BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.. Latar Belakang Pulau Sumatra merupakan pulau yang terletak pada zona subduksi lempeng Eurasia dengan Indo-Australia di wilayah barat Indonesia. Zona subduksi ini merupakan zona yang paling sering melepaskan energi di Indonesia (McCaffrey, 009). Lempeng Indo-Australia menunjam pada lempeng Eurasia membentuk sudut miring-kanan (right-lateral) dengan kecepatan 5 s.d. 7 cm/tahun (Prawirodirjo, dkk., 000). Akibat dari penunjaman miring ini adalah terbentuknya patahan geser (strikeslip) di sepanjang Pulau Sumatra (Hidayat, dkk., 0) yang disebut dengan Patahan Sumatra atau Patahan Semangko atau Patahan Ulu-Aer (Sieh dan Natawidjaja, 000). Patahan Sumatra merupakan patahan jenis strike-slip (patahan geser) yang memanjang 900 km dari ujung utara Sumatra sampai ujung selatan yang sebagian bertepatan dengan gugus gunung api Sumatra (Sieh dan Natawidjaja, 000). Aktifitas pada Patahan Sumatra sangat tinggi, sehingga sering menyebabkan banyak terjadinya gempa bumi besar yang menyebabkan kerugian material besar selama 00 tahun terakhir ini (Natawidjaja dan Triyoso, 008). Menurut catatan gempa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada kurun waktu 00 s.d. 03, beberapa gempa bumi terjadi dalam magnitude > 6,0 Skala Richter (SR) dan lebih dari 00 gempa bumi terjadi pada magnitude 5 s.d. 6 SR. Gempa bumi dengan magnitude lebih dari 6,0 SR tersebut antara lain Gempa Mentawai 7, SR (00), Gempa Sinabang-Aceh 7,6 SR (00), Gempa Singkilbaru-Aceh 6,7 SR (0), dan Gempa di Lepas pantai barat Sumatra 8,6 SR (500 km dari Aceh) (0) (BMKG, 03). Banyaknya gempa bumi yang terjadi di Pulau Sumatra menunjukkan perlunya upaya mitigasi bencana gempa bumi pada wilayah ini. Salah satu bentuk upaya mitigasi ini adalah dengan memodelkan zonasi wilayah dengan berdasarkan potensi kegempaannya. Model potensi gempa bumi ini diturunkan dari model tegangan (stress), sedangkan model tegangan ini bisa diperoleh salah satunya dari nilai dan pola regangan D pada wilayah yang sama (Abidin, 007). Dalam hal ini, secara

2 tidak langsung, analisis dan pemodelan regangan D di wilayah Pulau Sumatra penting untuk upaya mitigasi bencana. Analisis dan pemodelan regangan D semakin penting mengingat pada Pulau Sumatra terdapat zona Patahan Sumatra dan zona subduksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia merupakan zona yang paling sering melepaskan energi gempa bumi tiap tahunnya (Setyonegoro, dkk., 0). Dalam hal ini, analisis dan pemodelan regangan D perlu diperbarui secara berkala untuk bisa mewadahi perubahan nilai dan pola regangan pada wilayah ini. Analisis dan pemodelan pola regangan D bisa diturunkan salah satunya dari data pergeseran titik pantau yang dihasilkan oleh perubahan posisi titik multitemporal akibat adanya kejadian gempa bumi. Pergeseran titik pantau selama bertahun-tahun terdokumentasikan melalui perekaman kontinyu stasiun permanen GNSS-CORS di Pulau Sumatra. Dalam hal ini, sejak tahun 996 telah dibangun instalasi stasiun GNSS-CORS permanen yang kontinyu oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Stasiun GNSS-CORS ini berjumlah 4 stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia ( stasiun diantaranya ada di Pulau Sumatra) dan disebut sebagai sistem Ina-CORS (Aditiya, dkk., 04). Salah satu fungsi Ina-CORS adalah untuk mendukung aplikasi ilmiah seperti pemantauan deformasi dan geodinamika (Abidin, dkk., 00). Oleh karena itu, data pengamatan Ina-CORS ini potensial untuk analisis dan pemodelan regangan tektonik D di Pulau Sumatra. Analisis dan pemodelan regangan D umumnya dilakukan dengan membentuk jaring-jaring segitiga antar stasiun pengamatan. Jika jarak antar stasiun pengamatan jauh, maka pemodelan regangan kurang realistis untuk mewadahi wilayah yang luas. Metode hitungan yang sering digunakan untuk memperoleh nilai regangan D adalah hitung perataan konvensional (Rusmen, dkk., 0). Dalam hal ini, metode Modified Least Square (MLS) yang dikenalkan oleh Shen, dkk. (996) mampu menghasilkan nilai regangan yang lebih rapat melalui pembentukan grid-grid tertentu. Metode MLS ini mengestimasi nilai regangan berdasarkan kontribusi stasiun-stasiun yang ada di dekatnya, stasiun yang dekat memiliki kontribusi lebih besar dari stasiun yang jauh (Teza, dkk., 008). Metode MLS ini memiliki kelebihan yaitu model regangan bisa disajikan secara lebih realistis (seragam) dalam cakupan wilayah tertentu sesuai dengan faktor pembobotan yang diterapkan (Shen, dkk., 996). Dalam hal ini, pemakaian metode MLS sangat potensial untuk analisis dan pemodelan regangan

3 tektonik D yang lebih realistis pada wilayah yang luas seperti Pulau Sumatra. Analisis dan pemodelan pola regangan D telah dilakukan sebelumnya oleh Bock, dkk. (003) dengan membentuk jaring-jaring segitiga pada seluruh wilayah Indonesia termasuk pada Patahan Sumatra dengan data pengamatan tahun 99 s.d. 00. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa nilai regangan D berkisar antara 5x0-8 s.d Pola regangan pada bagian barat Pulau Sumatra di dominasi oleh regangan kompresi D, sedangkan pada bagian timur dan selatan didominasi oleh ekstensi D. Nilai dan pola regangan ini terbatas pada data tahun 00, padahal gempa tektonik berkekuatan besar di Pulau Sumatra terus terjadi pada kurun waktu setelah tahun 00 tersebut. Gempa yang terjadi pada kurun waktu setelah tahun 00 sampai sekarang mungkin saja mengubah nilai dan pola regangan D pada waktu sekarang ini. Selain itu, penggunaan metode MLS potensial untuk pemodelan regangan D yang lebih realistis. Di sisi lain, dalam upaya mitigasi bencana pada waktu sekarang ini dibutuhkan pemodelan nilai dan pola regangan D yang terbaru. Oleh karena itu, penelitian untuk menganalisis nilai dan pola regangan D tahun pada kurun waktu terbaru (tahun 00 s.d. 03) di Patahan Sumatra perlu dilakukan kembali. Pada penelitian ini dilakukan analisis dan pemodelan regangan D dengan metode MLS menggunakan data tahun 00 s.d. 03 di Patahan Sumatra. I.. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, diketahui bahwa zona Patahan Sumatra memiliki potensi bencana yang besar. Aktivitas tektonik pada Patahan Sumatra berupa gempa bumi menyebabkan perubahan posisi titik-titik pantau seperti stasiun GNSS-CORS. Selanjutnya data perubahan posisi tersebut bisa dimanfaatkan untuk analisis nilai dan pola regangan. Analisis nilai dan pola regangan D ini merupakan salah satu hal penting dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi. Teridentifikasinya nilai dan pola regangan D dapat menjadi informasi penting dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi di suatu wilayah yang sering terjadi gempa bumi seperti Pulau Sumatra. Nilai dan pola regangan D di Pulau Sumatra secara umum telah diketahui melalui penelitian Bock, dkk. (003) memakai data tahun 99 s.d. 00, di sisi lain gempa bumi masih sering terjadi pada kurun waktu 00 s.d. 03. Oleh 3

4 karena itu, nilai dan pola regangan D tahun 00 s.d. 03 di Patahan Sumatra mungkin saja berubah. Belum diketahuinya besar dan pola regangan tahun 00 s.d. 03 di Patahan Sumatra merupakan masalah yang diangkat pada penelitian ini. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah :. Berapakah nilai regangan D lempeng tektonik di Patahan Sumatra pada kurun waktu 00 s.d. 03?. Bagaimanakah pola regangan D lempeng tektonik di Patahan Sumatra pada kurun waktu 00 s.d. 03? I.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:. Pengidentifikasian nilai regangan D lempeng tektonik di Patahan Sumatra pada kurun waktu 00 s.d Pengidentifikasian pola regangan D lempeng tektonik di Patahan Sumatra dari tahun 00 s.d. 03. I.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini berupa informasi nilai dan pola regangan D lempeng tektonik di Patahan Sumatra tahun 00 s.d. 03. Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk :. Mengidentifikasi struktur penyebab gempa jika dianalisis bersama peta geologi dan focal mechanisms, sehingga hal ini mempermudah proses inversi kegempaan secara geofisis.. Memprediksi akumulasi energi tektonik yang terkumpul pada gempa tektonik yang akan terjadi selanjutnya, sehingga hal ini dapat menjadi acuan bagi perencanaan mitigasi bencana gempa bumi di wilayah Pulau Sumatra. 4

5 3. Menentukan wilayah-wilayah yang memiliki resiko gempa yang tinggi, sehingga hal ini dapat menjadi masukan bagi pelaksanaan mitigasi bencana di wilayah Pulau Sumatra. I.6. Batasan Penelitian Batasan penelitian ini meliputi beberapa hal, yaitu :. Stasiun GNSS-CORS yang dipakai adalah 4 stasiun pada sistem Ina- CORS dengan konfigurasi menyilang sepanjang segmen Patahan Sumatra.. Data GNSS yang diolah dibatasi jumlahnya untuk efisiensi pengolahan, yakni maksimal 30 data per tahun. 3. Penggunaan modul earthquake-file dalam GLOBK untuk mewadahi pengolahan data yang terpengaruh gempa tidak dilakukan pada penelitian ini, karena data yang dipilih dianggap telah menghindari doy gempa. I.7. Tinjauan Pustaka Pulau Sumatra merupakan pulau yang berada pada pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia. Sangat aktifnya pergerakan lempeng pada pulau ini menyebabkan geodinamikanya sangat tinggi. Beberapa penelitian untuk memantau geodinamika di zona subduksi maupun di zona patahan pada pulau ini telah banyak dilakukan. Beberapa metode yang dipakai antara lain dengan metode seisimik, pengamatan GPS dan pengamatan melalui penginderaan jauh. Penerapan data seisimik untuk mengetahui karakteristik distribusi seismik di sepanjang Busur Sunda (barat Sumatra) dilakukan pertama kali oleh Ghose dan Oike (988). Penelitian ini memanfaatkan data seisimik dari NOAA Hipocenter Data File (900 s.d. 98) dan ISC Data File (97 s.d. 983) dengan validasi menggunakan data anomali gayaberat Free-air dari satelit GEOS-3 dan SEASAT-. Pada tahun 006, pemantauan pergerakan lempeng di Busur Sunda kembali dilakukan oleh Lasitha, dkk. (006) memanfaatkan data seismik dari NOAA Epicentral Listing pada tahun 900 s.d. 000 dan data Focal Mechanisms dari Harvard Centroid Moment Tensors (CMT). Lokasi yang diamati oleh kedua penelitian ini hampir sama yakni 5

6 pada Patahan Sumatra, Patahan Segmen Mentawai, Sunda Strait, Java Fault Zone, dan Java Fore-Arc region. Keduanya mengindikasikan adanya variasi geodinamika lempeng terhadap waktu (temporal). Khusus pada Patahan Sumatra, Lasitha, dkk. (006) menyimpulkan bahwa pergerakan geser miring-kanan (right-lateral) adalah sebesar s.d. 9 mm/tahun. Data pengamatan citra satelit penginderaan jauh telah dipakai dalam pemantauan pergerakan lempeng di Pulau Sumatra. Data citra SPOT dikombinasikan dengan peta topografi telah dipakai pada pemantauan pergerakan Patahan Sumatra oleh Bellier dan Sebrier (994). Sedangkan data foto udara stereo dikombinasikan dengan peta topografi telah dipakai untuk membuat peta modern neotektonik setiap segmen sepanjang Patahan Sumatra oleh Sieh dan Natawidjaja (000). Hasil yang didapatkan Bellier dan Sebrier (994) saling berbeda dengan Sieh dan Natawidjaja (000) dalam hal keterkaitan antara Patahan Sumatra dengan gunung api. Bellier dan Sebrier (994) mengklaim adanya hubungan antara Patahan Sumatra dan gunung api, sedangkan dengan Sieh dan Natawidjaja (000) tidak mengklaim adanya keterkaitan antar keduanya. Pengamatan GPS pertama kali pada zona Java-Trench yang termasuk juga di dalamnya bagian selatan Pulau Sumatra telah dilakukan oleh Tregoning, dkk. (994). Pemantauan dengan GPS pada zona subduksi Sunda Megathrust, Investigator Fracture Zone, dan Patahan Sumatra di utara dan selatan lintang 0,5 o S telah dilakukan oleh Prawirodirjo, dkk. (997). Penelitian dengan menggunakan data GPS untuk pemantauan zona-zona subduksi atau patahan lain di Pulau Sumatra juga telah dilakukan. Penelitian ini antara lain : pemantauan zona patahan di bagian utara Pulau Sumatra ( o S s.d. 3 o N) (McCaffrey, dkk., 000), pemantauan subduksi di patahan Andaman dan Patahan Sumatra (Subarya, dkk., 008), pemantauan patahan Segmen Mentawai setelah gempa 00 (Rusmen, dkk., 0), pemantauan subduksi lempeng di seluruh wilayah Indonesia termasuk dikhususkan beberapa pengamatan lebih di Patahan Sumatra dan Sunda Megathrust (Bock, dkk., 003), dan juga pemantauan deformasi pada cekungan Warthon (Pratama, dkk., 03). Dalam hal ini, pengamatan dengan GPS khusus untuk keperluan pemantauan Patahan Sumatra belum secara spesifik dilakukan. Data yang dipakai pada pemantauan geodinamika di Pulau Sumatra selama ini 6

7 bersumber dari data pengamatan stasiun GEODYSSEA-GPS (Michel, dkk., 00) yang terdiri atas 49 stasiun (3 stasiun berada di Indonesia), pengamatan stasiun permanen seperti SuGAR (Sumatran GPS Array), IGS, dan SOPAC (Tregoning, dkk., 994; Michel, dkk., 00; Rusmen, dkk., 0), pengamatan Campaign Station di wilayah terdeformasi (Subarya, dkk., 008), dan kombinasi antara beberapa sumber tersebut (Bock, dkk., 003). Data yang dipakai pada penelitian sebelumnya memiliki kurun waktu 3 s.d. 5 tahun dengan jarak waktu antar pengamatan bisa s.d. 3 tahun. Dalam hal ini, sumber data lain seperti stasiun permanen GNSS-CORS di Indonesia (Ina-CORS) belum pernah dipakai untuk analisis geodinamika di Pulau Sumatra khususnya pada zona Patahan Sumatra. Pengolahan data GPS pada pemantauan geodinamika Pulau Sumatra selama ini menggunakan perangkat lunak ilmiah seperti GAMIT/GLOBK, BERNESE, GIPSY- OASIS II (Subarya, dkk., 008; Bock, dkk., 003; Tregoning, dkk., 994; Michel, dkk., 000; Rusmen, dkk., 0, Pratama, dkk., 03). Dengan data pengamatan GPS pada lokasi Pulau Sumatra, penelitian-penelitian yang ada memperoleh beberapa hasil berbeda, yaitu : (i) nilai kecepatan pergeseran stasiun yang dianggap mewakili pergerakan relatif lempeng tektonik (Prawirodirjo, dkk., 997; Michel, dkk., 000; Bock, dkk., 003; Pratama, dkk., 03), (ii) nilai dan pola regangan tektonik dan nilai rotasi tektonik pada masing-masing blok segitiga yang terbentuk (McCaffrey, dkk., 000; Michel, dkk., 000; Bock, dkk., 003; Rusmen, dkk., 0), (iii) mengestimasi nilai tegangan geser (McCaffrey, dkk., 000), dan (iv) memodelkan laju penunjaman (slip rates) tektonik per tahun pada zona subduksi miring (oblique subduction) dengan tambahan data seismik (McCaffrey, dkk., 000; Subarya, dkk., 008). Pada estimasi nilai/parameter regangan, metode yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya antara lain hitung perataan kuadrat terkecil (Least Square Adjustment) (Rusmen, dkk., 0) maupun dengan hitung perataan parameter berbobot (Weighted Least Square Adjustment) (McCaffrey, dkk., 000). Adapun estimasi nilai regangan dengan metode hitungan Modified Least Square (MLS) yang menekankan pada faktor skala saat mengestimasi regangan (Teza, dkk., 008) masih belum pernah diterapkan spesifik pada Patahan Sumatra. Pada penelitian ini, dilakukan analisis dan pemodelan regangan D tektonik secara spesifik pada zona Patahan Sumatra menggunakan data pengamatan stasiun 7

8 permanen GNSS-CORS Indonesia (Ina-CORS). Penelitian ini menggunakan perangkat lunak ilmiah GAMIT/GLOBK 0.5 untuk estimasi nilai koordinat stasiun setiap tahunnya pada kurun waktu 00 s.d. 03. Estimasi nilai dan pemodelan regangan tektonik D dilakukan memanfaatkan metode hitungan MLS. I.8. Landasan Teori I.8.. Geodinamika Geodinamika adalah sebuah studi yang berkaitan dengan proses-proses dasar fisika dan matematika yang meliputi pengukuran, pemodelan, penafsiran konfigurasi dan gerak dari mantel, kerak, dan inti bumi serta berbagai fenomena geologi (Turcotte dan Schubert, 00). Geodinamika tidak bisa dilepaskan dari teori tektonik lempeng, yakni teori dalam bidang geologi yang dikembangkan untuk memberi penjelasan terhadap adanya bukti-bukti pergerakan skala besar yang dilakukan oleh litosfer bumi (Sullivan, 99). Lapisan litosfer bumi terbagi menjadi beberapa lempeng besar yang menyusun permukaan bumi. Lempeng besar tersebut antara lain Lempeng Afrika, Lempeng Antartika, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Amerika Utara (Kious dan Tilling, 996). Setiap lempeng memiliki batas antar lempeng seperti yang disajikan pada Gambar I. berikut. Gambar I.. Batas antar lempeng tektonik (Kious dan Tilling, 996) 8

9 Batas antar lempeng teridiri atas tiga jenis, yaitu (Kious dan Tilling, 996):. Batas transform (transform boundaries) terjadi jika lempeng bergerak dan mengalami gesekan satu sama lain secara menyamping di sepanjang sesar transform (transform fault). Gerakan relatif kedua lempeng bisa sinistral/leftlateral (ke kiri di sisi yang berlawanan dengan pengamat) ataupun dekstral/right-lateral (ke kanan di sisi yang berlawanan dengan pengamat). Contoh sesar jenis ini adalah Sesar San Andreas di California.. Batas divergen/konstruktif (divergent/constructive boundaries) terjadi ketika dua lempeng bergerak menjauh satu sama lain. Mid-oceanic ridge dan zona retakan (rifting) yang aktif adalah contoh batas divergen. 3. Batas konvergen/destruktif (convergent/destructive boundaries) terjadi jika dua lempeng bergesekan mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona subduksi jika salah satu lempeng bergerak di bawah yang lain, atau pertemuan benua (continental collision) jika kedua lempeng mengandung kerak benua. Palung laut yang dalam biasanya berada di zona subduksi, dimana potongan lempeng yang terhunjam mengandung banyak bersifat hidrat (mengandung air), sehingga kandungan air ini dilepaskan saat pemanasan terjadi bercampur dengan mantel dan menyebabkan pencairan sehingga menyebabkan aktivitas vulkanik. Contoh kasus ini di Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan busur Pulau Jepang. I.8.. Zona Subduksi Pulau Sumatra Pulau Sumatra merupakan salah satu pulau yang menempati tektonik lempeng bagian barat Indonesia. Pulau Sumatra bersama Pulau Jawa, Bali, Kalimantan dan barat-daya Sulawesi menempati Zona Paparan Sunda (Sunda Shelf) (Hamilton, 979). Pulau Sumatra memiliki beberapa zona subduksi yang terbentuk akibat penunjaman miring Lempeng Eurasia dengan Indo-Australia di sepanjang lepas pantai barat Pulau Sumatra (Prawirodirjo, dkk., 000). Akibat penunjaman miring ini pada Pulau Sumatra terdapat banyak zona subduksi, antara lain Patahan Sumatra, Patahan Batee, Patahan Segmen Mentawai, Patahan Andaman dan Sunda Megathrust (McCaffrey, 009). Gambar I.. menyajikan zona-zona subduksi tersebut. 9

10 Gambar I.. Zona subduksi pada Pulau Sumatra (McCaffrey, 009). Gambar I.. menunjukkan bahwa Pulau Sumatra memiliki beberapa zona subduksi yang tersebar di sepanjang wilayah daratan dan lepas pantainya. Pada lepas pantai Pulau Sumatra terdapat tiga zona subduksi yakni Mentawai Fault, Batee Fault, dan West-Andaman Fault. Mentawai Fault terletak memanjang sepanjang Kepulauan Mentawai (Siberut, Pagai, dan Sipora). Batee Fault terletak di lepas pantai Pulau Nias dan Simeulue, sedangkan West-Andaman Fault terletak sepanjang lepas pantai barat Aceh sampai kepulauan Nicobar. Adapun di daratan Pulau Sumatra terdapat zona Patahan Sumatra sepanjang 900 km membentuk komponen patahan lateral kanan (right-lateral fault) dari tumbukan lempeng Eurasia dan Indo-Australia (Sieh dan Natawidjaja, 000). Patahan Sumatra ini membentuk barisan gunung api yang aktif di sepanjang Pulau Sumatra bernama Bukit Barisan (McCaffrey, 009). Patahan Sumatra terdiri atas 9 segmen utama yang terbagi dalam tiga domain, yakni domain selatan, domain tengah, dan domain utara (Sieh dan Natawidjaja, 000). Pada domain selatan, terdiri atas segmen Semangko, Kumering, Manna, Musi, Ketaun dan Dikit. Pada domain tengah terdiri atas segmen Siulak, Suliti, Sumani, 0

11 Sianok, Sumpur, Barumun, Angkola dan Toru. Adapun pada domain utara terdiri atas segmen Renun, Tripa, Batee, Aceh dan Seulimeum. Masing-masing segmen pembentuk Patahan Sumatra ini telah terbentuk sejak beberapa abad silam akibat gempa tektonik dengan magnitude lebih dari 7,0 SR (Sieh dan Natawidjaja, 000). Gambar I.3. menyajikan beberapa kejadian gempa tektonik yang terjadi sepanjang Patahan Sumatra sejak 89 s.d Gempa yang terjadi pada wilayah ini pun masih berlanjut sampai saat sekarang ini. Menurut data kegempaan BMKG pada kurun waktu 00 s.d. 03 masih terjadi beberapa gempa tektonik sepanjang sesar ini terutama pada wilayah Banda Aceh, Bengkulu, dan Bandar Lampung. Pada kurun waktu tersebut, beberapa gempa tektonik bisa terjadi pada magnitud lebih dari 6,0 SR walaupun kadang episentrumnya terletak di lautan, meskipun juga ada yang di darat (BMKG, 03). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa potensi gempa tektonik pada Patahan Sumatra ini cukup besar, sehingga perlu pemantauan kontinyu. Keterangan : Zona Subduksi Zona Sesar Geser Gambar I.3. Kejadian gempa tektonik di sepanjang Patahan Sumatra (EOS, 0)

12 I.8.3. Teknik Pemantauan Lempeng Tektonik Pemantauan langsung terhadap lempeng tektonik merupakan hal yang sulit. Pendekatan pemantauan di permukaan bumi pada bed-rock telah banyak diterapkan untuk mewakili lempeng tektonik. Teknik pemantauan lempeng tektonik dengan teknik land-based surveying jarang dipakai karena keterbatasan dalam hal luas cakupan. Sejak periode 990, pemantauan lempeng tektonik berkembang dengan adanya teknologi space-based geodesy, teknik-teknik tersebut antara lain VLBI, SLR, dan GPS/GNSS ( VLBI atau Very Long Baseline Interferometry adalah pendekatan pemantauan dengan mengukur sedikit perbedaan waktu kedatangan sinyal radio alami yang dipancarkan dari bintang quasar terdeteksi oleh berbagai radio-teleskop. Metode ini dapat melakukan pengukuran selama beberapa tahun sehingga memungkinkan diketahuinya perubahan posisi relatif radio-teleskop. Pendekatan lain dalam pemantauan lempeng tektonik adalah dengan menggunakan satelit reflektif di orbit Bumi. Sistem Satellite Laser Ranging (SLR) memberikan pancaran singkat sinar laser yang dikirim ke satelit dari stasiun bumi dan dipantulkan kembali ke stasiun bumi. Pengukuran waktu perjalanan (dalam pico seconds) bisa menentukan jarak ke satelit dan pengukuran berulang untuk satu negara memungkinan untuk menentukan posisinya relatif terhadap konstelasi satelit reflektif. Dalam hal ini, kerangka acuan untuk mendeteksi gerakan lempeng aktif (waktu rata-rata selama beberapa tahun) adalah serangkaian orbit Bumi ( Pendekatan teknik pemantauan lempeng tektonik lainnya adalah dengan GPS/GNSS. GPS/GNSS memakai konstelasi satelit navigasi (minimal empat satelit) di luar angkasa untuk melakukan reseksi dengan persamaan jarak sehingga didapatkan posisi teliti di permukaan bumi. Pengukuran dengan GPS/GNSS pada satu titik relatif terhadap titik lainnya dalam kerangka waktu tertentu potensial dipakai untuk pemantauan lempeng tektonik. Teknik ini secara teknis lebih handal dibanding teknik VLBI dan SLR, teknik ini memiliki biaya lebih murah dan bisa diaplikasikan dimanapun area pengamatannya dengan mudah oleh operator yang bebas.

13 I.8.4. Global Navigation Satellite System (GNSS) Pengertian GNSS mengacu pada pengertian GPS, yakni merupakan sistem sistem navigasi berbasis satelit yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca, didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti dan juga informasi waktu, secara kontinyu di seluruh dunia (Wells, dkk., 986). Satelit GNSS yang saat ini aktif memberikan layanan penentuan posisi adalah GPS, GLONASS, dan GALILEO. GPS dikembangkan oleh Amerika Serikat sejak tahun 973, dan mulai digunakan untuk menyelesaikan persoalan geodesi sejak sekitar 983. Adapun GLONASS dikembangkan oleh Rusia sejak 970 dan diresmikan pada Februari 98. Beberapa GPS receiver (Topcon, Leica, dan Trimble) dapat menangkap kedua sinyal satelit GPS dan GLONASS secara simultan. Teknologi GNSS ini telah berkembang dan banyak diterapkan pada penentuan posisi teliti titik-titik dalam jaringan dari waktu ke waktu. Hal ini bermanfaat pada pemantauan deformasi suatu objek. GNSS telah diaplikasikan untuk pengamatan dinamika bumi (geodinamika) seperti pergerakan sesar, lempeng tektonik, yang selanjutnya dipakai untuk prediksi gempa bumi dan letusan gunung berapi (Abidin, 995). GNSS pun telah dikembangkan menjadi bentuk stasiun permanen dan secara kontinyu merekam data GNSS dan memberikan layanan data kepada pengguna, stasiun ini biasa disebut sebagai GNSS-CORS. I.8.5. GNSS-CORS Indonesia (Ina-CORS) CORS (Continuously Operating Reference Station) adalah suatu teknologi berbasis GNSS yang berwujud sebagai suatu jaring kerangka geodetik. Pada setiap titik CORS ini dilengkapi dengan receiver yang mampu menangkap sinyal dari satelit-satelit GNSS. Stasiun CORS beroperasi secara penuh dan kontinyu selama 4 jam perhari, 7 hari per minggu untuk mengumpukan, merekam, mengirim data pengamatan GNSS, dan memungkinkan para pengguna memanfaatkan data dalam penentuan posisi, baik secara post-processing maupun secara real time. Di Indonesia stasiun permanen CORS dikelola oleh BIG dan diberi nama Ina- CORS. Jumlah Ina-CORS yang telah dioperasikan adalah sebanyak 4 stasiun terdiri atas 0 yang didanai dengan APBN, 9 stasiun didanai oleh kerjasama Indonesia dengan Jerman (program Ina-TEWS), dan tiga stasiun didanai dari Delft University of Technology 3

14 (TU Delft) di Palu, Watau dan Toboli (Sulawesi) (Aditiya, dkk., 04). Lokasi stasiun CORS ini ditempatkan tersebar di seluruh Indonesia pada beberapa pulau utama yakni Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, Maluku dan Papua. I.8.6. Penentuan Posisi Relatif dengan Pengamatan GNSS-CORS Penentuan posisi relatif dengan GNSS-CORS ini pada dasarnya sama dengan penentuan posisi relatif dengan pengamatan receiver GNSS pada umumnya. Pada penentuan posisi dengan metode relatif, posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Penentuan posisi relatif melibatkan setidaknya dua receiver GNSS, titik-titik stasiunnya statik (tidak bergerak) maupun bergerak (kinematik), dan pengolahan data umunya dilakukan secara post-processing untuk memperoleh ketelitian yang lebih tinggi (Abidin, 003). Ilustrasi penentuan posisi secara relatif statik dengan GNSS di atas model bumi elipsoid ditunjukkan pada Gambar I.4. berikut ini : Gambar I.4. Ilutrasi penentuan posisi secara relatif statik dengan GNSS 4

15 Dalam hal ini, {X (+), Y(+), Z(+)} SKL : salib sumbu sistem koordinat langit 3D {X (+), Y(+), Z(+)} SKO : salib sumbu sistem koordinat orbit 3D {X (+), Y(+), Z(+)} SKT : salib sumbu sistem koordinat terestrial 3D (SV) i : satellite vehicle ke-i Titik A dan B : posisi receiver di permukaan bumi (φ, λ, h) : lintang, bujur, dan tinggi geodetik mengacu pada elipsoid WGS 84 (X, Y, Z) A,B : koordinat kartesian 3D titik A dan B N : jari-jari kelengkungan vertikal utama O : origin yang berhimpit dengan pusat massa bumi Ω : asensio rekta dari ascending node ω : argument of perigee a : setengah sumbu panjang bidang orbit i : inklinasi bidang orbit AN : titik ascending node DN : titik descending node Dalam hal ini elipsoid yang dipakai adalah WGS 84, pendefinisian parameternya sebagai berikut (Sunantyo, 000) : Setengah sumbu panjang (a) = ± m Penggepengan (f) = /98, Setengah sumbu pendek (b) = ,34 m Konstanta gravitasi bumi (GM) = ,5 x 0 8 m 3 /detik Gambar I.4 menunjukkan adanya multi-receiver (minimal dua receiver) yang mengamat dua satelit GNSS secara simultan (waktu pengamatan sama). Pada proses penentuan posisi secara relatif statik ini biasanya dilakukan pengurangan data yang diamati oleh lebih dari dua receiver tersebut untuk memperoleh posisi yang lebih teliti. Hal ini karena pengurangan (differencing) ini bisa mereduksi atau mengeliminasi efek kesalahan dan bias. Kesalahan jam receiver dan jam satelit dapat dihilangkan, sedangkan kesalahan dan bias troposfer, ionosfer, dan efemeris dapat direduksi, sedangkan efek multipath tidak dapat direduksi (Abidin, 995). Proses 5

16 differencing terbagi menjadi tiga metode, yakni metode single differencing, double differencing, dan triple differencing. I Single differencing. Pada metode ini dua data pengamatan one-way dikurangkan menjadi satu data pengamatan single differencing. Satu pengamatan one-way didefinisikan pada persamaan I. dan I. berikut (Abidin, 995) : Pi = ρ + dρ + d trop + d ion + (dt dt) + MPi + vpi...(i.) Li = ρ + dρ + d trop + d ion + (dt dt) + λ.ni + MCi + vci...(i.) Dalam hal ini, P i Li ρ dρ d trop d ion dt dt : data ukuran pseudorange pada frekuensi ke-i : data ukuran fase pada frekuensi ke-i : jarak geometrik satelit ke pengamat : efek kesalahan orbit satelit : kesalahan troposphere : kesalahan ionosphere : kesalahan jam receiver : kesalahan jam satelit MP i vp i λ N MC i vc i : efek multipath pada data pengamatan pseudorange P i : noise pada data pengamatan pseudorange P i : panjang gelombang sinyal GNSS : ambiguitas fase : efek multipath pada data fase L i : noise pada pada data fase L i Berdasarkan cara pengurangannya, single differencing terbagi menjadi tiga yakni antar satelit ( ), antar pengamat ( ), dan antar kala (δ). Teknik single differencing antar satelit dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat satu pengamat, dua satelit, dan satu kala. Persamaan single differencing antar satelit ditunjukkan pada persamaan I.3 dan I.4. P = ρ + dρ + d trop + d ion dt + MP + vp...(i.3) L = ρ + dρ + d trop d ion dt + λ. N + MC + vc..(i.4) Berdasarkan persamaan I.3 dan I.4, teknik single differencing antar satelit dapat 6

17 mengeliminasi kesalahan jam satelit dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer. Teknik single differencing antar pengamat dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat dua pengamat, satu satelit, dan satu kala. Persamaan single differencing antar pengamat ditunjukkan pada persamaan I.5 dan I.6. P = ρ + dρ + d trop + d ion + dt + MP + vp...(i.5) L = ρ + dρ + d trop d ion + dt + λ. N + MC + vc.(i.6) Berdasarkan persamaan I.5 dan I.6, teknik single differencing antar pengamat dapat mengeliminasi kesalahan jam satelit dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer dengan catatan kondisi meteorologis pada kedua pengamat relatif sama. Teknik single differencing antar kala dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat satu pengamat, satu satelit, dan dua kala. Persamaan single differencing antar pengamat ditunjukkan pada persamaan I.7 dan I.8. δp = δρ + δdρ + δd trop + δd ion + δdt δdt + δmp + δvp...(i.7) δl = δρ + δdρ + δd trop δd ion + δdt δdt + δmc + δvc...(i.8) Berdasarkan persamaan I.7 dan I.8, teknik single differencing antar kala dapat mengeliminasi kesalahan ambiguitas fase, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer tergantung pada besarnya selang waktu antar kala. I Double differencing. Pada metode ini dua data pengamatan single differencing dikurangkan menjadi satu data pengamatan double differencing. Berdasarkan cara pengurangannya, dikenal menjadi tiga jenis double differencing, yakni pengamat-satelit ( ), satelit-kala ( δ), dan pengamat-kala ( δ). Teknik double differencing antara pengamat dan satelit dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat dua pengamat, dua satelit, dan satu kala. Persamaan double differencing antara pengamat dan satelit ditunjukkan pada persamaan I.9 dan I.0. P = ρ + dρ + d trop + d ion + MP + vp...(i.9) L = ρ + dρ + d trop d ion + λ. N + MC + vc...(i.0) Berdasarkan persamaan I.9 dan I.0, teknik double differencing antara pengamatsatelit dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver dan jam satelit, mereduksi kesalahan orbit dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer dengan catatan kondisi meteorologis kedua pengamat relatif sama. 7

18 Teknik double differencing antara satelit dan kala dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat satu pengamat, dua satelit, dan dua kala. Persamaan double differencing antara satelit dan kala ditunjukkan pada persamaan I. dan I.. P = ρ + dρ + d trop + d ion + dt + MP + vp...(i.) L = ρ + dρ + d trop d ion + dt + MC + vc...(i.) Berdasarkan persamaan I. dan I., teknik double differencing antara satelit dan kala dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver, mengeliminasi ambiguitas fase dengan catatan tidak ada cycle slips, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer tergantung besarnya selang waktu antar kala. Teknik double differencing antara pengamat dan kala dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat dua pengamat, satu satelit, dan dua kala. Persamaan double differencing antara satelit dan kala ditunjukkan pada persamaan I.3 dan I.4. P = ρ + dρ + d trop + d ion + dt + MP + vp...(i.3) L = ρ + dρ + d trop d ion + dt + MC + vc...(i.4) Berdasarkan persamaan I.3 dan I.4, teknik double differencing antara pengamat dan kala dapat mengeliminasi kesalahan jam satelit, mengeliminasi ambiguitas fase dengan catatan tidak ada cycle slips, mereduksi kesalahan orbit, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer. I Triple differencing. Pada metode ini dua data pengamatan double differencing dikurangkan menjadi satu data pengamatan triple differencing. Dalam hal ini delapan data one-way dikurangkan menjadi satu pengamatan triple differencing. Berdasarkan cara pengurangannya, dikenal menjadi satu jenis triple differencing, yakni pengamat-satelit-kala ( δ). Teknik triple differencing antara pengamat, satelit, dan kala dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat dua pengamat, dua satelit, dan dua kala. Persamaan triple differencing antara pengamat, satelit, dan kala ditunjukkan pada persamaan I.5 dan I.6. δp = δρ + δdρ + δd trop + δd ion + δmp + δvp...(i.5) δl = δρ + δdρ + δd trop δd ion + δmc + δvc...(i.6) Berdasarkan persamaan I.5 dan I.6, teknik triple differencing antara pengamat, satelit, dan kala dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver dan jam satelit, mengeliminasi ambiguitas fase dengan catatan tidak ada cycle slips, mereduksi 8

19 kesalahan orbit, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer. Teknik ini sering dipakai untuk mengedit cycle slips secara otomatis. I.8.7. Pengolahan Data Pengamatan GNSS-CORS dengan GAMIT/GLOBK GAMIT/GLOBK adalah sebuah paket perangkat lunak komprehensif untuk analisis data GPS yang dikembangkan oleh Masshachusstes Institute of Technology (MIT), Harvard-Simthsonian Center for Astrophysics (CfA) dan Scripps Institution of Oceanography (SIO). GAMIT/GLOBK terdiri dari dua program utama, yakni GAMIT dan GLOBK. GAMIT adalah singkatan dari GPS Analysis of Masshachusstes Institute of Technology. GAMIT adalah program yang memasukkan algorithma hitung kuadrat terkecil metode parameter berbobot untuk mengestimasi posisi relatif dari sekumpulan stasiun, parameter orbit dan rotasi bumi, zenith delay dan ambiguitas fase melalui pengamatan double difference (Anonim, 000). Perangkat lunak ini didesain untuk running dalam sistem operasi berbasis UNIX. Perangkat lunak ini melibatkan bahasa Fortran atau C untuk proses compile di direktori /libraries, /gamit dan /kf. Pada perkembangan terakhir, GAMIT menjadi perangkat lunak ilmiah fully automatic processing pada pertengahan 990 yang menyertakan data stasiun-stasiun kontinyu di seluruh dunia diantaranya IGS (Anonim, 000). GLOBK adalah paket program yang menerapkan algorithma Kalman Filtering untuk mengkombinasikan hasil pemrosesan data survei terestris ataupun data survei ekstra terestris, sehingga dapat menghasilkan koordinat posisi stasiun dan kecepatannya. Kunci dari data input pada GLOBK adalah matriks kovarian dari data koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit, dan koordinat hasil pengamatan lapangan (Herring, dkk., 006). Sebagai file input digunakan H-Files hasil pengolahan dengan GAMIT. Namun selain hasil pengolahan GAMIT, GLOBK juga dapat menerima input file hasil pengolahan dari perangkat lunak ilmiah lain, misal : GIPSY dan Bernesse (Herring, dkk., 006). Terdapat tiga moda aplikasi yang dapat dijalankan dengan menggunakan GLOBK, yaitu : a. Mengkombinasikan hasil pengolahan individual (misal: harian) untuk menghasilkan koordinat stasiun rata-rata dari pengamatan yang dilakukan lebih dari satu hari (multidays); 9

20 b. Mengkombinasikan hasil pengamatan selama bertahun-tahun untuk menghasilkan koordinat stasiun; c. Melakukan estimasi koordinat stasiun dari pengamatan individual, yang digunakan untuk menggeneralisasikan data runut waktu (time series) dari pengamatan teliti harian atau tahunan. I Perataan Jaring dengan GAMIT. Pengolahan data GNSS menggunakan perataan jaring GPS dengan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter berbobot (weighted constraint) kemudian dilanjutkan dengan Kalman Filtering untuk mendapatkan nilai estimasi koordinat stasiun. Metode hitung perataan parameter berbobot ini diterapkan pada perangkat lunak GAMIT. Metode hitungan ini memakai data pseudorange dan carrier phase dan juga memakai metode diferensial double differencing atau triple differencing. Dalam hal ini, metode double difference pengamat-satelit pada sub-bab I.8.6. dipakai sebagai persamaan observasi. Pada kondisi pengamatan double difference pengamat-satelit, terdapat dua receiver pada stasiun A dan B, dengan vektor kordinat stasiun A dan B dinyatakan sebagai (X A, Y A, Z A ) dan (X B, Y B, Z B ), stasiun A ditentukan koordinatnya. Untuk persamaan double difference, pengamatan dilakukan terhadap empat satelit yaitu i,j,k,dan l, sehingga didapatkan 8 persamaan jarak ρ i A,ρ j A,ρ k A,ρ l A,ρ i B,ρ j B,ρ k B, dan ρ l B yang secara umum mengikuti persamaan umum yang disajikan pada persamaan I.7 berikut (Rizos, 997) : ρ A i = [X i (t) X A ] + [Y i (t) Y A ] +[Z i (t) Z A ]... (I.7) Dalam hal ini, i : notasi untuk satelit ke-n A : notasi untuk stasiun ke-m Nilai pendekatan bagi koordinat stasiun A ditetapkan sebagai (X A0,Y A0, Z A0 ), sehingga persamaan koreksi stasiun A berubah menjadi persamaan I.8 s.d. I.0 berikut ini. X A = X A0 + dx A... (I.8) Y A = Y A0 + dy A... (I.9) Z A = Z A0 + dz A... (I.0) Dalam menyelesaikan persamaan I.7, maka dilakukan proses linierisasi dengan deret Taylor, sehingga mengasilkan delapan persamaan linierisasi bagi jarak ρ i A (t), 0

21 ρ A j (t), ρ A k (t), ρ A l (t), ρ B i (t), ρ B j (t), ρ B k (t),dan persamaan I. berikut : ρ B l (t) yang secara umum mengikuti ρ A i (t) = ρ A i0 + cx i (t). dx A + cy i (t). dy A + cz i (t). dz A... (I.) Dalam hal ini, i i0 A cx cy cz : notasi untuk satelit ke-n : notasi nilai pendekatan jarak antara satelit ke-n dengan stasiun ke-m : notasi untuk stasiun ke-m : differensial parsial persamaan terhadap dx : differensial parsial persamaan terhadap dy : differensial parsial persamaan terhadap dz Pembentukan matriks bobot pengamatan sendiri mengacu pada penurunan rumus bobot pengamatan carrier phase secara double difference oleh Popovas dan Radzeviviute (00). Dalam hal ini, dibentuk tiga persamaan double difference dengan stasiun A sebagai stasiun acuan dan satelit i sebagai satelit acuan dalam proses double difference. Tiga persamaan tersebut ditunjukkan pada persaman I. s.d. I.4 berikut (Popovas dan Radzeviviute, 00) : L ij AB (t) = ρ j B (t) ρ j A (t) ρ i B (t) + ρ i A (t)...(i.) L ik AB (t) = ρ k B (t) ρ k A (t) ρ i B (t) + ρ i A (t)...(i.3) il L AB (t) = ρ l B (t) ρ l A (t) ρ i B (t) + ρ i A (t)...(i.4) Berdasarkan persamaan I. s.d. I.4, kemudian dibentuk matriks desain seperti ditunjukkan persamaan I.5 s.d. I.7 berikut : 0 C = [ ]... (I.5) 0 ρ = [ρ A i (t) ρ A j (t) ρ A k (t) ρ A l (t) ρ B i (t) ρ B j (t) ρ B k (t) ρ B l (t)] T... (I.6) L ij AB (t) DD = [ L ik AB (t)]... (I.7) il L AB (t) Dalam hal ini, C : matriks desain double difference

22 ρ : matriks yang berisi besaran jarak DD : matriks yang berisi besaran double difference Matriks kovarian mengikuti persamaan cov(dd) = Ccov(ρ)C T. Selanjutnya persamaan tersebut disederhanakan menjadi cov(dd) = σ CC T, karena adanya fase yang tidak berkorelasi. Matriks CC T I.8 berikut : yang dihasilkan ditunjukkan pada persamaan 4 CC T = [ 4 ]... (I.8) 4 Adapun matriks bobot pengamatan (P ) dirumuskan sebagai inverse dari matriks CC T, yakni P = (CC T ), sehingga matriks bobotnya seperti disajikan pada persamaan I.9 berikut : 3 P = [ 3 ]... (I.9) 8 3 Faktor ambiguitas pada fase (N ij AB ) dan faktor noise (rc ij AB ) pada pengukuran jarak kemudian ditambahkan pada persamaan I. s.d. I.4, sehingga diperoleh persamaan I.30 s.d. I.3 berikut ini : L ij AB (t) + rc ij AB (t) = ρ j B (t) ρ j A (t) ρ i B (t) + ρ i A (t) λ. N ij AB... (I.30) L ik AB (t) + rc ik AB (t) = ρ k B (t) ρ k A (t) ρ i B (t) + ρ i A (t) λ. N ik AB...(I.3) il L AB (t) + rc il AB (t) = ρ l B (t) ρ l A (t) ρ i B (t) + ρ i A (t) λ. N il AB... (I.3) Selanjutnya dengan menggunakan penyelesaian double differencing dihasilkan persamaan I.33 s.d. I.35 berikut : L ij AB (t) + rc ij ij AB (t) = ρ 0 AB (t) cx ij (t). dx A + cy ij (t). dy A + cz ij ij (t). dz A λ. N AB... (I.33) L ik AB (t) + rc ik ik AB (t) = ρ 0 AB (t) cx ik (t). dx A + cy ik (t). dy A + cz ik ik (t). dz A λ. N AB... (I.34) il L AB (t) + rc il AB (t) il = ρ 0 AB (t) cx il (t). dx A + cy il (t). dy A + cz il il (t). dz A λ. N AB... (I.35) Dalam hal ini, cx A nm (t) = + Xm (t) X A ρ A m (t) Xn (t) X A ρ A n (t) ; n, m = satelit ke n, m

23 cy A nm (t) = + Ym (t) Y A ρ A m (t) cz A nm (t) = + Zm (t) Z A ρ A m (t) Yn (t) Y A ρ A n (t) Zn (t) Z A ρ A n (t) ; n, m = satelit ke n, m ; n, m = satelit ke n, m Persamaan double difference antara pengamat dan satelit pada persamaan I.33 s.d. I.35 ini menggunakan data beda fase. Selanjutnya, dilakukan hitung kuadrat terkecil metode parameter berbobot untuk mendapatkan posisi pengamat A. Hitung perataan metode berbobot melibatkan parameter yang juga dianggap sebagai ukuran karena memiliki kesalahan. Bobot dalam metode ini terdiri atas dua, yakni bobot ukuran data fase dan bobot parameter yang berisi /varian komponen koordinat. Dalam metode ini dikenal dua jenis persamaan pengukuran L a = F (x a ) dan L a = F (x a ). Persamaan pengukuran L a = F (x a ) merupakan persamaan yang mengandung suatu parameter yang sudah diketahui/diukur sebelumnya, misalnya pada x a sebelumnya telah dilakukan pengukuran GPS dengan menghasilkan koordinat (X A, Y A, Z A ) dan ketelitiannya. Oleh karena bentuk A merupakan bentuk yang linier sehingga persamaan menjadi L a = x a. Adapun L a = F (x a ) adalah persamaan yang mengandung ukuran murni, dalam hal ini adalah data fase. Model non-linier dari persamaan metode parameter berbobot disajikan pada persamaan I.36 dan I.37 (Soeta at, 996) : L a = F (x a )... (I.36) L a = x a... (I.37) Adapun bentuk liniernya disajikan pada persamaan I.38 berikut : V A x L (I.38) V A x L Model stokastik ditunjukkan oleh matriks bobot P dan P, dan dengan pemilihan elemen A dan P yang tepat, maka bisa diperoleh solusi yang dinginkan. Fungsi F merupakan fungsi linier, sehingga A = I, ini yang disebut parameter berbobot. Selanjutnya, persamaan I.37 berubah menjadi persamaan I.39 berikut : L L L a b x x x 0 a b x b... (I.39) 3

24 4 Dalam hal ini, x 0 = pendekatan dan x b = pengukuran. Pada awalnya, x 0 diberi nilai sama dengan x b, kemudian selama iterasi x 0 menjadi konvergen ke solusi akhir, sedang x b tetap tidak berubah. Matriks A, V, L, dan P didefinisikan seperti persamaan I.40 : A A A V V V L L L 0 P P 0 P... (I.40) Hasil pendefinisian pada persamaan I.40 mengubah persamaan I.38 menjadi persamaan I.4 berikut : L L x A A V V... (I.4) Dalam mengestimasi nilai parameter x, dilakukan dengan prinsip inversi matriks pada persamaan I.38 dengan menambahkan matriks bobot P, sehingga persamaan untuk memperoleh parameter ditunjukkan pada persamaan I.4 dan I.43 berikut: L AP PA A x T T ˆ... (I.4) x L L P P A A A A P P A A T T T T... (I.43) Seperti disebutkan sebelumnya bahwa A = I, sehingga persamaan untuk mengestimasi nilai parameter berubah menjadi persamaan I.44 berikut : ˆ L P L P A P A P A x T T (I.44) Matriks bobot P seperti yang dituliskan pada persamaan 3. Adapun P adalah matriks bobot yang dibentuk dari informasi ketelitian yang diwakili oleh varian (constraint) yang ada pada suatu koordinat stasiun yang dijadikan parameter. σxa σxa σxa Dengan demikian matriks A, L, A, L, dan x dapat disajikan pada persamaan I.46 s.d. I.49 berikut : P =... (I.45)

25 cx ij (t) cy ij (t) cz ij (t) A = [ cx ik (t) cy ik (t) cz ik (t) cx il (t) cy ik (t) cz il (t) λ λ 0 ]...(I.46) 0 λ L ij ij AB (t) ρ 0 AB (t) L = [ L ik ik AB (t) ρ 0 AB (t) il il L AB (t) ρ 0 AB (t) ]... (I.47) x = [ dx A dy A dz A ij N AB ik N AB il ] N AB... (I.48) X 0 X A Y L = [ 0 Y A ]... (I.49) Z 0 Z A 0 Dalam hal ini, V P A x nm ρ 0 AB (t) L ij AB (t) nm N AB : Matriks residu : Matriks bobot : Matriks desain : Matriks parameter : Jarak satelit-pengamat pendekatan ; n, m = satelit ke n, m : Matriks ukuran : Nilai ambiguitas fase integer (bulat) yang belum diketahui Penyelesaian hitungan untuk memperoleh nilai parameter pada matriks x adalah dengan persamaan I.44. Hasil pengolahan data pengamatan menggunakan GAMIT berupa solusi bias-fixed dan bias-free. Solusi ini didapatkan dari perhitungan double difference data beda fase yang dilakukan dua kali, yaitu dengan ambiguity-fixed dan ambiguity-float. Hasil hitungan parameter ini disimpan pada H-Files. Pengolahan ini disebut juga sebagai pengolahan secara loosely constraint. Dalam mendapatkan koordinat akhir, maka solusi loosely constraint GAMIT ini diikatkan pada kerangka ITRF dalam GLOBK. 5

26 I Perataan jaring berbasis Kalman Filtering pada modul GLOBK. GLOBK merupakan proses Kalman Filtering untuk mengkombinasikan solusi-solusi hasil pengolahan data primer hasil pengamatan terestris maupun ekstra-terestris (space geodesy). Kalman Filtering adalah suatu metode estimasi parameter dengan kuadrat terkecil yang mampu menyelesaikan masalah terkait waktu. Kunci dari metode ini adalah updating. Proses ini merupakan proses dimana jika terdapat pengamatan baru pada titik-titik yang sama, maka pengamatan baru tersebut akan mengubah estimasi parameter hasil hitungan perataan yang sudah dilakukan. Perubahan tersebut dihitung untuk memperoleh estimasi parameter yang baru. Nilai estimasi yang baru tersebut bisa dinyatakan dalam bentuk persamaan I.50 berikut (Strang and Borre, 997) : x new = Lx old + Kb new... (I.50) Kunci dari metode Kalman Filtering ada empat butir, yaitu :. Prosesnya bersifat rekursif, artinya pengamatan yang lama tidak disimpan sebagai b old, karena sudah digunakan pada estimasi x old. Persamaan I.50 dapat diturunkan menjadi persamaan baru yang ekivalen dengan memisahkan nilai prediksi dan koreksi seperti pada persamaan I.5 berikut : x new = x old + K(b new A new x old )... (I.5) Berdasarkan persamaan, dapat diketahui bahwa pengukuran prediksi A new x old dapat diperoleh dari estimasi parameter x old, sedangkan koreksi x adalah besarnya nilai K(b new Ax old ). 3. Proses updating matriks kovarian P. Matriks kovarian P adalah matriks kovarian kesalahan dari parameter estimasi x (P = (A T e A) ). Matriks P dinyatakan sebagai nilai statistik x berdasarkan nilai b. Matriks P atau matriks kovarian kesalahan dari parameter x ini yang dilakukan updating, apabila ada penambahan pengukuran b new dengan kesalahan pengukuran Σ e, new, sehingga P new bisa disajikan seperti pada persamaan I.5 berikut: P new = (I KA)P old (I KA) T + K e,new K T... (I.5) 4. Pada butir,, 3 masih menggambarkan problem kuadrat terkecil yang bersifat statis, sedangkan dengan Kalman Filtering kuadrat terkecil dipakai 6

27 untuk problem dinamis. Sebagai contoh, pada penentuan posisi GPS, posisi saat k (x k ) belum tentu sama dengan posisi saat k- (x k- ) yang memiliki kesalahan sebesar ε k seperti ditunjukkan pada persamaan I.53 berikut : x k = F k x k + ε k... (I.53) Adapun persamaan pengukuran yang baru dengan masukan kondisi baru x k dan pengukuran baru b k, serta kesalahan e k seperti ditunjukkan pada persamaan I.54 berikut : b k = A k x k + e k... (I.54) Persamaan I.5 s.d. I.54 menunjukkan bahwa proses updating terdiri atas dua tahap yaitu prediksi dan koreksi. Konsep-konsep metode Kalman Filtering inilah yang dipakai dalam proses pengolahan dengan modul GLOBK. Dalam modul GLOBK sendiri terdapat tiga program utama, yaitu GLRED, GLORG, dan GLOBK. GLOBK mengkombinasikan data pengolahan harian GAMIT untuk mendapatkan estimasi posisi rata-rata titik pengamatan. Pengikatan titik-titik pengamatan terhadap titik-titik referensi dilakukan dengan GLORG, GLRED hampir sama dengan GLOBK, bedanya GLRED memperlakukan H-Files dari masingmasing hari secara terpisah, sehingga ketelitian posisi yang diperoleh dapat digabungkan per waktu tertentu (Herring, dkk., 006). I Evaluasi hasil pengolahan dengan GAMIT. Evaluasi hasil pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak GAMIT dapat dilakukan dengan memperhatikan dua parameter evaluasi GAMIT, yaitu nilai postfit nrms dan nilai fract (Herring, 00).. Postfit nrms (normalized root mean square). Nilai postfit nrms ditentukan dengan persamaan I.55 : Postfit nrms = x (n u) = chi square degree of freedom... (I.55) Dengan nilai x = o... (I.56) θo Dalam hal ini, o : varian apriori untuk unit bobot θo : varian aposteori untuk unit bobot 7

28 n u : jumlah ukuran : ukuran minimum Berdasarkan persamaan.55 dan I.56 dapat diketahui bahwa nilai nrms adalah akar dari perbandingan antara varian aposteori dan varian apriori untuk unit bobot tertentu. Standar kualitas nilai postfit nrms pada GAMIT adalah berkisar ± 0,5, jika nilainya lebih besar dari 0,5, maka masih terdapat cycle slips yang belum dihilangkan atau berkaitan dengan parameter bias ekstra ataupun bisa juga karena terdapat kesalahan dalam melakukan pemodelan (Anonim, 000).. Fract. Fract merupakan hasil perbandingan antara nilai adjust dan nilai formal. Nilai fract dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah ada nilai adjust yang janggal dan perlu tidaknya diberikan iterasi untuk mendapatkan nilai adjust yang bebas dari efek non-linear. Nilai adjust menunjukkan besarnya perataan yang diberikan terhadap parameter yang digunakan dalam perhitungan. Nilai formal disebut juga nilai formal error. Nilai formal menunjukkan ketidakpastian pada pemberian data bobot untuk perhitungan kuadrat terkecil. Sesuai standar GAMIT, besarnya nilai fract tidak boleh lebih dari 0 (fract < 0) (Herring, dkk., 006). Nilai fract diperoleh dari persamaan I.57. fract = adjust... (I.57) formal I Evaluasi hasil pengolahan dengan GLOBK. Hasil pengolahan pada GLOBK dapat dievaluasi melalui log file yang berisi nilai simpangan baku yang dapat digunakan untuk menganalisis koordinat stasiun observasi dan nilai chi-square per degree of freedom. Selain itu, dilakukan pula analisis pada plot time series untuk mengetahui outliers yang terjadi dan konsistensi data harian. Nilai wrms juga digunakan untuk mengevaluasi hasil dari pengolahan GLOBK. Menurut Panuntun (0), nilai wrms yang baik adalah di bawah 0 mm. I.8.8. Perhitungan Kecepatan Pergeseran Stasiun Besar kecepatan pergeseran stasiun GNSS dihitung menggunakan prinsip Kalman Filtering dalam GLOBK pada sub-bab I.8.7. dengan persamaan I.58 berikut (Panuntun, 0) : X ti = X t0 + (ti t0)v... (I.58) 8

29 Dalam hal ini, X ti X t0 v : koordinat stasiun pengamatan pada epok ti : koordinat stasiun pengamatan pada eopk t0 : kecepatan pergerseran stasiun Resultan vektor pergeseran stasiun selanjutnya dihitung dengan persamaan I.59 : V R = V N + V E... (I.59) Dalam hal ini, V R V N V E : resultan kecepatan pergeseran stasiun : kecepatan pergeseran stasiun pada komponen North : kecepatan pergeseran stasiun pada komponen East Adapun arah vektor pergeseran stasiun selanjutnya dihitung dengan persamaan I.60 : α = tan v e v n... (I.60) Dalam hal ini, α I.8.9. Analisis Regangan 3D : arah vektor pergeseran horizontal stasiun.8.9. Konsep Regangan. Istilah regangan terkait dengan istilah tegangan, pergeseran, dan perubahan bentuk. Sebuah gaya tegangan (stress) yang bekerja pada sebuah benda menyebabkan terjadinya perubahan panjang dan arah relatif (regangan/strain), kemudian kumpulan regangan pada benda menyebabkan terjadinya perubahan posisi (pergeseran/displacement), sebagai hasil dari perubahan posisi ini adalah terjadinya perubahan ukuran dan bentuk pada suatu benda (size and shape changes). Regangan adalah deformasi yang terjadi per unit panjang suatu materi (Widjajanti, 997). Regangan digambarkan dalam bentuk tensor, yakni suatu vektor yang mempertimbangkan kerangka waktu. Regangan terdiri atas dua jenis, yakni regangan normal (e) dan regangan geser (γ). Regangan normal (extensional strain) adalah perubahan ukuran panjang (penambahan panjang) benda sepanjang arah yang spesifik (searah sumbu benda). Sedangkan regangan geser adalah perubahan sudut antara dua arah yang spesifik (Sadd, 005). Regangan geser ini menyebabkan deformasi sudut/dilatasi. Berikut disajikan regangan normal (Gambar.5) dan 9

30 regangan geser (Gambar.6 dan.7). Kubus biru : Ilustrasi bentuk materi mula-mula Kubus garis putus-putus warna jingga : Ilustrasi perubahan bentuk materi mula-mula karena terkena suatu gaya Gambar I.5. Ilustrasi regangan normal pada ruang 3D Pada Gambar I.5 diketahui bahwa suatu materi mula-mula berbentuk kubus (warna biru) kemudian karena bekerja suatu gaya sehingga bertambah volumenya (warna jingga). Panjang asal suatu materi dinyatakan dalam X dan Y, dengan masing-masing penambahan panjang dx dan dy. Apabila (u, v, w) merupakan komponen perpindahan dari sebuah titik A pada arah masing-masing sumbu X, Y, dan Z yang melewati suatu titik lain, maka pertambahan panjang elemen AD pada sumbu X dinyatakan dalam satuan penambahan panjang (δu/δx) dan dapat dinyatakan dalam persamaan I.6 : e xx = (A D AD) AD = ((X+dx) X) X = δu δx... (I.6) Dengan cara yang sama, satuan perpanjangan AB dalam sumbu Y dinyatakan dalam persamaan I.6 : e yy = (A B AB) AB = ((Y+dy) Y) Y = δv... (I.6) δy Jika terdapat satu elemen pada sumbu Z, maka perpanjangan titik A searah sumbu Z diperoleh persamaan I.63 : e zz = (A E AE) AE Satuan = ((Z+dz) Z) Z = δw... (I.63) δz perpanjangan e xx, e yy, e zz disebut dengan parameter regangan normal. Masing-masing parameter tersebut dinyatakan dalam perbandingan perubahan panjang terhadap panjang aslinya (Widjajanti, 997). Dalam meninjau kejadian 30

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BB I PENDHULUN I.1. Latar Belakang Sumatera merupakan salah satu pulau di Indonesia dengan dinamika bumi yang tinggi. Hal ini disebabkan di wilayah ini terdapat pertemuan dua lempeng tektonik yaitu Lempeng

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengecekan Kualitas Data Observasi Dengan TEQC Kualitas dari data observasi dapat ditunjukkan dengan melihat besar kecilnya nilai moving average dari multipath untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. tatanan tektonik yang kompleks. Pada bagian barat Indonesia terdapat subduksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. tatanan tektonik yang kompleks. Pada bagian barat Indonesia terdapat subduksi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar yakni lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar yakni lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS 2.1 Definisi Gempa Bumi Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran pada kerak bumi yang terjadi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba. Gempa bumi, dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Cuplikan data kegempaan wilayah Sumatera bagian utara tahun 2011 (BMKG, 2015)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Cuplikan data kegempaan wilayah Sumatera bagian utara tahun 2011 (BMKG, 2015) 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau yang mempunyai aktifitas geodinamika yang cukup tinggi di Indonesia. Aktifitas geodinamika yang tinggi di Indonesia disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kepulauan Sangihe merupakan pulau yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yaitu Philippine sea plate, Carolin plate dan Pacific plate. Pertemuan tiga lempeng

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH

MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH Oleh Abdi Jihad dan Vrieslend Haris Banyunegoro PMG Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh disampaikan dalam Workshop II Tsunami Drill Aceh 2017 Ditinjau

Lebih terperinci

Bab III Kondisi Seismotektonik Wilayah Sumatera

Bab III Kondisi Seismotektonik Wilayah Sumatera Bab III Kondisi Seismotektonik Wilayah Sumatera III.1 Seismotektonik Indonesia Aktifitas kegempaan di Indonesia dipengaruhi oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan empat lempeng tektonik dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Candi Borobudur merupakan salah warisan dunia yang dimiliki oleh Indonesia. Tidak sedikit wisatawan mancanegara maupun wisatawan dalam negeri yang sengaja mengunjungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penentuan posisi/kedudukan di permukaan bumi dapat dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penentuan posisi/kedudukan di permukaan bumi dapat dilakukan dengan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penentuan posisi/kedudukan di permukaan bumi dapat dilakukan dengan metode terestris dan ekstra-terestris. Penentuan posisi dengan metode terestris dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Global Positioning System (GPS) 2.1.1 Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS GPS (Global Positioning System) merupakan sistem satelit navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kepulauan Sangihe merupakan kabupaten pemekaran yang berada di 244 km utara Manado ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Kabupaten Kepuluan Sangihe berada di antara dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada era yang semakin modern ini mengakibatkan pesatnya perkembangan teknologi. Salah satunya adalah teknologi untuk penentuan posisi, yaitu seperti Global Navigation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Australia dan lempeng Pasifik merupakan jenis lempeng samudera dan bersifat

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (Sumatran GPS Array)

Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (Sumatran GPS Array) Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (n GPS Array) Bima Pramudya Khawiendratama 1), Ira Mutiara Anjasmara 2), dan Meiriska Yusfania 3) Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TITIK IKAT GPS REGIONAL DALAM PENDEFINISIAN STASIUN AKTIF GMU1 YANG DIIKATKAN PADA ITRF Sri Rezki Artini ABSTRAK

PENGGUNAAN TITIK IKAT GPS REGIONAL DALAM PENDEFINISIAN STASIUN AKTIF GMU1 YANG DIIKATKAN PADA ITRF Sri Rezki Artini ABSTRAK PENGGUNAAN TITIK IKAT GPS REGIONAL DALAM PENDEFINISIAN STASIUN AKTIF GMU1 YANG DIIKATKAN PADA ITRF 2008 Sri Rezki Artini Staf pengajar Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Politeknik Negeri Sriwijaya Jalan.

Lebih terperinci

BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra

BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra 3.1 Data Catatan Sejarah Gempa Besar di Zona Subduksi Sumatra Data catatan sejarah gempa besar pada masa lalu yang pernah terjadi di suatu daerah

Lebih terperinci

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017 KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI 2016 15 DESEMBER 2017 Oleh ZULHAM. S, S.Tr 1, RILZA NUR AKBAR, ST 1, LORI AGUNG SATRIA, A.Md 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu wilayah yang memiliki aktivitas kegempaan yang sangat tinggi. Hal ini karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gempa bumi pada tahun 2006 yang terjadi di Yogyakarta mengindikasikan keberadaan Sesar Opak. Sesar Opak adalah sesar yang terletak di sekitar sebelah barat Sungai

Lebih terperinci

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST Oleh : Rahmat Triyono,ST,MSc Kepala Stasiun Geofisika Klas I Padang Panjang Email : rahmat.triyono@bmkg.go.id Sejak Gempabumi

Lebih terperinci

Analisa Pergeseran Titik Pengamatan GPS pada Gunung Merapi Periode Januari-Juli 2015

Analisa Pergeseran Titik Pengamatan GPS pada Gunung Merapi Periode Januari-Juli 2015 A389 Analisa Pergeseran Titik Pengamatan GPS pada Gunung Merapi Periode Januari-Juli 2015 Joko Purnomo, Ira Mutiara Anjasmara, dan Sulistiyani Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BABI PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tektonisme adalah proses yang terjadi akibat pergerakan, pengangkatan, lipatan dan patahan pada struktur tanah di suatu daerah. Yang di maksud lipatan adalah bentuk muka

Lebih terperinci

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS Satelit navigasi merupakan sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. Satelit dapat memberikan posisi suatu objek di muka bumi dengan akurat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumber energi minyak bumi dan gas alam mempunyai peranan penting dalam menunjang keberlangsungan berbagai aktifitas yang dilakukan manusia. Seiring perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BB I PENDHULUN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-ustralia, dan Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesar Cimandiri (gambar 1.1) merupakan sesar aktif yang berada di wilayah selatan Jawa Barat, tepatnya berada di Sukabumi selatan. Sesar Cimandiri memanjang dari Pelabuhan

Lebih terperinci

Analisa Kecepatan Pergeseran di Wilayah Jawa Tengah Bagian Selatan Menggunakan GPS- CORS Tahun

Analisa Kecepatan Pergeseran di Wilayah Jawa Tengah Bagian Selatan Menggunakan GPS- CORS Tahun Analisa Kecepatan Pergeseran di Wilayah Jawa Tengah Bagian Selatan Menggunakan GPS- CORS Tahun 2013-2015 Avrilina Luthfil Hadi 1), Ira Mutiara Anjasmara 2), dan Meiriska Yusfania 3) Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan.

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. 1.1 Apakah Gempa Itu? Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. Getaran tersebut disebabkan oleh pergerakan

Lebih terperinci

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

Estimasi Nilai Pergeseran Gempa Bumi Padang Tahun 2009 Menggunakan Data GPS SuGAr

Estimasi Nilai Pergeseran Gempa Bumi Padang Tahun 2009 Menggunakan Data GPS SuGAr C93 Estimasi Nilai Pergeseran Gempa Bumi Padang Tahun 2009 Menggunakan Data GPS SuGAr I Dewa Made Amertha Sanjiwani 1), Ira Mutiara Anjasmara 2), Meiriska Yusfania 3) Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Metode Real Time Point Precise Positioning (RT-PPP) merupakan teknologi

Lebih terperinci

BAB III DEFORMASI BERDASARKAN MODEL DISLOKASI DAN VEKTOR PERGESERAN GPS

BAB III DEFORMASI BERDASARKAN MODEL DISLOKASI DAN VEKTOR PERGESERAN GPS BAB III DEFORMASI BERDASARKAN MODEL DISLOKASI DAN VEKTOR PERGESERAN GPS III.1. Pengamatan Deformasi Akibat Gempabumi dengan GPS Deformasi akibat gempabumi nampak jelas mengubah bentuk suatu daerah yang

Lebih terperinci

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc www.pelagis.net 1 Materi Apa itu GPS? Prinsip dasar Penentuan Posisi dengan GPS Penggunaan GPS Sistem GPS Metoda Penentuan Posisi dengan GPS Sumber Kesalahan

Lebih terperinci

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) III. 1 GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Global Positioning System atau GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit [Abidin, 2007]. Nama

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014 Verifikasi TDT Orde 2 BPN dengan Stasiun CORS BPN-RI Kabupaten Grobogan Rizna Trinayana, Bambang Darmo Yuwono, L. M. Sabri *) Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengolahan Data Data GPS yang digunakan pada Tugas Akhir ini adalah hasil pengukuran secara kontinyu selama 2 bulan, yang dimulai sejak bulan Oktober 2006 sampai November 2006

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penetuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA IV.1 SOFTWARE BERNESE 5.0 Pengolahan data GPS High Rate dilakukan dengan menggunakan software ilmiah Bernese 5.0. Software Bernese dikembangkan oleh Astronomical Institute University

Lebih terperinci

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!!

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! 14 Mei 2011 1. Jawa Rawan Gempa: Dalam lima tahun terakhir IRIS mencatat lebih dari 300 gempa besar di Indonesia, 30 di antaranya terjadi di Jawa. Gempa Sukabumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan

Lebih terperinci

BAB II SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI

BAB II SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI BAB II SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI 2.1 Seismisitas Wilayah Indonesia Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan seismisitas

Lebih terperinci

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik.

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi merupakan peristiwa bergetarnya bumi karena pergeseran batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik. Pergerakan tiba-tiba

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi BAB II DASAR TEORI 2.1 Gunungapi Gunungapi terbentuk sejak jutaan tahun lalu hingga sekarang. Pengetahuan tentang gunungapi berawal dari perilaku manusia dan manusia purba yang mempunyai hubungan dekat

Lebih terperinci

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS Bayu Baskara ABSTRAK Bali merupakan salah satu daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami karena berada di wilayah pertemuan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Salah satu kegiatan eksplorasi seismic di darat adalah kegiatan topografi seismik. Kegiatan ini bertujuan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN 1950-2013 Samodra, S.B. & Chandra, V. R. Diterima tanggal : 15 November 2013 Abstrak Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering

Lebih terperinci

Kelompok VI Karakteristik Lempeng Tektonik ATRIA HAPSARI DALIL MALIK. M HANDIKA ARIF. P M. ARIF AROFAH WANDA DIASTI. N

Kelompok VI Karakteristik Lempeng Tektonik ATRIA HAPSARI DALIL MALIK. M HANDIKA ARIF. P M. ARIF AROFAH WANDA DIASTI. N Kelompok VI Karakteristik Lempeng Tektonik Created By: ASRAWAN TENRIANGKA ATRIA HAPSARI DALIL MALIK. M HANDIKA ARIF. P M. ARIF AROFAH WANDA DIASTI. N 1. JENIS LEMPENG Berdasarkan jenis bahan batuan pembentuknya,

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir Pemodelan Numerik Respons Benturan Tiga Struktur Akibat Gempa BAB I PENDAHULUAN

Laporan Tugas Akhir Pemodelan Numerik Respons Benturan Tiga Struktur Akibat Gempa BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Saat ini lahan untuk pembangunan gedung yang tersedia semakin lama semakin sedikit sejalan dengan bertambahnya waktu. Untuk itu, pembangunan gedung berlantai banyak

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS PENENTUAN POSISI DENGAN GPS Disampaikan Dalam Acara Workshop Geospasial Untuk Guru Oleh Ir.Endang,M.Pd, Widyaiswara BIG BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Jln. Raya Jakarta Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor 16911

Lebih terperinci

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS B A B IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Output Sistem Setelah sistem ini dinyalakan, maka sistem ini akan terus menerus bekerja secara otomatis untuk mendapatkan hasil berupa karakteristik dari lapisan troposfer

Lebih terperinci

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile Geodinamika bumi 9. GEODINAMIKA Geodinamika adalah cabang ilmu geofisika yang menjelaskan mengenai dinamika bumi. Ilmu matematika, fisika dan kimia digunakan dalam geodinamika berguna untuk memahami arus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan suatu Lembaga Pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. 1 BB I PENDHULUN I.1. Latar Belakang Pada zaman sekarang teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, tak terkecuali teknologi dalam bidang survei dan pemetaan. Salah satu teknologi yang sedang

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu karakteristik bumi adalah bumi merupakan salah satu bentuk alam yang bersifat dinamis yang disebabkan oleh tenaga-tenaga yang bekerja di dalam bumi itu sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Rumusan Masalah BB I PENDHULUN I.1. Latar Belakang Pantai barat pulau Sumatera merupakan pertemuan lempeng Indo-ustralia dengan lempeng Eurasia. Hingga saat ini, lempeng Indo-ustralia masih terus bersubduksi di bawah

Lebih terperinci

Trench. Indo- Australia. 5 cm/thn. 2 cm/thn

Trench. Indo- Australia. 5 cm/thn. 2 cm/thn Setelah mengekstrak efek pergerakan Sunda block, dengan cara mereduksi velocity rate dengan velocity rate Sunda block-nya, maka dihasilkan vektor pergeseran titik-titik GPS kontinyu SuGAr seperti pada

Lebih terperinci

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu wilayah yang sangat aktif kegempaannya. Hal ini disebabkan oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BB I PENDHULUN I.1. Latar Belakang Pengukuran geodesi dilakukan di atas bumi fisis yang bentuknya tidak beraturan. Untuk memudahkan dalam perhitungan data hasil pengukuran, bumi dimodelkan dalam suatu

Lebih terperinci

UNIT X: Bumi dan Dinamikanya

UNIT X: Bumi dan Dinamikanya MATERI KULIAH IPA-1 JURUSAN PENDIDIKAN IPA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FOTO YANG RELEVAN UNIT X: Bumi dan Dinamikanya I Introduction 5 Latar Belakang Pada K-13 Kelas VII terdapat KD sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia termasuk daerah yang rawan terjadi gempabumi karena berada pada pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Aktivitas kegempaan

Lebih terperinci

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station) On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station) Direktorat Pengukuran Dasar Deputi Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 2011 MODUL

Lebih terperinci

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu 364 Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu Rahmad Aperus 1,*, Dwi Pujiastuti 1, Rachmad Billyanto 2 Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Pengecekan dengan TEQC Data pengamatan GPS terlebih dahulu dilakukan pengecekan untuk mengetahui kualitas data dari masing-masing titik pengamatan dengan menggunakan program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dzikri Wahdan Hakiki, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dzikri Wahdan Hakiki, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terdiri dari 3 lempeng tektonik yang bergerak aktif, yaitu lempeng Eurasia diutara, lempeng Indo-Australia yang menujam dibawah lempeng Eurasia dari selatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng utama yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng tersebut

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN POLA DEKLINASI PADA GEMPA BUMI SIGNIFIKAN (M 7.0) WILAYAH SUMATERA

ANALISIS PERUBAHAN POLA DEKLINASI PADA GEMPA BUMI SIGNIFIKAN (M 7.0) WILAYAH SUMATERA DOI: doi.org/10.21009/03.snf2017.02.epa.16 ANALISIS PERUBAHAN POLA DEKLINASI PADA GEMPA BUMI SIGNIFIKAN (M 7.0) WILAYAH SUMATERA Indah Fajerianti 1,a), Sigit Eko Kurniawan 1,b) 1 Sekolah Tinggi Meteorologi

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Geometri lapisan bumi [http://pubs.usgs.gov/publications/text/historical.html]

Gambar 2.1. Geometri lapisan bumi [http://pubs.usgs.gov/publications/text/historical.html] BAB II DASAR TEORI 2.1 Dinamika Struktur Bumi Berdasarkan sifat fisisnya, interior bumi terdiri dari beberapa lapisan seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.1. Lapisan lapisan tersebut memiliki sifat

Lebih terperinci

Note : Kenapa Lempeng bergerak?

Note : Kenapa Lempeng bergerak? Note : Kenapa Lempeng bergerak? Lapisan paling atas bumi, kerak bumi (litosfir), merupakan batuan yang relatif dingin dan bagian paling atas berada pada kondisi padat dan kaku. Di bawah lapisan ini terdapat

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Prakiraan Berakhirnya Gempa Susulan pada Segmen Aceh dan Segmen Sianok (Studi Kasus Gempa 2 Juli 2013 dan 11 September 2014)

Analisis Karakteristik Prakiraan Berakhirnya Gempa Susulan pada Segmen Aceh dan Segmen Sianok (Studi Kasus Gempa 2 Juli 2013 dan 11 September 2014) Analisis Karakteristik Prakiraan Berakhirnya Gempa Susulan pada Segmen Aceh dan Segmen Sianok (Studi Kasus Gempa 2 Juli 2013 dan 11 September 2014) Ekarama Putri 1,*, Dwi Pujiastuti 1, Irma Kurniawati

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rekayasa gempa berhubungan dengan pengaruh gempa bumi terhadap manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi pengaruhnya. Gempa bumi merupakan

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015 PERHITUNGAN DEFORMASI GEMPA KEBUMEN 2014 DENGAN DATA CORS GNSS DI WILAYAH PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Budi Prayitno, Moehammad Awaluddin, Bambang Sudarsono *) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera bagian tengah. Provinsi ini memiliki dataran seluas

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 3.1 Data yang Digunakan Data GPS yang digunakan dalam kajian kemampuan kinerja perangkat lunak pengolah data GPS ini (LGO 8.1), yaitu merupakan data GPS yang memiliki panjang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Subduksi antara Lempeng Samudera dan Lempeng Benua [Katili, 1995]

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Subduksi antara Lempeng Samudera dan Lempeng Benua [Katili, 1995] BAB II DASAR TEORI II. 1. Gempabumi II. 1.1. Proses Terjadinya Gempabumi Dinamika bumi memungkinkan terjadinya Gempabumi. Di seluruh dunia tidak kurang dari 8000 kejadian Gempabumi terjadi tiap hari, dengan

Lebih terperinci

Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda?

Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda? Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda? Supriyanto Rohadi, Bambang Sunardi, Rasmid Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Analisa Sudut Penunjaman Lempeng Tektonik Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. I.2. Latar Belakang Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gambar situasi adalah gambaran wilayah atau lokasi suatu kegiatan dalam bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Tektonik Lempeng

BAB II DASAR TEORI Tektonik Lempeng BAB II DASAR TEORI 2.1. Tektonik Lempeng Bumi berbentuk ellipsoid. Bumi terdiri dari beberapa lapisan seperti yang diilustrasikan pada gambar 2.1. Lapisan-lapisan tersebut memiliki sifat dan karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada pembenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada pembenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pembenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Hindia Australia dan berada pada pertemuan 2 jalur

Lebih terperinci

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA A ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BUMI DELISERDANG SUMATRA UTARA Oleh Fajar Budi Utomo*, Trisnawati*, Nur Hidayati Oktavia*, Ariska Rudyanto*,

Lebih terperinci

Pengertian Dinamika Geologi. Dinamika Geologi. Proses Endogen. 10/05/2015 Ribka Asokawaty,

Pengertian Dinamika Geologi. Dinamika Geologi. Proses Endogen. 10/05/2015 Ribka Asokawaty, Pengertian Dinamika Geologi Dinamika Geologi Dinamika Geologi merupakan semua perubahan geologi yang terus-menerus terjadi di bumi, baik karena proses eksogen maupun proses endogen. Ribka F. Asokawaty

Lebih terperinci

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT Badrul Mustafa Jurusan Teknik Sipil, Universitas Andalas Email: rulmustafa@yahoo.com ABSTRAK Akibat tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tektonik, Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng mikro Filipina. Interaksi antar lempeng mengakibatkan

Lebih terperinci

PENENTUAN KOORDINAT STASIUN GNSS CORS GMU1 DENGAN KOMBINASI TITIK IKAT GPS GLOBAL DAN REGIONAL

PENENTUAN KOORDINAT STASIUN GNSS CORS GMU1 DENGAN KOMBINASI TITIK IKAT GPS GLOBAL DAN REGIONAL PENENTUAN KOORDINAT STASIUN GNSS CORS GMU1 DENGAN KOMBINASI TITIK IKAT GPS GLOBAL DAN REGIONAL PILAR Jurnal Teknik Sipil, Volume 10, No. 1, Maret 2014 PENENTUAN KOORDINAT STASIUN GNSS CORS GMU1 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Penelitian Sebelumnya Penelitian ini merujuk ke beberapa penelitian sebelumnya yang membahas mengenai deformasi jembatan dan beberapa aplikasi penggunaan GPS (Global Positioning

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 Analisis Ketelitian Pengukuran Baseline Panjang GNSS Dengan Menggunakan Perangkat Lunak Gamit 10.4 dan Topcon Tools V.7 Maulana Eras Rahadi 1) Moehammad Awaluddin, ST., MT 2) L. M Sabri, ST., MT 3) 1)

Lebih terperinci

BAB IV Analisis Pola Deformasi Interseismic Gempa Bengkulu 2007

BAB IV Analisis Pola Deformasi Interseismic Gempa Bengkulu 2007 BAB IV Analisis Pola Deformasi Interseismic Gempa Bengkulu 2007 4.1 Analisis Vektor Pergeseran Sebelum Gempa Bengkulu 2007 Dari hasil plotting vektor pergeseran titik-titik GPS kontinyu SuGAr yang telah

Lebih terperinci

Integrasi Jaringan InaTEWS Dengan Jaringan Miniregional Untuk Meningkatan Kualitas Hasil Analisa Parameter Gempabumi Wilayah Sumatera Barat

Integrasi Jaringan InaTEWS Dengan Jaringan Miniregional Untuk Meningkatan Kualitas Hasil Analisa Parameter Gempabumi Wilayah Sumatera Barat Integrasi Jaringan InaTEWS Dengan Jaringan Miniregional Untuk Meningkatan Kualitas Hasil Analisa Parameter Gempabumi Wilayah Sumatera Barat Oleh: Tri Ubaya PMG Pelaksana - Stasiun Geofisika Klas I Padang

Lebih terperinci

Analisis Percepatan Tanah Maksimum Wilayah Sumatera Barat (Studi Kasus Gempa Bumi 8 Maret 1977 dan 11 September 2014)

Analisis Percepatan Tanah Maksimum Wilayah Sumatera Barat (Studi Kasus Gempa Bumi 8 Maret 1977 dan 11 September 2014) Jurnal Fisika Unand Vol. 5, No. 1, Januari 2016 ISSN 2302-8491 Analisis Percepatan Tanah Maksimum Wilayah Sumatera Barat (Studi Kasus Gempa Bumi 8 Maret 1977 dan 11 September 2014) Marlisa 1,*, Dwi Pujiastuti

Lebih terperinci

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON Hapsoro Agung Nugroho Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar soro_dnp@yahoo.co.id ABSTRACT Bali is located on the boundaries of the two

Lebih terperinci

Puslit Geoteknologi LIPI Jl. Sangkuriang Bandung Telepon

Puslit Geoteknologi LIPI Jl. Sangkuriang Bandung Telepon Tim Peneliti Gempa, tergabung dalam LabEarth bagian dari Poklit Gempa dan Geodinamika, telah berhasil memetakan besar dan lokasi gempa-gempa yang terjadi di masa lalu serta karakteristik siklus gempanya,

Lebih terperinci

BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia

BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia Tanah merupakan bagian dari alam yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia. Hampir seluruh kegiatan manusia dilakukan di atas bidang tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

Penentuan Posisi dengan GPS

Penentuan Posisi dengan GPS Penentuan Posisi dengan GPS Dadan Ramdani Penggunaan GPS sekarang ini semaikin meluas. GPS di disain untuk menghasilkan posisi tiga dimensi secara cepat dan akurat tanpa tergantung waktu dan cuaca. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, serta lempeng mikro yakni lempeng

BAB I PENDAHULUAN. lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, serta lempeng mikro yakni lempeng 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada kerangka tektonik yang didominasi oleh interaksi dari tiga lempeng utama (kerak samudera dan kerak benua) yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci