BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia"

Transkripsi

1 BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia Tanah merupakan bagian dari alam yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia. Hampir seluruh kegiatan manusia dilakukan di atas bidang tanah. Tanah merupakan sumber daya alam yang tidak pernah berubah luasnya meskipun jumlah bidang tanah terus bertambah. Dengan jumlah yang terus bertambah itu, diperlukan suatu ketentuan mengenai kepemilikan dan hal-hal lain terkait bidang tanah. Peraturan mengenai administrasi pertanahan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka yaitu dengan adanya Hukum Barat yang merupakan hukum tertulis, dan Hukum Adat yang berupa hukum tidak tertulis, namun adanya kedua hukum ini menyebabkan dualisme hukum pertanahan di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, diberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang lahir pada tanggal 24 September 1960, sebagai satu-satunya dasar hukum yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan bidang tanah. Dalam UUPA tersebut salah satunya dicantumkan mengenai kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam kegiatan pendaftaran tanah diperlukan adanya suatu referensi yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi seluruh bidang tanah di Indonesia. Di Indonesia, referensi ini diwujudkan dalam bentuk pilar titik dasar teknik berorde yang harus dapat mencakup seluruh area pengukuran. Seiring perkembangan teknologi yang semakin maju, realisasi kerangka referensi ini tidak lagi berupa pilar di lapangan seperti yang selama ini dikenal sebagai titik dasar teknik. Diadakan suatu titik ikat yang permanen, stabil, dan beroperasi secara kontinyu serta dapat menjangkau area pengukuran bidang tanah sampai daerah pelosok, yang dinamakan sistem GPS CORS. GPS CORS merupakan istilah yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan produsen receiver GPS. Teknologi serupa yang diterapkan di seluruh dunia oleh sponsor yang berbeda memiliki nama dan istilah yang berbeda-beda, misalnya ACS (Active Control System) di Kanada, MOLDPOS di Republic Moldova, Hongkong GPS Network di Hongkong, dan SIMRSN (Singapore Integrated Multiple Reference

2 Station Network) di Singapura [Rizos, C. et al, 2003]. Sampai saat ini belum ada istilah umum dan baku yang digunakan untuk penyebutan sistem ini, tergantung kepada masing-masing negara pengelola dan penyedia sistem. 2.1 Kadaster Kadaster adalah suatu sistem informasi pertanahan berbasis persil yang berisi informasi terkini tentang segala kepentingan yang terkait dengan tanah, seperti hak atas tanah, batasan-batasan dan tanggung-jawab yang harus dipenuhi dalam pemilikan dan pengelolaan tanah [ 2007]. Umumnya kadaster meliputi deskripsi geometris bidang tanah atau persil yang dikaitkan dengan catatan lain mengenai kepentingan yang terkait dengan bidang tanah tersebut, kepemilikan atau kontrol terhadap kepentingan-kepentingan tersebut, selain itu sering pula berisi informasi mengenai nilai bidang tanah dan pengembangan yang telah dilakukan diatas bidang tanah tersebut. Secara umum kadaster dimaksudkan untuk pengelolaan hak atas tanah, nilai tanah, dan pemanfaatan tanah. Untuk menuangkan data-data dan informasi suatu bidang tanah agar tersusun menjadi suatu sistem yang baik, dilakukan kegiatan pendaftaran tanah yang kemudian menghasilkan peta kadaster atau peta pendaftaran tanah. 2.2 Dynamic Cadastre Konsep dynamic cadastre dilatarbelakangi fenomena geodinamika yang terjadi di dalam bumi dan menimbulkan efek bagi kestabilan posisi dan terutama titik-titik jaring kontrol geodesi statik sebagai acuan atau referensi yang digunakan di suatu wilayah. Karena adanya pergerakan geodinamika ini, koordinat batas-batas bidang tanah yang dinyatakan dalam suatu referensi koordinat akan berubah mengikuti pergerakan yang terjadi pada tanah di bawahnya. Dynamic cadastre merupakan suatu program yang dikembangkan dalam rangka mengatasi perubahan koordinat yang diakibatkan geodinamika ini. Konsepnya adalah membangun jaringan kontrol modern untuk menggantikan jaringan kontrol statik yang ada sebelumnya, dan menempatkan receiver GPS di atas titik tersebut. Receiver GPS ini kemudian

3 mengontrol perubahan jaring yang terjadi akibat pergerakan tanah di tempat titik jaring tersebut melalui informasi posisi yang diperoleh dari sinyal satelit. Selanjutnya pengukuran titik-titik batas bidang tanah tinggal mengacu pada stasiun jaringan dan koordinatnya telah terdefinisi dalam referensi yang sama dengan jaringan kontrol geodetik yang baru dan fleksibel mengikuti pergerakan geodinamika [Blick and Grant, 2007]. Di Indonesia konsep dynamic cadastre belum diterapkan. Salah satu negara yang sudah menerapkan sistem dynamic cadastre di negaranya adalah Selandia Baru. Di negara tersebut konsep ini dikembangkan dengan latar belakang kondisi geografisnya yang mirip dengan Indonesia, dimana terdapat lempeng Pasifik dan lempeng Australia yang dinamis dan menyebabkan pergerakan dan dinamika bagi tanah Selandia Baru. Perubahan yang diakibatkan pergerakan lempeng ini mencapai angka 5 cm per tahun dan mengakibatkan perubahan posisi batas-batas bidang tanah di Selandia Baru. Hal ini kemudian diatasi dengan membangun kerangka referensi yang dinamis dan diintegrasikan dengan teknologi GPS, dan mampu menyingkirkan titik kontrol geodesi sebelumnya dengan ribuan titik kerangka yang baru dan dinamis [Blick and Grant, 2007]. 2.3 Pendaftaran Tanah di Indonesia Administrasi pertanahan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman sebelum Indonesia merdeka, dimana saat itu berlaku Hukum Barat yang berlaku pada tanahtanah yang dikuasai oleh orang-orang Barat / Belanda di Indonesia, dan Hukum Adat yang mengatur tanah-tanah adat di Indonesia (misalnya tanah ulayat). Adanya dua jenis peraturan ini kemudian menimbulkan dualisme hukum pertanahan di Indonesia. Sejak 24 September 1960 dikeluarkanlah Undang-Undang Pokok Agraria sebagai satu-satunya dasar hukum di Indonesia yang berkaitan dengan bidang tanah. UUPA berdasar pada hukum adat yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dan memuat seluruh hak-hak atas tanah, fungsi tanah, subjek-subjek yang berwenang memiliki bidang tanah, kedudukan pemerintah dalam pertanahan nasional, dan pendaftaran tanah.

4 Menurut PP No.24 tahun 1997, pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Dalam PP No 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa kegiatan pendaftaran tanah meliputi : 1. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, yang terdiri dari : o Pengukuran atau pengadaan titik dasar teknik. o Pengukuran batas bidang tanah. o Pembuatan Peta Pendaftaran Tanah 2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; 3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Salah satu tujuan pendaftaran tanah adalah menjamin kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah. Jaminan kepastian hukum ini dituangkan dalam bentuk sertipikat. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sertipikat menjadi suatu jaminan dan pegangan agar objek bidang tanah yang dimiliki seseorang tidak tertukar dan tidak berpotensi menimbulkan konflik, yang diidentifikasikan melalui koordinat yang unik dan tunggal. Definisi bidang tanah sendiri adalah bagian dari permukaan bumi yang dengan sengaja telah diberikan tanda-tanda batas penguasaannya oleh seseorang atau badan hukum maupun badan kekuasaan negara ataupun masyarakat hukum adat sehingga menjadi suatu lahan mandiri [Haroen, 2008]. Gambar 2.1 menunjukkan tahapan-tahapan yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran tanah. Diawali dengan pengadaan titik dasar teknik sebagai referensi

5 pengukuran bidang tanah yang kemudian dicantumkan dalam Peta Dasar Pendaftaran. Selanjutnya Peta Dasar Pendaftaran diintegrasikan dengan informasi bidang tanah dan selanjutnya dilakukan pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang akan dibuatkan Daftar Tanah dan Surat Ukur atas tanah tersebut. Pengadaan titik dasar teknik orde 2, 3, dan 4 Peta Dasar Pendaftaran Pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah Pengumpulan data bidang tanah Penetapan batas bidang tanah Pembuatan Peta Pendaftaran Tanah Pembuatan Daftar Tanah Pembuatan Surat Ukur Gambar 2.1 Tahapan Kegiatan Pendaftaran Tanah Kerangka Referensi di Indonesia Pengukuran batas bidang tanah harus mengacu atau diikatkan ke titik ikat yang permanen dan memiliki cakupan luas. Titik acuan yang disebut sebagai kerangka klasik adalah titik dasar teknik, yang merupakan titik tetap yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik acuan ataupun titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas. Syarat untuk tugu yang akan dijadikan

6 titik dasar adalah sebaiknya ditempatkan pada lokasi yang aman dari gangguan dan dibangun di atas suatu daerah atau tanah yang dianggap stabil. Titik dasar teknik atau titik kerangka klasik diklasifikasikan menurut kerapatannya (orde) yaitu titik dasar teknik orde 0, titik dasar teknik orde 1, titik dasar teknik orde 2, titik dasar teknik orde 3, dan titik dasar teknik orde 4. Pengukuran titik dasar teknik orde 2 dilaksanakan dalam sistem koordinat nasional dengan mengikatkan ke titik-titik dasar teknik orde 0 dan orde 1 dari KDGN (Kerangka Dasar Geodesi Nasional) yang dibangun oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Pengukuran titik dasar teknik orde 3 dilaksanakan dalam sistem koordinat nasional dengan mengikatkan ke titik-titik dasar teknik orde 2. Pengukuran titik dasar teknik orde 4 dilaksanakan dalam sistem koordinat nasional dengan mengikatkan ke titik-titik dasar teknik orde 3, dan dibangun dengan kerapatan m. Apabila tidak memungkinkan, pengukuran titik dasar teknik orde 4 dapat dilaksanakan dalam sistem koordinat lokal dimana kemudian hari harus ditransformasikan ke dalam sistem koordinat proyeksi nasional. [Riandoko, 1996]. Sistem koordinat nasional menggunakan sistem koordinat proyeksi Transverse Mercator dengan lebar zone 3 atau sering disebut sebagai TM3. Pembagian orde titik dasar yang digunakan di Indonesia saat ini ditunjukkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Pembagian orde titik dasar [Handoko, 1998] Orde Kerapatan Penyelenggara Metode Pengukuran Orde km Bakosurtanal Pengamatan GPS Orde 1 30 km Bakosurtanal Pengamatan GPS Orde 2 10 km BPN Pengamatan GPS Orde 3 2 km BPN Pengamatan GPS Orde m BPN Pengamatan GPS / terestris Pengukuran titik dasar orde 2 dan 3 dilakukan dengan menggunakan metode GPS dan berbentuk jaringan yang dinamakan Kerangka Dasar Kadastral Nasional (KDKN). Untuk pengukuran dan pemetaan bidang tanah secara klasik, titik ikat yang menjadi acuan adalah titik dasar teknik orde 4 yang merupakan perapatan dari titik-

7 titik dasar teknis orde 3. Realisasi pengukuran titik orde 4 di BPN dilakukan dengan metode GPS atau pengukuran terestris dengan poligon. Untuk lebih jelas mengenai karakteristik geometrik titik-titik dasar ini ditunjukkan pada Gambar 2.2. = titik dasar teknik orde 2 = titik dasar teknik orde 3 Gambar 2.2 Karakteristik geometrik titik dasar teknik orde 2, 3, dan 4 [Abidin, 2000] Permasalahan Pendaftaran Bidang Tanah Dikaitkan dengan Keadaan Referensi Klasik di Indonesia Saat Ini Menurut PP No.24 tahun 1997 Bab III Pasal 5 dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN adalah Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang tugasnya meliputi bidang pertanahan. Beberapa fungsi BPN diantaranya adalah penyelenggaraan dan pelaksanaan survey, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan, dan pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum. Dalam melakukan pemetaan bidang tanah, diperlukan titik-titik ikat yang permanen dan mencakup seluruh kawasan pengukuran dalam rangka konsistensi referensi objek yang diukur. Dalam hal ini titik ikat yang dimaksud adalah titik dasar

8 teknik. Titik dasar teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu referensi tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas [PP No.24 Tahun 1997, Pasal 1 Ayat 13]. Pengadaan titik dasar ini dilakukan oleh badan pemerintah yang berewenang, dalam hal ini BPN dan Bakosurtanal. BPN melakukan pembangunan titik dasar orde 2, 3, dan 4 yang pada prinsipnya merupakan densifikasi titik kontrol geodesi nasional orde 0 dan 1 atau disebut juga Jaring Kontrol Geodesi (Horisontal) Nasional yang diukur dan dibangun oleh Bakosurtanal. Titik dasar teknik orde 2 dibangun dengan kerapatan ± 10 km, titik dasar orde 3 dibangun dengan kerapatan ± 1-2 km, dan titik dasar orde 4 dibangun dengan kerapatan ± m, dengan mengacu pada datum WGS Pada tahun 2007 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden no.85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional. Dalam PerPres ini disebutkan bahwa saat ini data spasial sebagai data yang berkaitan dengan unsur keruangan belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh instansi pemerintah maupun masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibentuklah Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) sebagai suatu sistem penyelenggaraan pengelolaan data spasial secara bersama, tertib, terukur, terintegrasi, dan berkesinambungan serta berdayaguna. Dalam Pasal 9 PerPres tersebut dicantumkan bahwa Bakosurtanal adalah Penghubung Simpul Jaringan yang bertugas membangun sistem akses JDSN, memfasilitasi pertukaran data spasial, memelihara sistem akses JDSN, dan melakukan pembinaan kepada Simpul Jaringan. Simpul Jaringan adalah institusi yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengumpulan, pemeliharaan, pemutakhiran, pertukaran, dan penyebarluasan data spasial tertentu, termasuk diantaranya adalah Badan Pertanahan Nasional. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang pertanahan, BPN bertugas menyiapkan data spasial berupa kerangka dasar kadastral dan bidang tanah, termasuk diantaranya penyediaan data batas-batas bidang tanah seluruh Indonesia yang mengacu pada satu sistem koordinat nasional dan terintegrasi dengan referensi global.

9 Terkait fungsi BPN dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, BPN memiliki target untuk dapat memetakan seluruh bidang tanah di Indonesia dalam waktu 18 tahun [Kompas, 2007]. Jumlah bidang tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia saat ini adalah kurang lebih 80 juta bidang, dan yang sudah terpetakan dan terdaftar adalah sekitar 30 juta bidang [Sunarto, 2007]. Hal ini berarti masih ada 50 juta bidang tanah yang belum didaftarkan dan menjadi tugas BPN. Dalam melakukan pengukuran bidang tanah banyak masalah dan kendala yang dihadapi oleh BPN. Salah satunya adalah tingginya permintaan pembuatan sertipikat oleh para pemilik bidang tanah yang tidak diimbangi dengan ketersediaan fasilitas dan sumber daya pengukuran dan pemetaan bidang tanah, salah satunya keberadaan titik dasar yang masih sangat kurang di Indonesia. Saat ini pilar orde 4 yang sudah dibangun di Indonesia sebanyak ± titik dari ratusan ribu titik yang seharusnya dibangun di seluruh wilayah Indonesia [Soemarto, 2008, komunikasi personal]. Kurangnya sebaran ini menyebabkan pengukuran dan pemetaan bidang tanah sulit dilakukan di daerah-daerah yang belum tersedia pilar titik dasar disana, terutama daerah-daerah pelosok. Padahal informasi jumlah dan batas bidang tanah di daerah ini sangat penting dalam menunjang program dan target BPN yang ingin memetakan bidang-bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia. Indonesia merupakan wilayah yang dinamis dan banyak mengalami pergerakan geodinamika di dalam bumi yang data mempengaruhi kestabilan posisi titik-titik di muka bumi, salah satunya pilar titik-titik dasar. Sebagai konsekuensi dari pergerakan geodinamika di Indonesia, saat ini banyak pilar titik dasar teknik yang mengalami perubahan posisi baik secara vertikal maupun horisontal dalam lingkup temporal dan spasial, namun nilai koordinat dan posisinya tidak pernah diperbaharui. Banyak titik yang letaknya sudah bergeser beberapa centimeter atau bahkan dalam orde meter, tetapi koordinatnya masih dianggap sama dengan waktu pertama kali pengukuran dan pemasangan yang dilakukan sebelum titik tersebut bergeser. Padahal dengan adanya perubahan fisik dari pilar-pilar titik dasar ini maka nilai koordinat pun harus berubah untuk menjaga konsistensi posisi sebenarnya di lapangan. Tidak sedikit pula titik yang fisiknya sudah rusak atau dipindahkan tanpa pemberitahuan

10 kepada kantor pertanahan setempat, namun masih kerap digunakan dalam kegiatan survei dan pemetaan sebagai titik acuan, terutama titik-titik yang dibangun di daerah yang sekarang menjadi wilayah pemukiman. 2.4 Sistem Referensi Spasial Selain masalah-masalah di atas, ada masalah lain yang terkait dengan keberadaan dan kestabilan titik-titik dasar teknik di Indonesia. Indonesia merupakan wilayah yang dinamis sehingga termasuk daerah rawan bencana, diantaranya yang paling mengguncang adalah kasus gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember Salah satu dampak dari bencana ini yaitu terjadi ketidakjelasan subjek dan objek bidang tanah yang ditandai dengan hilangnya penanda batas dari puluhan ribu persil tanah di lapangan serta tenggelamnya sejumlah persil tanah akibat rendaman air laut, dan hilangnya pemilik sah bidang tanah yang meninggal dunia akibat bencana tersebut. Menurut [Kompas, 2005], sekitar lembar sertipikat tanah yang merupakan dokumen legal yang berisikan informasi tentang lokasi posisi persil tanah juga turut hilang. Bahkan dilaporkan juga bahwa sedikitnya lembar sertipikat tanah yang tersimpan di Kanwil BPN Provinsi NAD dapat diselamatkan meski kondisinya tidak seluruhnya utuh [Abidin et al, 2005]. Mengingat kejelasan status, kepemilikan, dan lokasi persil tanah sangat dibutuhkan untuk menggerakkan roda kehidupan masyarakat, maka dilakukan proses rekonstruksi batas persil di wilayah Aceh yang melibatkan berbagai instansi. Namun, berkaitan dengan usaha rekonstruksi tersebut, timbul beberapa permasalahan yang terkait dengan kerangka referensi dan acuan yang digunakan dalam pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah di Indonesia selama ini, diantaranya sebagian besar (atau bahkan semua) persil-persil tanah yang terkena dampak gempa dan tsunami titik-titik batasnya tidak mempunyai koordinat dalam sistem global WGS Selain itu, banyak tugu-tugu survei (orde 2, 3 dan 4) yang rusak dan hilang akibat bencana gempa dan tsunami ini, sehingga menyulitkan proses rekonstruksi titik-titik batas bidang tanah yang koordinatnya diketahui dalam sistem koordinat lokal dan

11 terikat secara langsung ataupun tidak langsung dengan koordinat tugu-tugu survei tersebut. Sulitnya rekonstruksi bidang tanah di Aceh pasca tsunami menimbulkan suatu pemikiran bahwa dalam pelaksanaan pengukuran bidang tanah diperlukan suatu acuan yang stabil, cepat, konsisten dalam hal akurasi, murah, dan terintegrasi dalam sistem referensi global. Hal ini berlaku tidak hanya untuk kejadian gempa dan tsunami saja, tetapi untuk keadaan seluruh wilayah Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan adanya suatu sistem referensi yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah, yang dianggap stabil dan mampu mengatasi masalah geodinamika ini. Spatial Reference System (SRS) adalah suatu sistem berbasis koordinat, baik lokal, regional maupun global yang digunakan untuk menentukan lokasi atau posisi suatu objek di muka bumi. Sistem ini dikembangkan dalam rangka mencegah adanya referensi ganda untuk satu posisi di seluruh dunia, dan menjamin adanya konsistensi dalam menyatakan koordinat. Menurut NOAA 1, suatu sistem referensi harus memenuhi beberapa persyaratan untuk menjadi suatu sistem referensi spasial, diantaranya : Akurat akurasi mencapai cm dengan cakupan global Multiguna dapat digunakan dalam segala aplikasi disiplin ilmu, baik bidang geodesi, geofisik, surveying, pemetaan, navigasi, dan aktivitas GIS Aktif datanya dapat diakses via internet Terpadu terintegrasi dengan layanan sistem referensi global, seperti International Earth Rotation, Reference System Service, International GPS Service, dll. 1

12 2.5 Global Navigation Satellite System (GNSS) GNSS (Global Navigation Satellite System) adalah suatu sistem satelit navigasi dan penentuan posisi geo-spasial dengan cakupan dan referensi global yang menyediakan informasi posisi dengan ketelitian bervariasi, yang diperoleh dari waktu tempuh sinyal radio yang dipancarkan dari satelit dan ditangkap oleh receiver. Beberapa satelit navigasi yang merupakan bagian dari GNSS diantaranya adalah GPS milik Amerika Serikat, GLONASS milik Rusia, Galileo milik Eropa, dan Compass yang dimiliki dan dikelola oleh China. Gambar 2.2 menunjukkan prinsip penentuan posisi yang dilakukan dengan metode dengan satelit, baik menggunakan satelit-satelit GPS, Glonass, Galileo, maupun Compass. Gambar 2.3 Prinsip Penentuan Posisi dengan Satelit [Abidin, 2000] 2.6 Continuously Operating Reference Station (CORS) IGS (International GNSS Service) adalah suatu organisasi internasional yang merupakan kumpulan dari agensi di seluruh dunia yang mengumpulkan sumber dan data permanen dari stasion GNSS dan memelihara sistem GNSS. IGS menyediakan data dan produk berkualitas tinggi yang digunakan untuk kepentingan penelitian ilmiah, aplikasi multidisiplin, pendidikan, yang merupakan salah satu komponen kunci penghubung ke ITRF sebagai kerangka realisasi sistem koordinat referensi global. Setiap negara berkontribusi dalam IGS dengan membangun stasiun-stasiun

13 IGS di seluruh dunia dan saat ini IGS menangani dua stasiun GNSS, yaitu GPS dan GLONASS. CORS (Continuously Operating Reference Stations) adalah suatu teknologi berbasis GNSS yang berwujud sebagai suatu jaring kerangka geodetik yang pada setiap titiknya dilengkapi dengan receiver yang mampu menangkap sinyal dari satelitsatelit GNSS yang beroperasi secara kontinyu 24 jam per hari, 7 hari per minggu dengan mengumpulkan, merekam, mengirim data, dan memungkinkan para pengguna memanfaatkan data untuk penentuan posisi, baik secara post-processing maupun real-time. CORS pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat sejak Oktober 2001 oleh The National Geodetic Survey (NGS) yang merupakan bagian dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) dan mulai dioperasikan secara kontinyu sejak November Kini CORS mulai merambah dan banyak digunakan oleh negara-negara maju di Eropa, Australia, Korea, bahkan Irak, untuk berbagai aplikasi dan keperluan tak hanya dalam bidang geodesi, tetapi juga dalam bidang geofisik, survey dan pemetaan, GIS, navigasi, militer, meteorologi, dan lain-lain. Sejak tahun 2006 di Indonesia telah dibangun stasiun-stasiun CGPS (Continuous GPS) oleh Bakosurtanal yang ditempatkan di beberapa daerah di Indonesia, diantaranya di Kantor Pusat Bakosurtanal di Cibinong Bogor, Bali, kawasan industri di Selat Sunda, dan di Bandung tepatnya di Pusat Peneropongan Bintang Bosccha, Lembang. Sampai saat ini jaringan CGPS di Indonesia sudah mencakup Jawa Barat sebanyak 15 stasiun dan Bali sebanyak 7 stasiun. Diharapkan dalam beberapa tahun mendatang stasiun-stasiun CGPS ini dapat dikembangkan menjadi sistem yang aktif dan multiguna. CORS menyediakan data pengamatan kode (C/A, P1, dan P2) dan data fase (L1 dan L2), GPS ephemerides, dan koreksi untuk DGPS, model ionosfir, troposfer, dan lain-lain. Data yang diamati dapat diatur dan disesuaikan dengan keperluan. Data dapat disimpan per jam atau per hari, dengan selang waktu pengamatan per 1 detik, 5 detik, 10 detik, 15 detik, dan 30 detik, kemudian dikirim melalui jaring telekomunikasi berkecepatan tinggi ke pusat pengendali jaringan untuk selanjutnya

14 disimpan, didistibusikan, atau diolah untuk kepentingan lainnya. Selain menyediakan data-data tersebut, CORS juga menyediakan layanan untuk pengolahan data GPS secara online, transformasi datum, sistem proyeksi, dan penentuan tinggi ortometrik, yang semuanya dapat diakses dalam waktu 15 menit sejak pengguna mengirimkan data yang ingin diolah sampai data selesai diolah dan dikirimkan langsung melalui kepada pengguna. Stasiun CORS dibangun permanen dan ditentukan koordinatnya yang diukur setiap hari, kemudian ditempatkan receiver diatasnya. Jaringan stasiun CORS dikontrol jarak jauh dan diawasi dengan menggunakan sistem jaminan kualitas yang diotomatisasi, serta dilakukan pemeliharaan secara ilmiah. Selain itu sistem CORS terintegrasi dengan International Earth Rotation and Reference System Service, sehingga memberikan posisi yang bereferensi global dan datanya dapat diakses lewat internet oleh pengguna. Tujuan utama dibangun CORS adalah sebagai titik ikat yang memiliki radius cukup dekat dengan titik pengukuran untuk memperoleh kualitas data yang baik. Dalam hal titik ikat yang mengacu pada satu referensi global dengan cakupan luas dan jarak baseline panjang, tidak hanya kerangka CORS yang dapat dijadikan sebagai referensi dalam pengukuran bidang tanah di Indonesia. Keberadaan stasiun-stasiun IGS sebenarnya dapat juga dijadikan sebagai referensi dalam pengukuran batas bidang tanah di Indonesia. Cakupan IGS sangat luas dan bervariasi jika dibandingkan dengan cakupan dari kerangka CORS bisa mencapai beberapa ratus kilometer. Namun ada banyak kendala jika kita menggunakan IGS sebagai titik ikat langsung pengukuran bidang tanah. Selain akan mempengaruhi nilai ketelitian yang dihasilkan dikarenakan jarak yang jauh, pengolahan data dari pengukuran yang terikat pada IGS juga membutuhkan kemampuan perangkat lunak yang memadai dan tidak mudah dalam pengolahannya. Untuk itu diperlukan SDM (Sumber Daya Manusia) yang memadai dan berkualitas agar strategi pengolahan data yang diterapkan dapat menghasilkan data yang berkualitas. Karena CORS digunakan sebagai titik acuan yang digunakan untuk berbagai aplikasi yang menuntut ketelitian tinggi, posisi CORS sendiri harus memiliki kualitas

15 yang baik. Posisinya terus dipantau dan terus diperbaharui terutama jika terjadi pergerakan di bawah tanah tempat stasiun CORS berada, CORS mampu mengakomodir adanya pergerakan lempeng dalam skala lokal maupun global, dan ditentukan dengan mengolah data dari stasiun-stasiun CORS lain yang merupakan bagian dari jaringan CORS global yang sudah ada, dengan metode double-difference untuk mengeliminir kesalahan jam atom pada satelit GPS Pengukuran Bidang Tanah Yang Mengacu Pada Kerangka CORS Menurut survey yang dilakukan NOAA, secara umum aplikasi CORS dalam survey dan pemetaan kadaster mencapai 39.6% dari pasar dan aplikasi CORS di dunia 2. Dalam pengukuran bidang tanah dengan kerangka CORS, CORS berfungsi sebagai titik ikat atau acuan dalam pelaksanaan pengukuran bidang tanah. Posisi titik batas bidang tanah ditentukan secara relatif terhadap titik CORS tersebut dengan metode penentuan posisi secara diferensial. Prinsip pelaksanaannya yaitu CORS sebagai titik acuan yang telah diketahui koordinatnya (stasion), dan receiver GPS di lapangan sebagai rover, bergerak dari satu titik batas bidang tanah ke titik batas bidang tanah lainnya. Receiver yang dibawa ke lapangan cukup satu buah saja sebagai rover. Penentuan posisi ditentukan secara diferensial dengan data fase. Lama pengamatan disesuaikan dengan ketelitian posisi yang diinginkan, metode yang dipilih, jarak antara persil tanah dengan titik dasar teknik yang digunakan, serta jenis data pengamatan yang digunakan untuk perhitungan posisi.sedangkan pengamatan di titik acuan dilakukan selama selang pengukuran seluruh titik batas berlangsung termasuk selama selang waktu pergerakan receiver antar titik-titik batas. Posisi yang dihasilkan dari pengukuran dengan CORS adalah posisi tiga dimensi (φ, λ, h) yang mengacu pada sistem referensi global, ITRF dengan akurasi yang diperoleh dapat mencapai level cm. 2

16 Data koordinat yang diperoleh kemudian disimpan sebagai basis data yang dapat terus diperbaharui dan dijadikan suatu sistem informasi pertanahan yang terstruktur. Agar pengukuran dapat dilakukan dengan baik dan menghasilkan posisi yang minim kesalahan, syarat-syarat pengukuran harus dipenuhi diantaranya lokasi pengukuran mempunyai ruang pandang yang terbuka ke langit untuk memudahkan sinyal GPS mencapai antena receiver, jauh dari objek / benda yang mudah memantulkan sinyal GPS, untuk meminimalkan atau mencegah terjadinya multipath. Pengukuran batas bidang tanah dengan CORS sebagai titik acuan dapat dilakukan di daerah yang cukup jauh dari cakupan titik dasar orde 3 atau bahkan tidak ada titik dasar di daerah tersebut asalkan masih dalam cakupan km. Selama syarat teknis pengukuran masih dapat dipenuhi, CORS dapat memberikan akurasi yang baik sampai level cm. Namun, pengukuran batas bidang tanah dengan metode satelit dengan CORS sebagai acuan mempunyai beberapa kekurangan, diantaranya tidak dapat digunakan pada daerah yang banyak memiliki hambatan pandangan ke langit (obstruksi) seperti daerah perkotaan, bawah tanah, dan kondisi daerah yang tidak memungkinkan lainnya. Selain itu proses pengolahan data dari metode ini tidak termasuk hal yang mudah, apalagi jika menginginkan ketelitian yang tinggi. Prinsip pengukuran bidang tanah yang mengacu pada kerangka CORS ditunjukkan pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Prinsip Pengukuran Bidang Tanah dengan CORS

17 2.6.2 Kombinasi Pengukuran GPS, ETS, dan CORS Pengukuran batas bidang tanah dapat dilakukan dengan metode kombinasi antara ETS, GPS, dan CORS. Dalam hal ini digunakan alat ETS dan GPS untuk mengukur batas-batas bidang tanah di daerah yang belum memiliki titik acuan permanen, dengan CORS sebagai titik acuan. Pelaksanaannya yaitu dibangun dua buah titik bantu sementara berupa patok yang dipasangi alat GPS di sekitar titik batas persil. Dengan diikatkan kepada CORS, dapat diketahui nilai koordinat titik bantu sementara ini. Dari dua titik yang diketahui koordinatnya ini dapat ditentukan nilai azimuth awal yang menjadi acuan untuk pengukuran dengan ETS. Selanjutnya pengukuran titik batas bidang tanah dilakukan dengan ETS yang mengukur sudut dan jarak dari tiap titik batas bidang tanah. Nilai koordinat yang diperoleh dari ukuran sudut dan jarak ETS akan mengacu pada sistem koordinat GPS. Metode ini digunakan seandainya bidang tanah yang akan diukur terletak di daerah yang banyak obstruksinya, misalnya pemukiman padat, dan gedung-gedung bertingkat. Dengan metode kombinasi pengukuran bidang tanah masih dapat dilakukan dengan tingkat ketelitian yang relatif baik dan waktu yang cukup cepat. Ilustrasi metode kombinasi ditunjukkan pada Gambar 2.4. Gambar 2.5 Pengukuran batas bidang tanah metode kombinasi ETS dan GPS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tertib administrasi bidang tanah di Indonesia diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah tersebut memuat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Cakupan

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Cakupan BAB IV ANALISIS Meskipun belum dimanfaatkan di Indonesia, tetapi di masa mendatang kerangka CORS dapat menjadi suatu teknologi baru yang secara konsep mampu memenuhi kriteria teknologi yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB III PEMANFAATAN SISTEM GPS CORS DALAM RANGKA PENGUKURAN BIDANG TANAH

BAB III PEMANFAATAN SISTEM GPS CORS DALAM RANGKA PENGUKURAN BIDANG TANAH BAB III PEMANFAATAN SISTEM GPS CORS DALAM RANGKA PENGUKURAN BIDANG TANAH Keberadaan sistem GPS CORS memberikan banyak manfaat dalam rangka pengukuran bidang tanah terkait dengan pengadaan titik-titik dasar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penetuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan suatu Lembaga Pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional

Lebih terperinci

KERANGKA DASAR KADASTRAL NASIONAL (KDKN)

KERANGKA DASAR KADASTRAL NASIONAL (KDKN) KERANGKA DASAR KADASTRAL NASIONAL (KDKN) Ir Tris Wandoko Kasubdit Pelaksanaan Pengukuran Dasar ( Plt. Kasubdit Pengelolaan Data Dasar) KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BPN DIREKTORAT PENGUKURAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gambar situasi adalah gambaran wilayah atau lokasi suatu kegiatan dalam bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki,

Lebih terperinci

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA. Hasanuddin Z. Abidin

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA. Hasanuddin Z. Abidin BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA Hasanuddin Z. Abidin Jurusan Teknik Geodesi, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 e-mail : hzabidin@gd.itb.ac.id

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Salah satu kegiatan eksplorasi seismic di darat adalah kegiatan topografi seismik. Kegiatan ini bertujuan

Lebih terperinci

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station) On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station) Direktorat Pengukuran Dasar Deputi Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 2011 MODUL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem satelit navigasi adalah sistem yang digunakan untuk menentukan posisi di bumi dengan menggunakan teknologi satelit. Sistem ini memungkinkan sebuah alat elektronik

Lebih terperinci

GPS vs Terestris (1)

GPS vs Terestris (1) untuk KADASTER Dr. Hasanuddin Z. Abidin Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 E-mail : hzabidin@gd.itb.ac.id vs Terestris (1) Pada survai dengan tidak diperlukan

Lebih terperinci

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penentuan posisi/kedudukan di permukaan bumi dapat dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penentuan posisi/kedudukan di permukaan bumi dapat dilakukan dengan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penentuan posisi/kedudukan di permukaan bumi dapat dilakukan dengan metode terestris dan ekstra-terestris. Penentuan posisi dengan metode terestris dilakukan dengan

Lebih terperinci

MODUL 3 GEODESI SATELIT

MODUL 3 GEODESI SATELIT MODUL 3 GEODESI SATELIT A. Deskripsi Singkat Geodesi Satelit merupakan cabang ilmu Geodesi yang dengan bantuan teknologi Satelite dapat menjawab persoalan-persoalan Geodesi seperti Penentuan Posisi, Jarak

Lebih terperinci

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc www.pelagis.net 1 Materi Apa itu GPS? Prinsip dasar Penentuan Posisi dengan GPS Penggunaan GPS Sistem GPS Metoda Penentuan Posisi dengan GPS Sumber Kesalahan

Lebih terperinci

2015, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,

2015, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1585, 2015 KEMEN-ESDM. Izin Usaha Pertambangan. Mineral. Batubara. Wilayah. Pemasangan Tanda Batas. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut: Bab IV ANALISIS Analisis dilakukan terhadap hasil revisi dari Permendagri no 1 tahun 2006 beserta lampirannya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan Geodesi, adapun analalisis yang diberikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI TEMPAT PLA

BAB III DESKRIPSI TEMPAT PLA BAB III DESKRIPSI TEMPAT PLA 1.1 Deskripsi Kantor Pertanahan Kabupaten Subang 1.1.1 Lokasi Dalam program latihan akademik (PLA) penelitian dilaksanakan di Kantor Pertanahan Kabupaten subang, yang beralamat

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS PENENTUAN POSISI DENGAN GPS Disampaikan Dalam Acara Workshop Geospasial Untuk Guru Oleh Ir.Endang,M.Pd, Widyaiswara BIG BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Jln. Raya Jakarta Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor 16911

Lebih terperinci

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) Abstrak Daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) mempunyai wewenang yang relatif

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014 Verifikasi TDT Orde 2 BPN dengan Stasiun CORS BPN-RI Kabupaten Grobogan Rizna Trinayana, Bambang Darmo Yuwono, L. M. Sabri *) Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2013 /2001 TENTANG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL INDONESIA 2013

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2013 /2001 TENTANG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL INDONESIA 2013 PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2013 /2001 TENTANG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL INDONESIA 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL, Menimbang :

Lebih terperinci

RENCANA PERKULIAHAN SEMESTER (RPS) KERANGKA DASAR PEMETAAN

RENCANA PERKULIAHAN SEMESTER (RPS) KERANGKA DASAR PEMETAAN RENCANA PERKULIAHAN SEMESTER (RPS) KERANGKA DASAR PEMETAAN oleh: TANJUNG NUGROHO PROGRAM STUDI DIPLOMA I PENGUKURAN DAN PEMETAAN KADASTRAL SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL 2016 RENCANA PERKULIAHAN SEMESTER

Lebih terperinci

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) III. 1 GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Global Positioning System atau GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit [Abidin, 2007]. Nama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Titik kontrol pada proses pembuatan peta selalu dibutuhkan sebagai acuan referensi, tujuannya agar seluruh objek yang dipetakan tersebut dapat direpresentasikan sesuai

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG Winardi Puslit Oseanografi - LIPI Sekilas GPS dan Kegunaannya GPS adalah singkatan dari Global Positioning System yang merupakan sistem untuk menentukan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Metode Real Time Point Precise Positioning (RT-PPP) merupakan teknologi

Lebih terperinci

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS 2.1 Definisi Gempa Bumi Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran pada kerak bumi yang terjadi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba. Gempa bumi, dalam hal

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Permasalahan Jaringan CORS IPGSN dan BPN

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Permasalahan Jaringan CORS IPGSN dan BPN BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Permasalahan CORS IPGSN dan BPN Dalam perjalanan pembangunan, pengoperasian dan perawatan jaringan CORS di Indonesia agar tetap terjaga baik, teradapat beberapa masalah dan

Lebih terperinci

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi GPS (Global Positioning System) Global positioning system merupakan metode penentuan posisi ekstra-teristris yang menggunakan satelit GPS sebagai target pengukuran. Metode ini dinamakan penentuan posisi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1. Latar belakang

Bab I Pendahuluan I.1. Latar belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar belakang Sesuai dengan ketentuan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa Bumi, Air dan Kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat

Lebih terperinci

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE LAPORAN PENENTUAN ARAH KIBLAT MASJID SYUHADA PERUMAHAN BEJI PERMAI, DEPOK PT. Mahakarya Geo Survey DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 DAFTAR GAMBAR... 2 DAFTAR TABEL... 2 1. PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS Satelit navigasi merupakan sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. Satelit dapat memberikan posisi suatu objek di muka bumi dengan akurat dan

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN GPS CORS METODE RTK NTRIP DENGAN TOTAL STATION

STUDI PERBANDINGAN GPS CORS METODE RTK NTRIP DENGAN TOTAL STATION SIDANG TUGAS AKHIR STUDI PERBANDINGAN GPS CORS METODE RTK NTRIP DENGAN TOTAL STATION Yoga Prahara Putra yoga.prahara09@mhs.geodesy.its.ac.id JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

Fauzan Murdapa. Abstrak

Fauzan Murdapa. Abstrak ANALISIS TRANSFORMASI KOORDINAT LOKAL KE KOORDINAT NASIONAL TM-3 O PETA PENDAFTARAN TANAH (Studi kasus : Proyek Ajudikasi Swadaya Tanah Eks.HPK di Prop.Lampung) Fauzan Murdapa Abstrak Sesuai dengan Surat

Lebih terperinci

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS METODE ABSOLUT Metode Point Positioning Posisi ditentukan dalam sistem WGS 84 Pronsip penentuan posisi adalah reseksi dengan jarak ke beberapa satelit secara simultan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tujuan dan manfaat penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing sub bab. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tujuan dan manfaat penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing sub bab. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini terdiri dari dua sub bab yaitu latar belakang serta tujuan dan manfaat penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing sub bab tersebut. I.1. Latar Belakang Dinamika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi menggunakan wahana satelit. Sistem yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca ini,

Lebih terperinci

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP Oleh A. Suradji, GH Anto, Gunawan Jaya, Enda Latersia Br Pinem, dan Wulansih 1 INTISARI Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014 Verifikasi Koordinat Titik Dasar Teknik Orde 3 dengan Pengukuran GNSS Real Time Kinematic Menggunakan Stasiun CORS Geodesi UNDIP di Kota Semarang Arinda Yusi Madena, L. M Sabri, Bambang Darmo Yuwono *)

Lebih terperinci

PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS

PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS (Sigit Irfantono*, L. M. Sabri, ST., MT.**, M. Awaluddin, ST., MT.***) *Mahasiswa Teknik Geodesi Universitas Diponegoro. **Dosen Pembimbing I Teknik Geodesi Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Continuously Operating Reference Station (CORS) adalah sistem jaringan kontrol yang beroperasi secara berkelanjutan untuk acuan penentuan posisi Global Navigation

Lebih terperinci

Perlunya peta dasar guna pendaftaran tanah

Perlunya peta dasar guna pendaftaran tanah Perlunya peta dasar guna pendaftaran tanah DISAMPAIKAN OLEH: SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL INFRASTRUKTUR KEAGRARIAAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL DENPASAR, BALI - APRIL

Lebih terperinci

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Bab II TEORI DASAR 2.1 Batas Daerah A. Konsep Batas Daerah batas daerah adalah garis pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah administrasi adalah wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit GPS beredar mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 20.200 km. Satelit GPS tersebut berada di atas atmosfer bumi yang terdiri dari beberapa lapisan dan ditandai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi GPS GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat dengan bantuan penyelarasan

Lebih terperinci

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (MULTI)

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (MULTI) Apa Mode Survei yang reliable? Kapan kondisi yang tepat? Realtime: RTK-Radio; RTK-NTRIP JIKA TERSEDIA JARINGAN DATA INTERNET Post Processing: Static- Relative; Kinematic; Stop and Go Realtime: RTK-Radio;

Lebih terperinci

STUDI TENTANG CONTINUOUSLY OPERATING REFERENCE STATION GPS (Studi Kasus CORS GPS ITS) Oleh: Prasetyo Hutomo GEOMATIC ENGINEERING ITS

STUDI TENTANG CONTINUOUSLY OPERATING REFERENCE STATION GPS (Studi Kasus CORS GPS ITS) Oleh: Prasetyo Hutomo GEOMATIC ENGINEERING ITS STUDI TENTANG CONTINUOUSLY OPERATING REFERENCE STATION GPS (Studi Kasus CORS GPS ITS) Oleh: Prasetyo Hutomo 3505.100.023 GEOMATIC ENGINEERING ITS CORS (Continuously Operating Reference System) CORS (Continuously

Lebih terperinci

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (L1)

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (L1) Apa Mode Survei yang reliable? Kapan kondisi yang tepat? Realtime: RTK-Radio; RTK-NTRIP JIKA TERSEDIA JARINGAN DATA INTERNET Post Processing: Static- Relative; Kinematic; Stop and Go Realtime: RTK-Radio;

Lebih terperinci

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84? Nama : Muhamad Aidil Fitriyadi NPM : 150210070005 Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84? Jenis proyeksi yang sering di gunakan di Indonesia adalah WGS-84 (World Geodetic System) dan UTM (Universal

Lebih terperinci

AKURASI PENGUKURAN GPS METODE RTK-NTRIP MENGGUNAKAN INA-CORS BIG Studi Kasus di Sumatera Utara

AKURASI PENGUKURAN GPS METODE RTK-NTRIP MENGGUNAKAN INA-CORS BIG Studi Kasus di Sumatera Utara Akurasi Pengukuran Gps Metode RTK-NTRIP...(Safi i dan Aditya) AKURASI PENGUKURAN GPS METODE RTK-NTRIP MENGGUNAKAN INA-CORS BIG Studi Kasus di Sumatera Utara (Accuracy of GPS Measurement Using RTK-NTRIP

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB II GEMPA ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP BATAS

BAB II GEMPA ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP BATAS BAB II GEMPA ACEH DAN DAMPAKNYA TERHADAP BATAS II.1 Gempa Bumi Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran sesaat akibat terjadinya sudden slip (pergeseran secara tiba-tiba) pada kerak bumi. Sudden slip terjadi

Lebih terperinci

Bab III KAJIAN TEKNIS

Bab III KAJIAN TEKNIS Bab III KAJIAN TEKNIS 3.1 Persiapan Penelitian diawali dengan melaksanakan studi literatur. Studi literatur dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan: a. Konsep batas daerah b. Perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur. Kegiatan tersebut meliputi

Lebih terperinci

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika Tugas 1 Survei Konstruksi Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB Krisna Andhika - 15109050 TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2012 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Global Positioning System (GPS) 2.1.1 Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS GPS (Global Positioning System) merupakan sistem satelit navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit.

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengolahan Data Data GPS yang digunakan pada Tugas Akhir ini adalah hasil pengukuran secara kontinyu selama 2 bulan, yang dimulai sejak bulan Oktober 2006 sampai November 2006

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: ( Print) A-202

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: ( Print) A-202 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-202 Studi Perbandingan Ketelitian Nilai Melalui Matahari dan Global Positioning System (GPS) Terhadap Titik BM Referensi (Studi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Jembatan adalah suatu struktur konstruksi yang memungkinkan rute transportasi melintasi sungai, danau, jalan raya, jalan kereta api dan lainlain.jembatan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. tatanan tektonik yang kompleks. Pada bagian barat Indonesia terdapat subduksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. tatanan tektonik yang kompleks. Pada bagian barat Indonesia terdapat subduksi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar yakni lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Studi Perbandingan GPS CORS Metode RTK NTRIP dan Total Station dalam Pengukuran Volume Cut and Fill

Studi Perbandingan GPS CORS Metode RTK NTRIP dan Total Station dalam Pengukuran Volume Cut and Fill JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Jun, 2013) ISSN: 2301-9271 1 Studi Perbandingan GPS CORS Metode RTK NTRIP dan Total Station dalam Pengukuran Volume Cut and Fill Firman Amanullah dan Khomsin Jurusan

Lebih terperinci

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA 1. SISTIM GPS 2. PENGANTAR TANTANG PETA 3. PENGGUNAAN GPS SISTIM GPS GPS Apakah itu? Dikembangkan oleh DEPHAN A.S. yang boleh dimanfaatkan

Lebih terperinci

ILMU UKUR WILAYAH DAN KARTOGRAFI. PWK 227, OLEH RAHMADI., M.Sc.M.Si

ILMU UKUR WILAYAH DAN KARTOGRAFI. PWK 227, OLEH RAHMADI., M.Sc.M.Si ILMU UKUR WILAYAH DAN KARTOGRAFI PWK 227, OLEH RAHMADI., M.Sc.M.Si PENGERTIAN ILMU UKUR WILAYAH (IUW) : Bagian dari ilmu geodesi yang mempelajari cara-cara pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki daerah pegunungan yang cukup luas. Tingginya tingkat curah hujan pada sebagian besar area pegunungan di Indonesia dapat menyebabkan

Lebih terperinci

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA SISTIM GPS SISTEM KOORDINAT PENGGUNAAN GPS SISTIM GPS GPS Apakah itu? Singkatan : Global Positioning System Dikembangkan oleh DEPHAN A.S. yang

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S. Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) Jl. Raden Saleh, 43 jakarta 10330 Phone : 62.021.3143080 Fax. 62.021.327958 E-mail : Coremap@indosat.net.id

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (Sumatran GPS Array)

Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (Sumatran GPS Array) Analisa Perubahan Kecepatan Pergeseran Titik Akibat Gempa Menggunakan Data SuGar (n GPS Array) Bima Pramudya Khawiendratama 1), Ira Mutiara Anjasmara 2), dan Meiriska Yusfania 3) Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI Oleh: Andri Oktriansyah JURUSAN SURVEI DAN PEMETAAN UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI PALEMBANG 2017 Pengukuran Detil Situasi dan Garis Pantai

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN KETELITIAN POSISI GPS CORS RTK-NTRIP DENGAN METODE RAPID STATIK

ANALISIS PERBANDINGAN KETELITIAN POSISI GPS CORS RTK-NTRIP DENGAN METODE RAPID STATIK ANALISIS PERBANDINGAN KETELITIAN POSISI GPS CORS RTK-NTRIP DENGAN METODE RAPID STATIK King Adhen El Fadhila 1) dan Khomsin 2) Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan (studi kasus : Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo) Arwan Putra Wijaya 1*, Teguh Haryanto 1*, Catharina N.S. 1* Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kadaster merupakan sistem informasi kepemilikan tanah beserta berbagai hak maupun catatan yang mengikutinya dengan melibatkan deskripsi geometrik dari persil tanah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG LAYANAN INFORMASI PERTANAHAN SECARA ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS B A B IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Output Sistem Setelah sistem ini dinyalakan, maka sistem ini akan terus menerus bekerja secara otomatis untuk mendapatkan hasil berupa karakteristik dari lapisan troposfer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi tersebut. Berkembangnya teknologi informasi dan komputer

BAB I PENDAHULUAN. informasi tersebut. Berkembangnya teknologi informasi dan komputer BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekembangan teknologi informasi dan komputer yang sangat pesat dewasa ini semakin luas. Komputer merupakan alat bantu yang memberikan kemudahan bagi manusia untuk

Lebih terperinci

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis BAB I KONSEP SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS 1.1. Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2007 TENTANG JARINGAN DATA SPASIAL NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2007 TENTANG JARINGAN DATA SPASIAL NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2007 TENTANG JARINGAN DATA SPASIAL NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Data Spasial sebagai

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 Analisis Ketelitian Pengukuran Baseline Panjang GNSS Dengan Menggunakan Perangkat Lunak Gamit 10.4 dan Topcon Tools V.7 Maulana Eras Rahadi 1) Moehammad Awaluddin, ST., MT 2) L. M Sabri, ST., MT 3) 1)

Lebih terperinci

Atika Sari, Khomsin Jurusan Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya,

Atika Sari, Khomsin Jurusan Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, ANALISA PERBANDINGAN KETELITIAN PENENTUAN POSISI DENGAN GPS RTK-NTRIP DENGAN BASE GPS CORS BIG DARI BERBAGAI MACAM MOBILE PROVIDER DIDASARKAN PADA PERGESERAN LINEAR (Studi Kasus : Surabaya) Atika Sari,

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA IV.1 SOFTWARE BERNESE 5.0 Pengolahan data GPS High Rate dilakukan dengan menggunakan software ilmiah Bernese 5.0. Software Bernese dikembangkan oleh Astronomical Institute University

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT DALAM RANGKA MENGOPTIMALISASIKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT INDONESIA

PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT DALAM RANGKA MENGOPTIMALISASIKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT INDONESIA PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT DALAM RANGKA MENGOPTIMALISASIKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT INDONESIA Oleh: Pauri Yanto, SP & Adnan Fabiandi, ST. (Kelompok 1) Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tanggal 27 Oktober 2014;

Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tanggal 27 Oktober 2014; - 2-2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 3. Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016 ANALISIS PENGUKURAN BIDANG TANAH DENGAN MENGGUNAKAN GNSS METODE RTK-NTRIP PADA STASIUN CORS UNDIP, STASIUN CORS BPN KABUPATEN SEMARANG, DAN STASIUN CORS BIG KOTA SEMARANG Rizki Widya Rasyid, Bambang Sudarsono,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Data Koordinat Definitif Titik Dasar Teknik Orde 3 BPN Titik Dasar Teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ;

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ; - Hal. 1 1 BAB 1 PENDAHULUAN Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ; a. Pengukuran dan Pemetaan Titik Dasar Teknik b.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Pendataan dengan menggunakan Sistem Manajemen dan Informasi Objek Pajak dilaksanakan mulai tahun 1993 sampai dengan saat ini. Dengan sistem ini pendataan dilakukan

Lebih terperinci

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (L1)

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (L1) GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (L1) Apa Mode Survei yang reliable? Kapan kondisi yang tepat? Realtime: RTK-Radio; RTK-NTRIP Post Processing: Static- Relative; Kinematic; Stop and Go Realtime:

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PETA RENCANA TATA RUANG

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PETA RENCANA TATA RUANG PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661 A369 Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech I Gede Brawiswa Putra, Mokhamad Nur Cahyadi Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

GPS (Global Positioning Sistem)

GPS (Global Positioning Sistem) Global Positioning Sistem atau yang biasa disebut dengan GPS adalah suatu sistem yang berguna untuk menentukan letak suatu lokasi di permukaan bumi dengan koordinat lintang dan bujur dengan bantuan penyelarasan

Lebih terperinci

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara Reza Mohammad Ganjar Gani, Didin Hadian, R Cundapratiwa Koesoemadinata Abstrak Jaring Kontrol

Lebih terperinci