ReKaM JeJaK GAHARU INOKULASI. Teknologi BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ReKaM JeJaK GAHARU INOKULASI. Teknologi BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI"

Transkripsi

1 EDITOR: Adi Susmianto Maman Turjaman Pujo Setio ReKaM JeJaK GAHARU INOKULASI Teknologi BADAN LITBANG KEHUTANAN FORDA PRESS bekerjasama dengan PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI

2 Rekam Jejak Gaharu Inokulasi TEKNOLOGI BADAN LITBANG KEHUTANAN Editor: Adi Susmianto Maman Turjaman Pujo Setio

3 Teknologi Badan Litbang Kehutanan Editor Adi Susmianto Maman Turjaman Pujo Setio Hak cipta penulis Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Perancang Sampul/Penata Letak Forda Press Cetakan Kedua, Oktober 2014 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan xiv + 298; 14,8 x 21,0 cm ISBN: Penerbit: FORDA Press Anggota IKAPI No. 257/JB/2014 Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat Telp./Fax.: fordapress@yahoo.co.id Bekerjasama dengan/dibiayai oleh: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat Telp: , Fax:

4 KATA PENGANTAR Bagi masyarakat sekitar hutan di Indonesia, produk gaharu mempunyai nilai historis, sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat tinggi. Habitat alami jenis pohon penghasil gaharu tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sudah sejak berabad-abad yang lalu, gaharu dikenal sebagai bahan pewangi, aroma terapi, farmasi dan obat-obatan herbal. Permintaan produk gaharu yang meningkat menyebabkan terjadinya ekploitasi jenis-jenis pohon penghasil gaharu di alam yang tidak diimbangi dengan upaya budidaya, sehingga kelompok genera Aquilaria dan Gyrinops termasuk dalam daftar Appendix II CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Produk gaharu dari kedua genera ini dianggap terancam punah, sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu diatur dan dibatasi. Badan Litbang Kehutanan, yang pada tahun 2013 ini berumur 100 tahun, merupakan institusi pionir dalam riset gaharu yang telah dimulai sejak tahun Dr. Erdy Santoso adalah peneliti dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi yang konsisten selama hampir 30 tahun ini mendedikasikan diri dalam riset gaharu. Dukungan riset dalam mendukung upaya penyelamatan dan budidaya jenis-jenis pohon penghasil gaharu dari berbagai institusi riset/perguruan tinggi di Indonesia mulai berkembang pesat. Riset gaharu dari hulu higga hilir sangat diperlukan untuk dapat mewujudkan kelestarian jenis-jenis pohon penghasil gaharu dan sekaligus meningkatkan ekonomi kerakyatan, khususnya petani-petani gaharu di pusat pengembangan gaharu. Untuk itulah, buku ini disusun untuk memberikan informasi tentang status riset gaharu kepada khalayak ramai, pemegang iii

5 kebijakan, praktisi, pedagang, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lain. Kepada semua pihak yang telah bekerja keras dan berdedikasi tinggi dalam penyusunan buku khusus tentang riset komoditi gaharu di Indonesia, kami sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih. Buku ini dipersembahkan sebagai bagian rangkaian program diseminasi informasi hasil-hasil riset dalam rangka memperingati satu abad Badan Litbang Kehutanan. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc. iv

6 DAFTAR ISI Kata Pengantar.. iii Daftar Isi v Daftar Tabel. vii Daftar Gambar.. x Pendahuluan 1. Ketika Gaharu menjadi Booming (Adi Susmianto dan Erdy Santoso).. 3 Prospek Gaharu Hasil Bioinduksi 2. Gaharu Bioinduksi: Komoditi Elit Masa Depan Sektor Kehutanan (Sulistyo A. Siran) Teknologi Bioinduksi Jamur Pembentuk Gaharu (Erdy Santoso). 33 Pengenalan Jenis, Budidaya dan Pemacu Tumbuh Gaharu 4. Pengenalan Jenis-Jenis Pohon Penghasil Gaharu (Beny Rahmanto dan Edi Suryanto) Budidaya Gaharu Dengan Silvikultur Intensif (Atok Subiakto) Karakteristik Tempat Tumbuh Gaharu (Pratiwi) Mikoriza Untuk Stimulasi Pertumbuhan Empat Jenis Aquilaria (Maman Turjaman) Pembentukan Gaharu dan Teknik Bioinduksi 8. Proses Pembentukan Gaharu Aquilaria Microcarpa (Rima HS Siburian) Teknologi Bioinduksi Gaharu (Erdy Santoso) 135 Hama Gaharu dan Pengendaliannya 10. Mengenal Hama Ulat Daun Gaharu Pitama hermesalis (Fajar Lestari dan Edi Suryanto) Pengendalian Hama Daun Gaharu Aquilaria microcarpa (Ragil S.B. Irianto) v

7 Sosial Ekonomi dan Pengembangan Gaharu 12. Industri Hulu-Hilir Gaharu (Maman Turjaman) Kajian Biaya Pembangunan Hutan Tanaman gaharu (Atok Subiakto) Peluang Bisnis Gaharu Bersama Masyarakat (Sri Suharti) Perhitungan Biaya Inokulasi Gaharu (Sri Suharti) Pengembangan Gaharu di Bengkulu (Mucharromah) vi

8 DAFTAR TABEL No. Tabel Hal 2.1. Klasifikasi mutu gaharu di Kota Samarinda dan daerah 25 sekitarnya Kriteria dan klasifikasi mutu gaharu Harga jual gaharu di pasaran Samarinda, Kalimantan Timur Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia Tiga metode induksi gaharu Jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di Asia Jenis tanaman penghasil gaharu (Non-CITES) yang tersebar di Indonesia Resume Teknis Bioinduksi Gaharu Persen kecambah dari hasil uji penyimpanan biji Persen jadi bibit (6 minggu setelah penaburan) dari hasil uji penyimpanan biji Persen tumbuh bibit cabutan dari uji penyimpanan dan kondisi tanam bibit Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Dramaga Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Carita Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Sukabumi Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Dramaga Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Carita Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Sukabumi Jumlah jenis tumbuhan bawah dan familinya di lokasi penelitian Indeks similaritas (%) dari komunitas tumbuhan di lokasi penelitian vii

9 7.1. Kolonisasi mikoriza arbuskula dan pertumbuhan pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan pada kondisi di rumah kaca Kandungan N dan P pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan diinokulasi oleh beberapa jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) Isolat-isolat yang diamati Keragaman morfologi Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah Keragaman karakter makrokonidia Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah Uji lanjut Duncan untuk infeksi 2 bulan umur inokulasi Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh ulat H. vitessoides Jenis-jenis insektisida yang digunakan untuk mengendaliakan hama ulat daun gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita, Banten Perkiraan harga jual gaharu di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 2000-an Produksi bibit pohon penghasil gaharu di Asia Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni kerapatan pohon/ha (3 m x 3 m) Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni kerapatan 625 pohon/ha (4 m x 4 m) Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan kelapa sawit kerapatan jenis gaharu 139 pohon per hektar Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan kelapa sawit, kerapatan jenis kelapa sawit 139 pohon per hektar Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan karet, kerapatan jenis gaharu 556 pohon per hektar Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran dengan karet, kerapatan jenis karet 556 pohon per hektar Alternatif bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan. 240 viii

10 15.1. Produktivitas pohon penghasil gaharu pada berbagai diameter pohon dan umur tanaman Harga gaharu pada berbagai umur panen Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia Hasil pemanenan dan ekspor gaharu jenis Aquilaria spp. dari Indonesia tahun Biaya investasi, pengelolaan dan panen gaharu (Rp) Hasil analisis finansial inokulasi 100 pohon penghasil gaharu yang dipanen setelah 5 tahun inokulasi 266 ix

11 DAFTAR GAMBAR No. Gambar Hal 1.1. Hutan monokultur Aquilaria malaccensis di Bahorok, Sumatera Utara Buah Aquilaria malaccensis yang menjadi sumber perbanyakan bibit gaharu Gaharu hasil inokulasi dari Badan Litbang Kehutanan Koleksi gaharu kelas super yang dimiliki pengusaha gaharu asal Taiwan Sampel gaharu (a) kelas tanggung; (b) kacangan; (c) teri; dan (d) kemedangan Alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur Akumulasi resin gaharu pada jaringan kayu gaharu alam berkualitas tinggi (kiri) dan gaharu budidaya hasil perlakuan jamur di India (kanan) (Ajmal, 2011) Hifa jamur patogen yang masuk pada jaringan sel-sel kayu pohon penghasil gaharu setelah tiga bulan diinokulasi Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria malaccensis oleh Fusarium sp. di Bengkulu (Mucharromah, 2011) Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria microcarpa oleh Fusarium solani di KHDTK Carita, Banten Metode paku di Bangladesh Gaharu hasil paku dari jenis Aquilaria crassna di Vietnam dan Gyrinops versteegii di Lombok (NTB) Inokulan tongkat bambu yang direndam asam sulfat berbahaya Segitiga faktor pembentukan gaharu Biakan Fusarium solani. 47 x

12 3.10. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dalam pembentukan gaharu (Purnomo dan Turjaman, 2011) Proses pemanenan gaharu hasil budidaya dengan menggunakan peralatan pertukangan yang sederhana Gaharu A. malaccensis dari pohon yang tumbuh secara alami di kebun karet rakyat dan diinokulasi jamur patogen F. Solani Inokulan jamur patogen yang telah diseleksi, dapat diproduksi massal, dan dapat diinokulasi pada pohon penghasil gaharu secara massal Mata bor yang terbuat dari jari-jari sepeda motor berukuran 3 mm Alat suntik inokulan jamur yang dibuat otomatis yang kapasitas masuknya cairan dapat diatur (0,5 cc, 1 cc, atau 2 cc) Pola penyuntikan gaharu dengan menggunakan mata bor dan alat suntik sederhana dapat dilakukan 2-3 orang per tim suntik Pola suntik gaharu alam pada jenis Aquilaria malaccensis di Sumatera Utara (foto milik Suparno) dan dapat dilihat gejala pembentukan gaharu dengan jarak yang teratur Ujicoba panen Aquilaria malaccensis umur 15 bulan setelah suntik di Sanggau, Kalimantan Barat. Sebelah kiri adalah potongan pohon penghasil gaharu dengan berat 45 kg, dan sebelah kanan adalah contoh gaharu yang dihasilkan dengan berat 4,5 kg Buah Aquilaria microcarpa (Dok. Beny R. dan Edi S.) dan sketsa buah A.microcarpa (Dok. Flora Malesiana) Buah A. malaccensis (Dok. Beny R. dan Edi S.) dan sketsa buah A. malaccensis (Dok. Flora Malesiana) Sketsa buah A. beccariana (Dok. Flora Malesiana) Sketsa buah A. hirta (Dok. Flora Malesiana) Buah G. Versteegii. 76 xi

13 4.6. Buah A. crassna (Dok. Beny R. dan Edi S.) Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon penghasil gaharu Aquilaria beccariana setelah dua tahun ditanam di tingkat lapang. K= Kontrol; Ent= Entrophospora sp.; Gg= G. decipiens; G.Aca= Glomus sp. ACA; Gc= G.clarum; G.ZEA= Glomus sp. ZEA Pengambilan sampel kayu dengan cara pengeboran Hifa Fusarium pada jaringan anatomi batang Aquilaria microcarpa Penampang dan kulit tersisip yang memiliki endapan dan tidak dijumpai adanya Fusarium solani Hasil analisis GC MS pada tanaman A. microcarpa Pengeboran batang pohon contoh (A) dan injeksi isolat pada lubang bor (B) Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga- 2, Ga-3, Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga-7, dan Ga-8) umur tujuh hari pada medium PDA Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-9, Ga- 10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, dan Ga-16) umur tujuh hari pada medium PDA Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-17, Ga-18, Ga-19, Ga-20, dan Ga-21) umur tujuh hari pada medium PDA Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga- 2, Ga-9, Ga-12, Ga- 15, Ga-17, Ga-20, dan Ga-21) dengan perbesaran 40x Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-4, Ga-5, GA-7, Ga-8, GA-10, Ga-11, Ga-14, dan Ga-18) dengan perbesaran 40x Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-3, Ga-6, Ga-13, Ga-16, dan Ga-19) dengan per-besaran 40x Panjang infeksi batang A. microcarpa Laju infeksi pada batang A. microcarpa Dua daun gaharu saling melekat sebagai sarang ulat Ulat P. hermesalis bersembunyi di dalam lipatan daun gaharu Bagian epidermis daun yang transparan 165 xii

14 10.4. (a) Motif tubuh ulat jenis H. vitessoides, punggung polos dengan garis warna putih sepanjang ruas tubuh H. vitessoides, (b) Motif tubuh ulat jenis P. hermesalis, punggung berbentuk segiempat P. hermesalis (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat jenis P. hermesalis Pembesaran gambar 75x terhadap: (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat jenis P. hermesalis (a) Ngengat ulat jenis H. vitessoides, (b) Ngengat ulat jenis P. hermesalis (a) Tiga pasang Trueleg, (b) Proleg pada ruas tubuh hama ulat daun H. vittessoides yang menyerang pohon penghasil gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita, Banten Intensitas serangan hama ulat daun pohon penghasil gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita (Banten) pada bulan Oktober Negara produsen dan konsumen gaharu Outlet gaharu alam yang dipasarkan eceran di malmal negara-negara Timur Tengah Gaharu hasil inokulasi jamur F. solani umur tiga tahun setelah suntik Minyak gaharu hasil destilasi dari berbagai bahan baku kelas abuk dari gaharu alam Indonesia Contoh parfum merek SAMSARA yang menggunakan minyak gaharu sebagai salah satu bahan racikan parfum Produksi Dupa/Hio di pabrik gaharu PT. P&I Taipei, Taiwan Contoh produk gaharu dalam bentuk Incense Cones Makmul yang disukai oleh konsumen di Timur Tengah Tasbih yang terbuat dari kayu gaharu Sabun berbahan dasar minyak gaharu merupakan contoh produk dari Badan Litbang Kehutanan Bubuk gaharu yang diproduksi perusahaan P&I di Taipei, Taiwan 196 xiii

15 Obat nyamuk berbahan dasar gaharu Teh gaharu dari jenis Gyrnops yang diproduksi di Denpasar (Bali) Akar pohon penghasil gaharu dari Papua yang dimanfaatkan untuk kepentingan dekoratif/artistik Tata niaga gaharu pemungut gaharu sampai ke pedagang besar Tata niaga gaharu alam dari berbagai pulau besar di Indonesia yang semua produk gaharunya mengalir dan berpusat ke Jakarta dan Surabaya Tata niaga ekspor gaharu alam dari Indonesia ke Singapura dan Timur Tengah Bagan alir tata niaga gaharu alam dari daerah asal ke daerah tujuan lokal dan akhirnya daerah tujuan ekspor Bagan alir kemungkinan terjadi penyelundupan gaharu alam dari sentra gaharu Papua New Guinea, Papua, dan Maluku ke beberapa negara tujuan ekspor Data ekspor gaharu Indonesia mulai tahun (Data BPS) Tujuan ekspor gaharu alam rata-rata tahun ke berbagai negara di Asia (diolah dari Data BPS) Gaharu hasil inokulasi dengan jamur adalah produk gaharu budidaya yang mempunyai prospek bernilai ekonomi tinggi yang akan menggantikan posisi produk gaharu alam yang makin sulit dicari di alam Tanaman penghasil gaharu gaharu umur 1 tahun 6 bulan di KHDTK Carita Banten (kiri) dan kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu di Kandangan Kalsel (kanan). 219 xiv

16 Pendahuluan 15

17

18 1 KETIKA GAHARU MENJADI BOOMING Adi Susmianto dan Erdy Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Sejak lebih dari 15 abad yang lalu, gaharu telah dikenal sebagai produk kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu digunakan sebagai bahan baku wewangian yang produk turunannya sangat bervariasi. Biasanya gaharu dikaitkan dengan upacara adat dan keagamaan. Hampir semua acara keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh umat manusia di bumi ini biasanya menggunakan gaharu dan produk turunannya sebagai materi ritual untuk bersembahyang menghadap Sang Pencipta. Dengan kata lain, produk-produk gaharu dikenal sebagai kayu tuhan (aloe or ahaloth) seperti yang dijelaskan pada kitab perjanjian lama (the Old Testament) pada surat Psalm 45:8. Menurut mitos dari kawasan timur, gaharu berasal dari kebun surga yang turun bersamaan dengan manusia pertama kali diturunkan ke bumi. Sejarah Mesir dan Jepang menyatakan gaharu digunakan sebagai bahan pengawet tubuh manusia yang telah mati. Budaya Arab di Timur-Tengah mengoles minyak gaharu di bagian tubuh bayi yang baru lahir agar bayi dapat tumbuh sehat. Di negara penganut agama Buddha seperti India dan Kamboja, gaharu digunakan sehari-hari dalam upacara adat dan keagamaan. Industri gaharu one stop service merupakan trend yang berkembang di negara-negara penghasil gaharu. Mereka 3

19 memproduksi gaharu dari hulu ke hilir. Artinya, produksi gaharu tidak hanya dijual dalam bentuk bahan mentah gubal atau minyak gaharu. Negara produsen gaharu ini telah membangun industri gaharu yang kokoh dan berkelanjutan. Berbagai aneka produk gaharu telah dihasilkan sesuai keinginan konsumen, mulai dari berbagai jenis parfum, hio/dupa, sabun, teh gaharu, obat-obat herbal, makmul, dan sebagainya. Mereka ingin menguasai kebutuhan gaharu dunia yang berjumlah ton/tahun dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penguasaan dimulai dari negara-negara berpenduduk besar, seperti China dan India. Selanjutnya, negara-negara di Indochina pun tidak mau ketinggalan untuk mengembangkan produk gaharu, seperti: Laos, Kamboja, Vietnam dan Thailand. Negaranegara yang memiliki kultur penggunaan gaharu yang telah mendarah-daging dan turun-temurun lebih serius menangani aspek produksi. Negara-negara tersebut mulai melakukan penanaman pohon penghasil gaharu sebanyak-banyaknya dan juga mempelopori pembangunan industri gaharu berbasis penelitian dan pengembangan. Gambar 1.1. Hutan monokultur Aquilaria malaccensis di Bahorok, Sumatera Utara. Malaysia juga mempunyai keseriusan yang hampir sama dalam pembangunan industry gaharu. Mereka memiliki penduduk yang berasal dari etnis China yang turut memberi kontribusi besar terhadap upaya percepatan pengembangan gaharu di negeri jiran tersebut. Bahkan, saat ini Malaysia menjadikan gaharu sebagai komoditi nomor tiga, setelah komoditi kelapa sawit dan karet. 4

20 Malaysia juga telah menggelontorkan biaya riset gaharu dengan nilai setara Rp 50 Milyar/tahun agar proses penemuanpenemuan baru untuk kebutuhan petani dan pengusaha gaharu dapat diaplikasikan secara luas di Malaysia. Sebaliknya, posisi Indonesia saat ini masih pada tahap semangat menanam pohon penghasil gaharu yang dilakukan di sentrasentra gaharu di Indonesia (Gambar 1.1). Namun, semangat menanam ini banyak disalahgunakan oleh orang-orang tertentu yang mengambil keuntungan sesaat. Pada saat regulator di tingkat pusat maupun daerah belum mempunyai aturan yang pasti tentang tata aturan budidaya gaharu (termasuk juga didalamnya adalah peredaran inokulan pembentuk gaharu), maka telah beredar bibit gaharu dan inokulan dengan harga yang sangat fantastis. Saat ini banyak muncul perusahaan dalam bentuk persero (PT) maupun CV yang menyediaan bibit-bibit dan inokulan unggul gaharu. Padahal, mereka belum tentu mempunyai SDM dan Laboratorium khusus yang mengembangkan inokulan gaharu. Selain itu, terdapat juga perusahaan yang mengimpor bibit maupun inokulan dari negara lain dan menjual dengan harga tinggi. Beberapa jenis pohon penghasil gaharu yang diimpor dari Thailand dan Malaysia adalah Aquilaria crassna dan A. subintegra. Riset gaharu telah lama dilakukan sejak oleh berbagai institusi di banyak negara di Asia, Eropa dan Amerika. Namun publikasi di jurnal internasional terbatas sekali, karena temuan mereka dianggap rahasia dan memiliki nilai komersial tinggi. Beberapa hasil riset mereka sudah dipatenkan di beberapa negara. Dengan demikian, kemajuan riset tentang publikasi gaharu di tingkat nasional maupun internasional menjadi terbatas karena terlalu banyak komponen-komponen hasil riset yang bersifat rahasia dan si peneliti tidak ingin hasil risetnya diketahui oleh khalayak ramai. Pada beberapa pertemuan internasional, seperti seminar atau simposium gaharu, cenderung yang didiskusikan adalah hasil riset gaharu yang umum dan beberapa teknologi gaharu 5

21 yang produknya sudah dipantenkan oleh masing-masing institusi yang mempresentasikannya. Pihak CITES di Genewa beranggapan bahwa dengan semakin banyaknya populasi pohon penghasil gaharu budidaya, maka kebutuhan gaharu dunia akan tercukupi. Mereka beranggapan bahwa setiap individu pohon penghasil gaharu yang ditanam sudah pasti menghasilkan gaharu. Padahal tidak semudah itu, upaya pemenuhan kebutuhan gaharu masih diperlukan satu perlakuan lagi, yaitu memasukan jamur patogen pembentuk gaharu. Proses ini sangat penting, sehingga usaha budidaya gaharu akan membuahkan hasil dan dapat dipasarkan ke negaranegara konsumen gaharu. Pernyataan umum yang muncul adalah bahwa kualitas gaharu hasil inokulasi masih kalah baik dengan kualitas gaharu yang berasal dari alam. Pernyataan itu ada benarnya karena waktu inkubasi gaharu hasil inokulasi sudah dapat ditentukan. Petani dapat memanen sesuka hati, misalnya dalam waktu 1-2 tahun setelah diinokulasi boleh ditebang dan dapat diolah untuk menghasilkan minyak gaharu. Tetapi bagi mereka yang ingin mendapatkan gubal gaharu kualitas baik, sebaiknya harus menunggu waktu lebih dari 3 tahun setelah diinokulasi. Sementara itu, gaharu yang berasal dari alam tidak pernah dapat diprediksi berapa umur gaharu yang terbentuk secara alam dan berapa banyak gaharu yang dipanen dapat diperoleh. Kita pun tidak tahu mekanisme pembentukan gaharu yang terjadi secara alami, kapan dimulainya dan bagaimana prosesnya dapat terbentuk. Gaharu budidaya masih terbentur pada aturan kebijakan nasional karena belum ada aturan yang jelas, mulai dari kegiatan penanaman, pengangkutan, hingga tata niaganya. Pengawasan perdagangan gaharu masih bertumpu pada produk gaharu alam. Peraturan yang tidak jelas membuat petani yang ingin mengembangkan gaharu banyak bertanya-tanya, bagaimana mau menanam pohon penghasil gaharu, sementara harus ada ijin tertulis dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Ada 6

22 beberapa usulan yang cerdas, bahwa tidak diperlukan ijin bagi masyarakat atau petani yang ingin menanam pohon penghasil gaharu. Hal yang penting adalah mereka cukup melapor saja ke Dinas Kehutanan terdekat atau perangkat desa terdekat. Setelah itu, mereka akan membuat daftar pemilik pohon penghasil gaharu di tingkat desa maupun kecamatan secara berjenjang. Begitu mereka mau menginokulasi atau memanen pohon penghasil gaharu, mereka cukup melapor agar dokumendokumen yang berisi riwayat budidaya gaharu di suatu lokasi dapat dideteksi oleh pihak BKSDA. Selanjutnya, berdasarkan riwayat budidaya gaharu yang jelas, surat angkut dalam negeri maupun luar negeri dapat diurus dengan baik dan tanpa dikenakan kuota gaharu, sebagaimana halnya gaharu alam yang ekspornya dibatasi oleh kuota. Budidaya gaharu untuk kalangan petani gaharu di Sumatera dan Kalimantan sudah tidak masalah. Mereka yang memiliki perkebunan karet biasanya menemukan pohon penghasil gaharu yang tumbuh di sela-sela pohon karet. Penulis pernah menemukan pohon penghasil gaharu yang tumbuh alami berjumlah 22 batang seluas satu hektar kebun karet. Diduga, penyebaran biji gaharu dibantu oleh tupai dan tikus tanah yang memakan biji-biji gaharu dan tersebar luas di kebun-kebun karet di Sumatera dan Kalimantan. Anakan alam gaharu dapat dengan mudah ditemukan di bawah indukan pohon penghasil gaharu. Jumlah anakan tersebut hampir ribuan bahkan puluhan ribuan dapat dikumpulkan oleh petani gaharu. Mereka bermodalkan polybag dan membuat persemaian sederhana dapat membuat bibit gaharu dalam jumlah besar. Bibit dipelihara seadanya selama 6-8 bulan. Kemudian, bibit berukuran cm ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pokok lainnya. Hal ini dilakukan mengingat bibit gaharu perlu naungan untuk tahap awal pertumbuhannya. Apabila bibit gaharu berlebih, bibit gaharu dapat dijual ke petani lain yang membutuhkan dengan kisaran harga Rp per bibitnya. 7

23 Sekarang terdapat trend baru, para peminat gaharu dari pulau Jawa mencari sumber bibit dari luar jawa. Mereka membeli bibit berukuran 5 cm sekitar Rp ,- per bibit, setelah itu dibesarkan di persemaian di Jawa selama 6-8 bulan, dan mereka jual kembali ke petani setempat di Jawa dengan harga Rp ,- per bibit. Bisnis pembibitan gaharu semakin ramai di berbagai tempat, namun kualitas jenis gaharu yang diperdagangkan belum dapat dikontrol. Mereka hanya berkeinginan untuk mengembangkan jenis-jenis Aquilaria dan Gyrinops saja (Gambar 1.2). Permasalahan yang akan dihadapi dalam mengembangkan budidaya gaharu adalah timbulnya hama dan penyakit pada komoditi ini. Industri gaharu memerlukan ketahanan yang kuat untuk menghadapi serangan hama dan penyakit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi. Tanpa ada pencegahan hama dan penyakit pada pohon penghasil gaharu, maka industri gaharu yang dikembangkan sejak 10 tahun yang lalu akan hancur akibat serangan hama dan penyakit tersebut. Salah satu jenis hama pemakan daun yang telah muncul beberapa tahun yang lalu adalah jenis Heortia vitessoides yang telah menyerang di beberapa wilayah Indonesia. Pengendalian hama secara biologis sangat diperlukan, karena industri gaharu memerlukan pengendalian yang ramah lingkungan. Pemuliaan pohon penghasil gaharu merupakan riset penting yang harus segera dilaksanakan. Kualitas gaharu budidaya masa depan akan ditentukan oleh temuan-temuan riset pemuliaan pohon. Tentunya riset pemulihaan pohon harus bersinergis dengan riset pencarian jamur patogen pembentukan gaharu unggul. Tanpa adanya sinkronisasi antara dua riset pemuliaan dan pythopathologi, maka akan mustahil pengembangan gaharu berkualitas unggul dapat dipasarkan di kemudian hari. Memang, kegiatan riset pemuliaan memerlukan waktu yang cukup lama karena pohon penghasil gaharu dapat diketahui hasilnya antara 7-10 tahun. Jadi, program riset ini perlu disusun jangka panjang 8

24 dan bersifat nasional. Hal ini sangat penting mengingat keanekaragaman jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia sangat bervariasi, dibandingkan dengan negara produsen gaharu lainnya, yang hanya memiliki 1-3 jenis pohon saja. Filosofi riset gaharu adalah memadukan kompleksitas terbentuknya pembentukan gaharu, yaitu segitiga faktor inang, mikroorganisme, dan lingkungan. Memproduksi gaharu adalah menguasai kendali segitiga faktor utama pembentukan gaharu dan ditambah dengan prosedur standar penyuntikan gaharu yang berbasis penggunaan jamur patogen. Badan Litbang Kehutanan telah menerapkan filosofi tersebut dan beberapa hasil inokulasi gaharu telah dihasilkan dari umur 1-3 tahun (Gambar 1.3). Gambar 1.2. Buah Aquilaria malaccensis yang menjadi sumber perbanyakan bibit gaharu Namun demikian, beberapa kalangan memandang teknologi gaharu adalah teknik sederhana yang semua orang dapat membuatnya pada skala rumahan dengan bahan dan alat yang sederhana. Penipuan pernah terjadi akibat ketidak-mengertian masyarakat. Pohon kenari yang banyak tumbuh di Flores (NTT) disuntik masal oleh kelompok orang yang mengaku mengerti tentang gaharu. Akibatnya, banyak masyarakat lokal yang kena tipu daya, harta bendanya hilang karena banyaknya iming-iming yang tidak masuk akal, dan mendapat keuntungan instan yang membuat orang bisa sakit jiwa. Ketika orang Dayak di pedalaman Kalimantan mencoba memasukkan oli dan gula ke dalam batang gaharu berlubang, dia mengaku sebagai ahli pembuat gaharu. 9

25 Gambar 1.3. Gaharu hasil inokulasi dari Badan Litbang Kehutanan Gambar 1.4. Koleksi gaharu kelas super yang dimiliki pengusaha gaharu asal Taiwan Ketika seseorang berlatar belakang teknik mesin membuat paku berlubang untuk memasukan jamur patogen, dianggapnya paku berlubang adalah sebagai kunci pembentuk gaharu. Ketika seseorang yang tidak memiliki dasar pendidikan tentang mikrobiologi atau ilmu penyakit pohon serta tidak memiliki laboratorium, dia dengan yakinnya membuat formulasi bahan kimia berupa asam sulfat dan menyuntikan ke batang gaharu, dia pun beranggapan bahwa air aki dapat membentuk gaharu. Perusahaan bisnis gaharu yang berbasis MLM (Multi Level 10

26 Marketing) juga turut memperkeruh keadaan. Mereka menjual bibit gaharu dengan harga paket yang sangat mahal, dan juga menjanjikan melakukan penyuntikan pohon setelah berumur lima tahun. Tentunya, jaminan itu mungkin hanya janji-janji kosong. Perusahaan tersebut belum tentu kembali lagi ke petani yang sudah mengikat kontrak dan mengeluarkan uang jutaan rupiah. Semua tentang teknik inokulasi yang beredar di masyarakat sangat mengganggu kelangsungan produksi gaharu budidaya. Dari semua permasalahan tentang teknik suntik-menyuntik gaharu yang banyak beredar di masyarakat, memang ada beberapa pemegang kebijakan mengatakan bahwa kita biarkan saja berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Tetapi, beberapa kalangan menyatakan bahwa peredaran gaharu perlu diatur dengan tertib karena banyak masyarakat awam yang tidak berpendidikan tidak mengerti teknologi penyuntikan gaharu yang beraneka-ragam. Masyarakat umum jangan sampai dirugikan karena mereka telah menunggu lama sekitar 5-7 tahun untuk menumbuhkan pohon penghasil gaharu. Diharapkan, pemerintah sebagai regulator yang membuat kebijakan dapat menertibkan aturan main dalam masalah pergaharuan ini. Orang yang membuat kriminal dan penipuan yang banyak merugikan masyarakat seyogyanya dapat dilaporkan ke pihak yang berwajib. Salah satu riset gaharu yang menjadi nilai komersial yang tinggi adalah gaharu sebagai bahan obat-obatan untuk kesehatan manusia. Riset ini sudah banyak dilakukan oleh negara maju seperti: Eropa, China, Amerika, Jepang, Korea, dan lain-lain. Bahan aktif gaharu dipercaya mampu memecahkan masalah kesehatan yang sekarang ini penyakitnya semakin kompleks. Apabila nanti ditemukan bahan aktif dari gaharu yang akan digunakan untuk menyembuhkan penyakit kanker, diabetes, dan jantung, bukan tidak mungkin harga obat yang berbahan dasar dari gaharu akan menjadi sangat mahal. Produk herbal gaharu 11

27 akan menjadi trend riset ke depan untuk menghasilkan produkproduk kesehatan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Harga gaharu alam kelas double super king memang sangat mencengangkan karena bernilai hingga milyaran rupiah per kg di pasaran internasional (Gambar 1.4). Padahal di alam nyata, apabila orang mendapat gaharu double super king yang berasal dari hutan, maka harga yang dibeli tengkulak tangan pertama tidak sampai ratusan juta rupiah. Harga gaharu alam di tingkat hulu hanya berkisar 5-10 jutaan rupiah saja. Begitu sampai kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, harganya melonjak sampai Rp 300 jutan per kgnya. Sekarang, orang mencari gaharu alam kelas termahal sangatlah sulit. Yang mungkin terjadi adalah sistem reseller, artinya, pedagang di Singapura akan mencari gaharu alam terbaik dunia bukan ke hutan alam lagi, tetapi mencari dari kolektor-kolektor yang masih memegang gaharu tersebut di Timur Tengah. Mereka dapat membeli gaharu termahal hingga harga USD per kg dan mereka menjual kembali ke pedagang di China dengan harga 2-3 kali lipat dari harga pokok. Memotong rantai panjang pemasaran tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Masalah pemasaran gaharu sangat kompleks. Kita berhadapan dengan berbagai kalangan yang sejak dahulu telah membuat rantai pemasaran yang sangat panjang, dari mulai di pinggiran hutan hingga gaharu masuk ke outlet-outlet yang tersebar di seluruh mancanegara di dunia. Harga gaharu yang menjulang tinggi tentunya masih berkaitan tentang status jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang masuk CITES Appendix II sejak tahun Para pedagang gaharu alam merasa nyaman dengan kondisi tersebut karena harga gaharu alam akan tetap stabil. Tetapi mereka tetap saja khawatir dengan mulai berkurangnya pasokan gaharu alam yang berkualitas karena pohon gaharu alam ditebang dengan cara serampangan. Para pedagang gaharu alam juga berharap-harap cemas karena suatu saat muncul produk gaharu budidaya yang membahayakan eksitensi gaharu alam. Mereka berpendapat harga gaharu alam akan jatuh di 12

28 pasaran domestik maupun internasional akibat adanya produk gaharu budidaya. Ketika gaharu menjadi booming, maka seluruh pemain yang bermain dalam industri gaharu harus siap menghadapi segala tantangan dan cobaan yang dihadapi. Komoditi gaharu budidaya ke depan akan semakin diminati banyak orang. Tentunya, mutu gaharu yang baik akan dihasilkan dari hasil penelitian dan pengembangan yang terprogram, terarah dan didukung oleh semua stakeholder dari hulu ke hilir yang berniat membangun industi gaharu di Indonesia. Pada masa depan, kita akan menemukan bibit pohon penghasil gaharu yang bermutu, inokulan gaharu yang terjamin dan yakin membentuk gaharu, serangan hama dan penyakit dapat dicegah sejak dini, dan pemasaran gaharu, baik di dalam maupun luar negeri, sudah mempunyai standar dan aturan-aturan yang baku. Pada masa depan pun, gaharu bukan menjadi barang yang misterius, penjualannya serba gelap, harga ditentukan oleh pedagang, atau semua orang sangat mudah mendapatkannya. Segilintir orang menyatakan bahwa apabila produksi gaharu budidaya semakin berlimpah maka harga komoditi gaharu akan menurun drastis. Tetapi sebagian orang tetap optimis bahwa harga gaharu tetap akan bertahan di nilai yang tinggi selama produk gaharu tersebut memang mempunyai nilai komersial tinggi. Produk gaharu juga akan tetap terjual karena hampir semua turunan produk akan habis dibakar konsumen, dan parfum minyak gaharu juga habis digunakan sehari-hari oleh konsumen. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, buku gaharu ini merupakan informasi penting tentang rekam jejak gaharu inokulasi yang telah dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan sejak tahun Jatuh-bangun riset ini telah dirasakan oleh tim peneliti yang terlibat. Keterbatasan peralatan dan biaya merupakan salah satu hambatan dalam menjalankan riset gaharu ini. Akses untuk mendapatkan pohon contoh dan kerjasama dengan petani pemilik pohon memerlukan pendekatan tersendiri, agar mereka 13

29 mau mengorbankan pohon penghasil gaharunya untuk dijadikan bahan penelitian. Sementara itu, buku rekam jejak masih berupa bunga rampai yang berisi tentang kumpulan tulisan riset dari beberapa bidang yang ditekuni dari beberapa instansi riset yang turut bersama-sama mewujudkan hasil-hasil riset tentang beberapa aspek gaharu yang cukup membanggakan. Namun demikian, hasil riset ini masih terus berkembang dan hal ini menjadi bahan umpan balik bagi peneliti-peneliti gaharu di Indonesia yang pada tahun 2013 ini kebetulan Badan Litbang Kehutanan telah berusia 100 tahun. Buku ini dapat dijadikan dasar untuk memulai lebih serius lagi dan memperoleh hasil riset yang lebih maju, sehingga dapat berkontribusi bagi perkembangan gaharu di Indonesia. Materi buku gaharu ini berisi tentang tulisan hasil penelitian maupun review kondisi aktual pergaharuan di Indonesia, diantaranya tentang prospek industri gaharu ke depan, teknologi budidaya dan inokulasinya, sosial dan ekonomi gaharu, fitokimia, interaksi gaharu dan lingkungannya. Sekilas, buku ini hanyalah bunga rampai yang hasil-hasil risetnya masih dalam bentuk serpihan-serpihan. Pada masa mendatang, buku tentang gaharu ini akan disempurnakan terus dan lebih fokus pada topik-topik tertentu yang dibahas secara mendalam untuk menghasilkan konklusi-konklusi yang bermanfaat bagi industri gaharu Indonesia. 14

30 Prospek Gaharu Hasil Bioinduksi 15

31

32 2 GAHARU BIOINDUKSI: Komoditi Elit Masa Depan Sektor Kehutanan Sulistyo A. Siran Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Pendahuluan Gaharu merupakan salah satu produk elit komoditi hasil hutan bukan kayu yang saat ini menjadi topik hangat di banyak kalangan masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari telah dikenal pepatah lama sudah gaharu cendana pula. Pepatah ini menunjukkan bahwa sebenarnya komoditi gaharu sudah dipopulerkan oleh nenek moyang kita dan menjadi bukti sejarah bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pertanyaan yang muncul, lantas kenapa komoditi yang telah populer tersebut sepertinya menghilang begitu lama dan saat ini muncul kembali. Jawaban yang sudah pasti adalah rumus umum, yaitu karena pengambilan jauh lebih besar daripada produksinya. Apabila dilihat dari wujud dan manfaatnya, gaharu memang sangat unik. Gaharu sebenarnya suatu produk yang berbentuk gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon inang (misalnya Aquilaria sp.) yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu, tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu. 17

33 Dari sisi manfaat, gaharu sejak zaman dahulu kala sudah digunakan, baik oleh kalangan elit kerajaan maupun masyarakat suku pedalaman di Sumatera dan Kalimantan. Dengan demikian, gaharu mempunyai nilai sosial, budaya dan ekonomi yang cukup tinggi. Secara tradisional, gaharu dimanfaatkan antara lain dalam bentuk dupa untuk acara ritual dan keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini, pemanfaatan gaharu telah berkembang demikian meluas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obat-obatan yang memiliki khasiat sebagai anti kanker, anti asmatik, anti mikroba, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan. Meningkatnya perdagangan gaharu sejak tiga dasawarsa terakhir ini telah menimbulkan kelangkaan produksi gubal gaharu dari hutan alam. Berdasarkan informasi, harga gaharu di pasaran lokal Samarinda, Tarakan, dan Nunukan, Kalimantan Timur untuk kualitas Super mencapai Rp ,- s/d Rp ,- per kilogram, disusul kualitas Tanggung dengan harga rata-rata per kilogram Rp ,-, kualitas Kacangan dengan harga ratarata Rp ,-, kualitas Teri dengan harga Rp ,- s/d Rp ,-, kualitas Kemedangan dengan harga Rp ,- s/d Rp ,-, dan kualitas Suloan sekitar Rp ,-. Masyarakat dan pemerintah daerah di berbagai daerah di pulau Kalimantan dan Sumatera telah bertahun-tahun menikmati berkah dari keberadaan gaharu, baik sebagai sumber pendapatan masyarakat maupun penerimaan daerah. Besarnya permintaan pasar, harga jual yang tinggi dan pola pemanenan yang berlebihan, serta perdagangan yang masih mengandalkan pada hutan alam, maka jenis-jenis tertentu, misalnya Aquilaria dan Gyrinops, saat ini sudah tergolong langka dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna (Appendix II CITES). 18

34 Sejak tahun 1994, Indonesia berkewajiban melindungi pohon penghasil gaharu. Namun menurut kenyataan, keberadaan pohon penghasil gaharu tersebut di Indonesia, tidak terkecuali di Sumatera dan Kalimantan, semakin langka. Selama ini masyarakat hanya tinggal memanen gaharu yang dihasilkan oleh alam. Seringkali masyarakat tidak tahu pasti kapan pohon penghasil gaharu mulai membentuk gaharu dan bagaimana prosesnya. Kelangkaan terjadi karena pohon penghasil gaharu ditebang tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya gaharu pada pohon tersebut. Menurut hasil kajian, dari 20 pohon penghasil gaharu yang ditebang di hutan alam hanya ada satu atau sering sama sekali tidak ada yang mengandung gaharu. Kalaupun ada pohon yang mengandung gaharu, maka jumlah gaharu yang ada di pohon tersebut hanya beberapa gram saja. Oleh karena itu, dapat dibayangkan seandainya pencari gaharu mendapatkan gaharu kira-kira 5 kilogram, mungkin puluhan atau bahkan ratusan pohon penghasil gaharu yang harus ditebang. Praktek semacam inilah yang mengakibatkan jumlah pohon pengahasil gaharu di alam semakin menurun dari tahun ke tahun. Indikasi penurunan populasi pohon penghasil gaharu ditunjukkan oleh kecenderungan produksi gaharu dari Kalimantan dan Sumatera dari tahun ke tahun. Realisasi produksi gaharu pada dekade 80-an pernah mencapai ribuan ton dengan kualitas yang tinggi, sedangkan saat ini produksi tersebut merosot drastis hanya kira-kira puluhan ton saja dengan kualitas yang bervariasi. Cara untuk menghindari agar jenis-jenis pohon penghasil gaharu di hutan alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu diupayakan untuk konservasi, baik in-situ (dalam habitat) maupun ek-situ (di luar habitat) dan budidaya pohon penghasil gaharu. Namun, upaya tersebut tidak mudah dilaksanakan, dan kalaupun ada usaha konservasi dan budidaya, skalanya terbatas dan hanya dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan LSM konservasi. Sementara itu, masyarakat secara luas enggan untuk melakukan budidaya 19

35 pohon penghasil gaharu karena dianggap tidak memberikan keuntungan apa-apa. Prospek untuk mengembalikan gaharu menjadi komoditi andalan kembali terbuka dengan ditemukannya teknologi rekayasa produksi gaharu. Melalui teknologi inokulasi, produksi gaharu dapat direncanakan dan dipercepat dengan melakukan induksi jamur pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu. Peningkatan produksi gaharu mulai dari kegiatan di bagian hulu hingga ke hilir tersebut selanjutnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan bagi masyarakat petani, pengusaha gaharu, pendapatan asli daerah dan devisa negara. Tulisan ini dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran secara umum mengenai pemanfaatan gaharu, pemahaman mengenai pentingnya nilai gaharu, perlunya budidaya, konservasi, dan rekayasa pembentukan gaharu yang dapat mengembalikan status komoditi dari kelangkaan menjadi produk andalan. Gambaran Umum Tumbuhan Penghasil Gaharu Hutan hujan tropis di Indonesia semenjak tiga puluh tahun yang lalu dikenal sebagai salah satu penghasil utama kayu bulat (log) untuk bahan baku industri perkayuan. Selain itu, hutan hujan tropis Kalimantan juga sangat kaya dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), di mana salah satunya adalah gaharu yang bernilai ekonomis tinggi. Gaharu adalah gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum, yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu, tidak semua tanaman penghasil gaharu menghasilkan gaharu. 20

36 Di lndonesia hingga saat ini diperkirakan terdapat lebih kurang 25 jenis tumbuhan penghasil gaharu yang dikelompokkan ke dalam delapan marga dan tiga suku. Berdasarkan sebaran tempat tumbuh, tumbuhan penghasil gaharu umumnya tumbuh di Pulau Kalimantan (12 jenis) dan Pulau Sumatera (10 jenis), kemudian dalam jumlah terbatas tumbuh di Kepulauan Nusa Tenggara (3 jenis), Pulau Papua (2 jenis), Pulau Sulawesi (2 jenis), Pulau Jawa (2 jenis), dan Kepulauan Maluku (1 jenis). Dari pengamatan sebaran Aquilaria spp. yang dilaksanakan pada tahun 2000 ditemukan bahwa Aquilaria spp. tumbuh tersebar secara luas di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Tingginya permintaan pasar dunia akan gaharu dan harga jual gaharu yang cukup tinggi telah menarik minat masyarakat, baik lokal maupun pendatang untuk melakukan eksploitasi gaharu secara besar-besaran. Akibatnya, populasi Aquilaria spp. di hutan alam semakin menurun dan bahkan pada suatu saat menjadi punah. Untuk mencegah dari kepunahan maka pada pertemuan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) ke-ix di Florida, Amerika Serikat pada tahun 1994, Aquilaria malaccensis, salah satu tumbuhan penghasil gaharu terpenting yang banyak tumbuh di Kalimantan, telah dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai tumbuhan yang terancam punah, sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu dibatasi. Bahkan sejak tahun 2004, seluruh jenis Aquilaria telah dimasukkan dalam Appendix II CITES. Indikasi dari menurunnya populasi Aquilaria spp. antara lain dari pergerakan pencari gaharu yang telah mengarah pada bagian utara Kalimantan Timur, di pedalaman hutan Kalimantan Barat dan Kalimanatan Tengah, serta menurunnya realisasi produksi gaharu dari tahun ke tahun. Walaupun realisasi produksi gaharu tidak menggambarkan besarnya potensi, indikator semakin sulitnya mendapatkan gaharu dari waktu ke waktu menunjukkan 21

37 populasi Aquilaria spp. terus mengalami penurunan. Menyadari semakin langkanya tumbuhan penghasil gaharu, beberapa instansi pemerintah dan masyarakat telah melakukan inisiatif untuk mengadakan pelestarian tumbuhan penghasil gaharu dan sekaligus membudidayakan, baik untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi. Kandungan dan Manfaat Gaharu Terdapat beberapa zat penting yang terkandung dalam gubal gaharu yaitu: -agarofuran, nor-ketoagarofuran, (-)-10-epi-yeudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkohon-eremol, kusunol, dihydrokaranone, jinkohol II, serta oxo-agarospirol. Susilo (2003) mengatakan bahwa terdapat 17 macam senyawa yang terdapat pada gaharu, antara lain: nor-oxoagarofuran, agarospirol, 3,4 dihydroxy-dihydro-agarofuran, p-methoxy-benzylaceton, dan aquillochin. Selanjutnya, Oiler (tanpa tahun) dalam Suhartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan terdapat 31 unsur kimia yang terkandung di dalam gaharu, sedangkan bahan kimia penyusun utamanya adalah 2-(2-(4-methoxyphenyl)ethil) chromone (27 %) dan 2-(2-phenylethyl)chromone (15 %). Gaharu, dengan aromanya yang khas dan harum, telah dipergunakan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetika, dan pengawet berbagai jenis aksesori. Gubal gaharu juga diperdagangkan sebagai komoditi elit untuk keperluan keagamaan seperti tasbih, membakar jenazah (bagi umat Hindu), hio, dan setanggi (dupa). Masyarakat di Timur Tengah banyak menggunakan gaharu sebagai bahan wewangian. Perkembangan ilmu dan teknologi industri telah digunakan berbagai negara untuk memanfaatkan gaharu tidak hanya sebagai bahan pengharum (parfum) dan kosmetik, tetapi juga sebagai bahan obat-obatan. Saat ini, telah berkembang industri pemanfaatan gaharu sebagai bahan baku industri obat herbal alami untuk pengobatan stres, asma, reumatik, radang lambung 22

38 dan ginjal, malaria, bahan antibiotik, TBC, liver, kanker, dan tumor yang masih dalam proses uji klinis. Penggunaan gaharu sebagai bahan obat-obatan banyak dilakukan di China. Pemanfaatan gaharu untuk berbagai keperluan juga telah dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Berau, Kalimantan. Limbah bekas gaharu yang telah disuling digunakan untuk dupa dan bahan untuk upacara agama, sedangkan air suling gaharu dimanfaatkan untuk kesehatan, kecantikan, kebugaran serta bahan minuman (kopi). Pemungutan dan Pengolahan Gaharu A. Cara Pendugaan Kandungan Gaharu Karena tidak semua tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu, maka pengetahuan cara pendugaan kandungan gaharu pada tumbuhan penghasil gaharu yang terinfeksi jamur pembentuk gaharu perlu diketahui, terutama oleh para pemungut pemula. Dengan demikian, kesalahan tebang pada pohon yang tidak berisi gaharu tidak terjadi. Adapun ciri dari tumbuhan penghasil gaharu yang berisi gaharu antara lain adalah: daun berwarna kuning dan rontok, tajuk pohon kecil dan tipis, cabang pohon banyak yang patah, banyak terdapat benjolan dan lekukan sepanjang batang atau cabang pohon, kulit kayu kering dan rapuh serta bila ditarik mudah putus. Setelah ditemukan ciri-ciri tersebut, maka dilakukan uji pelukaan pada batang pohon dengan menggunakan kapak atau parang. Bilamana terdapat alur coklat kehitaman pada batang, hal ini dapat menunjukkan adanya kandungan gaharu. Untuk lebih meyakinkan, biasanya serpihan kayu tadi selanjutnya dibakar untuk mengetahui apakah mengeluarkan bau/aroma wangi khas gaharu. B. Sistem Pemungutan Gaharu Pohon dari tumbuhan penghasil gaharu yang telah diyakini mengandung gaharu ditebang, kemudian dipotong-potong dan 23

39 dibelah untuk diambil gaharunya. Cara pemungutan gaharu semacam ini di Sumatera dan Kalimantan disebut servis, puncut atau pahat. Cara lain yang berlaku pada masyarakat Dayak Kenyah dan Punan di Kalimantan Timur adalah dengan mengiris dan memotong bagian kayu dari tumbuhan penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang. Cara ini disebut tubuk. Potongan kayu berisi gaharu kemudian dikumpulkan dan secara perlahan bagian kayu dipisahkan dari gaharu dengan menggunakan pisau kecil atau pahat cekung. C. Pengolahan Gaharu Sampai saat ini, produk gaharu yang berasal dari alam umumnya dipasarkan dalam bentuk bongkahan. Namun, pemasaran ada pula dalam bentuk minyak hasil sulingan. Cara penyulingan minyak gaharu dapat dilakukan dengan dua sistem, yaitu sistem kukus dan tekanan uap. Harga minyak gaharu di pasaran Jakarta sekitar Rp ,-/tolak (1 tolak = 12 cc). Klasifikasi Mutu Gaharu Klasifikasi mutu gaharu di Kalimantan Timur, khususnya di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya, hingga saat ini masih belum seragam (Tabel 2.1) dan penentuannya dilakukan secara visual. Keragaman klasifikasi dan ketidakjelasan dalam penentuan mutu tersebut menyebabkan harga jual yang berbeda, padahal dengan kelas mutu yang sama. Oleh sebab itu, penetapan standar nasional untuk mutu gaharu dianggap sangat penting. Standar mutu tersebut diharapkan dapat segera menjadi bahan acuan para pengusaha gaharu, pedagang pengumpul, dan pemungut gaharu dalam menentukan kelas mutu gaharu. Selanjutnya, pada Tabel 2.2 disajikan kriteria dan klasifikasi mutu gaharu. 24

40 Tabel 2.1. Klasifikasi mutu gaharu di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya No. Lokasi 1. Samarinda Super king 2. Muara Kaman Klasifikasi mutu Super Tanggung Kacangan Teri Kemedangan Cincangan Super A Super AB Kacangan A Kacangan B Kacangan C Kacangan isi Kacangan kosong Teri A Teri B Teri C Teri kulit A Teri kulit B Teri isi Teri kulit Kemedangan A Kemedangan B Kemedangan community Sudokan Serbuk 3. Kota Bangun 4. Muara Wahau Super A Super B Super A Super B Tanggung isi Tanggung kosong Kacangan A Kacangan B Kacangan isi Kacangan kosong Teri A Teri B Teri super Teri laying Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2007 Serbuk Tabel 2.2. Kriteria dan klasifikasi mutu gaharu No. Klasifikasi Kriteria 1. Super Gaharu berwarna hitam pekat, padat, keras, mengkilap dan sangat berbau, tidak ada campuran dengan serat kayu, berupa bongkahan atau butiran berukuran besar, bagian dalam tidak berlubang. 2. Tanggung Gaharu berwarna hitam dan coklat, padat, keras, bagian dalam kadang berlubang, kadang bercampur serat kayu dan berukuran tangung. 3. Kacangan Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran sebesar biji kacang atau berdiameter sekitar 2 mm. 4. Teri Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran lebih kecil dari biji kacang dan lebih tipis atau berdiameter sekitar 1 mm. 5. Kemedangan Kayu yang mengandung getah gaharu. 6. Cincangan Potongan kecil kayu dari pemisahan gaharu. Sumber : Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan,

41 Secara umum klasifikasi mutu gaharu dapat dikelompokkan menjadi enam kelas mutu yaitu super, tanggung, kacangan, teri, kemedangan, dan cincangan. Setiap kelas mutu tersebut dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas mutu. Tabel 2.3. Harga jual gaharu di pasaran Samarinda, Kalimantan Timur a c Gambar 2.1. Sampel gaharu (a) kelas tanggung; (b) kacangan; (c) teri; dan (d) kemedangan b d No. Kelas mutu Harga (Rp/Kg) 1. Super King ,- Super ,- Super AB ,- 2. Tanggung ,- 3. Kacangan A ,- Kacangan B ,- Kacangan C ,- 4. Teri A ,- Teri B ,- Teri C ,- Teri Kulit A ,- Teri Kulit B ,- 5. Kemedangan A ,- Kemedangan B ,- Kemedangan C ,- 6. Suloan ,- Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2006 Berdasarkan informasi pasar di Samarinda (Tabel 2.3) harga gaharu dengan kualitas super dapat mencapai Rp ,- per kg, disusul kualitas tanggung dengan harga rata-rata Rp 26

42 ,- per kg. Kualitas gaharu yang paling rendah berharga sekitar Rp ,- per kg, dan pada umumnya digunakan sebagai bahan baku penyulingan untuk menghasilkan minyak gaharu. Secara visual beberapa sampel gaharu dapat dilihat pada Gambar 2.1. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN) No. 1386/BSN-I/HK.71/09/99 telah ditetapkan Standar Nasional mutu gaharu dengan judul dan nomor: Gaharu SNI Dalam standar ini diuraikan mengenai definisi gaharu, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji dan syarat penandaan. Klasifikasi mutu gaharu terdiri dari gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Setiap kelas mutu selanjutnya dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas berdasarkan ukuran, warna, kandungan damar wangi, serat, bobot, dan aroma ketika dibakar. Menurut SNI , yang dimaksud dengan gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat. Kemudian, yang dimaksud dengan kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak. Abu gaharu adalah serbuk kayu sisa pemisahan gaharu dari kayu. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel

43 Tabel 2.4. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia No Klasifikasi mutu Kesetaraan dengan standar mutu di pasaran Warna Kandungan damar wangi Bau/aroma (dibakar) A. Gubal 1. Mutu Utama Super Hitam merata Tinggi Kuat 2. Mutu I Super AB Hitam kecoklatan Cukup Kuat 3. Mutu II Sabah Super Hitam kecoklatan Sedang Agak kuat B. Kemedangan 1. Mutu I Tanggung A Coklat kehitaman Tinggi Agak kuat 2. Mutu II Sabah I Coklat bergaris hitam Cukup Agak kuat 3. Mutu III Tanggung AB Coklat bergaris putih tipis Sedang Agak kuat 4. Mutu IV Tanggung C Kecoklatan bergaris putih tipis Sedang Agak kuat 5. Mutu V Kemedangan I Kecoklatan bergaris putih lebar Sedang Agak kuat 6. Mutu VI Kemedangan II Putih keabu-abuan garis hitam tipis Kurang Kurang kuat 7. Mutu VII Kemedangan III Putih keabu-abuan Kurang Kurang kuat C. Abu gaharu 1. Mutu Utama Cincangan Hitam Tinggi Kuat 2. Mutu I Sedang Sedang 3. Mutu II Kurang Kurang Tata Niaga Gaharu Proses pemasaran gaharu di Kalimantan dimulai dari pemungut gaharu yang menjual gaharu yang ditemukannya kepada pedagang pengumpul di desa atau di kecamatan dan selanjutnya oleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang besar (eksportir) di Kota Samarinda. Salah satu contoh alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur dapat diuraikan seperti pada Gambar 2.2. Pemungut gaharu terdiri dari pemungut bebas dan pemungut terikat. Pemungut bebas adalah pemungut gaharu dengan modal kerja sendiri, sehingga bebas di dalam menentukan waktu pencarian gaharu dan menjual hasil perolehannya, baik kepada pedagang pengumpul di desa, pedagang pengumpul di kecamatan maupun langsung kepada pedagang besar (eksportir) 28

44 di Kota Samarinda. Pemungut terikat adalah pemungut gaharu yang dimodali, sehingga waktu pencarian dan penjualan hasil perolehannya terikat pada pemberi modal yaitu pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan dari pedagang besar. Pedagang pengumpul terdiri dari pedagang perantara di desa yang langsung melakukan pembelian gaharu yang diperoleh para pemungut. Hasil pembelian dari pedagang perantara ini kemudian dikumpulkan oleh pedagang pengumpul di kecamatan untuk selanjutnya dijual kepada pedagang besar karena adanya ikatan kontrak. Pedagang besar selain memiliki modal besar juga izin usaha yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah. Pembelian gaharu dilakukan sepanjang tahun melalui pedagang pengumpul atau pemungut bebas. Pembelian meningkat bilamana permintaan pasar terhadap gaharu tinggi, bahkan untuk mendapatkan jumlah yang diinginkan, mereka menanamkan modal yang disalurkan melalui pedagang pengumpul ataupun secara langsung kepada pemungut untuk modal kerja mencari gaharu. Pemungut Bebas Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Pemungut Pemungut Terikat Pedagang Perantara Gambar 2.2. Alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur 29

45 Rekayasa Pembentukan Gaharu Teknik budidaya perlu dikuasai dengan baik untuk dapat membudidayakan pohon penghasil gaharu. Teknik budidaya yang dimaksud, meliputi: kegiatan perbanyakan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit, hingga tumbuhan tersebut memiliki volume yang cukup memadai. Rekayasa produksi gaharu diarahkan untuk pohonpohon penghasil gaharu hasil budidaya, sedangkan pohonpohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami perlu dikonservasi dan dipelihara dengan baik untuk dijadikan pohon induk penghasil anakan. Secara garis besar, proses pembentukan gaharu terdiri dari dua cara, yaitu secara alami dan buatan. Kedua cara tersebut berkaitan dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya luka pada batang, seperti patah cabang atau ranting. Luka tersebut menyebabkan pohon terinfeksi oleh penyakit (bakteri, virus, jamur) yang diduga mengubah pentosan atau selulosa menjadi resin atau damar. Semakin lama kinerja penyakit berlangsung, kadar gaharu menjadi semakin tinggi. Proses pembentukan gaharu di hutan alam sulit dipantau dan diamati. Oleh karena itu, rekayasa dengan cara inokulasi (penyuntikan) jamur atau cendawan pada pohon penghasil gaharu perlu dilakukan agar dapat mengamati secara langsung proses pembentukan gaharu. Rekayasa pembentukan gaharu dengan inokulasi telah dilakukan oleh banyak pihak melalui teknik induksi yang bermacam-macam dan jenis jamur yang bervariasi. Tahapan rekayasa produksi gaharu tersebut juga meliputi banyak kegiatan, yaitu dimulai dengan isolasi jamur pembentuk gaharu, identifikasi dan skrining serta teknik perbanyakan inokulum dan teknik inokulasi (penyuntikan) pada batang pohon penghasil gaharu. 30

46 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi di beberapa tempat seperti di Bengkulu, Bangka, Lampung, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat, pemanenan gaharu dapat dilakukan setelah minimal satu tahun setelah proses inokulasi dilakukan. Untuk mendapatkan produksi gaharu dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, maka pemanenan dapat dilakukan 2 atau 3 tahun setelah inokulasi. Untuk sementara, produk gaharu hasil dari rekayasa setelah satu tahun inokulasi berada pada klas Teri dengan harga US $ 100 per kg atau Saudi Real/kg. Sementara itu, jumlah kandungan zat aktif yang ada pada gaharu hasil rekayasa hampir menyamai gaharu hasil alam. Penutup Teknologi inokulasi pembentukan gaharu yang ditemukan telah membuka peluang yang besar untuk kegiatan pengusahaan gaharu. Peluang pengusahaan gaharu tersebut dimulai dari sub sistem hulu (penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman, penyediaan pupuk, pemberantasan hama dan penyakit), sub sistem tengah (penyuntikan, penyediaan inokulan, peralatan inokulasi, dan pengamanan), sub sistem hilir (pemanenan, pengangkutan, pengolahan, pemasaran), dan sub sistem pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, tranportasi, infrastruktur, skema kredit dan asuransi). Pengusahaan gaharu tersebut di atas memerlukan investasi yang cukup besar, peluang penyerapan tenaga kerja yang besar dan penerimaan asli daerah yang cukup signifikan. Agar dapat mewujudkan kondisi dan harapan tersebut, seluruh sektor harus memainkan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Hanya dengan koordinasi dan integrasi yang baik 31

47 di antara seluruh komponen masyarakat dan pemerintah, maka produk gaharu akan menjadi produk andalan. 32

48 3 TEKNOLOGI BIOINDUKSI JAMUR PEMBENTUK GAHARU Erdy Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Pendahuluan Gaharu merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan yang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan (Siran dan Turjaman, 2010). Gaharu dikenal sebagai gumpalan resin yang berwarna hitam kecoklatan yang yang dihasilkan dari aktivitas infeksi fungi patogen dalam jaringan sel hidup kayu pada pohon penghasil gaharu. Gumpalan resin yang dimaksud dapat menimbulkan aroma wangi dan harum apabila dibakar. Produk-produk incense, kosmetik, parfum, obat-obatan, dan accesoris untuk keperluan religius sangat banyak sekali dihasilkan oleh gaharu (Shaw, 2004). Minyak gaharu dikenal sebagai bahan pengikat dalam campuran parfum-parfum kelas satu yang diproduksi oleh industri parfum di Eropa dan Amerika. Negara-negara Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur adalah konsumen tradisional pengguna gaharu untuk aktivitas keagamaan/kepercayaan seperti Buddha, Hindu, Islam, Shinto, dan Konghuchu. Pada acara seremonial bisnis atau keluarga di Timur Tengah, pembakaran gubal dari kelas double super atau super menunjukkan status kelas atas dari orang-orang kaya dan berselera tinggi. Bahkan, sejak Timur Tengah mulai booming minyak bumi dengan harga tinggi, permintaan produk gaharu semakin meningkat. Demikian pula dengan Republik Rakyat 33

49 China, salah satu negara yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia berkeinginan untuk impor gaharu dari dari Indonesia. Kebutuhan impor tersebut terdiri dari berbagai kelas sebanyak 500 ton per tahun, padahal kuota gaharu Indonesia dibatasi sampai 600 ton per tahun. Sayangnya, hasil survey stok gaharu alam yang ada pada eksportir gaharu di Jakarta menunjukan bahwa kualitas gaharu yang ditemukan berupa kelas rendah dan menengah saja; yaitu kelas tanggung, kacangan, kemedangan, dan abuk. Untuk mencari kelas super atau double super sangat sulit. Kecenderungan yang terjadi adalah pedagang besat gaharu dari Indonesia dan Singapore mencari gaharu double super di Timur Tengah. Mereka membeli kepada kolektor gaharu super di Timur Tengah dan dijual kembali kepada pembeli dari RRC. Pohon penghasil gaharu termasuk keluarga Thymelaeaceae. Beberapa genera yang dapat menghasilkan gaharu, diantaranya adalah : Aquilaria, Gyrinops, Wikstroemia, Enkleia, Gonystylus, Phaleria, Aetoxylon, Excoecaria, dan lain-lain. Keberadaan jenisjenis pohon penghasil gaharu saat ini dalam posisi terancam punah dan telah masuk daftar Appendix II CITES, terutama dari genera Aquilaria dan Gyrinops. Gonystylus juga masuk Appendix II CITES, tetapi bukan karena produk gaharunya, melainkan kelangkaan kayunya yang dikenal sebagai kayu mewah (Sitepu et al., 2011a). Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah gudang gaharu dari jenisjenis Aquilaria. Jenis Aquilaria yang telah dikenal di pasaran internasional dengan nama pasaran Malaccensis. Nama trading Malaccensis ini terdiri dari Aquilaria malaccensis itu sendiri, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, dan A. cumingiana. Kualitas gaharu inokulasi berdasarkan hasil riset tiga tahun terakhir menunjukkan prospek dan hasil yang cukup signifikan (Santoso et al., 2011a; Santoso et al., 2011b). Uji coba panen di Sanggau (Kalimantan Barat) pada pohon penghasil gaharu Aquilaria malaccensis hasil budidaya berdiameter 15 cm diperoleh 4,5 kg berat kering dengan nilai USD 200 per kg. Satu batang pohon 34

50 penghasil gaharu jenis Aquilaria malaccensis yang tumbuh di alam di Kandangan (Kalimantan Selatan) dan telah 18 bulan diinokulasi dengan diameter 40 cm dapat menghasilkan 13 kg berat kering gaharu yang bernilai USD 500 per kg (Turjaman dan Santoso, 2012). Dalam waktu lima tahun mendatang diperkirakan akan banyak muncul produk-produk gaharu hasil budidaya dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan para praktisi gaharu memanfaatkan bahan inokulan yang berbeda. Selain itu, kemungkinan berdirinya industri gaharu berbasis gaharu budidaya dapat menjadi fenomena yang positif agar produk gaharu budidaya dapat diolah dan dipasarkan sesuai dengan harga pasaran internasional yang berlaku. Tujuan penulisan ini adalah memberikan informasi dan pedoman bagi praktisi gaharu dalam menerapkan teknologi bioinduksi gaharu yang berbasis pada inokulan jamur patogen untuk mengembangkan industri gaharu di Indonesia. Harapannya, pihak praktisi gaharu dapat menggunakan metode yang tepat dalam memproduksi gaharu dan tidak salah memilih inokulan jamur yang sekarang ini banyak beredar luas di website maupun penawaran langsung dalam bentuk brosur-brosur. Proses Pembentukan Gaharu A. Pembentuk Gaharu Alam Pembentukan gaharu alam merupakan proses panjang yang misterius (Siran dan Turjaman, 2010; Santoso et al., 2011b). Proses awal pembentukan gaharu dimungkinkan dimulai dari faktor perlukaan yang dapat disebabkan oleh ranting atau cabang pohon penghasil gaharu patah akibat gesekan antar pohon. Tajuk pohon penghasil gaharu yang terkena sengatan petir dapat juga terjadi pelukaan. Orang yang membawa golok ke hutan, tanpa atau dengan sengaja membuat perlukaan pada 35

51 batang pohon penghasil gaharu. Satwa liar di hutan seperti kelompok primata, beruang, tikus, bajing, burung pelatuk dapat membuat perlukaan pada batang pohon penghasil gaharu. Serangga penggerek yang menempel di batang dapat membuat lubang pada batang penghasil gaharu. Semua penyebab dari macam-macam faktor yang membuka perlukaan di batang pohon penghasil gaharu merupakan pintu/jalan masuk bagi jamur patogen pembentuk gaharu. Spora, hifa atau propagul lain dapat terbawa air atau angin dan masuk ke dalam batang. Kondisi perlukaan yang cocok dan tersedia cairan makanan dari batang pohon menyebabkan jamur patogen pembentuk gaharu menjadi berkembang cepat. Serangan jamur patogen ini merupakan awal dari pembentukan gaharu. Serangan jamur yang mengeluarkan racun/toxin dalam batang dapat mengakibatkan pohon merespon dan memproduksi zat-zat metabolik sekunder dalam bentuk resin sebagai reaksi bertahan, walaupun mengganggu proses fisiologis pohon penghasil gaharu. Proses ini terjadi terus menerus dan membutuhkan waktu. Apabila perlukaan hanya terjadi pada beberapa lubang saja, maka proses pembentukan gaharu di alam menjadi sangat lama dan memerlukan waktu yang panjang (Gambar 3.1). Gambar 3.1. Akumulasi resin gaharu pada jaringan kayu gaharu alam berkualitas tinggi (kiri) dan gaharu budidaya hasil perlakuan jamur di India (kanan) (Ajmal, 2011). 36

52 B. Proses Pembentukan Gaharu Proses pembentukan gaharu masih sangat misteri. Tidak ada publikasi satu pun secara komprehensif melaporkan riset tentang proses fisiologis pembentukan gaharu. Proses resinisasi gaharu tentu berbeda pada pohon penghasil getah lainnya seperti pada Pinus merkusii, Dyera costulata, Styrax benzoin, Shorea javanica, Santalum album, Agathis dammara, Hevea brasiliensis, dan lain-lain. Produksi getah pada pohon-pohon tersebut secara alami terjadi pada saluran jaringan kayu yang diteres/dikoak. Sebaliknya, pohon penghasil gaharu memproduksi resin yang menyatu dengan jaringan kayu dan tidak akan mengeluarkan resin jika diteres. Resin yang diproduksi oleh gaharu tidak menimbulkan aroma wangi jika tidak dibakar. Proses pembentukan gaharu dapat didekati dengan beberapa hipotesis. Ada dugaan, perlukaan dan kehadiran jamur patogen yang masuk ke dalam jaringan selsel hidup kayu pohon penghasil gaharu merupakan kunci pembentukan gaharu. Serangga penggerek yang membuat lubang Gambar 3.2. Hifa jamur patogen yang masuk pada di batang merupakan jaringan sel-sel kayu pohon penghasil salah satu vektor untuk gaharu setelah tiga bulan diinokulasi membawa propagul jamur patogen. Oleh sebab itu, pembuatan banyak lubang inokulasi bertujuan untuk mempercepat proses pembentukan gaharu. 37

53 Gambar 3.3. Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria malaccensis oleh Fusarium sp. di Bengkulu (Mucharromah, 2011) Gambar 3.4. Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria microcarpa oleh Fusarium solani di KHDTK Carita, Banten 38

54 Jamur patogen memproduksi cairan enzym atau toksin yang masuk ke sel-sel kayu. Sebaliknya, batang pohon penghasil gaharu yang terinfeksi jamur bereaksi mengeluarkan fitoaleksin yang berkumpul di sel-sel kayu. Akumulasi fitoaleksin atau metabolik sekunder menyebabkan adanya kumpulan resin yang bertumpuk di sekitar lubang perlukaan akibat adanya hifa-hifa jamur patogen. Pada tahap awal, hifa-hifa yang masuk ke kayu dapat terdeteksi melalui mikroskop pada tiga bulan setelah inokulasi. Setelah itu, penutupan sel-sel kayu oleh resin terjadi dan hifa-hifa jamur sudah tidak dapat terdeteksi lagi (Gambar 3.2). Deposit resin gaharu akan terakumulasi pada sel-sel kayu di sekitar lubang inokulasi (Gambar 3.3. dan 3.4). Teknologi Bioinduksi Gaharu Ada tiga metode induksi gaharu, yaitu: metode fisik-mekanik, kimia, dan biologi (Tabel 3.1). Aplikasi ketiga metode ini memberikan hasil yang berbeda-beda. Metode fisik-mekanik terbatas pada stimulasi fisik berupa perlukaan yang kemungkinan terdapat peran fungi patogen yang masuk secara bersamaan. Metode induksi kimia lebih menekankan kepada peran zat tertentu agar tanaman memberikan jawaban stimulasi berupa pembentukan gaharu secara cepat. Sementara itu, metode bioinduksi dengan biologi adalah cara jamur patogen menyerang jaringan sel-sel kayu pohon penghasil gaharu agar proses pembentukan gaharu dapat terjadi melalui interaksi kedua makhuk hidup tersebut (Santoso et al., 2011a; Santoso et al., 2011b; Sitepu et al., 2011b; Wollenberg, 2001). Ketiga metode induksi tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihan. Ole sebab itu, penilaian harus dilakukan dari berbagai aspek; mulai dari kepraktisan aplikasi, nilai investasi yang harus dikeluarkan, kualitas dan kuantitas gaharu yang dihasilkan, nilai ekonomi gaharu, sifat ramah lingkungan, dan keamanan bagi konsumen gaharu dan lingkungan. 39

55 Tabel 3.1. Tiga metode induksi gaharu Fisik-Mekanik Kimia Biologi Pemakuan : paku Gula + Oli Torula spp. Pemakuan+pemanasan(api) Asam Jasmonic Aspergillus spp. Pencacahan Minyak Kedelai Fusarium spp. Pengulitan Asam Sulfat Botrydiplodia spp. Penggergajian (alat gergaji) Asam Cuka Penicillium spp. A. Metode Fisik-Mekanik Metode fisik-mekanik yang dikenal lama adalah metode pemakuan. Pohon penghasil gaharu dilukai dengan cara dipaku. Pemakuan dilakukan dengan jarak tertentu (Gambar 3.5 dan Gambar 3.6). Diperlukan banyak paku dalam satu pohon. Apabila satu pohon memerlukan 500 paku dengan berat 20 g, maka diperlukan 10 kg paku per pohon. Apabila pemakuan dilaksanakan untuk pohon, maka paling sedikit diperlukan 10 ton paku. Kombinasi pemakuan dan pemanasan dengan api juga pernah dilakukan oleh praktisi gaharu di Sumatera dan Kalimantan. Mereka percaya cara ini dapat membentuk gaharu lebih baik. Beberapa praktisi gaharu mencoba metode pencacahan dengan alat tajam, seperti golok atau mandau. Tujuan akhir adalah terjadinya perlukaan pada batang atau cabang pohon penghasil gaharu. Mereka akan mengecek hasil perlukaan setelah 1-3 tahun kemudian. Metode pengulitan juga dilakukan oleh beberapa orang dengan cara membuka kulit batang pohon penghasil gaharu, dan diharapkan terjadi perlukaan. Metode lainnya adalah penggergajian pada beberapa tempat terhadap batang pohon sebagai cara untuk membuat perlukaan. Hingga saat ini belum diketahui informasi berapa hasil gaharu yang diperoleh dari teknologi tersebut. 40

56 B. Metode Kimia Metode kimia adalah teknik induksi dengan bahan kimia tertentu pada setiap lubang pohon penghasil gaharu. Penggunaan asam jasmonik dan minyak kedelei pernah dilakukan di beberapa tempat. Pembentukan gaharu yang terjadi sangat terbatas dan kurang memuaskan. Aplikasi asam sulfat dan asam cuka juga telah dilakukan. Hasilnya, gaharu terbentuk dengan kualitas rendah dan ada bagian batang yang hangus dan mati, serta dikhawatirkan terdapat residu bahan kimia. Oleh sebab itu, penggunaan metode kimia dengan bahan kimia berbahaya tidak disarankan. Hingga saat ini, informasi kualitas dan kuantitas gaharu yang dihasilkan dengan Gambar 3.5. Metode paku di Bangladesh metode kimia belum diketahui. Sebagai bahan pertimbangan, inokulasi dengan bahan kimia berbahaya (seperti asam sulfat) dapat mematikan jaringan sel-sel kayu dan kayu menjadi hitam terbakar. Reaksi dari inang berupa pyhtoalexin dapat muncul tapi juga dapat bercampur dengan asam sulfat. Aroma gaharu yang bercampur dengan asam sulfat akan mengganggu kesehatan manusia yang menghirupnya, bahkan, pengaruh terburuk adalah kanker paru-paru (Gambar 3.7). 41

57 Gambar 3.6. Gaharu hasil paku dari jenis Aquilaria crassna di Vietnam dan Gyrinops versteegii di Lombok (NTB) Gambar 3.7. Inokulan tongkat bambu yang direndam asam sulfat berbahaya C. Metode Biologi Metode biologi merupakan teknik inokulasi dengan menggunakan mikroba atau jasad renik. Banyak sekali jenis jamur (fungi) yang telah diujicoba dari sejak tahun 1930-an hingga kini. Metode biologi yang menggunakan mikroba untuk menstimulasi pembentukan gaharu telah dilaporkan oleh Sitepu et al. (2011), Sundara (2011), Donovan dan Puri (2004). Beberapa peneliti lain juga melakukan inokulasi pada pohon penghasil gaharu dengan jenis fungi yang berbeda; antara lain: Bose (1934) dengan jenis Torula sp., Battcharrya (1952) dengan Epicoccum sp., Gibson (1977) 42

58 dengan Aspergillus, Santoso (1984) dengan Fusarium solani (untuk jenis Aquilaria dan Gyrinops), Subansenee (1985) dengan Botrydiplodia sp., Tamuli (2000) dengan Penicillium sp., Rahayu (2003) dengan Acremonium sp., Burfield (2005) dengan Cladosporium sp., dan Agustini (2006) dengan Fusarium xylaroides untuk jenis Aquilaria microcarpa. Selain itu, Blanchette (2006) menyebutkan produk inokulan jamur yang berasal dari jenis Deuteromycota sp., Ascomycota sp., dan Basidiomycota sp. telah diujicobakan untuk jenis Aquilaria crassna di Vietnam. Penggunaan jamur-jamur tersebut memberikan variasi pembentukan gaharu menurut jenis jamur, jenis pohon penghasil gaharu yang digunakan, dan lokasi riset yang berbeda. Beberapa laporan menyebutkan terdapat kegagalan pembentukan gaharu dengan inokulasi jamur tertentu, atau terjadi pembentukan gaharu tetapi tidak menimbulkan wangi dengan inokulasi jenis jamur yang lain. Sebaliknya, Santoso et al. (2011a) melaporkan bahwa inokulasi F. solani dapat membentuk gaharu pada jenis-jenis Aquilaria dan Gyrnops di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, dan Maluku. Komunikasi pribadi dengan dua perusahaan gaharu di Vietnam menyatakan bahwa penggunaan Kit-inokulan yang diproduksi oleh Blanchette dapat terbentuk gaharu dalam skala terbatas, yaitu gram per pohon dengan jumlah pohon yang diinokulasi sebanyak lebih dari pohon. 43

59 Segitiga Faktor Pembentukan Gaharu A. Segitiga Faktor Pembentukan Gaharu Gaharu secara alami terbentuk karena adanya serangan jamur patogen pada sel-sel hidup kayu pohon penghasil gaharu. Gaharu dimungkinkan terbentuk karena faktor inang, jamur patogen, dan lingkungan. Ketiga faktor ini saling terkait erat. Inang merupakan pohon penghasil gaharu dari jenis tertentu. Gambar 3.8. Segitiga faktor pembentukan gaharu B. Faktor Inang Inang yang dimaksud adalah jenis-jenis pohon penghasil gaharu. Di Asia, termasuk negara-negara lautan Pasifik, diketahui terdapat lebih dari 26 jenis Aquilaria dan 7 jenis Gyrinops yang telah masuk dalam daftar kelangkaan CITES (Appendix II) (Tabel 3.2). Artinya, secara alami jenis-jenis pohon penghasil gaharu telah dieksplotasi sejak lama dan menghasilkan gaharu yang berkualitas baik, serta mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. 44

60 Tabel 3.2. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di Asia No. Jenis Ban Bhu Chi Ind Ina Kam Lao Mal Mya Phi Pap Sin Vie Tai Thai 1. A. agallocha * 2. A. apiculata * 3. A. audate * * * 4. A. acuminate * 5. A. banaense * * 6. A. bailonii * * 7. A. beccariana * * 8. A. brachyantha * 9. A. crassna * * * * 10. A. citrinaecarpa * 11. A. cumingiana * * 12. A. filaria * * * 13. A. grandiflora * * 14. A. hirta * * * 15. A. khasiana * 16. A. malaccensis * * * * * * * * * * 17. A. moszkowskii * 18. A. microcarpa * * 19. A. parvifolia * 20. A. rugosa * * 21. A. rostrata * 22. A. secundana * 23. A. sinensis * * 24. A. tomentosa * 25. A. urdanetensis * 26. A. yunnanensis * * 27. G. versteegii * 28. G. mollucana * 29. G. decipiens * 30. G. ledermanii * 31. G. salicifolia * 32. G. caudate * 33. G. podocarpus * 45

61 Tidak semua inang pohon penghasil gaharu dapat membentuk gaharu yang beraroma wangi dan berwarna hitam kecoklatan. Dua genera utama yang disebutkan di atas sudah terkenal sebagai inang yang menghasilkan wangi gaharu, yaitu Aquilaria dan Gyrinops. Genera lain yang masuk kategori Non-CITES seperti Phalleria, Aetoxylon, Excoecaria dan Wikstroemia (Tabel 3) dapat juga membentuk gaharu dan menghasilkan wangi, namun permintaan pasar terbatas (Sitepu et al., 2011a; Subiakto et al., 2011). Tabel 3.3. Jenis tanaman penghasil gaharu (Non-CITES) yang tersebar di Indonesia No. Jenis Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara Maluku Papua 1. Aetoxylon sympetalum * 2. Alceodophoe oriaceae * 3. Arastemon urophyllus * 4. Dalbergia parviflora * * * * 5. Enkleia malaccensis * * 6. Excoecaria agallocha * * * 7. Linostoma scandens * 8. Myristica sp. * 9. Phaleria capitata * 10. Phaleria microcarpa * 11. Phaleria nisdai * 12. Phaleria macrocarpa * 13. Phaleria papuana * 14. Wikstroemia polyantha 15. W. androsaemifola * * * * * 16. W. tenuiramis * * 17. W. candoleana * 18. W. ridleyi * 19. Timoneus sericeus * 46

62 C. Faktor Jamur Patogen Berbagai referensi menyebutkan beberapa jenis mikroba yang dapat digunakan untuk menstimulasi pembentukan gaharu. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan menunjukan bahwa penggunaan jamur patogen Fusarium solani (Gambar 3.9) memberikan respons pembentukan gaharu yang signifikan. Gambar 3.9. Biakan Fusarium solani. Jamur patogen merupakan salah satu faktor kunci pembentukan gaharu. Oleh sebab itu, teknologi bioinduksi memfokuskan pada aplikasi jamur patogen. Jamur patogen menggunakan gula sederhana sebagai sumber energinya karena tidak dapat berfotosintesis. Jamur patogen yang digunakan adalah jamur yang berasal dari inang gaharu. Sifat-sifat fisiologis jamur dipelajari dengan melihat tingkat agresivitasnya; baik di media, anakan gaharu, maupun batang pohon penghasil gaharu. Beberapa jenis jamur patogen menunjukkan pertumbuhan yang lambat dan pembentukan gejala gaharu juga sangat lambat. 47

63 Sebaliknya, beberapa jenis jamur patogen lainnya menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat dan gejala gaharu juga sangat cepat, bahkan dapat mematikan pohon. Oleh sebab itu, seleksi jamur patogen yang khusus diperuntukan pembentukan gaharu harus dilakukan melalui serangkaian screening, uji coba, dan evaluasi dari berbagai lokasi dan jenis pohon penghasil gaharu yang berbeda. D. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang mungkin dapat mempengaruhi pembentukan gaharu adalah kesuburan tempat tumbuh (Gambar 3.10), suhu dan kelembaban, intensitas cahaya, serangan hama dan penyakit (Pratiwi et al., 2011; Purnomo dan Turjaman, 2011). Hasil survey gaharu di Bangka-Belitung menunjukkan kesuburan tempat tumbuh turut Gambar Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dalam pembentukan gaharu (Purnomo dan Turjaman, 2011) berpengaruh terhadap pembentukan gaharu. Pada kondisi tempat tumbuh yang tidak subur (kering/berbatu) banyak ditemukan pohon penghasil gaharu berkualitas baik, dibandingkan pada kondisi tempat tumbuh yang subur. Faktor hama dan penyakit turut mempengaruhi pembentukan gaharu. Pohon penghasil gaharu yang diserang oleh hama pemakan daun dianjurkan untuk tidak diinokulasi dengan jamur patogen. Kondisi pohon tanpa daun merupakan ciri pohon dalam kondisi stress, sehingga 48

64 tidak dianjurkan untuk melakukan proses inokulasi pada kondisi tersebut. Inokulasi dapat dilakukan setelah pohon penghasil gaharu kembali sehat dan normal. Pemanenan Gaharu Pemanenan gaharu adalah tahap proses yang penting dalam kegiatan budidaya gaharu yang diinokulasi oleh jamur patogen (Gambar 3.11 dan 3.12). Kemudahan dan kesulitan dalam proses pemanen dipengaruhi oleh pola penyuntikan. Selain peralatan yang digunakan, keterampilan pengukir gaharu memerlukan keahlian yang tinggi agar hasil panen dapat maksimal, tanpa kehilangan resin-resin gaharu utama akibat kesalahan prosedur memanen. Selain itu, kadar air gaharu menjadi pertimbangan ukuran biomasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, pemanenan tahap awal dihasilkan 25 kg gaharu, tetapi setelah dibiarkan selama hari berat gaharu dapat menyusut karena proses pengeringan secara alami. Gambar Proses pemanenan gaharu hasil budidaya dengan menggunakan peralatan pertukangan yang sederhana 49

65 Gambar Gaharu A. malaccensis dari pohon yang tumbuh secara alami di kebun karet rakyat dan diinokulasi jamur patogen F. solani Proses pemanenan gaharu budidaya berbeda dengan gaharu alam. Pada pengerokan gaharu alam, output-nya adalah kualitas dan kuantitas gaharu yang diperoleh, walaupun tidak ada kepastian. Mereka mencacah semua batang pohon gaharu alam sampai habis menjadi serpihan kayu. Sebaliknya, proses pengerokan gaharu budidaya lebih fokus pada lubang-lubang inokulasi yang di dalamnya telah terbentuk gaharu. Selain keterampilan dalam pengerokan gaharu hasil inokulasi, diperlukan pengembangan alat-alat kerok gaharu yang modern dan dibantu dengan tenaga listrik. Dukungan peralatan modern yang efektif dan efisien dapat mempercepat peningkatan diversifikasi produk gaharu dalam skala industri. 50

66 Industri gaharu masa depan adalah gaharu hasil budidaya. Pengolahan gaharu untuk berbagai diversifikasi produk yang tinggi menuntut adanya temuan-temuan teknologi agar proses pengolahan gaharu dapat lebih efektif dan efisien. Diversifikasi produk gaharu memberikan variasi pilihan bagi para konsumen untuk memanfaatkan gaharu sebagai bagian dari hidup mereka; seperti untuk incense, parfum, meditasi, obat-obatan, dan aksesoris religius. Oleh sebab itu, industri gaharu Indonesia perlu didukung dengan kelestarian bahan baku gaharu berupa penanaman berbagai jenis Aquilaria dan Gyrinops di berbagai lokasi di Indonesia. Salah satunya, Provinsi Kalimantan Timur merupakan lumbung gaharu alam yang harus dipertahankan dan ditingkatkan, sehingga dapat beralih ke industri gaharu budidaya. Tarakan dan Malinau telah dikenal lama sebagai sumber gaharu berkualitas terbaik dan telah dikenal lama oleh para pedagang gaharu dari Timur Tengah. Petunjuk Teknis Bioinduksi A. Pohon Penghasil Gaharu (Inang) Jenis pohon yang diinokulasi adalah pohon penghasil gaharu. Pohon penghasil gaharu yang dapat diinokulasi adalah pohon yang berdiameter minimum 15 cm. Semakin besar diameter pohon maka semakin baik, karena volume gaharu yang dihasilkan semakin tinggi. Pohon harus dalam keadaan sehat tanpa ada gangguan serangan hama dan penyakit hutan. Sebaiknya posisi dan lokasi pohon yang akan diinokulasi dicatat; seperti ukuran tinggi dan diameter pohon, nama pemilik pohon, lokasi dan posisi koordinat (dengan alat ukur GPS), nama desa dan kecamatan lokasi penyuntikan, waktu penyuntikan, dan data dokumentasi foto kegiatan penyuntikan gaharu. 51

67 B. Inokulan jamur Inokulan jamur patogen dibuat dari tahapan riset yang memerlukan waktu yang panjang. Artinya, riset ini dilakukan di laboratorium mikrobiologi yang dilengkapi dengan peralatan dan bahan kimia tertentu, serta dikerjakan oleh SDM yang kompeten di bidangnya (Santoso et al., 2011a). Tanpa ada SDM dan laboratorium mikrobiologi yang standar, maka sangat mustahil seseorang dapat membuat inokulan yang standar dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui riset dapat dijawab beberapa pertanyaan; antara lain: bagaimana jamur patogen ditemukan, bagaimana karakter pertumbuhan jamur yang tumbuh di media, apa media jamur yang cocok untuk dipergunakan, bagaimana cara mengisolasi dan mengidentifikasi jamur patogen secara biologi molekuler, bagaimana cara memelihara dan memperbanyak jenis jamur pathogen, bagaimana membedakan jenis jamur patogen dengan jenis jamur lainnya, bagaimana mempertahankan daya agresivitas jamur pathogen, dan apakah jamur yang diinokulasikan pada pohon penghasil gaharu akan membentuk gaharu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan kumpulan formulasi yang harus ditemukan agar jamur patogen dapat digunakan untuk pembentukan gaharu (Gambar 3.13). Gambar Inokulan jamur patogen yang telah diseleksi, dapat diproduksi massal, dan dapat diinokulasi pada pohon penghasil gaharu secara massal 52

68 C. Lingkungan Sebelum melakukan kegiatan penyuntikan, pengamatan kondisi lingkungan secara visual perlu dilakukan di sekitar pohon penghasil gaharu; seperti tempat tumbuh, suhu dan kelembaban, serta kondisi geografis lapangan. Hal ini berkaitan pula dengan persiapan peralatan, seperti tangga/steiger yang kuat dan kokoh untuk naik, dan keselamatan kerja dalam melakukan kegiatan penyuntikan. Penyuntikan disarankan untuk dilakukan pada saat tidak hujan. Apabila pada pohon penghasil gaharu terdapat koloni semut rang-rang, penyemprotan air dapat dilakukan untuk mengusir sementara semut tersebut agar tidak mengganggu petugas yang akan menyuntik. D. Peralatan Sebelum berangkat ke lokasi penyuntikan, semua peralatan diperiksa dan diujicoba fungsinya. Sebagai contoh, generator dapat dinyalakan dan bahan bakarnya tersedia cukup. Kelengkapan peralatan untuk kegiatan inokulasi yang diperlukan adalah: satu unit generator kapasitas watt, bahan bakar bensin (campur) yang cukup, blender, alat bor listrik (1 unit + 1 unit cadangan), mata bor jari-jari sepeda motor untuk diameter pohon cm dan mata bor yang lebih panjang untuk diameter pohon cm (Gambar 3.14), kabel listrik dan aksesorisnya sepanjang m, alat suntik (bekas printer) sebanyak 3-4 unit atau alat suntik otomatis (Gambar 3.15), alat tali untuk Gambar Mata bor yang terbuat dari jari-jari sepeda motor berukuran 3 mm 53

69 memanjat, tangga besi atau bambu, serta peralatan pendukung lainnya (golok, clurit, pahat, obeng, dan lain-lain). Gambar Alat suntik inokulan jamur yang dibuat otomatis yang kapasitas masuknya cairan dapat diatur (0,5 cc, 1 cc, atau 2 cc) E. Penyuntikan Alat untuk memanjat disiapkan pada pohon penghasil gaharu yang akan disuntik. Pembuatan pola penyuntikan dilakukan dengan ukuran tertentu (20x5 cm), (15x5 cm), (10x5 cm) dengan menggunakan tali atau benang untuk mempermudah dan mempercepat proses penyuntikan (Gambar 3.16 dan Gambar 3.17). Pada inokulasi dengan jamur yang ganas digunakan ukuran jarak antara 20 cm (jarak vertikal) dan 5 cm (jarak horisontal), sedangkan jamur yang tidak ganas adalah cm (jarak vertikal) dan 5 cm (jarak horisontal). Selanjutnya, mesin generator diisi BBM dan dinyalakan. Kemudian, inokulan jamur di-blender sekitar 5 menit dan dituangkan pada gelas plastik atau botol air mineral bersih. Alat suntik dibersihkan dan diisi inokulan jamur. Apabila menggunakan alat suntik otomatis, dosis dapat diatur sesuai anjuran yang telah ditentukan agar penggunaan inokulan menjadi lebih hemat dan efisien. Kemudian, bor listrik disiapkan dan mata bor dipasang. Satu orang khusus melakukan pengeboran sesuai pola. Pada proses penyuntikan, mata bor hanya boleh masuk maksimum 1/3 diameter batang. Kehati-hatian diperlukan dalam mengebor, jangan sampai melewati batas yang telah ditetapkan. Resiko akibat kesalahan dalam pengeboran adalah batang akan busuk 54

70 dan pohon dapat merana atau mati. Satu orang menyuntik inokulan ke dalam setiap lubang sekitar 0,5-1 cc dan jangan sampai ada cairan yang keluar. Cairan jamur yang keluar dapat memungkinkan terjadinya kontaminan dengan jamur lain yang hidup di alam bebas, dan dapat mengganggu proses pembentukan gaharu. Gambar Pola penyuntikan gaharu dengan menggunakan mata bor dan alat suntik sederhana dapat dilakukan 2-3 orang per tim suntik. F. Keamanan Keamanan merupakan faktor penting setelah proses inokulasi. Lokasi penyuntikan yang jauh dari permukiman membutuhkan koordinasi antar kelompok tani agar pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi dapat dijaga dengan sebaik-baiknya. Biasanya, pohon yang berada di sekitar permukiman akan lebih aman. Pembentukan kelompok tani gaharu di tingkat desa atau kecamatan diperlukan untuk komunikasi dan koordinasi masalah keamanan tersebut. 55

71 Gambar Pola suntik gaharu alam pada jenis Aquilaria malaccensis di Sumatera Utara (foto milik Suparno) dan dapat dilihat gejala pembentukan gaharu dengan jarak yang teratur. Gambar Ujicoba panen Aquilaria malaccensis umur 15 bulan setelah suntik di Sanggau, Kalimantan Barat. Sebelah kiri adalah potongan pohon penghasil gaharu dengan berat 45 kg, dan sebelah kanan adalah contoh gaharu yang dihasilkan dengan berat 4,5 kg. 56

72 G. Teknik Evaluasi Keberhasilan Inokulasi Evaluasi dapat dilakukan setiap tiga bulan. Caranya dengan membuka lubang suntik dengan pola jendela, yaitu kulit batang disayat pisau/cutter dengan bentuk bujur sangkar (yang dipotong adalah sisi bawah, kiri, dan kanan). Pada setiap batang, sekitar 2-3 lubang saja yang dievaluasi. Apabila ditemukan kayu berwana coklat/kehitaman, diambil beberapa potong saja, dikeringkan beberapa saat, setelah itu dibakar. Apabila tercium wangi khas gaharu, maka dapat dikatakan tiga bulan pertama sudah mulai terbentuk gaharu. Pada evaluasi pohon yang lebih enam bulan suntik, luka infeksi kemungkinan tertutup oleh jaringan kayu yang tumbuh, sehingga perlu dipahat beberapa cm. H. Penebangan Pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi dapat ditebang setelah 1, 2, dan 3 tahun. Apabila ingin mendapatkan gaharu yang berkualitas baik, pemanenan dilakukan setelah tiga tahun inokulasi. Pemanenan dilakukan dengan menebang batang menggunakan golok atau kapak. Penggunaan mesin chain-saw jangan dilakukan karena minyak pelumasnya dapat mencemari gaharu yang ada dalam batang. Kemudian, batang dipotong dalam beberapa bagian setiap 2-3 meter. Semua batang diangkut ke tempat pengerokan. I. Pengangkutan Proses pengolahan gaharu tidak dilakukan di hutan atau kebun. Pengangkutan batang gaharu harus dilengkapi dokumentasi resmi dari hutan ke lokasi pengolahan/pabrik gaharu. Tanpa ada dokumen resmi, pemilik gaharu akan dikenakan sanksi hukum karena barang yang dibawa adalah komoditi gaharu yang langka dan dilindungi oleh CITES. 57

73 J. Pengerokan Keterampilan mengerok gaharu harus sudah dilatih. Proses pengerokan yang bersih dan telaten dapat meningkatkan harga > 100% dari harga gaharu yang dikerok asalan karena tidak menyisakan sisa-sisa kayu yang masih berwarna putih. Pengerokan menggunakan alat-alat yang standar agar tidak terjadi kesalahanan. Rekayasa peralatan untuk pengerokan gaharu sangat diperlukan dalam membantu diversifikasi produk gaharu untuk skala industri. K. Pengkelasan Saat ini, pengkelasan gaharu budidaya belum ada pedomannya. Oleh sebab itu, pengkelasan gaharu budidaya diharapkan segera tersedia. Namun demikian, pengkelasan yang sederhana dapat dibuat beberapa bagian, contohnya untuk pohon yang telah disuntik setelah 3 tahun. Antara bagian batang, cabang, dan akar dapat dijumpai kualitas gaharu yang berbeda. Potongan gaharu yang sudah bersih dapat dikelaskan berdasarkan warna. Apabila ditemukan warna hitam yang dominan (>80%) dan sisanya kecoklatan, maka chips dapat dikelompokkan dalam satu kelas gaharu. Potongan gaharu dengan warna 50% coklat dan 50% hitam dikelaskan dalam kelompok tersendiri. Satu kelas lagi apabila ditemukan gaharu yang 100% berwarna coklat. Limbah hasil kerokan gaharu yang berwarna coklat dan putih dijadikan satu karung, sebagai bahan baku untuk penyulingan minyak gaharu. L. Penyulingan minyak gaharu Diversifikasi produk gaharu yang mempunyai nilai komersial tinggi adalah minyak gaharu. Usaha ini memerlukan pabrik minyak gaharu berupa investasi modal, tenaga terampil, peralatan, ruang khusus, tempat penjemuran, tempat perendaman, dan gedung administrasi. Kapasitas alat 58

74 penyulingan disesuaikan dengan kapasitas bahan baku abuk yang tersedia. Kapasitas alat suling dapat dibuat minimal 10 kg sampai 200 kg. Menjual minyak gaharu adalah menjual kepercayaan perusahaan, artinya, sekali perusahaan memalsukan kualitas gaharu, maka pelanggan akan berpindah ke tempat lain. M. Pemasaran Pemasaran gaharu di pasar internasional masih terbuka luas karena antara permintaan dan ketersediaan gaharu di alam terjadi kelangkaan. Hingga saat ini, pasar gaharu budidaya masih dianggap satu kesatuan dengan gaharu alam. Padahal, dokumen sejarah penanaman sampai inokulasi tercatat lengkap dan diketahui BKSDA setempat. Saat penebangan dan pengangkutan pun harus ada surat jalan dari institusi yang berwenang agar produk gaharu budidaya tidak dikenakan sistem kuota. Gaharu budidaya yang berkualitas akan diberi harga tinggi oleh pembeli yang serius. Penawaran dapat dilakukan kepada buyer dari dalam negeri maupun luar negeri dengan harga tertinggi. Pada waktu yang akan datang, perusahaan yang khusus menangani gaharu budidaya dari proses hulu hingga ke hilir diharapkan dapat terbentuk. Penutup Industri gaharu masa depan adalah gaharu hasil budidaya. Pengolahan gaharu untuk berbagai diversifikasi produk yang tinggi menuntut adanya temuan-temuan teknologi agar proses pengolahan gaharu dapat lebih efektif san efisien. Melalui diversifikasi produk gaharu, para konsumen gaharu diberikan variasi pilihan untuk memanfaatkan gaharu sebagai bagian dari hidup mereka seperti untuk incense, parfum, meditasi, obatobatan, dan aksesoris untuk praktek menjalankan ibadah beberapa agama/kepercayaan. 59

75 Teknologi bioinduksi dengan jamur patogen merupakan salah satu cara yang efektif untuk mempercepat pembentukan gaharu yang ramah lingkungan dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Teknologi ini mengikuti proses-proses gaharu alam yang terjadi selama ini. Pembentukan gaharu alam terjadi pada satu atau beberapa titik di bagian tertentu dari batang pohon penghasil gaharu. Proses ini terjadi akibat perlukaan pohon penghasil gaharu yang disusul dengan masuknya jamur patogen secara alami, tetapi potensi inokulan atau jamur patogen yang masuk tersebut tidak teridentifikasi. Karakteristik teknologi bioinduksi adalah membuat lubang inokulasi dengan pola tertentu agar jamur patogen dapat menstimulasi semaksimal mungkin pembentukan gaharu di seluruh batang. Keberhasilan penerapan teknologi bioinduksi dalam pembentukan gaharu sangat dipengaruhi faktor pohon, jamur patogen, dan lingkungan tempat tumbuh. Pohon yang disuntik adalah pohon penghasil gaharu. Inokulan adalah jamur patogen yang berasal dari pohon penghasil gaharu alam yang telah discreening, diidentifikasi, diujicobakan, dan diproduksi massal melalui proses labotarorium yang canggih dan tenaga ahli yang kompeten. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah kesuburan lahan, suhu dan kelembaban, dan yang bebas dari serangan hama dan penyakit. Aturan protokol penyuntikan turut memberikan kontribusi dalam keberhasilan pembentukan gaharu dan mengurangi tingkat kebusukan batang pohon penghasil gaharu. Metode fisik-mekanik dapat diterapkan dengan mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan dari jumlah paku yang diperlukan, biaya tenaga kerja, teknik pemanenan, dan keuntungan produk gaharu yang dihasilkan. Metode kimia dengan menggunakan bahan kimia berbahaya sangat tidak disarankan dalam aplikasi secara massal. Produk gaharu yang dihasilkan dari inokulasi bahan kimia tergolong gaharu bermutu rendah. Selain tidak ramah lingkungan, produk gaharu ini dapat 60

76 menyebabkan gangguan kesehatan manusia, yang pada akhirnya merugikan pasar gaharu asal Indonesia di pasar internasional. Tabel 3.4. Resume Teknis Bioinduksi Gaharu No. Tahapan Teknik Inokulasi Penjelasan A. Pohon (inang) 1. Pohon yang disuntik adalah pohon penghasil gaharu 2. Diameter minimum 15 cm setinggi dada (dbh) 3. Pohon sehat, berdaun, dan tidak ada serangan hama & penyakit. B. Inokulan 1. Jamur yang digunakan adalah jamur pembentuk gaharu. 2. Jamur diproduksi oleh laboratorium yang kompeten dan tenaga ahli di bidang mikrobiologi hutan. 3. Jamur telah teridentifikasi dengan pasti, misal melalui teknik biologi molekuler (Analisis DNA) 4. Produk jamur mempunyai batas kadaluarsa 5. Kebutuhan jamur telah diperhitungkan untuk jumlah pohon yang akan disuntik C. Lingkungan 1. Perlu dipersiapkan peralatan untuk naik tangga/steiger yang kuat dan kokoh untuk keselamatan kerja yang melakukan kegiatan penyuntikan. 2. Kegiatan penyuntikan dilakukan pada saat tidak hujan. 3. Pertimbangkan kondisi konfigurasi tempat tumbuh, misal kondisi pohon yang diperbukitan, berbatu, dll. D. Peralatan 1. Generator: watt 2. bahan bakar bensin (campur) yang cukup 3. blender 4. alat bor listrik: 1 unit + 1 unit cadangan 5. mata bor: jari-jari sepeda motor untuk diameter cm 6. mata bor: yang lebih panjang untuk diameter cm 7. Kabel listrik plus aksesorisnya: m 8. alat suntik (bekas printer): 3-4 unit 9. alat-alat babat (golok, clurit, pahat, obeng, dll.) 61

77 E. Penyuntikan 1. Dibuat pola penyuntikan dengan ukuran tertentu (20x5 cm), (15x5 cm), (10x5 cm) 2. Mesin generator diisi BBM dan dinyalakan. 3. Inokulan jamur diblender sekitar 5 menit, dan dituang di gelas plastik atau botol aqua bekas. 4. Alat suntik dibersihkan dan diisi inokulan jamur. 5. Bor listrik disiapkan, dan mata bor dipasang. 6. Satu orang khusus melakukan pemboran sesuai pola. Mata Bor masuk hanya 1/3 diameter batang. Diperlukan kehati-hatian dalam mengebor, jangan sampai melewati batas yang telah ditetapkan. Resikonya batang akan busuk. 7. Satu orang menyuntik inokulan ke setiap lubang sekitar 0,5-1 cc. Jangan sampai ada cairan keluar. 8. Satu orang mengawasi jalannya penyuntikan, memberi bantuan kedua orang yang bertugas membor dan menyuntik. Mengechek, mematikan dan menghidupkan generator, mengatur letak kabel, dan kegiatan teknis lainnya. 9. Dipastikan tidak ada lubang yang terlewat, dan lupa disuntik. F. Keamanan 1. Lokasi penyuntikan yang jauh dari pemukiman diperlukan koordinasi antar kelompok tani, agar pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi dapat dijaga dengan sebaik-baiknya. 2. Pohon yang berada di sekitar pemukiman lebih aman. G. Teknik Evaluasi 1. Evaluasi dapat dilakukan setiap 3 bulan. 2. Caranya dengan membuka lubang suntik dengan pola jendela, kulit batang disayat pisau/cutter dengan bentuk bujur sangkar (yang dipotong adalah sisi bawah, kiri, dan kanan). Setiap batang sekitar 2-3 lubang saja yang dievaluasi. 3. Apabila ditemukan kayu berwana coklat/kehitaman, diambil beberapa potong saja, dikeringkan beberapa saat, setelah itu dibakar. Apabila tercium wangi khas gaharu, maka dapat dikatakan 3 bulan pertama sudah mulai terbentuk gaharu. 4. Evaluasi yang lebih 6 bulan suntik: kemungkinan infeksi tertutup oleh jaringan kayu yang tumbuh, sehingga perlu dipahat beberapa cm. 62

78 H. Penebangan 1. Penebangan batang dilakukan dengan golok atau kapak. Jangan gunakan mesin chain-saw, karena minyak pelumasnya akan mencemari gaharu yang ada dalam batang. 2. Batang dipotong dalam beberapa bagian, setiap 2-3 meter. 3. Semua batang diangkut ke tempat pengerikan. 4. Pengerikan yang bersih dan telaten dapat meningkatkan harga > 100% dari harga gaharu yang dikerok asalan, dan masih menyisakan sisasisa kayu yang masih berwarna putih. I Pengangkutan Pengangkutan batang gaharu harus dilengkapi dokumentasi resmi dari hutan ke lokasi pengolahan/pabrik gaharu. J. Pengerokan 1. Ketrampilan mengerok gaharu harus sudah dilatih. 2. Menggunakan alat-alat kerok yang standar agar tidak terjadi kesalahanan dalam pengerokan. K. Pengkelasan 1. Pengkelasan dapat dibuat beberapa bagian, misal untuk pohon yang telah disuntik setelah 3 tahun. Antara bagian batang, cabang, dan akar dapat dijumpai kualitas gaharu yang berbeda. 2. Potongan gaharu yang sudah bersih dapat dikelaskan berdasarkan warna. Apabila ditemukan warna hitam yang dominan (>80%) sisanya kecoklatan, maka chips dapat dijadikan satu kelas gaharu. Potongan gaharu dengan warna 50% coklat dikelaskan dalam satu wadah tersendiri. Satu kelas lagi apabila ditemukan gaharu yang 100% berwarna coklat. 3. Limbah hasil kerokan gaharu yang berwarna coklat dan putih dijadikan satu karung, sebagai bahan baku untuk penyulingan minyak gaharu. L Penyulingan minyak gaharu 1. Perlu pabrik minyak gaharu berupa investasi modal, tenaga terampil, peralatan, ruang khusus, tempat penjemuran, tempat perendaman, gedung administrasi.. 2. kapasitas alat penyulingan disesuaikan dengan kapasitas bahan baku abuk yang tersedia. 3. alat suling terdiri dari kapasitas yang 10, 20, 30, 40, 50, 100, 150, 200, 300 kg. 63

79 M. Pemasaran 1. Pasar gaharu budidaya masih dianggap satu kesatuan dengan gaharu alam. 2. Dokumen sejarah penanaman sampai inokulasi tercatat lengkap dan diketahui BKSDA setempat. 3. Saat penebangan dan pengangkutan-pun harus ada surat jalan dari institusi yang berwenang, agar produk gaharu budidaya tidak dikenakan sistem kuota. 4. Gaharu budidaya yang berkualitas akan diberi harga tinggi oleh pembeli yang serius. Penawaran dapat dilakukan kepada buyer dari DN maupun LN dengan harga tertinggi Daftar Pustaka Ajmal, A. (2011). Commercial Cultivation of Medicinal and Aromatic plants in the North East region with particular reference to Aquilaria species. Workshop on implementation of CITES for agarwood-producing species, 3-6 October Kuwait. Donovan, D.G., and Puri, R.K. (2004). Synthesis: Learning from traditional knowledge of non-timber forest products : Penan Benalui and the autecology of Aquilaria in Indonesian Borneo. Ecology and Society, 9 (3):3, Mucharromah. (2011). Development of eaglewood (gaharu) in Bengkulu, Sumatera. Proceeding of gaharu workshop: Development of gaharu production technology a forest community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1 (I). Bogor. 1-14p. Pratiwi, Santoso, E., and Turjaman, M. (2011). Soil physical and chemical properties of the gaharu (Aquilaria spp.) stands habitat in West Java. Proceeding of gaharu workshop: Development of gaharu production technology a forest community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1 (I). Bogor p. 64

80 Purnomo, E. and Turjaman, M. (2011). The environmental of characteristics of Kandangan site for gaharu plantation projects. Proceeding of gaharu workshop : Development of gaharu production technology a forest community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1 (I). Bogor p. Shaw, M. (2004) Agarwood : A mysterious substance of energy. P & I Ltd., Taipei. 145 Pp. ISBN Siran, S.A., and Turjaman, M. (2010). Pengembangan teknologi gaharu berbasis pemberdayaan masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sitepu, I.R., Santoso E., Siran, S.A., and Turjaman, M. (2011a). Fragrant wood gaharu: when the wild can no longer provide. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Sitepu, I.R., Santoso E., Turjaman, M. (2011b). Identification of eaglewood (gaharu) tree species susceptibility. Technical Report 1. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Santoso, E., Irianto R.S.B. Sitepu I.R., Turjaman M. (2011a). Better inoculation engineering techniques. Technical Report 2. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Santoso, E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B., Wiyono B., Novriyanto E., Turjaman M. (2011b). Selection pathogens for eaglewood (gaharu) inoculation. Technical Report 3. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Subiakto, A., Santoso E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B., Wiyono B., Novriyanti E., Suharti S., and Turjaman M. (2011). Establishing demonstration plot of eaglewood 65

81 (gaharu) plantation and inoculation technology. Technical Report 4. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor. Sundara, S. (2011). Conservation and sustainable development of Aquilaria species in Lao PDR. Workshop on implementation of CITES for agarwood producing species, October 3-6, Kuwait City. Turjaman, M. dan Santoso E. (2012). Status kemajuan riset budidaya dan teknologi inokulasi gaharu di Asia. Prosiding seminar nasional hasil hutan bukan kayu. BPTHHBK-Mataram. Wollenberg, E.K. (2001). Incentives for collecting gaharu (fungal-infected wood of Aquilaria spp.; Thymelaeaceae) in East Kalimantan. Economic Botany 55 (3):

82 Pengenalan Jenis, Budidaya dan Pemacu Tumbuh Gaharu Rekam Jejak: Inokulasi, 67

83

84 4 PENGENALAN JENIS-JENIS POHON PENGHASIL GAHARU Beny Rahmanto dan Edi Suryanto Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Pendahuluan Gaharu merupakan komoditas hasil hutan yang bernilai tinggi. Gaharu merupakan sebuah produk yang berbentuk gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar pohon inang yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh jamur (Siran, 2010). Masyarakat di Kalimantan mengenal gaharu dengan sebutan garu, mengkaras atau garu takaras (Heyne, 1987). Tumbuhan penghasil gaharu di indonesia yang dilaporkan hingga saat ini terdiri dari tiga famili yaitu Thymelaeaceae, Euphorbiacea dan Fabaceae. Tumbuhan penghasil gaharu anggota famili Thymelaeaceae terdiri dari lima marga (Aquilaria, Gyrinops, Enkleia, Gonystylus, dan Wikstroemia). Anggota famili Euphorbiaceae terdiri dari satu marga (Excoecaria). Anggota famili Fabaceae terdiri dari satu marga (Dalbergia). Penyebaran tumbuhan penghasil gaharu di Kalimantan (12 jenis), Sumatera (10 jenis), Kepulauan Nusa Tenggara (tiga jenis), Papua (dua jenis), Sulawesi (dua jenis), Jawa (dua jenis) dan Kepulauan Maluku (satu jenis). Tumbuhan penghasil gaharu dapat tumbuh pada kisaran suhu 24 o -32 o C, kelembaban udara antara 80-90% dengan curah hujan antara mm/tahun. Kondisi lahan tempat tumbuh pohon penghasil gaharu sebagian besar 69

85 tergolong tanah podsolik dengan struktur tanah liat berpasir atau lahan marginal dengan altitude mdpl (Mucharromah, 2010). Bagi orang awam, kesulitan dalam proses identifikasi pohon penghasil gaharu adalah pada saat kondisi masih bibit. Morfologi daun bibit gaharu hampir mirip semua, tidak diketahui identifikasi yang khas dan mudah dikenali dari daun gaharu. Selain itu, apabila di alam terjadi dua jenis pohon penghasil gaharu mengalami hibridisasi secara alami, maka akan semakin sulit mengidentifikasi secara morfologi. Ke depan, proses identifikasi secara molekuler dapat mengkonfirmasi dan dicocokkan dengan identifikasi secara morfologi. Tulisan ini menyajikan pengenalan jenis-jenis pohon penghasil gaharu melalui identifikasi secara morfologi. Selanjutnya, kami akan menyempurnakan lagi pada edisi berikutnya. Deskripsi Umum Keluarga Thymelaeaceae Pengenalan jenis tumbuhan penghasil gaharu merupakan faktor penting mengingat gaharu dihasilkan oleh beberapa jenis pohon yang berbeda-beda, sehingga akan menunjukkan kualitas hasil gaharu yang berbeda juga. Salah satu cara pengenalan tumbuhan penghasil gaharu dapat dilakukan dengan mengenali ciri-ciri marga. Deskripsi ciri-ciri marga dan jenis tumbuhan penghasil gaharu berdasarkan pengamatan dan sumber lainnya, serta sebagai pelengkap deskripsi berdasarkan identifikasi Steenis (1960). Thymelaeaceae Marga dari famili ini diantaranya adalah: - Aquilaria; habitus berupa pohon, daun tunggal, kedudukan daun tersebar, permukaan atas daun licin mengkilat, permukaan bawah daun berbulu halus, ujung daun 70

86 runcing sampai meruncing, pangkal daun tumpul sampai membaji, urat daun primer menonjol di permukaan bawah daun, urat daun sekunder menyirip tidak beraturan, daun jika dilipat tidak patah dan jika disobek berserat, tepi daun bergelombang sedikit menggulung ke arah bawah daun, bentuk daun oval sampai lanset, tangkai daun bulat agak pipih pendek (3-6 mm) berbulu halus. - Enkleia; habitus berupa liana, daun tunggal, kedudukan daun berhadapan, ujung daun tumpul sampai runcing - Gyrinops; habitus berupa pohon, daun tunggal, kedudukan daun sepiral beraturan, ujung daun runcing sampai meruncing, bentuk daun oval sampai lanset, tepi daun menebal, pangkal daun tumpul sampai membulat, tangkai daun bulat. - Gonystylus; habitus berupa pohon, daun tunggal, kedudukan daun tersebar, ujung daun runcing, tepi daun rata dan sedikit menggulung ke arah permukaan bawah daun, tulang daun primer menonjol di bawah permukaan daun dan tenggelam di atas permukaan daun, daun agak tebal jika dilipat patah (sobek), pangkal daun membaji, tangkai daun bulat melengkung, permukaan atas daun licin mengkilap, permukaan bawah daun berwarna hijau kusam. - Wikstroemia; habitus berupa semak, beberapa berupa pohon, daun tunggal, sangat jarang yang majemuk menjari, kedudukan daun berhadapan sampai berhadapan bersilangan Euphorbiaceae - Excoecaria; habitus berupa pohon, tumbuh di hutan mangrove, daun tunggal, kedudukan daun tersebar, ujung daun runcing, pangkal daun membaji, permukaan atas daun hijau kusam, permukaan bawah daun merah muda sampai merah oranye. 71

87 Fabaceae - Dalbergia; habitus berupa pohon, daun majemuk menyirip ganjil, anak daun oval-lonjong asimetris, tepi daun rata, permukaan atas dan bawah daun licin. Pengenalan ciri marga merupakan tahap awal dalam proses pengenalan jenis tumbuhan penghasil gaharu. Tahapan selanjutnya adalah mengenali ciri jenis tumbuhan penghasil gaharu. Dalam buku ini hanya akan dibahas beberapa jenis tumbuhan penghasil gaharu anggota marga Aquilaria. 1. Aquilaria microcarpa Nama lokal: tengkaras (Malaysia), hepang (Bangka), engkaras (Kalimantan) Ciri-ciri : - Pohon mencapai tinggi 40 m dengan diameter 80 cm, batang berkulit kelabu, beralur dangkal hingga pecahpecah, berserat panjang - Daun berseling, oval sampai oblong, ukuran 4,5-10 x 1,5-4,5 cm, pangkal daun menyempit, ujung runcing hingga meruncing, urat daun sekunder berjumlah pasang, nampak jelas pada permukaan bawah daun, panjang tangkai daun 3-5 mm. - Perbungaan di ketiak atas daun, jumlah 6-11 bunga, bentuk bunga berupa tabung, warna putih kekuningan, panjang sekitar 5 mm, berbulu rapat. - Buah bulat lonjong mendekati bentuk hati agak pipih berukuran 8-12 mm x mm. - Biji berukuran 6 x 4 mm, berwarna kecoklatan, berbulu halus, berjumlah 2 buah. 72

88 2. Aquilaria malaccensis Nama lokal: alim (Batak), halim (Lampung), kareh (Minangkabau) Ciri-ciri : - Pohon mencapai tinggi 40 m dan berdiameter 60 cm, kulit batang licin berwarna keputihan - Daun berseling, oval sampai lanset, pangkal daun tumpul sampai runcing, ujung daun meruncing, permukaan atas dan bawah daun mengkilap ukuran 7,5-12 cm x 2-5 cm, Urat daun bagian bawah berbulu halus, urat daun sekunder menyirip tidak beraturan berjumlah pasang, panjang tangkai daun 4-6 mm. - Bunga berwarna hijau sampai kuning kusam, perbungaan muncul di ketiak daun berbentuk malai, kelopak bunga berbentuk bulat telur sampai oblong berukuran 2-3 mm. - Buah bulat telur dengan bagian ujung buah membulat, mengecil di bagian pangkal buah, ukuran 3-4 x 2,5 cm, daging buah keras (berkayu) - Biji berbentuk oval berbulu kemerahan 3. Aquilaria beccariana Nama lokal: mengkaras puti (Sumatera), tanduk, garu (Kalimantan) Ciri-ciri : - Pohon tinggi sampai 20 m dengan diameter 36 cm, kulit batang licin, berwarna kelabu - Daun elips sampai lanset berukuran x 6-8,5 cm, pangkal daun membaji, ujung runcing sampai meruncing, urat daun sekunder melengkung naik ke arah tepi daun dan berjumlah pasang, panjang tangkai daun 5-7 mm. 73

89 - Perbungaan pada ketiak daun, bunga berupa tabung memanjang sekitar 7-12 mm, bunga berwarna kekuningan atau putih kekuningan. - Buah berukuran 2-3,5 x 1,75 cm berbentuk bulat telur hingga lonjong, pangkal buah menyempit sepanjang 1,5 cm, pada bagian tengah buah berlekuk kemudian meruncing kebagian ujungnya (menggelendong). - Biji berbulat telur berwarna hitam berukuran 10 x 5 mm berbulu halus berwarna coklat kemerahan, meruncing pada bagian ujungnya. 4. Aquilaria hirta Nama lokal: chamdan, kayu chandan (Malaya), karas (Sumatera) Ciri-ciri : - Pohon setinggi 14 m, kulit batang berwarna keputihan dan agak licin, ranting berbulu halus rapat berwarna coklat terang - Daun berbentuk lonjong sampai oblong, ada juga bulat telur sampai lonjong berukuran 6,5-14 x 2,5-5,5 cm, permukaan atas dan bawah daun mengkilap berbulu halus terutama pada pertulangan daunnya, urat daun sekunder melengkung kearah tepi daun berjumlah pasang, pangkal daun membaji-tumpul hingga membulat, ujung daun runcing sampai meruncing. - Bunga berwarna putih atau kuning muda, mahkota berbentuk tabung dengan panjang 6-8 mm. - Buah menonjol dari tabung bunga, lonjong sungsang, runcing di ujung, menipis ke dasar, buah diselimuti bulubulu halus,berukuran 5 x 1 cm - Biji bulat telur, 10 x 6 mm, berparuh pendek, meruncing di dasar, hitam mengkilap. 74

90 Gambar 4.1. Buah Aquilaria microcarpa (Dok. Beny R. dan Edi S.) dan sketsa buah A.microcarpa (Dok. Flora Malesiana) Gambar 4.2. Buah A. malaccensis (Dok. Beny R. dan Edi S.) dan sketsa buah A. malaccensis (Dok. Flora Malesiana) Gambar 4.3. Sketsa buah A. beccariana (Dok. Flora Malesiana) 75

91 Gambar 4.4. Sketsa buah A. hirta (Dok. Flora Malesiana) Gambar 4.5. Buah G. versteegii Gambar 4.6. Buah A. crassna (Dok. Beny R. dan Edi S.) 76

92 5. Aquilaria filaria Nama lokal: Age (Sorong), lason (Seram) Ciri-ciri : - Pohon ini dapat mencapai tinggi 17 meter dengan diameter 50 cm. Percabangan muda berwarna coklat cerah, berbulu halus sampai kasar. - Daun berbentuk oblong sampai lanset berukuran x 3-5,5 cm. Pangkal daun tumpul sampai membaji, ujung daun sedikit meruncing. Pertulangan daun timbul dan nampak jelas pada bagian bawah permukaan daun, panjang tangkai daun 3-5 mm. - Bunga berwarna hijau kekuningan atau putih berbentuk tabung dengan panjang 5-6,5 mm. Panjang tangkai bunga 2-5 mm dan berbulu halus. - Buah berukuran 1,25-1,5 x 1,25 cm berbentuk elip sampai oval atau agak bundar sedikit pipih (gepeng) dan berkerut. - Biji bentuk delta, cembung dan berwarna hitam berukuran 7,5 x 7,5 mm. 6. Aquilaria crassna Aquilaria crassna merupakan tumbuhan penghasil gaharu endemik dari Kamboja, Laos, Thailand dan Vietnam. Jenis ini sudah mulai ditanam di beberapa daerah di Indonesia. Ciri-ciri : - Pohon setinggi m dengan diameter batang cm (Anonim, 2004). - Bunga kecil berwarna kuning pucat. Buah obovoid berukuran 3-4 cm, kulit luar sedikit berkerut (Kiet, 2005), buah berbulu halus berwarna kuning keabu-abuan. Kelopak besar dan panjang melebihi seperempat dari panjang buah. 77

93 Daftar Pustaka Anonim, Cambodia Tree Species, Monograph. Forestry Administration. Cambodia. Heyne, K Tumbuhan Berguna Jilid III. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta. Kiet, L.C., P. J.A.Kessler, dan M. Eurling A new species of Aquilaria (Thymelaeaceae) from Vietnam. BLUMEA : 50, National Herbarium Netherland. Mucharromah Mengenal Gaharu dan Proses Pembentukannya. Badan Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu. Siran, S.A Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekita Hutan: Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Steenis, C.G.G.J.V Flora Malesiana: Thymelaeaceae vol.6, ser.1. Biodiversity Heritage Library.http// biodiversitylibrary.org. Date: 20/6/

94 5 BUDIDAYA GAHARU DENGAN SILVIKULTUR INTENSIF Atok Subiakto Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Pendahuluan Pengembangan tanaman gaharu umumnya tidak bertujuan untuk menghasilkan kayu, melainkan ditujukan untuk menghasilkan resin gaharu yang terbentuk dari respon tanaman akibat infeksi mikroba, khususnya jamur Fusarium sp., Cylindrocarpon sp., Trichoderma sp., Pythium sp., Phialophora sp., dan Popullaria sp. (Santoso et al., 2007; Daijo and Oller, 2001; Parman et al., 1996; Sidiyasa dan Suharti, 1987). Di alam, kurang dari 5% gaharu terbentuk dari populasi pohon dan bila terbentuk biasanya kurang dari 10% biomas kayu pada pohon yang terinfeksi. Namun, gaharu alam dapat mencapai kualitas tertinggi (kelas super) yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta/kg. Karena potensi harga yang sangat tinggi, eksploitasi gaharu alam dilakukan tanpa mengindahkan kelestariannya. Akibatnya populasi jenis-jenis gaharu menyusut tajam, sehingga jenis ini dimasukkan dalam Appendix II CITES (Santoso et al., 2007). Konsekuensinya, dalam perdagangan resmi, gaharu harus dihasilkan dari pohon hasil budidaya, bukan dari alam. Budidaya gaharu memerlukan input iptek agar pertumbuhan dan produksi resin gaharu dapat optimal. Dukungan iptek yang dimaksud berkaitan dengan aspek pembibitan dan penyuntikan stimulan gaharu. Pembahasan tulisan ini difokuskan pada aspek pembibitan atau perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu. 79

95 Perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu dapat dilakukan, baik secara generatif maupun vegetatif. Biji pohon penghasil gaharu tergolong rekalsitran (Hou, 1960). Biji rekalsitran umumnya cepat berkecambah dan tidak dapat disimpan dalam jangka panjang (Roberts and King, 1980). Penerapan perbanyakan vegetatif dan pemuliaan pohon berpotensi untuk menghasilkan bibit klon gaharu yang memiliki keunggulan, baik pertumbuhan maupun produktivitas resin gaharunya. Proyek ITTO PD 425/06 berupaya untuk mengembangkan dan menerapkan iptek pada penanaman pohon penghasil gaharu agar pertumbuhan dan produktivitas resin gaharunya tinggi. Namun informasi iptek mengenai teknik perbenihan dan teknik perbanyakan vegetatif gaharu masih sangat terbatas. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian berkaitan dengan aspek perbenihan dan perbanyakan stek gaharu. Metode A. Perbanyakan Generatif Pengujian pada perbanyakan generatif dilakukan pada benih (biji) dan cabutan (anakan alam). Benih pohon penghasil gaharu yang digunakan pada uji penyimpanan dan daya kecambah benih adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis asal Sukabumi. Perlakuan pada uji penyimpanan benih adalah waktu (0, 2, 4, 6, dan 8 minggu) dan temperatur penyimpanan (25,4-26,1 o C dan 4,9-6,5 o C). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Bibit cabutan yang digunakan dalam uji waktu simpan cabutan adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis. Perlakuan pada uji waktu simpan bibit cabutan adalah tiga waktu simpan (1, 2, dan 3 hari penyimpanan) serta kondisi penyapihan (dalam sungkup dan tanpa sungkup). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. 80

96 B. Perbanyakan Vegetatif Teknik perbanyakan vegetatif yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik stek pucuk. Penelitian dilakukan pada rumah kaca yang menggunakan sistem pendingin kabut KOFFCO system (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Bahan stek yang digunakan pada pengujian ini adalah A. malacensis. Uji produksi bibit stek gaharu dilakukan dalam tiga tahap. Perlakuan pada pengujian pertama menggunakan prosedur rutin, yaitu media campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 2 : 1. Penyiraman 2 kali seminggu. Pada pengujian kedua perlakuan intensitas penyiraman dikurangi menjadi sekali seminggu dengan media arang sekam. Pada pengujian ketiga, media menggunakan campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 1 : 1 dan intensitas penyiraman 1 kali pada bulan pertama, 2 kali pada bulan kedua, dan 3 kali pada bulan ketiga. Hasil dan Pembahasan A. Perbanyakan Generatif Biji gaharu tergolong rekalsitran, sehingga harus secepatnya dikecambahkan. Uji penyimpanan benih dilakukan untuk mengetahui seberapa lama benih gaharu dapat disimpan. Hasil uji pengecambahan biji dari dua kondisi penyimpanan disajikan pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2. Kondisi penyimpanan (kondisi ruang dan dalam refrigerator) tidak secara nyata mempengaruhi perkecambahan benih (P Anova = 0,0993). Di lain pihak, periode penyimpanan mempengaruhi persen kecambah benih (P Anova = < 0,0001). Secara teknis pengecambahan biji gaharu mudah dilakukan, media tabur dapat menggunakan arang sekam atau zeolit. Dalam pengujian ini, media kecambah yang digunakan adalah arang sekam padi. Pada jenis-jenis biji rekalsitran seperti meranti, 81

97 penaburan biji dilakukan segera setelah buah yang masak dan jatuh. Pada jenis gaharu, penyimpanan pada kondisi ruang selama 2 bulan masih dapat menghasilkan kecambah dengan tingkat keberhasilan 48%. Tabel 5.1. Persen kecambah dari hasil uji penyimpanan biji Periode simpan Kondisi ruang (%) Refrigerator (%) Langsung 82-2 minggu minggu minggu minggu Perkecambahan umumnya dimulai pada minggu kedua dan persen jadi bibit dihitung pada minggu keenam setelah penaburan. Pada Tabel 5.2 tampak ada penurunan antara persen berkecambah dan persen jadi bibit. Penurunannya cenderung lebih besar bila bibit disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Oleh sebab itu, pengecambahan harus dilakukan segera setelah pengunduhan buah untuk mendapatkan persen jadi bibit yang tinggi. Tabel 5.2. Persen jadi bibit (6 minggu setelah penaburan) dari hasil uji penyimpanan biji Periode simpan Kondisi ruang (%) Refrigerator (%) Langsung 74-2 minggu minggu minggu minggu

98 Perbanyakan generatif dapat pula dilakukan dengan menggunakan bibit yang diperoleh dari cabutan di bawah pohon induknya. Pada pengujian penanaman cabutan digunakan bibit gaharu berukuran tinggi 7 cm dan kotiledonnya telah luruh. Hasil uji penanaman cabutan disajikan pada Tabel 5.3. Penggunaan sungkup meningkatkan secara nyata persen tumbuh bibit cabutan (P Anova = < 0,0001). Tabel 5.3. Persen tumbuh bibit cabutan dari uji penyimpanan dan kondisi tanam bibit Periode simpan (hari) Dalam sungkup (%) Tanpa sungkup (%) Umumnya, bibit cabutan yang masih memiliki kotiledon dapat langsung ditanam dalam kantong plastik tanpa penyungkupan. Namun bila kotiledon telah luruh, maka penanaman bibit cabutan harus melalui tahap penyungkupan. Sungkup dapat dibuat dari plastik PVC transparan dan penyungkupan harus rapat agar kelembaban dalam sungkup dapat dijaga pada level di atas 95%. Hasil pengujian ini membuktikan bahwa kelembaban tinggi di dalam sungkup mempengaruhi keberhasilan penanaman bibit cabutan. Penyimpanan bibit cabutan selama tiga hari masih memberikan hasil yang cukup baik (76%) bila penanamannya menggunakan sungkup. B. Perbanyakan Vegetatif Uji produksi stek gaharu dilakukan dengan menggunakan teknologi KOFFCO system yang dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan dan Komatsu (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Teknologi ini mengatur kondisi 83

99 lingkungan, yaitu cahaya, kelembaban, temperatur, dan media pada tingkat optimal bagi pertumbuhan (Sakai et al., 2002). Hasil uji produksi stek gaharu disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek Tahapan riset Spesies Perlakuan 1 A. crassna Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, media cocopeat : sekam = 2:1 1 A. crassna Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, media coc-peat : sekam = 2:1 1 A. microcarpa Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, media cocopeat : sekam = 2:1 1 A. microcarpa Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, media cocopeat : 2 Campuran A. crassna dan A. microcarpa 2 Campuran A. crassna dan A. microcarpa 2 Campuran A. crassna dan A. microcarpa 3 Campuran A. crassna dan A. microcarpa 3 Campuran A. crassna dan A. microcarpa 3 Campuran A. crassna dan A. microcarpa sekam = 2:1 Media sekam bakar, siram 1 kali seminggu Media pasir, siram 1 kali seminggu Media zeolit, siram 1 kali seminggu Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 1 kali seminggu Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 2 kali seminggu Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 3 kali seminggu Persen berakar (%)

100 Uji produksi stek dilakukan dalam tiga tahap penelitian. Pada tahap pertama digunakan prosedur baku pembuatan stek. Perlakuannya adalah jenis dan wadah tanam (tabur) stek. Ratarata persen jadi stek pada uji tahap pertama berkisar antara 40-47%. Pembuatan stek dinilai dapat diusahakan secara ekonomis bila persen jadi mencapai 70% (Subiakto dan Sakai, 2007). Perlakuan jenis tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,6600) dalam persen jadi stek. Demikian pula perlakuan wadah tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,8276) dalam persen jadi stek. Mengingat persen jadi stek masih di bawah 70%, maka dilakukan pengujian lebih lanjut. Pada pengujian tahap kedua, penyiraman dikurangi menjadi satu kali seminggu, adapun perlakuan yang diuji adalah tiga jenis media (arang sekam padi, pasir, dan zeolit). Hasil pengujian menunjukkan media berpengaruh secara nyata (P Anova = 0,0083) terhadap persen jadi stek. Media terbaik adalah zeolit, namun persen berakar masih di bawah 70%. Zeolit merupakan media dengan porositas yang baik dan tidak ditumbuhi oleh cendawan atau pun alga. Karena zeolit adalah media yang berat dan relatif lebih mahal, maka perlu dicoba media lain yang memiliki tingkat porositas relatif sama dengan zeolit. Pada pengujian ketiga digunakan media campuran cocopeat dan sekam padi yang telah disteril. Perlakuan yang diuji adalah tingkat penyiraman (1 kali seminggu, 2 kali seminggu, dan 3 kali seminggu). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 5%, penyiraman berpengaruh secara nyata terhadap persen berakar stek (P Anova = 0,0210). Penyiraman terbaik adalah dua kali seminggu dengan persen berakar 69%. Efek dari penyiraman adalah menyebabkan jenuhnya media dan meningkatkan pertumbuhan cendawan, termasuk cendawan pembusuk. 85

101 Kesimpulan Persen kecambah terbaik diperoleh dari benih yang langsung dikecambahkan setelah pengunduhan. Namun dengan mengantisipasi penurunan daya kecambah, benih masih dapat disimpan selama dua bulan. Benih gaharu tidak perlu disimpan dalam refrigerator, cukup disimpan pada suhu ruangan. Penanaman bibit cabutan menggunakan sungkup menghasilkan persen tumbuh lebih baik dibandingkan bila tidak menggunakan sungkup. Media terbaik untuk penyetekan gaharu adalah campuran antara serbuk kulit kelapa (cocopeat) dan sekam padi dengan perbandingan 1 : 1. Penyiraman terbaik dilakukan dua kali dalam seminggu. Pembuatan stek gaharu tersebut dilaksanakan pada rumah kaca dengan KOFFCO system. Daftar Pustaka Daijo, V. dan D. Oller Scent of Earth. URL: (diakses : 5 Febuari 2001). Hou, D Thymelaceae. In : Flora Malesiana (Van Steenis, C.G.G.J., ed). Series I, Vol. 6. Walter-Noodhoff, Groningen. The Netherland. p Parman, T., Mulyaningsih, dan Y. A. Rahman Studi Etiologi Gubal Gaharu Pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu Pa-kar Gaharu di Kanwil Dephut Propinsi NTB. Mataram. Sakai, C. and A. Subiakto Pedoman Pembuatan Stek Jenisjenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Badan Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor. 86

102 Sakai, C., A. Subiakto, H. S. Nuroniah, dan N. Kamata Mass Propagation Method from The Cutting of Three Dipterocarps Species. J. For. Res. 7: Santoso, E., A. W. Gunawan, dan M. Turjaman Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria microcarpa. J. Pen. Htn & KA. IV-5 : Sidiyasa, K. dan M. Suharti Jenis-Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu. Makalah Utama Diskusi Pemanfaatan Kayu Kurang Dikenal. Cisarua, Bogor. Subiakto, A. dan C. Sakai Manajemen Persemaian KOFFCO System. Badan Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor. Roberts, E. H. and M. W. King The Characteristic of Recalcitrant Seeds. In : Recalcitran Crop Seeds (Chin, H. F., and Roberts, E. H., eds). Tropical Press SDN. BHD. Kuala Lumpur, Malaysia Turjaman, M., Y. Tamai, and E. Santoso Arbuscular Mycorrhizal Fungi Increased Early Growth of Two Timber Forest Product Species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria Under Greenhouse Conditions. Mycorrhiza 16 :

103 88

104 6 KARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH GAHARU Pratiwi Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Pendahuluan Gaharu merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang mempunyai nilai penting, karena secara ekonomis jenis ini dapat meningkatkan devisa negara dan sumber penghasilan bagi masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan. Gaharu merupakan salah satu kayu aromatik penting, sehingga hasil hutan non kayu ini menjadi subjek pemanenan yang cukup tinggi. Ada beberapa jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan gaharu. Awalnya, gaharu berasal dari pohon tropika yang terinfeksi jamur, seperti Aquilaria spp., Gonystylus spp., Wikstromeae spp., Enkleia spp., Aetoxylon spp., dan Gyrinops spp. (Chakrabarty et al., 1994, Sidiyasa et al., 1986). Dalam penulisan ini, fokus bahasan dilakukan terhadap karakteristik tempat tumbuh jenis-jenis pohon dari genus Aquilaria, yaitu A. malaccensis dan A. microcarpa. Genus ini termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Mengingat jenis pohon ini mempunyai nilai ekonomi tinggi, maka keberadaan jenis perlu dipertahankan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan tanaman gaharu dalam hutan tanaman di beberapa area. Oleh karena itu, beberapa informasi sehubungan dengan habitat pohon penghasil gaharu perlu diinventarisasi, termasuk sifat-sifat tanah dan komposisi vegetasi tumbuhan bawah yang ada di sekitarnya, agar kemampuan lahannya dapat diketahui. 89

105 Tanah sebagai bagian dari suatu ekosistem merupakan salah satu komponen penyangga kehidupan, di samping air, udara, dan energi matahari. Pratiwi dan Mulyanto (2000) serta Jenny (1941) menyebutkan bahwa tanah merupakan hasil proses pelapukan batuan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, topografi, organisme, dan waktu. Sifat-sifat tanah yang spesifik mempengaruhi komposisi vegetasi yang ada di atasnya (Pratiwi, 1991). Selanjutnya Pratiwi dan Mulyanto (2000) menyatakan bahwa penyebaran tumbuhan, jenis tanah, dan iklim (termasuk iklim mikro) harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ekosistem yang terintegrasi. Sepanjang komponen tanah bervariasi, maka tanah dan karakteristiknya akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Tanah yang berbeda dengan sistem lingkungan yang bervariasi akan menentukan vegetasi yang ada di atasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang sifat-sifat habitat pohon penghasil gaharu di hutan tanaman gaharu di daerah Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Penelitian dilakukan dengan membuat plot-plot penelitian untuk pengamatan sifatsifat tanah dan topografi serta vegetasi. Informasi ini diharapkan dapat mendukung pengembangan hutan tanaman pohon penghasil gaharu, sehingga keberadaan jenis ini dapat dilestarikan, sebagaimana juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Metodologi A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September 2008 di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Secara administrasi pemerintahan, Carita terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten sedangkan Dramaga terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat serta Sukabumi di Provinsi Jawa Barat. 90

106 Carita memiliki topografi bergelombang sampai bergunung dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan tahunan sekitar mm. Temperatur minimum sekitar 26 o C dan temperatur maksimum 32 o C. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 77% sampai 85% (Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, 2005). Dramaga mempunyai topografi datar sampai bergelombang dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan sekitar mm per tahun. Temperatur udara bervariasi antara 24 o C sampai 30 o C. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 80% sampai 90%. Sementara itu, Sukabumi mempunyai topografi bergelombang sampai berbukit dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan sekitar mm per tahun. Temperatur udara bervariasi antara 20 o C sampai dengan 25 o C. B. Bahan dan Alat Penelitian Sebagai bahan penelitian adalah contoh tanah yang diambil dalam plot penelitian di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Jumlah contoh tanah yang diambil di masing-masing lokasi adalah sebanyak 6 sampel. Bahan lain adalah berupa data hasil analisis vegetasi untuk tingkat semai (termasuk tumbuhan bawah). Sedangkan alat yang dipakai dalam penelitian lapangan adalah alat-alat tulis, alat-alat survei lapangan seperti bor tanah, Munsell Color Chart, cangkul, dan meteran. C. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan membuat plot-plot penelitian untuk pengamatan sifat-sifat tanah, topografi, dan vegetasi. Pengamatan terhadap sifat-sifat tanah dan topografi dilakukan di dalam plot yang sama dengan pengamatan vegetasi. 1. Pengambilan Contoh Tanah Plot dibuat di area yang telah dipilih berdasarkan peta tanah Jawa dan Madura pada skala 1: (Lembaga Penelitian Tanah, 1962). Contoh tanah diambil dari setiap horizon yang 91

107 telah diidentifikasi untuk dianalisis di laboratorium. Dua macam contoh tanah yang diambil adalah contoh tanah terganggu untuk analisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah, serta contoh tanah tidak terganggu untuk pengamatan sifat fisik tanah (porositas dan berat jenis tanah). Sifat-sifat tanah yang dianalisis, meliputi: a) sifat fisik yaitu tekstur, berat jenis, porositas, permeabilitas, dan sifat kimia yaitu ph H2O, Corg, Ntotal, ketersediaan P, K, Na, Ca, Mg, KB, KTK, Al, dan H+ (sifat kimia) (Blackmore et al., 1981). Contoh tanah komposit diambil pada kedalaman 0-30 cm, cm, dan > 60 cm di setiap lokasi penelitian. Pada setiap kedalaman tanah, contoh tanah diambil pada 20 titik yang tersebar di masing-masing horizon. Kemudian contoh tanah dicampur sesuai kedalamannya. Total tanah komposit yang dikumpulkan dari masing-masing lokasi adalah enam contoh (tiga untuk analisis sifat fisik tanah dan tiga untuk analisis sifat kimia tanah). Dengan demikian ada 18 contoh tanah yang dikumpulkan. 2. Pengamatan Vegetasi Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap seluruh vegetasi yang ada dalam plot, yaitu pada tingkat pohon, belta, dan semai. Kriteria pohon adalah tumbuhan dengan diameter setinggi dada (1,3 m)>10 cm. Sedangkan belta merupakan tumbuhan dengan diameter setinggi dada (1,3 m) antara 2 cm hingga < 10 cm dan semai merupakan permudaan dari kecambah hingga tinggi < 1,5 m (Kartawinata et al., 1976). Plot-plot contoh berukuran 20 m x 20 m dibuat untuk pengamatan pohon dengan interval 20 m pada jalur sepanjang satu km. Sementara, pengamatan belta dilakukan dengan membuat petak berukuran 10 m x 10 m di sepanjang jalur tersebut dengan interval 10 m. Seluruh jenis pohon dan belta dihitung dan diukur diameternya. Tingkat semai dan tumbuhan bawah diamati dengan cara membuat petak 1 m x 1 m di dalam jalur pengamatan pohon dan belta. Seluruh 92

108 semai dan tumbuhan bawah yang ada dicatat dan dihitung jumlahnya. Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap semai dan tumbuhan bawah yang ada di bawah tegakan/pohon penghasil gaharu. Kriteria semai adalah permudaan jenis tumbuhan berkayu dari kecambah sampai tinggi < 1,5 m (Kartawinata et al., 1976). Plot-plot berukuran 1 m x 1 m diletakkan pada jalur pengamatan vegetasi di dalam plot tegakan/pohon penghasil gaharu. Pada masing-masing lokasi, jalur dibuat sebanyak tiga buah masing-masing sepanjang 100 m. Seluruh semai dan tumbuhan bawah yang ada dalam plot dicatat nama daerahnya, dihitung jumlahnya dan diukur luas penutupan tajuknya. Jenis yang diperoleh kemudian dibuat spesimen herbariumnya untuk diidentifikasi di laboratorium Botani dan Ekologi Hutan, P3HKA, Bogor. D. Analisis Data Sifat-sifat fisik dan kimia tanah dihitung sesuai dengan formula pada standar prosedur dari setiap karakteristik tanah, kemudian ditabulasi untuk setiap horizon. Untuk vegetasi, data yang diperoleh ditentukan spesies dominannya dengan menghitung nilai penting sesuai dengan rumus yang dikemukakan oleh Kartawinata et al. (1976). Spesies dominan merupakan spesies yang mempunyai nilai penting tertinggi di dalam tipe vegetasi yang bersangkutan. Indeks kesamaan jenis dihitung dengan menggunakan rumus Sorensen (Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974), yaitu: 2w SI a b 93

109 Dimana : SI = Similarity Index w = Jumlah dari nilai penting terkecil untuk jenis yang sama yang ditemukan pada dua komunitas yang dibandingkan (A dan B) a = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas A b = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas B Hasil dan Pembahasan A. Karakteristik Tanah di Daerah Penelitian Karakteristik tanah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentukan tanah dan sifat-sifat tanah. 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Tanah di Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yaitu Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Topografi di daerah Carita bergelombang sampai bergunung, sedangkan di Dramaga datar sampai bergelombang dan di Sukabumi bergelombang sampai berbukit. Bahan induk tanah Carita adalah dari Gunung Danau, sedangkan Dramaga dan Sukabumi masing-masing dari Gunung Salak dan Gede Pangrango. Vulkanik material dari lokasi-lokasi ini memiliki sifat andesitik. Ini berarti bahan induk daerah ini kaya akan mineral-mineral ferro-magnesium dan beberapa mineral sebagai sumber elemen basa. Tipe mineral-mineral ini sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, khususnya sifat fisik dan kimia. Penggunaan lahan di ketiga lokasi penelitian adalah hutan tanaman pohon penghasil gaharu. Di Carita, jenis yang ditanam adalah Aquilaria microcarpa, dengan areal sekitar 5 ha dan dibangun pada tahun 1998 dengan total 346 pohon. Pohon penghasil gaharu ditanam bersama dengan tanaman lain, umumnya pohon serbaguna seperti pete (Parkia 94

110 speciosa), melinjo (Gnetum gnemon), nangka (Artocarpus integra), durian (Durio zibethinus) dan sebagainya. Ketinggian daerah ini sekitar 100 meter di atas permukaan laut. Sementara itu, lokasi di Dramaga dan Sukabumi, gaharu ditanam secara monokultur dan ditanam masing-masing tahun 1993 dan Spesies yang ditanam adalah Aquilaria crassna dan A. microcarpa di Darmaga dan A. microcarpa di Sukabumi. 2. Sifat-Sifat Tanah a. Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah, antara lain berkaitan dengan tekstur, berat jenis, porositas, dan permeabilitas. Hasil penelitian sifat-sifat fisik tanah disajikan pada Tabel 6.1, Tabel 6.2, dan Tabel 6.3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ketiga lokasi penelitian memiliki sifat-sifat fisik tanah yang relatif sama. Data analisis tekstur tanah menunjukkan bahwa tanah di semua lokasi penelitian memiliki kelas tekstur liat. Hal ini mengindikasikan bahwa partikel tanah yang dominan adalah fraksi liat. Implikasi dari kelas tekstur ini adalah retensi air dan hara pada tanah ini relatif bagus. Dari data tekstur tanah dapat dilihat juga bahwa tanah di dalam profil menunjukkan adanya akumulasi liat. Ini berarti seluruh tanah di lokasi penelitian memiliki sub horizon argilik. Tabel 6.1. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Dramaga Sifat fisik Kedalaman Tekstur Berat Porositas (cm) Pasir Debu Liat Kelas Jenis (%) (%) (%) (%) tekstur ,33 25,10 66,57 Liat ,55 22,10 69,35 Liat > 60 6,01 36,51 57,48 Liat 0 0,90 65, ,87 66, ,96 63,85 95

111 Tabel 6.2. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Carita Sifat fisik Kedalaman Tekstur Berat Porositas (cm) Pasir Debu Liat Kelas Jenis (%) (%) (%) (%) tekstur ,33 12,59 79,08 Liat ,33 11,98 81,69 Liat > 60 5,13 9,09 85,78 Liat 0 0,93 64, ,84 68, ,90 66,21 Tabel 6.3. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Sukabumi Sifat fisik Kedalaman Tekstur Berat Porositas (cm) Pasir Debu Liat Kelas Jenis (%) (%) (%) (%) tekstur ,78 18,73 68,49 Liat ,95 5,90 84,15 Liat > 60 11,54 26,37 62,09 Liat 0 0,97 63, ,86 67, ,83 68,75 Berat jenis (BD) tanah di semua lokasi penelitian kurang dari 1 tetapi lebih dari 0,8. Hal ini menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian berkembang dari material vulkanik tuff. Tanah yang memiliki horizon argilik dapat diklasifikasikan sebagai alfisol atau ultisol tergantung kejenuhan basanya (KB). Tanah di Carita dan Dramaga memiliki KB kurang dari 50% (Tabel 6.4, Tabel 6.5, dan Tabel 6.6). Oleh sebab itu, tanah ini diklasifikasikan sebagai ultisol. Sedangkan tanah di 96

112 lokasi penelitian Sukabumi memiliki KB lebih dari 50% sehingga diklasifikan sebagai alfisol. Tabel 6.4. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Dramaga Sifat-sifat kimia Horizon 1 Horizon 2 Horizon 3 (0-30 cm) (30-60 cm) (>60 cm) ph H2O 1:1 4,70 (Rendah) 4,60 (Rendah) 4,50 (Rendah) C org (%) 1,43 (Rendah) 1,03 (Rendah) 1,03 (Rendah) N-total (%) 0,15 (Rendah) 0,12 (Rendah) 0,11(Rendah) P Bray (ppm) 1,7 (Sangat rendah) 1,3 (Sangat rendah) 1,7 (Sangat rendah) NH4OAc ph 7 (me/100 gr): Ca 5,29 (Medium) 4,17 (Rendah) 5,32 ( Medium) Mg 1,19 ( Medium) 1,09 (Medium) 1,70(Medium) K 0,44 (Medium) 0,44 (Medium) 0,58 (Tinggi) Na 0,30 (Rendah) 0,26 (Rendah) 0,26 (Rendah) KTK 17,75 (Medium) 16,61 (Medium) 16,99 (Medium) KB (%) 40,68 (Medium) 35,88 (Medium) 46,26 (Medium) KCl (me/100 gr): Al 3,72 (Sangat rendah) 4,16 (Sangat rendah) H 0,33 0,36 0,41 0,05 N HCl (ppm): Fe 2,04 1,80 1,48 Cu 3,44 2,64 2,40 Zn 5,24 4,88 5,28 Mn 85,60 88,01 79,20 4,90 (Sangat rendah) 97

113 Tabel 6.5. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Carita Sifat-sifat kimia Horizon 1 (0-30 cm) Horizon 2 (30-60 cm) Horizon 3 (>60 cm) ph H2O 1:1 4,60 (Rendah) 4,50 (Rendah) 4,60 (Rendah) C org (%) 2,31 (Medium) 1,51 (Rendah) 0,71 (Sangat rendah) N-total (%) 0,17 (Rendah) 0,14 (Rendah) 0,08 (Sangat rendah) P Bray (ppm) 1,70 (Sangat rendah) 1,20 (Sangat rendah) 1,20 (Sangat rendah) NH4OAc ph 7 (me/100 gr): Ca 1,49 (Sangat rendah) 1,01 (Sangat rendah) 1,00 (Sangat rendah) Mg 0,75 (Rendah) 0,53 (Rendah) 0,52 (Rendah) K 0,16 (Rendah) 0,14 (Rendah) 0,13 (Rendah) Na 0,20 (Rendah) 0,22 (Rendah) 0,21 (Rendah) KTK 15,77 (Rendah) 13,11 (Rendah) 13,03 (Rendah) KB (%) 16,49 (Sangat rendah) 14,49 (Sangat rendah) 14,27 (Sangat rendah) KCl (me/100 gr): Al 5,84 (Rendah) 7,36 (Rendah) 6,40 (Rendah) H 0,49 0,53 0,45 0,05 N HCl (ppm): Fe 1,72 1,00 1,04 Cu 1,64 1,68 1,52 Zn 3,00 2,60 2,80 Mn 28,48 17,08 16,40 98

114 Tabel 6.6. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Sukabumi Sifat-sifat kimia Horizon 1 (0-30 cm) Horizon 2 (30-60 cm) Horizon 3 (>60 cm) ph H2O 1:1 5,10 (Rendah) 5,10 (Rendah) 4,60 (Rendah) C org (%) 1,60 (Rendah) 2,07 (Medium) 1,01 (Rendah) N-total (%) 0,15 (Rendah) 0,18 (Rendah) 0,11 (Rendah) P Bray (ppm) 3,90 (Sangat rendah) 3,70 (Sangat rendah) 3,40 (Sangat rendah) NH4OAc ph 7 (me/100 gr): Ca 16,98 (Tinggi) 16,99 (Tinggi) 14,64 (Tinggi) Mg 10,52 (Sangat tinggi) 10,94 (Sangat tinggi) 10,05 (Sangat tinggi) K 0,71 (Tinggi) 0,40 (Medium) 0,22 (Rendah) Na 0,36 (Medium) 0,43 (Medium) 0,22 (Rendah) KTK 41,07 (Sangat 36,48 (Tinggi) 39,35 (Tinggi) tinggi) KB (%) 69,56 (Tinggi) 78,84 (Sangat 63,86 (Tinggi) tinggi) KCl (me/100 gr): Al 2,32 (Sangat 2,76 (Sangat 6,40 (Rendah) rendah) rendah) H 0,25 0,30 0,42 0,05 N HCl (ppm): Fe 0,52 0,36 0,32 Cu 1,20 1,12 1,44 Zn 1,40 1,56 1,56 Mn 17,00 22,12 26,36 Data porositas tanah menunjukkan bahwa di semua lokasi penelitian, porositas tanah di horizon permukaan lebih rendah daripada di bagian bawahnya. Informasi ini menunjukkan bahwa terjadi fenomena pemadatan tanah (soil compaction) karena adanya injakan (trampling) dan mungkin 99

115 adanya jatuhan butir-butir hujan dari batang pohon (stem fall). Sementara itu, berat jenis tanah di tiga kedalaman kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa tanah ini mempunyai sifat andik, sehingga tanah di lokasi penelitian termasuk dalam ordo andisol dalam sistem taksonomi tanah (Soil Survey Staff, 1994). Porositas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa semakin ke bawah porositasnya semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin ke dalam jumlah pori-pori semakin kecil yang diakibatkan antara lain oleh adanya pemadatan tanah. Pratiwi dan Garsetiasih (2003) menyatakan bahwa pemadatan tanah dapat diakibatkan oleh injakan manusia. Hal ini terjadi juga di ketiga lokasi penelitian, di mana lokasilokasi ini merupakan hutan tanaman. Pori-pori yang menurun jumlahnya mengakibatkan kapasitas tanah menampung air dan udara akan menurun. Nilai permeabilitas tanah menunjukkan laju pergerakan air. Peningkatan berat jenis tanah umumnya diikuti dengan penurunan persentase ruang pori atau porositas, dan nilai permeabilitas tanah. Hal ini terlihat pada lokasi penelitian. Namun demikian, Bullock et al. (1985) menyatakan bahwa nilai ini tergantung bukan saja oleh jumlah pori tetapi juga tingkat kontinuitas pori. b. Sifat Kimia Tanah Sifat-sifat kimia tanah, meliputi ph H2O, C, N, P tersedia, Ca, Mg, K, Na, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), Al, Fe, Cu, Zn, dan Mn. Keterangan yang lebih lengkap sebagaimana terlihat pada Tabel 6.4, Tabel 6.5, dan Tabel 6.6. ph H2O di semua lokasi penelitian umumnya kurang dari lima, kecuali Sukabumi. Namun demikian, tanah-tanah di lokasi penelitian masih dikategorikan asam. Walaupun tanah- 100

116 tanah di lokasi penelitian berkembang dari bahan vulkanik andesitik yang kaya akan material-material basa, namun karena adanya proses pelapukan yang intensif dan juga adanya pencucian (leaching), maka reaksinya asam dan kejenuhan basanya kurang dari 100%. Reaksi ini mempengaruhi ketersediaan unsur hara esensial. Unsur hara esensial merupakan unsur yang diperlukan oleh tanaman dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain (Pratiwi, 2004 dan 2005). Unsur-unsur ini dikategorikan sebagai unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan unsur hara mikro (Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl, dan Co). Selain ph, ketersediaan dari unsur-unsur esensial ditentukan oleh bahan organik dan proses-proses dinamis yang ada di dalam profil tanah. Carbon organik dan nitrogen total di lokasi penelitian menurun semakin ke bawah. Jumlah carbon organik relatif rendah di semua horizon, tetapi di Carita, carbon organik lebih tinggi daripada Sukabumi dan Dramaga. Rendahnya carbon organik dan nitrogen total berhubungan dengan rendahnya bahan organik. Hal ini dapat dimengerti karena di lokasi penelitian Carita banyak dijumpai tumbuhan bawah, jika dibandingkan dengan lokasi penelitian Sukabumi dan Dramaga. Tumbuhan bawah merupakan sumber bahan organik. Menurut Sutanto (1988), bahan organik juga menyebabkan meningkatnya KTK dengan meningkatnya muatan negatif. Perbandingan C/N di semua horizon tergolong tinggi, khususnya di horizon bagian atas. Hal ini menunjukkan bahwa dekomposisi bahan organik tidak terlalu kuat. Kandungan P di semua lokasi penelitian tergolong sangat rendah (< 2). Pratiwi (2004 dan 2005) menyatakan bahwa unsur ini, khususnya di lapisan atas, mempunyai fungsi yang 101

117 sangat penting dalam perkecambahan biji. Elemen penting lainnya adalah K, Al+3, dan H+. Di areal penelitian Dramaga, K tergolong medium sedangkan di Carita dan Sukabumi masingmasing tergolong rendah dan tinggi dan Al+3 dan H+ rendah sampai sangat rendah di semua lokasi. Tanah dengan kandungan Al yang tinggi memiliki sifat toksik. Oleh karena itu di ketiga lokasi penelitian tidak ada bahaya keracunan Al. Unsur hara mikro juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman, tetapi diperlukan dalam jumlah sangat sedikit. Unsur-unsur tersebut adalah Fe, Cu, Zn, dan Mn. Unsur-unsur Fe, Cu, dan Zn relatif rendah, sementara kandungan Mn sedang sampai relatif cukup. Kondisi ini relatif sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan tingkat kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi dapat menyerap unsur hara, sehingga ketersediaan hara akan lebih bagus pada areal dengan KTK rendah. KTK tanah dianalisis dengan larutan buffer NH4Oact ph 7 dan KTK sum of cation. Tabel 6.4, Tabel 6.5, dan Tabel 6.6 menunjukkan secara jelas bahwa KTK NH4Oact ph 7 dari seluruh profil sangat tinggi daripada KTK sum of cation. KTK tinggi berarti areal tersebut cukup subur. Data pada Tabel 5.4, Tabel 5.5, dan Tabel 5.6 mengindikasikan bahwa tanah di Sukabumi memiliki KB tinggi (39,35-41,07), sedangkan di Dramaga medium (16,01-17,75) dan yang terendah adalah di Carita (13,05-15,77). Tanah dengan ph lebih tinggi umumnya memiliki KTK yang lebih tinggi. Kecenderungan ini terjadi di areal penelitian, di mana ph daerah Sukabumi lebih tinggi daripada Carita dan Dramaga. Kandungan kation basa di Sukabumi termasuk tinggi, sedangkan di Dramaga medium dan Carita termasuk rendah. 102

118 Di semua horizon dari tiga lokasi penelitian ini, kation basa didominasi oleh calcium dan magnesium. Jumlah kation tertinggi di areal penelitian terdapat di Sukabumi dan yang terendah di Carita. Hal ini disebabkan karena Sukabumi memiliki ph H2O tertinggi. Terdapat kecenderungan bahwa daerah dengan ph yang tinggi memiliki kejenuhan basa yang tinggi pula. B. Komposisi Vegetasi dan Spesies Dominan 1. Umum Analisis vegetasi dilakukan terhadap vegetasi/tumbuhan bawah di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Areal ini merupakan hutan tanaman pohon penghasil gaharu. Dengan demikian, tingkat pohon, sapling serta tiang didominasi oleh tanaman pohon penghasil gaharu. Oleh karena itu, analisis vegetasi ditekankan pada tumbuhan bawah. 2. Komposisi Tumbuhan Bawah Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi jenis tumbuhan bawah di Carita lebih tinggi dibandingkan di Sukabumi dan Dramaga (Tabel 6.7). Tabel 6.7. Jumlah jenis tumbuhan bawah dan familinya di lokasi penelitian Lokasi penelitian Jumlah jenis Jumlah famili Carita Dramaga 8 16 Sukabumi

119 Kondisi ini terjadi kemungkinan karena perbedaan sistem penanaman dalam hutan tanaman tersebut. Di Carita, pohon penghasil gaharu ditanam dengan sistem campuran dengan jenis tanaman serba guna, sedangkan di Sukabumi dan Dramaga ditanam dengan sistem monokultur. Sistem penanaman di Carita yang multikultur mendukung beberapa anakan muncul dari jenis-jenis lain selain jenis tanaman penghasil gaharu. 3. Jenis Tumbuhan Bawah Dominan Secara ekologis, nilai vegetasi ditentukan oleh peran dari jenis dominan. Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi di dalam komunitas yang bersangkutan. Nilai ini merupakan hasil dari interaksi di antara jenis dengan kondisi-kondisi lingkungan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis dominan dan kodominan masing-masing areal penelitian berbeda. Di Carita, jenis dominan dan ko-dominan dari tumbuhan bawah yang ditemui adalah jampang (Panicum disachyum) dan selaginela (Selaginella plana), sedangkan di Dramaga adalah pakis (Dictyopteris iregularis) dan seuseureuhan (Piper aduncum), serta di Sukabumi adalah jampang (Panicum disachyum) dan rumput pait (Panicum barbatum). Data ini mengindikasikan bahwa habitat dari masing-masing lokasi penelitian secara ekologis memiliki karakteristik yang berbeda-beda. 4. Indeks Kesamaan Jenis Tumbuhan Bawah Berdasarkan indeks kesamaan jenis menurut Sorensen (Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974), komposisi jenis tumbuhan bawah di tiap lokasi penelitian berbeda satu dengan lainnya. Hal ini diindikasikan dengan nilai indeks similaritas yang rendah (< 50%) (Tabel 6.8). 104

120 Perbedaan komposisi jenis ini dikarenakan adanya perbedaan faktor lingkungan seperti iklim, topografi, dan karakteristik tanah. Tabel 6.8. Indeks similaritas (%) dari komunitas tumbuhan di lokasi penelitian Lokasi Carita Dramaga Sukabumi Carita Darmaga Sukabumi Kesimpulan 1. Tanah di tiga lokasi penelitian memiliki bahan induk yang relatif sama, yaitu material vulkanik yang bersifat andesitik. 2. Perbedaan sifat-sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian disebabkan perbedaan tingkat proses pelapukan yang berhubungan dengan kondisi lingkungan dari proses pelapukan tersebut. 3. Sehubungan dengan tingkat pelapukan, tanah Carita kurang subur dibandingkan dengan Dramaga dan Sukabumi. Tingkat kesuburan ini berhubungan dengan tingkat dari proses pelapukan. 4. Sifat-sifat fisik dan kimia tanah di areal penelitian mendukung pertumbuhan pohon penghasil gaharu. 5. Jenis dominan dan ko-dominan di masing-masing areal penelitian berbeda. Di Carita, tumbuhan bawah yang dominan adalah jampang (Panicum disachyum) dan jenis kodominan adalah selaginela (Selaginella plana). Di Dramaga, jenis dominan dan ko-dominan masing-masing adalah pakis (Dictyopteris irregularis) dan seuseureuhan (Piper aduncum), 105

121 dan di Sukabumi masing-masing adalah jampang (Panicum disachyum) dan rumput pait (Panicum barbatum). 6. Komposisi jenis tumbuhan bawah juga berbeda di tiap lokasi penelitian sebagaimana diindikasikan dengan nilai SI < 50%. Perbedaan komposisi jenis ini dikarenakan adanya perbedaan faktor-faktor lingkungan, seperti iklim, topografi, dan sifatsifat tanah. Daftar Pustaka Allison, L.E Organic Matter by Walkey and Black methods. In C.A. Black (ed.). Soil Analyses. Part II. Chakrabarty, K., A. Kumar and V. Menon Trade in Agarwood. WWF-Traffic India. Jenny, H Factors of Soil Formation. McGrawhill. New York. 280 p. Lembaga Penelitian Tanah Peta Tanah Tinjau Jawa dan Madura. LPT. Bogor. Mueller-Dumbois, D. and H. Ellenberg Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Willey and Son. New York. Pratiwi Soil Characteristics and Vegetation Composition Along a Topotransect in The Gunung Gede Pangrango National Park, West Java, Indonesia. MSc. Thesis. International Training Center For Post Graduate Soil Scientists, Universiteit Gent, Belgium. Pratiwi and B. Mulyanto The Relationship Between Soil Characteristics with Vegetation Diversity in Tanjung Redep, East Kalimantan. Forestry and Estate Crops Research Journal 1(1):

122 Pratiwi Hubungan Antara Sifat-Sifat Tanah dan Komposisi Vegetasi di Daerah Tabalar, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan 644: Pratiwi Ciri dan Sifat Lahan Habitat Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di Beberapa Hutan Tanaman di Pulau Jawa. Gakuryoku XI(2): Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Hutan Penelitian Carita. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 21 p. Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson Rainfall Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhand. 42. Kementerian Perhubungan. Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Sidiyasa, K., S. Sutomo, dan R. S. A. Prawira Eksplorasi dan Studi Permudaan Jenis-Jenis Penghasil Gaharu di Wilayah Hutan Kintap, Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian Hutan 474: Sutanto, R Minerlogy, Charge Properties and Classification of Soils on Volcanic Materials and Limestone in Central Java. Indonesia. PhD Thesis. ITC-RUG. Gent. 233 p. Soil Survey Staff Key to Soil Taxonomy. United Stated Department of Agriculture. Soil Conservation Service. Six Edi-tion. 306 p. Soil Conservation Service Procedure for Collecting Samples and Methods of Analyses for Soil Survey. Report No. I. Revised ed.,u.s. Dept.Agric. 68 p. 107

123 108

124 7 MIKORIZA UNTUK STIMULASI PERTUMBUHAN EMPAT JENIS Aquilaria Maman Turjaman Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Pendahuluan Salah satu famili pohon tropika yang sekarang menjadi perhatian dunia internasional adalah Thymelaeaceae. Famili pohon ini sangat penting karena menghasilkan produk gaharu dan kayu mewah untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan di Asia (Lemmens et al., 1998; Oyen dan Dung, 1999). Thymeleaceae terdiri dari 50 genera dengan Aetoxylon, Gyrinops, Enkleia, Gonystylus, Phaleria, Wikstroemia, dan Aquilaria yang memproduksi gaharu (Ding Hou, 1960). Tingginya nilai produk gaharu menyebabkan jenis-jenis ini mengalami kelebihan pemanenan di seluruh kawasan Asia selama 20 tahun terakhir (Paoli et al., 2001). Akibatnya, Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus pada saat ini telah dimasukkan ke dalam CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species) Appendix II (CITES 2005). Jenis-jenis Aquilaria pada umumnya banyak dijumpai pada hutan-hutan primer dan sekunder dataran rendah di Indonesia, Papua Nugini, Thailand, Malaysia, Vietnam, India, Bangladesh, Bhutan, Myanmar, China, Cambodia, dan Filipina. Jenis-jenis ini merupakan sumber utama dari kayu gaharu (semacam kayu yang mempunyai resin wangi) yang termasuk dalam urutan teratas dari kelompok hasil hutan bukan kayu bernilai sangat tinggi yang berasal dari hutan tropika. Produk gaharu biasanya digunakan sebagai bahan dasar parfum, 109

125 incence, obat tradisional, dan produk komersial lainnya (Eurling dan Gravendeel, 2005). Selain jenis Aquilaria berkurang populasinya di alam, pengaturan perlindungan genus ini dan termasuk juga dalam pengaturan kelestarian produksi gaharu alami sulit sekali untuk dilakukan. Ketersediaan nutrisi tanah merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan awal dalam kegiatan penanaman bibit-bibit tanaman hutan pada kondisi lahan hutan yang terdegradasi (Santiago et al., 2002). Pada tahap awal pertumbuhan jenis Aquilaria sering mengalami pertumbuhan yang lambat. Hal ini disebabkan kondisi lahan hutan tropika di Indonesia pada umumnya kahat unsur hara, terutama N dan P. Pada saat ini, kegiatan reforestasi telah memproduksi ratusan juta bibit tanaman hutan setiap tahunnya. Penggunaan bibit tanaman hutan yang vigor sangat diperlukan dalam kegiatan reforestasi. Pada kenyataannya ketersediaan bibit biasanya cenderung dibuat dengan kualitas rendah dan mengalami defisiensi unsur hara dan pada akhirnya mengalami kematian yang tinggi pada saat telah ditanam di lapangan. Beberapa jurnal internasional telah banyak melaporkan pentingnya pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula dari beberapa jenis tanaman hutan yang berbeda untuk membantu kegiatan reforestasi. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah diuji dengan hasil yang signifikan pertumbuhannya pada jenis Leucaena leucocephala (Michelsen dan Rosendahl, 1990), Parkia biglobosa, Tamarindus indica, Zizyphus mauritiana (Guissou et al., 1998), Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri and Mukerji, 2004), 11 jenis Eucalyptus (Adjoud et al., 1996), Tectona grandis (Rajan et al., 2000). Namun berdasarkan hasil studi literatur, uji inokulasi fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis Aquilaria belum dilaporkan. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan tingkat pengaruh fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis Aquilaria, baik di tingkat persemaian maupun di lapangan. 110

126 Bahan dan Metode A. Perbenihan dan Perkecambahan Benih Aquilaria crassna diperoleh dari Dramaga (Bogor), A. malaccensis dikoleksi dari Desa Gudang (Pulau Bangka), A. microcarpa dari Desa Mianas (Kalimantan Barat), A. beccariana berasal dari Sanggau (Kalimantan Barat). Semua benih Aquilaria spp. direndam selama dua jam, kemudian disterilisasi dengan sodium hypochlorit (5%) selama lima menit. Setelah disterilisasi, benih tersebut dicuci beberapa kali dengan air sampai bersih. Benih Aquilaria spp. dikecambahkan pada bak plastik yang berisi media zeolite. Benih Aquilaria spp. mulai berkecambah 21 hari setelah ditaburkan. B. Media Semai Jenis tanah ultisol diambil dari Hutan Penelitian Haurbentes, Jasinga, dan kemudian disimpan di rumah kaca. Media semai tersebut disaring dengan diameter saringan 5 mm. ph media adalah 4,7; P tersedia (Bray-1) adalah 0,17 mg kg-1, dan N total (Kjeldahl) adalah 1,7 mg kg-1. Kemudian, media semai disterilisasi pada temperatur 121 o C selama 30 menit. C. Inokulum Mikoriza Arbuskula Fungi mikoriza arbuskula, G. decipiens, G. clarum, Glomus sp. ZEA, dan Glomus sp. ACA, diisolasi dari Desa Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, melalui teknik pot kultur. Teknik pot kultur dimulai dengan cara spora tunggal. Inang yang digunakan untuk mempropagasi FMA adalah Pueraria javanica. Pot plastik diisi dengan zeolite steril dan ditambahkan 5 g dari masing-masing jenis FMA. Kemudian, benih P. javanica yang telah berumur enam hari ditanam pada pot plastik tersebut. Potpot disusun pada rak-rak besi di rumah kaca dan dipelihara selama 90 hari. Spora, hifa eksternal, dan akar yang terkolonisasi dari masing-masing jenis FMA diamati dengan mikroskop. 111

127 D. Inokulasi FMA Polybag (ukuran 15 cm x 10 cm) diisi tanah steril 500 g. Inokulasi FMA diberikan 5 g untuk setiap pot dan diletakkan di dekat akar semai Aquilaria spp. Sementara itu, semai empat jenis Aquilaria yang tidak diinokulasi digunakan sebagai kontrol (berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, penggunaan inokulum steril tidak memberikan pengaruh pertumbuhan pada Aquilaria spp). Semai dipelihara dan disiram setiap hari pada kondisi rumah kaca dan diamati selama 6 bulan. Temperatur di rumah kacar berkisar antara o C dan kelembaban udara 80-90%. Gulma dan hama yang mengganggu semai dimonitor setiap hari. E. Parameter Pertumbuhan Percobaan inokulasi pada jenis-jenis Aquilaria terdiri atas (a) kontrol (tanpa inokulum); (b) Entrophospora sp.; (c) G. decipiens; (d) G. clarum; (e) Glomus sp. ZEA; dan (f) Glomus sp. ACA. Desain penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 30 ulangan. Parameter yang diukur adalah tinggi, diameter, dan daya hidup semai. Setelah berumur enam bulan, dilakukan pemanenan pucuk dan akar semai Aquilaria. Semua sampel di-oven pada suhu 70 o C selama tiga hari. Analisis N dan P jaringan semai dilakukan dengan metode semi-micro Kjeldahl dan vanadomolybdate-yellow assay (Olsen and Sommers, 1982). Pada tingkat lapang, percobaan yang dilakukan hanya pada jenis A. beccariana dengan desain RAL yang sama. Percobaan dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Dramaga di bawah naungan tegakan Gmelina arborea. Paramater yang diamati pada tingkat lapang ini adalah tinggi dan diameter A. beccariana yang telah dilakukan selama dua tahun. F. Kolonisasi Mikoriza Arbuskula Akar dari masing-masing jenis Aquilaria dicuci untuk membersihkan partikel-partikel tanah yang masih menempel. Akar dibersihkan dalam 100 g l-1 KOH selama satu jam, 112

128 diasamkan dalam larutan HCl dan diberi warna dengan 500 mg l- 1 tryphan blue dalam lactoglycerol (Brundrett et al., 1996). Kemudian, akar dicuci dalam 50% glycerol dan 100 potong akar berukuran satu cm diamati di bawah mikroskop compound dengan perbesaran 200x. Penghitungan kolonisasi mikoriza dilakukan dengan sistem skoring keberadaan dan tidak adanya struktur FMA (McGonigle et al., 1990). G. Analisis Statistik Analisis statistik menggunakan ANOVA dengan software StatView 5.0 (Abacus Concepts). Kemudian, analisis statistik lanjutan menggunakan uji beda nyata terkecil (LSD) apabila nilai F signifikan. Hasil dan Pembahasan Lima jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) sangat efektif mengkolonisasi sistem perakaran dari A. crassna, A. malaccensis, A. Microcarpa, dan A. beccariana setelah enam bulan diinokulasi pada kondisi rumah kaca. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Santoso et al. (2008) menunjukkan bahwa kolonisasi FMA yang terjadi pada akar bibit A. microcarpa dimulai sebelum minggu ke-7 setelah inokulasi. Tidak ada perbedaan nyata antara lima jenis FMA dalam mengkolonisasi perakaran empat jenis Aquilaria. Kolonisasi FMA dapat meningkatkan parameter pertumbuhan tinggi, diameter batang, berat kering, berat basah, dan daya hidup semai Aquilaria di persemaian (Tabel 7.1). Pada jenis A. crassna, A. Malaccensis, dan A. microcarpa, penggunaan FMA Entrophospora sp. lebih efektif meningkatkan parameter pertumbuhan dibandingkan jenis FMA lainnya. Khusus FMA G. clarum, mikoriza ini sangat efektif meningkatkan parameter pertumbuhan pada jenis A. beccariana. Semai yang tidak diinokulasi terkolonisasi oleh FMA yang tidak teridentifikasi (1-10%), tetapi tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan empat jenis Aquilaria. Kolonisasi FMA mampu meningkatkan serapan N 113

129 dan P pada jaringan empat jenis Aquilaria dibandingkan semai yang tidak diinokulasi (Tabel 7.2). Peningkatan serapan N dan P ini memberikan pengaruh pada peningkatan dari parameter pertumbuhan empat jenis Aquilaria. Pada tingkat lapang, dilakukan kegiatan penanaman hanya pada jenis A. beccariana dua tahun setelah diinokulasi oleh FMA. Hasil penelitian pada tingkat lapang menunjukkan bahwa jenis G. clarum lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan A. beccariana dibandingkan dengan kontrol dan jenis FMA lain yang telah diujicobakan. Tabel 7.1. Kolonisasi mikoriza arbuskula dan pertumbuhan pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan pada kondisi di rumah kaca Perlakuan Kolonisasi AM Tinggi (cm) Diameter (mm) Berat basah Berat kering Daya hidup Pucuk (g) Akar (g) Pucuk (g) Akar (g) (%) A. crassna Kontrol 4a* 20,90a 2,9 a 0,68a 1,06a 0,33a 0,13a 70 Entrophospora sp. 73b 46,14c 5,4 c 12,58b 5,72b 3,82b 1,35b 100 G. decipiens 63b 29,58b 4,1 b 11,64b 7,36b 3,26b 1,56b 100 G. clarum 78b 32,43b 4,4 b 8,82b 4,3b 0,86a 0,27a 100 Glomus sp. ZEA 78b 38,94c 4,7 b 9,92b 4,54b 2,99b 1,01b 87 Glomus sp. ACA 59b 24,60a 3,7 a 13,46b 6,94b 4,19b 1,52b 100 A. malaccensis Kontrol 1a 16,43a 2,28a 1,46a 0,52a 0,41a 0,18a 73 Entrophospora sp. 97b 25,97c 3,88c 4,68c 2,24c 1,44c 0,48c 100 G. decipiens 88b 21,91b 3,02b 2,92b 1,20b 0,88b 0,27b 100 G. clarum 83b 19,96b 2,94b 2,90b 1,28b 1,95c 0,78c 97 Glomus sp. ZEA 84b 22,33b 3,26b 2,62b 1,38b 0,79b 0,27b 90 Glomus sp. ACA 86b 21,30b 3,12b 2,74b 1,22b 0,89b 0,26b 93 A. microcarpa Kontrol 2a 13,39a 2,23a 0,75a 0,34a 0,23a 0,09a 67 Entrophospora sp. 97b 24,74d 3,89c 4,32c 2,29c 1,31c 0,37b 100 G. decipiens 88b 21,99c 3,67c 3,87c 3,41d 1,44c 0,57c 97 Glomus clarum 83b 20,28c 3,58c 3,46c 1,55b 0,95b 0,30b 93 Glomus sp. ZEA 85b 17,24b 2,84b 2,24b 1,08b 0,64b 0,24b 87 Glomus sp. ACA 87b 18,09b 2,98b 2,70b 1,23b 0,76b 0,28b 90 A. beccariana Kontrol 10a 15,40a 1,90a 0,30a 0,10a 0,09a 0,02a 73 Entrophospora sp. 85b 19,20b 2,37b 5,46e 2,54c 1,76c 0,78c 100 G. decipiens 71b 32,18d 3,94c 4,74d 1,64b 1,59c 0,41b 100 Glomus clarum 79b 45,30e 5,02d 6,74f 2,82d 2,30d 0,91d 100 Glomus sp. ZEA 61b 32,03d 3,75c 3,14b 1,38c 0,97b 0,36b 100 Glomus sp. ACA 84b 26,24c 3,53c 3,84c 1,20b 1,19b 0,28b

130 Tabel 7.2. Kandungan N dan P pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan diinokulasi oleh beberapa jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) Perlakuan N Concentrations (mg/g) N Content (mg/plant) P Concentrations (mg/g) P Content (mg/plant) A. crassna Kontrol 7,9 ± 0,1a* 2,6 ± 0,6a 0,78 ± 0,02a 0,26 ± 0,06a Entrophospora sp. 9,8 ± 0,1c 37,7 ± 4,3d 1,42 ± 0,03e 5,4 ± 0,6d G. decipiens 8,2 ± 0,2a 26,7 ± 4,1c 0,85 ± 0,02b 2,8 ± 0,5c G. clarum 8,7 ± 0,2b 7,4 ± 1,0b 0,95 ± 0,02c 0,82 ± 0,14b Glomus sp. ZEA 8,7 ± 0,1b 25,8 ± 3,6c 0,96 ± 0,03c 2,85 ± 0,41c Glomus sp. ACA 10,8 ± 0,2d 45,9 ± 9,6d 1,22 ± 0,02d 5,14 ± 1,0d A. malaccensis Kontrol 8,6 ± 0,2a 3,49 ± 0,5a 0,65 ± 0,02a 0,26 ± 0,04a Entrophospora sp. 12,1 ± 0,1d 17,28 ± 2,0c 0,73 ± 0,01b 1,06 ± 0,15d G. decipiens 10,7 ± 0,1c 9,02 ± 0,7b 0,85 ± 0,01c 0,75 ± 0,07c G. clarum 10,4 ± 0,1b 20,5 ± 3,3c 0,72 ± 0,02b 1,60 ± 0,20e Glomus sp. ZEA 11,1 ± 0,2c 8,8 ± 0,9b 0,77 ± 0,03b 0,6 ± 0,07b Glomus sp. ACA 10,9 ± 0,2c 9,7 ± 1,8b 1,04 ± 0,03d 0,92 ± 0,17c A. microcarpa Kontrol 7,8 ± 0,1a 1,02 ± 0,07a 0,65 ± 0,02a 0,08 ± 0,01a Entrophospora sp. 9,6 ± 0,2c 16,9 ± 1,5d 1,12 ± 0,03d 1,97 ± 0,18d G. decipiens 9,6 ± 0,1c 11,7 ± 0,9c 0,86 ± 0,01c 1,20 ± 0,18c G. clarum 9,3 ± 0,1c 8,3 ± 0,4b 0,78 ± 0,02b 0,70 ± 0,03b Glomus sp. ZEA 9,4 ± 0,1c 9,17 ± 1,35b 0,77 ± 0,03b 0,75 ± 0,12b Glomus sp. ACA 8,9 ± 0,2b 8,28 ± 0,40b 0,77 ± 0,02b 0,9 ± 0,1b A. beccariana Kontrol 6,0 ± 0,1a 5,02 ± 0,07a 0,40 ± 0,02a 0,10 ± 0,01a Entrophospora sp. 9,9 ± 0,2c 10,2 ± 1,0c 0,98 ± 0,02d 0,87 ± 0,20d G. decipiens 10,6 ± 0,1c 11,8 ± 0,8c 0,89 ± 0,03c 1,25 ± 0,21c G. clarum 11,3 ± 0,d 12,5 ± 0,4d 1,11 ± 0,02e 1,95 ± 0,03e Glomus sp. ZEA 9,4 ± 0,1b 9,17 ± 1,35b 0,77 ± 0,03b 0,75 ± 0,12b Glomus sp. ACA 8,8 ± 0,2b 9,28 ± 0,40b 0,97 ± 0,02d 1,04 ± 0,1c Keterangan: *Nilai-nilai dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P<0.05) Hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat penting dalam memanfaatkan inokulum FMA pada jenis-jenis Aquilaria spp. Regenerasi jenis-jenis Aquilaria yang berkelanjutan dapat dibantu dengan adanya pemanfaatan teknologi FMA yang dimulai pada saat di persemaian. Penggunaan FMA yang efektif dapat meningkatkan pertumbuhan Aquilaria yang sangat signifikan, sehingga biomassa pohon penghasil gaharu yang akan 115

131 dipanen akan meningkat. Artinya, produk gaharu hasil induksi yang akan dipanen lebih meningkat produksinya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang terdahulu, yaitu tentang pemanfaatan FMA pada 11 jenis Eucalyptus spp. (Adjoud et al., 1996), 17 jenis tanaman legume (Duponnois et al., 2001), Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri dan Mukerji, 2004). Penelitian pemanfaatan FMA pada jenis-jenis pohon tropika (Muthukumar et al., 2001) dan khususnya jenis-jenis Aquilaria menunjukkan bahwa ada kemungkinan inokulum FMA dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia di persemaian. Meskipun perhitungan tentang keuntungan dan biaya penggunaan FMA belum diuji dalam penelitian ini, hasilnya tidak diragukan lagi bahwa FMA dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia dalam penyediaan semai tanaman penghasil gaharu. Selanjutnya, mekanisme penggunaan FMA sebagai pemacu pertumbuhan jenis-jenis Aquilaria pada tanah masam dan pada tanah yang populasi FMA sangat rendah harus menjadi perhatian dan pertimbangan untuk mengetahui keberadaan FMA alami. Pola penanaman jenis-jenis Aquilaria dengan pola agroforestry sangat membantu mempercepat ketersediaan pohon-pohon penghasil gaharu di Indonesia. Pada prinsipnya, pencampuran dilakukan untuk melindungi pertumbuhan semai Aquilaria pada tahun pertama dan kedua dari sengatan sinar matahari. Jenisjenis Aquilaria yang telah dikolonisasi oleh FMA akan dapat membentuk hubungan antara sistem perakaran pohon jenisjenis lain, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan gaharu dapat terpenuhi. Jenis-jenis pohon yang direkomendasikan sebagai pohon pencampur dengan pohon penghasil gaharu adalah pohon karet, kelapa sawit, kelapa, sengon, gmelina, melinjo, jengkol, dan beberapa jenis lain pohon buah-buahan. 116

132 Gambar 7.1. Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon penghasil gaharu Aquilaria beccariana setelah dua tahun ditanam di tingkat lapang. K= Kontrol; Ent= Entrophospora sp.; Gg= G. decipiens; G.Aca= Glomus sp. ACA; Gc= G.clarum; G.ZEA= Glomus sp. ZEA. Kesimpulan dan Rekomendasi Penggunaan FMA pada jenis-jenis Aquilaria sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan awal di persemaian dan lapangan. 117

EKONOMI GAHARU. Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan. Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat.

EKONOMI GAHARU. Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan. Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat. EKONOMI GAHARU Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat. Hanya orangorang tertentu saja yang sudah membudidayakannya. Bukan karena tidak

Lebih terperinci

BP2LHK Manabo Kampus Kreatif Sahabat Rakyat

BP2LHK Manabo Kampus Kreatif Sahabat Rakyat BP2LHK Manabo Kampus Kreatif Sahabat Rakyat GELAR TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN TEKNIK INOKULASI GAHARU oleh : Jafred E. Halawane Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado Jl. Adipura Kelurahan Kima

Lebih terperinci

PRATEK PERDAGANGAN GAHARU DI INDONESIA. Oleh : Sulistyo A. Siran Maman Turjaman. Bogor, 8 Desember 2015 DAFTAR ISI

PRATEK PERDAGANGAN GAHARU DI INDONESIA. Oleh : Sulistyo A. Siran Maman Turjaman. Bogor, 8 Desember 2015 DAFTAR ISI PRATEK PERDAGANGAN GAHARU DI INDONESIA Oleh : Sulistyo A. Siran Maman Turjaman Bogor, 8 Desember 2015 DAFTAR ISI A. PENDAHULUAN B. ASPEK PERDAGANGAN GAHARU 1. SPESIFIKASI PRODUK 2. PRODUSEN GAHARU 3. KONSUMEN

Lebih terperinci

PENGGUNAAN PAKU BERPORI DALAM INOKULASI POHON GAHARU. (Inovasi Baru Dalam Teknologi Rekayasa Pembentukan Gubal Gaharu Yang Berkualitas)

PENGGUNAAN PAKU BERPORI DALAM INOKULASI POHON GAHARU. (Inovasi Baru Dalam Teknologi Rekayasa Pembentukan Gubal Gaharu Yang Berkualitas) PENGGUNAAN PAKU BERPORI DALAM INOKULASI POHON GAHARU (Inovasi Baru Dalam Teknologi Rekayasa Pembentukan Gubal Gaharu Yang Berkualitas) SENTOT ADI SASMUKO BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MATARAM Gaharu (agarwood)

Lebih terperinci

BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU

BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU ketiak daun. Bunga berbentuk lancip, panjangnya sampai 5 mm, berwarna hijau kekuningan atau putih, berbau harum. Buah berbentuk bulat telur atau agak lonjong, panjangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu digunakan sebagai bahan baku

BAB I PENDAHULUAN. kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu digunakan sebagai bahan baku 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak lebih dari 15 abad yang lalu, gaharu telah dikenal sebagai produk kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu digunakan sebagai bahan baku wewangian yang

Lebih terperinci

ISBN Pengembangan Teknologi Produksi. berbasis pemberdayaan masyarakat. Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman

ISBN Pengembangan Teknologi Produksi. berbasis pemberdayaan masyarakat. Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman ISBN 978-979-3145-63-1 Pengembangan Teknologi Produksi berbasis pemberdayaan masyarakat Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI GAHARU BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

Teknologi Pemanfaatan Mikroba untuk Rehabilitasi Lahan & Rekayasa Produksi Gaharu

Teknologi Pemanfaatan Mikroba untuk Rehabilitasi Lahan & Rekayasa Produksi Gaharu Teknologi Pemanfaatan Mikroba untuk Rehabilitasi Lahan & Rekayasa Produksi Gaharu Forest Microbiology Research Group of The R&D Centre For Conservation & Rehabilitation of FORDA Ministry of Forestry Orientasi:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Mahkota Dewa 1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., dengan nama sinonim Phaleria papuana. Nama umum dalam

Lebih terperinci

Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan. Deden Djaenudin Puspijak 2012

Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan. Deden Djaenudin Puspijak 2012 Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan Deden Djaenudin Puspijak 2012 Outline Perkembangan gaharu Ketersediaan alam Budidaya Kelayakan ekonomi profitability Daya saing: domestik dan internasional

Lebih terperinci

TEKNOLOGI INOKULASI GAHARU

TEKNOLOGI INOKULASI GAHARU TEKNOLOGI INOKULASI GAHARU Erdy Santoso dan Maman Turjaman Gelar Iptek Hasil Litbang Kehutanan Mendukung KPH, IPB Covention Center, Senin-12 Mei 2014 POHON PENGHASIL GAHARU ALAM A.malaccensis A. crassna

Lebih terperinci

ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015

ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015 Hariyatno Dwiprabowo AgustinusTampubolon ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015 Gaharu (Agarwood incense) telah dikenal sejak dahulu kala oleh empat peradaban kuno yakni India,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU

TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU Oleh : Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan BP2SDM Berdasarkan sifat fisiologis jenis-jenis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. tinggi. Keadaan ini dapat dijadikan modal Indonesia dalam menanggapi

PENDAHULUAN. tinggi. Keadaan ini dapat dijadikan modal Indonesia dalam menanggapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi. Keadaan ini dapat dijadikan modal Indonesia dalam menanggapi persaingan global yang semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaharu telah digunakan lebih dari 2000 tahun yang lalu secara luas oleh orang dari berbagai agama, keyakinan dan kebudayaan terutama di Negara-negara Timur Tengah, Asia

Lebih terperinci

TEKNIK INOKULASI POHON PENGHASIL GAHARU & PERKEMBANGAN INDUSTRINYA

TEKNIK INOKULASI POHON PENGHASIL GAHARU & PERKEMBANGAN INDUSTRINYA TEKNIK INOKULASI POHON PENGHASIL GAHARU & PERKEMBANGAN INDUSTRINYA Erdy Santoso dan Maman Turjaman Centre for Conservation and Rehabilitation (CENCOR) Forestry Research & Development Agency (FORDA) Ministry

Lebih terperinci

8 penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang (Siran dan Turjaman 2010). Namun sering indikator ini tidak tepat dala

8 penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang (Siran dan Turjaman 2010). Namun sering indikator ini tidak tepat dala 7 2 IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI 2.1 Pendahuluan Tanaman A. microcarpa Bail memiliki batang tegak dan dapat mencapai ketinggian 40 m, diameter

Lebih terperinci

GAHARU DAN CARA PENYUNTIKAN GUBAL GAHARU PADA POHON GAHARU OLEH SYUKUR, SP, MP

GAHARU DAN CARA PENYUNTIKAN GUBAL GAHARU PADA POHON GAHARU OLEH SYUKUR, SP, MP GAHARU DAN CARA PENYUNTIKAN GUBAL GAHARU PADA POHON GAHARU OLEH SYUKUR, SP, MP widyaisara MUDA BALAI PELATIHAN PERTANIAN JAMBI 2015 I. TANAMAN GAHARU A. PENGERTIAN GAHARU : Gaharu merupakan substansi aromatic

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccensis ) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccensis ) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung BAB II Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccensis ) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Oleh: Ir. Sukandar, M.Si / Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Bangka Belitung. G aharu adalah produk Hasil

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang cukup besar di dunia. Pada masa zaman pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia merupakan negara terkenal yang menjadi pemasok hasil

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN JENIS TANAMAN GAHARU DI KALIMANTAN SELATAN

PROSPEK PENGEMBANGAN JENIS TANAMAN GAHARU DI KALIMANTAN SELATAN PROSPEK PENGEMBANGAN JENIS TANAMAN GAHARU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : RINGKASAN Kehutanan merupakan sektor yang berkontribusi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Kalimantan Selatan.

Lebih terperinci

BAB 3 KONDISI TANAMAN NILAM

BAB 3 KONDISI TANAMAN NILAM BAB 3 KONDISI TANAMAN NILAM 3.1 Manfaat Dan Kegunaan Minyak Nilam Tanaman nilam (Pogostemon patchouli atau disebut juga sebagai Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman perdu wangi berdaun halus dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab V. GAMBARAN UMUM 5.1. Prospek Kakao Indonesia Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu dengan famili. Thymeleaceae dan bermarga Aquilaria. Aquilaria malaccensis adalah sumber

TINJAUAN PUSTAKA. Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu dengan famili. Thymeleaceae dan bermarga Aquilaria. Aquilaria malaccensis adalah sumber TINJAUAN PUSTAKA Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu dengan famili Thymeleaceae dan bermarga Aquilaria. Aquilaria malaccensis adalah sumber utama gaharu (agarwood). Guna menghindari tumbuhan penghasil

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 08 I 17 Juli 2017 USAID LESTARI MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Dalam wikipedia Indonesia disebutkan bahwa

Lebih terperinci

Ribuan mikroba penyebab penyakit disuntikkan

Ribuan mikroba penyebab penyakit disuntikkan 1 GAHARU Suntikan Maut Dibalas Aroma Harum Batang gaharu terinfeksi cendawan Ribuan mikroba penyebab penyakit disuntikkan ke sekujur gaharu. Pohon itu membalas dengan harum gubal sebelum meregang nyawa.

Lebih terperinci

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan Strategi Penyelamatan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) dari... STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 59 V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 5.1. Perkembangan Rumput Laut Dunia Rumput laut merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gaharu merupakan produk hasil hutan non kayu bernilai komersial tinggi berupa gumpalan padat, berwarna cokelat kehitaman hingga hitam dan memiliki bau harum pada bagian

Lebih terperinci

Budidaya Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis) Di Kenagarian Pilubang, Kecamatan harau, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatra Barat

Budidaya Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis) Di Kenagarian Pilubang, Kecamatan harau, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatra Barat BUDIDAYA GAHARU Jurnal Nasional Ecopedon JNEP Vol. 1 No.1 (2014) 001 004 http://www... Budidaya Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis) Di Kenagarian Pilubang, Kecamatan harau, Kabupaten 50 Kota,

Lebih terperinci

Gaharu SNI 7631:2011. Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan

Gaharu SNI 7631:2011. Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan Standar Nasional Indonesia Gaharu ICS 65.020.99 Badan Standardisasi Nasional Copyright notice Hak cipta dilindungi undang undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 21 PENDAHULUAN Latar Belakang Gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bernilai ekonomi tinggi, berwarna khas, mengandung aroma resin wangi jika dibakar dan dapat digunakan untuk bahan parfum, dupa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil rempah utama di dunia. Rempah yang dihasilkan di Indonesia diantaranya adalah lada, pala, kayu manis, vanili, dan cengkeh. Rempah-rempah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa buah lokal adalah semua jenis buahbuahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa buah lokal adalah semua jenis buahbuahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Buah-buahan Lokal Buah-buahan lokal merupakan buah yang varietas tanamannya asli dari Indonesia dan ditanam oleh petani Indonesia terlepas dari nama dan varietasnya.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia Komoditi perkebunan Indonesia rata-rata masuk kedalam lima besar sebagai produsen dengan produksi tertinggi di dunia menurut Food and agriculture organization (FAO)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu jenis rempah yang paling penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi perannya dalam menyumbangkan

Lebih terperinci

.:::: Powered By Ludarubma ::::. G A H A R U

.:::: Powered By Ludarubma ::::. G A H A R U Page 1 of 5 Standar Nasional Indonesia SNI 01-5009.1-1999 G A H A R U 1. Ruang lingkup Standar ini meliputi definisi, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, cara pemungutan, syarat mutu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Pada saat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya melaksanakan pembangunan dalam segala bidang. Tujuannya adalah untuk menciptakan

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PENGHASIL GAHARU

PENANGGULANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PENGHASIL GAHARU PENANGGULANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PENGHASIL GAHARU oleh : Erdy Santoso, Ragil S.B. Irianto, Irnayuli R. Sitepu, Maman Turjaman KELOMPOK PENELITI MIKROBIOLOGI HUTAN, P3KR-BOGOR BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

Islam sebagai agama yang Universal dan Konprehensif. Universal berarti bahwa

Islam sebagai agama yang Universal dan Konprehensif. Universal berarti bahwa 1 MEKANISME INVESTASI TANAMAN GAHARU DI KECAMATAN SINGINGI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI MENURUT PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Kasus Petani Gaharu Dengan PT.Elang Samudra Abadi) A. Latar Belakang Islam

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) Oleh : Prajogo U. Hadi Adimesra Djulin Amar K. Zakaria Jefferson Situmorang Valeriana Darwis PUSAT ANALISIS SOSIAL

Lebih terperinci

G A H A R U, SNI

G A H A R U, SNI G A H A R U, SNI 01-5009.1-1999 1. Ruang lingkup Standar ini meliputi definisi, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan lingkup internasional. Di Indonesia karet merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan lingkup internasional. Di Indonesia karet merupakan salah satu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tanaman karet merupakan salah satu komoditas pertanian penting untuk perkebunan Indonesia dan lingkup internasional. Di Indonesia karet merupakan salah satu penghasil

Lebih terperinci

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016 Ringkasan Eksekutif Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Bulan Oktober 2016 A. Pertumbuhan Ekspor Impor Industri Pengolahan 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0 Perkembangan Nilai Ekspor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan kegiatan ekonomi pedesaan melalui pengembangan usaha berbasis pertanian. Pertumbuhan sektor pertanian

Lebih terperinci

KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI PENDAHULUAN

KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI PENDAHULUAN KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Haryono KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN PENDAHULUAN Tuntutan masyarakat

Lebih terperinci

USAID LESTARI DAMPAK PELARANGAN EKSPOR ROTAN SEMI-JADI TERHADAP RISIKO ALIH FUNGSI LAHAN, LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI

USAID LESTARI DAMPAK PELARANGAN EKSPOR ROTAN SEMI-JADI TERHADAP RISIKO ALIH FUNGSI LAHAN, LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 02 I 27 Mei 2016 USAID LESTARI DAMPAK PELARANGAN EKSPOR ROTAN SEMI-JADI TERHADAP RISIKO ALIH FUNGSI LAHAN, LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI Penulis: Suhardi Suryadi Editor:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi Indonesia yang memiliki bagi perekonomian Nasional dalam berbagai bidang. Kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang sangat beragam dan mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian

I. PENDAHULUAN. yang sangat beragam dan mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai kekayaan hayati yang sangat beragam dan mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian dibidang pertanian. Sektor

Lebih terperinci

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS ISSN 1907-1507 OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2015 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2015 OUTLOOK KAPAS

Lebih terperinci

n J enis il h hon t f

n J enis il h hon t f t a p e C k i id S Pemilihan Jenis Pohon Hut a n R a k y a t IPTEK Inovatif 4 i H rid BS-08 dan BS-09 Bibit Ulat Sutera ( B ombyx mori L.) Berkualitas Sistem Paku Berpori (SIMPORI) untuk Inokulasi Gaharu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan)

Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan) Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan) Teknik Pembibitan Generatif dan Teknik Penanaman Rotan Jernang Paket Iptek Silvikultur Intensif Page 87 Program : Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara karena setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor perkebunan didalam perekonomian di Indonesia memiliki perananan yang cukup strategis, antara lain sebagai penyerapan tenaga kerja, pengadaan bahan baku untuk

Lebih terperinci

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Sebagai salah satu tanaman penghasil protein nabati, kebutuhan kedelai di tingkat lokal maupun nasional masih cenderung sangat tinggi. Bahkan sekarang ini kedelai

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN 5.1 Komoditas Perkebunan Komoditi perkebunan merupakan salah satu dari tanaman pertanian yang menyumbang besar pada pendapatan nasional karena nilai ekspor yang tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Pertanian merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Asmat merupakan salah satu kabupaten pemekaran baru dari

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Asmat merupakan salah satu kabupaten pemekaran baru dari xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Asmat merupakan salah satu kabupaten pemekaran baru dari Kabupaten Merauke di Propinsi Papua sesuai dengan Undang-Undang nomor 26 Tahun 2002

Lebih terperinci

BAB 2 ANALISIS LINGKUNGAN MAKRO

BAB 2 ANALISIS LINGKUNGAN MAKRO BAB 2 ANALISIS LINGKUNGAN MAKRO Baik di industri furniture maupun industri lainnya, akan ada faktor eksternal yang akan mempengaruhi keberlangsungan bisnis perusahaan. Ada 5 faktor eksternal yang turut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan

I. PENDAHULUAN. kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian terus diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. raksasa mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) proses

PENDAHULUAN. raksasa mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) proses PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai produsen terbesar di dunia, kelapa Indonesia menjadi ajang bisnis raksasa mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) proses produksi, pengolahan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia 41 V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT 5.1. Perkembangan Produksi dan Ekspor Rumput Laut Dunia 5.1.1. Produksi Rumput Laut Dunia Indonesia dengan potensi rumput laut yang sangat besar berpeluang menjadi salah

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri minyak atsiri memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan di Indonesia, karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam penyediaan bahan bakunya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan adalah ketersediaan bahan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi domestik, perdagangan dan bantuan. Ketersediaan

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 19 TAHUN 2004 TENTANG IJIN HAK PENGUMPULAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU (IHPHH-BK) GUBAL GAHARU DAN KEMEDANGAN KEPADA CV. JAYA MANOKWARI JAYA GUBERNUR

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sangat luas dan juga sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Komoditas pertanian merupakan bagian dari sektor pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari kemiringan rendah hingga sangat curam (Gumbira-Sa id et al., 2009).

I. PENDAHULUAN. dari kemiringan rendah hingga sangat curam (Gumbira-Sa id et al., 2009). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambir merupakan ekstrak daun dan ranting yang berasal dari tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb.) yang telah dikeringkan. Produk tersebut telah lama dikenal oleh masyarakat

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Untuk menunjang pembangunan pertanian tidak terlepas dari kemampuan petani dalam menerapkan teknologi

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri pengolahan obat-obatan tradisional mengalami perkembangan yang

I. PENDAHULUAN. Industri pengolahan obat-obatan tradisional mengalami perkembangan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri pengolahan obat-obatan tradisional mengalami perkembangan yang pesat. Menurut Dewoto (2007), jumlah industri obat tradisional yang terdaftar di Badan Pengawas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumatera Utara, karena mempunyai keunggulan komperatif dan kompetitif

PENDAHULUAN. Sumatera Utara, karena mempunyai keunggulan komperatif dan kompetitif PENDAHULUAN Latar Belakang Jeruk Keprok Maga merupakan salah satu komoditi buah buahan andalan Sumatera Utara, karena mempunyai keunggulan komperatif dan kompetitif dengan kultivar atau varietas jeruk

Lebih terperinci

Karena hal-hal diatas tersebut, kita harus mencari cara agar hewan dan tumbuhan tetap lestari. Caranya antara lain sebagai berikut.

Karena hal-hal diatas tersebut, kita harus mencari cara agar hewan dan tumbuhan tetap lestari. Caranya antara lain sebagai berikut. JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SD VI (ENAM) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP Kehadiran hewan dan tumbuhan itu sesungguhnya dapat menjaga keseimbangan alam. Satu makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelapa sawit dan karet dan berperan dalam mendorong pengembangan. wilayah serta pengembangan agroindustry.

BAB I PENDAHULUAN. kelapa sawit dan karet dan berperan dalam mendorong pengembangan. wilayah serta pengembangan agroindustry. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kakao merupakan salah satu hasil perkebunan Indonesia yang cukup potensial. Di tingkat dunia, kakao Indonesia menempati posisi ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana.

Lebih terperinci

PELUANG BISNIS BUDIDAYA JAMBU BIJI

PELUANG BISNIS BUDIDAYA JAMBU BIJI PELUANG BISNIS BUDIDAYA JAMBU BIJI Oleh : Nama : Rudi Novianto NIM : 10.11.3643 STRATA SATU TEKNIK INFORMATIKA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011 A. Abstrak Jambu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari. (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir merupakan tanaman

PENDAHULUAN. Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari. (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir merupakan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan bernama gambir (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk 114 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk perekonomian bagi masyarakat Indonesia. Salah satu sektor agroindustri yang cendrung berkembang

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 178 TAHUN 2002 TENTANG IJIN HAK PENGUMPULAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU (IHPHH-BK) GUBAL GAHARU DAN KEMEDANGAN KEPADA CV. RIMBA FLORA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUDIDAYA SUKUN 1. Benih

BUDIDAYA SUKUN 1. Benih BUDIDAYA SUKUN Sukun merupakan tanaman tropis sehingga hampir disemua daerah di Indonesia ini dapat tumbuh. Sukun dapat tumbuh di dataran rendah (0 m) hingga dataran tinggi (700 m dpl). Pertumbuhan optimal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup

Lebih terperinci

RINGKASAN. masyarakat dalam berkesehatan. Instansi ini berfungsi sebagai lembaga

RINGKASAN. masyarakat dalam berkesehatan. Instansi ini berfungsi sebagai lembaga RINGKASAN EJEN MUHAMADJEN. Analisis Kelayakan Usaha Rumah Jamu di Taman Sringanis, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh Ir. Netty Tinaprilla,MM Taman Sringanis merupakan wujud kepedulian terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci