BAB II SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI"

Transkripsi

1 BAB II SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI 2.1 Seismisitas Wilayah Indonesia Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan seismisitas tertinggi di muka bumi ini. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh gempa-gempa beberapa tahun terakhir ini yang melanda wilayah Indonesia seperti gempa di Aceh, Padang, Yogyakarta, Pangandaran, Bengkulu dan masih banyak lagi. Banyak sekali definisi dari seismisitas antara lain sebagai (Iqbal, 2007): - Aktivitas gempa - Distribusi gempa secara global atau lokal pada suatu tempat dan waktu tertentu - Suatu studi tentang lokasi, frekuensi dan magnitudo gempa Untuk memahami seismisitas wilayah Indonesia, maka diperlukan pengetahuan mengenai tatanan tektoniknya dan sejarah kegempaan di wilayah Indonesia Tatanan Tektonik di Indonesia Dulunya bentuk wilayah Indonesia ini tidak berbentuk kepulauan seperti sekarang ini. Berdasarkan sejarahnya, wilayah Indonesia mengalami berbagai perubahan bentuk (geocities, 2003). Bagian barat Indonesia kira-kira 50 juta tahun yang lalu terbentuk karena ujung tenggara benua Eurasia yang tersesarkan lebih jauh ke arah tenggara sebagai akibat tumbukan antara benua kecil India dengan Himalaya, sedangkan Indonesia bagian timur masih berupa lautan. Pada saat itu pergerakan lempeng berupa penunjaman terjadi di sebelah barat Sumatera, menyambung ke selatan Jawa dan melingkar ke tenggara-timur. Berikutnya

2 juta tahun yang lalu, Sulawesi dan Laut Maluku mulai terbentuk sebagai akibat tumbukan benua-benua mikro. Perubahan bentuk tersebut diakibatkan karena penunjaman atau subduksi sehingga kepulauan Indonesia terbentuk karena proses pengangkatan. Lempeng yang berperan dalam penunjaman tersebut adalah lempeng Samudera Pasifik dan India-Australia yang bergerak 2-5 cm per tahun relatif terhadap lempeng Eurasia (oaseislam, 2003). Ketiga lempeng tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Lempeng Eurasia dan lempeng Australia bertumbukan di lepas pantai barat Sumatera, lepas pantai selatan Jawa, lepas pantai selatan kepulauan Nusa Tenggara dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Sedangkan tumbukkan antara lempeng Australia dan lempeng Pasifik di sekitar pulau Papua. Dan ketiga lempeng tersebut bertemu di sekitar Sulawesi. Interaksi antara ketiga lempeng tersebut menyebabkan terbentuknya dua sabuk gunung api yang melewati Indonesia yaitu Sirkum Mediterania akibat penunjaman lempeng Australia ke dalam lempeng Eurasia dan Sirkum Pasifik akibat penunjaman lempeng Pasifik ke dalam lempeng Eurasia. Interaksi ketiga lempeng tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki aktivitas kegempaan tertinggi di dunia. Adapun zonasi aktivitas gempa bumi di Indonesia berdasarkan sejarah kekuatan sumber gempa (Pirba, 2006), dapat terbagi menjadi : Daerah sangat aktif yaitu magnitude lebih dari 8 mungkin terjadi antara lain di Halmahera dan pantai utara Irian. Daerah aktif yaitu magnitude 8 mungkin terjadi dan magnitude 7 sering terjadi antara lain di lepas pantai barat Sumatera, kepulauan Sunda dan Sulawesi tengah. Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 bisa terjadi antara lain di Sumatera, kepulauan Sunda dan Sulawesi tengah. Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 mungkin terjadi antara lain di pantai barat Sumatera, Jawa bagian utara dan Kalimantan bagian timur. 8

3 Daerah gempa kecil, magnitude kurang dari 5 jarang terjadi antara lain di daerah pantai timur Sumatera dan Kalimantan tengah. Daerah stabil, tidak ada catatan sejarah gempa yaitu di pantai selatan Irian dan Kalimantan bagian barat. Lokasi dari gempa-gempa yang terjadi dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut. Gambar 2.1 Lokasi-lokasi gempa di wilayah Indonesia (USGS, 2006) Zona Subduksi Pangandaran Pada Gempa Pangandaran 2006, bentuk interaksi lempeng yang terjadi adalah bentuk konvergensi berupa subduksi atau penunjaman. Subduksi dapat terjadi ketika lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar bertumbukkan dengan lempeng benua yang lebih tebal dan stabil namun rapat massanya lebih kecil. Proses subduksi lempeng samudera akan berlangsung terus hingga lempeng samudera kembali mencair dan menjadi magma. Zona subduksi Pangandaran merupakan hasil tumbukan lempeng Australia yang bergerak dengan kecepatan 6-7 cm/tahun ke arah utara menumbuk lempeng Eurasia yang bergerak dengan kecepatan 2 cm/tahun ke arah timur sepanjang 5500 kilometer mulai dari Myanmar melewati pulau Sumatera, Jawa, dan menuju 9

4 Australia. Tumbukkan kedua lempeng ini bertemu pada kedalaman 5000 meter di bawah permukaan air laut dan membentuk Palung Jawa sehingga laut di daerah tumbukkan ini sangatlah dalam. Jalur palung Jawa ini membentang dari Aceh hingga Flores mendorong lempeng Eurasia dengan kecepatan yang berbeda. Minster dan Jordan (1978, dalam Ghose and Oike, 1988) memperkirakan kecepatan lempeng 6 cm/tahun dekat ujung utara Sumatra sampai 7,8 cm/tahun di dekat pulau Sumba. Selain kecepatan dorongannya, arah penunjamannya pun bervariasi. Yang paling mencolok adalah daerah yang dipisahkan oleh selat Sunda. Arah penunjaman yang hampir tegak lurus di bagian pulau Jawa ke arah timur menghasilkan ragam penunjaman lempeng yang lebih sederhana dibandingkan di bagian Sumatra. Hal tersebut berimplikasi pada letak kedalaman aktivitas gempa. Di sebelah barat selat Sunda, aktivitas gempa umumnya tidak melebihi kedalaman 200 km sedangkan di sebelah timur selat Sunda aktivitas gempa terletak pada kedalaman km. Penampang fisiografi dari palung Jawa dapat dilihat dari gambar 2.2 di bawah ini. Gambar 2.2 Palung jawa dan proses subduksinya (Rovicky, 2006) 10

5 Di sebelah utara Palung Jawa terdapat sebuah busur kepulauan yang disebut sebagai busur sunda (Sunda Arc) yang juga merupakan hasil interaksi lempeng. Busur ini membentang dari kepulauan Andaman-Nicobar di barat sampai busur Banda di Timor dan pulau Jawa termasuk di dalamnya. Subduksi juga menghasilkan sepasang busur yaitu busur vulkanik dan busur non-vulkanik (Rovicky, 2006). Busur vulkanik terdiri dari rangkaian gunung berapi yang menjadi tulang punggung pulau-pulau busur samudera, sedangkan busur non-vulkanik terdiri dari rangkaian pulau-pulau yang terletak di samudera busur vulkaniknya. Di selatan Jawa busur non-vulkanik berada di bawah dasar laut. Di zona subduksi Pangandaran ini juga terdapat seismic gap atau zona tenang yaitu wilayah yang sepi gempa dalam waktu cukup lama tetapi mengakumulasi energi regangan sangat besar sehingga dapat terjadi gempa. Oleh karenanya fenomena ini perlu diamati lebih jauh karena memungkinkan terjadinya gempa besar di daerah tenang ini. Seismic gap selatan Jawa terletak pada garis bujur 110º BT dengan lebar sekitar 75 km berarah utara-selatan terhadap palung Jawa Sejarah Kegempaan di Sekitar Pantai Selatan Jawa Sejarah kegempaan yang terjadi di sekitar pantai selatan Jawa menunjukkan bahwa zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude dan waktu terjadinya kegempaan yang lebih kecil dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera (Natawidjaya, 2006). Hal itu salah satunya dimungkinkan karena lempeng Jawa yang sudah berusia lebih dari 150 juta tahun sehingga gerakan tektoniknya tidak terlalu mendorong pulau Jawa. Magnitude dan kedalaman kegempaan di sekitar pulau jawa dapat dilihat dari gambar 2.3 di bawah ini. 11

6 Gambar 2.3 Peta seismisitas Pulau Jawa (USGS) Sejarah gempa yang terekam di pulau Jawa hanya tersedia dalam rentang waktu (LIPI) atau sumber lain menyebutkan dalam selang waktu telah terjadi 68 kali dengan kategori gempa yang merusak (BMG). Pada tahun 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan di atas 7 SR. Kemudian di Yogyakarta pernah terjadi gempa besar yang menewaskan 500 orang lebih pada tahun Dan dua gempa besar terakhir adalah gempa Jogja Mei 2006 lalu dengan magnitude 6,3 SR dan gempa Pangandaran Juli 2006 dengan magnitude 6,8 SR dengan pusat gempa yang berdekatan dengan gempa yang terjadi pada tahun Demikian juga dengan data sejarah kegempaan yang menimbulkan tsunami tidak tercatat secara alami dikarenakan di pesisir selatan Jawa tidak ditemukan koloni terumbu karang. Pesisir selatan Jawa memiliki topografi yang berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan dangkal sehingga kecil kemungkinan tumbuhnya terumbu karang. Jika terdapat terumbu karang maka sejarah terjadinya gempa besar dapat diketahui. Ketika gempa akibat sesar naik maka pesisir pantai akan naik yang menyebabkan terumbu karang naik ke permukaan dan mati. Tetapi ketika pesisir tersebut tenggelam kembali akibat proses geologis turun, maka terumbu karang tersebut akan tumbuh kembali atau 12

7 dengan kata lain periode naik turunnya permukaan pesisir dalam ratusan tahun dapat tercatat secara alami. Sedikitnya informasi kegempaan di sekitar pantai selatan jawa ini menyebabkan sulitnya memperkirakan potensi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini. 2.2 Gempa Bumi Gempa bumi dapat disebabkan oleh tumbukan antar lempeng, aktifitas gunung api, runtuhan batuan dan ledakan. Dalam kaitannya dengan gempa Pangandaran 2006, maka tumbukan antar lempeng adalah penyebabnya. Pada zona subduksi Pangandaran, lempeng samudera menumbuk hingga menyusup ke bawah lempeng benua. Kemudian gerakan terus-menerus tersebut akan mengalami perlambatan akibat gaya gesekan antar kedua lempeng yang menyebabkan penumpukkan energi di zona subduksi dan zona patahan. Pergerakan tersebut akan terus berlangsung hingga batas elastisitas tumbukan tersebut terlampaui, maka kedua lempeng akan melepaskan energi secara tiba-tiba dan menimbulkan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa bumi. Mekanisme tumbukkan yang menyebabkan gempa bumi dapat dilihat pada gambar 2.3 di atas. Gempa bumi dapat terjadi dimana pun namun para peneliti kegempaan berkesimpulan bahwa 95 % gempa bumi terjadi sekitar batas lempeng. Suatu titik di sepanjang bidang temu antar lempeng atau di sepanjang patahan tempat dimulainya gempa disebut fokus atau hiposenter, sedangkan titik di pemukaan bumi tepat di atas sumber gempa disebut episenter (Setyawan, 2007). Gambar dari kedua titik tersebut dapat dilihat pada gambar 2.4 di bawah ini. 13

8 Gambar 2.4 Fokus dan episenter ( Siklus Gempa Bumi Siklus gempa bumi atau earthquake cycle dapat didefinisikan sebagai perulangan gempa karena gempa bumi yang terjadi di suatu daerah akan terjadi lagi di masa yang akan datang. Dalam satu siklus gempa bumi biasanya akan berulang dalam kurun waktu puluhan sampai ratusan tahun. Periode perulangan gempa dapat ditunjukkan oleh gambar 2.5 di bawah ini. Gambar 2.5 Periode earthquake cycle (Vigny, 2005) 14

9 Untuk dapat melakukan analisis terhadap suatu siklus gempa bumi maka diperlukan data-data berupa penelitian dokumen sejarah gempa dan penelitianpenelitian geologi dan geofisika seperti stratigrafi batuan, terumbu karang dan paleo-tsunami untuk gempa yang terjadi di laut, likuifaksi dan lain-lain (Andreas et al, 2006). Dengan adanya data geologi batuan, diharapkan dapat memprediksi kejadian gempa yang telah lampau yaitu dengan cara mempelajari ketidakselarasan dan dengan adanya pola pertumbuhan terumbu karang, diharapkan dapat melihat dan menghitung kejadian serta perulangan gempa bumi. Dengan melakukan analisis terhadap fenomena earthquake cycle, diharapkan kita dapat melakukan prediksi waktu terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi. Namun prediksi tersebut hanya dapat menembus kisarannya saja dengan akurasi tahunan sampai puluhan tahun. Hal tersebut diakibatkan banyak faktor seperti sifat fisis batuan yang komplek. Prediksi terhadap perulangan gempa ini merupakan salah satu upaya dalam mitigasi bencana sehingga jika telah diketahui kisaran perulangannya, maka kita semua akan lebih bisa mempersiapkan diri menghadapinya sehingga dapat meminimalisir kerugian dari gempa bumi tersebut Tahapan Gempa Bumi Dalam satu siklus gempa bumi terdapat beberapa tahapan mekanisme terjadinya gempa bumi, yaitu tahapan interseismik, preseismik, coseismic, after slip, postseismik, dan slow slip event. Tahapan dari mekanisme gempa bumi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut ini. 15

10 Gambar 2.6 Tahapan Gempa bumi (Andreas, 2005) a) Interseismik Tahapan ini merupakan tahapan awal dari siklus gempa bumi, dimana energi di dalam bumi menggerakkan lempeng hingga bertemu pada suatu bidang temu. Kemudian dapat terjadi kuncian akibat gaya gesek antara kedua lempeng yang bertemu dan energi mulai terakumulasi di sekitar bidang temu lempeng tersebut. Akumulasi energi ini menyebabkan terjadinya akumulasi deformasi atau interseismic deformation. Pada kasus subduksi, arah dari laju interseismik ini searah dengan laju lempeng samudera yang menunjam lempeng benua. b) Preseismik Preseismik terjadi sesaat sebelum terjadinya gempa bumi. Sampai saat ini preseismik merupakan tahapan gempa bumi yang masih diperdebatkan oleh para ahli karena terkadang terdapat sinyal preseismik tapi lebih sering kejadian gempa bumi tidak menunjukkan sinyal apa-apa. Contoh sinyal preseismik yang terekam adalah pada gempa besar di Haiceng Cina ditemukan adanya perilaku anomali dari binatang, kemudian pada gempa Tonakai 1944 ditemukan adanya akselerasi deformasi sekitar 4 hari sebelum gempa utama. Contoh terakhir adanya anomali muka air tanah yang menurun secara drastis sebelum terjadinya gempa Chici di Taiwan tahun

11 c) Coseismik Tahapan coseismik terjadi ketika gempa utama atau mainshock, dimana getaran bumi paling kuat dirasakan pada tahapan ini. Gempa utama ini menyebabkan sebagian kerak bumi tergeser atau terdeformasi secara permanen sampai orde meter. Coseismik dapat terjadi secara vertikal maupun secara horisontal. Secara vertikal dapat berupa naiknya permukaan tanah (uplift) maupun penurunan tanah (subsidence). Laju dari arah pergerakan coseismik ini berlawanan arah dengan arah laju interseismik. d) After Slip After slip adalah tahapan ketika sisa-sisa energi gempa dilepaskan kembali melalui gempa-gempa susulan (aftershock) yang kekuatannya lebih kecil dari gempa utama. Jumlah gempa susulan yang terekam berkisar antara puluhan sampai dengan ratusan. Semakin lama waktu berlalu dari gempa utama, maka semakin lemah kekuatan yang dihasilkan dari gempa susulan ini. Contoh dari aftershock yang terjadi pada gempa Pangandaran 2006 dapat dilihat pada gambar 2.7. Gambar 2.7 Distribusi gempa bumi utama dan susulan di selatan Jawa Barat (BMG, 2006) 17

12 e) Postseismik Tahapan postseismik sebenarnya hampir sama dengan afterslip karena baik postseismik maupun after slip terjadi setelah gempa utama. Namun yang membedakan jika pada after slip masih terjadi gempa-gempa susulan sedangkan pada postseismik energi dilepaskan tanpa gempa atau bersifat aseismik. Jadi postseismik dapat didefinisikan sebagai tahapan setelah gempa terjadi dimana sisa-sisa energi dilepaskan secara perlahan dalam kurun waktu yang lama namun tetap menghasilkan deformasi secara permanen mencapai ukuran kurang dari satu meter atau bahkan untuk gempa berkekuatan besar dapat menghasilkan deformasi postseismik mencapai lebih dari satu meter. Contoh pergeseran dari deformasi postseismik yang terjadi pada gempa Parkfield tahun 2004 di California dapat dilihat pada gambar 2.8. Gambar 2.8 Pergeseran akibat coseismik dan postseismik pada gempa Parkfield 2004 (J. Langbein) Pergeseran dari deformasi postseismik ini biasanya kurang dari satu meter tetapi nilai deformasi postseismik dapat memberikan nilai deformasi hampir dua kali lipat dari deformasi coseismik. Hal tersebut terjadi pada gempa Mine Hector di Amerika (Herring, 2002). Untuk lama terjadinya deformasi ini tergantung banyak faktor salah satunya kekuatan gempa yang terjadi. Hasil penelitian di 18

13 Jepang menunjukkan sinyal postseismik gempa Sanriku 7 Mw (Momen Magnitude) berlangsung sampai dengan 3 tahun, kemudian gempa Tokachi 8 Mw berlangsung sekitar 6 tahun dan gempa Aceh ,2 Mw mengindikasikan terjadinya deformasi postseismik sampai sekitar 10 tahun dan memberikan nilai deformasi dalam fraksi meter (Kimata, 2005). Tujuan dari mempelajari deformasi postseismik adalah untuk mengenali deformasi kerak bumi setelah gempa utama sebagai acuan dalam mempelajari proses siklus gempa bumi. Deformasi ini memiliki berbagai macam mekanisme antara lain : Deep Afterslip Deformasi postseismik tipe ini diindikasikan dengan adanya pergeseran signifikan komponen horisontal dari titik-titik pengamatan GPS (Shen et al., 1994; Savage and Svarc, 1997; Bock et al., 1997). Deep afterslip terletak di bawah tumbukan antar lempeng dan dapat dilihat pada gambar 2.9 di bawah ini. Gambar 2.9 Lokasi dari Deep afterslip (topex.ucsd.edu/evelyn/thesis/chap_5) Viscoelastic Rebound Mekanisme dari viscoelastic dapat digunakan sebagai model postseismik. Contohnya adalah pada patahan Emerson and Camp diasumsikan terjadi pergeseran coseismik ke arah timur sebesar 0.7 meter sehingga dapat menyatakan bahwa patahan tersebut berupa normal fault. Berbeda dengan deep after slip, jika pada tipe Viscoelastic Rebound terletak pada seluruh daerah horisontal di lokasi yang sama dengan deep afterslip atau terletak di sepanjang kerak bumi bagian bawah. Letak dari postseismik tersebut menyebabkan daerah tumbukan 19

14 mengalami penurunan dan berbentuk bulat. Letak dari viscoelastic relaxation ditunjukkan pada gambar 2.10 di bawah ini : Gambar 2.10 Lokasi dari Viscoelastic Rebound (topex.ucsd.edu/evelyn/thesis/chap_5) Fault Zone Collapse Mekanisme dari fault zone collapse dijelaskan dengan pergeseran normal bidang tumbukan dikarenakan tertutupnya kerak bumi yang terbuka selama gempa bumi pada zona tumbukan yang terpenuhi fluida. Mekanisme ini diterangkan pertama kali oleh Massonet et al (1996) untuk menjelaskan berbagai macam dari tipe deformasi postseismik dengan mengkombinasikan interferogram. Manfaat lain dari mekanisme ini adalah dapat menghitung kekuatan dari zona patahan yang diikuti gempa bumi untuk menjelaskan pertambahan kecepatan seismik yang didapatkan dari survei seismik setelah gempa. Pore Fluid Pressure Re-Equilibration Pore fluid pressure re-equilibration setelah gempa bumi dapat menyebabkan deformasi poroelastic dikarenakan bertambahnya tekanan pada gradient daerah perpanjangan dan kompresi tumbukan patahan, retakan hidrolik coseismik dan mekanisme hidrotermal. Pada kasus pertama, aliran fluida mengalir disebabkan tekanan yang timbul karena deformasi coseismik. Retakan hidrolik coseismik dijelaskan oleh Wyatt et al (1994) untuk menggambarkan ketidaksesuaian antara regangan yang diukur dengan regangan tensor. Mekanisme hidrotermal dijelaskan oleh pertambahan panjang dari batuan setelah berinteraksi dengan aliran panas dari mantel. Reagangan yang diakibatkan mekanisme ini begitu kecil dan tidak dapat dideteksi kecuali dengan pengukuran geodetik. 20

15 Dalam kaitannya dengan mitigasi bencana alam, studi deformasi postseismik memegang peranan penting karena menjadi salah satu cara dalam memahami terjadinya gempa bumi. Dengan memahami postseismik dapat mengerti akan akumulasi deformasi dan kemudian dilepaskan di wilayah sekitar gempa. Seperti juga telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tahapan postseismik ini energi gempa masih dilepaskan secara perlahan dalam waktu yang sangat lama. Release energi ini dapat menghasilkan slip pada bidang sesar. Hasil slip ini kemudian membentuk geometri postseismik slip dan slip ini pun dapat menyebabkan stress transfer. Jika sebelumnya di daerah sekitar gempa stress transfer terjadi karena coseismik slip, maka daerah di sekitar gempa tersebut akan semakin meningkat potensi kegempaannya karena ditambah oleh stress transfer akibat deformasi postseismik. f) Slow Slip Event Slow slip event atau silent earthquake adalah fenomena pergerakan (slip) pada kerak bumi yang tidak menyebabkan gempa bumi atau bersifat aseismik. Tahapan ini berlangsung sangat lambat berkisar beberapa hari sampai beberapa minggu. Mekanisme tahapan ini terjadi ketika lempeng menunjam lempeng yang lainnya sehingga menghasilkan deformasi interseismik dengan arah vektor pergeseran menuju lempeng yang tertujam, namun pemantauan GPS kontinyu menunjukkan suatu waktu vektor pergeseran berubah arah ke sisi lempeng yang menunjam. Keenam tahapan gempa bumi tersebut dapat diamati dengan menggunakan ilmu dan teknologi seperti ilmu seismologi, geologi, geofisika, geodesi dinamis dan lain-lain. Data seismologi dapat merekam tahapan coseismik dan afterslip dengan mencatat ukuran dan lokasi gempa utama dan gempa susulan. Data geofisika dapat merekam tahapan interseismik melalui kajian penjalaran energi gelombang pada struktur bumi, dan tahapan preseismik seperti penelitian akselerasi deformasi dan penelitian anomali muka level air tanah. Dan data 21

16 geodetik dapat merekam hampir seluruh tahapan gempa bumi melalui penelitian deformasi (Andreas et al, 2006) Gempa Bumi Pangandaran 2006 Pada tanggal 17 Juli 2006 tepatnya pukul WIB telah terjadi gempa yang disertai gelombang tsunami di sebelah selatan pantai Pangandaran. Adapun kekuatan gempa ini adalah 6,8 skala Ritcher dengan pusat gempa berada pada kedalaman 33 km dengan koordinat Epicenter 9,46 LS 107,19 BT (BMG,2006). Pusat gempa tersebut berada di sebelah selatan Pameungpeuk dengan jarak sekitar 150 km. Ilustrasi dari gempa tersebut ditunjukkan oleh gambar Keterangan : Sumber BMG Sumber USGS Sumber Geofon Gambar 2.11 Pusat gempa Pangandaran 2006 (BMG, 2006) Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gempa Pangandaran merupakan salah satu akibat dari aktivitas seismik di zona subduksi Pangandaran dan pusat gempa terletak 200 km dari daratan terdekat. Interaksi antara lempeng Australia yang menunjam ke dalam lempeng Eurasia menghasilkan gempa tersebut dan kemudian terjadi deformasi dasar laut sehingga gempa akan diikuti 22

17 tsunami. Berdasarkan hasil mekanisme terjadinya gempa, gempa di laut selatan pulau Jawa tersebut merupakan tipe reverse fault atau sesar naik dengan arah barat laut-tenggara dan kemiringan bidang sesar 7º. Mekanisme patahan tersebut dapat diperjelas oleh gambar 2.12 berikut ini. Gambar 2.12 Mekamisme patahan gempa utama (USGS, 2006) Pada gempa Pangandaran pun terjadi gempa susulan yang diamati mulai tanggal 17 hingga 23 Juli 2006 dari jaringan stasiun gempa Gunung Guntur dan stasiun gempa temporer Pangandaran dan Pameungpeuk. Sampai tanggal 21 Juli 2006 tercatat telah terjadi 77 kali gempa susulan dengan magnitude 4-6 Skala Ritcher dengan 3 kali gempa susulan berkekuatan cukup besar. Gempa Pangandaran ini kurang dirasakan getarannya oleh masyarakat di sekitar pantai Pangandaran, getaran cukup terasa oleh orang-orang yang berada di rumah di sekitar pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah, bahkan gempa dirasakan di gedung-gedung tinggi beberapa kota di Jawa Barat. Namun sama halnya seperti gempa Aceh bahwa bencana sesungguhnya adalah bukan gempa tersebut melainkan gelombang tsunami. Kira-kira 40 menit setelah gempa utama, masyarakat di sekitar pantai dikejutkan oleh datangnya gelombang air dengan tinggi maksimal 7 meter dan masuk hingga ke daratan sampai sejauh 500 meter. Gelombang tsunami ini menerjang hampir seluruh wilayah selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Cilauteureun, Kab. Garut, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, Pangandaran, Kab. Ciamis, pantai selatan Cianjur dan Sukabumi serta pantai Cilacap, Kebumen, Kab. Bantul, dan Yogyakarta untuk bagian daerah Jawa Tengah. 23

18 Gempa yang diiringi gelombang tsunami ini telah menelan korban jiwa yang banyak yaitu 378 orang meninggal dan ratusan lainnya cedera serta puluhan jiwa dinyatakan hilang. Selain itu ratusan rumah mulai dari sepanjang pantai Krapyak, Kalipucang, Parigi, dan Cipatujah, Kab. Tasikmalaya hancur serta hotelhotel sepanjang daerah wisata Pangandaran bagian barat. Adapun peta kerusakan yang diakibatkan oleh gempa Pangandaran beserta tsunaminya dapat dilihat pada gambar 2.13 berikut ini. Gambar 2.13 Peta Kerusakan Akibat Gempa dan Tsunami Pangandaran 2006 (United Nation, 2006) 24

19 2.3 Survei GPS Sebagai Metode Pemantauan Deformasi Dalam kaitannya dengan potensi dan mitigasi bencana, metode deformasi merupakan salah satu metode yang saat ini sangat sering digunakan. Pada metode ini yang dipelajari adalah pola dan kecepatan deformasi yang terjadi pada sebuah blok kerak bumi. Dan untuk menghasilkan pola dan kecepatan deformasi tersebut diperlukan informasi posisi yang akurat dari titik-titik pengamatan deformasi. Salah satu teknologi yang dapat memberikan informasi posisi tersebut adalah GPS sehingga GPS dapat digunakan dalam upaya pemantauan deformasi, termasuk deformasi postseismik yang diakibatkan gempa Pangandaran Global Positioning System GPS memiliki nama resmi NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System). Dengan mengamati satelit GPS, para pengguna GPS dapat memperoleh informasi mengenai posisi secara akurat di permukaan bumi. Informasi lainnya yang dapat diperoleh dari pengamatan GPS adalah informasi mengenai kecepatan, arah, jarak dan waktu. Pada dasarnya sinyal GPS terdiri dari 3 komponen (Abidin, 2000), yaitu : - Penginformasi Jarak (kode) berupa kode-p dan kode-c/a. - Pesan Navigasi yang berisi informasi mengenai satelit dan orbit. - Gelombang Pembawa (L1 dan L2) yang bertugas membawa data kode dan pesan navigasi. Dari ketiga komponen tersebut terdapat dua data pengamatan dasar GPS yaitu waktu tempuh dari kode-p dan kode-c/a dan fase dari gelombang L1 dan L2. Waktu tempuh tersebut akan menghasilkan jarak pseudorange, sedangkan fase (φ) adalah data pengamatan GPS berupa jumlah gelombang penuh yang terhitung sejak saat pengamatan dimulai dan data fase ini yang digunakan dalam aplikasiaplikasi yang menuntut ketelitian posisi yang sangat tinggi. 25

20 2.3.2 Survei GPS Teliti Dalam Pemantauan Deformasi Deformasi adalah perubahan bentuk, posisi, dan dimensi dari suatu benda (Kuang, 1996). Berdasarkan definisi tersebut deformasi dapat diartikan sebagai perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik pada suatu selang waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan deformasi akibat pergerakan kerak bumi, perubahan atau pergerakan yang dimaksud adalah perubahan atau pergerakan titik-titik pengamatan yang diletakkan di sekitar daerah yang terkena gempa bumi dalam suatu selang tertentu sehingga dapat menunjukkan adanya perubahan dalam suatu besaran tertentu. Oleh karena itu untuk mengetahui pola dan kecepatan deformasi, maka dilakukan pengamatan GPS terhadap titik-titik pantau baik secara episodik maupun kontinu. Dengan metode episodik maka pemantauan dilakukan secara berkala dalam selang waktu tertentu, sedangkan dengan metode kontinu maka pemantauan dilakukan terus-menerus secara otomatis. Dalam pemantauan deformasi kerak bumi atau pergeseran lempeng di wilayah Indonesia, GPS merupakan salah satu teknologi yang memegang peranan utama. Stasiun pengamatan GPS yang telah dibangun sejak tahun 1991 hingga 2006 berjumlah lebih dari 300 stasiun pemonitor ( Dengan pemantauan deformasi menggunakan GPS ini, diharapkan akumulasi strain atau penumpukkan energi di wilayah Indonesia dengan seismisitas tinggi dapat termonitor dengan baik. Contoh dari survei GPS untuk pemantauan deformasi ditunjukkan oleh gambar

21 Gambar 2.14 Penggunaan GPS dalam studi dinamika bumi secara episodik Pada studi deformasi kerak bumi ini, metode survei GPS memberikan beberapa keunggulan (Friedrik, 1999), antara lain : GPS mampu memberikan nilai vektor pergeseran dalam tiga dimensi sehingga dapat memberikan informasi pergerakan titik-titik pantau baik dalam arah horisontal maupun dalam arah vertikal. GPS memberikan nilai vektor pergeseran dalam suatu sistem referensi yang tunggal. GPS mampu memberikan nilai vektor pergeseran yang teliti sampai dengan fraksi milimeter Mekanisme Pengolahan Data GPS Untuk Keperluan Deformasi Prinsip dasar penentuan posisi menggunakan GPS adalah dengan cara reseksi jarak (pengikatan ke belakang) yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit yang koordinatnya telah diketahui. Namun dalam pergerakannya, satelit mengalami beberapa gangguan seperti kesalahan ephemeris (orbit) dan kesalahan jam satelit sehingga informasi orbit yang terdapat pada pesan navigasi sinyal GPS (Broadcast ephemeris) masih mengandung kesalahan sehingga ketelitian informasi orbit tersebut kurang baik. Oleh karena itu, 27

22 diperlukan informasi orbit dengan ketelitian yang tinggi karena dalam pemantauan deformasi diperlukan hasil posisi yang menuntut tingkat ketelitian hasil yang tinggi (fraksi mm). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan data precise ephemeris yang memiliki tingkat ketelitian kurang dari 5 cm, sedangkan pada broadcast ephemeris memiliki ketelitian 2,6 m (Warren, 2002). Visualisasi dari proses pemilihan data fase dan informasi orbit untuk keperluan deformasi dapat ditunjukkan pada gambar 2.15 sebagai berikut. RINEX RINEX observation files RINEX navigation files Data Pengamatan Fase Data orbit satelit Informasi Orbit (Precise ephemeris) Diolah pada software Tidak digunakan Gambar 2.15 Ekstrak Data fase dan informasi orbit teliti Pada saat sinyal GPS dalam perjalanannya dari satelit sampai pengamat tidak terlepas dari berbagai kesalahan dan bias. Kesalahan dan bias tersebut dapat terkait karena satelit GPS, medium propagasi yang dilalui sinyal satelit, receiver GPS, data pengamatan dan lingkungan sekitar pengamat (Abidin, 2000) : a) Kesalahan Orbit (Ephemeris) Kesalahan ephemeris adalah kesalahan dimana orbit yang dilaporkan ephemeris orbit tidak sama dengan orbit yang sebenarnya sehingga dapat mempengaruhi ketelitian posisi titik-titik yang ditentukan. 28

23 b) Bias Ionosfer Radiasi matahari menyebabkan lapisan ionosfer mempunyai sejumlah elektron dan ion bebas yang bergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari serta densitas gas pada lapisan tersebut. Hal tersebut akan mempengaruhi kecepatan, arah, polarosasi, dan kekuatan sinyal yang melaluinya. Dalam hal ini, ionosfer akan memperlambat data pseudorange dan mempercepat data fase. Oleh karenanya ukuran jarak yang dihasilkan menjadi kurang teliti. c) Bias Troposfer Pada saat sinyal satelit melewati lapisan troposfer, sinyal akan mengalami refraksi yang menyebabkan perubahan pada kecepatan dan arah sinyal sehingga dapat mempengaruhi hasil ukuran jarak. Lapisan troposfer ini memperlambat data pseudorange dan data fase. d) Multipath Multipath adalah fenomena yang terjadi karena sinyal dari satelit tiba di antena GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda (Abidin, 2000). Dalam hal ini satu sinyal merupakan sinyal yang sebenarnya dan sinyal yang lain merupakan sinyal tidak langsung yang dipantulkan oleh benda-benda di sekitar antena seperti gedung, pepohonan, mobil, dan lain-lain. Adanya lebih dari satu lintasan menyebabkan sinyal-sinyal tersebut berinteferensi. e) Cycle Slip Cycle slip adalah terputusnya jumlah gelombang penuh pada saat pengamatan berlangsung. Hal tersebut salah satunya bisa diakibatkan karena matinya receiver GPS. f) Ambiguitas Fase Ambiguitas fase adalah jumlah gelombang penuh berupa bilangan bulat dan merupakan kelipatan panjang gelombang yang tidak terukur oleh receiver pada saat pengamatan berlangsung (Zikra, 2004). Penentuan ambiguitas diperlukan pada saat pengubahan data fase menjadi hasil ukuran jarak sehingga dihasilkan ketelitian yang sangat presisi. Nilai ambiguitas fase akan selalu tetap selama pengamatan tidak terjadi cycle slip. Penentuan ambiguitas fase ini 29

24 dilakukan dengan cara pemberian koreksi terhadap nilai ambiguitas fase yang mengembang (float) sehingga didapat nilai ambiguitas fase yang integer. g) Kesalahan Jam Kesalahan jam ini dapat berupa kesalahan jam satelit maupun kesalahan jam receiver. Bentuk kesalahan jam ini adalah dalam bentuk offset waktu atau offset frekuensi yang dapat mempengaruhi ukuran jarak. Ada beberapa macam cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi efek kesalahan dan bias pengamatan yaitu mengestimasi parameter dari kesalahan dan bias dalam proses hitung perataan, pengurangan data pengamatan (differencing), menghitung besar kesalahan dan bias secara langsung atau dari model, menggunakan strategi pengamatan dan pengolahan data yang tepat, dan mengabaikan kesalahan dan bias itu sendiri (Abidin, 2000). Secara umum, metode penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi menjadi dua, yaitu Metode Penentuan Posisi Absolut dan Metode Penentuan Posisi Relatif. Penentuan posisi absolut hanya membutuhkan satu receiver GPS saja, sedangkan pada penentuan posisi relatif atau diferensial membutuhkan minimal 2 buah receiver GPS. Dalam survei GPS yang menuntut ketelitian tinggi misalnya pada survei deformasi Pangandaran ini, metode yang digunakan adalah metode diferensial dengan moda Jaring artinya titik-titik pengamatan di sekitar Pangandaran diikatkan ke beberapa titik ikat atau referensi. Metode diferensial dengan moda jaring dapat didefinisikan sebagai proses penentuan koordinat dari sejumlah titik terhadap beberapa buah titik yang telah diketahui koordinatnya dengan menggunakan data pengamatan fase dari sinyal GPS (Abidin, 2002). Pada umumnya jenis survei yang dilakukan adalah survei statik. Titik-titik pengamatan deformasi diletakkan pada daerah sekitar patahan sehingga dapat dilihat pola pergerakannya. Selanjutnya titik-titik pengamatan tersebut diikatkan ke sebuah kerangka referensi yaitu ITRF (International Terrestrial Reference Frame). Kerangka ini terdiri dari 300 titik yang menyebar di seluruh permukaan bumi dan didapatkan dengan pengukuran secara kontinu 30

25 menggunakan metode-metode pengamatan VLBI, LLR, GPS, SLR dan DORIS. ITRF memiliki koordinat dengan ketelitian 1-3 cm dan kecepatan dengan ketelitian 2-8 mm/tahun (Abidin, 2000). Kerangka ITRF terdiri dari titik-titik yang disebut titik IGS (International GNSS Service) yang menyebar hampir di seluruh lempeng tektonik utama dan lempeng-lempeng kecil sehingga kerangka ini dapat digunakan sebagai referensi dalam studi pemantauan deformasi bumi. Pada realisasinya dalam pengolahan data GPS, titik-titik hasil pengamatan akan diikatkan (differensial) ke beberapa titik IGS sesuai dengan letak terdekat dan baik tidaknya kondisi titik ikat tersebut sehingga titik-titik pengamatan GPS dan titik IGS akan membentuk suatu jaring yang optimum atau observation-maximum (OBS-MAX). Parameter utama dari jaring optimum tersebut adalah jarak antar titik diusahakan yang pendek (baseline pendek). Adapun letak dari titik-titik IGS ini dapat dilihat pada gambar 2.16 di bawah ini. Gambar 2.16 Stasiun-stasiun ITRF/ IGS (igscb.jpl.nasa.gov) 31

26 Pada pengolahan jaring GPS dengan strategi OBS-MAX tersebut sama halnya dengan pengolahan jaring GPS pada umumnya, yaitu terdiri dari : 1) Pengolahan data dari setiap baseline dalam jaringan. 2) Perataan jaring yang melibatkan semua baseline untuk menentukan koordinat dari titik-titik dalam jaringan. 3) Transformasi koordinat titik-titik tersebut dari datum WGS 1984 ke datum yang diperlukan oleh pengguna. Pengolahan baseline bertujuan untuk menghitung vektor baseline (dx, dy, dz) antara dua titik ujung baseline. Data yang digunakan untuk pengestimasian vektor tersebut adalah data double-difference yaitu data pengamatan pengamatsatelit dalam suatu epok tertentu. Data digunakan agar efek kesalahan jam satelit dan receiver dieliminasi, sehingga tersisa ambiguitas fase dan efek atmosfer. Proses pengolahan baseline digambarkan pada gambar 2.16 berikut ini. 32

27 Pemrosesan Awal (outlier detection) Penetapan/penentuan koordinat dari satu titik ujung baseline untuk berfungsi sebagai titik referensi Pendeteksian dan pengkoreksian cycle slips Penentuan posisi secara diferensial (menggunakan double-difference fase, ambiguity float) Penentuan Ambiguitas Fase Penentuan posisi secara diferensial (menggunakan double-difference fase, ambiguity-fixed) Solusi Baseline Definitif Gambar 2.17 Tahapan penentuan suatu baseline GPS (double-difference) Selanjutnya vektor-vektor baseline yang telah ditentukan diproses dalam suatu hitung perataan jaringan yang bertujuan untuk menentukan koordinat final dari titik-titik dalam jaringan. Pada umumnya metode perhitungan yang digunakan adalah metode perataan kuadrat terkecil. Ada dua tahapan dalam perataan jaringan GPS ini yaitu perataan jaring bebas dan perataan jaring terikat. Pada perataan jaring bebas menggunakan hanya satu titik ikat IGS untuk mengecek konsistensi vektor baseline, satu terhadap yang lainnya membentuk suatu jaring GPS yang optimal. Sedangkan pada perataan jaring terikat, semua 33

28 titik ikat IGS digunakan untuk menghasilkan koordinat final. Tujuan dari perataan jaring terikat adalah untuk memeriksa konsistensi data ukuran baseline dengan titik-titik IGS yang telah ada. Setelah solusi dari jaring didapat, semua titik-titik IGS yang digunakan dilakukan sebuah uji berdasarkan rata-rata dari 3 parameter translasi menggunakan transformasi Helmert. Jika ada titik IGS yang tidak sesuai maka titik tersebut harus dihilangkan dari proses pengolahan data dan proses perataan jaring kembali dilakukan. Jika semua koordinat final telah ditentukan maka para pengguna bisa melakukan transformasi dari datum WGS84 ke dalam datum tertentu yang diperlukan Pengaruh Pergerakan Lempeng Dalam Studi Deformasi Lempeng-lempeng di muka bumi ini yang berjumlah kurang lebih 20 lempeng utama dan lempeng-lempeng kecil lainnya mengalami pergerakan setiap tahunnya misalnya lempeng Eurasia yang bergerak 2 cm/tahun ke arah timur dan lempeng Australia yang bergerak 7 cm/tahun ke arah utara, demikian juga dengan lempeng-lempeng kecil. Titik-titik pengamatan deformasi terletak pada suatu lempeng atau blok yang bergerak sehingga hasil pengamatan data GPS saja tidak dapat dijadikan sebagai indikator pergeseran karena masih dipengaruhi pergerakan lempeng tersebut. Dalam kasus deformasi postseismik Pangandaran ini, titik-titik pengamatan GPS terletak pada Sunda block. Oleh karena itu, diperlukan sebuah perhitungan yang dapat memodelkan pergerakan lempeng atau blok di tempat titik pengamatan berada. Penentuan pergerakan lempeng tersebut dapat dijelaskan oleh Leonhard Euler (1776) melalui teorema Euler fixed point yang menyatakan bahwa setiap pergerakan pada permukaan bumi dapat direpresentasikan sebagai rotasi dari titik rotasi kutub yang dipilih yang disebut Euler Pole. Para ahli menggunakan teorema ini untuk memahami pergerakan dari tektonik lempeng. Euler pole menjelaskan pergerakan lempeng yang satu misal lempeng B relatif terhadap lempeng yang lainnya misal A maka pergerakan lempeng B akan 34

29 diletakan pada kerangka referensi lempeng A. Kecepatan rotasi suatu lempeng dinyatakan dengan, ω = dθ/dt dimana dθ adalah rotasi yang dialami lempeng. Kecepatan rotasi dari lempeng B relatif terhadap lempeng A dilambangkan dengan A ω B. Dengan informasi itu dapat ditentukan kecepatan di suatu titik pada lempeng B relatif terhadap lempeng A dan diformulasikan dengan rumus : v = A ω B Rsin(α) dimana R adalah jari-jari bumi dan α adalah sudut antara titik dengan sumbu rotasi. Ilustrasi dari Euler pole ini dapat dilihat dari gambar 2.18 di bawah ini. Gambar 2.18 Ilustrasi Euler Pole ( Dengan mengetahui kecepatan lempeng tersebut, maka hasil vektor pergeseran sudah tidak dipengaruhi pergerakan lempeng lagi karena hasil pengolahan data GPS telah dikurangi oleh kecepatan atau pergerakan suatu blok sehingga informasi mengenai deformasi di setiap titik dapat ditentukan. 35

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS 2.1 Definisi Gempa Bumi Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran pada kerak bumi yang terjadi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba. Gempa bumi, dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu karakteristik bumi adalah bumi merupakan salah satu bentuk alam yang bersifat dinamis yang disebabkan oleh tenaga-tenaga yang bekerja di dalam bumi itu sendiri

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Subduksi antara Lempeng Samudera dan Lempeng Benua [Katili, 1995]

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Subduksi antara Lempeng Samudera dan Lempeng Benua [Katili, 1995] BAB II DASAR TEORI II. 1. Gempabumi II. 1.1. Proses Terjadinya Gempabumi Dinamika bumi memungkinkan terjadinya Gempabumi. Di seluruh dunia tidak kurang dari 8000 kejadian Gempabumi terjadi tiap hari, dengan

Lebih terperinci

BAB II GEMPA ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP BATAS

BAB II GEMPA ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP BATAS BAB II GEMPA ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP BATAS II.1 Gempa Bumi Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran sesaat akibat terjadinya sudden slip (pergeseran secara tiba-tiba) pada kerak bumi. Sudden slip terjadi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN 1950-2013 Samodra, S.B. & Chandra, V. R. Diterima tanggal : 15 November 2013 Abstrak Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Lama Pengamatan GPS. Gambar 4.1 Perbandingan lama pengamatan GPS Pangandaran kala 1-2. Episodik 1 Episodik 2. Jam Pengamatan KRTW

BAB IV ANALISIS. Lama Pengamatan GPS. Gambar 4.1 Perbandingan lama pengamatan GPS Pangandaran kala 1-2. Episodik 1 Episodik 2. Jam Pengamatan KRTW BAB IV ANALISIS Dalam bab ke-4 ini dibahas mengenai analisis dari hasil pengolahan data dan kaitannya dengan tujuan dan manfaat dari penulisan tugas akhir ini. Analisis dilakukan terhadap data pengamatan

Lebih terperinci

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) III. 1 GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Global Positioning System atau GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit [Abidin, 2007]. Nama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Australia dan lempeng Pasifik merupakan jenis lempeng samudera dan bersifat

Lebih terperinci

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan.

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. 1.1 Apakah Gempa Itu? Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. Getaran tersebut disebabkan oleh pergerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. tatanan tektonik yang kompleks. Pada bagian barat Indonesia terdapat subduksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. tatanan tektonik yang kompleks. Pada bagian barat Indonesia terdapat subduksi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar yakni lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Global Positioning System (GPS) 2.1.1 Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS GPS (Global Positioning System) merupakan sistem satelit navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit.

Lebih terperinci

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik.

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi merupakan peristiwa bergetarnya bumi karena pergeseran batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik. Pergerakan tiba-tiba

Lebih terperinci

BAB II GEMPA BUMI DAN GELOMBANG SEISMIK

BAB II GEMPA BUMI DAN GELOMBANG SEISMIK BAB II GEMPA BUMI DAN GELOMBANG SEISMIK II.1 GEMPA BUMI Seperti kita ketahui bahwa bumi yang kita pijak bersifat dinamis. Artinya bumi selalu bergerak setiap saat, baik itu pergerakan akibat gaya tarik

Lebih terperinci

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS Bayu Baskara ABSTRAK Bali merupakan salah satu daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami karena berada di wilayah pertemuan

Lebih terperinci

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST Oleh : Rahmat Triyono,ST,MSc Kepala Stasiun Geofisika Klas I Padang Panjang Email : rahmat.triyono@bmkg.go.id Sejak Gempabumi

Lebih terperinci

GEMPA BUMI DAN AKTIVITASNYA DI INDONESIA

GEMPA BUMI DAN AKTIVITASNYA DI INDONESIA GEMPA BUMI DAN AKTIVITASNYA DI INDONESIA Disusun Oleh: Josina Christina DAFTAR ISI Kata Pengantar... 2 BAB I... 3 1.1 Latar Belakang... 3 1.2 Tujuan... 3 1.3 Rumusan Masalah... 4 BAB II... 5 2.1 Pengertian

Lebih terperinci

Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda?

Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda? Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda? Supriyanto Rohadi, Bambang Sunardi, Rasmid Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON Hapsoro Agung Nugroho Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar soro_dnp@yahoo.co.id ABSTRACT Bali is located on the boundaries of the two

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesar Cimandiri (gambar 1.1) merupakan sesar aktif yang berada di wilayah selatan Jawa Barat, tepatnya berada di Sukabumi selatan. Sesar Cimandiri memanjang dari Pelabuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tektonik, Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng mikro Filipina. Interaksi antar lempeng mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS Satelit navigasi merupakan sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. Satelit dapat memberikan posisi suatu objek di muka bumi dengan akurat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Grafik One Earthquake cycle fase interseismic postseismic[andreas, 2005]

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Grafik One Earthquake cycle fase interseismic postseismic[andreas, 2005] BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran sesaat, gempa sendiri terjadi akibat pergeseran secara tiba-tiba pada kerak bumi. Pergeseran ini terjadi karena adanya suatu

Lebih terperinci

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

BAB III DEFORMASI BERDASARKAN MODEL DISLOKASI DAN VEKTOR PERGESERAN GPS

BAB III DEFORMASI BERDASARKAN MODEL DISLOKASI DAN VEKTOR PERGESERAN GPS BAB III DEFORMASI BERDASARKAN MODEL DISLOKASI DAN VEKTOR PERGESERAN GPS III.1. Pengamatan Deformasi Akibat Gempabumi dengan GPS Deformasi akibat gempabumi nampak jelas mengubah bentuk suatu daerah yang

Lebih terperinci

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami TSUNAMI Karakteristik Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu dari kata tsu dan nami. Tsu berarti pelabuhan dan nami berarti gelombang. Istilah tersebut kemudian dipakai oleh masyarakat untuk menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Hubungan Persebaran Episenter Gempa Dangkal dan Kelurusan Berdasarkan Digital Elevation Model di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta I.2.

Lebih terperinci

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu wilayah yang sangat aktif kegempaannya. Hal ini disebabkan oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komplek yang terletak pada lempeng benua Eurasia bagian tenggara (Gambar

BAB I PENDAHULUAN. komplek yang terletak pada lempeng benua Eurasia bagian tenggara (Gambar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki tatanan geologi yang cukup komplek yang terletak pada lempeng benua Eurasia bagian tenggara (Gambar I.1). Indonesia dibatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Analisa Sudut Penunjaman Lempeng Tektonik Berdasarkan Data Gempa di Pulau Jawa Bagian Barat. I.2. Latar Belakang Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BUMI BARAT LAUT KEP. SANGIHE SULAWESI UTARA Oleh Artadi Pria Sakti*, Robby Wallansha*, Ariska

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengolahan Data Data GPS yang digunakan pada Tugas Akhir ini adalah hasil pengukuran secara kontinyu selama 2 bulan, yang dimulai sejak bulan Oktober 2006 sampai November 2006

Lebih terperinci

TEORI TEKTONIK LEMPENG

TEORI TEKTONIK LEMPENG Pengenalan Gempabumi BUMI BENTUK DAN UKURAN Bumi berbentuk bulat seperti bola, namun rata di kutub-kutubnya. jari-jari Khatulistiwa = 6.378 km, jari-jari kutub=6.356 km. Lebih dari 70 % permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia termasuk daerah yang rawan terjadi gempabumi karena berada pada pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Aktivitas kegempaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan Indonesia tersebar sepanjang nusantara mulai ujung barat Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I. 1 LATAR BELAKANG Gempa bumi merupakan fenomena alam yang sudah tidak asing lagi bagi kita semua, karena seringkali diberitakan adanya suatu wilayah dilanda gempa bumi, baik yang ringan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Selama peradaban manusia, gempa bumi telah dikenal sebagai fenomena alam yang menimbulkan efek bencana yang terbesar, baik secara moril maupun materiil. Suatu gempa

Lebih terperinci

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017 KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI 2016 15 DESEMBER 2017 Oleh ZULHAM. S, S.Tr 1, RILZA NUR AKBAR, ST 1, LORI AGUNG SATRIA, A.Md 1

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Geometri lapisan bumi [http://pubs.usgs.gov/publications/text/historical.html]

Gambar 2.1. Geometri lapisan bumi [http://pubs.usgs.gov/publications/text/historical.html] BAB II DASAR TEORI 2.1 Dinamika Struktur Bumi Berdasarkan sifat fisisnya, interior bumi terdiri dari beberapa lapisan seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.1. Lapisan lapisan tersebut memiliki sifat

Lebih terperinci

Pengembangan Program Analisis Seismic Hazard dengan Teorema Probabilitas Total Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Pengembangan Program Analisis Seismic Hazard dengan Teorema Probabilitas Total Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Gempa bumi adalah peristiwa bergeraknya permukaan bumi atau permukaan tanah secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh pergerakan dari lempenglempeng bumi. Menurut M.T. Zein gempa

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Metode Real Time Point Precise Positioning (RT-PPP) merupakan teknologi

Lebih terperinci

BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra

BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra 3.1 Data Catatan Sejarah Gempa Besar di Zona Subduksi Sumatra Data catatan sejarah gempa besar pada masa lalu yang pernah terjadi di suatu daerah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Seismisitas sesar Cimandiri Ada beberapa definisi seismisitas, sebagai berikut :

BAB IV ANALISIS Seismisitas sesar Cimandiri Ada beberapa definisi seismisitas, sebagai berikut : BAB IV ANALISIS Analisis yang dilakukan untuk dapat melihat karakteristik deformasi sesar cimandiri berdasarkan dua kala pengamatan pada tugas akhir ini meliputi seismisitas, analisis terhadap standar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada pembenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada pembenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pembenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Hindia Australia dan berada pada pertemuan 2 jalur

Lebih terperinci

Latar Belakang STUDI POST-SEISMIC SEISMIC GEMPA ACEH 2004 MENGGUNAKAN DATA GPS KONTINYU. Maksud & Tujuan. Ruang Lingkup

Latar Belakang STUDI POST-SEISMIC SEISMIC GEMPA ACEH 2004 MENGGUNAKAN DATA GPS KONTINYU. Maksud & Tujuan. Ruang Lingkup STUDI POST-SISMIC SISMIC GMPA ACH 2004 MGGUAKA DATA GPS KOTIYU Ole : Imron Malra Setyawan 15103027 Latar Belakang Interseismik Gempa Bumi artquake Cycle Pre-seismik Co-seismik Post-seismik Pemantauan Potensi

Lebih terperinci

BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Pengamatan Data Salah satu cara dalam memahami gempa bumi Pangandaran 2006 adalah dengan mempelajari deformasi yang mengiringi terjadinya gempa bumi

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA IV.1 SOFTWARE BERNESE 5.0 Pengolahan data GPS High Rate dilakukan dengan menggunakan software ilmiah Bernese 5.0. Software Bernese dikembangkan oleh Astronomical Institute University

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara dimana terdapat pertemuan 3 lempeng tektonik utama bumi. Lempeng tersebut meliputi lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng utama yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng tersebut

Lebih terperinci

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*) POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA Oleh : Hendro Murtianto*) Abstrak Aktivitas zona patahan Sumatera bagian tengah patut mendapatkan perhatian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala Richter sehingga dapat menyebabkan terjadinya tsunami. Halini

Lebih terperinci

Sebaran Jenis Patahan Di Sekitar Gunungapi Merapi Berdasarkan Data Gempabumi Tektonik Tahun

Sebaran Jenis Patahan Di Sekitar Gunungapi Merapi Berdasarkan Data Gempabumi Tektonik Tahun Sebaran Jenis Patahan Di Sekitar Gunungapi Merapi Berdasarkan Data Gempabumi Tektonik Tahun 1977 2010 Fitri Puspasari 1, Wahyudi 2 1 Metrologi dan Instrumentasi Departemen Teknik Elektro dan Informatika

Lebih terperinci

Sulawesi. Dari pencatatan yang ada selama satu abad ini rata-rata sepuluh gempa

Sulawesi. Dari pencatatan yang ada selama satu abad ini rata-rata sepuluh gempa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi merupakan satu bencana alam yang disebabkan kerusakan kerak bumi yang terjadi secara tiba-tiba dan umumnya diikuti dengan terjadinya patahan atau sesar.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu wilayah yang memiliki aktivitas kegempaan yang sangat tinggi. Hal ini karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama.

Lebih terperinci

ANALISIS HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE FEBRUARI 2018 (GEMPABUMI PIDIE 08 FEBRUARI 2018) Oleh ZULHAM SUGITO 1

ANALISIS HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE FEBRUARI 2018 (GEMPABUMI PIDIE 08 FEBRUARI 2018) Oleh ZULHAM SUGITO 1 ANALISIS HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE FEBRUARI 2018 (GEMPABUMI PIDIE 08 FEBRUARI 2018) Oleh ZULHAM SUGITO 1 1 PMG Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh Pendahuluan Aceh merupakan

Lebih terperinci

Trench. Indo- Australia. 5 cm/thn. 2 cm/thn

Trench. Indo- Australia. 5 cm/thn. 2 cm/thn Setelah mengekstrak efek pergerakan Sunda block, dengan cara mereduksi velocity rate dengan velocity rate Sunda block-nya, maka dihasilkan vektor pergeseran titik-titik GPS kontinyu SuGAr seperti pada

Lebih terperinci

PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI Oleh ZULHAM SUGITO 1

PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI Oleh ZULHAM SUGITO 1 PENENTUAN HIPOSENTER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE JANUARI 2018 Oleh ZULHAM SUGITO 1 1 PMG Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh Pendahuluan Aktifitas tektonik di Provinsi Aceh dipengaruhi

Lebih terperinci

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu 364 Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu Rahmad Aperus 1,*, Dwi Pujiastuti 1, Rachmad Billyanto 2 Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi BAB II DASAR TEORI 2.1 Gunungapi Gunungapi terbentuk sejak jutaan tahun lalu hingga sekarang. Pengetahuan tentang gunungapi berawal dari perilaku manusia dan manusia purba yang mempunyai hubungan dekat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng India-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bertumbukan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.2

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.2 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.2 1. Naiknya Pulau Simeuleu bagian utara saat terjadi gempa di Aceh pada tahun 2004 merupakan contoh gerakan.... epirogenetik

Lebih terperinci

RELOKASI SUMBER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE MARET Oleh ZULHAM SUGITO 1, TATOK YATIMANTORO 2

RELOKASI SUMBER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE MARET Oleh ZULHAM SUGITO 1, TATOK YATIMANTORO 2 RELOKASI SUMBER GEMPABUMI DI WILAYAH PROVINSI ACEH PERIODE MARET 2018 Oleh ZULHAM SUGITO 1, TATOK YATIMANTORO 2 1 Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh 2 Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Pendahuluan

Lebih terperinci

PENGARUH GEMPA TEKTONIK TERHADAP AKTIVITAS GUNUNGAPI : STUDI KASUS G. TALANG DAN GEMPABUMI PADANG 30 SEPTEMBER 2009

PENGARUH GEMPA TEKTONIK TERHADAP AKTIVITAS GUNUNGAPI : STUDI KASUS G. TALANG DAN GEMPABUMI PADANG 30 SEPTEMBER 2009 PENGARUH GEMPA TEKTONIK TERHADAP AKTIVITAS GUNUNGAPI : STUDI KASUS G. TALANG DAN GEMPABUMI PADANG 30 SEPTEMBER 2009 Ahmad BASUKI., dkk. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Terjadinya suatu

Lebih terperinci

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc www.pelagis.net 1 Materi Apa itu GPS? Prinsip dasar Penentuan Posisi dengan GPS Penggunaan GPS Sistem GPS Metoda Penentuan Posisi dengan GPS Sumber Kesalahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang wilayahnya membentang diantara benua Asia dan Australia serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS B A B IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Output Sistem Setelah sistem ini dinyalakan, maka sistem ini akan terus menerus bekerja secara otomatis untuk mendapatkan hasil berupa karakteristik dari lapisan troposfer

Lebih terperinci

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile

Dalam pengembangannya, geodinamika dapat berguna untuk : a. Mengetahui model deformasi material geologi termasuk brittle atau ductile Geodinamika bumi 9. GEODINAMIKA Geodinamika adalah cabang ilmu geofisika yang menjelaskan mengenai dinamika bumi. Ilmu matematika, fisika dan kimia digunakan dalam geodinamika berguna untuk memahami arus

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH

MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH Oleh Abdi Jihad dan Vrieslend Haris Banyunegoro PMG Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh disampaikan dalam Workshop II Tsunami Drill Aceh 2017 Ditinjau

Lebih terperinci

Bab III Kondisi Seismotektonik Wilayah Sumatera

Bab III Kondisi Seismotektonik Wilayah Sumatera Bab III Kondisi Seismotektonik Wilayah Sumatera III.1 Seismotektonik Indonesia Aktifitas kegempaan di Indonesia dipengaruhi oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan empat lempeng tektonik dunia.

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir Pemodelan Numerik Respons Benturan Tiga Struktur Akibat Gempa BAB I PENDAHULUAN

Laporan Tugas Akhir Pemodelan Numerik Respons Benturan Tiga Struktur Akibat Gempa BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Saat ini lahan untuk pembangunan gedung yang tersedia semakin lama semakin sedikit sejalan dengan bertambahnya waktu. Untuk itu, pembangunan gedung berlantai banyak

Lebih terperinci

Masyarakat perlu diberikan pelatihan mengenai caracara menyelamatkan diri saat bencana terjadi. Sebenarnya di Indonesia banyak perusahaan tambang dan

Masyarakat perlu diberikan pelatihan mengenai caracara menyelamatkan diri saat bencana terjadi. Sebenarnya di Indonesia banyak perusahaan tambang dan Dilihat dari kondisi geografisnya, Indonesia merupakan wilayah dengan ancaman bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi. Banyaknya gunung aktif serta bentuknya yang berupa negara

Lebih terperinci

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA A ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BUMI DELISERDANG SUMATRA UTARA Oleh Fajar Budi Utomo*, Trisnawati*, Nur Hidayati Oktavia*, Ariska Rudyanto*,

Lebih terperinci

Implikasi Co-Seismic dan Post-Seismic Horizontal Displacement Gempa Aceh 2004 Terhadap Status Geometrik Data Spasial Wilayah Aceh dan Sekitarnya

Implikasi Co-Seismic dan Post-Seismic Horizontal Displacement Gempa Aceh 2004 Terhadap Status Geometrik Data Spasial Wilayah Aceh dan Sekitarnya Implikasi Co-Seismic dan Post-Seismic Horizontal Displacement Gempa Aceh 2004 Terhadap Status Geometrik Data Spasial Wilayah Aceh dan Sekitarnya Andreas H., D.A. Sarsito, M.Irwan, H.Z.Abidin, D. Darmawan,

Lebih terperinci

PENGENALAN. Irman Sonjaya, SE

PENGENALAN. Irman Sonjaya, SE PENGENALAN Irman Sonjaya, SE PENGERTIAN Gempa bumi adalah suatu gangguan dalam bumi jauh di bawah permukaan yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta benda di permukaan. Gempa bumi datangnya sekonyong-konyong

Lebih terperinci

LAPORAN GEMPABUMI Mentawai, 25 Oktober 2010

LAPORAN GEMPABUMI Mentawai, 25 Oktober 2010 LAPORAN GEMPABUMI Mentawai, 25 Oktober 2010 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA JAKARTA 2010 1 OUTLINE I. LOKASI GEMPABUMI MENTAWAI SUMATERA BARAT II. 1. TIME LINE GEMPABUMI MENTAWAI SUMATERA BARAT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng besar dunia yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Pasifik di bagian timur, dan Lempeng Eurasia di

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Salah satu kegiatan eksplorasi seismic di darat adalah kegiatan topografi seismik. Kegiatan ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak di Pacific ring of fire atau cincin api Pasifik yang wilayahnya terbentang di khatulistiwa dan secara geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempabumi sangat sering terjadi di daerah sekitar pertemuan lempeng, dalam hal ini antara lempeng benua dan lempeng samudra akibat dari tumbukan antar lempeng tersebut.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut berhubungan dengan letak geografis Indonesia yang terletak di antara

Lebih terperinci

1. Deskripsi Riset I

1. Deskripsi Riset I 1. Deskripsi Riset I (Karakterisasi struktur kerak di bawah zona transisi busur Sunda-Banda menggunakan metoda inversi gabungan gelombang permukaan dan gelombang bodi dari data rekaman gempa dan bising

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rekayasa gempa berhubungan dengan pengaruh gempa bumi terhadap manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi pengaruhnya. Gempa bumi merupakan

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (Sumatran GPS Array)

Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (Sumatran GPS Array) Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (n GPS Array) Bima Pramudya Khawiendratama 1), Ira Mutiara Anjasmara 2), dan Meiriska Yusfania 3) Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tatanan tektonik terletak pada zona pertemuan lempeng lempeng tektonik. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tatanan tektonik terletak pada zona pertemuan lempeng lempeng tektonik. Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Analisis Sudut Penunjaman Lempeng Tektonik Berdasarkan Data Gempa di Pulau Seram dan Pulau Buru. I.2. Latar Belakang Fenomena gempabumi merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah penduduk lebih

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.... i HALAMAN PENGESAHAN.... ii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH.... iii KATA PENGANTAR.... iv ABSTRAK.... v ABSTRACT.... vi DAFTAR ISI.... vii DAFTAR GAMBAR.... ix DAFTAR TABEL....

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi dengan magnitude besar yang berpusat di lepas pantai barat propinsi Nangroe Aceh Darussalam kemudian disusul dengan bencana tsunami dahsyat, telah menyadarkan

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuban adalah sebuah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia. Penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. Tuban adalah sebuah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia. Penduduknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuban adalah sebuah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia. Penduduknya berjumlah sekitar satu juta jiwa. Tercatat dua buah sungai yang mempunyai aliran panjang

Lebih terperinci

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!!

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! 14 Mei 2011 1. Jawa Rawan Gempa: Dalam lima tahun terakhir IRIS mencatat lebih dari 300 gempa besar di Indonesia, 30 di antaranya terjadi di Jawa. Gempa Sukabumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dzikri Wahdan Hakiki, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dzikri Wahdan Hakiki, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terdiri dari 3 lempeng tektonik yang bergerak aktif, yaitu lempeng Eurasia diutara, lempeng Indo-Australia yang menujam dibawah lempeng Eurasia dari selatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis, posisi Indonesia yang dikelilingi oleh ring of fire dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), lempeng eura-asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar yakni lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Tektonik Lempeng

BAB II DASAR TEORI Tektonik Lempeng BAB II DASAR TEORI 2.1. Tektonik Lempeng Bumi berbentuk ellipsoid. Bumi terdiri dari beberapa lapisan seperti yang diilustrasikan pada gambar 2.1. Lapisan-lapisan tersebut memiliki sifat dan karakteristik

Lebih terperinci

Estimasi Nilai Pergeseran Gempa Bumi Padang Tahun 2009 Menggunakan Data GPS SuGAr

Estimasi Nilai Pergeseran Gempa Bumi Padang Tahun 2009 Menggunakan Data GPS SuGAr C93 Estimasi Nilai Pergeseran Gempa Bumi Padang Tahun 2009 Menggunakan Data GPS SuGAr I Dewa Made Amertha Sanjiwani 1), Ira Mutiara Anjasmara 2), Meiriska Yusfania 3) Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT Badrul Mustafa Jurusan Teknik Sipil, Universitas Andalas Email: rulmustafa@yahoo.com ABSTRAK Akibat tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia dimana

Lebih terperinci