen per tahun. Pertumbuhan yang cukup pesat ini menyebabkan peningkatan pangsa gas yang cukup signifikan dari hanya 10,89 persen di tahun 2011 menjadi 15,69 persen di tahun 2015 dan 18,26 persen di tahun Sementara itu, pemanfaatan listrik juga akan meningkat menjadi 227 juta SBM atau 374 ribu Gwh di tahun Pada tahun , konsumsi listrik akan berkisar juta SBM atau ribu Gwh dengan laju pertumbuhan rata-rata 6,27 persen per tahun. Dengan kondisi tersebut, konsumsi energi listrik per kapita akan meningkat dari 654 kwh/kapita di tahun 2011 menjadi masing-masing 835 kwh/kapita, kwh/kapita dan kwh/kapita di tahun 2015, 2019 dan Dengan demikian, pada skenario ini sampai tahun 2025 terjadi penghematan listrik sebesar persen. Pangsa energi listrik juga akan meningkat dari 8,71 persen di tahun 2011 menjadi 12 persen di tahun (Dalam juta SBM) Listrik 96,93 129,71 170,55 227,17 Gas Bumi 121,2 201, ,59 EBT 279,05 277,61 275,23 276,64 BBM Blending 46,58 135,5 263,66 531,63 BBM 424,89 359,94 286,9 129,33 Batubara 144,26 177,13 221,46 316,31 Batubara BBM BBM Blending EBT Gas Bumi Listrik 10,89 15,69 18,26 21,79 (Dalam Persen) 12 11,45 10,13 8, ,7 14,87 13,83 12,96 6,83 19, ,07 38,1828,1 21,67 4,19 18,47 10,58 28,07 17,7 14,61 Batubara BBM BBM Blending EBT Gas Bumi Listrik Gambar 24 Proyeksi Konsumsi dan Pangsa Energi Final Berdasarkan Jenis Energi Sampai Tahun 2025 (Skenario RPJMN) 139

140 Untuk batubara yang seluruh konsumsinya untuk sektor industri diperkirakan akan meningkat menjadi 316 juta SBM atau 74 juta ton di tahun Pada tahun , konsumsi batubara akan berkisar juta SBM atau juta ton dengan laju pertumbuhan rata-rata 5,77 persen per tahun sehingga akan menyebabkan peningkatan pangsa batubara dari 12,96 persen di tahun 2011 menjadi 13,83 persen di tahun 2015 dan 14,87 persen di tahun Sementara untuk energi terbarukan yang didominasi oleh penggunaan biomassa tradisional berupa kayu bakar akan menurun menjadi 276 juta SBM di tahun Pada tahun 2015 sampai 2019, konsumsinya berkisar juta SBM dengan pertumbuhan rata-rata hanya -0,22 persen per tahun. Oleh karenanya pangsa EBT ini akan mengalami penurunan dari 25,07 di tahun Secara lengkap, perkembangan konsumsi energi final dan perkembangan persen di tahun 2011 menjadi 21,67 persen di tahun 2015 dan 18,47 persen pangsa berdasarkan jenis energi sampai tahun 2025 dapat dilihat pada gambar berikut ini. Untuk memenuhi kebutuhan energi, diperlukan sistem penyediaan energi yang handal. Total Primary Energy Supply (TPES) atau total penyediaan energi utama sampai tahun 2025 akan meningkat menjadi juta SBM dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 4,17 persen (Tabel 44). Sebagai konsekuensi dari penambahan kilang minyak dan penerapan mandatori BBN, impor minyak bumi sebagai bahan baku kilang akan meningkat tajam. Sementara itu impor BBM Blending akan menggantikan impor BBM. Hal ini disebabkan kapasitas fasilitas pengolahan atau pencampuran BBM dengan BBN yang masih belum mengimbangi kebutuhan. Impor LPG akan berkurang sekitar 20 juta SBM dari skenario DASAR. Proyeksi jumlah ekspor dan impor secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 45 dantabel 46. Merujuk pada hasil simulasi, diperkirakan pada tahun 2022, Indonesia akan menjadi net importir. 140

141 Tabel 44 Proyeksi Total Primary Energy Supply Sampai Tahun Ann, Avg (%) BBM Blending 0-215,73-125,97-35,57-29,93 67,55 84,76 102,92 123,69 143,95 156,77 168,85 179,07 187,41 232,97 0,00% Biofuel 2,07 13,54 13,99 14,42 17,68 13,93 17,8 22, ,6 42,51 51,7 62,67 75,45 79,85 29,82% Kayu Bakar Minyak Bumi 279,17 284,65 285,17 285,51 285,68 285,84 285,73 285,47 285,64 287,49 289,77 292,11 297,14 297,76 301,24 0,54% 248,7 281,71 281,71 281,71 281,71 281,71 281,71 619,42 725,18 725,18 725,18 725,18 725,18 725,18 725,18 7,94% Listrik 1,54 1,54 1,54 1,54 1,54 1, ,00% BBM 201,67 341,1 257,94 174,95 173,87 87,53 77,4-251,94-356,45-362,73-367,82-373,27-378,35-378,03-397,29 0,00% Panas Bumi 16,49 14,28 14,02 14,89 16,02 22,44 37,79 39,68 44,64 51,72 53,88 54,31 54,55 54,75 55,42 9,04% Hidro 31,27 42,51 42,27 43,64 50,45 53,52 52,43 52,31 55,64 66,21 72,02 75,13 75,5 80,89 81,5 7,08% LNG -176,93-160,34-155,97-151,66-135,67-117,41-114,33-114,22-107,19-104,28-101,43-92,82-90,08-87,39-84,75-5,12% LPG 23,91 22,32 28,22 33,4 37,73 41,24 44,06 46,32 48,16 49,65 50,9 51,99 52,94 53,79 54,55 6,07% Gas Bumi 435,55 418,71 440,34 460,6 474,4 473,75 488,46 508,43 525,2 545,43 569,41 589,03 611,78 638,73 668,09 3,10% Non- BBM 54,55 59,97 57,95 55,5 52,88 49,53 46,16 19,44 4,97-2,16-2,95-3,71-4,42-5,1-5,74 0,00% 141

142 Ann, Avg (%) EBT lainnya ,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 15,43% Batubara 308,85 316,42 353,27 388,56 414,3 456,6 500,8 556,34 594,73 622,6 655,64 695,18 729, ,62 7,18% Total 1.426, , , , , , , , , , , , , , ,65 4,17% 142

143 Tabel 45 Proyeksi Jumlah Impor Energi Sampai Tahun Ann, Growth BBM Blending Minyak Bumi 0 0,35 1,74 0,41 0,43 69,13 86,52 105,15 126,17 146,69 159,84 172,21 182,83 191,61 237,68 N/A 96,86 118,31 118,31 116,59 113,4 113,4 113,4 450,38 556,14 556,14 556,14 556,14 556,14 556,14 556,14 13,30% Listrik 1,54 1,54 1,54 1,54 1,54 1, ,00% BBM 222,73 353,49 269,43 186,17 184,94 98,55 85, ,00% LPG 23,91 22,32 28,22 33,4 37,73 41,24 44,06 46,32 48,16 49,65 50,9 51,99 52,94 53,79 54,55 6,07% Gas Bumi 98, ,66 25, , ,99 110,19 188,67 277,09 304,6 376,58 432,77 11,13% Non BBM 82,59 59,97 57,95 55,5 52,88 49,53 46,16 19,44 4, ,00% Batubara 0,18 0,19 0,2 0,2 0,21 0,22 0,23 0,24 0,26 0,29 0,32 0,36 0,41 0,48 0,57 8,54% Total 526,62 582,42 502,87 424,99 398,03 379,01 403,38 627,71 790,15 872,31 968, , , , ,24 6,70% 143

144 Tabel 46 Proyeksi Jumlah Ekspor Energi Sampai Tahun BBM Blending Minyak Bumi 0 216,08 127,71 35,97 30,36 1,58 1,76 2,23 2,48 2,74 3,07 3,36 3,76 4,21 4,72 102,83% 171,29 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57 135,57-1,66% BBM 21,07 11,51 10,69 10,49 10,4 10,43 7,83 251,48 356,07 362,42 367,58 373,09 378,23 378,03 397,29 23,34% LNG 176,93 160,34 155,97 151,66 135,67 117,41 114,33 114,22 107,19 104,28 101,43 92,82 90,08 87,39 84,75-5,12% Gas Bumi 237,2 206,82 210,17 182,83 167,02 193,34 158,58 137,36 117,01 113,08 110,59 108,3 87,58 73,09 73,35-8,04% Batubara 1.173, , , , , , , , , , , , ,55 993,09 955,25-1,46% Total 1.817, , , , , , , , , , , , , , ,8-0,61% 144

145 Secara komposisi, bauran energi Indonesia 11 akan berubah dari dominasi BBM ke dominasi batubara. Gambar 25 memperlihatkan bauran energi yang memperhitungkan biomassa tradisional (kayu). Sampai tahun 2025, terjadi pergeseran dimana BBM akan semakin berkurang menjadi 32,8 persen di tahun 2015; 22,8 persen di tahun 2019; dan 16,4 persen di tahun Sementara batubara terutama dengan kecenderungan peningkatan kebutuhan terutama untuk pasokan untuk pembangkit dan industri, akan terus meningkat menjadi 24,8 persen di tahun 2015; 32,2 persen di tahun 2019; dan 35,5 persen di tahun Porsi EBT sendiri akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan jenis energi utama yaitu biomassa tradisional berupa kayu bakar mulai ditinggalkan oleh masyarakat pedesaan seiring dengan peningkatan kesejahteraan. Gambar 25 Proyeksi Bauran Energi (Dengan Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario RPJMN Kondisi serupa juga terlihat pada bauran energi tanpa menyertakan biomassa tradisional (Gambar 26). Yang menarik pada tabel tersebut adalah peningkatan bauran EBT non-biomassa dari hanya 4,4 persen di tahun 2011 menjadi 12 persen di tahun 2025 atau lebih besar dari skenario DASAR yang hanya 7,8 persen. 11 Penghitungan bauran energi tidak menyertakan penghitungan listrik dan BBM blending karena energi tersebut merupakan hasil konversi gabungan dari berbagai jenis energi. Selain itu juga untuk menghindari double counting. 145

146 Gambar 26 Proyeksi Bauran Energi (Tanpa Biomassa) Sampai Tahun 2025 (dalam juta SBM) Skenario RPJMN Pengembangan kapasitas listrik dilakukan untuk memenuhi target elektrifikasi rasio 100 persen di tahun Secara umum, kebutuhan listrik dan beban puncak kelistrikan pada skenario ini lebih rendah karena adanya program konservasi energi yang secara konsisten dilaksanakan baik dari tingkat pengguna maupun di tingkat efisiensi infrastruktur penyedia tenaga listrik. Merujuk asumsi-asumsi pertumbuhan ekonomi yang diambil, kebutuhan tenaga listrik selanjutnya diproyeksikan dan hasilnya seperti yang ditampilkan pada Tabel 47. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan energi listrik pada tahun 2025 akan menjadi 373,9 TWh, atau tumbuh ratarata 6,23 persen per tahun, lebih rendah dari skenario DASAR yang hanya 8,77 persen. Beban puncak pada tahun 2025 akan menjadi 49 ribu MW, jauh lebih rendah dari beban puncak pada skenario DASAR yang mencapai 69 ribu MW dengan pertumbuhan ratarata 4,99 persen per tahun. 146

147 Tabel 47 Perkembangan Kebutuhan dan Beban Puncak Listrik Sampai Tahun 2025 Tahun Pertumbuhan Ekonomi (%) Total Kebutuhan (ribu Gwh) Beban Puncak (GW) 6,49 6,23 5,70 5,90 6,10 6,30 6,50 6,70 7,00 7,00 7,00 7,00 7,00 7,00 7,00 159,53 170,39 183,7 198,04 213,49 230,04 246,06 262,92 280,7 295,07 309,9 325,19 340,95 357,18 373,89 25,19 26,57 28,29 30,11 32,06 34,11 36,41 38,39 40,45 41,96 43,49 45,05 46,62 48,22 49,82 147

148 148 Gambar 27 Proyeksi Perkembangan Kapasitas Listrik Sampai Tahun 2025

149 Tabel 48 Perkembangan Kapasitas Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun 2025 Dalam GW Annual Growth PLTU B 14,84 19,1 22,2 24,91 27,11 31,81 37,47 44,68 47,31 50,26 52,5 56,12 59,75 63, ,37% PLTU G 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,00% PLTU MFO 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 0,00% PLTG 4,24 4,54 4,95 5,6 7,57 7,71 7,84 8,02 8,2 8,23 8,31 8,71 9,11 9,5 9,9 6,25% PLTGU 8,48 9,22 9,38 9,47 10,02 10,27 10,27 10,27 10,27 10,27 10,42 10,56 10,71 10, ,88% PLTD 5,47 5,48 5,48 5,48 5,49 5,5 5,5 5,5 5,51 5,52 5,52 5,54 5,56 5,58 5,6 0,17% PLTA 3,94 6,87 6,87 7,08 8,34 9,25 9,59 10,08 10,62 12,97 14,11 14,91 15,33 16,47 16,8 10,91% PLTP 1,21 1,34 1,32 1,4 1,54 2,25 4,02 4,44 4,95 5,89 6,13 6,26 6,44 6,48 6,64 12,94% PLTMG 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,00% PLT Bayu ,00% PLTGB 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,00% PLTS 0,01 0,06 0,1 0,22 0,33 0,38 0,43 0,48 0,53 0,62 0,63 0,68 0,73 0,78 1,11 36,66% PLTU Biomasa 0,04 2,2 2,3 2,4 2,58 2,79 3,07 3,41 3,84 4,37 5,04 5,87 7,92 8,22 9,81 48,69% PLT MSW 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,00% Total 39,95 50,53 54,33 58,29 64,7 71,69 79,9 88,61 92,95 99,84 104,38 110,38 117,26 122,98 129,58 8,77% 149

150 Sampai tahun 2025, total kapasitas pembangkit yang dibangun PLN akan terus meningkat hingga 130 GW dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 8,77 persen per tahun. Kapasitas pada skenario ini lebih besar dari skenario DASAR karena pada skenario ini kapasitas pembangkit berbasis energi terbarukan terutama panas bumi, pembangkit listrik tenaga air dan biomassa yang offgrid didasarkan pada draft roadmap Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, KESDM yang angkanya lebih besar dari angka RUPTL. Berdasarkan simulasi model dari proses pembangkitan dengan memperhatikan perkembangan jumlah kapasitas dan capacity factor dari masing-masing pembangkit maka didapatkan jumlah listrik tersalurkan di tahun 2025 akan mencapai 400 Twh dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun 5,73 persen. Sebagian besar produksi listrik dipasok dari PLTU sebanyak 226 Twh atau 56 persen dari total keseluruhan. Gambar 28 Proyeksi Produksi Listrik Sampai Tahun 2025 dan Tabel 49 memperlihatkan perkembangan jumlah listrik yang dihasilkan masing-masing pembangkit. Gambar 28 Proyeksi Produksi Listrik Sampai Tahun

151 Tabel 49 Perkembangan Produksi Listrik Berdasarkan Jenis Pembangkit Sampai Tahun 2025 Dalam GWh Annual Growth PLTU B 81 81,5 94,22 105,95 113,28 127,28 141,72 160,62 171,91 178,13 186,2 196,67 204,75 216,82 226,61 7,63% PLTU G 1,16 0,9 0,9 0,9 0,89 0,85 0,8 0,76 0,77 0,75 0,75 0,74 0,73 0,73 0,72-3,36% PLTU MFO 6,38 4,99 4,96 4,97 4,89 4,68 4,42 4,2 4,25 4,14 4,15 4,1 4,01 4 3,95-3,36% PLTG 11,05 9,25 10,04 11,39 15,11 14,72 14,16 13,77 14,23 13,93 14,08 14,58 14,91 15, ,68% PLTGU 45,21 38,41 38,88 39,34 40,89 40,12 37,94 36,06 36,45 35,55 36,08 36,14 35,83 36,26 36,33-1,55% PLTD 16,58 12,97 12,91 12,95 12,74 12,21 11,54 10,99 11,13 10,86 10,88 10,78 10,58 10,6 10,52-3,20% PLTA 12,42 16,9 16,82 17,38 20,11 21,35 20,93 20,91 22,25 26,51 28,86 30,13 30,3 32,5 32,77 7,18% PLTP 9,37 8,12 7,98 8,48 9,13 12,8 21,59 22,69 25,55 29,62 30,89 31,16 31,33 31,47 31,88 9,14% PLTMG 0,05 0,12 0,12 0,12 0,11 0,11 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,09 0,09 0,09 4,76% PLT Bayu ,36% PLTGB N/A PLTS ,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03 0,04 32,06% PLTU Biomasa 0,2 11,63 12,09 12,65 13,33 13,85 14,37 15,18 17,27 19,19 22,14 25,49 33,6 34,84 41,12 46,40% PLT MSW N/A Total 183,42 184,79 198,92 214,13 230,49 247,98 267,6 285,3 303,93 318,8 334,13 349,91 366,16 382,87 400,03 5,73% 151

152 4.1.4 Ketahanan Energi Indonesia Dengan menggunakan definisi ketahanan energi seperti di atas, maka untuk setiap skenario penyediaan energi berbeda, dapat dihitung ESI-nya dan membandingkan ketahanan energi untuk setiap skenario. Sebagai simulasi, dalam studi ini dikaji kondisi ketahanan energi di Indonesia dalam 5 tahun terakhir (data tahun ), dengan tahun didefinisikan sebagai skenario dan diasumsikan bahwa penilaian pakar memposisikan seluruh indikator adalah sama pentingnya, diperoleh grafik indikator relatif dan nilai indeks sebagai berikut. Year: All Years e6 e7 Relative Value of Energy Security Indicators e e2 0.4 Indonesia Indonesia Indonesia2009 e3 Indonesia2010 Indonesia2011 ESI Score Alt. I Alt. II Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia e5 e4 Gambar 29 Skor ESI Indonesia dan Grafik Nilai Indikator Relatifnya Tahun Pada gambar di atas terlihat bahwa dari tahun 2007 hingga 2011 Indonesia memiliki tingkat ketahanan energi yang berbeda. Ditinjau dari sisi ketergantungan terhadap impor, posisi Indonesia paling secure di tahun Ini disebabkan oleh persentase impor energi yang paling kecil dibandingkan tahun-tahun lainnya, walaupun secara fisik justru impor di tahun 2012 adalah yang tertinggi. Turunnya persentase impor terhadap konsumsi disebabkan pertumbuhan konsumsi lebih tinggi daripada peningkatan volume impor. Pertumbuhan konsumsi energi sendiri bisa dipicu oleh banyak faktor seperti peningkatan akses energi dan peningkatan daya beli masyarakat sehingga harga energi semakin terjangkau. Dari sisi konsentrasi terhadap jenis energi tertentu atau tingkat diversifikasinya, 152

153 ketahanan Indonesia paling baik adalah di tahun Hal ini disebabkan karena pola konsumsi energi nasional pada tahun tersebut lebih tidak terkonsentrasi pada jenis energi tertentu dibandingkan dengan tahun lainnya. Artinya, selisih paling kecil konsumsi energi antara satu jenis energi dengan energi lainnya terjadi pada Di sisi biaya pasokan energi, yang datanya diwakili oleh indeks harga listrik, Indonesia berada dalam posisi paling aman dan tahan di tahun 2007 karena indeks harga listrik pada tahun inilah yang nilainya terkecil. Dalam konteks ini, semakin kecil biaya pasokan energi dapat bermakna semakin efisiennya sistem penyediaan energi. Semakin efisien sistem penyediaan energi maka semakin tinggi tingkat ketahanan energinya. Di lain pihak, dari aspek besaran konsumsi energi per GDP, posisi Indonesia paling aman dan tahan adalah di tahun Hal ini mengindikasikan bahwa dalam kurun 2007 hingga 2011, kontribusi terbesar pemakaian energi terhadap GDP dicapai pada tahun Jumlah emisi CO 2 (dari sektor energi) Indonesia terendah adalah pada tahun Ini menjadikan tahun tersebut paling secure bagi Indonesia ditinjau dari sisi emisi. Sedangkan untuk elastisitas energi, tahun 2008 adalah tahun di mana Indonesia memiliki nilai elastisitas yang paling baik (terendah), sehingga dari sisi ini dapat dikatakan Indonesia paling secure pada tahun tersebut. Sementara itu, rasio elektrifikasi tahun terakhir (2011) merupakan yang terbesar. Hal ini mengindikasikan peningkatan akses terhadap listrik yang semakin luas dari tahun ke tahun. Berdasarkan indikator ini, Indonesia paling secure pada tahun Secara keseluruhan, dari perhitungan yang melibatkan penilaian pakar diperoleh tingkat ketahanan energi tertinggi Indonesia pada tahun 2011 dengan skor 0,540 (ESI Score alt. 1). Sementara dari perhitungan menggunakan metode root mean square diperoleh tingkat ketahanan energi tertinggi Indonesia pada tahun 2007 dengan skor 0,708 (ESI Score alt. 2). 153

154 4.1.5 Konsep Energi Hijau Pembangunan Berkelanjutan Konsep dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan (development) selalu didefinisikan dalam pengertian pertumbuhan ekonomi (economic growth). Suatu negara dikatakan maju apabila perekonomiannya meningkat dengan pesat dan kapasitas produktifnya berkembang dengan cepat. Dalam konteks ini, sulit membayangkan pembangunan tanpa adanya pertumbuhan ekonomi.pembangunan dipercaya dapat dicapai melalui produksi massal, investasi modal, dan tabungan (savings). Surplus ekonomi akan meningkatkan profit yang ditabung untuk investasi berikutnya. Pada akhirnya, profit yang meningkat, diasumsikan akan menetes ke masyarakat banyak (trickle down effect). Satu indikator pembangunan yang paling kasar namun banyak digunakan di banyak negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Persoalannya adalah sejauh mana pertumbuhan ekonomi, yang diukur dengan PDB, dapat dipakai sebagai alat ukur yang sesuai untuk pembangunan. Gagasan trickle down effect jarang terealisasi di negara-negara sedang berkembang. Sejumlah kecil penduduk memperoleh manfaat yang sangat besar dari perkembangan teknologi dan reorganisasi ekonomi. Hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya urbanisasi. Beberapa kelemahan PDB dalam mengukur hasil pembangunan antara lain disebabkan fokusnya yang lebih mengukur aktivitas produktif sektor formal di sektor primer seperti pertanian, industri, dan jasa, dengan tidak memperhitungkan sektor informal. Selain itu, PDB memasukkan kontribusi dari pemanfaatan sumber daya, tanpa melihat apakah sumber daya tersebut dapat diperbarui atau tidak. PDB juga tidak dapat membedakan antar kelompok- kelompok orang, terutama kelas-kelas sosial dalam suatu negara. Pembangunan yang terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan mengesampingkan dimensi pembangunan yang lain menimbulkan dampak sebagai konsekuensinya. Kemiskinan dan degradasi lingkungan merupakan dua masalah utama yang saat ini dihadapi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Di tingkat global, isu perubahan iklim menjadi pusat perhatian yang menyita perhatian dan memerlukan strategi penanganan yang kompleks dan komprehensif. Fenomena kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan ini mengarahkan pada diskusi apakah hal ini berarti bahwa lingkungan harus diselamatkan dan pembangunan ekonomi diturunkan? dan apakah memang akan selalu ada pertentangan antara pertumbuhan 154

155 ekonomi dan perlindungan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan muncul sebagai penawar kegagalan pembangunan yang terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan juga memperhatikan masalah lingkungan dan sosial sekaligus pertumbuhan ekonomi. Tesis dari pendekatan pembangunan ini adalah no sound development ethic without environmental wisdom, and vice versa. Brundtland Report (1987) mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai proses pembangunan yang berprinsip untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Konsep Pembangunan Berkelanjutan merupakan integrasi dan harmonisasi dari ke-4 pilar ekonomi (economically viable), sosial (socially acceptable), lingkungan (environmentally sustainable), dan tata kelola (good governance). Dalam pelaksanaannya, konsep ini berpedoman pada prinsip: a. Keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. b. Daya dukung dan daya tamping lingkungan. c. Keadilan antar generasi (intergenerational equity). d. Keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity). e. Prinsip pencegahan dini (precautionary principle). f. Perlindungan keanekaragaman hayati. g. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif. Sebagai sebuah konsep dan prinsip, pembangunan berkelanjutan telah menawarkan alternatif pelaksanaan pembangunan yang menjanjikan. Meskipun demikian, pembangunan berkelanjutan juga dianggap sangat abstrak. Seiring dengan semakin luasnya pemahaman tentang pembangunan berkelanjutan maka semakin rumit pula institusi yang dibangun di setiap lembaga yang menanganinya di suatu negara. Ekonomi Hijau (Green Economy) Pada tahun 2012, UN General Assembly mengadakan pertemuan di Rio de Janeiro dalam rangka merefleksikan 20 tahun pelaksanaan Agenda 21 hasil KTT Bumi di Rio Janerio 1992 dan 10 tahun kesepakatan World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun Pembahasan utama dalam pertemuan ini adalah 155

156 pengarusutamaan ekonomi hijau (green economy) sebagai salah satu alat untuk pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan penangulangan kemiskinan dan kelembagaan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan (Institutional Framework for Sustainable Development/IFSD). Konsep ekonomi hijau tidak dimaksudkan sebagai pengganti pembangunan berkelanjutan; akan tetapi ada pengakuan yang berkembang bahwa mencapai keberlanjutan hampir sepenuhnya bertumpu pada upaya mencapai perekonomian yang tepat. Dekade pembangunan brown economy yang berbasis pada bahan bakar fosil tidak dapat menangani masalah marjinalisasi sosial, degradasi lingkungan, dan deplesi sumber daya alam. Ekonomi hijau merupakan salah satu cara untuk mendorong tercapainya pembangunan berkelanjutan. Ekonomi hijau mendorong perlindungan sumber daya alam secara lestari, peningkatan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien, penyediaan lapangan kerja yang layak, dan pembangunan rendah karbon. Secara konseptual, UNEP (2009) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai sistem kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan distribusi, produksi dan konsumsi barang dan jasa yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang, sekaligus tidak menyebabkan generasi mendatang menghadapi risiko lingkungan yang signifikan atau kelangkaan ekologis. Seperti halnya konsep pembangunan berkelanjutan, setiap negara memiliki persepsi masing-masing dalam mendefinisikan konsep ekonomi hijau. Pada dokumen submisi Indonesia untuk outcome document pertemuan UNCSD pada tahun 2012 (Rio+20) pemerintah Indonesia menyatakan: Indonesia considers the Green Economy as a development paradigm that hinges on resources efficiency, which eventually would lead to more sustainable consumption and production patterns. In the same spirit, Indonesia s development is based on a four track strategy of pro-poor, pro-job, progrowth and pro-environment to ensure that economic growth, as one of the pillars, moves in concert with the other elements of sustainable development. Pada intinya, Indonesia memandang ekonomi hijau sebagai sebuah paradigma pembangunan yang berdasarkan pada efisiensi pemanfaatan sumber daya sebagai salah satu usaha untuk mengentaskan kemiskinan, menyediakan lapangan kerja yang layak, dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Menurut UNEP (2011) ada tiga prinsip utama green economy yang dapat dijadikan pilar utama yaitu low carbon (rendah karbon), resource efficient (efisiensi 156

157 sumberdaya), dan socially inclusive (inklusif sosial). UNEP memfokuskan pengembangan transisi menuju ekonomi hijau pada 11 sektor/bidang. Water Agriculture Buildings Wastes Transports Green Economy Cities Energy Tourism Fisheries Manufacturi ng Forests Gambar 30 Sebelas Sektor Fokus Pengembangan Transisi Ekonomi Hijau Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui status ekonomi hijau adalah PDB Hijau, yang mengoreksi besaran PDB dengan biaya-biaya lingkungan yang diperlukan untuk menangani dampak pembangunan terhadap lingkungan, dan juga nilai deplesi sumber daya alam yang terjadi. Studi Yusuf (2009) menunjukkan bahwa PDB hijau Indonesia setidaknya hanya sekitar 87 persen dari PDB konvensional. Jika menggunakan nilai PDB pada tahun 2010, maka biaya lingkungan pada tahun 2010 mencapai Rp 835 triliun. Biaya ini hampir setara dengan APBN di tahun yang sama sebesar Rp 990 triliun. Dengan demikian, jika pemerintah ingin merehabilitasi degradasi dan kerusakan lingkungan pada tahun tersebut maka hampir seluruh dana APBN akan habis digunakan. 157

158 Pertumbuhan Milyar Rupiah 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0% 6,1% 5,7% 5,5% PDB PDN Hijau Pertumbuhan PDB Pertumbuhan PDN Hijau Gambar 31 Perbandingan PDB Konvensional dan PDB Hijau Indonesia Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sebagai negara kepulauan dengan kegiatan ekonomi masyarakat yang sebagian besar bertumpu pada sumber daya alam, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan demikian, diperlukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sebagai salah satu target untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan Millennium Development Goals (MDGs). Upaya mitigasi dan adaptasi ini juga merupakan kebutuhan untuk merespon dampak perubahan iklim agar masyarakat siap untuk menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat perubahan iklim. Dua hal utama dalam upaya ini adalah menyusun low carbon development dan perubahan perilaku. Dalam rangka itu, Indonesia secara sukarela dan aktif berkontribusi dalam penurunan gas rumah kaca (GRK) dan pelaksanaan program adaptasi. Presiden RI telah berkomitmen dalam G20 Meeting (Pittsburg, September 2009) untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dengan upaya sendiri (unilateral) dan 41 persen dengan dukungan internasional. Hal ini sejalan dan merupakan perwujudan tindaklanjut Indonesia terkait kesepakatan UNFCCC dalam COP-13 di Bali, COP-15 di Copenhagen dan COP-16 di Cancun. Komitmen ini selanjutnya dituangkan dalam Perpres 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sebagai upaya terintegrasi untuk menurunkan emisi GRK. Selain itu, Pemerintah juga memandang rencana aksi ini sebagai instrumen untuk pembangunan rendah karbon menuju ekonomi 158

159 hijau dan pembangunan berkelanjutan. RAN-GRK merupakan pendekatan ganda untuk mengalokasikan upaya-upaya, termasuk sumber dayanya, dalam memitigasi dampak perubahan iklim. Rencana ini terdiri atas lima sektor, yaitu Pertanian, Kehutanan Lahan Gambut, Energi dan Transportasi, Industri, dan Limbah dan beberapa kegiatan pendukung lainnya. Selanjutnya, diarahkan pula pengembangan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) dengan tahap pertama di tingkat Provinsi dengan targettarget terukur yang akan dicapai. Hingga saat ini, ke-33 provinsi telah menyelesaikan RAD-GRK-nya dan menetapkannya melalui Peraturan Daerah. Dengan demikian, hasil dari pencapaian penurunan emisi GRK (RAN/RAD-GRK) ini diharapkan dapat menjadi pemicu terciptanya ekonomi rendah karbon di Indonesia. Tabel 50 Alokasi Penurunan Emisi di 5 sektor utama pada tahun 2020 Sektor Target Penurunan (Gton CO2e) 26% 41% Kehutanan dan Lahan Gambut 0,672 1,039 Pertanian 0,008 0,011 Energi dan Transportasi 0,036 0,056 Industri 0,001 0,005 Limbah 0,048 0,078 Total 0,767 1,189 Di dalam RAN-GRK, kebijakan sektor energi dan transportasi diarahkan pada: a. Peningkatan penghematan energi b. Penggunaan bahan bakar yang lebih bersih (fuel switching). c. Peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT). d. Pemanfaatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik, dan sarana transportasi. e. Pengembangan transportasi massal nasional yang rendah emisi, berkelanjutan, 159

160 dan ramah lingkungan Sasaran kebijakan sektor energi dan transportasi dalam RAN-GRK ditetapkan untuk: a. Menghemat penggunaan energi final baik melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih dan efisien maupun pengurangan konsumsi energi tak terbarukan (fosil). b. Mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan skala kecil dan menengah. c. (Avoid) - mengurangi kebutuhan akan perjalanan terutama daerah perkotaan (trip demand management) melalui penata-gunaan lahan mengurangi perjalanan dan jarak perjalanan yang tidak perlu. d. (Shift) - menggeser pola penggunaan kendaraan pribadi (sarana transportasi dengan konsumsi energi yang tinggi) ke pola transportasi rendah karbon seperti sarana transportasi tidak bermotor, transportasi publik, transportasi air. e. (Improve) - meningkatkan efisiensi energi dan pengurangan pengeluaran karbon pada kendaraan bermotor pada sarana transportasi. 160

161 Energi Hijau Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 telah menetapkan target energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional paling sedikit 17 persen. Target ini kemudian ditingkatkan menjadi 25 persen pada tahun 2025 dalam Kebijakan Energi Nasional yang baru. Di luar debat mengenai realistis atau tidaknya target ini untuk dicapai, kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan perintis dalam mewujudkan pengelolaan energi yang lebih ramah lingkungan di Indonesia. Kehijauan Sektor Energi di Indonesia Emisi merupakan salah satu indikator tingkat kehijauan pemanfaatan energi. Apakah emisi CO 2 akan selalu meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi energi? Belajar dari pengalaman negara-negara lain, dapat disimpulkan bahwa kenaikan emisi tidaklah berbanding lurus dengan kenaikan konsumsi energi. Gambar 32 menggambarkan pola hubungan antara konsumsi energi dengan emisi CO2 dari sektor energi untuk lima negara berkembang, yaitu Cina, Indonesia, Thailand, Turki, dan Brazil. (Sumber: Energy Sector Policy Brief, Bappenas dan Bank Dunia 2014) Gambar 32 Perbandingan Pola Hubungan Konsumsi Energi dan Emisi CO 2 untuk Lima Negara Berkembang 161

162 Dari Gambar 33, terlihat bahwa, dengan kondisi sumber dan pemanfaatan energi saat ini (bussiness as usual), Indonesia akan memiliki karakteristik dan menempuh pola yang sama dengan Cina. Hal ini berarti bahwa emisi CO 2 akan berbanding lurus dengan konsumsi energi. Tingginya tingkat emisi CO 2 di Cina terkait dengan dominasi penggunaan batubara yang mencapai 70 persen sumber energi primer. Selain itu, 50 persen bahan bakar untuk pembangkit listrik juga menggunakan batubara (Gambar 33), termasuk menjadi sepertiga sumber energi pada industri baja dan konstruksi. Gambar 33 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Cina Di samping pola Cina dan Indonesia, pada Gambar 33 Thailand, Turki, dan Brazil memiliki pola yang berbeda. Meskipun konsumsi energi di ketiga negara ini meningkat, pertumbuhan tingkat emisinya tidaklah setinggi Cina dan Indonesia. Dalam 25 tahun terakhir, Thailand telah berhasil mengubah bauran energi primernya di mana gas meningkat dari sekitar 25 persen menjadi hampir separuh dari energi primer dan minyak menurun dari sekitar 65 persen menjadi sekitar 33 persen, sedangkan batubara rata-rata 15 persen. 162

163 Di lain pihak, dalam 30 tahun terakhir, Turki juga telah berhasil menurunkan penggunaan minyak dalam bauran energi primernya dari sekitar 50 persen menjadi 25 persen. Di saat yang bersamaan, Turki meningkatkan pemanfaatan gas dari hampir 0 persen menjadi sekitar 30 persen, dan menurunkan penggunaan kayu bakar dari sekitar 25 persen menjadi 3 persen. Sebagai pembanding, proporsi bauran sumber energi pembangkit listrik di Thailand, Turki, dan Brazil adalah seperti pada Gambar 34 - Gambar 35. Di Thailand, pemanfaatan gas bumi meningkat hampir lima kali lipat dalam 25 tahun terakhir. Saat ini, hampir 70 persen sumber pembangkit listrik adalah gas bumi. Di lain pihak, meskipun penggunaan batubara di Turki mengalami peningkatan selama 30 tahun terakhir, akan tetapi penggunaan gas bumi dan tenaga air lebih mendominasi yang mencapai lebih dari 70 persen. Brazil sebagai negara tropis, memanfaatkan kelimpahan sumber daya air dengan baik. Lebih dari 80 persen sumber energi pembangkit listrik di Brazil berasal dari tenaga air. Dominasi ini telah berlangsung selama lebih dari 35 tahun. Keberhasilannya mengembangkan pembangkit listrik tenaga air dengan terus mempertahankan sumber daya air yang menjadi kekuatan pembangkit dapat menjadi pelajaran bagi negara-negara tropis lain, termasuk Indonesia. Gambar 34 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Thailand 163

164 Gambar 35 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Turki Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jika bauran energi primer suatu negara memiliki lebih banyak tenaga air (hidro), energi terbarukan, dan gas maka tingkat emisi dari sektor energinya akan lebih rendah. Banyak negara-negara berkembang telah dan mulai mengubah dominasi dari penggunaan batubara dan minyak ke penggunaan gas dan energi terbarukan dalam bauran energinya. Pilihan ini terbukti menurunkan tingkat emisi dari sektor energi. Indonesia, dengan proyeksi kebutuhan energi yang akan meningkat dua kali lipat dalam 15 tahun mendatang (asumsi BAU dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun pada ), harus mulai mengarah pada pilihan tersebut. Pada tahun 2006, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target komposisi bauran energi primer untuk tahun Perubahan drastis terjadi untuk proporsi minyak yang menurun dari 47 persen pada tahun 2010 menjadi 20 persen dan batubara (termasuk liquiefied coal) yang meningkat dari 24 persen menjadi 35 persen. Selain itu, proporsi gas dan energi baru terbarukan juga meningkat dari masing-masing 23 persen dan 5 persen menjadi 30 persen dan 15 persen. Beberapa proyeksi yang dilakukan baik oleh Pemerintah Indonesia (dalam Indonesia Second National Communication to UNFCCC 2010) maupun pihak lain diantaranya Asia-Pacific Energy Research Center/Institute for Energy Economics Japan pada tahun 2010 dan International Energy Agency pada tahun 2013 menunjukkan bahwa secara umum hanya target bauran untuk batubara yang dapat dicapai apabila tidak ada terobosan-terobosan penting dan besar 164

165 yang dilakukan saat ini. Gambar 36 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Brazil Jika ditelaah lebih jauh, target bauran energi 2025 tersebut diyakini lebih berprinsip pada upaya pemenuhan kebutuhan dari sumber daya energi dalam negeri (self-sufficiency) dari pada penurunan emisi. Hal ini dapat disimpulkan dengan memperkirakan tingkat emisi CO 2 relatif yang dilepaskan oleh masing-masing jenis sumber energi. Penurunan emisi sebagai akibat meningkatnya penggunaan sumber energi baru dan terbarukan dapat tereliminasi oleh peningkatan emisi akibat meningkatnya penggunaan batubara pada pembangkit-pembangkit listrik baru. 165

166 Gambar 37 Target Bauran Energi 2025 dan Potensi Emisi Relatif Sumber Energi Gambar 38 Proyeksi Emisi CO 2 dari Penggunaan Bahan Bakar Fosil di Indonesia Gambar 38 menunjukkan bahwa emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar fosil akan terus meningkat di ketiga hasil proyeksi. Pembangkit listrik diperkirakan akan menjadi sumber utama emisi CO 2 dari penggunaan energi. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil oleh industri dan transportasi domestik juga muncul menjadi sumber kunci emisi. Pada Gambar 39 terlihat bahwa diperkirakan bahan bakar fosil, terutama batubara, masih akan mendominasi komposisi bauran sumber energi pembangkit listrik hingga tahun

167 Gambar 39 Komposisi Bauran Sumber Energi Pembangkit Listrik di Indonesia Indonesia memiliki peluang besar untuk menempuh jalan (path) yang lebih hijau di sektor energi. Periode pembangunan jangka menengah yang akan datang ( ) merupakan saat yang tepat untuk mulai mengarah pada jalan tersebut. Setidaknya ada dua hal saat ini yang harus diperhatikan sebagai kunci untuk menuju sektor energi yang lebih hijau di Indonesia: a. Harga grosir (wholesale prices) bahan bakar thermal (minyak, batubara, LNG) mencerminkan harga pasar internasional bahan bakar tersebut. b. Harga eceran (retail prices) bahan bakar transportasi (gasoline dan diesel) dan listrik (untuk semua kategori) disubsidi sangat besar. Insentif Harga dan Pengelolaan Permintaan Kebijakan penetapan harga (pricing policy) merupakan salah satu kunci dalam pengelolaan energi. Kebijakan harga sangat berpengaruh pada kuantitas dan efisiensi penggunaan energi. Secara umum, ada dua pilihan dalam menentukan harga energi yaitu dengan pengenaan pajak atau pemberian subsidi. Salah satu metode klasifikasi harga eceran aktual (actual retail prices) energi adalah seperti pada Gambar

168 Sumber: GTZ for ; World Bank (2012), US EIA, and AA for 2012 Gambar 40 Klasifikasi Harga Eceran Aktual Energi dalam Interval Dua Tahun Retail price of Gasoline USc per ltr Lowest price in Europe Crude parity (Brent) Hong Kong USA price Nov 00 Dec 02 Nov 04 Nov 06 Nov 08 Nov 10 Jul Australia 125 China Malaysia Indonesia 50 Hong Kong Crude parity (Brent) Lowest price in Europe Sumber: GTZ for ; World Bank (2012), US EIA, and AA for Retail price of Diesel USc per ltr USA price Nov 00 Dec 02 Nov 04 Nov 06 Nov 08 Nov 10 Jul 12 Australia China Malaysia Indonesia Gambar 41 Perbandingan Harga Eceran Gasoline dan Diesel di Beberapa Negara Tahun Dengan menggunakan klasifikasi di atas, dapat dibandingkan pilihan kebijakan harga energi antar negara yang dalam hal ini adalah gasoline dan minyak diesel. Untuk harga gasoline, Hongkong menetapkan pajak pendapatan yang tinggi sedangkan Australia dan Cina menarik pajak pendapatan yang moderat. Di lain pihak, Indonesia dan Malaysia memberikan subsidi pada harga gasoline dalam dekade terakhir ini. Indonesia telah men-subsidi tinggi harga gasoline dan minyak diesel (Gambar 41). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, harga bahan bakar di Indonesia adalah 168

169 termasuk yang terendah di dunia, meskipun telah mengalami beberapa kali kenaikan di saat beban fiskal akibat subsidi menjadi sangat tinggi. Subsidi bahan bakar ini sebagian besar dinikmati tidak oleh kelompok masyarakat miskin yang menjadi sasaran subsidi. Kebijakan penetapan harga listrik dengan subsidi ternyata memberikan keuntungan kepada semua pelanggan, tidak terbatas pada pelanggan yang menjadi sasaran subsidi saja. Visualisasi mengenai penetapan subsidi listrik dan keuntungan yang diterima oleh tiap kelas pelanggan di tahun 2011 digambarkan pada Gambar 42. Sumber: PLN Dengan nilai tukar tahun 2011 (Rp /US$), Sales 160 TWh, dan PSO Rp. 93 Triliun Gambar 42 Kebijakan Harga Listrik Tahun 2011 per Kategori Tarif Dalam penetapan harga bahan bakar, hal yang paling penting dalam menentukan harga eceran adalah hubungan antara harga internasional bahan bakar dan harga domestiknya. Hubungan ini dapat berupa: c. Full pass-through. d. Partial pass-through, baik secara discretionary maupun rule-based. 169

170 Indonesia telah menerapkan banyak tipe pass-through harga ini, antara lain adalah dengan menerapkan rule-based with trigger untuk harga eceran bahan bakar dan full pass-through untuk industri. Untuk harga eceran bahan bakar, aturan yang dimaksud adalah klausul yang memperbolehkan kenaikan harga apabila rata-rata harga ICP selama enam bulan terakhir meingkat 15 persen di atas asumsi APBN ($105/bbl). Respon permintaan terhadap kenaikan harga eceran bahan bakar sangat bergantung pada ketersediaan bahan bakar alternatif. Sebagai contoh adalah konsumsi minyak tanah yang sejak tahun 2005 harganya dinaikkan dan menyebabkan menurunnya permintaan akan minyak tanah. Hal ini disebabkan ketersediaan LPG dan kayu bakar sebagai alternatif (pengganti) dari minyak tanah ini. Kebijakan substitusi minyak tanah ke gas dengan menaikkan harga minyak tanah dan memberikan pilihan gas LPG 3 kg merupakan contoh respon negatif permintaan terhadap kenaikan harga bahan bakar. Respon berbeda muncul pada permintaan gasoline dan diesel. Kenaikan harga diesel pada tahun 2005 dan 2008 menyebabkan turunnya secara drastis konsumsi diesel bersubsidi untuk sementara akan tetapi kemudian kembali meningkat. Di lain pihak, konsumsi gasoline terus meningkat tanpa terpengaruh adanya kenaikan harganya. Hal ini disebabkan karena kedua bahan bakar ini tidak memiliki alternatif substitusi yang lain sehingga konsumen tidak punya pilihan lain selain terus mengkonsumsinya. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa konsumsi gasoline akan terus meningkat. Konsumsi gasoline memiliki kecenderungan untuk terus meningkat sebanding dengan peningkatan PDB perkapita suatu negara. Gambar 43 memperlihatkan pola hubungan antara konsumsi gasoline dengan PDB per kapita di beberapa negara yang ternyata berbeda-beda. Hal ini dapat dijadikan salah satu indikator efisiensi penggunaan energi. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa level efisiensi Indonesia masih rendah sehingga diperlukan upaya untuk menghindari gaya konsumsi yang boros dan emisi yang tinggi ini. 170

171 Sumber: Data dan Hasil Perhitungan Bank Dunia Gambar 43 Konsumsi Gasoline per Kapita pada Tingkat PDB per Kapita yang Berbedabeda untuk Beberapa Negara Tahun Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah meningkatkan jumlah kendaraan, termasuk sepeda motor, dengan bahan bakar gasoline maupun diesel secara signifikan. Belum tersedianya sistem transportasi publik yang efisien menyebabkan penduduk tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan kendaraan pribadinya. Tidak ada pilihan untuk berpindah pada moda transportasi yang lebih ramah lingkungan baik secara individu maupun komunal. Dari sisi pengelolaan permintaan, kebijakan penetapan harga saat ini harus diubah mengingat bahwa memperkirakan harga bahan bakar dan nilai tukar rupiah adalah upaya kunci yang sangat sulit dikontrol. Selain itu, kontrol terhadap volume konsumsi bahan bakar juga sangat sulit dilakukan sebagaimana telah dicoba oleh banyak negara dan tidak berhasil. Penetapan harga dengan metode rule-based sangat diperlukan karena penetapan harga sesuai harga pasar (market-driven pricing) sangat membantu dalam mengurangi penggunaan energi yang boros dan juga menurunkan total 171

172 emisi dari penggunaan energi. Hal lain yang juga perlu dilaksanakan secara paralel adalah membangun sistem transportasi publik yang efisien sebagai prasyarat pemenuhan alternatif kebutuhan transportasi yang sekaligus juga mengurangi tingkat emisi. Trade-off dari Pilihan-pilihan Kebijakan Gas Bumi: Untuk Transportasi (CNG) atau Pembangkit Listrik? Dalam satu dekade terakhir, berdasarkan data dalam NGV Global and THe Gas Vehicle Report pada bulan Februari 2014, sekitar 77 persen kendaraan berbahan bakar gas (CNG) di dunia didominasi oleh enam negara, yaitu Iran (18 persen), Cina (15 persen), Pakistan (14 persen), Argentina (12 persen), Brazil (9 persen) dan India (persen). Iran adalah negara dengan cadangan gas bumi terbesar di dunia dan 60 persen dari bauran energi primernya adalah gas bumi. Pada tahun 2003, CNG mulai dipergunakan untuk mengatasi tingginya polusi udara di kota-kota besar. Di tahun 2008, kebijakan pengurangan subsidi BBM diberlakukan sehingga harga minyak meningkat tajam. Meskipun demikian, kebijakan ini diawali dengan meluncurkan kembali program penggunaan CNG sebagai alternatif. Kemudian sejak tahun 2012 diberlakukan sanksi berat bagi para pengimpor gasoline dan diesel. Harmonisasi kebijakan dan tahapan subtitusi secara terencana ini membuat proses transisi dan tujuan kebijakan dapat tercapai dengan baik. Pengalaman berbeda dapat dipelajari dari Pakistan. Pada tahun insentif fiskal berupa well-head prices yang tinggi diberikan untuk menarik investasi sehingga produksi gas bumi meningkat dua kali lipat. Di tahun 1999, CNG mulai diperkenalkan sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan dengan harga 60 persen dari harga gasoline. Akan tetapi, pada periode , dengan tingkat pertumbuhan PDB sebesar 7 persen per tahun insentif well-head prices ditetapkan konstan mengikuti harga di tahun 2001 (rata-rata 3,5 USD/mmbtu). Hal ini menyebabkan surplus gas tidak lagi terjadi sejak tahun 2008, seluruh produksi gas bumi dikonversi menjadi CNG sementara pembangkit listrik didominasi oleh bahan bakar minyak. Saat ini kekurangan pasokan gas (CNG) sangat sering terjadi, antrian panjang di stasiun pengisian CNG menjadi pemandangan sehari-hari dan memicu kenaikan harga CNG. Kebijakan penetapan harga yang tidak tepat (terlalu murah dan tidak menyesuaikan dengan kondisi perekonomian) membuat tujuan kebijakan tidak tercapai secara berkelanjutan. 172

173 Di Indonesia, pada tahun 2012, harga gas (CNG) ditetapkan sebesar 55 persen dari harga gasoline, akan tetapi sekitar 45 persen dari harga gasoline tersebut merupakan subsidi (Gambar 44). Hal ini tidak memberikan insentif apapun kepada pemilik kendaraan untuk berpindah ke CNG karena biaya yang dikeluarkan masih setara dengan menggunakan gasoline. Untuk itu, ada dua pilihan kebijakan yang dapat ditempuh: e. Penetapan harga CNG yang lebih rendah (akan tetapi harus tetapi di atas biaya pengadaannya); atau f. Harga domestik gasoline dinaikkan secara simultan. Keterangan: Harga gas diambil dari harga LNG impor 2012 untuk Nusantara Regas; Harga gasoline ditetapkan ekuivalen dengan MOPS Gasoline 2012 rata-rata Rp 8.029/liter (=83 US cents/liter). Gambar 44 Trade-off antara CNG dan Gasoline di Indonesia pada Harga Tahun 2012 Dengan melakukan simulasi penetapan harga CNG sebesar 45 persen dari harga aktual gasoline; penambahan jumlah mobil dari tahun 2011 ke 2012 adalah sebesar mobil; dan asumsi bahwa rata-rata konsumsi bahan bakar adalah setara dengan Honda Civic 2011 maka dapat diketahui besarnya subsidi yang dapat dihindari apabila semua mobil baru tersebut menggunakan CNG (Tabel 51). Jika semua mobil baru tersebut berbahan bakar gasoline diperlukan 2,41 juta kiloliter gasoline sepanjang tahun tersebut. Dengan harga keekonomian gasoline sebesar Rp /liter dan harga bersubsidi sebesar Rp /liter maka subsidi yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 8,5 173

174 triliun. Sebaliknya, jika semua mobil baru tersebut berbahan bakar CNG maka diperlukan 83,9 bcf CNG sepanjang tahun tersebut. Dengan harga CNG yang ditetapkan, maka seluruh biaya CNG ditanggung oleh konsumen sehingga tidak ada subsidi yang diperlukan. Dari perhitungan ini dapat disimpulkan bahwa dengan mengkonversi 10 persen mobil menjadi berbahan bakar CNG maka jumlah anggaran subsidi yang dapat dihemat adalah sebesar Rp. 8,5 triliun dan emisi CO 2 yang dapat dihindari sebesar 0,4 juta ton. Meskipun demikian, skenario ini memiliki keterbatasan dalam penyediaan gas, terutama infrastruktur untuk distribusinya. Tabel 51 Simulasi Trade-off antara CNG dan Gasoline Honda Civic 2011 Gasoline CNG Mileage 10,6 km/liter 0,3 km/cubic feet Rata-rata konsumsi per tahun liter cubic feet Rata-rata perjalanan per tahun km km Jumlah mobil baru mobil mobil Total konsumsi bahan bakar 2,41 juta kiloliter 83,9 juta cf Penetapan harga Harga keekonomian Rp. 45% dari harga aktual 8.029/liter; Harga gasoline bersubsidi Rp /liter Jumlah subsidi yang diperlukan Rp. 8,5 triliun Rp. 0 Selanjutnya, jika kebutuhan gas sebesar 83,9 bcf yang dialokasikan untuk mobilmobil berbahan bakar gas di atas dialihkan untuk pembangkit listrik dengan asumsi bahwa gas tersebut adalah LNG dengan harga US$ 12/mmbtu dan tingkat efisiensi konversi pembangkit listrik tenaga gas PLN adalah 8,89 cf/kwh maka akan diproduksi 9,4 Terawatt listrik dengan biaya Rp. 9,7 triliun. Perbandingan antara pembangkit listrik tenaga gas dengan pembangkit listrik tenaga batubara dan diesel untuk menghasilkan daya listrik yang sama dirangkum pada Tabel 52. Dengan subsidi yang dapat dihemat sebesar Rp. 14 triliun, jauh lebih tinggi dari subsidi yang dapat dihemat jika gas tersebut digunakan untuk transportasi sebesar Rp. 8,5 triliun, maka akan lebih baik jika gas tersebut digunakan untuk pembangkit listrik menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (minyak). Hasil simulasi dengan menggunakan harga gas domestik sebesar US$ 174

175 5,74/mmbtu lebih menguatkan kesimpulan dari simulasi ini. Tabel 52 Simulasi Perbandingan antar Pembangkit Listrik Gas-fired Plants Coal-fired Plants Diesel-fired Plants Efisiensi konversi pembangkit 8,89 cf/kwh 0,5 kg/kwh 0,28 liter/kwh Bahan bakar untuk menghasilkan 9,4 83,9 bcf 4,72 juta ton 2,64 juta kiloliter Terawatt Harga untuk PLN (2012) US$ 12/mmbtu Rp. 846/kg Rp /liter Total biaya Rp. 9,7 triliun Rp. 3,99 triliun Rp. 23,65 triliun Dibandingkan dengan gas: - Lebih murah Lebih mahal - Penghematan subsidi jika konversi ke gas - Rp. 0 Rp. 14 triliun - Emisi CO 2 yang dihindarkan jika konversi ke gas - 4,4 juta ton 2,3 juta ton Dari pembahasan pada subbab ini dapat disimpulkan bahwa harga gasoline sebaiknya dinaikkan (subsidi dikurangi) untuk memberikan daya tarik pada penggunaan CNG. Selain itu, diperlukan jaringan distribusi gas yang luas untuk mendukung penggunaan CNG untuk kendaraan penumpang. Dengan demikian, jika penghematan subsidi (atau penurunan emisi CO 2 ) menjadi tujuan kebijakan, maka akan lebih baik jika tambahan alokasi gas (bahkan untuk LNG sekalipun) digunakan untuk mengkonversi/menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel daripada alokasi gas tersebut digunakan untuk transportasi (CNG). 175

176 Tabel 53 Rangkuman Hasil Simulasi Trade-off Penggunaan Gas untuk Transportasi dan Pembangkit Listrik Perbandingan Pilihan Penghematan Mitigasi Emisi Subsidi CO 2 Gas untuk menggantikan gasoline pada mobil penumpang CNG (juga LNG atau domestik) Rp. 8,5 T 0,3 juta ton Gas untuk pembangkit listrik (LNG) - Menggantikan pembangkit listrik batubara - Menggantikan pembangkit listrik diesel 0 Rp. 14 T 4,4 juta ton 2,3 juta ton Gas untuk pembangkit listrik (gas domestik) - Menggantikan pembangkit listrik batubara - Menggantikan pembangkit listrik diesel 0 Rp. 19 T 4,4 juta ton 2,3 juta ton Energi Bersih Konsep dan definisi ketahanan energi terus berkembang. Awalnya ketahanan energi hanya menyangkut dimensi fisik, kemudian berkembang mencakup dimensi ekonomi dan lingkungan. Dewasa ini, mengukur dampak negatif penyediaan dan pemanfaatan energi terhadap lingkungan dengan hanya menggunakan indikator emisi CO 2 dinilai tidak cukup lagi. Hal ini karena penyediaan dan pemanfaataan energi dapat menimbulkan dampak negatif yang berskala baik global, regional, maupun lokal. Sementara itu, emisi CO 2 merupakan indikator yang mewakili dampak negatif penyediaan dan pemanfaatan energi secara global. Oleh karena itu, diperlukan sebuah indikator yang dapat memotret dampak penyediaan dan pemanfaatan energi secara dengan sudut pandang yang lebih luas. Indikator Energi Bersih Dengan metode yang sama seperti yang digunakan pada ESI, kajian ini juga mengusulkan Composite Clean Energy Indicator (CEI) yang terdiri dari 4 indikator elemen yaitu (1) Persentase energi fosil terhadap total pasokan energi, (2) GWP: Global Warming Potential, (3) POCP: Photochemical Ozone Creation, dan (4) AP: Acidification Potential. Misalkan c j,k adalah indikator relatif clean energy untuk indikator absolut clean energy C j,k pada skenario j dan elemen indikator k. Untuk sebuah 176

177 sistem yang terdiri dari a skenario dan empat elemen indikator clean energy, indikator relatif c j,k dari C j,k untuk elemen m (k=m) didefinisikan sebagai: c j, k j a, k m max ( C max ( C j 1, k m j a, k m j 1, k m j, k j, k ) ) C j a, k m min ( C j 1, k m j, k j, k ), c j,k merupakan nilai relatif dari C j,k yang telah di skalakan untuk bernilai antara 0 dan 1. Selanjutnya empat indikator relatif tersebut diintegrasikan menjadi sebuah indikator komposit. Seperti halnya ESI, dalam dokumen ini diusulkan dua alternative CEI. Alternatif-alternatif ini dibedakan berdasarkan teknik pembobotan masing-masing indikator relatif. Indikator elemen dalam CEI didesain untuk mewakili beberapa dimensi yaitu keseriusan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber-sumber energi fosil, dan dampak negatif terhadap lingkungan yang dihasilkan oleh sistem penyediaan energi dalam skala global, regional, maupun lokal. Indikator persentase energi fosil terhadap total pasokan energi (C1) mewakili keenggangan pemerintah untuk tidak tergantung kepada sumber energi fosil. Indikator elemen pertama (k=1) dari CEI menggambarkan persentasi pasokan energi yang berasal dari fosil terhadap total pasokan energi dan didefinisikan sebagai: C j, k 1 pasokan energi fosil total pasokan energi primer dan indikator relatifnya adalah c j,k=1. Persentase energi fosil yang tinggi mencerminkan keengganan pemerintah untuk tidak bergantung kepada sumber energi fosil. Nilai c j,k=1 mendekati nol menunjukan skenario j mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil, begitu juga sebaliknya. Global warming merupakan fenomena terperangkapnya panas pada atmosfer bumi akibat adanya kenaikan konsentrasi gas rumah kaca atau Green House Gases (GHGs). Diantara sekian banyak GHGs, CO 2 merupakan GHG yang terpenting karena jumlahnya paling banyak diantara emisi GHGs yang lain. Pada tahun 2004, emisi CO 2 dari hasil pembakaran bahan bakar fosil mencapai 80 persen dari total emisi CO 2. Hal ini menunjukkan besarnya sumbangan sektor penyediaan energi terhadap potensi global warming. Walaupun CO 2 merupakan emisi GHG terbanyak diantara GHGs yang lain, emisi GHG yang lain tidak dapat diabaikan, karena walaupun total emisinya sangat 177

178 kecil tetapi potensi untuk dapat menyebabkan global warming bisa beratus-kali lipat potensi yang dimiliki oleh CO 2. Indikator Global Warming Potential (GWP) ini diadopsi menjadi indikator elemen kedua (k=2) dari CEI (C j,k=2 ) dan indikator relatifnya adalah c j,k=2. Indikator ini dihitung dengan menjumlahkan seluruh emisi yang berpotensi menimbulkan global warming dengan kesetaraan seperti pada Tabel 54 berikut ini. Indikator ini dinyatakan dalam satuan kg CO 2 eq. Tabel 54 Faktor Kesetaraan GWP Subtances Global Warming Potential (kg CO 2 eq. / kg substance) CO 2 1 CH 4 23 N 2 O 296 CO 1,53 Source :CML (Center of Environmental Science), 2000 Untuk skenario j, semakin tinggi nilai C j,k=2 maka semakin besar potensi terjadinya global warming. Nilai c j,k=2 yang mendekati nol menunjukkan skenario j mempunyai potensi global warming terbesar dibanding skenario yang lain. Hal ini berarti skenario j mempunyai tingkat clean energy paling rendah dibanding skenario yang lain, begitu juga sebaliknya. Indikator photochemical ozone creation potential (C3) menggambarkan potensi terbentuknya smog akibat bereaksinya hidrokarbon dan NO x dibawah sinar ultraviolet. Indikator ini dadopsi menjadi indikator elemen ketiga (k=3) dari CEI (C j,k=3 ) dan indikator relatifnya adalah c j,k=3. Indikator ini dihitung dengan menjumlahkan seluruh emisi yang berpotensi menimbulkan photochemical ozone creation dengan kesetaraan seperti pada Tabel 55 berikut ini. Indikator ini dinyatakan dalam satuan kg C 2 H 4 eq. Tabel 55 Faktor Kesetaraan POCP Substances Photochemical Ozone Creation Potential (kg C 2 H 4 eq./ kg substance) 178

179 Substances Photochemical Ozone Creation Potential (kg C 2 H 4 eq./ kg substance) NO x 0,028 SO x 0,048 CH 4 0,006 CO 0,027 Untuk skenario j, semaikin tinggi nilai C j,k=3, maka semakin besar potensi terjadinya smog. Nilai c j,k=3 yang mendekati nol menunjukkan skenario j mempunyai potensi photochemical ozone creation terbesar dibanding skenario yang lain. Hal ini bererti skenario j mempunyai tingkat clean energy paling rendah dibanding skenario yang lain, begitu juga sebaliknya. Indikator acidification potential (C4) menggambarkan potensi terjadinya hujan asam (acid rain). Indikator ini dadopsi menjadi indikator elemen ketiga (k=4) dari CEI (C j,k=4 ) dan indikator relatifnya adalah c j,k=4. Indikator ini dihitung dengan menjumlahkan seluruh emisi yang berpotensi menimbulkan hujan asam dengan kesetaraan seperti pada Tabel 56. Indikator ini dinyatakan dalam satuan kg SO 2 eq. Tabel 56 Faktor Kesetaraan AP Substances Acidification Potential (kg SO 2 eq./ kg substance) NO x 0,5 SO x 1,2 NH 3 0,6 Untuk skenario j, semakin tinggi nilai C j,k=4, maka semakin besar potensi terjadinya hujan asam. Nilai c j,k=4 yang mendekati nol menunjukkan skenario j mempunyai potensi hujan asam terbesar dibanding skenario yang lain. Hal ini berarti skenario j mempunyai tingkat clean energy paling rendah dibanding skenario yang lain, begitu juga sebaliknya. 179

180 Seperti halnya ESI, indikator-indikator elemen dalam CEI juga di integrasikan dengan teknik RMS dan pembobotan dengan metode PWCM (pair-wise comparion matrix). CEI didesain untuk bernilai antara 0 dan 1. Skor CEI suatu skenario penyediaan energi yang mendekati 0 menunjukkan bahwa indikator skenario tersebut mempunyai tingkat clean energy (energi bersih) yang paling rendah dibandingkan dengan skenario yang lain. Sebaliknya, skor CEI yang tinggi menunjukkan skenario tersebut mempunyai tingkat kebersihan energi yang tinggi Energi Bersih Indonesia Year: All Years c4 Relative Value of Clean Energy Indicators c Indonesia Indonesia c2 Indonesia2009 Indonesia2010 Indonesia2011 CEI Score Alt. I Alt. II Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia c3 Gambar 45 Skor CEI Indonesia dan Grafik Nilai Indikator Relatifnya Tahun Gambar di atas menunjukkan indikator relatif untuk energi bersih Indonesia pada tahun 2007 hingga Dari sisi besarnya porsi energi fosil dalam total konsumsi energi, tahun 2008 memiliki persentase fosil terendah terhadap konsumsi. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa energi Indonesia paling bersih adalah pada tahun Sementara dari sisi Global Warming Potential (GWP), Indonesia paling bersih dari ancaman tersebut di tahun Hal ini disebabkan karena emisi gas penyokong GWP di tahun 2007 adalah yang terendah dibandingkan tahun lainnya. Sedangkan jika 180

181 ditinjau dari emisi pembentuk kabut asap atau Photochemical Ozone Creation Potential (POCP), Indonesia paling bersih pada Secara keseluruhan, baik dari perhitungan yang melibatkan penilaian pakar (alt. 1) maupun perhitungan yang menggunakan metode root mean square (alt. 2), diketahui bahwa tingkat energi bersih tertinggi Indonesia adalah pada tahun 2008 dengan skor 0,722 (CEI Score alt. 1) dan 0,834 (CEI Score alt. 2). 4.2 Pertambangan Pendahuluan Pengelolaan sumber daya mineral dan pertambangan ditujukan untuk meningkatkan ketersediaan hasil tambang dan mineral serta pendapatan negara. Pengelolaan sumber daya mineral dan pertambangan dilakukan dengan: (i) meningkatkan produksi batubara; (ii) meningkatkan produksi mineral logam dan nonlogam; (iii) meningkatkan sumber daya dan cadangan mineral logam dan non-logam; dan (iv) meningkatkan daya dukung pertambangan. Sektor pertambangan umum (mineral dan batubara) mencapai berbagai hasil dan kemajuan pada tahun Penerimaan negara yang didapat dari sektor pertambangan umum diperkirakan mencapai Rp. 145,1 triliun atau meningkat sebesar Rp. 22,9 triliun dari realisasi pencapaian pendapatan negara dari sektor ini pada tahun 2012 sebesar Rp. 122,2 triliun. Penerimaan dari produksi batubara pada tahun 2013 mencapai realisasi 421 juta ton atau meningkat sebesar 35 juta ton dari sebesar 386 juta ton pada tahun 2012 dan sebesar 17,1 persen produksi batubara atau sebesar 72 juta ton digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation). Sebagian besar batubara tersebut digunakan untuk pembangkit listrik, industri, dan industri pengolahan. Jumlah sumber daya dan cadangan batubara adalah sebesar 105,2 miliar ton dan 21,1 miliar ton. Lokasi cadangan batubara tersebut terutama tersebar di 10 (sepuluh) wilayah potensi sumber daya batubara yakni Provinsi Aceh, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Di lain pihak, produksi mineral logam dan non-logam pada tahun 2013 antara lain adalah timah sebesar 88 ribu ton, bijih nikel sebesar 60 juta ton, bauksit sebesar 56 juta mt, logam tembaga sebesar 450 ribu ton, bijih besi sebesar 19 juta mt, dan bauksit 181

182 sebesar 56 juta mt. Namun demikian jika dibandingkan pada tahun 2012, terdapat beberapa mineral logam dan non-logam yang mengalami peningkatan produksi antara lain: (i) logam tembaga dari sebesar 447,5 ribu ton menjadi 450 ribu ton; (ii) bijih nikel dari sebesar 37,1 juta ton menjadi 60 juta ton; dan (iii) bijih besi dari sebesar 10,5 juta mt menjadi 19 juta mt; (iv) bauksit dari sebesar 29,1 juta mt menjadi 56 juta mt. Selain itu terdapat beberapa jenis mineral yang mengalami penurunan produksi antara lain (i) logam timah dari sebesar 94 ribu ton menjadi 88 ribu ton; (ii) emas dari sebesar 75 ribu kg menjadi 59 ribu kg; (iii) perak dari sebesar 436 ribu kg menjadi sekitar 200 ton. Penurunan ini disebabkan kurangnya kepastian hukum dalam investasi sehingga produktivitas menurun. UU No. 4 tahun 2009 mengamanatkan dilakukannya renegosiasi kontrak mineral dan kontrak batubara yang ditandatangani pada saat UU tersebut belum diberlakukan. Renegosiasi mulai dilakukan pada triwulan ke empat tahun 2009 untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan mulai awal tahun 2010 untuk Kontrak Karya (KK). Hingga tahun 2011, proses renegosiasi telah dilakukan terhadap 37 pemegang Kontrak Karya (KK) dan 76 pemegang PKP2B. Sebanyak 9 (sembilan) perusahaan pemegang KK menyepakati semua pasal/ketentuan yang diamandemen. Sementara 23 perusahaan KK lainnya baru menyetujui sebagian pasal/ketentuan untuk diamandemen. Lima KK perusahaan lainnya masih belum menyetujui semua pasal/ketentuan untuk diamandemen. Untuk pemegang PKP2B, sebanyak 63 perusahaan sudah menyepakati pasal/ketentuan yang diamandemen. Sebagian besar perusahaan itu merupakan pemegang kontrak/perjanjian generasi II dan III. Sementara itu, 13 perusahaan baru menyetujui sebagian pasal/ketentuan untuk diamandemen. Pengaturan penyesuaian KK dan PKP2B diatur dalam pasal 169, 170, 171, dan 172 Undang-undang No. 4 Tahun 2009 yang antara lain mengatur hal-hal yang berkaitan dengan: (i) peningkatan nilai tambah untuk mineral dan batubara dengan memberlakukan kewajiban untuk membangun fasilitas industri hilir (pengelolaan dan pemurnian) di dalam negeri; (ii) peningkatan penerimaan negara melalui penyesuaian tarif iuran tetap dan iuran produksi menjadi sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2003; serta (iii) penggunaan usaha jasa yang memprioritaskan usaha jasa lokal dan nasional sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 28 Tahun 2009 tentang Usaha Jasa Pertambangan. 182

183 Namun demikian, meskipun UU No 4 Tahun 2009 telah mengatur tentang peningkatan nilai tambah untuk mineral dan batubara masih belum optimal, belum optimalnya nilai tambah sektor pertambangan dikarenakan bahan tambang masih langsung diekspor tanpa melalui proses pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu. Hal itu diakibatkan karena terbatasnya ketersediaan energi untuk mendukung sektor pertambangan yang berpengaruh terhadap kewajiban pengelola pertambangan untuk membuat pabrik pengolahan dan pemurnian hasil penambangan didalam negeri Tantangan Fokus dalam pengelolaan sumber daya mineral dan pertambangan dititikberatkan pada dua hal pokok yaitu: (1) peningkatan nilai tambah potensi keekonomian, pemanfaatan bahan galian dan mineral ikutan pada daerah dan bekas daerah pertambangan; dan (ii) optimalisasi penerapan kaidah konservasi dalam pengusahaan pertambangan baik pada tahap eksplorasi, eksploitasi dan pasca tambang. Selanjutnya, pembangunan subsektor mineral dan batubara diharapkan dapat: (i) mendorong pembangunan sarana dan prasarana pengangkutan batubara untuk keperluan pasar dalam negeri; (ii) menjamin keamanan pasokan batubara dalam negeri melalui Domestic Market Obligation (DMO) terutama sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik sesuai dengan Undang-Undang 30 tahun 2007; (iii) mengatur harga batubara di dalam negeri dengan mengacu kepada indeks harga batubara ekspor; (iv) memberikan kepastian dan transparansi di dalam kegiatan usaha pertambangan sesuai Undang- Undang No. 4 tahun 2009 dengan sanksi pelanggaran ketentuan; (iv) melaksanakan peningkatan pembinaan dan pengawasan; (vi) mengusahakan penambahan nilai tambah hasil pertambangan dengan mengembangkan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) untuk mengubah bahan-bahan mentah mineral logam dan non-logam menjadi bahan setengah jadi atau bahkan menjadi bahan final; dan (vii) mendorong peningkatan penerimaan negara dan investasi. Selain itu, tantangan lainnya adalah mengurangi dampak negatif usaha pertambangan yang diupayakan dengan: (i) mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan melalui pembinaan lindungan, keselamatan operasi, dan usaha penunjang bidang migas; (ii) mencegah kerusakan cadangan mineral dan batubara serta mengembangkan wilayah pencadangan tambang nasional dengan melakukan best mining practices dan menerapkan mekanisme depletion premium; (iii) meningkatkan 183

184 rehabilitasi kawasan bekas tambang; dan (iv) mitigasi, pengembangan teknologi, dan fasilitasi dalam rangka penetapan langkah-langkah penanggulangan krisis energi dan bencana geologi. Prioritas Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pertambangan diuraikan dalam 2 (dua) fokus yaitu (i) peningkatan produksi dan nilai tambah produk pertambangan mineral dan batubara; dan (ii) pengurangan dampak negatif akibat kegiatan pertambangan dan bencana geologi Pengkajian dan Pemikiran ke Depan Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah Nilai tambah sektor mineral dan batubara (minerba) Indonesia umumnya berupa penerimaan negara dan daya dukung untuk sektor lainnya di perekonomian nasional. Dalam hal penerimaan negara, sektor ini diyakini memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan dalam negeri APBN, baik dari sumber perpajakan maupun dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jenis perpajakan yang dimaksud adalah pajak pemerintah pusat dan daerah, yaitu: A. Pajak Pemerintah Pusat dan yang dibagihasilkan: (1) Pajak Dividen, (2) PPh Badan, (3) PPh Perseorangan, (4) PPh 23/26/ Final, (5) Pajak Pertambahan Nilai (PPN), (6) PPnBM, (7) PBB, (8) Bea Masuk, dan (9)Cukai. B. Pajak Pemerintah Daerah yang terdiri (1) Pajak Mineral C dan Air/Lumpsum, (2) Pajak atas Air, (3) PKB/BBNKB, (4) Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (water levy), (5) Pajak Mineral C. C. PNBP yang terdiri dari : (1) Royalti, (2) Landrent/deadrent, (3) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), (4) Iuran Kehutanan (Dana Reboisasi). Namun demikian perkiraan besaran yang akurat tentang kontribusi kedua jenis penerimaan tersebut hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan transparan, baik bagi Kementerian ESDM maupun Kementerian Keuangan sekalipun. Ketidakjelasan kontribusi minerba tertama disebabkan oleh kontribusi perpajakan, di mana untuk beberapa tahun terakhir nampaknya tidak dilakukan pemisahan yang tegas dari pajakpajak yang berasal dari kegiatan sektor minerba. Oleh karenanya penerimaan dari sektor pajak minerba dicatat terlalu rendah (underestimate), sedangkan penerimaan dari PNBP lebih akurat karena PNBP dikelola oleh kementerian yang membawahinya. Dilihat dari sisi penerimaan negara, kegiatan ekstraksi dan eksploitasi 184

185 sumberdaya alam (SDA) telah memberikan peran penting dalam pembiayaan pembangunan di Indonesia selama ini. Sebagai gambaran, realisasi penerimaan negara dalam bentuk Pajak Dalam Negeri yang berasal dari pajak penghasilan (PPh) Migas pada APBN 2007 adalah sebesar Rp 194,4 milyar dan mencapai Rp 298,2 milyar pada APBN (Nota Keuangan dan APBN, Kementerian Keuangan RI). Di samping penerimaan dari sektor pajak, sektor SDA juga memberi kontribusi pada penerimaan negara melalui komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penerimaan PNBP dari SDA pada tahun 2007 sebesar Rp132,9 milyar dan mencapai 168,8 milyar pada tahun 2010 (Nota Keuangan dan APBN, Kementerian Keuangan RI). Sebagian besar PNBP ini berasal dari minyak bumi sedangkan penerimaan dari SDA lainnya relatif kecil. Di samping memberi kontribusi kepada penerimaan pemerintah pusat, kegiatan sektor SDA juga memberi kontribusi bagi pendapatan pemerintah daerah. Sesuai dengan kebijakan desentralisasi, setiap pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri. Untuk membangun daerahnya masing-masing, pemerintah daerah mengandalkan penerimaan dalam APBD dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan. Demi peningkatan PAD, pemerintah daerah umumnya berupaya meningkatkan target penerimaan melalui sumber-sumber yang potensial. Untuk sektor pertambangan, sumber PAD tersebut dapat berasal dari retribusi daerah, seperti retribusi bahan galian C yang merupakan produk pertambangan dan penggalian. Hingga saat ini belum tersedia informasi yang lengkap tentang besarnya pendapatan daerah yang berasal dari sektor pertambangan. Namun demikian dapat diduga bahwa sektor pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian daerah. Selain memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara, kegiatan ekonomi di sektor SDA, khususnya minerba, juga memberikan kontribusi pada sektor riil perekonomian. Setiap peningkatan permintaan akhir terhadap komoditas yang dihasilkan oleh sektor minerba dalam bentuk konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor akan meningkatkan output perekonomian secara keseluruhan melalui mekanisme pengganda output (output multiplier). Hal ini disebabkan kegiatan di sektor minerba memiliki keterkaitan dengan sektor hulu (backward linkage) dan sektor hilir atau pengolahan (forward linkage). Di samping itu, setiap peningkatan permintaan akhir dapat mengakibatkan peningkatan kesempatan kerja (employment 185

186 multiplier) dan pada gilirannya akan mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga (income multiplier). Walaupun kontribusi sektor minerba dalam paparan di atas terlihat cukup besar, namun sebenarnya sektor ini memiliki potensi kontribusi yang lebih tinggi lagi jika terdapat nilai tambah yang lebih melalui proses pengolahan di dalam negeri. Yang dimaksud dengan peningkatan nilai tambah adalah pengolahan menjadi produk yang lebih hilir sepanjang rantai nilai. Penambahan nilai dalam pengolahan nikel berikut dapat menjadi ilustrasi. Harga nikel mentah tingkat II (mengandung hanya 2 persen dari volume tanah tambang) mencapai 2 USD per kilogram atau 2000 USD per ton. Setelah melalui proses peleburan menjadi ferronickel (FeNi) nilainya melonjak menjadi lebih dari 8 kali lipat menjadi USD per ton di LME (London Mineral Exchange). UU Minerba telah mengamanatkan bahwa adanya upaya pemerintah mengendalikan ekpor bahan mentah dan mendorong peningkatan pada rantai produksi domestik berupa kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral. Peningkatan rantai produksi domestik pada gilirannya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian dalam bentuk penciptaan output, nilai tambah dan kesempatan kerja domestik, ketersediaan bahan baku industri hilir berbasis logam domestik, serta penguasaan teknologi dalam pengolahan mineral. Artinya bahwa kebijakan pengendalian ekspor bahan mentah minerba sangat bergantung dari penyiapan rantai hilirnya. Tanpa penyiapan industri hilir maka akan muncul dampak negatif sebagaimana dampak negatif yang muncul dalam jangka pendek. Akan tetapi jika industri hilir berhasil dibangun maka kebijakan pengendalian ekspor bahan mentah minerba akan mampu memperpanjang rantai nilai domestik sehingga berdampak positif bagi perekonomian. Upaya peningkatan nilai tambah juga telah diindikasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN ). Pada bagian diuraikan strategi dan kebijakan yang dicanangkan di sisi hulu adalah: (i) memberikan insentif fiskal (fiscal regime) yang stabil dan kompetitif dalam menarik investasi pertambangan mineral dan batubara; (ii) memperbaiki dan menyederhanakan birokrasi perijinan (licensing regime) pengusahaan pertambangan; (iii) memperjelas pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terutama yang berkaitan dengan pemberian ijin dalam pengusahaan pertambangan; (iv) mengembangkan informasi potensi dan wilayah cadangan; (v) meningkatkan kemampuan teknis dan managerial 186

187 aparat pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan perijinan dan inventarisasi cadangan; (vi) menciptakan keamanan usaha dan berusaha dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara; (vii) mengembangkan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) untuk mengubah bahan-bahan mentah mineral logan dan non logam menjadi bahan setengah jadi atau bahkan menjadi bahan yang final. Terkait dengan hilirisasi sektor pertambangan Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan dituntut menyusun peraturan atau kebijakan komprehensif dengan maksud untuk: Pengendalian ekspor dan tata caranya yang lebih adaptif. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi perusahaan, tentang alasan keberatan menjalankan hilirisasi. Mengorganisasikan permasalahan dan pencarian solusi atau jalan keluar masalah sesuai dengan tugas kementerian dan lembaga. Mensinkronkan usulan solusi agar tidak bertabrakan satu dengan lainnya Dampak Pembatasan Ekspor Pajak Jika peran suatu negara dalam produksi suatu komoditi di dunia kecil, maka kebijakan hambatan ekspor oleh negara tersebut tidak akan mempengaruhi harga komoditi tersebut di dunia sebagaimana diperlihatkan pada gambar berikut. Sumber: Suranovic (2012) Gambar 46 Dampak Pajak Ekspor Bagi Negara Pengekspor - Kasus Negara Kecil Sebelum diberlakukannya pajak ekspor, harga dunia adalah Pw, di atas harga 187

188 ekuilibrium domestik. Jika diberlakukan perdagangan bebas dan produk domestik diekspor, maka harga domestik akan naik mengikuti harga dunia. Konsumen domestik harus menghadapi harga dunia. Jika dalam suatu produk peran Indonesia dapat dianggap kecil, maka penerapan pajak ekspor tidak akan mempengaruhi harga dunia Pw. Pajak ekspor hanya akan menekan harga domestik ke Pd sebesar pajak ekspor (p = p* - t). Perubahan ini mengurangi surplus produsen -a-b-c-d, menambah surplus konsumen sebesar +a, dan memberikan pemasukan pemerintah sebesar +c. Secara agregat, keseluruhan negara menanggung kerugian sebesar -b-d. Selain berbentuk pajak ekspor, hambatan juga dapat berbentuk kuota ekspor. Perbedaan utama adalah hambatan ekspor dalam bentuk pembatasan jumlah ekspor. Pembatasan ekspor ini dapat menyebabkan perbedaan harga dunia dan domestik yang setara dengan hambatan tarif. Perbedaan kedua adalah tidak adanya lagi penerimaan pemerintah dari tarif (sekarang menjadi rente kuota). Distribusi rente kuota tergantung dari bagaimana pemerintah mengatur kuota. Jika pemerintah melelang hak kuota impor dengan harga maksimal, maka pemerintah menerima kuota rente ekivalen wilayah c. Jika pemerintah memberikan hak kuota secara cuma-cuma maka rente kuota dinikmati pihak yang menerima hak kuota. Jika peran suatu negara dalam produksi suatu komoditi di dunia besar, maka kebijakan hambatan ekspor oleh negara tersebut dapat mempengaruhi harga komoditi tersebut di dunia. Analisis grafis untuk kasus penetapan pajak ekspor negara besar adalah sebagai berikut. Sumber: Suranovic (2012) 188

189 Gambar 47 Dampak Pajak Ekspor Bagi Negara Pengekspor Kasus Negara Besar Sebelum diberlakukannya pajak ekspor, harga dunia adalah Pft, di atas harga ekuilibrium domestik. Jika diberlakukan perdagangan bebas dan produk domestik diekspor, maka harga domestik akan naik mengikuti harga dunia. Konsumen domestik harus menghadapi harga dunia. Jika dalam suatu produk peran Indonesia dapat dianggap besar, maka penerapan pajak ekspor akan mempengaruhi harga dunia. Pajak ekspor akan mengurangi ekspor sehingga akan menurunkan harga domestik ke Pex. Di sisi lain pajak ekspor akan mengurangi pasokan ke pasar dunia sehingga menaikkan harga dunia ke Pim. Perubahan ini mengurangi surplus produsen -e-f-g-h menambah surplus konsumen sebesar +e, dan memberikan pemasukan pemerintah sebesar +g+c. Secara agregat, perubahan kemakmuran Negara adalah keseluruhan negara menanggung kerugian sebesar +c-f-h. Tabel 57 Ringkasan Dampak Pajak Ekspor Bagi Negara Pengekspor - Kasus Exporting Country Consumer Surplus +e Producer Surplus -(e+f+g+h) Govt. Revenue +(c+g) National Welfire +c-(f+h) Sumber: Suranovic, 2012 Karena secara nasional terdapat elemen dampak negatif dan positif, dampak bersih dapat menjadi positif ataupun negatif. Secara umum, dampak bersih bisa terjadi jika bagi negara besar. Tingkat tarif yang memaksimumkan +c-f-h disebut dengan tingkat tarif optimum. Tarif ekspor optimum lebih rendah dari tingkat tarif yang menghalangi ekspor. Hambatan ekspor dapat pula berbentuk kuota ekspor. Analisis kemakmuran pada kuota mirip dengan pajak ekspor. Perbedaan utama adalah hambatan dalam bentuk pembatasan jumlah ekspor. Pembatasan ekspor ini dapat menyebabkan perbedaan harga dunia dan domestik yang setara dengan hambatan tarif. Perbedaan kedua adalah tidak adanya lagi penerimaan pemerintah dari tarif (sekarang menjadi rente kuota). Distribusi rente kuota tergantung dari bagaimana pemerintah mengatur kuota. Jika pemerintah 189

190 melelang hak kuota impor dengan harga maksimal, maka pemerintah menerima kuota rente ekivalen wilayah c. Jika pemerintah memberikan hak kuota secara cuma-cuma maka rente kuota dinikmati pihak yang menerima hak kuota. Menggunakan analisis komparatif-statis secara umum dapat disimpulkan bahwa hambatan ekspor akan merugikan bagi negara kecil. Kerugian dari hambatan kuota lebih besar dibandingkan hambatan tarif ekivalen. Meskipun demikian, untuk negara besar hambatan ekspor dapat memberikan keuntungan jika diterapkan tingkat tarif yang optimum atau kuota ekivalen Komoditas Unggulan Indonesia Tembaga Di Indonesia, satu-satunya smelter tembaga adalah PT Smelting Gresik yang berlokasi di Gresik. PT Smelting menjual asam sulfat sebanyak ton/tahun ke PT.Petrokimia Gresik. Terak tembaga dan gypsum yang berguna untuk bahan baku semen dijual ke PT.Semen Gresik masing masing sebesar ton/tahun dan ton /tahun. Lumpur anoda yang mengandung logam logam mulia seperti emas, perak, dan logam-logam yang termasuk dalam PGM (Platinum Group Metal) seperti platinum, palladium, rodium, iridium, osmium, dan ruthenium. Salah satu industri berbasis tembaga yang lebih hilir adalah industri yang memproduksi kabel. Permintaan kabel menunjukkan kecenderungan yang makin tinggi, seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia. Tabel 58 menunjukkan lima perusahaan kabel dengan kenaikan produksi selama periode Kenaikan permintaan kabel domestik yang mendorong kenaikan produksi di antaranya berasal dari program pemerintah dalam proyek percepatan pembangunan penambahan daya listrik tahap II dengan pembangunan power plant sebesar megawat yang akan dimulai tahun 2012 dan berkembangnya perumahan dan kantor. Tabel 58 Produksi Tahunan Perusahaan Kabel yang Telah Go Public Produksi dalam Beberapa Tahun No. Nama Perusahaan PT SUCACO Tbk PT VOKSEL ELEKTRIK Tbk PT KMI WIRE & CABLE Tbk PT JEMBO CABLE INDONESIA Tbk PT KABELINDO MURNI Tbk

191 Sumber: Presentasi APKABEL (Asosiasi Pengusaha Kabel) pada seri FGD Minerba, 14 Agustus 2012 (Sumber: Kementerian ESDM, 2012) Gambar 48 Sumber daya, Cadangan, Produksi, Smelter, dan Rencana Pembangunan Smelter Tembaga di Indonesia Menurut APKABEL, faktor penyebab tingginya permintaan kabel yaitu kebutuhan energi listrik memerlukan media transmisi kabel; proyek pemerintah membangun power plant MW (I & II); rasio elektrifikasi Indonesia masih 73 persen; peningkatan produksi dan penjualan pabrikan kabel; dan peningkatan jumlah pabrik kabel baru. Pembangunan infrastruktur, baik dari pemerintah dan swasta melalui MP3EI, diyakini dapat mendorong permintaan kabel dalam negeri. Pembangunan MP3EI dan proyek MW akan mendorong pertumbuhan permintaan kabel dalam jangka panjang. Menurut Kementerian ESDM, jumlah sumber daya tembaga Indonesia mencapai 4,9 milyar ton, sedangkan cadangannya mencapai 4,1 milyar ton. Produksi konsentrat tembaga Indonesia pada tahun 2010 mencapai 3,4 juta ton. Saat ini satu-satunya perusahaan smelter tembaga di Indonesia adalah PT. Smelting Gresik dengan kapasitas konsentrat tembaga yang diolah sebesar satu juta ton. Konsentrat tembaga tersebut akan diolah menjadi tembaga katoda dengan produksi per tahun berkisar antara 270 ribu ton sampai 300 ribu ton. Konsentrat tembaga yang diolah di PT. Smelting Gresik tersebut sebagian besar berasal dari PT.Freeport Indonesia dan sebagian kecil berasal dari PT.Newmont Nusa Tenggara. Dari hasil pengolahan konsentrat tembaga menjadi tembaga katoda, sekitar 60 persen dijual di dalam negeri, sedangkan 40 persen sisanya diekspor ke pasar Asia Tenggara. 191

192 Sesuai dengan amanat UU No.4 tahun 2009 untuk mengolah bijih tembaga menjadi tembaga katoda, maka dalam beberapa tahun ke depan akan ada rencana pembangunan smelter yaitu Nusantara Smelting pada tahun 2014 dengan kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar 800 ribu ton, Global Investindo pada tahun 2015 dengan kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar 1,2 juta ton, dan Indosmelt tahun 2014 dengan rencana kapasitas pengolahan sebesar 400 ribu ton. Berkaitan dengan rencana hilirisasi mineral di Indonesia yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) serta Permen ESDM No. 11 Tahun 2012 mendapatkan berbagai tantangan yang harus dapat dipecahkan. Sebagian pihak menilai pemberlakuan Permen ESDM ini merupakan jalan bagi industrialisasi dan hilirisasi, namun tidak sedikit yang menentang regulasi ini. Beberapa pendapat yang menolak mengatakan bahwa saat ini Indonesia belum layak untuk melaksanakan pembangunan smelter. Alasan yang mendukung pendapat tersebut antara lain; pemerintah harus melihat pasar dan permintaan atas semua jenis mineral, baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu, persoalan teknis seperti tersedianya pasokan listrik dan kondisi sosial ekonomi di daerah menjadi persoalan tersendiri dalam pembangunan smelter di Indonesia contohnya permasalahan CSR serta tuntutan pemerintah lokal yang berlebihan. Infrastruktur yang kurang memadai di daerah juga mengakibatkan kendala transportasi. Sebagai contoh yang terjadi di beberapa daerah, jalan yang biasanya digunakan untuk mengangkut aktivitas pertambangan banyak yang rusak dan tidak bisa dilewati oleh kendaraan pengangkut pertambangan. Selain itu juga pembangunan pabrik peleburan dan pemurnian tembaga dikatakan tidak layak di Indonesia mengingat pasar konsentrat tembaga internasional sangat sulit untuk pabrik peleburan tembaga. Selain itu, permintaan katoda tembaga di dalam negeri lebih sedikit dari kapasitas produksi. Pembangunan smelter tembaga juga memerlukan investasi yang tinggi dan return on investment yang tinggi sehingga dinilai tidak layak secara finansial. Tantangan lainnya dalam penerapan hilirisasi mineral adalah minimnya inovasi dan teknologi di dalam negeri. Peranan teknologi dipakai untuk menurunkan biaya produksi dan teknologi dapat meningkatkan nilai atas cadangan mineral yang dimiliki perusahaan. Pemerintah dapat memberi ruang dalam pengembangan teknologi di dalam APBN untuk memajukan teknologi pertambangan di Indonesia. Kalangan pengusaha pertambangan tembaga berpendapat bahwa tantangan untuk mengembangkan smelter tembaga di Indonesia dipengaruhi oleh biaya, kandungan asam sulfat residu proses, dan TC/RC (Treatment 192

193 Cost/Refining Cost). Selain working capital yang besar, biaya operasi dan biaya modal untuk smelter tembaga terus mengalami kenaikan sedangkan capital cost juga sangat tinggi. Kandungan asam sulfat juga menyebabkan penambahan biaya karena diperlukan proses untuk membuangnya, di lain pihak, pasar masih belum pasti. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari para produsen smelting tembaga diketahui bahwa TC/RC smelter tembaga yang rendah dan sangat kompetitif mengakibatkan tidak menariknya investasi di bidang ini, terutama secara finansial. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi saat ini menunjukkan bahwa pembangunan smelter tembaga tidak menguntungkan dalam jangka panjang dan akan membutuhkan subsidi yang besar. Pemerintah perlu memberikan kemudahan izin dalam pembangunan smelter dan memperbaiki upah tenaga kerja sektor industri ini. Selain itu, seiring dengan kemajuan pembangunan smelter, upaya peningkatan kualitas lingkungan juga perlu didorong contohnya melalui menutup beberapa smelter yang sudah berusia tua dan menggantinya dengan smelter baru yang lebih efisien. Ekspor konsentrat tembaga Indonesia (SITC2831) berfluktuasi, dimana pada tahun 2008 mencapai 1,6 juta ton, kemudian naik secara signifikan pada tahun 2009 dan 2010 menjadi 2,3 juta ton dan 2,6 juta ton, namun turun menjadi 1,4 juta ton pada tahun Detail mengenai fluktuasi ekspor konsentrat dapat dilihat pada Tabel 59. Tabel 59 Volume Ekspor Produk Tembaga Ekspor Tembaga dengan Kode SITC (Ton) Tahun Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, , diolah. 193

194 Besarnya nilai ekspor produk tembaga tentunya juga dipengaruhi oleh harga tembaga. Besarnya nilai ekspor konsentrat tembaga pada tahun 2008 sebesar 3,3 milyar USD, kemudian naik menjadi 5,1 milyar USD dan 6,8 milyar USD pada tahun 2009 dan 2010, kemudian turun menjadi 4,7 milyar USD pada tahun Nilai ekspor dari tembaga katoda mengalami kenaikan secara konsisten sejak tahun 2008 sebesar 1,2 juta USD, kemudian pada tahun 2011 menjadi 2,5 juta USD. Demikian juga dengan produk kabel tembaga yang terus mengalami kenaikan. Total ekspor produk tembaga tahun 2009 sebesar 7,3 milyar USD, kemudian naik menjadi 9,9 milyar USD pada tahun 2010, dan kemudian turun menjadi 8,2 milyar USD pada tahun Detail mengenai fluktuasi nilai ekspor produk tembaga dan turunannya dapat dilihat padatabel 60. Tabel 60 Nilai Ekspor Produk Tembaga Tahun Kode Sesuai Ekspor SITC (Ribu USD) Total , , , , ,71 302, , , , , , Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, , diolah. Impor produk tembaga katoda, produk tembaga dalam bentuk batang, produk kabel tembaga, produk tembaga dalam bentuk foil mengalami kenaikan yang signifikan. Hal itu menunjukkan makin berkembangnya sektor hilir dengan kebutuhan akan produk tembaga yang makin naik. Hal itu juga memberikan tanda bahwa sektor hilir tembaga sudah mulai membaik. Penyerapan dan perkembangan industri kabel, otomotif, dan beberapa industri lain terhadap produk tembaga dan turunannya sangat menggembirakan. Oleh karena itu dukungan akan UU No 4 Tahun 2009 tentang 194

195 pengolahan mineral menjadi penting untuk dilakukan, terutama untuk menjamin pasokan pengolahan di sektor hilir. Apabila kebutuhan impor tersebut dapat dipenuhi melalui pembangunan smelter tembaga di Indonesia, maka akan makin memperkuat industri logam dasar Indonesia, sehingga maksud dari UU No 4 Tahun 2009 dapat tercapai. Tabel 61 Volume Impor Produk Tembaga Tahun I m p o r T e m b a g a S e s u a i K o d e S I T C ( T o n ) ,4 151,4 35,728, , , , , ,2 65, , , , , , , ,4 583, , , , , , , ,2 431, , , , , , , ,4 11, , , , , , , ,2 10, , , , , , , ,5, 47, , , , , , , ,8 2, , , , , , , ,1 120, , , , , , , ,2 156, , , , , , , ,9 23, , , , , , , ,7 281, , , , , , ,9 Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, , diolah. Perbandingan nilai ekspor dan impor produk tembaga dan turunannya pada Gambar 49 menunjukkan bahwa Indonesia adalah net eksportir produk tembaga dan turunannya. Dalam kurun waktu , nilai ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan nilai impor memberikan surplus neraca perdagangan produk tembaga dan turunannya. 195

196 Gambar 49 Nilai Total Ekspor dan Impor Produk Tembaga dan Turunannya (Ribu USD) (Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, , diolah) Tabel 62 Nilai Neraca Perdagangan Produk Tembaga Indonesia Tahun Neraca Perdagangan Tembaga Sesuai Kode SITC (Juta USD) Total ,980 0,5 263,2 7,3 (14,0) (9,1) (14,9) (1,3) 1.852, ,280 1,2 273,3 6,5 17,7 (7,7) (9,4) (6,0) 1.972, ,970 2,9 690,4 13,5 35,3 (17,0) (18,2) (6,1) 4.211, ,722 7,1 394,5 19,6 158,0 (9,4) (8,3) (8,7) 2.407, ,388 1,3 338,2 50,1 282,1 (18,5) (5,3) (11,3) 2.439, ,967 (0,0) 619,9 85,8 371,2 (20,9) (7,7) (12,1) 4.301, ,069 (0,0) 820,9 120,0 604,0 (18,9) (18,7) (16,9) 6.105, ,653 0, ,7 (0,3) 617,9 (31,1) 20,3 (25,9) 6.494, ,574 (1,0) 732,7 (2,7) 529,0 (95,5) (3,5) (55,6) 4.447, ,280 (3,3) 1.504,6 2,0 353,6 (31,1) (7,5) (35,7) 6.839, ,171 (0,2) 1.671,2 10,6 649,0 (132,0) (29,1) (64,4) 8.986, ,354 (3,3) 1.857,8 38,8 788,3 (151,1) (32,6) (85,6) 7.008,6 Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, , diolah. Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor tembaga dan produk turunannya serta negara asal impor tembaga dan produk turunannya. Selain Jepang, Cina termasuk dalam lima besar negara tujuan ekspor dan asal impor tembaga dan produk turunannya. 196

197 Tabel 62 menunjukkan bahwa defisit nilai perdagangan produk tembaga secara berkesinambungan, terjadi sejak tahun 2001 sampai tahun 2011 pada SITC 682.5, SITC 682.6, dan SITC Defisit nilai neraca perdagangan produk tembaga di hulu yaitu SITC terjadi mulai tahun 2005 hingga tahun Terkait dengan hilirisasi pertambangan, maka pengembangan industrinya dapat diarahkan ke pengembangan industri tembaga hulu untuk SITC dan pengembangan industri tembaga hilir untuk SITC 682.5, SITC dan SITC Tabel 63 secara konsisten menunjukkan volume neraca perdagangan defisit dimana volume impor lebih tinggi daripada ekspor untuk tiga produk hilir dan satu produk hulu tersebut. Tabel 63 Volume Neraca Perdagangan Produk Tembaga Indonesia Tahun Ekspor Tembaga dengan Kode SITC (Ton) (7.1) (4.3) (3.7) (0.1) (3.7) (2.4) (1.4) (6.8) (5.9) (0.1) (4.5) (3.3) (3.1) (5.4) (0.9) (3.0) (8.9) (7.2) (3.6) (0.0) (0.8) (2.9) (3.8) (1.4) 79.9 (6.1) (1.9) (5.1) (0.1) 53.2 (1.7) 66.8 (13.8) (12.7) (9.8) (0.2) (7.7) (7.7) (6.9) (0.0) (17.3) (9.1) (9.3) (0.3) (30.9) (9.5) (11.8) Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, , diolah. Nikel Menurut Kementerian ESDM, sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 2,6 milyar ton sedangkan cadangan bijih nikel mencapai 576 juta ton. Cara menghitung antara data yang dikeluarkan oleh USGS dan yang dirilis Kementerian ESDM tentunya berbeda, karena data USGS menghitung cadangan kandungan nikel (sudah dalam bentuk produk akhir nikel) sedangkan Kementerian ESDM menghitung cadangan bijih nikel nya (bijih nikel yang masih mentah, dan belum diolah dalam smelter). Proses pengolahan bijih nikel menjadi produk akhir nikel menghasilkan rasio berkisar antara 1 197

198 sampai 4 persen, tergantung dari kualitas bijih nikelnya. Jumlah bijih nikel Indonesia dari hasil penambangan pada tahun 2010 mencapai 26,3 juta ton. Saat ini terdapat dua perusahaan yang beroperasi yaitu FeNi PT Antam dengan kapasitas pengolahan bijih nikel sebesar 2,95 juta ton, dan Ni in Matte PT INCO dengan kapasitas pengolahan bijih nikel sebesar 6,08 juta ton bijih. Dalam beberapa tahun ke depan akan ada rencana pembangunan smelter yaitu Weda Bay Nickel pada tahun 2016 dengan total kapasitas pengolahan bijih nikel ton, NPI PT Antam pada tahun 2014 dengan kapasitas pengolahan bijih nikel 1,2 juta ton, dan PT. FeNI Haltim (Group Antam) tahun 2014 dengan rencana pengolahan bijih nikel sebesar 2,95 juta ton. Detail mengenai jumlah sumber daya, besar cadangan, kapasitas pengolahan yang sudah ada, dan rencana investasi pengolahan bijih nikel dapat dilihat pada Gambar berikut. (Sumber: Kementerian ESDM, 2012) Gambar 50 Sumber Daya, Cadangan, Smelter dan Rencana Pengembangan Nikel Indonesia Tambang nikel tersebar di beberapa pulau di Indonesia antara lain Pulau Sulawesi dan Pulau Halmahera. Cadangan nikel di Sulawesi ada di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan; Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah; Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara; dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Di Pulau Halmahera, nikel terdapat di Weda, Kab. Halmahera Tengah, Maluku Utara dan di Buli, Kab. Halmahera Timur, Maluku Utara. Di pulau-pulau 198

199 tersebut terdapat beberapa aktivitas pertambangan, terutama aktivitas tambang tradisional yang langsung menjual bijih nikel untuk di ekspor ke Jepang, Cina, maupun Korea. Perusahaan peleburan nikel di Indonesia saat ini adalah PT. Vale Indonesia dan PT.Antam. Kedua perusahaan tersebut mengolah jenis nikel yang berbeda dimana PT.Antam mengolah bijih nikel menjadi ferronickel sedangkan PT. Vale Indonesia (dulunya PT. INCO) mengolah nikel menjadi nickel matte. PT. Antam beroperasi dengan 3 unit smelter di Pomalaa sedangkan PT. Vale beroperasi dengan 3 unit smelter di Kabupaten Luwu Timur, Soroako. Saat ini di Indonesia, nikel dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi domestik maupun ekspor. Ekspor dilakukan baik dalam bentuk ore laterite maupun nickel matte dan ferro nickel. Produksi ore latterite dan nickel matte Indonesia pada ditunjukkan pada Gambar 51 Produksi laterite ore tumbuh rata-rata 13 persen per tahun sedangkan rata-rata pertumbuhan produksi nickel matte yaitu -3 persen per tahun. Catatan: **) Merupakan hasil produksi smelter Soroako yang diekspor ke Jepang dan mengandung 78 persen nikel. (Sumber: Mineral Year Book, 2009) Gambar 51 Produksi Ore Laterite dan Nickel Matte Indonesia, Pada saat ini, pembangunan industri smelter nikel diharapkan akan menambah kapasitas industri pengolahan nikel melalui pembangunan pengolahan nikel. Pengolahan nikel yang menghasilkan ferro nickel pada saat ini di antaranya yaitu oleh PT. Feni Haltim, PT. Weda Bay Nickel dan PT. Solway di Pulau Halmahera. 199

200 Pembangunan smelter nikel masih terhambat oleh beberapa masalah mencakup ketersediaan infrastruktur, perizinan, biaya investasi yang tinggi, fluktuasi harga nikel dan insentif pajak dan tax holiday. Hingga saat ini,ketersediaan energi dan fasilitas pendukung infrastruktur seperti port, jetty, access road (for green field project) masih kurang sedangkan biaya investasi tinggi. Kurangnya kepastian hukum dan masalah perizinan di daerah seperti, izin kehutanan, izin lingkungan, izin B3 dan persetujuan AMDAL, tumpang tindih IUP, maupun pembebasan lahan, juga menyebabkan disinsentif pembangunan smelter nikel di Indonesia. Hambatan lainnya mengenai pembangunan smelter adalah kesiapan pasokan listrik untuk smelter yang biasa nya tidak tersedia di lokasi di dekat ketersediaan raw material, sehingga smelter tersebut harus membangun pembangkit listrik sendiri yang tentunya akan menambah biaya investasi. (Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, , diolah.) Gambar 52 Volume Ekspor Total Bijih Nikel (Ton) Indonesia merupakan eksportir bijih nikel yang besar dengan kenaikan per tahun yang tinggi. Ekspor bijih nikel (kode SITC 2841) pada Gambar 52 menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan dimana pada tahun 2009 mencapai 10,4 juta ton, kemudian pada tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi 17,5 juta ton, dan pada tahun 2011 mengalami lonjakan yang fantastis menjadi sebesar 40,7 juta ton. Lonjakan tersebut diduga terkait dengan UU No. 4 Tahun 2009 yang akan diterapkan untuk mengendalikan/melarang ekspor mineral dalam bentuk mentah. Eskalasi kenaikan ekspor bijih nikel yang semakin tinggi mendorong diterbitkannya Permen ESDM No. 200

201 11 Tahun 2012 sebagai aturan untuk membatasi ekspor mineral dalam bentuk mentah. Indonesia juga mengekspor nikel dalam bentuk olahan yang berasal dari smelter (kode SITC 2842) yang besarnya berfluktuasi seperti yang ditampilkan dalam Tabel 64. Apabila membandingkan produk ekspor dan impor Indonesia, maka terlihat bahwa impor produk nikel masih relatif kecil dibandingkan dengan produk yang diekspor. Hal itu menunjukkan masih rendahnya penyerapan di sektor hilir. Tabel 64 Volume Ekspor dan Impor Nikel Berdasarkan Kode SITC, Tahun Ekspor SITC (Ton) Impor Kode SITC (Ton) , ,8 14,1 96,5 3,3 130,5 491,8 398, , ,7 9, ,5 16,3 154,0 397,3 749, ,2 309,0 33,7 468,5 2,1 524,7 730, , , ,8 115,2 378,4 10,1 96,7 408,7 707, , ,8 73,9 290,4 6,6 0,6 472, , , ,9 36,3 394,8 0,3 0,9 835, , , ,5 40, ,7 4,0 0,1 450,1 911, , ,7 123,7 611,7 0,0 0,0 568,3 577, , ,6 12, ,0 25,2 493,7 877, , , ,3-324,6 0,4 2,9 511,0 929, , ,9 0,5 113,1 0,1 1,0 546,6 888, , ,9 0,1 95,4 1,8-562, ,3 Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, , diolah. Ditinjau dari nilainya, ekspor nikel mengalami kenaikan yang tinggi baik dalam bentuk bijih nikel maupun produk olahan smelter. Apabila membandingkan produk ekspor dan impor Indonesia, maka terlihat bahwa neraca perdagangan nikel surplus dan terus mengalami kenaikan. Surplus tersebut tentunya akan terus bertambah apabila Indonesia berhasil dalam melakukan hilirisasi dengan menambah dan membangun smelter nikel. Tabel 65 Nilai Ekspor dan Impor Nikel, Ekspor Kode SITC (Ribu USD) Impor Kode SITC (Ribu USD) Tahun , ,3 103,7 115,7 13,0 550, , ,4 201

202 Tahun Ekspor Kode SITC (Ribu USD) Impor Kode SITC (Ribu USD) , ,1 186, ,1 80,4 395, , , ,2 325,5 95, ,2 39,7 155, , , , ,0 149,9 704,8 21,9 155, , , , ,4 386, ,6 37,8 7, , , , ,5 4,9 795,4 17,9 2, , , , ,6 80, ,2 4,3 2, , , , ,3 316, ,5 0,1 0, , , , ,3 15, ,7 41, , , , , ,9-317,5 1,3 9, , , , ,0 1,9 290,5 2,0 45, , , , ,8 3,4 73,8 14, , ,8 Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS, , diolah. Apabila kita ingin melihat neraca perdagangan dengan data yang lebih rinci, dengan data dari UNComtrade maka akan terlihat surplus ataupun defisitnya dari tiaptiap produk yang ada di HS. Kelompok produk nikel dan turunannya dimana nilai neraca perdagangannya tidak selalu surplus atau defisit dalam Di antara delapan kelompok produk, nickel waste and scrap HS7503 yang hanya terdiri dari satu produk, hanya defisit pada tahun 2001 menunjukkan surplus pada tahun-tahun berikutnya dengan nilai surplus cenderung naik. Kelompok produk lainnya dengan neraca perdagangan yang defisit menunjukkan bahwa defisit terjadi pada awal atau akhir tahun 2000-an. HS 7503 HS 7504 HS 7505 HS 7506 Tabel 66 Neraca Perdagangan Kelompok Produk Nikel (Juta USD) Kode Produk Nickel waste and scrap (0,1) 0,1 0,1 0,2 0,3 1,1 1,2 0,2 2,5 5,8 5,6 Nickel powders and flakes (0,1) (0,2) (0,0) (0,4) (0,5) (1,1) (1,3) (1,7) (0,6) (0,8) (0,7) Nickel bars, rods, profiles and wire 1,1 (5,7) (1,5) (3,2) (3,1) 35,1 (4,2) (7,1) (4,2) (5,2) (9,0) Nickel plates, sheets, strip and foil (0,6) (1,2) (1,0) (1,7) (1,9) (0,5) 0,5 42,8 (6,0) (6,9) (10,6) HS 7507 Nickel tubes, pipes (0,8) 1,1 (0,2) 0,6 (2,2) (2,8) 3,3 (0,8) (1,9) (1,5) 3,4) 202

203 Kode Produk and tube or pipe fiftings HS 7508 Articles of nickel nes (3,6) (2,8) 0,3 (4,0) (3,4) (2,4) (4,5) (4,3) (6,2) (7,3) (8,9) Sumber : UNComtrade, diolah, 2011 Pada kelompok produk nikel dengan nilai neraca perdagangan yang lebih sering defisit dibandingkan surplus, nilai defisit tersebut relatif berfluktuasi. Contohnya adalah nickel powders and flakes HS7504 dimana defisit naik atau turun pada rentang satu juta USD. Sejak tahun 2007, Indonesia mengekspor nickel mattes (HS750110) hanya ke Jepang. Pada tahun 2007, Indonesia pernah mengekspor produk ini ke Republik Korea, Taiwan, Belanda, dan Swiss dengan jumlah ekspor 21 persen dari total volume ekspor ( ton). Volume ekspor total Indonesia ke Jepang pada tahun berikutnya naik menjadi ton namun turun menjadi ton pada tahun Pada kurun waktu , rata-rata volume ekspor nickel mattes adalah sebesar ,4 ton dengan rata-rata pertumbuhan ekspor sebesar 2 persen setiap tahun. Sebaliknya, Indonesia mengimpor cukup banyak produk turunan nikel di mana kelompok produk turunan nikel dengan defisit neraca perdagangan terbesar adalah dari HS7502 dan HS7506 pada tahun 2011 seperti pada tabel berikut. Tabel 67 Neraca Asal Impor Beberapa Kelompok Produk Nikel Rerata Rerata Rerata Rerata Tujuan Asal Impor Ekspor Jepang 81% 81% 200% Kanada 20% 12% 48% Finlandia 41% 42% 17% Korea Selatan 6% 5% 10% Singapura 2% 1% 7% Hongkong 3% 3% 7% Perancis 0% 0% 3% Negara Negara yang yang 19% 19% 0% lainnya lainnya 28% 37% 8% Sumber: UNComtrade, diolah,

204 Rencana Pengembangan Industri Manufaktur Pada RPJMN ditemui masalah bahwa dalam perencanaan terkait dengan pengembangan industri logam belum dirumuskan strategi dan kebijakan yang konkrit untuk pengembangan industri hilir setelah peleburan dan pemurnian nikel dan tembaga. Pada pembahasan dalam bagian industri, rencana pengembangan industri berbasis logam dasar secara umum masih belum terarah. Di tingkat perencanaan yang lebih operasional, Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang tentang Kebijakan Industri Nasional bahkan belum melihat pengembangan industri berbasis nikel dan tembaga sebagai prioritas. Pada klaster Basis Industri Manufaktur, kelompok industri logam dasar yang menjadi prioritas pengembangan adalah besi dan baja. Pada Perpres ini memang terdapat rencana pengembangan industri hilir prioritas yang sangat mungkin menggunakan bahan baku nikel dan tembaga, seperti industri permesinan, kelompok industri alat angkut dan kelompok industri elektronika dan telematika. Meskipun demikian, tanpa kaitan yang kuat dengan pengembangan nikel dan tembaga, pemacuan industri-industri hilir ini mungkin akan mengandalkan pada impor logam dasar selain besi dan baja yang telah menjadi prioritas. Uraian berikut tentang rencana pengembangan industri manufaktur. Industri Baja Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Industri Logam. Dasar Besi dan Baja termasuk dalam kode 2710 yang terdiri dari: : Industri besi dan baja dasar (iron and steel making) : Industri penggilingan baja (steel rolling) : Industri pipa dan sambungan pipa dari baja dan besi Berdasarkan aliran proses dan hubungan antara bahan baku dan produk, maka struktur industri baja dapat ditunjukkan sebagai pohon industri baja seperti pada gambar berikut. 204

205 (Sumber: Peraturan Presiden No.28 Tahun 2008) Gambar 53 Pohon Industri Baja Selanjutnya, struktur industri baja nasional tersebut dapat pula dibagi dalam pengelompokan sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 68 berikut. Pengelompokan tersebut diusulkan sebagai bentuk penyederhanaan dalam identifikasi kondisi masingmasing tahapan proses. Tabel 68 Pengelompokan Industri Baja Nasional Industri Hulu Industri Antara 1 Industri Antara 2 Pertambangan Penyediaan Bahan Baku Pembuatan Baja Kasar Pembuatan Semi Finished Product Bijih Besi Pemo Nickel Besi Spons Pig Iron Scrap Ingot Slab Billet Bloom HRC/P /5 CRC/P/ 5 Pelat Baja Wire Rod Industri Hilir Pembuatan Finished Flat Product Pembuatan Finished Long Product BJLD Tin Plate Gaiva Rizing Profil Las Shearing/Si tting Baja Batangan Profil Paku Wire Mesh Besi Beton Kawat Beton Kawan Khusus Baja Kawat Mutu Las Baut PC Wire Sumber: Peraturan Presiden No. 28 Tahun

206 1. Kelompok Industri Hulu a. Pertambangan Meskipun secara proses bukan dianggap sebagai bagian dari industri besi baja dan merupakan industri pemasok dalam supply chain industri baja, namun keberadaannya sangat strategis dalam menentukan daya saing industri baja suatu negara. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah pertambangan bijih besi, pasir besi, ferro nikel, batu bara baik untuk bahan energi maupun bahan baku kokas, gas alam, mineral penunjang seperti batu kapur dan dolomit. b. Penyedia Bahan Baku Kelompok ini juga sangat strategis dalam menentukan daya saing industri baja suatu negara. Kelompok ini terdiri dua jalur proses pembuatan besi (iron making) serta satu industri penyediaan scrap yang merupakan material besi bekas. Sebagaimana dipahami secara umum dalam dunia perbajaan, bahwa terdapat dua jalur utama dalam industri pembuatan besi. Jalur pertama, yang mendominasi sebesar 70 persen dari produksi besi dunia, adalah melalui teknologi blast furnace. Melalui proses ini bijih besi direduksi dengan kokas batu bara dalam sebuah tanur tiup yang tinggi. Produk dari proses ini adalah besi cair yang kemudian dapat diproses lebih lanjut dalam tahap steel making atau dapat langsung dicetak sebagaimana dikenal sebagai pig iron. Jalur lain yang merupakan alternatif industri pembuatan besi adalah jalur pembuatan besi spons. Melalui jalur ini bijih besi dalam bentuk bulk atau pellet direduksi dengan gas pereduksi (yang berasal dari gas alam atau batu bara).produk dari proses ini dapat berupa besi spons atau hot briquette iron (HBI), sebagai bahan baku proses steel making selanjutnya. Jalur ini menguasai sekitar 25 dari produksi besi dunia. Di samping dua jalur utama diatas terdapat pula beberapa teknologi penyedia bahan baku industri baja yang jumlahnya relatif kecil seperti teknologi direct smelting, rotary kiln, dan open heart. 2. Kelompok Industri Antara 1: Pembuatan Baja Kasar (Crude Steel) Kelompok ini sering dijadikan ukuran produksi industri baja suatu negara. Melalui proses yang tahap akhirnya mengubah baja cair menjadi baja padat ini dihasilkan bloom dan billet sebagai bahan baku industri baja pengolahan long product, slab sebagai bahan baku industri pengolahan flat product dan ingot sebagai bahan baku industri 206

207 pembentukan baja lainnya. Konsumsi per kapita industri baja suatu negara di-hitung dari jumlah produksi baja kasar ini dibagi dengan jumlah penduduk negara tersebut pada saat itu. 3. Kelompok Industri Antara 2: Pembuatan Baja Semi Finished Product Kelompok ketiga ini adalah tahap yang memproses baja kasar menjadi produk semi finished. Billet dan bloom merupakan bahan baku untuk pembuatan produk semi finished wire rod dan green pipe. Selanjutnya wire rod akan menjadi bahan baku berbagai industri pengolahan long finished product seperti paku, baut, mur, kawat las, PC wire sedangkan green pipe akan menjadi bahan baku industri seamless pipe (OCTG dan Line Pipe) bagi industri migas. Sementara, semi finished product di jalur flat product adalah hot rolled coil (HRC), hot rolled plate (HRP) dan cold rolled coil (CRC). HRC selain merupakan bahan baku terbesar dari industri pengolahan flat product seperti untuk konstruksi, pipa las spiral dan otomotif. Sementara CRC digunakan sebagai bahan baku industri peralatan rumah tangga, otomotif, dan pelapisan seng. Pelat baja merupakan semi finished product yang digunakan sebagai bahan baku industri pipa las longitudinal, profil dan perkapalan. 4. Kelompok Industri Hilir a. Pembuatan baja finished flat product Kelompok ini merupakan konsumen terbesar industri baja dunia. Berbagai industri pemakai diantaranya industri konstruksi, otomotif, pipa, profil dan pelapisan. Sebagai media antara bahan baku HRC dan CRC dengan kebutuhan industri pembuatan finished product, maka dimasukkan pula dalam kelompok ini industri jasa pemotongan dan pembentukan baja lembaran (shearing/slitting lines). b. Pembuatan baja finished long product Kelompok ini merupakan konsumen paling bervariasi dari industri baja. Berbagai industri pemakai diantaranya industri pembuatan baja batangan, profil, baja konstruksi, kawat, paku, mur/baut. Berkenaan dengan sasaran pengembangan jangka menengah antara lain mengembangkan industri pengolahan bahan baku besi baja berbasis sumber daya lokal, mengoptimalkan kapasitas terpasang industri baja kasar (7,4 juta ton) dan berkembangnya produk baja lembaran dan baja batangan untuk kebutuhan industri 207

208 perkapalan, pipa migas, konstruksi, otomotif, kemasan dan peralatan rumah tangga. Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam jangka panjang adalah tumbuhnya industri peleburan baja terintegrasi yang menghasilkan baja khusus berbasis sumber daya lokal. Sedangkan dalam kaitannya dengan strategi dan kebijakan, bahwa Visi dan Arah Pengembangan Industri Baja Nasional adalah memiliki industri baja modern dan efisien yang berstandar dunia yang memenuhi kebutuhan seluruh produk baja domestik dengan pencapaian konsumsi per kapita dunia. Arah pengembangannya memiliki industri baja yang mencapai daya saing global dalam aspek biaya, mutu, dan kemampuan sumber daya manusia dan level teknologi. Setelah merumuskan gambaran masa depan dan arah pengembangan industri baja nasional, maka langkah selanjutnya adalah pembuatan peta arsitektur strategis sebagai cetak biru rumusan strategi berikut skenarionya untuk mendukung tercapainya visi industri dalam waktu yang telah ditentukan, yaitu 15 tahun. Gambar 54 menunjukkan hasil penyusunan peta arsitektur strategis yang dibuat secara skematik sederhana. Simplifikasi peta arsitektur strategis dipilih dan ditetapkan untuk memberi kemudahan dalam mendapatkan pengertian dan ide-ide skenario yang diusulkan. (Sumber: Pengembangan Klaster Industri Prioritas Basis Industri Manufaktur Tahun ) Gambar 54 Road Map Industri Baja 208

209 Peta arsitektur tersebut disusun sebagai berikut: a. Bahwa sebagai hasil gambaran masa depan, dicita-citakan terciptanya industri baja nasional pada tahun 2020 yang memiliki daya saing tinggi. b. Indikasi daya saing tersebut dijabarkan dalam empat indikator pencapaian yaitu: Kapasitas produksi Teknologi, research & development, dan sumber daya manusia Supporting Pendanaan c. Untuk mengusahakan jalur pencapaian dilakukan dengan 3 tahap implementasi yang berjangka masing-masing lima tahun. d. Dalam setiap tahap implementasi kemudian diusulkan berbagai action plan yang menunjang dan mensukseskan setiap jalur pencapaian. Tabel 69 Rencana Aksi Pengembangan Industri Baja Nasional Tahap 1 ( ) Tahap 2 ( ) Tahap 3 ( ) Tahap Implementasi Integritas Industri Hulu dan Peningkatan Kinerja Industri Peningkatan Kegiatan dan Pengembangan Produk Baru Peningkatan Daya Saing Produksi dan Pertumbuhan Berkelanjutan Indeks Konsumsi 43 kg/kapita/tahun 56 kg/kapita/tahun 70 kg/kapita/tahun Indikator Kapasitan Produksi Menyeimbangkan Industri Memperbaiki Kinerja Industri Mengembangkan Industri penyedia bahan baku berbasis sumber daya local Mengembangkan kapasitas produksi yang baru melalui penerapan teknologi terkini Mengembangkan produk-produk Implementasinya dilakukan dengan pemenuhan kapasitas dan mutu produksi pada level global Inventarisasi produksi sector-sektor yang belum ada Meningkatkan factor kapasitas baru Teknologi RSD dan SDM Memperbaiki teknologi yang ada Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia untuk mengimbangi pengembangan industri Melakukan pembinaan manajemen untuk pengelolaan khususnya untuk industri BUMN Manajemen yang didukung dengan ketersediaan tenaga ahli yang terlatih Penerapan manajemen dan pendekatan teknologi yang ramah lingkungan Suporting Tahap 1 ( ) Tahap 2 ( ) Tahap 3 ( ) Memperjelas kemampuan pasar Menciptakan pasar konsumsi yang Penciptaan kondisi yang baik pasar domestik maupun pasar kondusif dan pembangunan yang kondusif untuk impor/ekspor mengkonsumsi baja secara iteratif mengakomodasi Menghilangkan bentuk-bentuk kecenderungan global juga penyimpangan dalam bentuk pajak perlu diusahakan diantaranya 209

210 Tahap 1 ( ) Tahap 2 ( ) Tahap 3 ( ) Meningkatkan kebijakan perdagangan serta promosi kecenderungan integrasi dengan industri-industri konsumen di hilir Pendanaan Membuat kebijakan dalam penyediaan dana investasi Mengusahakan dana investasi yang kompetitif Mendukung negosiasi denga sumber-sumber FDI sebagai alternative Industri BUMN untuk mendatangkan modal investasi dari pasar domestik Kecenderungan restrukturisasi yang berakibat domestik maupun lintas negara Sumber: Pengembangan Klaster Industri Prioritas Basis Industri Manufaktur Tahun Industri Semen Semen merupakan komoditi strategis yang memanfaatkan potensi sumber daya alam bahan galian nonlogam berupa batu kapur, tanah liat, pasir besi dan gipsum (diimpor) melalui proses pembakaran temperatur tinggi (di atas C). Industri semen mempunyai karakteristik: Padat modal (capital intensive); Padat energi berupa batubara dalam proses pembakaran dan energi listrik; Bersifat padat (bulky) dalam volume besar sehingga biaya transportasi tinggi. Produsen semen nasional telah mampu memproduksi 11 jenis semen menurut kegunaannya, namun yang paling banyak digunakan adalah semen Portland (tipe I - V), semen komposit/campur dan semen putih. Hasil produksi diutamakan untuk memenuhi kebutuhan nasional untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan perumahan, sedangkan kelebihan produksi diekspor agar proses produksi berkesinambungan dan silo-silo tidak penuh. Industri semen nasional mempunyai daya saing yang tinggi dan termasuk kelompok komoditi yang diperdagangkan tanpa hambatan tarif (BM=0 persen) sesuai dengan kesepakatan perdagangan bebas hambatan (FTA). Pengelompokan industri semen: 1. Produsen semen mampu memproduksi berbagai jenis (saat ini ada 11) semen menurut kegunaannya; 2. Tarif Bea Masuk semen sejak tahun 1995 adalah 0 persen dan mulai tahun 2010 akan menjadi 5 persen; 210

211 3. Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk semen telah direvisi dan akan dinotifikasikan ke Sekretariat WTO bidang standardisasi untuk diberlakukan secara wajib. Tabel 70 Tarif Bea Masuk Produk Semen Berdasarkan HS Tahun 2008 HS Deskripsi BM PPN (%) SNI Portlan Putih Portlan Pazoland Portlan Type I-V Portlan Campur Masonry Semen Portland komposit Oil Well Cement (OWC) Sumber: Buku Tarif Bea Masuk Indonesia Tahun 2008 Adapun sasaran jangka panjangnya ( ) pengembangan industri semen adalah: a. Terpenuhinya kebutuhan semen nasional di seluruh pelosok tanah air dengan harga jual yang tidak jauh berbeda di masing-masing daerah; b. Terjaminnya pasokan energi khususnya batubara untuk periode jangka panjang; c. Tersedianya tenaga kerja operator pabrik yang kompeten; d. Makin menguatnya daya saing industri semen; e. Terwujudnya kemampuan rekayasa dan fabrikasi pembangunan pabrik semen. Terkait dengan strategi dan kebijakan, visi industri semen ditetapkan untuk menjadikan industri semen nasional berdaya saing tinggi dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam rangka itu, pengembangan industri semen diarahkan untuk meningkatkan daya saing melalui efisiensi penggunaan energi dan diversifikasi produk semen. Untuk mencapai visi dan melaksanakan arah kebijakan tersebut di atas, strategi kebijakan pengembangan industri semen yang ditetapkan adalah: a. Memenuhi kebutuhan nasional; b. Melakukan persebaran pembangunan pabrik semen ke arah luar Pulau Jawa; c. Meningkatkan daya saing industri semen melalui efisiensi penggunaan energi; d. Meningkatkan kemampuan kompetensi sumber daya dalam desain dan 211

212 perekayasaan pengembangan industri semen. Monitoring dan evaluasi pengembangan industri semen dilakukan dengan indikator-indikator pencapaian, antara lain: a. Terpenuhinya kebutuhan nasional pada tingkat harga yang kompetitif; b. Makin efisiennya penggunaan batubara, listrik dan energi lainnya; c. Makin mandirinya dalam pembangunan pabrik baru. Implementasi pengembangan industri semen dilakukan dengan beberapa tahapan/langkah. 1 Langkah-langkah yang telah dilakukan a. Membuat estimasi kebutuhan semen dalam jangka pendek ( ) maupun jangka panjang ( ); b. Meningkatkan daya saing industri semen melalui upaya efisiensi penggunaan energi; c. Melakukan program Diklat Standar Kompetensi SDM yang dikoordinir oleh ISBI; d. Menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35/M-IND/PER/4/ 2007 tentang Penerapan SNI Semen secara Wajib. 2 Langkah-langkah yang sedang dan akan dilakukan a. Membuat estimasi pemenuhan kebutuhan semen dalam jangka pendek ( ) maupun jangka panjang ( ), melalui pembangunan pabrik baru; b. Terus melakukan upaya peningkatan daya saing terutama pada penggunaan energi dan diversifikasi produk semen; c. Terus melakukan program Diklat Standar Kompetensi SDM bekerjasama dengan ISBI dan instansi terkait; d. Menerapkan dan melakukan pengawasan serta pembinaan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Selanjutnya, program/rencana aksi untuk mengembangkan industri semen dalam jangka panjang ( ) ditetapkan untuk: 1. Mengembangkan industri semen di luar Pulau Jawa khususnya Kawasan Timur Indonesia melalui pembangunan unit pengepakan, cement mill sampai pabrik semen secara utuh; 2. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam rekayasa dan pabrikasi melalui kerjasama dengan Institut Semen Beton Indonesia (ISBI) dalam program 212

213 diklat dari tingkat operator hingga D3; 3. Meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan dalam penggunaan bahan baku, emisi debu dan efisiensi energi, melalui program CDM secara berkesinambungan; 4. Meningkatkan kerja sama kemitraan antara produsen batubara dan semen; 5. Mendorong pengembangan teknologi yang lebih efisien melalui peningkatan kerjasama dengan NEDO maupun perusahaan permesinan dunia. 6. Tabel 71 Kerangka Pengembangan Industri Semen Industri Inti Industri Semen Industri Pendukung Mesin dan Peralatan, Batubara, Kertas Kraft, Gypsum, Transportasi Industri Terkait Bahan Bangunan Sasaran Jangka Menengah ( ) 1. Terpenuhinya kebutuhan semen nasional 2. Tercapainya tingkat utilisasi rata-rata diatas 90 persen 3. Diterapkannya Permenperin 25/2007 tentang SNI Sasaran Jangka Panjang ( ) 1. Menguatnya struktur industri semen 2. Tingginya daya saing industri semen nasional di pasar domestik dan ekspor 3. Makin efisiennya penggunaan energi secara wajib semen 4. Peningkatan efisiensi penggunaan energi Strategi : Sektor : Mendukung upaya pemenuhan pasokan semen diseluruh tanah air pada tingkat harga yang wajar dan terjangkau Teknologi : Pengembangan teknologi proses produksi yang efisien Pokok Pokok Rencana Akan Jangka Menengaj ( ) 1. Menjamin pemenuhan kebutuhan nasional 2. Menerapkan secara konsisten Permenperin no 25/2007 tentang SNI Wajib Semen 3. Melakukan kerjasama dengan NGO dalam pembangunan Waste Meet Recovery Power Generation di PT. Semen Padang 4. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan produsen semen dalam rangka pengembangan industri inti di daerah 5. Mempromosikan investasi industri semen di luar Pokok-Pokok Rencana Akan Jangka Panjang ( ) 1. Melanjutkan program efisiensi dan diversifikasi energi 2. Menerapkan dan penggunaan SNI sesuai dengan Permenperin no 25/2007 tentang SNI Wajib Semen 3. Mengembangkan kompetensi sumber daya manusia bagi industri semen 4. Mengembangkan industri semen yang berdaya saing tinggi 5. Mengembangkan bidang desain, rekayasa dan fabrikasi pabrik semen yang hemat energi jawa khususnya di Papua Barat Unsur Penunjang Pembinaan : a. Periode : Pengamanan kebutuhan semen nasional b. Periode : Pengembangan teknologi yang makin modern dan efisien SDM : a. Meningkatkan kemampuan kompetensi SDM dibidang rekayasa dan pabrikasi melalui pendidikan dan pelatihan b. Melaksanakan pelatihan system menajemen mutu 213

214 c. Periode : Pengembangan kemampuan rekayasa dan permesinan Power : a. Membangun daya saing guna menghadapi produk impor terutama semen dari China b. Meningkatkan akses dan penetrasi di pasar terutama di Kawasan Timur Indonesia Sumber: Roadmap Industri Semen Tahun 2009 pada industri semen Infrastruktur : a. Peningkatan peran litbang dan perguruan tinggi b. Pengembangan kemampuan Balai Besar Semen yang mampu melakukan desai dan rekayasa peralatan semen Industri Keramik Keramik adalah berbagai produk industri kimia yang dihasilkan dari pengolahan tambang seperti clay, feldspar, pasir silika dan kaolin melalui tahapan pembakaran dengan suhu tinggi (sekitar o C). Industri keramik yaang terdiri dari ubin (tile), saniter, perangkat rumah tangga (tableware), dan genteng telah memberikan kontribusi signifikan dalam mendukung pembangunan nasional melalui penyediaan kebutuhan domestik, perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam seperti lempung, feldspar dan pasir silika yang tersebar di berbagai daerah, industri keramik terus tumbuh baik dalam kapasitas maupun tipe dan desain produk yang semakin berdaya saing tinggi. Kondisi ini dapat terlihat pertumbuhan rata - rata sekitar 6 persen dan perolehan devisa yang mencapai US$ 220 juta pada tahun 2008 atau meningkat dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar US$ 212 juta serta penyerapan tenaga kerja lebih dari 200 ribu orang. Saat ini kapasitas kapasitas industri keramik tile mencapai 327 juta m 2, keramik saniter 4,6 juta pcs dan keramik tableware 268 juta pcs, sehingga untuk keramik telah menempatkan Indonesia sebagai produsen keramik terbesar dunia setelah Cina, Italia, Spanyol, Turki dan Brazil. Industri keramik meliputi industri bahan baku, industri bahan penolong dan industri bahan setengah jadi serta produk keramik seperti tile, saniter dan tableware dan alat laboratorium meliputi KBLI s/d atau HS 6901 s.d Industri keramik memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Padat energi b. Padat karya c. Penggunaan bahan baku tambang yang tidak dapat diperbaharui. Industri keramik dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu kelompok industri hulu, kelompok industri antara, dan kelompok industri hilir. 214

215 1. Kelompok Industri Hulu Kelompok industri hulu meliputi industri bahan baku keramik seperti tanah liat, kaolin, feldspar, pasir kuarsa, zircon. Bahan baku dan penolong yang masih di impor sebagian besar dari Cina seperti feldspar, glazur/fritz, China Stone dan zat pewarna (pigmen). Padahal, sumber deposit bahan baku tersebut banyak terdapat di Indonesia tetapi belum diolah seperti tabel berikut. Tabel 72 Sumber Deposit Bahan Baku Jenis Bahan Lokasi Cadangan Feldspar Pengaribuan, Sumut 400 ribu ton Lampung 12.5 juta m3 Banjar Negara, Jabar 642 ribu ton Tulung Agung 40 ribu ton Clay Lampung 10 juta ton Monterado, Kalbar 250 ribu ton Kaolin Bangka 7 juta ton Belitung 6 juta ton Toseki Pacitan, Jatim 5 juta m3 Sumber: Roadmap Industri Keramik Tahun Kelompok Industri Antara Kelompok industri antara meliputi industri pembuatan bahan baku body keramik, bahan pewarna, frits dan glasir. 3. Kelompok Industri Hilir Kelompok industri hilir meliputi industri barang jadi keramik seperti perlengkapan rumah tangga dari porselin, bahan bangunan dari porselin, alat laboratorium dan alat listrik/teknik dari porselin, barang untuk keperluan laboratorium kimia dan kesehatan dari porselin serta barang-barang lainnya dari porselin. Tabel 73 Pengelompokan Produk Keramik No Uraian 1 Keramik ubin/tile : Ubin lantai, ubin perapian atau ubin dinding 2 Keramik Saniter : Bak cuci, westafel, alas baskom cuci, bak mandi, bidet, bejana kloset, tangki air 215

216 pembilasan, tempat kencing dan perlengkapan saniter semacam itu dari keramik, dari porselen atau tanah lempung China 3 Keramik table ware : Perangkat makan, perangkat daput, perlengkapan rumah tangga lainnya Sumber: Roadmap Industri Keramik Tahun 2009 Keramik termasuk dalam katagori thermoset yaitu suatu benda yang setelah mengalami pemanasan dan pendinginan kembali tidak dapat berubah lagi kebentuk asalnya. Berdasarkan fungsi dan strukturnya produk keramik dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu keramik konvensional dan keramik maju. Keramik konvensional menggunakan bahan-bahan alam fas amorf (dengan atau tanpa diolah). Keramik konvensional dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan masingmasing: Industri keramik berat terdiri dari refraktori, mortar, abrasive dan industri semen Industri keramik halus yang terdiri dari industri gerabah/keramik hias, porselen lantai dan dinding (tile), saniter, tableware dan isolator listrik. Keramik maju dikenal juga advanced ceramics menggunakan bahan baku artifikal murni yang mempunyai fasa kristalin. Beberapa jenis industri keramik maju antara lain: Zirkonia dan silikon, seperti untuk kebutuhan otomotif (blok mesin, gear, mata pisau dan gunting; Barium titanat untuk industri elektronika (kapasitor dan gunting); Keramik nitrid oksida (zirkon nitride, magnesium nitride, cilikon karbida) digunakan untuk high technology, cutting tools, komponen mesin, alat ekstraksi dan pengolahan logam; Fiber optic di industri telekomunikasi, penerangan, gedung pencakar langit dan tenaga surya. Program jangka panjang ( ) pengembangan industri keramik adalah: 1. Menguatnya struktur industri keramik mulai dari penyediaan bahan baku hingga produk jadi; 2. Tingginya daya saing industri keramik nasional di pasar domestik dan ekspor; 216

217 3. Tersedianya industri bahan baku keramik yang sesuai dengan kebutuhan. Sementara visi industri keramik adalah membangun industri keramik nasional yang mempunyai daya saing internasional dan mempunyai nilai tambah yang tinggi pada tahun 2025, dengan arah pengembangan untuk peningkatan nilai tambah. Adanya klaster industri keramik diharapkan dapat memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri hulunya, mampu meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun visi dan misi yang selaras, sehingga mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya yang digunakan dalam industri, serta memfokuskan keterkaitan yang kuat antara sektor hulu sampai dengan hilir. Lebih lanjut, indikator pencapaian dalam pengembangan industri keramik yang telah ditetapkan adalah: 1. Terintegrasinya industri pengolahan keramik. 2. Peningkatan utilisasi dan kapasitas industri keramik, yang ditandai dengan: Kebutuhan bahan baku keramik dapat dipenuhi dari dalam negeri Meningkatnya investasi baru dan perluasan usaha industri keramik. Terpenuhinya kebutuhan dalam negeri akan produk-produk keramik Meningkatnya kapasitas industri keramik. Terkait dengan tahapan implementasinya, ada beberapa langkah yang telah dilakukan dalam rangka pengembangan klaster industri keramik. a. Tahap diagnostik yaitu mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan klaster serta menyusun strategi pengembangan industri keramik. b. Sosialisasi dan mobilisasi pembentukan klaster keramik kepada pemerintah dan pelaku usaha di daerah yang telah ditetapkan untuk dikembangkan menjadi lokasi pengembangan klaster industri keramik khususnya untuk daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam. c. Kerja sama penelitian dan pengembangan antara dunia usaha dengan lembaga penelitian /perguruan tinggi. d. Pembuatan pilot plant pengembangan pengolahan bahan baku keramik. Untuk mencapai visi dan misi pengembangan industri keramik, ditetapkan program/rencana aksi, yaitu: A. Rencana Aksi Jangka Pendek ( ) 217

218 1. Koordinasi pengamanan pasokan gas untuk industri keramik; 2. Promosi investasi bahan baku keramik; 3. Peningkatan produksi bahan baku keramik untuk substitusi impor; 4. Peningkatan efisiensi energi melalui penerapan konservasi energi; 5. Pengembangan desain produk industri keramik; 6. Meningkatkan kualitas produk keramik melalui SNI. B. Rencana Aksi Jangka Menengah ke-1 ( ) 1. Memenuhi pasokan gas sesuai kebutuhan industri keramik nasional; 2. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan produsen keramik dalam rangka pengembangan industri inti di daerah, khususnya penggunaan bahan baku yang tersedia di dalam negeri; 3. Mempromosikan investasi industri bahan baku keramik; 4. Melakukan revitalisasi Unit Pelayanan Teknis (UPT) Industri Kecil dan Menengah Keramik. C. Rencana Aksi Jangka Menengah ke-2 ( ) 1. Meningkatkan efisiensi dan konservasi energi; 2. Menerapkan dan pengawasan SNI; 3. Mengembangkan kompetensi sumber daya manusia bagi industri keramik; 4. Mengembangkan industri pemurnian dan penyiapan bahan baku; 5. Mengembangkan industri keramik bernilai tambah tinggi (advanced ceramic); 6. Mengembangkan bidang desain, rekayasa dan fabrikasi pabrik keramik yang hemat energi. D. Rencana Aksi Jangka Panjang ( ) 1. Memenuhi pasokan gas sesuai kebutuhan industri keramik nasional; 2. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan produsen keramik dalam rangka pengembangan industri inti di daerah, khususnya penggunaan bahanbahan baku yang tersedia di dalam negeri; 3. Mempromosikan investasi industri bahan baku keramik; 4. Melakukan Revitalisasi Unit Pelayanan Teknis (UPT) Industri Kecil dan Menengah Keramik. 218

219 Kerangka pengembangan industri keramik perlu ditunjang oleh infrastruktur ekonomi yang memadai seperti teknologi, sumber daya manusia, infrastruktur dan pasar. Pada tabel berikut disampaikan Kerangka Pengembangan Industri Keramik. Tabel 74 Kerangka Pengembangan Industri Keramik Industri Inti Industri Keramik Industri Pendukung Mesin dan Pendukung Bahan Kimia, Gas Bumi, Pemurnian Bahan Baku (Tanah Liat, Pasir Silika, Baru kapur) Industri Terkait Bahan Bangunan Sasaran Jangka Menengah ( ) 1. Terpenuhinya kebutuhan bahan bakar gas sebanyak 120 mmcfd (2009) 2. Tercapainya tingkat utilisasi rata-rata diatas 90 persen 3. Meningkatnya nilai ekspor dari USD 222 juta (2006) Sasaran Jangka Menengah ( ) 1. Terpenuhinya kebutuhan bahan bakar gas sebanyak 120 mmcfd 2. Tercapainya tingka utilitas rata-rata diatas 90% 3. Meningkatnya nilai ekspor dari USD 220 juta menjadi USD 250 juta menjadi USD 250 juta (2009) 4. Tersusunnya dan diterapkannya Standar Nasional (SNI) secara wajib untuk keramik ubin dan guster 5. Pengembangan pemanfaatan bahan baku keramik di Kalimantan Barat Sasaran Jangka Menengah ( ) 1. Menguatnya struktur industri keramik mulai dari penyediaan bahan baku hingga produk jadi 2. Tingginya daya saing industri keramik nasional di pasar domestik dan ekspor 3. Tersedianya industri bahan baku keramik yang sesuai dengan kebutuhan Strategi : Sektor : Mendukung pasokan pengadaan bahan baku dan energi, pengembangan industri bahan, mengoptimalkan pasar dalam negeri Teknologi : Pengembangan dan diversifikasi teknologi tradisional ke penggunaan otomatis Pokok Pokok Rencana Akan Jangka Menengah ( ) 1. Memenuhi pasokan gas sesuai kebutuhan industri keramik nasional 2. Meningkatkan kualitas produk keramik melalui SNI 3. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan produsen keramik dalam rangka pengembangan industri di daerah khususnya penggunaan bahanbahan baku yang tersedia didalam negeri 4. Mempromosikan investasi bahan baku keramik 5. Melakukan revtalisasi Unit Pelayanan Teknis Industri Kecil dan Menengah Keramik Pokok Pokok Rencana Akan Jangka Menengah ( ) 1. Memenuhi pasokan gas sesuai kebutuhan industri keramik nasional 2. Meningkatkan kualitas produk keramik melalui SNI 3. Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan produsen keramik dalam rangka pengembangan industri di daerah khususnya penggunaan bahanbahan baku yang tersedia didalam negeri 4. Mempromosikan investasi bahan baku keramik 5. Melakukan revitalisasi Unit Pelayanan Teknis Industri Kecil dan Menengah Keramik Pokok-Pokok Rencana Akan Jangka Panjang (

220 2025) 1. Meningkatkan efisiensi dan konversi energy 2. Menerapkan dan pengawasan SNI 3. Mengembangkan kometensi sumber daya manusia bagi industri keramik 4. Mengembangkan industri pemenuhan bahan bakar 5. Mengembangkan industri keramik bernilai tambah tinggi 6. Mengembangkan bidang desain, rekayasa dan fabrikasi keramik yang hemat energi Unsur Penunjang Teknologi : SDM : a. Periode : Mendorong penggantian a. Meningkatkan kemampuan kompetensi SDM melalui teknologi tradisional ke teknologi modern pendidikan dan pelatihan b. Periode : Pengembangan teknologi b. Pelatihan system manajemen mutu industri dan bahan pembakaran yang efisien baku keramik c. Matang : Pengembangan kemampuan rekayasa dan permesinan Infrastruktur : c. Peningkatan peran litbang dan perguruan tinggi Pasar : d. Pengembangan kemampuan Balai Besar Keramik a. Membangun daya saing terhadap keramik China yang mampu melakukan rekayasa dan permesinan b. Meningkatkan akses dan penetrasi di pasar yang modern internasional c. Membangun dan mempromosikan merek local di pasar internasional d. Meningkatka konsumsi produk keramik dalam negeri Sumber: Roadmap Industri Keramik Tahun Kontribusi Sektor Energi dan Pertambangan terhadap PDB Mengingat pentingnya peran energi dalam kehidupan masyarakat maka pemerintah melakukan campur tangan dalam penentuan harga dan sekaligus menjamin ketersediaannya di pasar domestik. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga konstan 2000 pada tahun 2012 mencapai Rp2.618,1 triliun, naik Rp153,4 triliun dibandingkan tahun 2011 (Rp2.464,7 triliun). Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, PDB tahun 2012 naik sebesar Rp819,1 triliun, yaitu dari Rp7.422,8 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp8.241,9 triliun pada tahun 2012 (Tabel 75). Perekonomian Indonesia pada tahun 2012 tumbuh sebesar 6,23 persen dibanding tahun 2011, di mana semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mencapai 9,98 persen, diikuti oleh Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran 8,11 persen, Sektor Konstruksi 220

221 7,50 persen, Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 7,15 persen, Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih 6,40 persen, Sektor Industri Pengolahan 5,73 persen, Sektor Jasa-Jasa 5,24 persen, Sektor Pertanian 3,97 persen, dan Sektor Pertambangan dan Penggalian 1,49 persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2012 mencapai 6,81 persen yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan PDB (Februari, 2013). No Tabel 75 Nilai PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun , Laju Pertumbuhan dan Sumber Pertumbuhan Tahun 2012 Laju Atas Dasar Atas Dasar Pertumbuhan Sumber Harga Berlaku Harga Konstan 2000 Penduduk Pertumbuhan Lapangan Usaha (tritiun rupiah) (triliun rupiah) Pechanbuhan (Persen) (Persen) (1) (2) (0) (4) (5) (6) (7) (0) (9) 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan 945, , , ,0 327,6 3,97 0,51 Perikanan 2 Pertambangan dan Penggalian ,5 970,6 187,2 189,8 192,6 1,49 0,11 3 Industri Pengolahan , ,9 597,1 633,8 670,1 5,73 1,47 4 Listrik, Gas, dan Air Bersih ,8 65,1 18,1 18,9 20,1 6,40 0,05 5 Konstruksi ,5 861,0 150,0 160,0 172,0 7,50 0,49 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 882, , ,6 400,5 437,2 472,6 8,11 1,44 7 Pengangkutan dan Komunikasi ,3 549, ,3 265,4 9,98 0,98 8 Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan 466, ,5 22,1 236,2 25,3 7,15 0,69 9 Jasa-jasa 660,4 784,0 888,7 217,8 232,5 244,7 5,24 0,49 Produk Domestik Bruto (PDB) 6.446, , , , , ,1 6,23 6,23 PDB Tanpa Migas 5.942, , , , , ,0 6,81 Sumber: BPS,

222 Bulan Mei, 2013 BPS merilis kembali PDB Indonesia, yaitu triwulan I-2013 dibandingkan triwulan I-2012 mengalami pertumbuhan sebesar 6,02 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan ini didukung oleh hampir semua sektor kecuali Sektor Pertambangan dan Penggalian yang mengalami penurunan sebesar 0,43 persen. Sementara pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Sektor Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 9,98 persen. Dilihat berdasarkan sektor, penggunaan energi oleh Industri di Indonesia sektor industri masih mendominasi dalam konsumsi energi, dengan pemakaian sebesar 329,7 juta SBM (setara barrel minyak) atau 49,86 persen dari total konsumsi energi nasional. Di tempat kedua, sektor transportasi menyumbang konsumsi sebesar 226,6 juta SBM (32,26 persen). Sementara rumah tangga dan bangunan komersial masing masing menggunakan 81,5 juta SBM (10,31 persen) dan 29,1 juta SBM (3,62 persen). Melihat pentingnya peranan energi dan pertambangan bagi ekonomi, menarik untuk dicermati bahwa pada triwulan I-2013, dibandingkan triwulan I-2012, perekonomian mengalami pertumbuhan sebesar 6,02 persen. Di mana pertumbuhan ini didukung oleh semua sektor kecuali Sektor Pertambangan dan Penggalian yang justru mengalami penurunan sebesar 0,43 persen (BPS, 2013). Muncul pertanyaan apakah sektor ini tidak memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi? (Sumber: Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2011) Gambar 55 Konsumsi Energi Final Berdasarkan Sektor Tahun (BOE) 222

223 Untuk menganalisis proyeksi kontribusi sektor energi dan pertambangan di dalam perekonomian Indonesia, dan melihat hubungan dan keterkaitan antar sektor energi dan pertambangan dengan sektor lainya umumnya digunakan model Input- Output (IO). Meskipun demikian, yang menjadi masalah dengan penggunaan IO adalah data yang tersedia hanya pada tahun tertentu berdasarkan tabel input-output yang dipublikasikan, sehingga analisisnya bersifat statis dan sulit melakukan proyeksi pada masa yang akan datang. Untuk mengatasi masalah tersebut, IO diintegrasi dengan model ekonometrika yang sifatnya dinamis, tetapi model ini juga mempunyai banyak keterbatasan. Model ekonometrika biasanya hanya membahas ekonomi makro secara agregat, sehingga kedua model tersebut perlu diintegrasi ke dalam satu sistem terkait dan terpadu untuk saling memecahkan kelemahan masing-masing model. Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu uji validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili fenomena keterkaitan regional. Dalam kajian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah Root Means Percent Square Error (RMSPE) yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilainilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya, sedangkan Theils Inequality Coefficient (U), yang bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk melakukan simulasi dan analisis kebijakan. Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil, maka pendugaan model semakin baik (Pindyck and Rubinfield, 1991). Hasil validasi model menunjukkan bahwa nilai RMSPE hampir seluruh persamaan perilaku nilai RMSPE di bawah 5 persen, yang munujukkan bahwa persamaan perilaku yang hanya menyimpang 5 persen dari nilai aktualnya. Dengan kata lain bahwa model ini dapat dijadikan sebagai model peramalan (model proyeksi kontribusi sektor energi dan pertambangan), sedangkan dilihat dari nilai Theils Inequality Coefficient (U), model ini juga dapat dijadikan sebagai sebuah model untuk alternatif simulasi kebijakan, karena nilai U-Theil seluruhnya berada di bahwa 0,2. Dengan kata lain, secara keseluruhan model ini dapat digunakan untuk melakukan peramalan perilaku dan simulasi alternatif kebijakan. Model yang telah dibangun sebanyak 9 blok atau persamaan sebelumnya seperti 223

224 blok makro (konsumsi swasta, pengeluaran pemerintah, ekspor, impor), blok output, tenaga kerja, dan pendapatan, akan digunakan sebagai benchmark untuk melakukan simulasi dan proyeksi. Dalam melakukan proyeksi dan simulasi, beberapa variabel eksogen nilai tetapkan lebih awal dari periode (data pengamatan adalah tahun ), sehingga untuk melakukan proyeksi, maka nilai variabel yang sifatnya eksogen harus ditetapkan lebih awal dari periode Umum nilai eksogen tersebut dapat ditetapkan berdasarkan dokumen atau rencana pemerintah yang ada, dapat juga dilakukan dengan menetapkan nilai secara abitratry, atau dapat juga dengan menentukan nilainya dengan menggunakan metode tertetntu. Dalam kajian ini, nilai variabel eksogen yang ditetapkan lebih awal ditentukan dengan metode pendugaan Autoregresive, yang dipelopori oleh G.E.P. Box dan G. M. Jenkins dikenal dengan dengan AutoRegressive Integrated Moving Average, (ARIMA). Hasil prediksi model ARIMA memperkirakan bahwa pertumbuhan dunia berikisar 3,5 persen pertahun dan harga minyak mentah dunia cenderung meningkat dari tahun ketahun dengan mengasumsikan harga BBM Rp 7500/liter pada tahun dan pada tahun diperkirakan menjadi Rp 8000/liter. Pada Tahun 2013 diperkirakan bahwa harga minyak mentah dunia sebesar US$ 107,17 per barel dan diperkirakan mengalami kecenderungan yang meningkat setiap tahun hingga mencapai sebesar US$ 120,18 per barel pada tahun PDB atas dasar harga berlaku pada tahun 2015 diperkiran sebesar Rp 8,646.5 triliun, sebagian besar digunakan untuk Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga sebesar Rp 5,419.7 triliun. PDB atas harga berlaku (baik konstan maupun nominal) diperkiran mengalami peningkatan setiap tahun, kecuali untuk pengeluaran pengeluaran konsumsi pemerintah relatif mengalami kecenderungan yang menurun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata tahun diperkirakan mencapai 6,83 persen per tahun. Pertumbuhan ini didukung oleh 4 (empat) komponen, yaitu Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga tumbuh sebesar 5,93 persen, Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah turun sebesar 1,49 persen, Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto sebesar 4,30 persen, dan Komponen Ekspor tumbuh sebesar 5,46 persen. Dalam perhitungan ini, sektor pertambangan dan penggalian di bagi ke dalam tiga sektor yaitu sektor Minyak dan Gas Bumi, sektor Pertambangan Bukan Migas dan sektor Penggalian Lainnya. Dari ketiga disagregasi sektor tersebut, terlihat bahwa sektor 224

225 pertambangan non-migas memiliki pertumbuhan yang lebih besar dari pertumbuhan sektor minyak dan gas bumi serta sektor penggalian lainnya, namun demikian sektor pertambangan non-migas terlihat memiliki kecenderungan yang relatif menurun dari tahun ke tahun, pada tahun 2015 diperkirakan pertumbuhan sektor pertambangan nonmigas mencapai 6,72 persen dan pada tahun 2019 tumbuh pada kisaran 6,26 persen. Hal yang sama juga di sektor penggalian lainnya yang relatif mengalami penurunan dari tahun ke tahun, hingga pada tahun 2019 sektor penggalian lainnya diperkirakan tumbuh sebesar 1,87 persen. Industri pengolahan yang selama ini memiliki kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh rata-rata 6 persen pertahun, dan sektor Industri Pengilangan Minyak hanya tumbuh rata-rata sebesar 4 persen pertahun. Sementara sektor Jasa-Jasa rata-rata tumbuh sebesar 5 persen pertahun. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga konstan tahun 2000 pada tahun 2015 diperkirakan mencapai Rp 2.802,3 triliun dan diprediksi memiliki kecenderungan meningkat hingga pada tahun 2019 mencapai sebesar Rp 3.257,8 triliun. Dari rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,87 persen, sektor Industri Pengolahan memberikan kontribusi terbesar terhadap total pertumbuhan PDB, dengan sumber pertumbuhan sebesar 2,19 persen sementara industri pengilangan minyak hanya menyumbang sebesar 0,12 persen. Sektor terbesar kedua menyumbang terhadap pertumbuhan PDB adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, dan Sektor Konstruksi, dan Pengangkutan dan Komunikasi yang memberikan sumber pertumbuhan masing-masing 1,34 persen, 0,93 persen dan 0,82 persen pada tahun 2019, dan hal ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi sektor energi dan pertambangan terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 0,34 persen, dan relatif konstan setiap tahun dan pada tahun 2019 diperkirakan menyumbang sebesar 0,35 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor pertambangan dan penggalian mengalami penurunan pada kuartal II-2013 menjadi 1,19 persen dibanding periode yang sama di tahun Sementara di semester I, kontribusi PDB dari usaha tersebut tercatat minus 0,70 persen (BPS, 2013). Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi sepanjang tiga bulan pertama tahun 225

226 2013 adalah sebesar minus 0,09 persen. Penurunan kontribusi sektor pertambangan dan penggalian di bulan April-Juni 2013 disebabkan karena sumur atau sumber tambang migas dan non-migas di Indonesia banyak yang sudah tua. Kondisi ini belum diimbangi dengan penemuan sumur baru (BPS, 2013), hal ini juga dipersulit oleh penutupan 14 sumur sehingga dapat menganggu produksi atau lifting minyak. Harga jual beberapa komoditas di pertambangan non migas juga masih bergejolak. Akhirnya melemahkan ekspor Indonesia dari sisi nilai dan menurunkan kontribusi sektor ini terhadap PDB. Namun demikian, pada tahun 2015 sektor energi dan pertambangan diperkirakan akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,34. Hal ini memungkinkan dan sangat tergantung pada pembangunan smelter pengolahan barangbarang mineral untuk mengisi kekosongan pembangunan kilang minyak mentah yang sampai saat ini belum terealisasi. Hal ini juga dapat didukung oleh Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Pengolahan dan Pemurnian Mineral telah keluar pada 16 Mei 2012, yang diharapkan kebijakan ini akan efektif pada tahun Januari

227 BAB 5 ARAH KEBIJAKAN SEKTOR ENERGI, MINERAL DAN PERTAMBANGAN Dengan melihat kebutuhan energi yang semakin meningkat, diperlukan penyempurnaan kebijakan terutama yang berkaitan dengan kebijakan harga energi, infrastruktur energi dan ekspor/impor. Kebijakan harga energi ditujukan guna memfasilitas pengguaan beberapa jenis energi yang jumlahnya cukup banyak tersedia di dalam negeri, seperti gas alam dan batubara, serta pemanfaatan energi baru dan terbarukan. 5.1 Kebijakan Harga Energi Harga BBM Sampai saat ini, pemerintah masih mengalokasikan anggaran untuk subsidi BBM. Subsidi di satu sisi bertujuan untuk membantu daya beli masyarakat yang kurang mampu. Di sisi lainnya, subsidi dapat memberikan tekanan fiskal seiring dengan meningkatnya volume BBM bersubsidi dan selisih harga BBM bersubsidi dengan nilai keekonomiannya. Keseimbangan antara daya beli masyarakat yang kurang mampu dengan beban fiskal yang dapat ditanggung oleh pemerintah menjadi pembahasan setiap tahunnya dalam penetapan besaran subsidi. Selain itu, pola penerapan subsidi BBM yang tepat sasaran dan besaran nilainya belum ditemukan mekanisme bakunya. Harga BBM punya pengaruh yang signifikan pada perekonomian dan kebijakan fiskal mengingat pemenuhan BBM tersebut masih sangat tergantung kepada impor dan harga di pasaran dunia berfluktuasi. Harga BBM bersubsidi terutama dipengaruhi oleh Indonesia Crude Price (ICP). Tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa harga BBM bersubsidi berfluktuasi yang dipengaruhi fluktuasi ICP. Pemerintah telah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi sebanyak lima kali dalam kurun waktu enam tahun terakhir baik harganya dinaikan maupun diturunkan. Terakhir pada akhir Juni 2013, pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi yaitu premium dari Rp 4.500,- per liter menjadi Rp 6.500,- dan solar dari Rp 4.500,- menjadi Rp 5.500,-. 227

228 Tabel 76 Perubahan Harga BBM Bersubsidi Sejak Tahun 2006 No Uraian 1 Jan Mei Mei - 30 Nov Des Des Des Jan Jan Juni Juni Sekarang 1 Premium Solar Minyak Tanah Selain dipengaruhi ICP, penentuan harga keekonomian BBM sebagai bahan perhitungan subsidi ditentukan oleh harga indeks pasar bahan bakar minyak (HIP- BBM) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui Kepmen ESDM N0 0219K/K/12/MEM/2010 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Minyak dan Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang dicampurkan ke dalam jenis bahan bakar minyak tertentu. Berdasarkan Kepmen tersebut, untuk jenis premium didasarkan pada harga Mean of Platts Singapore (MOPS) jenis Mogas 92 rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya dengan formula persen MOPS Mogas 92. Sementara untuk jenis minyak solar didasarkan pada harga publikasi MOPS jenis Gasoil rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya. Untuk jenis minyak tanah, harga didasarkan pada harga publikasi MOPS jenis Jet Kerosene rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya. Beban subsidi BBM yang semakin meningkat akan mengganggu keberlanjutan fiskal dan pengurangan anggaran pemerintah untuk program lainnya seperti pembangunan infrastruktur. Grafik di bawah ini memperlihatkan volume BBM bersubsidi setiap tahunnya mengalami peningkatan dan berimplikasi pada peningkatan besaran nilai subsidi BBM yang disalurkan. Pertumbuhan kendaraan bermotor sangat berpengaruh pada peningkatan volume BBM bersubsidi. 228

229 Gambar 56 Volume BBM Bersubsidi ( ) Pada tahun 2012 volume BBM bersubsidi mencapai 43,3 juta kilo liter, meningkat 13,4 persen dibandingkan tahun Pada tahun yang sama besaran subsidi sudah mencapai lebih dari Rp200 Triliun atau naik sekitar 4 kali lipat dibandingkan tahun Gambar 57 Besaran Subsidi BBM dan Listrik ( ) 229

230 Di samping pengendalian BBM bersubsidi yang tepat sasaran maupun memperluas penggunaan bahan bakar alternatif seperti gas (BBG) sebagai pengganti BBM, perlu diterapkan mekanisme baku kebijakan harga BBM untuk mengurangi ketidakpastian beban subsidi BBM. Saat ini, kebijakan harga BBM yang diterapkan masih bersifat ad-hoc. Ke depan kiranya perlu dikaji kebijakan harga BBM dengan menerapkan kebijakan harga BBM yang secara otomatis/ berkala disesuaikan pada nilai keekonomiannya berdasarkan formula baku. Pilihan lainnya adalah harga BBM mengikuti mekanisme pasar yang dapat naik atau turun tergantung dari ICP. Namun hal ini perlu dikaji secara mendalam terkait dengan ketentuan Pasal 33 Undang-undang Dasar Kalau ini pilihannya, maka peluang percepatan pemanfaatan BBG sebagai pengganti BBM dapat terwujud dan energi alternatif seperti bahan bakar nabati dapat dikembangkan secara lebih baik Harga Gas Harga gas didalam negeri saat ini relatif rendah dibandingkan dengan harga gas ekspor. Penetapan harga saat ini dilakukan agar supaya gas dapat dikonsumsi oleh pasar domestik, seperti pembangkit listrik, industri, komersial, dan rumah tangga. Walaupun harga gas saat ini ditetapkan berdasarkan tingkat affordability, bahan bakar gas tidak mungkin dapat berkompetisi dengan bahan bakar minyak, yang saat ini masih disubsidi. Harga gas dikelompokkan menjadi tiga kelompok: i) harga gas dalam negeri (domestic gas sale price) yakni harga gas yang diperjual belikan antara produsen gas (Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau KKKS) dengan pembeli gas; ii) harga gas konsumen akhir (consumer gas prices) yakni harga gas yang dibayarkan oleh pengguna akhir gas (end-user); dan iii) harga gas nilai pasar atau harga gas keekonomian (market value of gas) yaitu harga gas yang yang mencerminkan keinginan pembeli (willingness to pay) atas sejumlah gas dan biasanya harga jenis energi lainnya yang menjadi kompetitor dari gas. Saat ini, berdasarkan UU minyak dan gas, harga gas konsumen akhir ditetapkan oleh pemerintah hanya untuk gas yang dikonsumsi oleh rumah tangga dan pengguna skala kecil, serta sektor transportasi. Namun demikian, pada kenyataannya harga gas untuk konsumen lain juga secara tidak langsung ditetapkan pemerintah. Hal ini disebabkan harga gas dalam negeri tetap ditetapkan oleh pemerintah melalui mekanisme Domestic Market Obligation (DMO), walaupun penetapannya didasarkan atas negosiasi 230

231 antara produsen dan pembeli gas. Hanya perusahaan besar saja yang mampu membeli gas secara langsung dari produsen gas. Sedangkan kebanyakan dari pengguna gas membeli gas dari Perusahaan Gas Negara (PGN) sehingga penetapan harga gas domestik jual-beli antara PGN dengan produsen gas, secara tidak langsug menetapkan harga harga gas konsumen akhir untuk konsumen gas secara keseluruhan, selain rumah tangga dan pengguna skala kecil. Harga gas konsumen yang dijual oleh PGN relatif rendah dibandingkan dengan jenis energi kompetitornya. Gambar 58 Harga Jual Gas Konsumen dari PGN dan Harga Energi Lainnya yang Merupakan Kompetitor Gas (2013) menunjukkan harga jual gas PGN yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga solar (HSD) dan jenis energi lainnya. Harga rata-rata gas konsumen akhir, yang dijual PGN, adalah USD 8,54 per MMBTU, lebih rendah dibandingkan dengan harga rata-rata solar (HSD) sebesar USD 29,26 per MMBTU. Gambar 58 Harga Jual Gas Konsumen dari PGN dan Harga Energi Lainnya yang Merupakan Kompetitor Gas (2013) 231

232 Gambar 59 Harga Rata-rata Gas Domestik dan Ekspor (2012) Walaupun dalam tahun tahun terakhir harga gas dalam negeri dinaikkan, dan berdampak kepada kenaikkan harga gas konsumer akhir, harga gas dalam negeri masih relatif jauh lebih rendah dibandingkan harga gas ekspor. Hal ini memberikan kecenderungan bagi produsen gas untuk tetap memprioritaskan penjualan gas ke luar negeri (ekspor). Gambar diatas menunjukkan harga gas dalam negeri dengan harga gas ekspor untuk tahun Pada bulan Februari 2013, harga gas domestik untuk sektor listrik ditetapkan sebesar USD 11 per MMBTU, untuk industri sebesar USD 9 per MMBTU, dan untuk industri pupuk sebesar USD 8 per MMBTU, pada saat harga gas ekspor sebesar USD 16 per MMBTU. Harga Jual BBG Harga di titik penyerahan, bisa di well head maupun plan gate pipa hulu Tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa yang ditetapkan oleh Badan pengatur; Biaya untuk pembangunan, pengo erasian, dan pemeliharaan SPBG dan infrastruktur pendukungnya Keuntungan pengoperasian Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak bahan bakar untuk kendaraan bermotor 4500 Pajak Margin SPBG Investasi & O/M Toll Fee HCTP Dengan harga BBG Rp /LSP ($9,7/mmbtu), pengusaha SPBG tidak dapat membeli gas dari titik penyerahan yang harganya 1000 sekitar Rp /LSP ($5-6/mmbtu). Agar supaya pengusaha SPBG dapat memperoleh gas, maka harga 500 BBG sekurang-kurangnya Rp. 4,000/LSP ($12-13/mmbtu) 0 HCTP Toll Fee Investasi & O/M Margin SPBG Pajak Gambar 60 Komponen Harga Gas untuk Sektor Transportasi 232

233 Untuk meningkatkan pasokan gas di dalam negeri diperlukan penyempurnaan harga gas, baik harga gas domestik dan harga gas konsumen akhir. Ada tiga opsi untuk menyempurnakan harga gas: i) hilangkan semua regulasi dalam penetapan harga dan harga gas ditentukan berdasarkan berdasarkan negosisasi antara produsen gas dengan pembeli. Hal ini akan mendongkrak harga gas dalam negeri mendekati harga gas ekspor; ii) menerapkan harga gas patokan atau benchmark baik untuk harga gas jual beli yang digunakan dalam kontrak antara produsen gas dengan pembeli gas ataupun harga yang akan dijadikan patokan didalam negosiasi antara produsen gas dengan pembelinya. Hal ini akan meningkatkan kepastian (certainty and predictability) dari harga gas serta mengurangi missmatch antara harga gas dalam negei dengan harga gas ekspor; iii) memperkenalkan aturan tentang penentuan harga gas, namun bukan penetapan harga gas nya itu sendiri. Hal ini akan meningkatkan tingkat transparansi dalam penentuan harga gas dan sekaligus meningkatkan kepastian harga gas, walapun masih dibawah kepastian dengan harga benchmark. Membiarkan harga gas ditentukan oleh pasar cenderung tidak sejalan dengan kebijakan alokasi gas yang saat ini berlaku. Jika sektor yang menjadi prioritas mempunyai kemampuan membayar (ability to pay) rendah, maka sektor tersebut beresiko ter-eliminasi dari dari pasar gas. Sebaliknya jika sektor dengan prioritas rendah mempunya kemampuan bayar yang tinggi, maka ada kemungkinan gas akan mengalir ke sektor ini. Dengan kata lain, membiarkan harga gas ditentukan oleh pasar beresiko adanya inkonsistensi dengan kebijakan alokasi gas ke sektor-sektor tertentu di dalam negeri. Namun demikian jika kebijakan ini kemudian tidak diterapkan lagi, dan demikian juga DMO, maka industri gas akan lebih efisien jika ditentukan melalui pasar, yakni negosiasi antara produsen gas dan pembeli gas, tanpa adanya persetujuan harga dari pemerintah. Harga gas patokan (benchmark) ditentukan berdasarkan harga-harga jenis energi lainnya yang merupakan substitusi dari gas. Beberapa negara telah menerapkan sistem harga gas patokan ini. Cina, misalnya, harga yang menjadi patokan adalah harga bahan bakar yang menjadi substitusi dari gas dengan faktor pengurang (discount), sehingga harga gas akan mengikuti pergerakan harga bahan bakar lainnya namun akan selalu lebih rendah. Demikian juga India yang menerapkan harga patokan yang sedikit lebih complicated dibandingkan dengan harga patokan di Cina. Dalam tahun-tahun kedepan, harga gas dalam negeri perlu mengacu kepada 233

234 harga patokan atau benchmark. Namun demikian, fleksibilitas perlu juga diterapkan, misalnya harga gas dapat dinegosiasi dalam kisaran 10 persen dari harga gas patokan. Harga patokan mengacu kepada harga dari jenis energi yang menjadi substitusi dari gas, yakni harga solar di sektor industri, harga batubara di sektor listrik, dan harga impor pupuk, dengan rumusan sebagai berikut, dimana P b adalah harga patokan, P f harga solar, P c harga batubara, dan M u harga impor urea/pupuk. Sedangkan S i adalah share penggunaan gas di sektor listrik, S p di sektor listrik, dan S f di sektor pupuk (S i + S p + S f =1). ( ù û ) p b = ( s i p f ) + ( s p p c ) + s f éë M u / Q g Dengan menggunakan persamaan di atas, maka dapat dihitung harga patokan gas domestik. Harga solar setara gas untuk pembangkit listrik, misalnya, saat ini adalah USD 17,1 per MMBTU, harga batubara setara gas USD 3,3 per MMBTU, dan harga pupuk/urea impor setara gas adalah USD 13,9 per MMBTU. Saat ini share dari konsumsi gas untuk industri adalah 42,5 persen, dan share dari konsumsi gas untuk pembangkit listrik adakah 34,0 persen, dan untuk pupuk adalah 23,5 persen. Dengan angka-angka harga energi yang menjadi kompetitor gas dan konsumsi gas tersebut, maka harga patokan gas dalam negeri adalah USD (42,5%) (17,1) + (34%) (3,3) + (23,5%) (13,9) per MMBTU = USD 11,6 per MMBTU. 234

235 Gambar 61 Harga Patokan Gas Dalam Negeri ( ) Gambar diatas menunjukkan bagaimana pergerakan harga patokan gas dalam negeri akan bergerak sejak tahun 2000 dibandingkan dengan harga LNG. Harga patokan gas dalam negeri umumnya dibawah harga LNG, yakni pada saat-saat harga solar menanjak naik. Harga patokan gas dalam negeri juga selalu berada dibawah harga solar namun diatas harga batubara. Harga patokan gas dalam negeri yang dihitung di atas dapat merupakan atau dianggap sebagai harga gas pasar yang maksimum, secara rata-rata, yang diterima oleh produsen gas, yakni jika harga gas domestik ditentukan hanya oleh negosiasi antara produsen gas dan pembeli tanpa persetujuan atau penetapan dari pemerintah. Namun demikian, guna mendorong dan memperepat penggunaan gas didalam negeri, serta guna menghindari adanya price schock terhadapa konsumen gas yang ada sekarang ini, maka perlu diterapkan, terhadap harga gas patokan dalam negeri tersebut, satu faktor pengurang atau discount sebesar persen. Dengan faktor pengurang tersebut, 235

236 maka harga patokan gas dalam negeri menjadi (10-15%)(11,6) = USD 10-10,5 per MMBTU. Faktor ini dapat saja jauh lebih besar dari 15 persen, misalnya 40 persen, pada saat pertama kali harga patokan gas ini diperkenalkan ke produsen dan konsumen gas. Faktor ini juga dapat dikurangi/diperbesar atau bahkan premium dapat diterapkan untuk lapangan-lapangan gas yang sifatnya marginal guna memberikan insentif dalam pengembangannya Harga Panas Bumi Harga listrik yang bersumber dari panas bumi saat ini ditetapkan dengan memperhatikan ongkos produksi uap dan listrik. Ongkos produksi uap umumnya sangat site-spesifik dan tergantung dari kedalaman sumur panas bumi. Harga listrik panas bumi terus mengalami penyempurnaan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, harga panas listrik panas bumi ditentukan berdasarkan harga patokan, mengacu kepada biaya pokok produksi (BPP), serta tergantung terhadap skala pembangkit listrik. Untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi skala menengah (10-55MW), harga patokan ditetapkan sebesar 85 persen BPP di sisi tegangan tinggi atau 85 persen BPP di sisi tegangan menengah kapasitas 10 MW - 55 MW. Untuk PLTP skala besar (diatas 55MW), harga patokan ditetapkan sebesar 80 persen BPP di sisi tegangan tinggi kapasitas >55 MW. Pada tahun 2009, harga listrik panas bumi ditentukan dengan mengacu kepada HPS, serta ditambahkan acuan biaya eksplorasi dan pengembangan, namun kemudian diubah menjadi sebesar maximum 9,7 sen US$/kWh. Tahun 2011, kembali harga listrik panas bumi disempurnakan, dan kali ini harga patokan ditentukan berdasarkan harga hasil lelang WKP panas bumi. Pada tahun 2012, harga panas bumi ditetapkan berdasarkan wilayah (Feed in Tariff). Untuk pembangkit listrik panas bumi di wilayah Sumatra, maka harga listrik ditentukan sebesar 10-11,5 USD cents/kwh, di wilayah Jawa, Madura, dan Bali sebesar USD 11-12,5cents/Kwh, NTT sebesar USD 15-16,5 cents/kwh, Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Tengah sebesar USD 13-14,5 cents/kwh, Sulawesi Barat, Selatan dan tenggara sebesar USD 11-13,5 cents/kwh, dan Maluku sebesar USD 17-18,5 cents/kwh. 236

237 Gambar 62 Harga Listrik Panas Bumi dengan Skema Feed-In Tariff Gambar diatas memperlihatkan harga listrik panas bumi untuk beberapa (19) lapangan panas bumi yang saat sedang dikembangkan, yakni harga listrik panas bumi hasil lelang dan sedang dalam proses penyelesaian Power Purchase Agreement (PPA) dengan pihak pembeli (Off-taker), yakni PLN. Terlihat bahwa harga listrik panas bumi sangat bervariasi di kisaran diantara USD 5,62 per KWh (Jawa) dan USD 18,18 per KWh (NTT/Maluku). Terlihat harga listrik ini juga tergantung dari skala pembangkit. Untuk pembangkit dengan skala kecil/menengah (<50MW), harga cenderung tinggi, dan kemudiang harga cenderung menurun dengan meningkatknya skala pembangkit 237

238 listrik. Perlu juga dicatat bahwa lelang dari kebanyakan lapangan-lapangan panas bumi ini dilakukan pada saat pemerintah menerapkan harga maksimum USD 9,75 per KWh. Dengan demikian, dapat dimengerti harga listrik hasil lelang WKP memperlihatkan kecenderungan harga listrik yang berkisar di angka harga maksimum. Gambar 63 Harga Listrik Panas Bumi untuk Beberapa Lapangan Panas Bumi yang Saat Ini Sedang Dikembangkan: Sumatra, Jawa, dan NTT/Maluku Di samping itu, harga listrik panas bumi juga tergantung dari kualitas reservoir panas bumi. Untuk reservoir dengan temperatur yang tinggi (high) (>220 o Celcius), ada kecenderungan bahwa harga listriknya lebih rendah dibandingkan dengan harga listrik dengan reservoir temperatur menengah (moderate) ( o Celcius). Hal ini dapat dimengerti mengingat nilai investasi Steam Gathering untuk reservoir dengan suhu menengah/rendah relatif lebih besar karena diperlukan lebih banyak sumur reinjeksi dan sistem perpipaan uap, dengan harus diterapkannya teknologi binary plants dalam pembangkitan listrik. Dengan demikian harga listrik panas bumi hendaknya ditentukan dengan memperhatikan kualitas reservoir, karena nilai investasi sangat tergantung dari kandungan uap dan suhu reservoir. Untuk reservoir dengan suhu tinggi dan volume uapnya yang besar, maka nilai investasi Steam Gathering akan relatif rendah sehingga tarif listriknya menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga listrik dari reservoir 238

239 panas bumi dengan suhu menengah. Kandngan air dari reservoir suhu rendah relatif cukup banyak sehingga dibutuhkan fasilitas yang lebih lengkap untuk membuat uap panas. Dengan demikian, penentuan harga listrik panas bumi sangat ditentukan oleh informasi mengenai kualitas reservoir. Dalam gambar diatas secara konsep dapat ditentukan dua trayektori harga listrik panas bumi, masing-masing untuk lapangan panas bumi dengan suhu tinggi (>220 o C) dan untuk lapangan dengan suhu menengah ( o C). Dengan kata lain harga listrik panas bumi ditentukan berdasarkan klasifikasi lapangan panas bumi, dimana klasifikasi ini didasarkan atas kualitas atau suhu reservoir.implikasi dari pada hal ini adalah bahwa penentuan harga listrik dengan pembeli (off-taker) baru dapat ditentukan sesudah informasi mengenai klasifikasi reservoir dapat ditentukan. Harga listrik panas bumi umumnya di atas harga rata-rata listrik yang dibangkitkan melalui pembakaran batubara. PLN sebagai satu-satunya off-taker listrik selalu mendasarkan pembelian listriknya kepada least-cost konsep, dan tidak memasukkan biaya atau manfaat ekonomi/eksternalitas dari energi primer. Artinya, PLN akan membeli terlebih dahulu listrik-listrik yang dibangkitkan dengan biaya roduksi yang paling murah, dalam hal ini listrik batu-bara, tanpa menghiraukan dampak emisi yang akan dikeluarkan oleh pembangkit listrik batu-bara. Tanpa memperhatikan manfaat ekonomi (rendah emisi), listrik yang dibangkitkan dari panas bumi tidak akan mendapat di dalam protofolio PLN. Oleh sebab itu, intervensi perlu dilakukan guna menjadikan harga listrik panas bumi cukup kompetitif dibandingkan dengan lsitrik batubara. Salah satu cara adalah dengan memberikan penugasan kepada PLN untuk membeli listirk batu-bara dengan harga tertentu (feed-in tariff), diatas harga listrik batu-bara, dimana selisih antara harga listrik panas bumi dengan harga lsitrik batu-bara akan ditutup oleh subsidi listrik. Namun skim penugasan, feed-in tariff, dan subsidi listrik panas bumi ini ini memerlukan beberapa hal yang menjadi pre-requisite dari keberhasilannya. Pertama adalah adanya ketersediaan dana APBN yang akan menjadi sumber pendanaan subsidi lsitrik. Kedua adalah justifikasi dari tariff listrik panas bumi. Jika tariff ini hanya didasarkan atas informasi reservoir yang tidak cukup/komplit informasi dari survei permukaan tanpa adanya informasi hasil pengeboran eksplorasi maka pemberian subsidi akan menjadi instrumen fiskal yang memasukkan resiko eksplorasi kedalam portofolio APBN. Hal ini tentu tdak didinginkan. Dengan perkataan lain, penerapan 239

240 feed-tariff dan subsidi listrik panas bumi mensyaratkan adanya informasi yang cukup untuk menjadi basis penentuan feed-in tarif dan subsidi Harga Listrik Listrik merupakan salah satu komoditi strategis dalam perekonomian Indonesia karena selain digunakan secara luas oleh masyarakat terutama untuk keperluan penerangan, listrik juga merupakan salah satu sumber energi utama bagi sektor industri. Oleh karena itu, Pemerintah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap harga penjualan listrik kepada konsumen, mengingat perubahan harga listrik akan mempunyai dampak yang cukup siginifikan terhadap kenaikan hargaharga umum, yang pada gilirannya akan berpengaruh juga terhadap perekonomian secara makro. Salah satu faktor yang menentukan tingkat harga penjualan listrik adalah biaya penyediaan tenaga listrik. Harga jual listrik ditetapkan dengan memperhatikan affordability masyarakat, yakni Tarif Dasar Listrik (TDL). Pada tanggal 1 April 2001 pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM dunia industri sekitar 50 sampai 100 persen. Pada tanggal 17 Mei 2001 kembali menaikkan harga semua jenis BBM sebesar 30 persen dan mulai 15 Juni 2001, tarif dasar listrik (TDL) naik sebesar 20 persen. Selain itu, pada Juli 2001 pemerintah juga menaikkan PPN (pajak pertambahan nilai) dari 10 persen menjadi 12,5 persen. Kenaikan tarif dasar listrik pada tahun 2003 tertuang dalam Kepres No 89/2002 dimana kenaikan TDL per tiga bulan 6 persen, mulai Januari 2003 dan hanya berlaku pada tahun Kenaikan abonemen (biaya beban) untuk golongan rumahtangga R-1, misalnya, untuk 900 VA naik dari Rp menjadi Rp Biaya beban golongan industri I-2 di atas 2200 VA sampai 200 KVA naik dari Rp menjadi Rp Alasan kenaikan TDL pada tahun 2003 tersebut untuk mengantisipasi terjadinya krisis listrik di Jawa dan Bali Sejak tahun 2009, sesuai dengan UU No. 30 tahun 2009 tentang Kelistrikan Pasal 4, penetapan tarif dasar listrik dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah seseuai dengan kewenangannya dengan persetujuan DPR atau DPRD. Besaran tarif tersebut harus memperhatikan keseimbagan kepentingan nasional, daerah, konsumen dan pelaku usaha penyedia listrik dan dapat berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha. Pada implementasinya, kebijakan penetapan tarif dasar listrik lebih banyak 240

241 dilakukan oleh Pemerintah pusat yang biasanya diatur dalam Perpres atau Kepres. Struktur pasar yang terdiri dari berbagai kelompok konsumen memungkinkan penerapan kebijakan harga jual yang berbeda untuk setiap konsumen. Harga listrik untuk kelompok konsumen yang membutuhkan jumlah daya besar secara massal seperti industri relatif lebih rendah karena memenuhi skala keekonomian dan pemasangan jaringan yang lebih sederhana. Sebaliknya harga listrik relatif lebih mahal bagi kelompok konsumen yang tersebar dengan kebutuhan yang kecil dikarenakan tidak memenuhi skala keekonomian dan jaringan yang tidak sederhana. Dengan memperhatikan perbedaan kemampuan daya beli kelompok konsumen, pemerintah menerapkan subsidi silang terbalik untuk rumah tangga. Pada tanggal 30 Juni 2010, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 07 tahun 2010 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT. PLN (Persero). Berdasarkan Permen itu kenaikan TDL rata-rata sebesar 10 persen dan kenaikan rata-ratanya bagi masing-masing pelanggan: Sosial (10 persen), Rumah Tangga (18 persen), Bisnis (16 persen), Industri (6 12 persen), Pemerintah (15 18 persen) dan Traksi/Curah/Layanan Khusus (9 20 persen). Berdasarkan UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan pasal 34 dan diterangkan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 15 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden RI sebagaimana dimaksud UUD RI Oleh karena itu, kebijakan penetapan tarif tenaga listrik tahun 2010 melalui Permen ESDM No. 7 tahun 2010 dianggap tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 30 tahun Oleh karena itu, berdasarkan hasil rapat antara komisi VII DPR RI Pemerintah diminta untuk mengganti Permen ESDM No. 7 tahun 2010 menjadi Perpres. Pemerintah kemudian menerbitkan Perpres No. 8 tahun 2011 sebagai pengganti Permen ESDM No. 7 tahun 2010 tanggal 7 Februari Tabel 77 Kebijakan Kenaikan Tarif Dasar Listrik di Indonesia Tahun Rata-rata harga jual Tahun Peraturan Keterangan (Rp/kwh) 3 Desember 2003 Keppres No. 104 Tahun S1-S3 (Pelayanan Sosial) R1-R3 (Rumah Tangga) B1-B3 (Bisnis) 241

242 Tahun 30 Juni Januari Januari - 1 Oktober 2013 Peraturan Permen ESDM No.7 Tahun 2010 Perpres No. 8 Tahun 2011 Permen No. 30 Tahun Rata-rata harga jual (Rp/kwh) Keterangan I1-I4 (Industri) P1-P3 (Kantor Pemerintah, PJU) 360 T (Traksi) 390 C (Curah) 1380 M (Multiguna) S2 (Pelayanan Sosial), S1 dan S3 tidak naik R1-R3 (Rumah Tangga) B1-B2 (Bisnis), B3 tidak naik Hanya I1 (Industri) naik P1 dan P3 (Kantor Pemerintah, PJU), P2 tidak naik T (Traksi) C (Curah) 1450 L (Layanan Khusus) S1-S3 (Pelayanan Sosial) R1-R3 (Rumah Tangga) B1-B3 (Bisnis) I1 (Industri), Pengecualian kepada pelanggan I2-I P1-P3 (Kantor Pemerintah, PJU) 665 T (Traksi) 595 C (Curah) 1450 L (Layanan Khusus) Hanya pelanggan S R1-R3 (Rumah Tangga) 242

243 Tahun (Naik bertahap per tiga bulan dari Januari - Oktober) Peraturan Rata-rata harga jual (Rp/kwh) Keterangan B1-B2 (Bisnis) I1 (Industri), Pengecualian kepada pelanggan I2-I P1-P3 (Kantor Pemerintah, PJU) T (Traksi) C (Curah) L (Layanan Khusus) Pada awal tahun 2011 tagihan listrik beberapa sektor industri mengalami kenaikan, hal ini terjadi karena PLN mencabut capping TDL untuk sektor industri yang sebesar maksimum 18 persen. Komisi VII DPR meminta pemerintah untuk tetap memberlakukan capping TDL untuk sektor industri, namun anggaran subsidi listrik tetap berpedoman kepada UU NO. 10 tahun 2010 tentang APBN 2011 yaitu sebesar Rp 40,7 Triliun. PLN tetap mencabut capping tersebut karena subsidi listrik tidak mampu menutupi biaya operasional PLN, selain itu juga karena industri yang menikmati insentif capping hanya sekitar an perusahaan dari total pelanggan industri. Kalau capping tidak dicabut, maka sejumlah industri akan mendapat tarif lebih murah dari umumnya industri sejenis. Kebijakan tersebut melanggar UU persaingan usaha yang dikontrol oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sehingga mulai tahun 2011 seluruh pelanggan industri pada setiap kelompok mengalami kenaikan TDL yang sama yaitu persen. Penetapan TDL ini akan berimplikasi pada besaran subsidi listrik yang diakibatkan tingginya biaya produksi sementara di sisi lain harga jual listrik PLN dibatasi dengan TDL. Subsidi listrik pertama kali dilakukan pada tahun 1998 /1999 sebagai dampak krisis moneter. Jumlah subsidi listrik dari tahun ke tahun berfluktuasi tergantung pada berbagai indikator makro seperti harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah selain tentunya kebijakan 243

244 pemerintah dan kebijakan korporasi PLN. Perubahan kebijakan subsidi listrik cukup signifikan mempengaruhi fluktuasi beban subsidi listrik. Pada periode , perhitungan subsidi listrik menggunakan pola defisit cash flow PLN dan pada tahun 2001 diubah menjadi skema subsidi konsumen terarah. Perubahan ini dimaksudkan agar subsidi diarahkan pada konsumen dengan daya di bawah 450 VA sedangkan konsumen di atas daya tersebut dilakukan penyesuaian secara bertahap sampai tarif keekonomiannya. Pola tersebut dipertajam lagi sejak tahun 2002 hingga awal 2005 dengan sasaran subsidi dipersempit lagi menjadi maksimum pemakaian 60 kwh per bulan. Walaupun demikian skema tahun 2005 ini tidak dapat dilanjutkan secara sempurna dengan penyesuaian tarif untuk kelompok non-subsidi di tahun berikutnya. Dengan biaya produksi listrik yang terus meningkat seiring dengan pencabutan penggunaan BBM bersubsidi bagi pembangkit PLN dan melemahnya nilai tukar rupiah. Kondisi ini membuat kemampuan PLN dalam melakukan investasi pengembangan infrastruktur kelistrikan menjadi terbatas yang berakibat pada penurunan kemampuan PLN dalam memenuhi pertumbuhan permintaan listrik. Dengan mengacu pada UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa BUMN yang mendapat pengasan pemerintah tidak boleh rugi maka PLN harus diberi margin agar PLN dapat melakukan investasi pengembangan untuk jangka panjang. Komponen margin dalam penghitungan subsidi listrik baru dilaksanakan pada tanhun anggaran 2009 dan besaran margin yang masih belum mencukupi investasi yaitu sekitar 3 persen. Selain itu pada tahun 2005 dilakukan perubahan skema subsidi listrik menjadi subsidi konsumen diperluas dengan pola PSO yang berakibat seluruh kelompok pelanggan yang tingkat tarifnya di bawah BPP akan mendapatkan subsidi. Kebijakan ini di satu sisi meringkankan beban PLN dan memberi peluang investasi dan pengembangan kapasitas namun di sisi lain mendorong peningkatan beban subsidi listrik. Berikut adalah perkembangan subsidi listrik dari tahun Tabel 78 Tabel Perkembangan Subsidi Listrik dari Tahun Tahun *2013 Jumlah 8,90 30,39 33,07 83,90 49,54 57,60 90,44 64,97 80,93 12 KESDM, Memoir Akhir Jabatan Menteri ESDM dan nota keuangan

245 (Triliun) Sumber: Nota Keuangan 2013 Kementerian *alokasi APBN Untuk menekan subsidi yang semakin membengkak, pada Maret 2013, dilakukan penandatanganan Service Level Agreement (SLA) tentang pencapaian kebijakan subsidi listrik yang berkeadilan yang dilakukan oleh PLN bersama 12 kementerian /lembaga yang berhubungan dengan isu pengembangan kelistrikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kesebelas kementerian dan lembaga terdiri atas: Kementerian Koordinator bidang Perekonomian; Kementerian Keuangan; Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM); Kementerian BUMN; Kementerian Perhubungan; Kementerian Lingkungan Hidup; Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri; Badan Pertanahan Nasional (BPN); Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas); Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) dan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Maksud dan tujuan dari SLA ini adalah untuk memperkuat dan mempercepat pelaksanaan koordinasi dan komunikasi antara Menteri, Kepala Lembaga dan PLN dan juga untuk memperjelas pembagian tugas dan mengharmonisasikan langkah dan kegiatan antara Menteri, Kepala Lembaga dan PLN untuk mencapai tujuan penurunan subsidi dan penerapan yang tepat sasaran. Melalui dukungan kementerian dan lembaga yang tertuang dalam SLA, PLN akan mampu memenuhi target-target kerjanya, antara lain dapat mengimbangi tingkat pertumbuhan listrik yang mencapai 10 persen per tahun. Sebagai contoh, SKK Migas harus bisa memastikan bahwa pasokan gas yang dibutuhkan PLN terpenuhi. Dengan demikian, PLN bisa menekan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkitnya, yang berujung pada ditekannya subsidi listrik. Selain dukungan di sisi operasi untuk mendapatkan gas, SLA akan sangat membantu kelancaran proyek investasi dalam mendukung pengembangan kelistrikan di Tanah Air. Persoalan terbesar dalam mengembangkan infrastruktur listrik adalah perizinan lahan, terutama lahan di wilayah hutan untuk jalur transmisi dan distribusi. Juga perizinan untuk pembangunan pembangkit listrik panas bumi, PLTA dan lain-lain. Persoalan lainnya, izin pembangunan pelabuhan jetty untuk pembangkit listrik baru, izin penanaman kabel tanah di perkotaan dan lain-lain. 245

246 5.1.5 Harga Batubara Sesuai dengan Peraturan Dirjen Minerba No. 515.K/32/DJB/2011, harga patokan batubara untuk steam (thermal) coal dan coking (metallurgical) coal di dalam negeri ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri setiap bulan berdasarkan formula yang mengacu pada rata-rata indeks harga batubara sesuai dengan mekanisme pasar dan/atau sesuai dengan harga yang berlaku umum di pasar internasional. Harga patokan ini wajib digunakan sebagai acuan harga batubara bagi pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi Batubara serta PKP2B dalam penjualan batubara. Indeks harga batubara sebagaimana dimaksud di atas, terdiri atas indeks harga batubara: g. Steam (thermal), indeks harga batubara yang diterbitkan - Indonesian Coal Index/Argus Coalindo; - Indeks New Castle, Australia; - Indeks Platts; dan - Global Coal New Castle Index. h. Coking (metallurgical), indeks yang diterbitkan oleh: - Platts, dan - Energy Publishing. Formula untuk penetapan harga patokan batubara steam (thermal) merupakan acuan dalam menghitung harga patokan batubara steam (thermal) untuk jenis batubara utama dan batubara lainnya. Harga Batubara Acuan (dalam kesetaraan nilai kalor 6322 kkal/kg GAR) HBA = 25% ICI1 + 25% Plattsl + 25% NEX + 25% GC [USD/ton] Di mana: HBA = Harga Batubara Acuan [USD/ton] ICI = Indonesia Coal Index [USD/ton] Platts = Platts Benchmark Price [USD/ton] NEX = New Castle Export Index [USD/ton] GC = New Castle Global Coal Index [USD/ton] Konversi nilai kalor batubara dari kondisi ADB ke GAR: K GAR = K ADB * (100 - TM) / (100 - IM) 246

247 Di mana: K GAR = Nilai kalor batubara kondisi GAR (gross as received) K ADB = Nilai kalor batubara kondisi ADB (as dried basis) TM = Total moisture IM = Inherent Moisture Untuk : Kandungan Belerang Batubara dalam as received (ar) Kandungan Abu Batubara dalam as received (ar) Harga Patokan Batubara utama ditetapkan dengan formula yang di dalamnya mengandung variabel: a. Harga Batubara Acuan steam (thermal); b. Nilai Kalor Batubara (calorific value); c. Kandungan Air (moisture content); d. Kandungan Belerang (sulphur content); dan e. Kandungan Abu (ash content). Sedangkan untuk Harga Patokan Batubara lainnya ditetapkan dengan formula yang di dalamnya mengandung variabel: a. HPB utama (price marker); b. Nilai Kalor Batubara (calorific value); c. Kandungan Air (moisture content); d. Kandungan Belerang (sulphur content); dan e. Kandungan Abu (ash content). Sementara, untuk harga patokan batubara coking (metallurgical) terdiri atas: b. Harga Patokan Batubara Hard Coking c. Harga Patokan Batubara Semi Soft Coking d. Harga Patokan Batubara Pulverised Coal Injenction Secara lengkap, jenis batubara utama dan jenis batubara lainnya beserta formula harga patokan batubara steam (thermal) dapat dilihat pada Tabel 79 Tabel Jenis dan Formula Harga Patokan Batubara. Sementara perkembangan harga batubara dari tahun 2009 sejak HPB ini diluncurkan sampai Desember 2013 dapat dilihat pada Gambar 64 Perkembangan Harga Batubara ( ). 247

248 248

249 Tabel 79 Tabel Jenis dan Formula Harga Patokan Batubara No Perusahaan Nama Dagang Formula Batubara Utama PT. Gunung Bayan Pratama 1 Gunung Bayan I (HBA * K * A ) - (B + U ) Goal 2 PT. Kaltim Prima Coal Prima Coal (HBA * K * A ) - (B + U ) 3 PT. Kaltim Prima Coal Pinang (HBA * K * A ) - (B + U ) 4 PT. Indominco Mandiri Indominco IM _ East (HBA * K * A ) - (B + U ) 5 PT. Kaltim Prima Coal Melawan Coal (HBA * K * A ) - (B + U ) 6 PT. A daro Indonesia Envirocoal Coal (HBA * K * A ) - (B + U ) 7 PT. Jorong Barutama Greston Jorong J-0 (HBA * K * A ) - (B + U ) 8 PT. Arutmin Indonesia Ecocoal (HBA * K * A ) - (B + U ) Batubara Lainnya PT. Gunung Bayan Pratama ( * Gunung Bayan I) Gunung Bayan II Coal Marunda Thermal ( PT. Marunda Graha Mineral 3 * Prima Coal) Coal 6 ( PT. Trubaindo Coal Mining Trubaindo HCV_HS 1 * Prima Coal) ( PT. Trubaindo Coal Mining Trubaindo HCV L S 1 * Prima Coal) Tanjung Formation ( PT. Antang Gunung Meratus 1 * Prima Coal) Coal 9 ( * Pinang ) PT. Kaltim Prima Coal Pinang NAR 2 2 ( * Pinang ) PT. Arutmin Indonesia Arutmin Sat ui ( * Pinang ) PT. Arutmin Indonesia Arutmin Senakin PT. Arutmin Indonesia Arutmin A ( * Pinang )

250 No Perusahaan Nama Dagang Formula 1 1 ( * Pinang ) PT. Mandiri Intl Perkasa Mandiri A 4 0 PT. W ahana Baratama ( * Pinang ) W ahana Coal Mining 9 5 Indominco IM_W est ( * Pinang ) PT. Indominco Mandiri / ( * Pinang ) PT. T anjung Alam Jaya TAJ Coal 9 5 ( * Pinang ) PT. Mandiri In t i Perkasa Mandiri B 3 1 ( * Pinang ) PT. Trubaindo Coal Mining Trubain do MCV_LS 6 4 ( * Pinang ) PT. Sumber Kurnia Buan a SKB Coal ( * Pinang ) P D. Baramarta Baramarta Coal 3 0 ( * Pinang ) PT. Arutmin Indonesia Arutmin A ( * Pinang ) PT. In sani Bara Perkasa Insani Coal ( * Pinang ) PT. Bahari Cakrawala Sebuku BCS Coal 5 4 Indominco IM_W est ( * Pinang ) PT. Indominco Mandiri / ( * Pinang ) PT. Kaltim Prima Coal Pinang Indominco ( * Pinang ) PT. Indominco Mandiri IMM_MCVHS 1 8 ( * Pinang ) PT. Multi Harapan Utama Multi Coal Low

251 No Perusahaan Nama Dagang Formula ( * Pinang ) PT. Bangun Benua Bangun Coal 6 5 ( * Pinang ) PT. Multi Harapan Utama Multi Coal Middle 4 1 ( * Pinang ) PT. Kaltim Prima Coal Pinang ( * Pinang ) PT. Arutmin Indonesia Arutmin A ( * Indominco IM_East) - 37 PT. Multi Harapan Utama Multi Coal High ( * Indominco IM_East) - 38 PT. Kadya Caraka Mulia KCM Coal ( * Indominco IM_East) - 39 PT. Teguh Sinar Abadi TSA coal ( * Indominco IM_East) + 40 PT. Tan ito Harum Tanito Coal ( * Indominco IM_East) + 41 PT. Mahakam Sumber Jaya Mahakam Coal ( * Indominco IM _ E ast 42 PT. Kaltim Prima Coal Pinang ) ( * Indominco IM_East) - 43 PT. Arutmin Indonesia Arutmin A ( * Indominco IM _ E ast 44 PT. Baramulti Suksessarana BSS Coal 6 ) ( * Indominco IM_East) + 45 PT. Lanna Harita Indonesia Lanna Harita Coal ( * Indominco 46 PT. Kaltim Prima Coal Pinang IM_East) ( * Melawan Coal) PT. Berau Coal Berau Mahoni PT. Berau Coal Berau Mahoni B ( * Melawan Coal)

252 No Perusahaan Nama Dagang Formula 1 6 ( * Melawan Coal) PT. Kideco Jaya Agung Kideco Coal ( PT. Berau Coal Berau Agathis 8 * Envirocoal) ( PT. Lanna Harita Indonesia Lanna Harita Coal 5 * Envirocoal) ( PT. Berau Coal Berau Sungkai 0 * Envirocoal) Berau Sungkai High ( PT. Berau Coal 0 * Envirocoal) S 0 ( PT. Arutmin Indonesia Arutmin A * Envirocoal) PT. Antang Gunung Meratus 9 * Envirocoal) ( PT. Bat u Alam Selaras Bas Gumay Coal 9 * Jorong J-1 ) ( PT. Perkasa Inakakerta PIC Coal 7 * Ecocoal) ( PT. Borneo Indobara BIB COAL 0 * Ecocoal) ( PT. Intitirta Prima Sakti Intitirta coal 4 * Ecocoal) PT. Pesona Khatulistiwa ( PKN * Ecocoal) Nusantara 4 ( PT. Lamindo Inter Multikon LIM * Ecocoal) W arukin Formation (0.9 6 Coal 4 Formula Harga Patokan Batubara Coking (Metallurgical) mengikuti ketentuan sebagai berikut : a. Harga Patokan Batubara Hard Coking 252

253 HPB HC = (CCQ + CCH-LOW + CCH-HIGH + HR + EC + WC + QL + PC)/8 [USD/ton] Di mana: HPB Hc = Harga Patokan Batubara Hard Coking [USD/ton] CCQ = Coking Coal Queensland Index - Energy Publishing [USD/ton] CCH-LOW = Coking Coal Hampton Rd Index Low-Energy Publishin [USD/ton] CCH-HIGH = Coking Coal Hampton Rd Index High-Energy Publishing [USD/ton] HR = Coking Coal Hampton Roads - Platts [USD/ton] EC = Coking Coal East Coast Platts [USD/ton] WC = Coking Coal West Coast Platts [USD/ton] QL = Coking Coal Queensland Platts [USD/ton] PC = Coking Coal Pacific Coast Platts [USD/ton] b. Harga Patokan Batubara Semi-soft Coking HPB ssc = (NSW + PO)/2 [USD/ton] Di mana: HPB ssc = Harga Patokan Batubara Semi-soft Coking [USD/ton] NSW = Semi-soft Coking Coal New South Wales Platt[USD/ton] PO = Semi-soft Coking Coal Poland Platts [USD/ton] 253

254 Jan-09 Mar-09 May-09 Jul-09 Sep-09 Nov-09 Jan-10 Mar-10 May-10 Jul-10 Sep-10 Nov-10 Jan-11 Mar-11 May-11 Jul-11 Sep-11 Nov-11 Jan-12 Mar-12 May-12 Jul-12 Sep-12 Nov-12 Jan-13 Mar-13 May-13 Jul-13 Sep-13 Nov ,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 HBA (USD/ton) Gunung Bayan I 7000 kcal/kg (gar) Prima Coal 6700 kcal/kg (gar) Pinang Coal 6150 kcal/kg (gar) Indominco IM East 5700 kcal/kg (gar) Melawan Coal 5400 kcal/kg (gar) Envirocoal 5000 kcal/kg (gar) Jorong J kcal/kg (gar) Ecocoal 4200 kcal/kg (gar) Gambar 64 Perkembangan Harga Batubara ( ) 254

255 c. Harga Patokan Batubara Pulverised Coal Injection HPB pc, =(QL+SA+IN+CO+VE)/5 [USD/ton] Di mana: HPB Pc, = Harga Patokan Batubara Pulverised Coal Injection [USD/ton] QL SA IN CO VE = Pulverised Coal Injection Queensland Platts [USD/ton] = Pulverised Coal Injection South Africa Platts [USD/ton] = Pulverised Coal Injection Indonesia Platts [USD/ton] = Pulverised Coal Injection Colombia Platts [USD/ton] = Pulverised Coal Injection Venezuela Platts [USD/ton] Ketika kontrak penjualan batubara dilakukan secara jangka tertentu (term), harga batubara ini mengacu pada rata-rata 3 (tiga) Harga Patokan Batubara terakhir pada bulan di mana dilakukan kesepakatan harga batubara, dengan faktor pengali 50 persen untuk Harga Patokan Batubara bulan terakhir, 30 persen untuk Harga Patokan Batubara satu bulan sebelumnya, dan 20 persen untuk Harga Patokan Batubara dua bulan sebelumnya. Untuk harga batubara untuk PLTU Mulut Tambang, penetapan harga mengikuti peraturan dirjen Minerba No K/30/DJB/2011 dengan ketentuan formula harga batubara untuk pembangkit listrik mulut tambang mencakup dua jenis batubara dengan nilai kalori lebih besar atau sama dengan kkal/kg GAR dan batubara dengan kalori kurang dari kkal/kg GAR. Harga batubara untuk pembangkit listrik mulut tambang dengan nilai kalori lebih besar atau sama dengan kkal/kg GAR dapat dijual dengan harga dibawah Harga Patokan Batubara yang disetujui oleh Direktur Jenderal berdasarkan hasil kajian yang akan ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal. Harga batubara untuk pembangkit listrik mulut tambang dengan nilai kalori kurang dari kkal/kg GAR ditetapkan dengan formula biaya produksi ditambah margin yang didasarkan pada perhitungan yang disampaikan oleh perusahaan sebagai penjual batubara untuk mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal atas nama Menteri. Margin yang jadi acuan adalah keuntungan perusahaan sebagai penjual batubara sebesar 25 persen dari biaya produksi. Dalam hal terdapat kondisi batubara yang tidak ekonomis untuk dijual di luar konsesi tambang maka batubara dengan nilai kalori Iebih besar atau sama dengan

256 kkal/kg GAR dapat dijual kepada pembangkit listrik mulut tambang dengan harga tertentu atas kesepakatan kedua belah pihak dan disetujui oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri. Harga pembelian batubara oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam rangka pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap dari perusahaan Per:Janjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara atau Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara mengikuti harga patokan batubara pada saat tercapainya kesepakatan antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara atau Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara. Pembelian batubara diberlakukan juga untuk keperluan Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang pembelian batubaranya dibebankan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan anak perusahaan yang melakukan kegiatan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Harga kesepakatan pembelian batubara tersebut wajib disesuaikan setiap 12 (dua belas) bulan sekali dengan harga pembelian batubara sesuai dengan harga patokan batubara yang berlaku pada saat penyesuaian Harga Energi Baru Terbarukan Harga Bahan Bakar Nabati (BBN) mengacu pada Keputusan Menteri ESDM No. 0219K/12/MEM/2010 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Minyak dan Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang dicampurkan ke dalam jenis bahan bakar tertentu. Dalam Kepmen tersebut, harga indeks pasar (Biofuel) ditetapkan sebagai berikut: Untuk jenis biodiesel, didasarkan Harga Patokan Ekspor Biodiesel dari minyak sawit (FAME) yang ditetapkan Menteri Perdagangan setiap bulan dengan faktor konversi 870 kg/m 3. Sementara untuk jenis bioethanol, harga didasarkan pada harga publikasi Argus untuk Ethanol FOB Thailand rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah 5 persen indeks penyeimbang produksi dalam negeri dengan faktor konversi sebesar 788 kg/m 3. Pengaruh dari penerapan harga tersebut, Pertamina selaku salah satu Badan Usaha yang ditunjuk untuk melakukan PSO penyaluran BBM tidak dapat melakukan blending Ethanol pada Premium maupun Pertamaks dikarenakan tidak adanya suplai bioethanol. Hal ini disebabkan Harga Indeks Pasar Ethanol yang ditetapkan lebih rendah dari biaya produksi dan sedikit di atas harga jual/harga ekspor di pasar. Memperhatikan hal tersebut, KESDM bersama Kemenkeu tahun 2013 mengkaji harga 256

257 indeks pasar bioethanol agar lebih tinggi. Kajian ini difokuskan pada hasil verifikasi perhitungan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sampai saat ini pembahasan masih terkendala pada perbedaan persepsi antara Kementerian Keuangan dengan hasil verifikasi BPKP. Kemenkeu meminta verifikasi lengkap dari dari biaya produksi bioethanol, biaya trasnportasi dan margin dari produsen bioethanol. Sementara BPKP hanya memverifikasi biaya produksi. Dari hasil audit tahun anggaran 2012 diketahui bahwa biaya pokok produksi bioethanol berada di kisaran Rp per liter. 5.2 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Energi Pembangunan infrastruktur gas mutlak diperlukan guna menjamin pasokan energi ke seluruh tanah air. Infratruktur enegi yang harus dibangun meliputi infrastruktur Bahan Bakar Minyak (BBM), infrastruktur gas, infrastruktur listrik, dan infrastruktur batubara. Pengembangan infrastruktur untuk semua jenis energi dibangun secara terintegrasi guna menjamun efisiensi pengoperasian dari infrastruktur tersebut serta tingginya tingkat pelayanan Infrastruktur BBM Pemenuhan konsumsi BBM sangat tergantung dari kapasitas kilang yang dapat berproduksi di dalam negeri atau melalui impor. Berdasarkan data dari PT Pertamina (Persero), kapasitas kilang yang ada hanya dapat memenuhi sekitar 47 persen dari kebutuhan gasoline. Sementara, kapasitas kilang untuk memproduksi diesel lebih tinggi yaitu sebesar 72 persen. Hal ini menunjukan bahwasannya diperlukan tambahan kilang baru maupun upgrading kilang agar dapat meningkatkan kemampuan produksi BBM dalam negeri. Tabel 80 Tabel Produksi Kilang dan Permintaan Minyak Pertamina Refinery Unit Total prod, Marketing Eksport/ Refining II III IV V VI VII demand Import Directorate Production /demand Avtur 0,75 0,08 1,77 0, ,32 3,5 (0,18) 95% Kerosene 1,35 1,23 0,99 2,77 0,59 0,08 7,02 2,0 5,02 351% Migas 1,34 1,17 3,52 2,59 3,24 0,09 11,96 25,7 (13,74) 47% 257

258 Refinery Unit Total prod, Marketing Eksport/ Production Refining II III IV V VI VII demand Import /demand Directorate Diesel 4,24 1,63 5,95 5,39 0,97 0,17 18,34 25,5 (7,16) 72% Gambar 65 Kilang Pertamina dan Kapasitas Produksinya Kapasitas kilang milik PT Pertamina (Persero) yang masih berproduksi saat ini sebesar ribu barrel per stream day (MBSD). Pada tahun 2011, kilang tersebut dapat menghasilkan 3,32 juta kilo liter avtur; 7,02 juta kilo liter kerosen; 11,96 juta kilo liter mogas; dan 18,34 juta kilo liter diesel. Saat ini, kapasitas kilang yang paling besar menghasilkan keempat komoditi tersebut berada di Refinery Unit IV Cilacap sebesar 12,23 juta kilo liter. Untuk memenuhi kebutuhan BBM, selama kurun waktu direncanakan akan dibangun kilang baru melalui APBN dengan kapasitas 300 MBSD dan kerjasama pemerintah dan swasta dengan kapasitas 300 MBSD. Kilang baru ini diharapkan persiapannya dapat diselesaikan pada tahun Di samping itu, PT Pertamina (Persero) melalui kerjasama strategis dengan mitranya juga akan membangun 2 kilang baru. Saat ini, masih dalam proses studi bersama dengan Kuwait dan Saudi Aramco. 258

259 Berdasarkan data dari PT (Pertamina) Persero, supply dan demand gasoline dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 66 Penyediaan dan Permintaan Gasoline Dari gambar tersebut, diperkirakan pada tahun 2020 terjadi kekurangan supply gasoline sebesar 19,5 juta kilo liter. Apabila rencana kilang baru dapat beroperasi pada tahun 2019 sebagaimana direncanakan, maka kekurangan supply tersebut dapat dipenuhi dari kilang baru. Sebaliknya, pada tahun yang sama akan ada kelebihan supply sebesar 8 juta kilo liter untuk diesel. Kelebihan ini dapat dimanfaatkan untuk menambah devisa melalui ekspor. Untuk supply dan demand untuk diesel sebagaimana gambar berikut. 259

260 Gambar 67 Penyediaan dan Permintaan Diesel Infrastruktur Gas Skenario Business As Usual (BAU) dirancang untuk menunjukkan neraca suplai dan permintaan gas jika tidak ada perubahan signifikan yang dibuat dalam kebijakan pemerintah mengenai kebutuhan gas domestik. Skenario ini menunjukkan bahwa sampai tahun 2025, yang paling signifikan pertumbuhan permintaan adalah sektor industri lainnya (Gambar 68). Setelah 2025, permintaan gas untuk pembangkit listrik menggerakkan permintaan domestik, diikuti oleh industri lain. Sementara permintaan di sektor transportasi juga tumbuh, namun sektor transportasi merupakan komponen permintaan yang kecil dibandingkan dengan industri lain dan pembangkit listrik. 260

261 Gambar 68 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario BAU Ada beberapa kelebihan suplai antara tahun 2017 dan 2025, sebagian besar disebabkan oleh penurunan volume ekspor pada periode tersebut. Setelah tahun 2025, akan ada kekurangan pasokan untuk memenuhi permintaan ekspor sementara permintaan domestik masih dapat dipenuhi. Pada tahun 2029 pasokan tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Skenario berorientasi ekspor menunjukkan bahwa permintaan domestik mengalami penurunan (Gambar 69). Namun, mirip dengan skenario BAU, pendorong utama permintaan domestik sebelum 2025 adalah industri lainnya, dan setelah 2025 adalah pembangkit listrik. Industri pupuk juga berkontribusi terhadap permintaan domestik, sementara transportasi dan permintaan distribusi gas jauh lebih signifikan. Karena proyeksi permintaan yang lebih rendah, kelebihan pasokan terjadi antara tahun 2013 dan Setelah 2027, pasokan tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan ekspor. Namun, pasokan domestik akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga Pada skenario produksi tinggi, proyeksi permintaan sama persis seperti skenario BAU, namun proyeksi suplai pada skenario ini jauh lebih tinggi. Skenario ini menunjukkan bahwa akan ada kelebihan suplai gas antara tahun 2017 dan 2053 (Gambar 70). Permintaan domestik dapat dipenuhi oleh suplai gas domestik hingga

262 Gambar 69 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario Berorientasi Ekspor Gambar 70 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario Produksi Tinggi 262

263 Skenario permintaan domestik yang tinggi atau skenario berorientasi domestik menunjukkan bahwa hingga tahun 2025, pendorong utama permintaan domestik adalah industri lainnya (Gambar 71). Setelah tahun 2025, pendorong utama adalah pembangkit listrik, yang tumbuh pada tingkat yang sangat tinggi, menyusul pertumbuhan PDB yang lebih tinggi. Semua kebutuhan gas industri berkembang pada angka lebih atau kurang konstan setelah Sebagai permintaan domestik diproyeksikan akan tumbuh pada tingkat yang lebih tinggi, tidak ada kelebihan suplai dalam skenario ini, dan pada tahun 2020 permintaan domestik melebihi suplai domestik. Gambar 71 Proyeksi Penyediaan dan Permintaan Gas Berdasarkan Skenario Berorientasi Domestik Permintaan Gas Domestik yang Tidak Terpenuhi dan Tahun Pertama Impor Di tingkat nasional, cara termudah untuk menganalisis efek memiliki infrastruktur yang tersedia untuk memungkinkan transfer antar-regional adalah dengan membandingkan jumlah permintaan domestik awal yang belum terpenuhi berdasarkan skenario yang dikembangkan dalam DASS (Demand and Supply Scenario) untuk menghasilkan permintaan domestik yang belum terpenuhi setelah rencana infrastruktur optimal diidentifikasi di TIM (Transport Infrastructure Model). 263

264 Gambar dibawah ini menunjukkan permintaan domestik yang belum terpenuhi sebelum dan sesudah transfer antar-regional sesuai rencana infrastruktur untuk Skenario BAU. Membandingkan dua grafik yang menunjukkan penurunan yang signifikan dalam permintaan domestik yang belum terpenuhi jika infrastruktur dibangun untuk memungkinkan transfer antar daerah. Pada skenario BAU total permintaan domestik awal yang belum terpenuhi dihitung dalam DASS adalah 159 Tcf, dibandingkan dengan total permintaan domestik yang belum terpenuhi setelah infrastruktur adalah 61 Tcf. Gambar 72 Proyeksi Permintaan Domestik Belum Terpenuhi Melihat pasokan jangka panjang dan proyeksi permintaan setelah pembangunan infrastruktur, bahwa ada permintaan domestik yang belum terpenuhi yang teridentifikasi pada tahun pertama. Hal ini, dengan kata lain, impor tahun pertama dibutuhkan untuk memenuhi permintaan domestik. Gambar 73 Proyeksi Neraca Permintaan dan Suplai Hingga 2070 (Skenario BAU) menunjukkan proyeksi permintaan dan suplai untuk jangka panjang setelah rencana infrastruktur untuk skenario BAU. Dalam skenario ini, impor tahun pertama dibutuhkan untuk memenuhi permintaan domestik

265 Gambar 73 Proyeksi Neraca Permintaan dan Suplai Hingga 2070 (Skenario BAU) Neraca Suplai-Permintaan Gas Tingkat Regional Gambar Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan BAU menunjukkan neraca suplai-permintaan regional yang diproyeksikan setelah rencana infrastruktur diidentifikasi untuk BAU. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar permintaan domestik yang belum terpenuhi adalah daerah Jawa Barat, dengan beberapa permintaan yang belum terpenuhi di Jawa Timur, Bali, dan Wilayah Papua sedikit di masa yang akan datang. Beberapa permintaan domestik yang kecil yang belum terpenuhi adalah Sumatera Utara dan wilayah NAD. Daerah yang memproduksi adalah Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Papua. Namun, sebagian besar gas yang diproduksi di Papua diekspor, dan hanya beberapa ditransfer ke lainnya daerah. Kalimantan Timur dan wilayah Kepulauan Riau adalah produsen gas utama untuk kebutuhan domestik. Maluku Selatan juga memproduksi gas untuk keperluan rumah tangga, sedangkan gas Sulawesi Tengah sebagian besar diekspor. Gambar Proyeksi Neraca Suplai-Permintaan Regional Berdasarkan Skenario Berorientasi Ekspor menunjukkan neraca suplai-permintaan regional untuk Skenario berorientasi ekspor. Karena rendahnya proyeksi permintaan domestik, permintaan yang belum terpenuhi secara signifikan lebih rendah dalam skenario ini. Sebagian besar permintaan yang belum terpenuhi adalah di wilayah Jawa Barat, dengan sejumlah kecil permintaan yang belum terpenuhi di Papua. 265

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI Disampaikan pada Dialog Energi Tahun 2017 Jakarta, 2 Maret 2017 1 Outline paparan I. Potensi

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 2009 Indonesia Energy Outlook (IEO) 2009 adalah salah satu publikasi tahunan

Lebih terperinci

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014 OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014 23 DESEMBER 2014 METODOLOGI 1 ASUMSI DASAR Periode proyeksi 2013 2050 dimana tahun 2013 digunakan sebagai tahun dasar. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sebesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumberdaya alam. Akan tetapi, sumberdaya alam yang melimpah ini belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi dan Pembangkitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa Yogyakarta di

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI Disampaikan pada Indonesia Energy Roadmap 2017-2025 Jakarta, 25 Januari 2017 1 1 Daftar Isi I.

Lebih terperinci

POTENSI BISNIS ENERGI BARU TERBARUKAN

POTENSI BISNIS ENERGI BARU TERBARUKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI POTENSI BISNIS ENERGI BARU TERBARUKAN Maritje Hutapea Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan

Lebih terperinci

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. #Energi Berkeadilan. Disampaikan pada Pekan Pertambangan. Jakarta, 26 September 2017

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. #Energi Berkeadilan. Disampaikan pada Pekan Pertambangan. Jakarta, 26 September 2017 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral #Energi Berkeadilan Disampaikan pada Pekan Pertambangan Jakarta, 26 September 2017 1 #EnergiBerkeadilan Untuk Kesejahteraan Rakyat, Iklim Usaha dan Pertumbuhan

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017 PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN 23 Oktober 2017 1 Minyak Solar 48 (Gas oil) Bensin (Gasoline) min.ron 88 Rp.7 Ribu Rp.100 Ribu 59 2 Progress dan Roadmap BBM Satu Harga Kronologis

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008

RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008 RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008 Indonesia Energy Outlook (IEO) 2008 disusun untuk menggambarkan kecenderungan situasi permintaan dan penyediaan energi Indonesia hingga 2030 dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM REPUBLIK INDONESIA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM Bahan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2015- Infrastructure: Executing The Plan KEMENTERIAN ENERGI

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN

INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) Jl. Raya Palima Pakupatan, Curug Serang; Telp / Fax : 0254

Lebih terperinci

OPSI NUKLIR DALAM BAURAN ENERGI NASIONAL

OPSI NUKLIR DALAM BAURAN ENERGI NASIONAL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA OPSI NUKLIR DALAM BAURAN ENERGI NASIONAL Konferensi Informasi Pengawasan Oleh : Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Jakarta, 12

Lebih terperinci

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan Direktorat

Lebih terperinci

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA 2015-2019 DAN PELUANG MEMANFAATKAN FORUM G20 Siwi Nugraheni Abstrak Sektor energi Indonesia mengahadapi beberapa tantangan utama, yaitu kebutuhan yang lebih besar daripada

Lebih terperinci

Pulau Ikonis Energi Terbarukan sebagai Pulau Percontohan Mandiri Energi Terbarukan di Indonesia

Pulau Ikonis Energi Terbarukan sebagai Pulau Percontohan Mandiri Energi Terbarukan di Indonesia TEKNOLOI DI INDUSTRI (SENIATI) 2016 Pulau Ikonis Energi Terbarukan sebagai Pulau Percontohan Mandiri Energi Terbarukan di Indonesia Abraham Lomi Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Nasional Malang

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010

RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010 RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010 Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Pusat Data dan Informasi Energi dan

Lebih terperinci

Oleh: Maritje Hutapea Direktur Bioenergi. Disampaikan pada : Dialog Kebijakan Mengungkapkan Fakta Kemiskinan Energi di Indonesia

Oleh: Maritje Hutapea Direktur Bioenergi. Disampaikan pada : Dialog Kebijakan Mengungkapkan Fakta Kemiskinan Energi di Indonesia Direktorat t Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral STRATEGI DAN PROGRAM KERJA UNTUK MENINGKATKAN AKSES ENERGI DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN Oleh:

Lebih terperinci

PELUANG PANAS BUMI SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DALAM PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK NASIONAL

PELUANG PANAS BUMI SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DALAM PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK NASIONAL PELUANG PANAS BUMI SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DALAM PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK NASIONAL OLEH : SUGIHARTO HARSOPRAYITNO, MSc DIREKTUR PEMBINAAN PENGUSAHAAN PANAS BUMI DAN PENGELOLAAN AIR TANAH DIREKTORAT

Lebih terperinci

PERCEPATAN PENGEMBANGAN EBTKE DALAM RANGKA MENOPANG KEDAULATAN ENERGI NASIONAL

PERCEPATAN PENGEMBANGAN EBTKE DALAM RANGKA MENOPANG KEDAULATAN ENERGI NASIONAL PERCEPATAN PENGEMBANGAN EBTKE DALAM RANGKA MENOPANG KEDAULATAN ENERGI NASIONAL Diskusi Panel National Integration of the Centre of Excellence Jakarta, 8 Oktober 2015 1 Daftar Isi 1. Membangun Kedaulatan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI J. PURWONO Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Disampaikan pada: Pertemuan Nasional Forum

Lebih terperinci

ESDM untuk Kesejahteraan Rakyat

ESDM untuk Kesejahteraan Rakyat 1. INDIKATOR MAKRO 2010 2011 2012 No Indikator Makro Satuan Realisasi Realisasi Realisasi Rencana / Realisasi % terhadap % terhadap APBN - P Target 2012 1 Harga Minyak Bumi US$/bbl 78,07 111,80 112,73

Lebih terperinci

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040 KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040 Ana Rossika (15413034) Nayaka Angger (15413085) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi

Lebih terperinci

PERSIAPAN SUMATERA UTARA DALAM MENYUSUN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED)

PERSIAPAN SUMATERA UTARA DALAM MENYUSUN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED) PERSIAPAN SUMATERA UTARA DALAM MENYUSUN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED) Oleh Ir. EDDY SAPUTRA SALIM, M.Si Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara PADA ACARA SOSIALISASI RENCANA UMUM

Lebih terperinci

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja Selanjutnya indikator-indikator dan target kinerja dari setiap sasaran strategis tahun 2011 adalah sebagai berikut: Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja Sasaran Indikator Target 2011 1. Meningkatnya

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROGRAM LISTRIK PERDESAAN DI INDONESIA: KEBIJAKAN, RENCANA DAN PENDANAAN Jakarta, 20 Juni 2013 DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL KONDISI SAAT INI Kondisi

Lebih terperinci

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL SEMINAR OPTIMALISASI PENGEMBANGAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN MENUJU KETAHANAN ENERGI YANG BERKELANJUTAN Oleh: DR. Sonny Keraf BANDUNG, MEI 2016 KETAHANAN

Lebih terperinci

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya.

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya. BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi Dan Misi Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral VISI Memasuki era pembangunan lima tahun ketiga, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi

Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi Rencana Strategis Perindustrian di Bidang Energi disampaikan pada Forum Sinkronisasi Perencanaan Strategis 2015-2019 Dalam Rangka Pencapaian Sasaran Kebijakan Energi Nasional Yogyakarta, 13 Agustus 2015

Lebih terperinci

Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 1 Pendahuluan Energi Primer Kelistrikan 3 Energy Resources Proven Reserve Coal 21,131.84 million tons Oil Natural Gas (as of 2010) 3,70

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi adalah bagian yang sangat penting pada aspek sosial dan perkembangan ekonomi pada setiap

BAB I PENDAHULUAN. Energi adalah bagian yang sangat penting pada aspek sosial dan perkembangan ekonomi pada setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Energi adalah bagian yang sangat penting pada aspek sosial dan perkembangan ekonomi pada setiap bangsa dan negara. Indonesia sebagai negara yang berkembang sangat

Lebih terperinci

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program 35.000 MW: Progres dan Tantangannya Bandung, 3 Agustus 2015 Kementerian ESDM Republik Indonesia 1 Gambaran Umum Kondisi Ketenagalistrikan Nasional

Lebih terperinci

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS 3.1 Kerangka Pemodelan Kajian Outlook Energi Indonesia meliputi proyeksi kebutuhan energi dan penyediaan energi. Proyeksi kebutuhan energi jangka panjang dalam kajian

Lebih terperinci

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini. BAB 6 P E N U T U P L sebelumnya. aporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2011 merupakan media perwujudan akuntabilitas terhadap keberhasilan

Lebih terperinci

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH Abstrak Dalam meningkatkan rasio elektrifikasi nasional, PLN telah melakukan banyak upaya untuk mencapai target yang

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

INDONESIAN 2050 PATHWAYS CALCULATOR SEKTOR PASOKAN ENERGI: PRODUKSI BATUBARA, MINYAK DAN GAS BUMI. Sekretariat Badan Litbang ESDM 2

INDONESIAN 2050 PATHWAYS CALCULATOR SEKTOR PASOKAN ENERGI: PRODUKSI BATUBARA, MINYAK DAN GAS BUMI. Sekretariat Badan Litbang ESDM 2 INDONESIAN 2050 PATHWAYS CALCULATOR SEKTOR PASOKAN ENERGI: PRODUKSI BATUBARA, MINYAK DAN GAS BUMI Andriani Rahayu 1 dan Maria Sri Pangestuti 2 1 Sekretariat Badan Litbang ESDM 2 Indonesian Institute for

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Insider Forum Series Indonesia Energy Roadmap 2017 2025 Jakarta, 25 Januari 2017 I Kondisi

Lebih terperinci

Data yang disajikan merupakan gabungan antara data PLN Holding dan Anak Perusahaan,

Data yang disajikan merupakan gabungan antara data PLN Holding dan Anak Perusahaan, Kata Pengantar Buku Statistik PLN 2015 diterbitkan dengan maksud memberikan informasi kepada publik mengenai pencapaian kinerja perusahaan selama tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya. Data yang disajikan

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL Dasar Hukum RUEN UU No. 30/2007 Energi UU No.22/2001 Minyak dan Gas Bumi UU No.30/2009 Ketenagalistrikan PP No. 79/2014 Kebijakan Energi Nasional Perbaikan bauran

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN

PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN RENCANA DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KEBERLANJUTANNYA DI NTT Oleh : Ir. Wayan Darmawa,MT Kepala Bappeda NTT 1 KONDISI UMUM PEMBANGUNAN NTT GAMBARAN UMUM Letak Geografis

Lebih terperinci

RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED)

RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED) KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA RENCANA AKSI PENYUSUNAN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH (RUED) By: TIM P2RUED-P Pedoman Penyusunan dan Petunjuk Teknis RUED Penjelasan Pokok-Pokok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini dunia sedang dilanda krisis Energi terutama energi fosil seperti minyak, batubara dan lainnya yang sudah semakin habis tidak terkecuali Indonesia pun kena

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI. Disampaikan oleh

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI. Disampaikan oleh KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI REGULASI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ENERGI ANGIN Disampaikan oleh Abdi Dharma Saragih Kasubdit

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

PERAN GEOLOGI DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

PERAN GEOLOGI DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL 1 PERAN GEOLOGI DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara PPN/Bappenas Workshop Sinkronisasi Program Pembangunan Bidang Geologi: Optimalisasi Peran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Pemanfaatan cadangan..., Mudi Kasmudi, FT UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Pemanfaatan cadangan..., Mudi Kasmudi, FT UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya mineral yang tersebar diseluruh kepulauan Indonesia. Jumlah sumber daya mineral yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya energi adalah kekayaan alam yang bernilai strategis dan

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya energi adalah kekayaan alam yang bernilai strategis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya energi adalah kekayaan alam yang bernilai strategis dan sangat penting dalam mendukung keberlanjutan kegiatan pembangunan daerah khususnya sektor ekonomi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan,

Lebih terperinci

Pendahuluan. Distribusi dan Potensi. Kebijakan. Penutup

Pendahuluan. Distribusi dan Potensi. Kebijakan. Penutup Pendahuluan Distribusi dan Potensi Kebijakan Penutup STRUKTUR ORGANISASI DESDM MENTERI Lampiran PERMEN ESDM Nomor : 0030 Tahun 2005 Tanggal : 20 Juli 2005 INSPEKTORAT JENDERAL SEKRETARIAT JENDERAL ITJEN

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017 Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017 1) Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik

Lebih terperinci

4/28/2015 PERSEBARAN LOKASI SASARAN NAWACITA PERCEPATAN PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK KALIMANTAN SELATAN SULAWESI BARAT PAPUA BARAT KALIMANTAN TENGAH SUMATERA UTARA JAWA TENGAH SASARAN NAWACITA LOKASI

Lebih terperinci

RENCANA UMUM ENERGI DAERAH PROVINSI BENGKULU DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROVINSI BENGKULU

RENCANA UMUM ENERGI DAERAH PROVINSI BENGKULU DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROVINSI BENGKULU RENCANA UMUM ENERGI DAERAH PROVINSI BENGKULU DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PROVINSI BENGKULU Medan, 8 September 2016 BAB I LATAR BELAKANG Seiring dengan perkembangan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan Focus Group Discussion Pendanaan Energi Berkelanjutan Di Indonesia Jakarta, 20 Juni 2013 Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EBTKE UNTUK MEMENUHI TARGET KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EBTKE UNTUK MEMENUHI TARGET KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EBTKE UNTUK MEMENUHI TARGET KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL Direktur Jenderal EBTKE Rida Mulyana Panel Discussion Time To Act : Accelerate The Implementation Of Renewable

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL VISI: Terwujudnya pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manajemen baik dari sisi demand maupun sisi supply energi. Pada kondisi saat ini

BAB I PENDAHULUAN. manajemen baik dari sisi demand maupun sisi supply energi. Pada kondisi saat ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mencapai pola pengelolaan energi diperlukan perubahan manajemen baik dari sisi demand maupun sisi supply energi. Pada kondisi saat ini telah diketahui bahwa permintaan

Lebih terperinci

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI TERPILIH

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI TERPILIH INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI TERPILIH Maret 2010 Pada Maret 2010, sebagian besar indikator aktivitas ekonomi migas dan non migas terpilih mengalami pertumbuhan tahunan yang positif, dengan pertumbuhan tertinggi

Lebih terperinci

ISSN : NO

ISSN : NO ISSN : 0852-8179 NO. 02701-150430 02701-150430 Statistik PLN 2014 Kata Pengantar Buku Statistik PLN 2014 diterbitkan dengan maksud memberikan informasi kepada publik mengenai pencapaian kinerja perusahaan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANFAATAN ENERGI PADA PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK DI INDONESIA

ANALISIS PEMANFAATAN ENERGI PADA PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK DI INDONESIA ANALISIS PEMANFAATAN ENERGI PADA PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK DI INDONESIA Indyah Nurdyastuti ABSTRACT Energy demand for various economic sectors in Indonesia is fulfilled by various energy sources, either

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia masih belum dapat mencapai target pembangunan di bidang energi hingga pada tahun 2015, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri masih ditopang oleh impor

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA FEBRUARI 2011

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA FEBRUARI 2011 BADAN PUSAT STATISTIK No.21/04/Th.XIV, 1 April PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA FEBRUARI A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR FEBRUARI MENCAPAI US$14,40 MILIAR Nilai ekspor Indonesia mencapai US$14,40

Lebih terperinci

SISTEM KELISTRIKAN LUAR JAMALI TAHUN 2003 S.D. TAHUN 2020

SISTEM KELISTRIKAN LUAR JAMALI TAHUN 2003 S.D. TAHUN 2020 SISTEM KELISTRIKAN LUAR JAMALI TAHUN 23 S.D. TAHUN 22 Agus Nurrohim dan Erwin Siregar ABSTRACT In national electricity plan, there are Jawa-Madura-Bali (Jamali) and Non Jamali systems. Those two systems

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017

POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017 Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral POKOK-POKOK PM ESDM 45/2017, PM ESDM 49/2017 DAN PM ESDM 50/2017 1) Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik

Lebih terperinci

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, SDA dan LH Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, SDA dan LH Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, SDA dan LH Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Unit : Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Indikator Terwujudnya

Lebih terperinci

MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL

MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL Oleh: Kardaya Warnika Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

MATRIKS PROGRAM 100 HARI, 1 TAHUN DAN 5 TAHUN (Di Sempurnakan Sesuai dengan Usulan Kadin)

MATRIKS PROGRAM 100 HARI, 1 TAHUN DAN 5 TAHUN (Di Sempurnakan Sesuai dengan Usulan Kadin) LAMPIRAN II MATRIKS PROGRAM 100 HARI, 1 TAHUN DAN 5 TAHUN (Di Sempurnakan Sesuai dengan Usulan Kadin) Isu Pokok Output yang Diharapkan Program Aksi Kerangka waktu Jaminan pasokan energi Terjaminnya pasokan

Lebih terperinci

Background Study RPJMN Sektor Energi dan Pertambangan Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan

Background Study RPJMN Sektor Energi dan Pertambangan Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Background Study RPJMN 2015-2019 Sektor Energi dan Pertambangan Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah konsumsi minyak bumi Indonesia sekitar 1,4 juta BOPD (Barrel Oil Per Day), sedangkan produksinya hanya sekitar 810 ribu BOPD (Barrel Oil Per Day). Kesenjangan konsumsi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA MEI 2011

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA MEI 2011 BADAN PUSAT STATISTIK No.40/07/Th.XIV, 1 Juli PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA MEI A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MEI MENCAPAI US$18,33 MILIAR Nilai ekspor Indonesia mencapai US$18,33 miliar atau

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PENYUSUNAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL, RENCANA UMUM ENERGI DAERAH PROVINSI, DAN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH KABUPATEN/KOTA

SISTEMATIKA PENYUSUNAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL, RENCANA UMUM ENERGI DAERAH PROVINSI, DAN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH KABUPATEN/KOTA 9 LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL SISTEMATIKA PENYUSUNAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL, RENCANA UMUM ENERGI DAERAH

Lebih terperinci

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI Indikator yang lazim digunakan untuk mendapatkan gambaran kondisi pemakaian energi suatu negara adalah intensitas energi terhadap penduduk (intensitas energi per kapita)

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

LAMPIRAN II: MATRIKS PROGRAM 100 HARI, 1 TAHUN DAN 5 TAHUN. Isu Pokok Output yang Diharapkan Program Aksi Kerangka waktu. Jaminan pasokan energi

LAMPIRAN II: MATRIKS PROGRAM 100 HARI, 1 TAHUN DAN 5 TAHUN. Isu Pokok Output yang Diharapkan Program Aksi Kerangka waktu. Jaminan pasokan energi LAMPIRAN II: MATRIKS PROGRAM 100 HARI, 1 TAHUN DAN 5 TAHUN Isu Pokok Output yang Diharapkan Program Aksi Kerangka waktu Jaminan pasokan energi Terjaminnya pasokan batubara Diversifikasi energi dengan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, energi mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis untuk pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2006 TENTANG PENUGASAN KEPADA PT. PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) UNTUK MELAKUKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK YANG MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

Bidang Studi Teknik Sistem Tenaga Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Bidang Studi Teknik Sistem Tenaga Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ANALISIS KEBUTUHAN LISTRIK BERKAITAN DENGAN PENYUSUNAN TARIF LISTRIK REGIONAL DI DAERAH PROVINSI BALI GUNA MEMENUHI PASOKAN ENERGI LISTRIK 10 TAHUN MENDATANG I Putu Surya Atmaja 2205 100 107 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar

Lebih terperinci

SEMINAR ELEKTRIFIKASI MASA DEPAN DI INDONESIA. Dr. Setiyono Depok, 26 Januari 2015

SEMINAR ELEKTRIFIKASI MASA DEPAN DI INDONESIA. Dr. Setiyono Depok, 26 Januari 2015 SEMINAR ELEKTRIFIKASI MASA DEPAN DI INDONESIA Dr. Setiyono Depok, 26 Januari 2015 KETAHANAN ENERGI DAN PENGEMBANGAN PEMBANGKITAN Ketahanan Energi Usaha mengamankan energi masa depan suatu bangsa dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

Perkembangan Kelistrikan Indonesia dan Kebutuhan Sarjana Teknik Elektro

Perkembangan Kelistrikan Indonesia dan Kebutuhan Sarjana Teknik Elektro Perkembangan Kelistrikan Indonesia dan Kebutuhan Sarjana Teknik Elektro Dr. HERMAN DARNEL IBRAHIM Direktur Transmisi dan Distribusi PLN I MADE RO SAKYA Ahli Operasi Sistem - PLN Electricity For A Better

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di Indonesia tidak hanya semata-mata dilakukan oleh PT PLN (Persero) saja, tetapi juga dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki cadangan gas yang cukup besar dan diperkirakan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi hingga 59 tahun mendatang (ESDM, 2014). Menurut Kompas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tantangan ke depan pembangunan ekonomi Indonesia tidaklah mudah untuk diselesaikan. Dinamika ekonomi domestik dan global mengharuskan Indonesia senantiasa siap terhadap

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMANFAATAN PANAS BUMI UNTUK KELISTRIKAN NASIONAL

KEBIJAKAN PEMANFAATAN PANAS BUMI UNTUK KELISTRIKAN NASIONAL KEBIJAKAN PEMANFAATAN PANAS BUMI UNTUK KELISTRIKAN NASIONAL Oleh : Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Disampaikan pada: Seminar Nasional Promosi Sumberdaya Panas Bumi Denpasar,, 3-43 4 April

Lebih terperinci

ANALISIS INDUSTRI GAS NASIONAL

ANALISIS INDUSTRI GAS NASIONAL ANALISIS INDUSTRI GAS NASIONAL Biro Riset BUMN Center LM FEUI Meningkatnya beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) belakangan ini membuat pemerintah berupaya menekan subsidi melalui penggunaan energi alternatif,

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang di

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang di LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.300, 2014 SUMBER DAYA ENERGI. Nasional. Energi. Kebijakan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5609) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci