ISBN Pengembangan Teknologi Produksi. berbasis pemberdayaan masyarakat. Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ISBN Pengembangan Teknologi Produksi. berbasis pemberdayaan masyarakat. Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman"

Transkripsi

1 ISBN Pengembangan Teknologi Produksi berbasis pemberdayaan masyarakat Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman

2 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI GAHARU BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman ISBN: Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Kampus Balitbang Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor Telp. (0251) , ; Fax. (0251) Petikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp ,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). ii

3 KATA PENGANTAR Terdapat enam tantangan pembangunan kehutanan yang kita hadapi saat ini, yaitu: degradasi hutan, bencana alam dan lingkungan, pemanasan global, share sektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, desentralisasi sektor kehutanan, dan kontribusi kehutanan dalam hal food, water scarcity, energy, and medicine. Namun, kita masih melihat ada peluang yang merupakan sebuah anugerah bagi bangsa kita, yang bila dibudidayakan dan dikelola secara serius akan dapat menjawab paling tidak lima dari enam tantangan tadi. Anu-gerah yang juga merupakan peluang usaha sektor kehutanan dari jenis HHBK ini bernama gaharu. Ide dan gagasan membangun hutan tanaman gaharu juga menarik untuk kita kaji bersama. Kalau selama ini perusahaanperusahaan HTI telah eksis dengan komoditi-komoditi kayu seperti mangium, sengon, mahoni, dan jenis tumbuhan penghasil kayu lainnya, maka bukanlah hal yang mustahil untuk mengembangkan hutan tanaman penghasil gaharu apabila secara finansial menjajikan dan memungkinkan setelah dianalisis kelayakan usahanya. Pengembangan usaha budidaya tanaman HHBK unggulan akan berhasil dengan baik apabila didukung oleh semua stakeholder yang berkepentingan, baik Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, pengusaha, dan petani. Disampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada semua pihak yang telah berkontribusi hingga terbitnya buku ini. Jakarta, Nopember 2010 Kepala Badan Litbang Kehutanan Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc. iii

4 iv

5 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...iii DAFTAR ISI... v PERKEMBANGAN PEMANFAATAN GAHARU Sulistyo A. Siran...1 STATUS RISET GAHARU...31 Aspek PRODUKSI PENGEMBANGAN GAHARU DI SUMATERA Mucharromah KAJIAN KIMIA GAHARU HASIL INOKULASI Fusarium sp. PADA Aquilaria microcarpa Eka Novriyanti TEKNOLOGI INDUKSI POHON PENGHASIL GAHARU Erdy Santoso, Ragil Setio Budi Irianto, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Sugeng Santosa, Najmulah, Ahmad Yani, Aryanto EFEKTIVITAS DAN INTERAKSI ANTARA Acremonium sp. DAN Fusarium sp. DALAM PEMBENTUKAN GUBAL GAHARU PADA Aquilaria microcarpa Gayuh Rahayu...97 Aspek SILVIKULTUR UJI PRODUKSI BIBIT TANAMAN GAHARU SECARA GENERATIF DAN VEGETATIF Atok Subiakto, Erdy Santoso, Maman Turjaman APLIKASI RHIZOBAKTERI PENGHASIL FITOHORMON UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT Aquilaria sp. DI PERSEMAIAN Irnayuli R. Sitepu, Aryanto, Yasuyuki Hashidoko, Maman Turjaman PENGGUNAAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA EMPAT JENIS Aquilaria Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Ragil S.B. Irianto, Sugeng Sentosa, Aryanto, Ahmad Yani, Najmulah, Erdy Santoso v

6 Daftar Isi 8. HAMA PADA TANAMAN PENGHASIL GAHARU Ragil SB Irianto, Erdy Santoso, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU MELALUI POLA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) Sri Suharti THE ENVIRONMENTAL CHARACTERISTICS OF SOUTH KALIMANTAN SITE FOR EAGLEWOOD PLANTATION PROJECT Erry Purnomo KARAKTERISTIK LAHAN HABITAT POHON PENGHASIL GAHARU DI BEBERAPA HUTAN TANAMAN DI JAWA BARAT Pratiwi POTENSI DAN KONDISI REGENERASI ALAM GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.) DI PROVINSI LAMPUNG DAN BENGKULU, SUMATERA Titiek Setyawati vi

7 PERKEMBANGAN PEMANFAATAN GAHARU Sulistyo A. Siran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam PENDAHULUAN Gaharu sebuah nama komoditi hasil hutan non kayu yang saat ini menjadi perbincangan banyak kalangan. Dalam kehidupan seharihari telah dikenal pepatah sudah gaharu cendana pula. Pepatah ini mengindikasikan bahwa sebenarnya komonditi gaharu sudah dipopulerkan oleh nenek moyang kita dan menjadi bukti sejarah bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pertanyaan yang muncul, lantas kenapa komoditi yang telah populer tersebut sepertinya menghilang begitu lama dan saat ini muncul kembali. Jawaban yang sudah pasti adalah rumus umum, yaitu karena pengambilan jauh lebih besar daripada produksinya. Dilihat dari wujud dan manfaatnya, gaharu memang sangat unik. Gaharu sebenarnya sebuah produk yang berbentuk gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon inang (misalnya: Aquilaria sp.) yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu. Dari sisi manfaat, gaharu sejak zaman dahulu kala sudah digunakan, baik oleh kalangan elit kerajaan, maupun masyarakat 1

8 suku pedalaman di Sumatera dan Kalimantan. Gaharu dengan demikian mempunyai nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang cukup tinggi. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan antara lain dalam bentuk dupa untuk acara ritual dan keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini pemanfaatan gaharu telah berkembang demikian meluas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obatobatan yang memiliki khasiat sebagai anti asmatik, anti mikrobia, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan. Meningkatnya perdagangan gaharu sejak tiga dasawarsa terakhir ini telah menimbulkan kelangkaan produksi gubal gaharu dari alam. Berdasarkan informasi, harga gaharu dengan kualitas Super di pasaran lokal Samarinda, Tarakan, dan Nunukan, Kalimantan Timur mencapai Rp ,- s/d Rp ,- per kilogram, disusul kualitas Tanggung dengan harga rata-rata per kilogram Rp ,-, kualitas Kacangan dengan harga rata-rata Rp ,-, kualitas Teri (Rp ,- s/d Rp ,-), kualitas Kemedangan (Rp ,- s/d Rp ,-), dan Suloan (Rp75.000,-). Bertahun-tahun masyarakat dan pemerintah daerah Kalimantan dan Sumatera menikmati berkah dari keberadaan gaharu, baik sebagai sumber pendapatan masyarakat maupun penerimaan daerah. Besarnya permintaan pasar, harga jual yang tinggi, dan pola pemanenan yang berlebihan serta perdagangan yang masih mengandalkan pada alam tersebut, maka jenis-jenis tertentu misalnya Aquilaria dan Gyrinops saat ini sudah tergolong langka, dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Spcies of Flora and Fauana (Appendix II CITES). Walaupun sejak 1994 Indonesia berkewajiban melindungi pohon penghasil gaharu, namun menurut kenyataan, keberadaan pohon penghasil gaharu tersebut di Indonesia tidak terkecuali di Sumatera dan Kalimantan semakin langka. Selama ini masyarakat hanya tinggal memanen gaharu yang dihasilkan oleh alam. Seringkali masyarakat tidak tahu pasti kapan pohon penghasil gaharu mulai membentuk gaharu dan bagaimana prosesnya. Kelangkaan terjadi karena pohon penghasil gaharu ditebang tanpa memperhatikan 2

9 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) ada atau tidak adanya gaharu pada pohon tersebut. Menurut hasil kajian, dari 20 pohon penghasil gaharu yang ditebang di hutan alam hanya ada satu atau sering sama sekali tidak ada yang mengandung gaharu. Kalaupun ada pohon yang mengandung gaharu, maka jumlah gaharu yang ada di pohon tersebut hanya beberapa gram saja. Oleh karena itu dapat dibayangkan kalau pencari gaharu mendapatkan gaharu kira-kira 5 kilogram, mungkin puluhan atau bahkan ratusan pohon penghasil gaharu yang harus ditebang. Praktek semacam inilah yang mengakibatkan jumlah pohon pengahasil gaharu di alam semakin menurun dari tahun ke tahun. Indikasi menurunnya pupulasi pohon penghasil gaharu ditunjukkan oleh kecenderungan produksi gaharu dari Kalimantan dan Sumatera dari tahun ke tahun, di mana realisasi produksi gaharu pada dekade 80 an pernah mencapai ribuan ton dengan kualitas yang tinggi, sedangkan saat ini produksi tersebut merosot drastis hanya kira-kira puluhan ton saja dengan kualitas yang bervariasi. Guna menghindari agar tumbuhan jenis gaharu di alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu diupayakan untuk konservasi, baik in-situ (dalam habitat) maupun ek-situ (di luar habitat) dan budidaya pohon penghasil gaharu. Namun upaya tersebut tidak mudah dilaksanakan, dan kalaupun ada usaha konservasi dan budidaya namun skalanya terbatas dan hanya dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan LSM konservasi. Sementara masyarakat secara luas enggan untuk melakukan budidaya pohon penghasil gaharu karena memang tidak memberikan keuntungan apa-apa. Prospek untuk mengembalikan gaharu menjadi komoditi andalan kembali terbuka dengan ditemukannya teknologi rekayasa produksi gaharu. Dengan teknologi inokulasi maka produksi gaharu dapat direncanakan dan dipercepat melalui induksi jamur pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu. Peningkatan produksi gaharu dimaksud (yang kegiatannya terdiri dari kegiatan di bagian hulu sampai hilir) selanjutnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan oleh masyarakat petani, pengusaha 3

10 gaharu, dan penerimaan pendapatan asli daerah serta devisa negara. Tulisan ini dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran secara umum mengenai pemanfaatan gaharu, pemahaman mengenai pentingnya nilai gaharu, perlunya budidaya, konservasi, dan rekayasa pembentukan gaharu yang dapat mengembalikan status komoditi dari kelangkaan menjadi produk andalan. GAMBARAN UMUM TUMBUHAN PENGHASIL GAHARU Hutan hujan tropis di Indonesia semenjak tiga puluh tahun yang lalu dikenal sebagai salah satu penghasil utama kayu bulat (log) untuk bahan baku industri perkayuan. Selain itu hutan hujan tropis Kalimantan juga sangat kaya dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), di mana salah satu di antaranya adalah gaharu yang bernilai ekonomis tinggi. Gaharu adalah gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu tidak semua tanaman penghasil gaharu menghasilkan gaharu. Di lndonesia hingga saat ini diperkirakan terdapat lebih kurang 25 jenis tumbuhan penghasil gaharu yang dikelompokkan ke dalam delapan marga dan tiga suku. Berdasarkan sebaran tempat tumbuh, tumbuhan penghasil gaharu umumnya tumbuh di Pulau Kalimantan (12 jenis) dan Pulau Sumatera (10 jenis), kemudian dalam jumlah terbatas tumbuh di Kepulauan Nusa Tenggara (3 jenis), Pulau Papua (2 jenis), Pulau Sulawesi (2 jenis), Pulau Jawa (2 jenis), dan Kepulauan Maluku (1 jenis). Dari pengamatan sebaran Aquilaria spp. yang dilaksanakan pada tahun 2000 ditemukan bahwa Aquilaria spp. tumbuh tersebar secara luas di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan 4

11 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) Tengah, dan Kalimantan Selatan. Tingginya permintaan pasar dunia akan gaharu dan harga jual gaharu yang cukup tinggi telah menarik minat masyarakat, baik lokal maupun pendatang untuk melakukan eksploitasi gaharu secara besar-besaran. Akibatnya, populasi Aquilaria spp. di hutan alam semakin menurun dan bahkan pada suatu saat menjadi punah. Untuk mencegah dari kepunahan maka pada pertemuan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) ke-ix di Florida, Amerika Serikat pada tahun 1994, Aquilaria malaccensis, salah satu tumbuhan penghasil gaharu terpenting yang banyak tumbuh di Kalimantan telah dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai tumbuhan yang terancam punah sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu dibatasi. Bahkan sejak tahun 2004, seluruh jenis Aquilaria telah dimasukkan dalam Appendix II CITES. Indikasi dari menurunnya populasi Aquilaria spp. antara lain dari pergerakan pencari gaharu yang telah mengarah pada bagian utara Kalimantan Timur, di pedalaman hutan Kalimantan Barat dan Kalimanatan Tengah serta menurunnya realisasi produksi gaharu dari tahun ke tahun. Walaupun realisasi produksi gaharu tidak menggambarkan besarnya potensi, namun dengan semakin sulitnya mendapatkan gaharu dari waktu ke waktu menunjukkan populasi Aquilaria spp. terus mengalami penurunan. Menyadari semakin langkanya tumbuhan penghasil gaharu, beberapa instansi pemerintah dan masyarakat telah melakukan inisiatif untuk mengadakan pelestarian tumbuhan penghasil gaharu dan sekaligus membudidayakan, baik untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi. KANDUNGAN DAN MANFAAT GAHARU Terdapat beberapa zat penting yang terkandung dalam gubal gaharu yaitu (-agarofuran, (-agarofuran, nor-ketoaaga-rofuran, (-)-10-epi-y-eudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkohon-eremol, kusunol, dihydrokaranone, jinkohol II serta oxo-aga-rospirol. Lebih lanjut Susilo (2003) mengatakan bahwa terdapat 17 macam 5

12 senyawa yang terdapat pada gaharu, antara lain: noroxoagarofuran, agarospirol, 3,4 dihydroxy-dihydro-agarufuran, p-methoxybenzylaceton, dan aquillochin. Selanjutnya Oiler (tanpa tahun) dalam Suhartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan terdapat 31 unsur kimia yang terkandung di dalam gaharu dan bahan kimia penyusun utamanya adalah 2-(2-(4 methoxyphenyl)ethil)chromone (27%) dan 2-(2-phenylethyl)chromone (15%). Gaharu dengan aromanya yang khas digunakan masyarakat di Timur Tengah sebagai bahan wewangian. Di Cina, gaharu dimanfaatkan sebagai obat sakit perut, gangguan ginjal, hepatitis, asma, kanker, tumor, dan stres. Selain itu gaharu telah dipergunakan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetika, dan pengawet berbagai jenis asesori. Karena aromanya harum, gubal gaharu diperdagangkan sebagai komoditi elit untuk keperluan industri parfum, tasbih, membakar jenazah bagi umat hindu, kosmetik, hio, setanggi (dupa), dan obatobatan. Di samping itu dengan perkembangan ilmu dan teknologi industri, saat ini berbagai negara memanfaatkan gaharu selain sebagai bahan pengharum (parfum) dan kosmetik, juga telah berkembang industri pemanfaatan gaharu sebagai bahan baku industri obat herbal alami, untuk pengobatan stres, asma, reumatik, radang lambung dan ginjal, malaria, bahan antibiotic, TBC, liver, kanker, dan tumor yang masih dalam proses uji klinis. Limbah bekas gaharu yang telah disuling digunakan untuk dupa dan bahan untuk upacara agama, sedangkan air suling gaharu dimanfaatkan untuk kesehatan, kecantikan, kebugaran serta bahan minuman (kopi) oleh masyarakat di Kabupaten Berau. PEMUNGUTAN DAN PENGOLAHAN GAHARU A. Cara Pendugaan Kandungan Gaharu Karena tidak semua tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu, maka pengetahuan cara pendugaan kandungan gaharu pada tumbuhan penghasil gaharu yang terinfeksi jamur pembentuk gaharu perlu diketahui terutama oleh para pemungut pemula 6

13 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) sehingga tidak terjadi salah tebang pada pohon yang tidak berisi gaharu. Adapun ciri dari tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu antara lain adalah: daun berwarna kuning dan rontok, tajuk pohon kecil dan tipis, cabang pohon banyak yang patah, banyak terdapat benjolan dan lekukan sepanjang batang atau cabang pohon, kulit kayu kering dan rapuh serta bila ditarik mudah putus. Setelah ditemukan ciri-ciri tersebut maka dilakukan uji pelukaan pada batang pohon dengan menggunakan kapak atau parang. Bilamana terdapat alur coklat kehitaman pada batang menunjukkan adanya kandungan gaharu. Untuk lebih meyakinkan biasanya serpihan kayu tadi selanjutnya dibakar untuk mengetahui apakah mengeluarkan bau/ aroma wangi khas gaharu. B. Sistem Pemungutan Gaharu Pohon dari tumbuhan penghasil gaharu yang telah diyakini mengandung gaharu ditebang, kemudian dipotong-potong dan dibelah untuk diambil gaharunya. Cara pemungutan gaharu semacam ini di Sumatera dan Kalimantan disebut servis, puncut atau pahat. Cara lain yang berlaku pada masyarakat Dayak Kenyah dan Punan di Kalimantan Timur adalah dengan mengiris dan memotong bagian kayu dari tumbuhan penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang. Cara ini disebut tubuk. Potongan kayu berisi gaharu kemudian dikumpulkan dan secara perlahan bagian kayu dipisahkan dari gaharu dengan menggunakan pisau kecil atau pahat cekung. C. Pengolahan Gaharu Sampai saat ini produk gaharu yang berasal dari alam umumnya dipasarkan dalam bentuk bongkahan namun ada pula dalam bentuk minyak hasil sulingan. Cara penyulingan minyak gaharu dapat dilakukan dengan dua sistem yaitu sistem kukus dan tekanan uap. Harga minyak gaharu di pasaran Jakarta Rp /tolak (1 tolak = 12 cc). 7

14 KLASIFIKASI MUTU GAHARU Klasifikasi mutu gaharu di Kalimantan Timur khususnya di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya hingga saat ini masih belum seragam (Tabel 1) dan penentuannya dilakukan secara visual. Keragaman dan ketidakjelasan di dalam penentuan mutu tersebut menyebabkan harga jual yang berbeda dengan kelas mutu yang sama. Dengan telah ditetapkannya standar nasional untuk mutu gaharu (SNI ) diharapkan standar mutu tersebut dapat segera menjadi bahan acuan para pengusaha gaharu, pedagang pengumpul, dan pemungut gaharu di dalam menentukan kelas mutu gaharu. Pada Tabel 1 disajikan kriteria dan klasifikasi mutu gaharu. Secara umum klasifikasi mutu gaharu dapat dikelompokkan menjadi enam kelas mutu yaitu super, tanggung, kacangan, teri, kemedangan, dan cincangan dan setiap kelas mutu dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas mutu. Tabel 1. Klasifikasi mutu gaharu di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya No. Lokasi Super 1. Samarinda Super king Super A Super AB 2. Muara Kaman Klasifikasi mutu Kacangan Kacangan A Kacangan B Kacangan C Kacangan isi Kacangan kosong Teri Teri A Teri B Teri C Teri kulit A Teri kulit B Teri isi Teri kulit Sudokan Serbuk 3. Kota Bangun 4. Muara Wahau Super A Super B Super A Super B Tanggung Kemedangan Cincangan Kemedangan A Kemedangan B Kemedangan community Tanggung isi Tanggung kosong Kacangan A Kacangan B Kacangan isi Kacangan kosong Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2007 Teri A Teri B Teri super Teri laying Serbuk 8

15 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) Tabel 2. Kriteria dan klasifikasi mutu gaharu No. Klasifikasi Kriteria 1. Super Gaharu berwarna hitam pekat, padat, keras, mengkilap dan sangat berbau, tidak ada campuran dengan serat kayu, berupa bongkahan atau butiran berukuran besar, bagian dalam tidak berlubang. 2. Tanggung Gaharu berwarna hitam dan coklat, padat, keras, bagian dalam kadang berlubang, kadang bercampur serat kayu dan berukuran tanggung. 3. Kacangan Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran sebesar biji kacang atau berdiameter sekitar 2 mm. 4. Teri Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran lebih kecil dari biji kacang dan lebih tipis atau berdiameter sekitar 1 mm. 5. Kemedangan Kayu yang mengandung getah gaharu. 6. Cincangan Potongan kecil kayu dari pemisahan gaharu. Sumber : Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2006 Berdasarkan informasi pasar di Samarinda (Tabel 3) harga gaharu dengan kualitas super dapat mencapai Rp per kg, disusul kualitas tanggung dengan harga rata-rata Rp ,- per kg. Kualitas gaharu yang paling rendah berharga sekitar Rp per kg, dan pada umumnya digunakan sebagai bahan baku penyulingan untuk menghasilkan minyak gaharu. Secara visual beberapa sampel gaharu dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN) No. 1386/BSN-I/HK.71/ 09/99, telah ditetapkan Standar Nasional mutu gaharu dengan judul dan nomor: Gaharu SNI Dalam Tabel 3. Harga jual gaharu di pasaran Samarinda, Kalimantan Timur No. Kelas mutu Harga (Rp/Kg) 1. Super King ,- Super ,- Super AB ,- 2. Tanggung ,- 3. Kacangan A ,- Kacangan B ,- Kacangan C ,- 4. Teri A ,- Teri B ,- Teri C ,- Teri Kulit A ,- Teri Kulit B ,- 5. Kemedangan A ,- Kemedangan B ,- Kemedangan C ,- 6. Suloan ,- Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan,

16 standar ini diuraikan mengenai definisi gaharu, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji dan syarat penandaan. Klasifikasi mutu gaharu terdiri dari gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Setiap kelas mutu selanjutnya dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas berdasarkan ukuran, warna, kandungan damar wangi, serat, bobot, dan aroma ketika dibakar. Menurut SNI yang dimaksud dengan gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma Gambar 1. Sampel gaharu (a) kelas tanggung; (b) kacangan; (c) teri dan (d) kemedangan yang kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat. Kemudian yang dimaksud dengan kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak. Abu gaharu adalah serbuk kayu sisa pemisahan gaharu dari kayu. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4. 10

17 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) Tabel 4. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia No A. Gubal Klasifikasi mutu Kesetaraan dengan standar mutu di pasaran Warna Kandungan damar wangi 1. Mutu Utama Super Hitam merata Tinggi Kuat 2. Mutu I Super AB Hitam kecoklatan Cukup Kuat Bau/aroma (dibakar) 3. Mutu II Sabah Super Hitam kecoklatan Sedang Agak kuat B. Kemedangan 1. Mutu I Tanggung A Coklat kehitaman Tinggi Agak kuat 2. Mutu II Sabah I Coklat bergaris hitam 3. Mutu III Tanggung AB Coklat bergaris putih tipis 4. Mutu IV Tanggung C Kecoklatan bergaris putih tipis 5. Mutu V Kemedangan I Kecoklatan bergaris putih lebar 6. Mutu VI Kemedangan II 7. Mutu VII Kemedangan III C. Abu gaharu Putih keabuabuan garis hitam tipis Putih keabuabuan Cukup Sedang Sedang Sedang Kurang Kurang 1. Mutu Utama Cincangan Hitam Tinggi Kuat Agak kuat Agak kuat Agak kuat Agak kuat Kurang kuat Kurang kuat 2. Mutu I Sedang Sedang 3. Mutu II Kurang Kurang TATA NIAGA GAHARU Proses pemasaran gaharu di berbagai tempat di Indonesia dimulai dari pemungut gaharu yang menjual gaharu yang ditemukannya kepada pedagang pengumpul di desa atau di kecamatan dan selanjutnya oleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang besar (eksportir) di Ibukota Propinsi. 11

18 Salah satu contoh alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur dapat diuraikan seperti pada Gambar 2. Pemungut gaharu terdiri dari pemungut bebas dan pemungut terikat. Pemungut bebas adalah pemungut gaharu dengan modal kerja sendiri sehingga bebas di dalam menentukan waktu pencarian gaharu dan menjual hasil perolehannya, baik kepada pedagang pengumpul di desa, pedagang pengumpul di kecamatan maupun langsung kepada pedagang besar (eksportir) di Kota Samarinda. Pemungut terikat adalah pemungut gaharu yang dimodali sehingga waktu pencarian dan penjualan hasil perolehannya terikat pada pemberi modal yaitu pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan dari pedagang besar. Pemungut Bebas Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Pemungut Pemungut Terikat Pedagang Perantara Gambar 2. Contoh alur tata niaga gaharu di Kalimantan dan Sumatra Pedagang pengumpul terdiri dari pedagang perantara di desa yang langsung melakukan pembelian gaharu yang diperoleh para pemungut. Hasil pembelian dari pedagang perantara ini kemudian dikumpulkan oleh pedagang pengumpul di kecamatan untuk selanjutnya dijual kepada pedagang besar karena adanya ikatan kontrak. Pedagang besar selain memiliki modal besar juga izin usaha yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah. Pembelian gaharu dilakukan sepanjang tahun melalui pedagang pengumpul atau pemungut bebas. Pembelian meningkat bilamana permintaan pasar terhadap gaharu tinggi, bahkan untuk mendapatkan jumlah yang diinginkan mereka menanamkan modal yang disalurkan melalui 12

19 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) pedagang pengumpul ataupun secara langsung kepada pemungut untuk modal kerja mencari gaharu. Pemungut Bebas Pedagang Pengumpul Pemungut Pedagang Besar Pemungut Terikat Pedagang Perantara Gambar 3. Alur tata niaga Gaharu di daerah (Kalimantan) PEMASARAN GAHARU Dalam dunia perdagangan gaharu, baik di Indonesia maupun di luar negeri, gaharu menjadi komoditi primadona dan memiliki nilai komersial yang cukup tinggi sehingga banyak diburu oleh konsumen. Gaharu yang diperdagangkan di Indonesia terdiri dari tiga jenis, yaitu: gaharu dari Sumatera dan Kalimantan dengan jenis Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa, gaharu dari Papua, Sulawesi dan Maluku lebih dikenal dengan nama Aquilaria filaria, sedangkan jenis gaharu Gyrinops lebih banyak diproduksi dari Nusa Tenggara. Apabila diperhatikan maka perdagangan gaharu hasil alam di Indonesia dari dulu hingga saat ini lebih banyak bertumpu pada peyebaran secara ekologis jenis-jenis gaharu tersebut. Pemasaran gaharu yang merupakan salah satu bentuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan Konvensi Perdagangan Internasional tentang jenis flora dan fauna liar yang terancam punah (CITES). Oleh karena itu maka secara umum pemanfaatan gaharu harus mengikuti tahapan dan aturan-aturannya, yaitu: penentuan kuota, pengambilan dari alam atau hasil budidaya (penangkaran), pengangkutan untuk peredaran dalam negeri dan pengangkutan untuk pemasaran luar negeri. 13

20 A. Pemasaran Dalam Negeri Pemasaran dalam negeri dimulai dari aktivitas pengambilan, pengangkutan dan peredaran secara domestik produk sampai akhirnya ke konsumen. Karena perkembangan teknologi, produk gaharu yang diperdagangkan dalam negeri saat ini tidak saja terbatas pada chip atau serpihan dengan bermacam-macam kelas, tapi juga sudah mengarah ke produk turunannya, antara lain: minyak, sabun, lulur, cream whitening, lotion, makmul, hio, obat nyamuk, pembersih muka, pemanfaatan untuk obat-obatan dan aroma terapi. Bahkan saat ini sudah dikembangkan daun jenis Aquilaria dan Gyrinops untuk bahan pembuatan minuman teh karena kandungan zat anti oksidan dalam daun yang cukup tinggi. Beberapa contoh produk dimaksud dapat dilihat pada gambar 3 dan 4 berikut. Gambar 4. Produk turunan gaharu: sabun transparan, lulur dan lotion 14

21 Sirup daun gaharu Gaharu leaf tea Gambar 5. Produk sirup dan teh untuk bahan minuman Dilihat dari pelaku usaha, banyak fihak yang terlibat dalam perdagangan gaharu, baik sebagai individu (perorangan), kelompok masyarakat maupun lembaga. Karena jumlah pelaku usaha pemasaran, misalnya pencari gaharu dan pedagang pengumpul di bagian hulu (hutan atau desa sekitar hutan) lebih banyak dibandingkan dengan pedagang menengah dan besar yang berdomisili di ibukota kabupaten atau propinsi, maka terdapat kecenderungan untuk saling menekan harga. Oleh karena itu bentuk pemasaran gaharu di Indonesia lebih cocok dikatakan sebagai pasar monopsoni, yaitu pasar yang dikuasai oleh pembeli, baik dalam menentukan harga maupun kualitas gaharu. Pemasaran gaharu dalam negeri terbentuk karena adanya hubungan antara daerah pemasok dengan kota/pusat penerima. Secara tradisional daerah pemasok gaharu untuk kota Surabaya adalah Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku, NTT, NTB. Daerahdaerah ini walaupun letaknya di Indonesia bagian timur, namun karena akses yang mudah memasok gaharu pula ke Jakarta, ditambah dari daerah Indonesia bagian barat, yaitu sumatera, termasuk Riau. Di duga banyak gaharu yang di perdagangkan secara illegal dari sumatera lewat Riau ke Singapura dan Malaysia. 15

22 Secara garis besar, lalu lintas perdagangan gaharu di dalam negeri dapat dilihat pada gambar berikut. Kalimantan Sulawesi Papua Maluku Riau Sumatera Sumatera Jakarta Surabaya NTT NTB Gambar 6. Lalu lintas perdagangan gaharu dalam negeri Beberapa permasalahan yang sering dijumpai di lapangan antara lain: sulitnya menentukan jenis gaharu, standar dan kualitas serta harga yang layak sehingga menguntungkan bagi kedua belah fihak, yaitu konsumen dan produsen. B. Pemasaran Luar Negeri Secara fisik, produk gaharu sulit dibedakan berdasarkan asal jenis tumbuhan dan asal daerahnya. Demikian pula dari sisi warna dan aroma sangat sulit bagi orang awam atau pedagang pemula untuk dapat memilah-milahnya. Oleh karena kekhawatiran salah satu species penghasil gaharu yang mungkin bisa cepat punah, maka jenis Aquilaria yang ada, yaitu: A. malaccensis, A. microcarpa, A. filaria dan Gyrinops diatur perdagangannya oleh konvensi perdagangan internasional yaitu CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) melalui sistem quota.

23 Menurut ASGARIN, produk gaharu yang diperdagangkan ke luar negeri mengikuti selera konsumen. Gaharu dengan kualitas super (superking, super A dan AB) umumnya dipasarkan ke negaranegara Timur Tengah untuk digunakan sebagai bahan acara ritual keagamaan, wewangian dan aroma terapi. Untuk gaharu yang berkualitas menengah ke bawah, ekspor lebih banyak dilakukan ke negara-negara Asia Selatan untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak wangi dan untuk acara-acara ritual dalam bentuk hio, makmul dan lain-lain. Dalam beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan pembeli dari Taiwan untuk mengimpor gaharu dari Indonesia dalam bentuk log. Kayu gaharu yang bentuknya masih gelondongan dan hanya sedikit mengandung gaharu tersebut digunakan sebagai hiasan yang dipasang di suatu ruangan dengan diberikan sedikit sentuan teknologi ukir sehingga terkesan mewah dan mempunyai nilai seni yang sangat tinggi. Pada gambar 6 berikut, dapat dilihat beberapa gaharu yang masih dalam bentuk gelondongan yang siap untuk diekspor. Nilai keseluruhan dari gaharu tersebut tidak kurang dari Rp 600 juta. Gambar 7. Gaharu dalam bentuk gelondongan yang siap dikirim ke Taiwan. 17

24 Selama 3 (tiga) tahun terakhir jumlah kuota dan realisasi gaharu yang diekspor sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5. Perkembangan kuota dan realisasi ekspor gaharu Indonesia Tahun A. Malaccensis A. filaria Gyrinops (K) (R) (K) (R) (K) (R) (K) (R) (K) (R) (K) (R) (K) (R) (K) (K) - - Tabel diatas memperlihatkan bahwa kuota ekspor gaharu pada tahun 2007 dari ketiga jenis yang dapat dipenuhi hanya dari jenis A. filaria, sedangkan untuk A. malaccensis tidak dapat dipenuhi, dan bahkan untuk Gyrinops realisasi ekspornya hanya mencapai 30% dari kuota yang ditetapkan. Pada tahun 2008, realisasi ekspor gaharu untuk ketiga jenis dapat terpenuhi 100% dari kuota yang ditetapkan. Pada tahun 2009, lonjakan kuota yang signifikan terjadi pada jenis A. malaccensis sebanyak hampir enam kali lipat, sedangkan pada A. filaria sebanyak tujuh kali lipat. Menurut sebuah sumber, hal ini terjadi karena ditemukannya potensi baru yang sebelumnya luput dari inventarisasi, misalnya untuk jenis A. filaria yang banyak terpendam di rawa-rawa di Papua. Menurut ASGARIN, pusat perdagangan gaharu dunia yang sangat penting adalah Singapura dan Riyad (Saudi Arabia). Dua negara ini pula yang menjadi daerah atau negara tujuan utama ekspor gaharu dari Indonesia. Singapura selain mendapat pasokan gaharu dari Indonesia juga dari negara Asia Tenggara, misalnya Vietnam dan Kamboja. Oleh Singapura gaharu yang masuk dilakukan penyortiran dan pengemasan dan kemudian di ekspor kembali ke India, China, Hongkong, Taiwan dan Jepang, dan sebagian lagi ke Timur Tengah. Sedangkan gaharu yang masuk ke Saudi Arabia di distribusikan lagi ke negara-negara lain di sekitarnya dan sebagian lagi di ekspor ke Inggris dan perancis, seperti dapat dilihat pada gambar berikut. 18

25 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) UK Prancis India Hongkong China Japan Malaysia Taiwan Oman Kwait Qatar Saudi Arabia UAE SINGAPORE Bahrain Indonesia Iraq Iran Middle East Riyadh Afrika Gambar 8. Lalu lintas perdagangan gaharu luar negeri REKAYASA PEMBENTUKAN GAHARU Teknik budidaya perlu dikuasai dengan baik untuk dapat membudidayakan pohon penghasil gaharu. Teknik budidaya dimaksud meliputi kegiatan perbanyakan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit hingga tumbuhan tersebut memiliki volume yang cukup memadai. Rekayasa produksi gaharu diarahkan untuk pohon-pohon penghasil gaharu hasil budidaya, sedangkan pohon-pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami perlu dikonservasi dan dipelihara dengan baik untuk dijadikan pohon induk penghasil anakan. Secara garis besar proses pembentukan gaharu terdiri dari dua, yaitu secara alami dan buatan, yang dua-duanya berkaitan dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya luka pada batang patah cabang atau ranting. Luka tersebut menyebabkan pohon terinfeksi oleh penyakit (bakteri, virus, jamur) yang diduga mengubah pentosan atau selulosa menjadi resin atau damar. 19

26 Semakin lama kinerja penyakit berlangsung, kadar gaharu menjadi semakin tinggi. Proses pembentukan gaharu di hutan alam sulit dipantau dan diamati. Oleh karena itu untuk dapat mengamati secara langsung proses pembentukan gaharu dilakukan rekayasa dengan cara inokulasi (penyuntikan) jamur atau cendawan pada pohon penghasil gaharu. Rekayasa pembentukan gaharu dengan inokulasi telah dilakukan oleh banyak fihak, dengan teknik induksi yang bermacam-macam dan jenis jamur yang bervariasi. Tahapan rekayasa produksi gaharu meliputi banyak kegiatan, dimulai dari kegiatan laboratorium, kegiatan lapangan dan kombinasi keduanya. Kegiatan yang berskala laboratorium dimulai dari kegiatan lapangan, kegiatan di laboratorium dan kegiatan uji lapangan yaitu: 1. Eksplorasi, koleksi dan isolasi jamur. 2. Identifikasi jamur secara molekuler 3. Penyaringan (screening) 4. Uji efektivitas 5. Formulasi media 6. Produksi inokulan (jamur) 7. Pembangunan plot demonstrasi untuk ujicoba di lapangan 8. Observasi dan evaluasi Alur kegiatan rekayasa produksi gaharu secara garis besar dapat dilihat sebagaimana gambar berikut: Gambar 9. Alur kegiatan rekayasa produksi gaharu. 20

27 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) Sampai saat sudah berhasil dikoleksi 23 inokulan (isolat) dari sebagian besar propinsi di Indonesia. Diantara isolat tersebut empat isolat sudah diujicoba pada beberapa jenis pohon penghasil gaharu di beberapa daerah dan memberikan hasil yang cukup bagus. Ke empat isolat tersebut adalah: isolat dari Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Gorontalo dan Papua. Berdasarkan pengamatan sementara, beberapa isolat lain yang juga cocok dan memberikan hasil yang cukup bagus adalah Jambi dan Kalimantan selatan. Berdasarkan bukti-bukti keberhasilan tersebut, maka secara resmi ke empat jenis isolat tersebut telah di launching Menteri Kehutanan (lihat gambar 8) pada Pameran Indo Green yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) pada tahun Launching tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan akses kepada publik agar dapat memanfaatkan isolat tersebut untuk ujicoba produksi gaharu. Gambar 10. Launching Inokulan Gaharu oleh Menteri Kehutanan Dengan adanya launching tersebut maka secara resmi inokulan prododuksi Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) telah dilepas di pasaran namun masih terbatas. Keterbatasan tersebut dimaksudkan hanya kepada masyarakat petani gaharu atau pelaku usaha gaharu yang telah mendapatkan pelatihan dari P3HKA saja yang boleh menggunakan inokulan tersebut. 21

28 Untuk melihat efektivitas pembentukan gaharu, ujicoba ke enam isolat telah dilaksanakan di 15 (lima belas) lokasi yang tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, yaitu: Bohorok (sumut), Jambi, Sijunjung dan Padang Pariaman (Sumbar), Bangka, Sumsel, Sukabumi, Bogor (Jabar), Carita (Banten), Bali, Lombok (NB), Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Menado dan Seram. Ujicoba tersebut dilaksanakan di lokasi dengan kondisi yang berbeda, baik kondisi ekologis, jenis asal isolat dan jenis pohon penghasil gaharu yang diinokulasi. Penyebaran plot inokulasi dapat dilihat sebagaimana gamber berikut. Bioinduction : 15 locations Gambar 11. Penyebaran plot inokulasi pembentukan gaharu (gambar bintang warna kuning) Evaluasi dan pengamatan terus menerus dilakukan, untuk mengetahui perkembangan inokulasi, baik kegagalan maupun keberhasilanya. Beberapa faktor penting yang diamati adalah: kondisi kelembaban dan suhu udara, keterbukaan tajuk, virulensi inokulan yang digunakan, jarak titik lubang dan lain sebagainya. 22

29 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) Perkembangan hasil inokulasi yang dilaksanakan di salah satu lplot penelitian yaitu daerah Sukabumi dari waktu ke waktu dapat dilihat sebagaimana tabel berikut. Tabel 6. Perkembangan hasil inokulasi menurut waktu Umur Setelah Inokulasi Kualitas 3 bulan Kemedangan 6 bulan Kemedangan B 9 bulan Kemedangan A 1 tahun teri 2 tahun kacangan 3 tahun tanggung Apabila di sejajarkan dengan kualitas gaharu hasil alam yang ada di pasaran dalam negeri, maka hasil gaharu yang dipanen setelah 3 bulan inokulasi memiliki kualitas kemedangan, dan terus meningkat menjadi kelas teri setelah 1 tahun. Kualitas gaharu tersebut terus meningkat menjadi kacangan setelah 2 tahun inokulasi dan secara signifikan meningkat menjadi tanggung pada 3 tahun setelah inokulasi. Pada saat ini pohon yang ditebang secara bertahap tersebut masih hidup dan masih tumbuh baik di lapangan. Menurut rencana pada tahun 2011 akan dilakukan pemanen lagi untuk melihat perkembangan kualitas gaharu, dengan harapan bahwa gaharu yang akan dipanen tersebut akan mempunyai kualitas` yang lebih bagus lagi dari sebelumnya. Contoh gaharu hasil panen yang dilakukan secara bertahap adalah sebagai berikut. 23

30 Gambar 12. Gaharu hasil panen 3 bulan setelah penyuntikan, dengan kualitas kemedangan C. Gambar 13. Gaharu hasil panen 9 bulan setelah penyuntikan (inokulasi) dengan kualitas kemedangan A. 24

31 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) Grade Kemedangan (US $ 100/kg) Gambar 14. Gaharu hasil panen satu tahun setelah penyuntikan dengan kualitas teri Grade Gubah AB (US $ /kg) Gambar 15. Gaharu hasil panen dua tahun setelah penyuntikan dengan kualitas kacangan 25

32 > US $ 800 Gambar 16. Gaharu hasil panen 3 (tiga) tahun setelah penyuntikan dengan kualitas tanggung Berdasarkan survey pasar, referensi harga gaharu hasil alam di pasaran dalam negeri dan penawaran dari pedagang gaharu dari Riyad (gambar sudut kanan atas), estimasi harga gaharu hasil panen dari plot penelitian P3HKA dapat dilihat sebagai mana tabel berikut. Tabel 7. Harga gaharu yang cenderung meningkat dengan semakin tertundanya waktu panen. Umur Setelah Inokulasi Harga (Rp) 3 bulan bulan bulan tahun

33 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) Umur Setelah Inokulasi Harga (Rp) 2 tahun tahun US$ 800 atau tahun? Hubungan antara kualitas gaharu, waktu penundaan panen dan harga di pasaran sangan erat sekali. Semakin lama proses pembentukan gaharu di pohon maka akan semakin meningkat kualitas gaharu yang akan dihasilkan dan dengan sendirinya akan meningkatkan harga gaharu tersebut. Grafik hubungan antara terbentuknya gaharu dengan waktu dapat dilihat pada grafik sebagai berikut. Kualitas Hasil rekayasa Super Hasil alam 1 Tanggung Hasil alam 2 Kacangan Hasil alam 3 Teri Hasil alam 4 Kemedangan Tahun Gambar 17. Grafik hubungan antara terbentuknya gaharu dengan waktu penundaan panen. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, gaharu hasil panen 9 bulan setelah penyuntikan mengandung zat aktif yang cukup 27

34 banyak, setidaknya terdapat 12 (dua belas) komponen kimia sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut. Azulene = komponen minyak esensial tanaman, wangi & warna biru Benzylacetone = wangi manis bunga, komponen volatile dan kokoa Dumasin = wangi mint, memiliki sifat pestisida Cadinene = konstituen minyak esensial berbagai tanaman Komponen Kimia Limonene = terpen aroma bunga & buah, insektisida botani, bahan kosemtik Isolongifolen = bahan odorant & parfum Indole = wangi bunga & parfum,konsituen utama dalam minyak melati Maltol = wangi caramel (manis), penguat rasa/aroma pada roti &kue Ketoisophorone = wangi manis campuran kayu, teh dan daun tembakau Valerolactone = wangi herbal Ambrox = odorant tipe amber, anti inflamantory Ambrettolide = wangi musk, manis buah & bunga Tahun Gambar 18. Kandungan kimia yang terdapat pada gaharu hasil rekayasa. Pemeriksaan kandungan kimia pada gaharu hasil alam menunjukkan hasil yang sama dengan gaharu hasil rekayasa jika dua-duanya diambil dari kualitas yang sama. 28

35 Perkembangan Pemanfaatan Gaharu... (Sulistyo A. Siran) PENUTUP Dengan ditemukannya teknologi inokulasi pembentukan gaharu, terbukalah peluang yang besar untuk kegiatan pengusahaan gaharu yang dimulai dari subsistem hulu (penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman, penyediaan pupuk, pemberantasan hama dan penyakit), subsistem tengah (penyuntikan, penyediaan inokulan, peralatan inokulasi, dan pengamanan), subsistem hilir (pemanenan, pengangkutan, pengolahan, pemasaran), subsistem pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, tranportasi, infrastruktur, skema kredit dan asuransi). Ketiga subsistem tersebut di atas memerlukan investasi yang cukup besar, peluang penyerapan tenaga kerja yang besar dan penerimaan asli daerah yang cukup signifikan. Untuk dapat mewujudkan kondisi dan harapan tersebut, maka seluruh sektor harus memainkan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Hanya dengan koordinasi dan integrasi yang baik di antara seluruh komponen masyarakat dan pemerintah, maka produk gaharu akan menjadi produk andalan dimasa depan. 29

36 30

37 STATUS RISET GAHARU 31

38 32

39 Aspek PRODUKSI 33

40

41 PENGEMBANGAN GAHARU DI SUMATERA Mucharromah Fakultas Pertanian Jurusan Perlindungan Tanaman Universitas Bengkulu PENDAHULUAN Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi dibanding produk kehutanan lainnya, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan gaharu ini perlu dilakukan, khususnya untuk menjaga kesinambungan produksi, sekaligus untuk melindungi ragam pohon penghasil gaharu yang ada di Indonesia. Dalam pengembangan gaharu, masyarakat di sekitar hutan merupakan sasaran ideal yang dapat melipatgandakan peran dan fungsi program tersebut. Dari segi keberadaan material bibitnya lokasi sekitar hutan memiliki jumlah tegakan gaharu alam terbanyak, mengingat buah pohon ini bersifat rekalsitran, sehingga tidak menyebar jauh, kecuali dengan campur tangan manusia. Dari segi kesiapan masyarakat, pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sudah mengenal gaharu, sebagian bahkan pernah menjadi pengumpul, sehingga pemahaman dan keterampilannya untuk mendukung pengembangan cluster industri gaharu telah sangat memadai. Dari aspek keamanan lingkungan dan keragaman hayati, pengembangan gaharu di sekitar hutan juga akan membantu pengamanan keragaman hayati dan kelestarian hutan, mengingat 35

42 Aspek PRODUKSI masyarakat sudah dapat memperoleh penghasilan dari usaha pengembangan gaharu yang sangat prospektif secara ekonomi. Selain itu, mengingat pohon penghasil gaharu memiliki morfologi yang sangat mendukung perannya sebagai penjaga lingkungan, yaitu meningkatkan kapasitas absorbsi dan retensi air tanah, menguatkan tanah, sehingga tidak mudah longsor serta menyerap CO 2 dan menghasilkan O 2 yang sangat penting dalam mendukung kehidupan. Dengan demikian, pengembangan gaharu di wilayah sekitar hutan akan memperkuat fungsi hutan tersebut, di samping pemberdayaan dan pemakmuran masyarakat di sekitar wilayah hutan. Dengan nilai ekonomi gaharu yang sangat tinggi dan permintaan pasar dunia yang terus meningkat, maka pengembangan gaharu sangat berpotensi mensejahterakan masyarakat, bangsa, dan negara di samping menghindarkan dari bahaya bencana alam kekeringan, kekurangan air bersih, longsor, paningkatan temperatur udara, polusi, dan kekurangan oksigen. Namun demikian, pengembangan gaharu tidak sama dengan pengembangan tanaman pertanian yang dapat langsung menghasilkan. Pada pohon penghasil gaharu, produksi gaharu justru tidak akan terjadi bila pohonnya tumbuh sangat baik dan tidak terganggu sedikit pun. Oleh karenanya, pengembangan produksi gaharu tidak cukup hanya dilakukan dengan penanaman bibit pohon penghasilnya saja, tetapi juga perlu didukung dengan pengembangan teknik produksi dan pengembangan sistem yang akan mendukung pengembangan produksi, khususnya yang berkaitan dengan pendanaan proses produksi yang memerlukan dana cukup besar. Sejauh ini produksi gaharu Indonesia masih banyak diambil dari alam sehingga disebut sebagai gaharu alam. Gaharu alam telah dikenal sejak ribuan tahun lalu diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China, termasuk dari wilayah barat Indonesia atau Sumatera dan dihargai sangat mahal, khususnya yang memiliki kualitas super dan di atasnya. Gaharu kualitas super sudah mengeluarkan aroma harum meski tanpa dipanasi atau dibakar. Bentuk gaharu super sangat beragam, dengan tekstur yang sangat keras dan halus tidak berserat, berwarna hitam mengkilat dan berat hingga tenggelam dalam air. Sementara gaharu 36

43 Pengembangan Gaharu di... (Mucharromah) yang memiliki kualitas lebih rendah (kemedangan dan abuk) disuling untuk diambil resinnya dan ampasnya dibuat makmul atau hio untuk ritual keagamaan. Dengan makin meningkatnya permintaan pasar internasional, maka volume perdagangan gaharu makin meningkat, sehingga keberadaan pohon penghasil gaharu juga makin terancam akibat banyak yang ditebangi dan dicacah masyarakat untuk diambil gaharunya. Kondisi ini tak akan dapat diatasi kecuali dengan melakukan pengembangan gaharu secara besar-besaran, khususnya di area yang paling potensial yaitu wilayah sekitar hutan. Dengan upaya ini, maka produksi gaharu Indonesia akan tetap melimpah dan masyarakat yang memproduksinya juga makin makmur dan sejahtera, sehingga lebih mampu menjaga keamanan lingkungan dan keragaman sumberdaya alam di sekitarnya. KESIAPAN PENGEMBANGAN GAHARU A. Kesiapan SDM Pendukung Proses Produksi Meskipun gaharu sudah sangat lama menjadi salah satu komoditi ekspor Indonesia, namun banyak masyarakat umum yang tidak mengetahui apa yang disebut gaharu, kecuali masyarakat di sekitar wilayah hutan yang sudah pernah terlibat dalam pencarian, pembersihan, dan perdagangan gaharu. Karenanya mereka merupakan kelompok sasaran yang sudah siap menjadi SDM untuk pengembangan gaharu, khususnya pada proses pasca panen, pembersihan gaharu dari sisa kayu putihnya. Proses ini sangat lambat, hampir seperti seni memahat, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja terampil. Dengan pengalaman mencari gaharu alam yang sudah cukup lama, banyak masyarakat di sekitar hutan yang terampil membersihkan gaharu sehingga cukup siap untuk mendukung pengembangan gaharu di daerahnya. B. Kesiapan Teknologi Produksi Berbeda dengan produk pepohonan lainnya yang selalu dihasilkan selama tanaman tumbuh sehat atau dengan kata lain 37

44 Aspek PRODUKSI produksi merupakan fungsi dari pertumbuhan tanaman sehat, gaharu justru tidak akan didapat pada pohon yang tumbuh sehat tanpa ada gangguan apapun. Kebanyakan gaharu justru ditemukan pada pohon yang terganggu, baik secara alami oleh faktor abiotik maupun biotik ataupun telah diinduksi oleh manusia. Faktor abiotik dapat berupa angin atau hujan angin dan petir. Namun kejadian pembentukan gaharu oleh faktor abiotik dari alam ini sulit ditiru sehingga tidak dapat dijadikan dasar pada proses produksi dalam bentuk industri. Sementara pembentukan gaharu oleh faktor biotik dapat disebabkan oleh infeksi jasad renik terhadap tanaman, selain akibat gesekan hewan dan perilaku manusia yang tidak direncanakan. Temuan tentang adanya jenis jasad renik yang dapat menginduksi terjadinya akumulasi resin wangi yang selanjutnya membentuk gaharu inilah yang mendasari adanya temuan tentang teknik induksi pembentukan gaharu yang dapat digunakan untuk mendukung proses produksi gaharu dalam skala industri. Beberapa kelompok peneliti telah mampu melakukan inokulasi yang merangsang pembentukan gaharu (Mucharromah et al., 2008a,b,c,d; Santoso et al., 2006, 2008; Kadir, 2009). Namun mengingat teknik yang diterapkan belum biasa dilakukan masyarakat, maka untuk persiapan pelaksanaannya dalam proses produksi dibutuhkan pelatihanpelatihan, baik pelatihan teknik inokulasi maupun pelatihan teknik monitoring pembentukan gaharu. Selain itu juga perlu dilakukan teknik pelatihan produksi inokulan sehingga proses produksi dapat berlangsung lebih efisien. Dengan dukungan operasional, maka teknik produksi inokulan dan induksi pembentukan gaharu dengan inokulasi telah siap untuk dilatihkan kepada masyarakat guna mendukung pengembangan produksi gaharu melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan. C. Kesiapan Kontrol Kualitas Produk Untuk keberhasilan dan kesinambungan suatu proses produksi umumnya selalu dilakukan monitoring kualitas produk. Untuk itu penyiapan SDM pendukung pengembangan gaharu juga perlu mempersiapkan personil yang mampu mengenali kualitas 38

45 dan mensortasi atau mengumpulkan gaharu yang dihasilkan berdasarkan gradasi kualitas dan kegunaannya. Dari segi bentuknya, gaharu merupakan jaringan kayu dari pohon jenis tertentu (penghasil gaharu) dengan kandungan resin sesuiterpenoid volatil beraroma harum gaharu yang cukup tinggi. Adanya aroma harum yang khas dan tahan lama inilah yang membuat gaharu sangat disukai dan dihargai dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Selain itu jaringan yang mengandung resin wangi gaharu juga hanya didapati pada bagian pohon yang mengalami proses tertentu, seperti pelukaan yang disertai infeksi patogen melalui inokulasi atau proses lainnya, yang selanjutnya membuat jaringan kayu tersebut memiliki warna, aroma, tekstur, dan tingkat kekerasan dan berat jenis berbeda. Hal ini membuat gaharu menjadi makin mahal dan nilainya sangat ditentukan oleh kualitas kadar dan kemurnian resin yang dikandungnya. Pada gaharu alam gradasi kualitas ditentukan berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan secara nasional dalam SNI Dalam standar ini kualitas gaharu dibedakan menjadi tiga sortimen, yaitu gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Ketiga sortimen tersebut dibagi lagi dalam 13 kelas kualitas, yang terdiri dari: 1. Gubal gaharu, dengan 3 tanda mutu, yaitu: a. mutu utama = mutu super b. mutu pertama = mutu AB c. mutu kedua = mutu sabah super 2. Kemedangan, dengan 7 kelas mutu, yaitu: a. mutu pertama = mutu TGA/TK 1 b. mutu TGB/TK 2 c. mutu TGC/TK 3 d. mutu TGD/TK 4 e. mutu TGE/TK 5 f. mutu TGF/TK 6 g. mutu ketujuh = setara dengan M 3 3. Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas mutu, yaitu: a. mutu utama b. mutu pertama 39

46 Aspek PRODUKSI c. mutu kedua. Namun pembedaan kelas kualitas tersebut secara detil sangat sulit dilakukan sehingga pada prakteknya hingga saat ini konsumenlah yang menentukan tingkat mutu produk dan harga gaharu. Hal ini merupakan anomali dari kondisi perdagangan komoditi lainnya, di mana pemilik barang merupakan penentu harga. Namun dengan tingkat keahlian sortasi, standar kualitas gaharu dan harganya akan lebih terjamin. Untuk itu pelatihan SDM dalam teknik monitoring perkembangan pembentukan gaharu dan kontrol kualitasnya sangat penting dilakukan. Saat ini sudah cukup banyak pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi, khususnya dari jenis Aquilaria dan Gyrinops. Teknik inokulasi untuk induksi pembentukan gaharu juga telah makin efisien dan murah. Pada hasil uji lanjut teknik produksi gaharu yang dilakukan beberapa bulan lalu di Provinsi Bengkulu, proses pembentukan gaharu telah semakin cepat terjadi. Pada 6 bulan setelah inokulasi telah dicapai produk kualitas kemedangan TGB dan TGA, yang biasanya baru dapat dicapai pada bulan setelah inokulasi, meskipun sebagian besar masih berada pada mutu TGC (Mucharromah et al., 2008). Perkembangan keberhasilan teknik inokulasi ini sangat prospektif untuk mendukung pengembangan produksi gaharu yang pohon penghasilnya telah mulai banyak dibudidayakan di Sumatera dan wilayah lain di Indonesia. Dengan demikian pengembangan gaharu siap dilaksanakan, tidak hanya di sekitar wilayah hutan tetapi bahkan hingga ke halaman rumah dan perkantoran serta sekolah, seperti yang telah dilakukan di Kota Bengkulu dan sekitarnya. Namun pengembangan gaharu di sekitar wilayah hutan kemungkinan akan jauh lebih efisien proses produksinya, di samping lebih besar manfaatnya bagi pengamanan lingkungan dan pemberdayaan serta pemakmuran masyarakat. D. Kesiapan Modal dan Kelembagaan Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan beragam jenis pohon penghasil gaharu. Hal ini menjadi modal utama yang membuat proses produksi gaharu menjadi jauh lebih 40

47 Pengembangan Gaharu di... (Mucharromah) mudah dan murah. Saat ini pembentukan gaharu di alam telah dilaporkan terjadi pada sedikitnya 16 jenis pohon dari beberapa genus famili Thymelaceae, satu famili Leguminoceae, dan satu famili Euphorbiaceae (Wiriadinata, 2008 dan Sumarna, 2002). Di alam tidak semua pohon penghasil gaharu membentuk gaharu atau hanya sedikit sekali menghasilkan gaharu. Jumlah gaharu yang dihasilkan per pohon di hutan alam sangat bervariasi dari 0,3 hingga 14 kg dan umumnya semakin banyak dengan makin besarnya diameter pohon (MacMahon, 1998). Selain itu, tidak semua pohon menghasilkan gaharu. Hal ini membuat proses produksi gaharu alam menjadi kian mahal. Pada gaharu budidaya, proses produksi gaharu sangat ditentukan kuantitasnya oleh jumlah lubang atau luka yang diinokulasi dan kualitasnya tergantung dengan lamanya waktu sejak inokulasi hingga panen. Semakin lama maka semakin banyak resin wangi yang terakumulasi dan semakin tinggi kualitas gaharu yang dihasilkan. Dengan demikian, maka pengembangan gaharu hasil budidaya dan inokulasi dapat jauh lebih efisien dibandingkan produksi yang mengandalkan gaharu bentukan alam. Namun demikian pengembangan gaharu tetap memerlukan dukungan dana yang relatif besar meskipun rasio keuntungannya terhadap modal juga cukup besar, sebagaimana disajikan pada analisis usaha inokulasi gaharu (Lampiran 1) dan analisis budidaya gaharu (Lampiran 2). Berdasarkan hasil analisis tersebut maka pengembangan gaharu paling efisien bila dilakukan di area sekitar hutan yang masih kaya dengan tegakan gaharu berdiameter > 20 cm yang dapat diinokulasi untuk mempercepat produksi dan menambah modal awal untuk penanaman pada area yang lebih luas untuk kesinambungan usaha pengembangan gaharu. Selain itu juga diperlukan adanya kerjasama dan komitmen semua pihak untuk membantu mengawali usaha ini berdasarkan expertise dan bidang pekerjaannya. Sejauh ini keberadaan pohon penghasil gaharu di lapangan telah banyak membantu pelaksanaan uji efektivitas inokulasi, uji produksi, pelatihan inokulasi, pelatihan monitoring pembentukan gaharu serta upaya produksi gaharu hasil inokulasi. Namun dari 41

48 Aspek PRODUKSI segi kualitas, gaharu hasil inokulasi hingga kini belum dapat mencapai kualitas tertinggi gaharu alam, yaitu super, double super, dan lebih tinggi. Terbentuknya gaharu kualitas super atau yang sering disebut gubal super ini kemungkinan akan dapat dicapai seiring dengan pengembangan penelitian inokulan unggul yang terus dilakukan. Secara teoritis keunggulan inokulan dalam menginduksi pembentukan gaharu berkaitan dengan jenis dan kemurnian mikroorganisme yang digunakan, sebagaimana ditunjukkan oleh data mikroskopis perkembangan deposisi resin gaharu pada area jaringan sekitar lubang yang diinokulasi atau hanya dilukai (Mucharromah dan Marantika, 2009). Sementara kehadiran jenis cendawan lainnya, khususnya cendawan pelapuk kayu, justru mendegradasi kembali resin gaharu yang sudah dideposisi bahkan hingga menghancurkan selnya sehingga gaharu yang sudah mulai terbentuk menjadi hancur dan lapuk minimal sebagian dan kualitas gaharu yang dihasilkan akan menurun. Dengan demikian, maka penggunaan inokulan unggul dan teknik inokulasi yang meminimalkan kontaminasi akan dapat meningkatkan kualitas gaharu yang dihasilkan dan mengefisienkan proses produksi hingga dapat dilaksanakan dengan modal lebih rendah. Pada gaharu kualitas gubal, akumulasi resin wangi terjadi maksimal hingga luber dan menutupi sel-sel di sekitarnya. Akibatnya jaringan kayu tersebut menjadi halus seperti dilapisi agar dan berwarna coklat kemerahan atau kehitaman, tergantung intensitas atau kadar resin gaharu yang dikandungnya. Bila kualitas seperti ini dapat dihasilkan dari inokulasi pohon pada awal proses pengembangan, maka produksi gaharu selanjutnya tidak banyak memerlukan bantuan modal lagi, karena kualitas seperti gaharu alam tersebut bernilai sangat tinggi, yaitu USD hingga per kg di tingkat end-consumer di luar negeri, sehingga mampu menutupi pembiayaan untuk pengembangan selanjutnya. Saat ini kualitas gaharu hasil inokulasi sudah jauh lebih baik dan pada beberapa hasil penelitian sudah mendekati mutu gubal kualitas kemedangan B/C (Santoso, 2008; Mucharromah dan Surya, 2006) atau bahkan B (Surya, komunikasi pribadi; 42

49 Pengembangan Gaharu di... (Mucharromah) Mucharromah et al., 2008). Dengan teknik inokulasi dan jenis isolat yang lebih murni dan potensial serta waktu antara inokulasi dan panen yang lebih panjang, maka kualitas gubal super mungkin akan dapat dicapai. Selain karena kandungan resinnya yang jauh lebih tinggi, aroma resin gaharu juga sangat menentukan kualitas. Sejauh ini aroma gaharu alam lebih lembut dibanding hasil inokulasi, kemungkinan karena kemurnian resin yang dikandungnya. Pada pengamatan mikroskopis (Mucharromah dan Marantika, 2009) menunjukkan bahwa pada jaringan yang terkontaminasi resin gaharu yang awalnya berwarna coklat bening kemerahan berubah menjadi berwarna kehitaman dan menghilang sebelum akhirnya selnya menjadi hancur. Oleh karena itu dalam proses produksi gaharu dengan inokulasi perlu diterapkan prinsip-prinsip aseptik yang akan membatasi peluang terjadinya kontaminasi (Mucharromah et al., 2008). Selain itu kekhasan aroma gaharu juga dipengaruhi oleh jenis pohon penghasilnya dan kemungkinan juga jenis mikro organisme inokulannya, sehingga aroma gubal gaharu kualitas terbaik dari berbagai wilayah dapat berbeda (Mucharromah et al., 2007). Jenisjenis pohon penghasil gaharu dari spesies Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A. microcarpa, A. hirta, dan A. agallocha yang banyak dijumpai di Sumatera, dikenal menghasilkan gaharu yang disukai konsumen mancanegara sejak jaman dahulu. Oleh karenanya pengembangan gaharu di wilayah sekitar hutan dengan cara memperbanyak pohon-pohon jenis Aquilaria yang ada di lokasi tersebut dan menginokulasi pohon yang sudah tua untuk membiayai peremajaannya akan dapat mengembalikan potensi produksi gaharu yang dahulu dimiliki Sumatera dan wilayah Indonesia lainnya. MODEL PENGEMBANGAN GAHARU DI SUMATERA Secara teoritis akumulasi resin wangi gaharu telah dilaporkan distimulasi oleh infeksi cendawan dari jenis tertentu (Mucharromah dan Surya, 2006, 2008a,b,c; Santoso et al., 2006; Sumarna, 2002). 43

50 Aspek PRODUKSI Kemampuan cendawan inokulan dalam menstimulir produksi resin juga sangat terkait dengan tingkat akumulasi resin yang merupakan hasil netto dari proses sintesis dikurangi dengan degradasinya serta jenis resin dan kemurniannya (Agrios, 2005; Langenhein, 2004; Mucharromah, 2004). Dengan demikian maka penggunaan jenis inokulan tertentu dan kemurniannya serta penerapan teknik aseptik dalam penyiapan dan aplikasi inokulan, ketepatan teknik inokulasi, dan keterampilan pekerja akan sangat mempengaruhi proses produksi dan kualitas produk. Oleh karenanya di Bengkulu pengembangan gaharu diawali dengan pengujian efektivitas berbagai isolat cendawan yang berpotensi menginduksi pembentukan gaharu dan diikuti dengan pengembangan inokulan unggul yang masih terus dilakukan untuk peningkatan kualitas. Selain itu, setelah didapat inokulan efektif dan hasil inokulasi yang cukup menjanjikan, maka kepada masyarakat pemilik tegakan gaharu yang diameternya telah mencapai > 20 cm ditawarkan kerjasama pengembangan gaharu dengan penanaman kembali dan inokulasi. Kerjasama ini meliputi pemeliharaan dan penanaman kembali anakan alam yang ada di sekitar tegakan induk hingga mencapai populasi minimal batang tanaman muda per pohon induk diinokulasi untuk produksi gaharu. Sejauh ini telah dilakukan pengembangan gaharu sebanyak > batang yang ditanam di sekitar pohon induk yang diinokulasi. Namun kerjasama ini masih membutuhkan cukup banyak modal untuk menjadi usaha pengembangan gaharu yang mandiri, karena masih harus melakukan panen dan proses pembersihan gaharu yang bersifat padat karya. Meskipun gaharu yang dipanen akan menghasilkan produk yang dapat dijual, namun untuk pelaksanaan proses panen dan pembersihan tersebut diperlukan modal yang cukup besar. Oleh karenanya pengembangan gaharu tidak dapat dilakukan secara mandiri, khususnya pada masyarakat yang tidak memiliki modal dan hanya mengandalkan sumberdaya alam dan keterampilan. Oleh karenanya campur tangan pemerintah sangat diharapkan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pengembangan gaharu memerlukan modal yang cukup besar karena prosesnya cukup kompleks. Pertama, anakan alam atau bibit harus ditanam dan dipelihara. Selanjutnya pohon yang sudah cukup besar (diameter > 44

51 Pengembangan Gaharu di... (Mucharromah) 20 cm) perlu diinduksi dengan inokulasi jasad renik atau perlakuan lainnya agar membentuk gaharu. Proses induksi pembentukan gaharu dilakukan dengan memberikan inokulan pada sejumlah besar lubang yang dibuat spiral dengan jarak 7-10 cm horisontal dan cm vertikal dari pangkal batang hingga ujung pucuk yang masih bisa dipanjat. Proses inokulasi ini selain memerlukan keterampilan, juga keberanian dan ketersediaan personil dengan kondisi fisik yang mendukung pelaksanaan pekerjaan. Selanjutnya pohon yang telah diinokulasi dimonitor hingga waktu panen. Setelah dipanen secara total, dilakukan proses pembersihan untuk memisahkan gaharu dari jaringan kayu yang lebih sedikit kandungan resin wanginya. Proses ini dilakukan secara manual dengan melibatkan sejumlah besar tenaga kerja. Pada gaharu hasil inokulasi, untuk membersihkan 1 kg gaharu umumnya diperlukan 4-5 orang hari kerja, sehingga untuk menghasilkan gaharu sebanyak 270 ton sebagaimana jumlah yang diekspor pada tahun 2000-an akan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak orang/hari. Jumlah ini cukup besar dan akan mampu mempekerjakan masyarakat sekitar hutan sebanyak 280 hingga 340 orang/tahun dengan 200 hari kerja/tahun. Dengan peningkatan permintaan dan kapasitas produksi, maka jumlah tenaga kerja yang dikaryakan juga akan semakin meningkat. Dari segi jumlah tenaga kerja yang menangani proses pembersihan produk ini kemungkinan tidak banyak berbeda antara produksi gaharu alam dengan gaharu budidaya, tetapi dari segi keamanan pekerja dan lingkungan, pengembangan gaharu hasil budidaya dan inokulasi makin lama makin memberikan keuntungan melimpah dan makin sustainable, sementara gaharu alam akan makin habis, sehingga tidak berkelanjutan. Oleh karenanya pengembangan gaharu harus dilakukan secara serius, sehingga upaya-upaya yang dilakukan akan memberi hasil yang berkelanjutan. Selain itu, mengingat proses produksi gaharu jauh lebih rumit dibandingkan proses produksi komoditi hasil hutan dan perkebunan atau pertanian lainnya, maka perlu ada suatu kelembagaan yang bertugas untuk membantu penyiapan dan pelaksanaan proses produksinya hingga berhasil berkembang menjadi industri gaharu yang mandiri. Kelembagaan tersebut dapat sangat sederhana 45

52 Aspek PRODUKSI bila pengembangan gaharu dapat diberlakukan seperti komoditi pertanian atau perkebunan hasil budidaya. Namun bila perdagangan gaharu masih diatur oleh kuota yang dalam proses perdagangannya melibatkan banyak pihak, maka pengembangan gaharu perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perdagangannya, tidak hanya dengan pihak yang dapat membantu pengembangannya. Dalam pelaksanaannya, pelibatan banyak pihak ini bila tidak dipayungi dengan deskripsi tugas yang mendetil dan tidak saling tumpang-tindih, justru akan dapat menghambat pengembangan gaharu yang dituju. Sejauh ini pengembangan gaharu yang dilakukan di Provinsi Bengkulu, baik oleh pihak swasta maupun perguruan tinggi dan kelompok masyarakat, dibuat secara sangat sederhana dengan kontrak kerjasama antara pemilik pohon/lahan dengan pelaksana yaitu perguruan tinggi, swasta atau kelompok masyarakat. Mengingat pohon yang diinokulasi atau bibit yang ditanam berada di lahan pribadi, baik halaman maupun kebun, maka proses pengembangan gaharu yang telah dilakukan sejauh ini berjalan aman. Hal ini dikarenakan upaya pengembangan yang dilakukan masih belum mencapai tahap produksi gaharu yang siap diperdagangkan. Bila sudah mencapai tahap produksi, maka dengan adanya aturan kuota, penjualan gaharu hingga kini masih memerlukan adanya sertifikasi jumlah untuk memastikan bahwa batas kuota belum terlewati, sehingga cukup menyulitkan meskipun prosesnya sederhana. Hal ini mungkin perlu disederhanakan dalam upaya pengembangan gaharu yang dilakukan, mengingat wilayah sekitar hutan yang menjadi area pengembangan gaharu umumnya cukup jauh dari lokasi institusi yang mensertifikasi produknya. Dalam hal pengembangan gaharu, perguruan tinggi dapat memainkan peran yang dapat menguntungkan semua pihak. Dalam hal ini peran perguruan tinggi yang mengembangkan penelitian gaharu dapat dilakukan dalam bentuk pembinaan kelompok produksi gaharu di sekitar wilayah hutan serta penelitian untuk pemutakhiran teknik produksi, pengembangan inokulan unggul untuk peningkatan mutu serta pengembangan teknik pengawasan kualitas produk. Peran tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang sudah secara 46

53 Pengembangan Gaharu di... (Mucharromah) rutin dilakukan perguruan tinggi dengan dukungan pendanaan dari instansi pemerintah maupun swasta. PENUTUP 1. Pengembangan gaharu merupakan suatu program yang sangat besar, tidak hanya karena menghasilkan produk bernilai ekonomi yang sangat tinggi, yang berpotensi sangat besar untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan, tetapi juga karena upaya ini memerlukan investasi teknologi dan modal yang cukup besar bagi keberhasilannya. Oleh karenanya pengembangan gaharu perlu dilaksanakan dengan perencanaan yang sangat matang dari setiap tahapan prosesnya sehingga dapat berjalan dan meningkatkan kemandirian masyarakat di wilayah sekitar hutan. Hal ini sangat penting dilakukan, tidak hanya untuk menjamin peningkatan dan kesinambungan produksi gaharu, tetapi juga untuk melindungi hutan dan keragaman hayati yang ada di sekitarnya serta meningkatkan kapasitas hutan dalam menanggulangi potensi bahaya bencana alam yang disebabkan oleh longsor, banjir, kekeringan, polusi, dan beragam kerusakan lingkungan lainnya. 2. Untuk lebih mengefisienkan proses produksi dan menekan pembiayaan maka program pengembangan gaharu perlu dilakukan dengan mengadopsi model yang paling efisien dan praktis, sehingga keberhasilannya akan lebih terjamin. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat proses pembentukan gaharu tidak berjalan secara otomatis pada tanaman yang tumbuh sehat, sebagaimana produk pertanian atau perkebunan dan kehutanan lainnya. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N Plant Pathology. Academic Press, New York. Anonim Analisa Penyebab Terjadinya Gubal dan Kemedangan pada Pohon Gaharu. Makalah Dipresentasikan pada Temu Pertama Pakar Gaharu, 20 Oktober1995. Jakarta. 47

54 Aspek PRODUKSI Anonim Agarwood. /Agarwood. Terakhir dimodifikasi 11:11, 31 Oktober Maryani, N., G. Rahayu dan E. Santoso Respon Acremonium sp. Asal Gaharu terhadap Alginate dan CaCl 2. Prosiding Seminar Nasional Gaharu. Seameo-Biotrop, Bogor, 1-2 Desember MacMahon, C White Lotus Aromatics. com/ratrani/ Agarwood. html. Updated April 16 th, 2001, Accessed 16 April Mucharromah, Misnawaty, dan Hartal Studi Mekanisme Akumulasi Resin Wangi Aquilaria malaccensis (Lamk.) Merespon Pelukaan dan Infeksi Cendawan. Laporan Penelitian Fundamental. DIKTI. Mucharromah Hipotesa Mekanisme Pembentukan Gubal Gaharu. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Produksi Gaharu Provinsi Bengkulu untuk Mendukung Peningkatan Ekspor Gaharu Indonesia. FAPERTA UNIB, Bengkulu, Indonesia, 12 Agustus Mucharromah, Hartal, dan Surani Tingkat Akumulasi Resin Gaharu Akibat Inokulasi Fusarium sp. pada Berbagai Waktu Setelah Pengeboran Batang Aquilaria malaccensis (Lamk.). Makalah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wilayah Barat, Universitas Bengkulu, Mei Mucharromah, Hartal, dan U. Santoso Potensi Tiga Isolat Fusarium sp. dalam Menginduksi Akumulasi Resin Wangi Gaharu pada Batang Aquilaria malaccensis (Lamk.). Makalah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wilayah Barat, Universitas Bengkulu, Mei Mucharromah Teknologi Budidaya dan Produksi Gubal Gaharu di Provinsi Bengkulu. Makalah Seminar. Fakultas Pertanian Universitas Mataram Bekerjasama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dodokan Moyosari Nusa Tenggara Barat (BP DAS Dodokan Moyosari NTB). Universitas Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 18 November Mucharromah. 2006a. Fenomena Pembentukan Gubal Gaharu pada Aquilaria malaccensis (Lamk.). (unpublished). 48

55 Pengembangan Gaharu di... (Mucharromah) Mucharromah dan J. Surya. 2006b. Teknik Inokulasi dan Produksi Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN. Surabaya September Ng., L.T., Y.S. Chang and A.K. Azizil A Review on Agar (Gaharu) Producing Aquilaria Species. Journal of Tropical Forest Products 2 : Ngatiman dan Armansyah Uji Coba Pembentukan Gaharu dengan Cara Inokulasi. Prosiding Seminar Nasional Gaharu Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia, Bogor, 1-2 Desember SEAMEO BIOTROP. Parman, T. Mulyaningsih, dan Y.A. Rahman Studi Etiologi Gubal Gaharu pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu Pakar Gaharu. Kanwil Dephut Propinsi NTB, Mataram, April Parman dan T. Mulyaningsih Teknologi Budidaya Tanaman Gaharu untuk Menuju Sistem Produksi Gubal Gaharu secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Surabaya, September Purba, J.N Identifikasi Genus Cendawan yang Berasosiasi dengan Pohon Aquilaria malaccensis (Lamk.) dan Gubal Gaharu Hasil Inokulasi serta Potensinya untuk Menginfeksi Bibit Gaharu. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Raintree Database Entry For Aquilaria agallocha. Raintree Nutrition, Inc., Austin, Texas. Sites : hhtp// aquilaria.htm. Date 3/3/06. Santoso, E., L. Agustini, D. Wahyuno, M. Turjaman, Y. Sumarna, R.S.B. Irianto Biodiversitas dan Karakterisasi Jamur Potensial Penginduksi Resin Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN, Surabaya 12 September Sumarna, Y Strategi Budidaya dan Pengembangan Produksi Gaharu. Prosiding Seminar Nasional Gaharu, Seameo-Biotrop, Bogor, 1-2 Desember

56 Aspek PRODUKSI Lampiran 1. Analisis usaha inokulasi gaharu Waktu inokulasi Jumlah tegakan gaharu Proyeksi hasil : 3 tahun : 1 batang : 20 kg/batang (Kelas BC); 30 kg/batang (Kemedangan) : 50 kg/batang Total proyeksi hasil Penjualan kelas BC per batang : 60 kg Penjualan powder : 100 kg/batang No Uraian QTY Unit A. Beban operasional A.1. A.2. Harga/unit (Rp 000) Total cost (Rp 000) Pembelian batang/tanah 1 Btg Pengadaan inokulan 1 Btg Pembelian peralatan 1 Set Stressing agent 1 Btg Tenaga ahli inokulasi 1 Btg Tenaga kerja 1 Btg Pemeliharaan/perawatan 3 Thn Operasi lainnya 1 Btg Beban panen dan pasca panen Total Penebangan 1 Btg Angkut ke gudang 1 Btg Pembersihan gaharu 50 Kg Packing 50 Kg Beban pemasaran & umum lainnya Total Angkut penjualan 50 Kg Penjualan 50 Kg Retribusi 50 Kg Pengurusan surat-surat 1 Btg 6 6 Umum lainnya 50 Kg 0,5 25 B. Proyeksi penghasilan Total Total beban operasi Penjualan kelas BC 60 Kg Penjualan powder 100 Kg Total proyeksi penghasilan C. Beban zakat/pajak 5% % D. Proyeksi keuntungan Sumber: Hasil perhitungan peneliti dengan CV Gaharu 88 Bengkulu,

57 Pengembangan Gaharu di... (Mucharromah) Lampiran 2. Analisis usaha budidaya gaharu Waktu budidaya : 7 tahun Luas lahan : 1 ha Populasi tegakan : 1.000/ha Rasio jumlah suntikan : 80 lubang/kg Jumlah lubang : 160/batang Proyeksi hasil panen per batang : 160/80 = 2 kg Exchange rate IDR : No Uraian QTY Unit A. Biaya akuisisi lahan Harga/ unit (Rp 000) Total cost (Rp 000) Pembelian lahan 1 ha Perizinan/sertifikat/notariat 1 Surat* B. Biaya pra operasi (start-up cost) Sarana & prasarana TBM Total Rumah jaga 1 Unit Sarana penerangan (PLN) 1 Unit Sarana komunikasi 1 Unit Sarana lainnya Total A+B Total biaya (direkapitulasi) C C.1. C.2. Beban operasi Penanaman pohon baru Land clearing 1 ha Pembelian bibit Btg Pembuatan lubang Btg Penanaman pohon gaharu Btg 0,5 500 Pemupukan Btg Perawatan dan pengamanan 1 ha Beban inokulasi Total Pengadaan inokulan Btg Pembelian peralatan 1 Set Stressing agent Btg Tenaga kerja Btg Pemelihaaan/perawatan Btg Operasi lainnya Btg Total

58 Aspek PRODUKSI No Uraian QTY Unit C.3. C.4. D Beban panen & pasca panen Harga/ unit (Rp 000) Total cost (Rp 000) Penebangan Btg Angkut ke gudang Btg Pembersihan gaharu Kg Packing Kg Beban pemasaran & umum lainnya Total Angkut penjualan Kg Penjualan Kg Retribusi Kg Umum lainnya Kg 0, Proyeksi penghasilan Total Total beban operasi Penjualan kelas C Kg Total proyeksi penghasilan E Beban zakat /pajak 5% % F Proyeksi keuntungan Sumber: Hasil perhitungan peneliti dengan CV Gaharu 88 Bengkulu,

59 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) 2 KAJIAN KIMIA GAHARU HASIL INOKULASI Fusarium sp. PADA Aquilaria microcarpa Eka Novriyanti Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat Kuok PENDAHULUAN Gaharu adalah komoditas hasil hutan non-kayu yang bernilai ekonomi tinggi dengan harga pasar bervariasi tergantung kualitasnya, mulai dari 300 ribu rupiah hingga 25 juta rupiah untuk kualitas double super. Produk ini dihasilkan beberapa spesies penghasil gaharu dalam famili Thymeleaceae. Indonesia yang merupakan salah satu pemasok gaharu terbesar memiliki kekayaan jenis penghasil gaharu tertinggi di dunia, yaitu 27 spesies dari 8 genus dan 3 famili yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Irian (Sumarna, 2005). Gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya yang disebut memiliki scent of God, meskipun pengunaan produk ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang wewangian saja. Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan, incense, dan parfum (Barden et al., 2000). Incense gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara religius keagaman, sebagai pengharum ruangan sembayang serta benda-benda rohani seperti rosario dan tasbih (Barden et al., 2000). Sementara itu, dalam bidang pengobatan gaharu digunakan sebagai analgesik dan anti 53

60 Aspek PRODUKSI inflamatory (Trupti et al., 2007), dan bermanfaat untuk mengatasi berbagai panyakit seperti sakit gigi, ginjal, rematik, asma, diare, tumor, diuretic, liver, hepatitis, kanker, cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin; juga memiliki sifat anti racun, anti serangga, anti mikrobia, stimulan kerja saraf dan pencernaan, (Hayne, 1987; Barden et al., 2000; Adelina, 2004; Suhartono dan Mardiastuti, 2002). Gaharu adalah senyawa fitoaleksin yang merupakan metabolit sekunder dari pohon gaharu sebagai mekanisme pertahanannya. Pohon gaharu sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai metabolit sekunder yang beraroma harum (Yuan dalam Isnaini, 2004). Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi, maupun keadaan cekaman (Goodman et al. dalam Isnaini, 2004). Metabolit sekunder atau zat ekstraktif tanaman dapat efektif dalam melawan hama dan agen penyakit karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler, atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme (Forestry Commission GIFNFC, 2007). Metabolit sekunder pada kayu teras dapat menjadi pertahanan pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hills, 1987). Konsentrasi metabolit sekunder ini bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan antar musim (Forestry Commission GIFNFC, 2007). Informasi mengenai bahan-bahan kimia yang terkandung dalam gaharu penting untuk pemanfaatan produk ini. Arah pemanfaatan informasi kimia gaharu di antaranya adalah penyusunan standar produk berdasarkan komposisi kimia yang dikandungnya sehingga lebih seragam dalam praktek penentuan kualitas produk, pengembangan pemanfaatan lain dengan terbukanya kemungkinan diidentifikasinya senyawa-senyawa baru dengan manfaat yang baru pula, informasi jalur biosintetis gaharu itu sendiri sehingga mungkin dapat dibuat sintetis senyawa, pengembangan senyawa-senyawa dalam gaharu dengan bio-teknologi, dan lain-lain pengembangan yang masih sangat luas untuk dilakukan. Namun begitu, hal ini 54

61 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) masih memerlukan pemikiran dan terus melakukan penelitianpenelitian lanjutan yang akan membuka satu demi satu kebenaran yang saat ini masih belum terungkap. ANALISIS KIMIA GAHARU HASIL INOKULASI ISOLAT DARI BEBERAPA DAERAH ASAL Dalam tulisan ini, analisis kimia gaharu dilakukan dengan analisis GCMS pirolisis menggunakan aparatus Shimadzu GCMS- QP2010. Helium digunakan sebagai gas pembawa (carrier) (0,8 ml/min) yang dilengkapi dengan kolom kapiler DB-5 MS (60 mm x 0,25 mm, ketebalan film 0,25 μm), dioperasikan dengan electron impact (EI) mode pada 70 ev dan suhu ion source C. Kondisi kromatografi adalah sebagai berikut: suhu oven kolom 50 0 C, suhu injeksi C. Injeksi dilakukan dalam mode split, yaitu isothermal 50 0 C selama 5 menit, kemudian increased mencapai C hingga 30 menit, dan ditahan pada suhu ini hingga menit ke-60. Identifikasi senyawa dilakukan berdasarkan waktu retensi dan analisis MS. Analisis komponen kimia dilakukan untuk gaharu rekayasa hasil inokulasi isolat Fusarium sp. asal Bahorok, Kalimantan Tengah Tamiang Layang, Mentawai, dan Maluku. Pengukuran luasan infeksi dilakukan pada umur inokulasi 6 bulan, sedangkan analisis kimia dilakukan untuk sampel berumur ± 1 tahun. Gambar 1 menyajikan luasan infeksi Fusarium sp. pada batang A. microcarpa. Meskipun secara deskriptif isolat asal Bahorok sepertinya menyebabkan infeksi yang paling besar, namun secara statistik, daerah asal isolat tidak berpengaruh nyata terhadap luasan infeksi yang terjadi pada batang pohon penghasil gaharu ini. Tidak signifikannya pengaruh asal isolat terhadap luas infeksi diduga disebabkan karena isolat yang diinokulasikan sama-sama Fusarium sp., dan perlu dicatat tidak satupun isolat yang origin dari lokasi di mana penelitian dilakukan yaitu asal Carita. Meskipun di awal inokulasi masing-masing isolat memperlihatkan kecepatan pembentukan infeksi yang berbeda sesuai virulensinya, namun setelah sekian waktu ternyata pengaruhnya terhadap luasan infeksi menjadi tidak signifikan lagi. 55

62 Aspek PRODUKSI Gambar 1. Panjang infeksi pada umur inokulasi 6 bulan di batang A. microcarpa dengan pembeda daerah asal isolat Meskipun secara luasan infeksi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, namun analisis komponen kimia dari gaharu hasil rekayasa ini menunjukkan adanya perbedaan. Lampiran 1 menyajikan komponen kimia hasil analisis py-gcms terhadap sampel gaharu inokulasi umur satu tahun. Sampel yang dianalisi adalah sampel masing-masing dari titik-titik inokulasi dengan jarak suntik 5 cm dan 20 cm. Lampiran 1 dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. kelompok A: konstituen gaharu yang sudah diidentifikasi pada pekerjaan beberapa peneliti sebelumnya 2. Kelompok B: senyawa berkarakter odorant namun merupakan hasil pirolisis komponen kayu seperti selulosa dan lignin 3. Kelompok C: senyawa yang belum dikonfirmasi merupakan konstituen gaharu namun memiliki karakter odorant. Kelompok A pada Lampiran 1, dengan tanpa membedakan jarak suntik menunjukkan bahwa akumulasi konsentrasi relatif tertinggi untuk konstituen terkonfirmasi (Yagura et al., 2003; Bhuiyan et al., 2009; Pojanagaroon dan Kaewrak, 2006; Burfield, 2005; Tamuli, 2005; Alkhathlan et al., 2005; Konishi, 2002; Nor Azhah et al., 56

63 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) 2008) terjadi pada isolat asal Kalimantan Tengah Tamiang Layang sebesar 12,89%, diikuti masing-masing Maluku (10,96%), Bahorok (10,61%), dan Mentawai (8,27%). Secara kuantitas maupun kualitas (komponen kimia terkonfirmasi), isolat asal Kalimantan Tengah Tamiang Layang memberikan hasil gaharu artifisial yang relatif terbaik yang ditunjukan oleh relatif lebih besarnya infeksi yang terjadi dan akumulasi senyawa gaharu terkonfirmasi tertinggi. Kelompok B pada Lampiran 1 merupakan kelompok senyawa berkarakter odorant yang merupakan hasil pirolisis selulosa dan lignin. Ditampilkannya fakta tersebut karena penggunaan gaharu pada umumnya sebagai incense yang menghasilkan wangi hanya jika kayu yang mengandung resinnya dibakar. Keberadaan senyawasenyawa odorant hasil pirolisis komponen kayu ini kemungkinan memiliki peran pada kesatuan wangi yang dihasilkan incense gaharu yang dibakar. Dengan kata lain, karena digunakan sebagai incense yang mengumbar wangi saat dibakar, maka keberadaan senyawa dalam kelompok B tidak bisa dikesampingkan walaupun bukan merupakan konstituen resin gaharu yang sebenarnya. Untuk kelompok odorant yang merupakan pirolisis komponen kayu ini, konsentrasi relatif tertinggi justru dihasilkan oleh isolat asal Maluku (12,47%), diikuti Bahorok (12,40%), Kalimantan Tengah Tamiang Layang (12,23%), dan Mentawai (11,47%). Perbedaan konsentrasi ini kemungkinan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi selulosa dan lignin dari bagian batang yang dijadikan sampel. Pengaruh kontribusi senyawa dalam kelompok ini pada wangi gaharu memerlukan investigasi lebih lanjut. Untuk Kelompok C, akumulasi konsentrasi relatif tertinggi dihasilkan oleh isolat asal Maluku (26,14%), Mentawai (24,37%), Bahorok (22,31%), dan terakhir Kalimantan Tengah Tamiang Layang (18,71%). Pola urutan konsentrasi yang sama juga terjadi untuk total konsentrasi relatif komponen berkarakter odorant; Maluku, diikuti Mentawai, Bahorok, dan Kalimantan Tengah Tamiang Layang. Namun kontribusi komponen-komponen berkarakter odorant tersebut terhadap wangi gaharu masih memerlukan observasi yang lebih dalam lagi. 57

64 Aspek PRODUKSI Untuk komponen gaharu terkonfirmasi (Kelompok A), secara umum jarak suntik 5 cm menghasilkan akumulasi konsentrasi yang lebih tinggi, kecuali untuk isolat asal Kalimantan Tengah Tamiang Layang yang justru lebih tinggi akumulasi konsentrasinya pada jarak suntik 20 cm (Tabel 1). Secara umum untuk kelompok A, jarak suntik 5 cm dan 20 cm menghasilkan akumulasi konsentrasi relatif masing-masing sebesar 11,25% dan 10,11%. Untuk kelompok B, dihasilkan akumulasi masing-masing sebesar 12,17% dan 12,11% untuk jarak suntik 5 cm dan 20 cm. Angka-angka ini tidak jauh berbeda karena diduga konsentrasi komponen kayu yang relatif sama pada pohon-pohon sampel yang relatif berumur sama dan tumbuh pada kondisi yang relatif sama. Tabel 1. Komponen dalam gaharu hasil inokulasi berbagai daerah asal isolat Fusarium sp. pada A. microcarpa yang memiliki karakterisitik odorant penting Komponen Ambrettolide Ambrox Valerolactone Ketoisophorone Maltol Indole Isolongifolen Keterangan Senyawa ini memiliki karakter wangi musk, manis buah, dan bunga (International Flavor and Fragrance, Inc., 2008) Ambrox memiliki karakter odorant tipe amber dan juga merupakan anti-inflamatory yang potensial untuk bidang pengobatan (Castro et al., 2002). Senyawa ini memiliki wangi herbal yang dimanfaatkan dalam industri parfum dan pewangi (Wikipedia Online, 2008). Ketoisophorone mengumbar wangi manis campuran kayu, teh, dan, daun tembakau (The Good Scent Company, 2008). Komponen ini menyajikan wangi caramel dan digunakan untuk menghasilkan wangi yang manis pada fragrance, biasanya dimanfaatkan sebagai penguat rasa dan aroma (flavor enhancer) pada roti dan kue (Wikipedia Online, 2008). Senyawa ini pada konsentrasi rendah menyajikan wangi bunga dan merupakan konstituen dalam berbagai wangi bunga dan parfum. Indole merupakan konstituen utama dalam minyak melati dan karena minyak melati ini berharga mahal, produk ini dibuat sintetisnya dengan menggunakan indole (Wikipedia Online, 2008). Isolongifolene merupakan bahan yang sangat berguna sebagai odorant dan minyak parfum (Bunke dan Schatkowski, 1997). 58

65 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) Komponen Limonene Cadinene Dumasin Benzylacetone Azulene Keterangan Limonene merupakan terpen yang memiliki aroma bunga dan buah. Limonen merupakan monoterpeneoid yang digunakan sebagai insektisida botani, selain sebagai bahan kosmetik dan flavouring karena memberi wangi sitrus. Geraniol dan limonen juga dimanfaatkan dalam pengobatan herbal dan konstituen dalam berbagai tanaman obat (Wikipedia Online, 2008; The Good Scent Company, 2008; Mann et al., 1994; Blake, 2004). Senyawa ini muncul sebagai konstituen minyak esensial berbagai tanaman (Wikipedia Online, 2008). Dikenal juga sebagai cyclopentanone yang memiliki wangi mint. Merupakan material wewangian dan untuk pengobatan serta memiliki sifat pestisida (ChemYQ, 2008). Benzylacetone memiliki wangi manis bunga yang merupakan komponen atraktan yang melimpah pada bunga, juga merupakan komponen volatil pada kokoa (Wikipedia Online, 2008). Azulene sangat sering ditemukan sebagai komponen dalam minyak esensial tanaman dalam family Asteraceae dan memiliki wangi dan warna biru pada minyak dan ekstraknya (Lynd- Shiveley, 2004). Akumulasi total untuk komponen berkarakter odorant menunjukkan bahwa jarak suntik 20 cm (52,59%) yang menghasilkan konsentrasi relatif lebih tinggi dibandingkan jarak suntik 5 cm (50,23%). Pola yang sama juga terlihat untuk akumulasi konsentrasi relatif pada kelompok senyawa C, masing-masing 24,81% dan 20,96% untuk jarak suntik 20 cm dan 5 cm. Dengan besarnya spasi injeksi akan menyebabkan proses pembentukan senyawa yang terjadi berlangsung relatif lebih lambat, yang ditunjukan oleh infeksi yang lebih kecil. Namun, proses yang lambat ini kemungkinan memberi waktu dan kesempatan bagi senyawa tertentu untuk disintesis atau diakumulasikan hingga diperoleh konsentrasi yang relatif lebih tinggi. Di pihak lain, dengan spasi injeksi yang lebih kecil di mana infeksi terjadi lebih cepat dan lebih besar, ada kemungkinan proses sintesis terjadi lebih cepat dibandingkan jarak injeksi yang lebih besar sehingga dihasilkan senyawa-senyawa baru yang lain yang berkarakter odorant namun akumulasinya belum cukup tinggi saat observasi dilakukan. Kajian lebih dalam lagi diperlukan untuk mengetahui perkembangan atau perubahan yang terjadi dengan semakin lamanya waktu inokulasi. 59

66 Aspek PRODUKSI Hasil analisis py-gcms juga menunjukkan adanya senyawasenyawa yang pada beberapa hasil penelitian lain disebutkan sebagai senyawa pertahananan. Beberapa di antara komponen ini bahkan juga memiliki karakter wangi yang diketahui merupakan konstituen minyak esensial dan digunakan secara komersil dalam industri parfum dan pengharum seperti vanillin, eugenol (Cowan, 1999; Rhodes, 2008; Koeduka et al., 2006), senyawa 4H-pyran-4-one dan derivatnya (Abrishami et a., 2002; Rho et al., 2007; Fotouhi et al., 2008), benzoic acid (NBCI, PubChem Compound, 2008), derivat cyclopentane (Wikipedia Onlie, 2008), syringal-dehyde (Pedroso et al., 2008), dumasin (ChemYQ, 2008), dan elimicin (Rossi et al., 2007). Eugenol serta isoeugenol digunakan dalam produksi vanilin yang merupakan bahan penting dalam industri wewangian (Cowan, 1999). Eugenol, isoeugenol, metileugenol, dan isometileugenol merupakan empat senyawa fenilpropanoid dari 12 senyawa volatil yang diketahui menyebabkan wangi yang manis pada Clarkia breweri (Rhodes, 2008). Sedangkan koniferil alkohol merupakan intermediet dalam biosintetis eugenol dan isoeugenol (Cowan, 1999), dan guaiakol merupakan intermediet dalam pembuatan eugenol dan vanilin (Li dan Rosazza, 2000). Senyawa asetosiringon juga tercatat pada semua gaharu hasil inokulasi kelima daerah asal isolat dalam penelitian ini, di mana senyawa ini merupakan fenolik yang dihasilkan tanaman sebagai respon alami terhadap pelukaan (Sheikholeslam dan Weeks, 1986). Dalam Hua (2001) disebutkan bahwa konsentrasi asetosiringon meningkat 10 kali lipat ketika suatu jaringan aktif tanaman dilukai. Asetosiringon merupakan bioaktif dalam interaksi tanamanmikroba yang mempercepat pendeteksian kehadiran patogen oleh tanaman di mana konsentrasi senyawa ini meningkat dalam tanaman seiring dengan meningkatnya konsentrasi mikroba (Baker et al., 2004). 60

67 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) Tabel 2. Senyawa-senyawa yang berdasarkan beberapa referensi diketahui merupakan pertahanan pada tanaman tertentu dan terdeteksi pada gaharu hasil inokulasi Senyawa Keterangan Eugenol Bersifat bakteriostatik terhadap jamur dan bakteri (Cowan, 1999). Eugenol digunakan dalam pembuatan parfum, minyak esensial, dan obat-obatan. Senyawa ini digunakan untuk menghasilkan isoeugenol yang diperlukan untuk membuat vanilin yang juga merupakan bahan yang penting dalam obat-obatan dan industri parfum dan pengharum. Eugenol dan isoeugenol diturunkan dari prekursor lignin, yaitu asam ferulat ataupun koniferil alkohol (Rhodes, 2008). Koniferil alkohol Guaiakol Katekol dan pirogalol Veratrol Merupakan senyawa pertahanan tipe fitoaleksin yang termasuk dalam grup fenilpropanoid, contohnya adalah yang terdapat pada Linum usitiltissimum (Sengbusch, 2008). Merupakan intermediet dalam pembuatan eugenol dan vanilin, yang juga digunakan sebagai antiseptik dan parasitisida (Li dan Rosazza, 2000). Adalah fenol terhidroksilasi yang bersifat toksik pada mikroorganisme. Letak dan jumlah grup hidroksil pada grup fenol diduga berkaitan dengan daya racun relative-nya terhadap mikroorganisme, di mana daya racun akan semakin meningkat dengan semakin tingginya hidroksilasi (Cowan, 1999). Merupakan dimetil eter dari pirokatekol. Kedua senyawa ini dan turunannya digunakan sebagai antiseptik, ekspektoran, sedatif, deodoran, dan parasitisida (Wikipedia, 2008a). Konstituen resveratrol yang diturunkan dari asam p-hidroksisinamat dan 3 unit malonat, memiliki sifat antimikrobial (Torssel, 1983; p:144). KESIMPULAN 1. Hasil inokulasi Fusarium sp. pada batang Aquilaria microcarpa dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui pendekatan besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat dianggap masing-masinng sebagai refleksi kuantitas dan kualitas gaharu yang terbentuk. 2. Pada gaharu rekayasa hasil inokulasi Fusarium sp. pada A. microcarpa ditemukan beberapa komponen senyawa yang sudah diidentifikasi merupakan konstituen gaharu dan beberapa senyawa lain yang memiliki karakter odorant dan secara komersil digunakan dalam industri perfumery dan flavoring. 61

68 3. Meskipun secara statistik tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan terhadap luasan infeksi yang terbentuk setelah 6 bulan inokulasi, daerah asal isolat menunjukkan perbedaan dalam konsentrasi senyawa-senyawa gaharu yang terbentuk. Secara umum, inokulasi Fusarium sp. asal Kalimantan Tengah menunjukkan konsentrasi senyawa konstituen gaharu terkonfirmasi yang lebih tinggi, namun isolat asal Maluku menunjukkan konsentrasi yang relatif lebih tinggi untuk total senyawa dengan karakter odoran. DAFTAR PUSTAKA Abrishami, F, R. Teimuri-Mofrad, Y. Bayat, A. Shahrisa Synthesis of Some Aldoxime Derivatives of 4H-Pyran-4-ones. Molecules 7: Azah, M. A. N., Y. S. Chang, J. Mailina, A. A. Said, J. A. Majid, S. S. Husni, H. N. Hasnida, Y. N. Yasmin Comparison of Chemical Profiles of Selected Gaharu Oils from Peninsular Malayia. The Malaysian Journal of Analytical Sciences 12 (2): Baker, C. J., B. D. Whitaker, N. M. Mock, C. Rice, D. P. Robert, K. L. Deahl, A. A. Averyanov Stimulatory Effect of Acetosyringone on Plant/Pathogen Recognition. gov/research/publications/publications. htm. [20 Juni 2008]. Barden, A., N. A. Anak, T. Mulliken, M. Song Heart of the Matter: Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis. [22 Mei 2007]. Blake, S Medicinal Plant Constituents. naturalhealthwizards. com/medicinalplantconstituents.pdf. [21 Juni 2008]. Blanchette, R. A Sustainable Agarwood Production in Aquilaria Trees. [2 Februari 2007]. Bunke, E. J, D. Schatkowski Isolongifolanol Derivates, their Production and their Use. United State Patent. freepatentsonline.com [31 Desember 2008].

69 Burfield, T. 2005a. Agarwood Chemistry. [2 Februari 2007]. Castro, J. M., S. Salido, J. Altarejos, M. Nogueras, A. Sánchez Synthesis of Ambrox from Labdanolic Acid. Tetrahedron 58 (29): ChemYQ Dumasin; Succinaldehyde. En/xz/xz11 [3 April 2008]. CITES, Convention on International Trade in endangered Species of Wild Fauna and flora: Amendments to Appendices I and II of CITES. / props/id-aguilaria-gyrinops.pdf. Cowan, M Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology Review 12 (4): FAO. Food safety and Quality: Flavoruing Index. ag/agn/jecfa-flav/index.html?showsynonyms=1 [ 1 November 2008: 2.31 pm]. Forestry Commission GIFNFC Chemicals from Trees. http: // treechemicals. csl.gov.uk/review/extraction.cfm. [14 Juli 2007]. Fotouhi, L., A. Fatehi, M. M. Heravi Investigation of Electrooxidation Reaction of Some Tetrahydrobenzo[b]pyran Derivatives. Int. J. Electrochem. Sci. 3: Hayne, K Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Thymelaceae. Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: Nuttige Planten Van Indonesie. hlm: Hills, W. E Heartwood and Tree Exudates. Berlin: Springer- Verlag. Hua, S. S. T Inhibitory Effect of Acetosyringone on Two Aflatoxin Biosynthetic Genes. Applied Microbiology 32: International Flavor and Fragrance, Inc Ingredients.nsf/0/45BD7B214C6F661E D79C2 [31 Desember 2008]. Ishihara, M., T. Tsuneya, M. Shiga, and K. Uneyama Three Sesquiterpenes from Agarwood. Phytochemistry 30 (2):

70 Aspek PRODUKSI Isnaini, Y Induksi Produksi Gubal Gaharu melalui Inokulasi Cendawan dan Aplikasi Faktor Biotik (Disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Koeduka, T., E. Fridman, D. R. Gang, D. G. Vassão, B. L. Jackson, C. M. Kish, I. Orlova, S. M. Spassova, N. G. Lewis, J. P. Noel, T. J. Baiga, N. Dudareva, E. Pichersky Eugenol and Isoeugenol, Characteristic Aromatic Constituents of Spices, are Biosynthesized via Reduction of a Coniferyl Alcohol Ester. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. Konishi, T., T. Konoshima, Y. Shimada, S. Kiyosawa Six New 2-(2-Phenylethyl)chromones from Agarwood. Chem. Pharm. Bull. 50 (3): Li, T., J. P. N. Rosazza Biocatalytic Synthesis of Vanillin. Applied and Environmental Microbiology 66 (2): Lynd-Shiveley, E. M Azulene and Chamomile. www. Aromaticplant project.com. [20 Juni 2008]. NCBI PubChem Benzoic acid. gov/summary/ summary.cgi?cid=243. [1 Desember 2008]. Pedroso, A. P. D., S. C. Santos, A. A. Steil, F. Deschamps, A. Barison, F. Campos, M. W. Biavatti Isolation of Syringaldehyde from Mikania laevigata Medicinal: Extract and its Influence on the Fatty Acid Profile of Mice. Brazilian Jour. of Pharmacognosy 18(1): Pojanagaroon, S., C. Kaewrak Mechanical Methods to Stimulate Aloes Wood Formation in Aquiliria crassna Pierre ex H Lec (Kritsana) Trees. ISHS Acta Hort [22 Mei 2007]. Prema, B. R. and P. K. Bhattacharrya Microbial Transformation of Terpenes. Nat. Chem. Lab. India. Rho, H. S., H. S. Baek, J. W. You, S. Kim, J. Y. Lee, D. H. Kim, and I. S. Chang New 5-Hydroxy-2-(hydroxymethyl)-4H-pyran-4- one Derivative has Both Tyrosinase Inhibitory and Antioxidant Properties. Bull. Korean Chem. Soc. 28 (3):

71 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) Rhodes, D Secondary Products Derived from Aromatic Amino Acids: Eugenol and Isoeugenol. [20 Juni 2008]. Rossi, P. G., L. Bao, A. Luciani, P. Panighi, J. M. Desjobert, J. Costa, J. Casanova, J. M. Bolla, and L. Berti (E)-Methy-lisoeugenol and Elemicin: Antibacterial Components of Daucus carota L. Essential Oil Against Campylobacter jejuni. J. Agric. Food Chem. 55 (18): Sengbusch, P. V Phenolic Compounds. unihamburg. de/b-online/e20/20d.htm. [10 April 2008]. Sheikholeslam, S. N., D. P. Weeks Acetosyringone Promotes High Efficiency Transformation of Arabidopsis thaliana Explants by Agrobacterium tumafacien. Plant Molecular Biology 8: Sumarna, Y Budidaya Gaharu. Seri Agribusines. Penebar Swadaya. Jakarta. The Good Scent Company Limonene; Ketoisophorone; Syringaldehyde, Tiglaldehyde. company.com/gca/gc html [20 Juni 2008]. Torssell, K. B. G Natural Product Chemistry. John Wiley & Son Limited. Chichester, New Tork, brisbane, Toronto, Singapore. Trupti, C., P. Bhutada, K. Nandakumar, R. Somani, P. Miniyar, Y. Mundhada, S. Gore, K. Kain Analgesik and Antiimflamatoryactivity of Heartwood of Aquilaria agallocha in Laboratory Animal. Pharmacologyonline 1: Vidhyasekaran, P Physiology of Disease Resistant in Plant. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. Verpoorte, R., R. van der Heijden, J. Memelink General Strategies. In Verpoorte, R. and A. W. Alfermann (eds). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Boston, London. p: Wikipedia Online Pyrrolidine; Propargyl Alcohol; Ptalic Acid; Mesityl Oxide; Maltol; Indole; Glutanic Acid, Furanone; Elemicin; DABCO; Crotonic Acid; Cadinene; Butyric Acid; Benzylacetone; Caprylic Acid. [1 juni 2008]. 65

72 Aspek PRODUKSI Yagura, T., N. Shibayama, M. Ito, F. Kiuchi, G. Honda Three Novel Diepoxy Tetrahydrochromones from Agarwood Artificially Produced by Intentional Wounding. Tetrahedron Letters 46: Yagura, T., M. Ito, F. Kiuchi, G. Honda, Y. Shimada Four New 2-(2-Phenylethyl) Chromone Derivatives from Withered Wood of Aquilaria sinensis. Chem. Pharm. Bull. 51: Zaika, E. I., R. A. Perlow, E. Matz, S. Broyde, R. Gilboa Sub-strate Discrimination by Formamidopyrimidine-DNA Glycosylase. The Jour. of Biol. Chem. 279 (6) issue 6:

73 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) Lampiran 1. Komponen dalam gaharu hasil inokulasi Fusarium sp. pada A. microcarpa Nama senyawa Konsentrasi Relatif (%) Bo Kt Me Mu 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm A. Komponen aromatis yang sudah diidentifikasi sebagai konstituen gaharu 4-(2 -Methyl-3 -butenyl) azulene 2,5-DIMETHOXY-4- ETHYLBENZALDEHYDE 2-Hydroxy-4- methylbenzaldehyde 4-Ethoxy-3- methoxybenzaldehyde 4-METHYL-2,5- DIMETHOXYBENZALDEHYDE 0,09 0,06 0,49-0,07-0, ,08-0,08-0, ,09 0,08-0, , ,35 2,37 3,66 1,52 4,65 1,45 4,42 4,60 Benzaldehyde, 2,4-dihydroxy 0,42 0, ,25 Benzaldehyde, 2,4-dimethoxy- (CAS) 2,4-Dimethoxybenzaldehyde Benzaldehyde, 3,4-dihydroxy- (CAS) 3,4-Dihydroxybenzaldehyde Benzaldehyde, 3-hydroxy- (CAS) m-hydroxybenzaldehyde Benzaldehyde, 4,6-dimethoxy- 2,3-dimethyl- (CAS) 2,4-Dimethoxy-5,6-dimethyl Benzaldehyde, 4-[[4-(acetyloxy)-3,5- dimethoxyphenyl]methoxy]- 3-methoxy Benzaldehyde, 4-hydroxy- (CAS) p-hydroxybenzaldehyde 1,2-benzenedicarboxylic acid, diisooctyl ester (CAS) Isooctyl phthalate 2-Butanone, 4-phenyl- (CAS) Benzylacetone 2-Butanone, 3,3-dimethyl- (CAS) 3,3-Dimethyl-2- butanone , , ,32 0,29 0,26-0,24 0,28-0, , , , , ,54 0, ,43 0,23 0, ,07-0, , ,41-0, ,04-0, ,05-67

74 Aspek PRODUKSI Nama senyawa Konsentrasi Relatif (%) Bo Kt Me Mu 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 2-Butanone, 3-phenyl- (CAS) ,15-4H-1-Benzopyran-4-one, 2-(3,4-dihydroxyphenyl)-7-(. beta.-d-glucopyranosyl) 4H-1-Benzopyran-4- one, 2-methyl- (CAS) 2-Methylchromone 4H-1-Benzopyran-4-one, 5,7-dihydroxy-2-methyl- (CAS) 2-Methyl-5,7-dihydroxy 4H-1-Benzopyran-4-one, 6-dihydroxy-2-methyl- (CAS) 6-Hydroxy-2-methylchromone , , ,06-0, , , Coumaranone ,28 -.gamma.-eudesmol - 0, Hexadecanoic acid, 2-(octadecyloxy)-, tetradecyl ester (CAS) TETRADECYL Hexadecanoic acid, methyl ester (CAS) Methyl palmitate 2,4-Hexadienedioic acid, 3,4-diethyl-, dimethyl ester, (Z,Z)- (CAS) CIS.CIS.D 2,4-Hexadienedioic acid, 3-methyl-4-propyl-, dimethyl ester, (Z,E)- (CAS) , , ,69-0, ,12-0,16-0,09 0,17 -.alpha.-humulene , Naphthalenol, 1,2,3,4-tetrahydro- (CAS) 1-Tetralol 1-Ethynyl-3,4-dihydro-2- naphthalenecarbadehyde Phenol, 2,6-dimethoxy- (CAS) 2,6-Dimethoxyphenol Phenol, 3,4-dimethoxy- (CAS) 3,4-dimethoxyphenol Benzenepropanoic acid, methyl ester (CAS) Methyl hydrocinnamate , , ,94 3,37 2,74 3,67 3,11 3,05 4,22 2,83 0,25 0,33 0,33 0,40 0,24 0,42 0,40 0, ,

75 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) Nama senyawa Propanoic acid, 3-(2-propynyloxy)-, ethyl ester (CAS) ETHYL 3-PROPARGYL Propanoic acid, anhydride (CAS) Propionic anhydride Propanoic acid, ethenyl ester (CAS) vinyl propionate CYCLOPENTANEPROPANOIC ACID, 1-ACETYL-2,2- DIMETHYL-, METHYL Benzenepropanoic acid (CAS) Phenylpropionic acid 3,4,5,6,7,8-HEXAHYDRO-2H- CHROMENE 1,2,3,4,4A,5,6,8A-OCTAHYDRO- NAPHTHALENE Konsentrasi Relatif (%) Bo Kt Me Mu 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm - 0,28-0, ,31 1,02 0, ,44-0, , ,25 0, , , ,58 - Jumlah 12,28 8,95 9,49 16,30 9,95 6,59 13,30 8,62 Rataan untuk kedua jarak suntik 10,61 12,89 8,27 10,96 B. Komponen aromatis yang merupakan pyrolisis dari bagian kayu 4H-Pyran-4-one, 3-Hydroxy-2- methyl- (CAS) Maltol 4H-Pyran-4-one, 5-Hydroxy- 2-methyl- (CAS) 5-hydroxy-2- methyl-4h-pyran-4-one 2-Propanone, 1-(acetyloxy)- (CAS) Acetol acetate 2-Propanone, 1-hydroxy- (CAS) Acetol Ethanone, 1-(4-hydroxy-3,5- dimethoxyphenyl)- (CAS) Acetosyringone 0,14 0,17 0,17 0,21 0,19 0,29 0,14 0,27 0,66-0,18 0, ,20 0, ,15-0,15 0,17-5,57 4,99 3,55 4,26 6,94 3,84 5,87 6,17 0,50 0,58 0,66 0,67 0,56 0,38 0,49 0,65 ACETOVANILLONE ,03-0, Ethanone, 1-(4-hydroxy- 3-methoxyphenyl)- (CAS) Acetovanillone 1,2-Benzenediol (CAS) Pyrocathecol 1,2-benzenediol, 3-methyl- (CAS) 3-methylpyrocathecol - - 0, ,74 0, ,20-0,66 0,58 0,20 1,17 0,19 0,66 0,79 0,28 69

76 Aspek PRODUKSI Nama senyawa Konsentrasi Relatif (%) Bo Kt Me Mu 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 3-Methoxy-pyrocathecol 1,43 1,69 1,06 2,01 1,13 1,37 1,70 1,14 4-METHYL CATHECOL 1,90 0,46 0,19-0, Phenol, 2-methyl- (CAS) o-cresol Phenol, 3-methyl- (CAS) m-cresol Phenol, 4-methyl- (CAS) p -Cresol Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol Phenol, 2-methoxy-4-propyl- (CAS) 5-PROPYL-GUAIACOL Phenol, 3-methoxy- (CAS) m-guaiacol Phenol, 4-ethyl-2-methoxy- (CAS) p-ethylguaiacol ,18 0,27 0,30 0,71 0,18-0,45 0, ,57 0, ,57 1,92 1,82 2,08 1,82 2,19-1,36 0,18 0, ,13 0,15-0, ,22-0,12 0,14-0,39 0,52 0,40 0,35 0,34 0,35 0,50 0,35 Phenol (CAS) Izal - - 0,89 1,07-0,87 0,36 - Jumlah 13,37 11,43 10,28 14,18 11,63 11,31 13,40 11,54 Rataan untuk kedua jarak suntik 12,40 12,23 11,47 12,47 C. Komponen berkarakter odorant lainnya yang belum disebutkan sebagai konstituen gaharu Ascaridole ,39-2H-Pyran-2-one, 6-ethyltetrahydro- (CAS) 6-ETHYL-.DELTA.- VALEROLACTONE Oxacycloheptadec-8-en-2-one (CAS) Ambrettolide Oxacycloheptadecan-2-one (CAS) Dihydroambrettolide Benzoic acid, 3,4,5-trimethoxy-, methyl ester (CAS) 3,4,5-Trimethoxybenzoic Benzoic acid, 4-(methylamino)- Benzoic acid, 4-ethenyl-, methyl ester (CAS) METHYL 4-VINYLBENZOATE ,14-0,05-0,82 0,52-0, ,06-0,64 0, ,03 0, ,

77 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) Nama senyawa Konsentrasi Relatif (%) Bo Kt Me Mu 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm.beta.-bisabolene , Butanone (CAS) Mehtyl ethyl ketone Butyric acid, m-nitrophenyl ester (CAS) m-nitrophenyl butyrate 0,78 0,66 0,98 0,53 1,23 0,55 1,66 2, , Carveol, dihydro-, cis- 0, ,76 0,61 - Cholestane-3,6,7-triol, (3.beta.,5.alpha.,6.beta.,7. beta.)- (CAS) 2,5-furandione, 3-methyl- (CAS) Citraconic anhydride , , Citronellyl acetate ,20.beta.-Cyclocitral ,24 - Cyclopentanone, dimethylhydrazone (CAS) Cyclopentanone dimethylhydrazone , Cyclopropyl carbinol 4,95 6,45 0,65 3,93 4,99 4,17 4,38 4,93 Cyclopentanone (CAS) Dumasin - - 0, Eicosanol (CAS) n-eicosanol 0,33-1,93 0,70-1, TRANS-ISOELEMICIN - 0, Ethanone, 1-(2,5-dihydroxyphenyl)- (CAS) Quinacetophenone Phenol, 2-methoxy-4-(1- propenyl)- (CAS) Isoeugenol Phenol, 2-methoxy-4-(1- propenyl)-, (E)- (CAS) (E)- isoeugenol Phenol, 2-methoxy-4-(2- propenyl)- (CAS) Eugenol , ,28-0,98 1,14 1,25 1,45 1,30 0,71 1,38 0,84-0,12 0,22 0,22-1, BUTYL-2-VALERYLFURAN , (3H)-Furanone, 3-acetyldihydro- (CAS) 2-acetylbutyrolactone ,20 71

78 Aspek PRODUKSI Nama senyawa 2(5H)-Furanone, 5,5-dimethyl- (CAS) 4,4-Dimethylbut-2- enolide 2(5H)-Furanone, 5-methyl- (identity?) (CAS) 2-Penten-4- olide 2(3H)-Furanone, 5-hexyldihydro- (CAS) 4-decanolide 2-Furancarboxaldehyde (CAS) Furfural 2-Furanmethanol (CAS) Furfuryl alcohol 2-Furanmethanol, tetrahydro- (CAS) Tetrahydrofurfuryl alcohol 2-Heptanol, acetate (CAS) 2-HEPTYL ACETATE 2-Heptanone, 3-methyl- (CAS) 3-Methyl-2-heptanone Hexanoic acid, 1-methylethyl ester (CAS) Isopropyl hexanoate Konsentrasi Relatif (%) Bo Kt Me Mu 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm - - 0, , , , ,60 0,31 0,56 0,28 0,74 0,56 0,40 0,75 0,54 0,54 0,26 0,70 1,09 0,98 0,54 1, ,13 0,23-0,35-0,63 0, ,30-0, , ,11-0,06 3-Hexenoic acid - - 0, H-Indole (CAS) Indole 0,64-0,77 0,65-0,51 0,18-1H-Indole, 2-methyl- (CAS) 2-methylindole 6-Nitro-5-hydroxy-1,2- dimethylindole , , ,04 0,02 Indolizine (CAS) Indolizin - - 0, ,36 - Ionol 2-0, pentanone CAS) Diethyl ketone 1-Penten-3-one (CAS) Ethyl vinyl ketone 0, ,39 0,38-0, GAMMA.HEXALACTONE 0,65-0, ,76-3,5-Dihydrodecanoic acid. delta.-lactone - 0, , Muskolactone ,

79 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) Nama senyawa L-isoleucine, N-acetyl- (CAS) N-Acetyl-L-isoleucine 5,7-dimethoxy-2-methylindan- 1-one Konsentrasi Relatif (%) Bo Kt Me Mu 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm , , ,04 Lineolone - - 0, METHYL MALONIC ACID , p-menthane-2-one-1,3,3-d3 (CAS) 2,6,6-TRIDEUTERIO-O- MENTHONE Benzene, 1-methoxy-4-methyl- (CAS) p-methylanisole , ,19 0, , NEROLIDOL ISOMER ,15 4-Nonanol, 4-methyl- (CAS) 4-methyl-4-nonanol 2,5-Norbornanediol (CAS) 2,5-DIHYDROXYNORBOR- NANE Piperidine, 1-nitroso- (CAS) NITROSOPIPERIDINE PIPERIDINE, 1-(1-METHYLPENTYL)- 3-(2,5-DIMETHOXY-PHENYL)- PROPIONIC ACID 3-PHENYL-PROPIONIC ACID ISOPROPYL ESTER , , , ,65-0, , ,50-0,86 0,43 3,56 2,34 3,29 0,50-2, PROPYNOIC ACID - 3, ,93 9H-Purine, 6-methyl-9- (trimethylsilyl)- (CAS) 6-METHYLPURINE, 9-TRIMETHYLSILYL 1,3-Benzenediol, 4-ethyl- (CAS) 4-Ethylresorcinol 1,3-Benzenediol, 5-methyl- (CAS) Orcinol Benzaldehyde, 4-hydroxy- 3,5-dimethoxy- (CAS) Syringaldehyde , ,42-0,21 0,19-0,20 0,13 0,04 0,21 0,15 0,47 0,57 0,52 0,52 0,58 0,40 0,50 0,58 73

80 Aspek PRODUKSI Nama senyawa (E)-2-hydroxy-4 - phenylstilbene Konsentrasi Relatif (%) Bo Kt Me Mu 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm , TRICOSENE 0, Benzaldehyde, 3,4-dimethoxy- (CAS) Vanillin methyl ether Benzaldehyde, 4-hydroxy-3- methoxy- (CAS) Vanillin Benzeneacetic acid,.alpha.- hydroxy-2-methoxy- (CAS) 2-methoxymandelic acid Benzeneacetic acid, 4-hydroxy-3-methoxy- (CAS) Homovanillic acid ,97-0,38 0,40 0,50 0,52 0,59 0,52 0,45 0, , ,20 0,11 0,21 - ISO-VELLERAL , Benzenemethanol, 3,4-dimethoxy- (CAS) Veratryl alcohol 2-Butanone, 4-(4-hydroxy- 3-methoxyphenyl)- (CAS) Zingerone Ethanone, 1-(2-furanyl)- (CAS) 2-Acetyfuran - 0, , ,14-0, ,12-2-ACETYL FURAN , (3H)-Furanone (CAS).alpha.- Furanone 2(3H)-Furanone, 5-methyl- (CAS) 5-Methyl-2-oxo-2,3- DIHYDROFURAN 2(3H)-Furanone, hexahydro- 3-methylene- (CAS) 6-HYDROXYCYCLO - 0,27-0, , , ,15-2(5H)-FURANONE 0,36 1,72 1,70 1,61 2,48 1,77 1,55 2,96 2,5-DIMETHYL-3(2H) FURANONE 2-ETHYL-4-HYDROXY-5- METHYL-3(2H)FURANONE 2-HYDROXY-5-METHYL-2(5H)- FURANONE 3-HYDROXY-5-METHYL-2(5H)- FURANONE - 0, ,17 0,14 0,13-0, , , ,26 74

81 Kajian Kimia Gaharu...(Eka Novriyanti) Nama senyawa 5-HYDROXYMETHYL- DIHYDRO-FURAN-2-ONE HYDROXY DIMETHYL FURANONE 2-(Acetyloxy)-1-[2-(acetyloxy0-2-(3-furanyl)ethyl]-5a- [(acetyloxy)methyl]hexah Konsentrasi Relatif (%) Bo Kt Me Mu 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 5 cm 20 cm 1,23 1,65-1,30 1,02 1,33-1,18 0, , , Methoxy-4-methylphenol - - 0, Phenol, 2,6-dimethoxy-4-(2- propenyl)- (CAS) 4-allyl-2,6- dimethoxyphenol 9H-Xanthen-9-one, 1,3-dihydroxy-6-methoxy-8- methyl- (CAS) 6-O-METHYL- Xanthosine (CAS) Xanthine riboside 2,52 3,13 2,05 3,06 2,80 2,10 3,17 2, , ,23-0,29 Jumlah 18,70 25,93 17,57 19,86 21,62 27,12 25,95 26,33 Rataan untuk kedua jarak suntik 22,31 18,71 24,37 26,14 Total 44,34 46,30 37,33 50,34 43,19 45,01 52,65 46,48 Rataan total untuk kedua jarak suntik 45,32 43,83 44,10 49,56 Keterangan: Referensi: Bo = Bahorok, Kt = Kalimantan Tengah Tamiang Layang, Me = Mentawai, Mu = maluku FAO (2008); Abrishami et al. (2002); Rho et al. (2007); Fotouhi et al. (2008); Sheikholeslam & Weeks (1987); Baker et al. (2004); Hua et al. (2001); Azah et al. (2008); International flavor and fragrance, Inc (2008); Castro et al. (2002); Lynd-Shiveley (2004); ChemYQ (2008); Rossi et al. (2007); Koeduka et al. (2006); Zaika et al. (2004); Valentines et al. (2005); The Good Scent Company (2008); Bunke & schatkowski (1997); Pedroso et al. (2008); Wikipedia encyclopedia Online (2008). 75

82 76

83 3 TEKNOLOGI INDUKSI POHON PENGHASIL GAHARU Erdy Santoso, Ragil Setio Budi Irianto, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Sugeng Santosa, Najmulah, Ahmad Yani, Aryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam PENDAHULUAN Gaharu yang merupakan produk komersil bernilai ekonomis tinggi, sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi penyakit. Gaharu telah diperdagangkan sejak ratusan tahun lalu. Menurut Suhartono dan Mardiastuti (2002), perdagangan produk ini di Indonesia pertama kali tercatat pada abad ke-5 Masehi, di mana China dilaporkan sebagai pembeli utama. Dalam perdagangan internasional, komoditas ini dikenal dengan berbagai nama seperti agarwood, aloeswood, karas, kresna, jinkoh, oudh, dan masih banyak lagi nama lainnya. Bentuk perdagangan gaharu beragam, mulai dari bongkahan, chip, serbuk, dan minyak gaharu (Surata dan Widnyana, 2001). Komoditas berbentuk minyak biasanya diperoleh dari penyulingan atau ekstraksi chip gaharu dari kelas yang bermutu rendah. Saat ini, gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya yang disebut sebagai scent of God, meskipun penggunaan produk ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang wewangian saja. 77

84 Aspek PRODUKSI Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah untuk pengobatan, incense, dan parfum (Barden et al., 2000). In-cense gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan upacara-upacara religius keagamaan, sebagai pengharum ruangan, sembahyang serta benda-benda rohani seperti rosario dan tasbih (Barden et al., 2000). Sementara itu, dalam bidang pengobatan gaharu digunakan sebagai analgesik dan anti imflamatory (Trupti et al., 2007) dan diketahui bermanfaat untuk mengatasi berbagai penyakit seperti sakit gigi, ginjal, rematik, asma, diare, tumor, diuretic, liver, hepatitis, kanker, cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin, juga memiliki sifat anti racun, anti mikrobia, stimulan kerja saraf dan pencernaan (Heyne, 1987; Barden et al., 2000; Adelina, 2004; Suhartono dan Mardiastuti, 2002). Penelitian mengenai berbagai aspek yang terkait dengan gaharu sudah dilakukan sejak lama dan semakin berkembang dewasa ini. Penelitian-penelitian ini terutama didorong oleh berbagai hal seperti pasokan komersil untuk gaharu yang masih sangat tergantung dari produksi alam yang karena tingginya intensitas pemungutan produk ini telah menyebabkan tercantumnya genus utama tanaman penghasil gaharu, Gyrinops dan Aquilaria dalam Appendix II CITES. Selain itu, tidak semua tanaman penghasilnya mengandung gaharu yang hanya terpicu pembentukannya jika terjadi kondisi cekaman. Proses pembentukan gaharu juga membutuhkan waktu yang lama, di mana selama proses tersebut berlangsung dihasilkan variasi mutu dan pada akhir proses dapat diperoleh gaharu dengan mutu paling tinggi (Sumadiwangsa dan Harbagung, 2000). Terbentuknya gaharu pada tanaman penghasilnya, terpicu oleh faktor biotik maupun abiotik. Untuk menghasilkan gaharu secara artifisial, pelukaan mekanis pada batang, pengaruh bahan-bahan kimia seperti metal jasmonat, oli, gula merah, dan yang lainnya dapat memicu pembentukan gaharu. Namun pembentukan gaharu oleh faktor abiotik, seperti yang telah disebutkan sebelumnya tidak menyebabkan terjadinya penyebaran mekanisme pembentukan ini ke bagian lain dari pohon yang tidak terkena efek langsung faktor abiotik tersebut. Lain halnya jika pembentukan gaharu dipicu oleh faktor biotik seperti jamur atau jasad renik lainnya, mekanisme pembentukan dapat menyebar ke bagian lain pada pohon, karena 78

85 Teknologi Induksi Pohon...(Erdy Santoso, dkk) penyebab mekanisme ini adalah mahluk yang melakukan semua aktivitas yang diperlukan untuk kehidupannya. Dengan terjadinya penyebaran pembentukan gaharu ke jaringan lain pada batang pohon, maka kualitas dan kuantitas produk gaharu yang dihasilkan akan lebih memuaskan. BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan yang digunakan pada kegiatan ini adalah 21 isolat Fusarium spp. yang diinokulasi di Laboratorium Mikrobiologi Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Isolat fungi tersebut diperoleh dari batang Aquilaria spp. yang telah menunjukkan adanya pembentukan gaharu secara alami. Batang Aquilaria spp. diambil dari beberapa tanaman gaharu yang terdapat di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Maluku, NTB dan Sulawesi (Tabel 1). Tabel 1. Isolat-isolat yang diamati No Kode Asal lokasi No Kode Asal lokasi 1 Ga 1 Kalimantan Tengah 12 Ga 12 Lampung 2 Ga 2 Maluku 13 Ga 13 Bengkulu 3 Ga 3 Sukabumi 14 Ga 14 Bogor 4 Ga 4 Kalsel 15 Ga 15 Mentawai 5 Ga 5 Kaltim 16 Ga 16 Kaltim LK 6 Ga 6 Belitung 17 Ga 17 Kalbar 7 Ga 7 Riau 18 Ga 18 Yanlapa 8 Ga 8 Bengkulu 19 Ga 19 NTB 9 Ga 9 Jambi 20 Ga 20 Kalsel MIC 10 Ga 10 Sumatera Barat 21 Ga 21 Kalteng TL 11 Ga 11 Gorontalo Media yang digunakan untuk menambahkan fungi, yaitu Potato Dekstrose Agar (PDA). Inokulasi jenis fungi Fusarium spp. pada A. microcarpa pada kegiatan ini bahan berupa pohon A. microcarpa 79

86 Aspek PRODUKSI umur 13 tahun. Untuk fungi pembentuk gaharu asal Gorontalo, Jambi, Kalbar, dan Padang (Sumatera Barat). Alat inokulasi, terdiri dari bor listrik, mata bor ukuran 3 mm, genset, dan lain-lain. B. Metode Untuk identifikasi masing-masing koloni ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan petri, kemudian diinokulasi pada suhu kamar dan diletakkan di ruangan inokulasi selama tujuh hari. Untuk pengamatan morfologi dilakukan melalui mikroskop parameter, yang diamati adalah ukuran diameter koloni, baik secara horizontal maupun vertikal, diamati juga warna koloni dan keberadaan aerial miselium. Identifikasi juga mengamati ciri makrokonidia, mikrokonidia serta bentuk konidiofor. Sediaan kultur dibuat dengan cara memindahkan potongan kecil isolat fungi menggunakan alat pelubang gabus berdiameter lima mm, isolat diletakkan pada gelas obyek yang kemudian ditutup dengan cover glass preparat, diinkubasi dengan cara diletakkan pada ruang tertutup yang kelembabannya dijaga dengan cara memasukkan kapas yang telah dibasahi aquadesh steril. Sediaan kultur diinkubasi selama tujuh hari, setelah itu koloni yang tumbuh pada gelas obyek diamati di bawah mikroskop setelah preparat diberi zat pewarna, yang diamati adalah bentuk dan miselium. C. Teknik Inokulasi 1. Inokulasi Pohon contoh adalah A. microcarpa di Hutan Penelitian Carita. Rancangan acak lengkap dengan perlakuan daerah asal isolat (I), yaitu Fusarium spp. asal Gorontalo (II); Kalimantan Barat (12); Jambi (13) dan Padang (14) serta campuran dari keempat isolat tersebut (15). Masing-masing isolat diinokulasikan pada 3 ulangan. Inokulasi dilakukan pada semua pohon contoh. Sebelum penginjeksian, semua peralatan yang digunakan disterilkan terlebih dahulu dengan alkohol 70% untuk menghindari adanya kontaminasi dari mikrobamikroba lain. Pengeboran dilakukan 80

87 Teknologi Induksi Pohon...(Erdy Santoso, dkk) dengan kedalaman mencapai 1/3 diameter batang dengan tujuan inokulum cair nantinya mencapai kambium dan bagian floem kayu. Inokulum Fusarium spp. cair selanjutnya diinjeksikan sebanyak 1 ml untuk setiap lubang bor di batang pohon. Lubang injeksi dibiarkan terbuka untuk memberi kondisi aerasi bagi mikroba yang diinokulasikan. A B Gambar 1. Pengeboran batang pohon contoh (A) dan injeksi isolat pada lubang bor (B) 2. Pengamatan dan Pengambilan Contoh Gaharu Pengamatan infeksi dilakukan pada umur inokulasi 2 bulan dan 6 bulan dengan mengukur panjang infeksi vertikal dan horizontal yang terjadi pada permukaaan batang A. microcarpa. Pengambilan data dilakukan secara acak pada beberapa titik injeksi inokulasi dan nilai panjang infeksi merupakan rata-rata dari panjang titiktitik infeksi tersebut dalam satu pohon. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keragaman Isolat Fusarium spp. 1. Keragaman Morfologi Isolat Fusarium spp. yang Berasal dari Berbagai Daerah Karakter morfologi aerial miselium, warna koloni dan diameter koloni isolat Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah sangat 81

88 Aspek PRODUKSI beragam (Tabel 2). Keragaman karakter morfologi Fusarium spp. disebabkan oleh perbedaan asal isolat. Tabel 2. Tabel 2. Keragaman morfologi Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah No. Kode isolat Asal lokasi Karakter morfologi Diameter koloni Aerial Warna Koloni pada mm/7 hari Miselium Medium PDA 1 Ga-1 Kalteng 61 Ada,+++ Putih, kuning muda 2 Ga-2 Maluku 49 Ada,++ Putih, coklat muda 3 Ga-3 Sukabumi 48 Ada,+ Coklat muda 4 Ga-4 Kalsel 50 Ada,++ Putih 5 Ga-5 Kaltim 45 Ada,++ Putih 6 Ga-6 Belitung 38 Ada,+ Putih 7 Ga-7 Riau 59 Ada,++ Putih krem 8 Ga-8 Bengkulu 49 Ada,++ Putih 9 Ga-9 Jambi 59 Ada,+++ Putih krem, coklat muda 10 Ga-10 Padang 61 Ada,+++ Putih 11 Ga-11 Gorontalo 58 Ada,+++ Putih kecoklatan 12 Ga-12 Lampung 58 Ada,+++ Putih tulang, merah muda 13 Ga-13 Bangka 59 Ada,+++ Putih 14 Ga-14 Bogor 61 Ada,++ Putih 15 Ga-15 Mentawai 56 Tidak ada Coklet, kuning, putih 16 Ga-16 Kaltim LK 57 Ada,+ Putih, unggu 17 Ga-17 Kalbar 59 Ada,+++ Putih krem 18 Ga-18 Yanlapa 58 Ada,++ Putih, kuning muda 19 Ga-19 Mataram 52 Ada,++ Putih 20 Ga-20 Kalsel MIC 50 Ada,++ Putih, kuning muda 21 Ga-21 Kaltel TL 69 Ada,++ Putih, krem Kelimpahan relatif aerial miselium: + Sedikit, ++ Cukup banyak, +++ Banyak a. Keberadaan Aerial Miselium 82

89 Karakter aerial miselium terdapat hampir pada setiap isolat Fusarium spp. Isolat yang tidak memiliki aerial miselium dijumpai pada Ga-15 asal Mentawai. Walaupun sebagian besar isolat Fusarium spp. memiliki aerial miselium, namun terdapat perbedaan antar isolat jika dilihat berdasarkan kerlimpahan relatif aerial miseliumnya. Isolat Ga-1, Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, dan Ga- 17 memiliki kelimpahan aerial miselium relatif banyak (Tabel 2), sedangkan isolat Ga-3, Ga-6, dan Ga-16 merupakan isolat dengan kelimpahan aerial miselium sedikit. Irawati (2004) melaporkan bahwa secara umum cendawan yang ditumbuhkan pada kondisi terang secara terus-menerus akan membentuk aerial miselium relatif lebih banyak. Aerial miselium yang terbentuk dengan kelimpahan relatif banyak merupakan mekanisme fototropi terhadap kehadiran cahaya (Irawati, 2004). Namun, karena pada penelitian semua isolat yang diuji mendapat perlakuan cahaya yang sama, maka perbedaan kelimpahan aerial miselium adalah disebabkan oleh karakter masing-masing isolat. b. Warna Koloni Selain aerial miselium, keragaman morfologi isolat Fusarium spp. adalah warna koloni. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa warna koloni putih terdapat pada isolat Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga- 8, Ga-10, Ga-13, Ga-14, dan Ga-19 (Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4). Selain warna putih, beberapa isolat memiliki warna putih dan warna kuning muda pada isolat Ga-1, cokelat muda (Ga-2), putih krem (Ga-7, Ga-17, dan Ga-21). Isolat ga-17 dan Ga-21 memiliki kemiripan warna koloni dengan isolat Fusarium yang berasal dari Riau yang telah teridentifikasi dan merupakan spesies Fusarium solani (Luciasih et al., 2006). Fusarium solani merupakan spesies yang kosmopolit dengan ciri khas kelimpahan mikrokonidianya elips. Isolat Ga-10 dan Ga- 11 memiliki warna koloni putih dan warna cokelat muda (peach). Isolat Ga-18, Ga-19, dan Ga-20 memiliki warna koloni putih dan kuning muda. Ditemukan juga isolat yang memiliki warna koloni yang sangat berbeda dengan isolat lain, yaitu warna hifa miselium didominasi 83

90 Aspek PRODUKSI oleh warna ungu namun memiliki warna koloni putih sedikit tipis pada aerial miselium yang terletak pada bagian tepi koloni (Gambar 3). Keragaman yang terdapat pada warna koloni berhubungan dengan pigmen yang dikandung oleh dinding sel hifa. Cendawan yang tidak berpigmen umumnya berwarna hialin. c. Diameter Koloni Diameter koloni Fusarium spp. berkisar antara mm. Semua isolat yang diuji dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu diameter kurang dari 40 mm (isolat Ga-6), isolat dengan diameter antara mm (isolat Ga-2, Ga-4, Ga-5, Ga-8, dan Ga-20), dan isolat dengan diameter lebih dari 50 mm (isolat Ga-1, Ga-3, Ga-7, Ga-9, Ga- 10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, Ga-16, Ga-17, Ga-18, Ga-19, dan Ga-21) (Tabel 2, Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4). Keragaman diameter koloni Fusarium spp. berhubungan dengan kecepatan tumbuh hifa. Selain itu, diperoleh adanya hubungan yang erat antara kecepatan tumbuh hifa dengan kehadiran aerial miselium. Diameter koloni merupakan veriebel yang berhubungan erat dengan kecepatan tumbuh. Pada beberapa isolat Fusarium, kecepatan tumbuh merupakan karakter yang khas pada setiap isolat. Kecepatan tumbuh yang tinggi dapat berhubungan juga dengan kemampuan virulensi. Untuk mengetahui kemampuan virulensi, maka isolat perlu diuji, misalnya terhadap inangnya. 2. Keragaman Mikro dan Makrokonidia serta Konidiofor Isolat Fusarium spp. Fusarium spp. memiliki keragaman pada karakter morfologi juga tampak adanya keragaman karakter mikrokonidia dan makrokonidia dari isolat yang diuji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keragaman terlihat pada karakter jumlah septa makrokonidia, percabangan konidiofor, bentuk, dan kelimpahan mikrokonidia. Jumlah septa makrokonidia dominan berjumlah 2-3 yang dimiliki oleh isolat Ga-1, Ga-3, Ga-5, Ga-6, Ga-7, Ga-8, Ga-10, Ga-18, Ga-20, dan Ga-21. Namun, dari ke-10 isolat tersebut terdapat perbedaan pada 84

91 Teknologi Induksi Pohon...(Erdy Santoso, dkk) percabangan konidifornya. Isolat dengan konidiofor bercabang adalah Ga-18 dan Ga-21; Sedangkan isolat Ga-1, Ga-3, Ga-5, Ga-6, GA-7, Ga-8, dan Ga-10 memiliki konidiofor sederhana (Tabel 3). Gambar 2. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga-2, Ga-3, Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga-7, dan Ga-8) umur tujuh hari pada medium PDA Gambar 3. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, dan Ga- 16) umur tujuh hari pada medium PDA. 85

92 Aspek PRODUKSI Gambar 4. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-17, Ga-18, Ga-19, Ga-20, dan Ga-21) umur tujuh hari pada medium PDA Tabel 3. Keragaman karakter makrokonidia Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah 86 No Kode Makrokonidia Karakter histologi Mikrokonidia Jumlah septa Konidiofor Kelimpahan Bentuk 1 Ga-1 3 Simpel Banyak Elips 2 Ga-2 4 Bercabang Banyak Elips, oval 3 Ga-3 3 Simpel Banyak Elips 4 Ga Simpel Banyak Elips, oval 5 Ga-5 2 Simpel Sedikit Elips 6 Ga-6 3 Simpel Sedikit Elips, oval 7 Ga-7 2 Simpel Sedikit Elips, oval 8 Ga-8 2 Simpel Sedikit Elips, lonjong 9 Ga-9 5 Simpel Sedikit Elips, sekat 10 Ga-10 3 Simpel Banyak Elips, sekat 11 Ga-11 4 Bercabang Banyak Elips 12 Ga-12 5 Simpel Banyak Elips 13 Ga-13 4 Simpel Sedikit Elips 14 Ga-14 7 Simpel Sedikit Elips 15 Ga-15 4 Bercabang Banyak Elips 16 Ga-16 7 Simpel Sedikit Elips, sekat 3 17 Ga-17 5 Bercabang Sedikit Elips 18 Ga-18 3 Bercabang Banyak Elips 19 Ga-19 4 Simpel Banyak Elips 20 Ga-20 2 Bercabang Sedikit Elips, oval 21 Ga-21 3 Bercabang Banyak Elips Isolat Ga-2, Ga-3, dan Ga-15 memiliki jumlah septa empat, namun dari ke-3 isolat tersebut dapat dibedakan berdasarkan

93 Teknologi Induksi Pohon...(Erdy Santoso, dkk) percabangan konidifor dan bentuk mikrokonidianya. Isolat Ga-2 memiliki konidifor bercabang, bentuk mikrokonidianya elips dan oval. Isolat Ga-13 memiliki bentuk konidifor simpel dan Ga-15 bentuk konidifornya bercabang. Mikrokonidia pada berbagai Fusarium memiliki bentuk yang khas, yaitu berbentuk bulan sabit (fusoid) sehingga memungkinkan dapat dengan mudah dibedakan dengan genus lain yang memiliki ciri mirip Fusarium. Genus Fusarium memiliki kemiripan dengan Cylindrocarpon pada karakter morfologi, namun Booth (1971) membedakan Cylindrocarpon karena karakter pangkal konidianya yang relatif tumpul dan tidak memiliki hock/foot cell yang jelas seperti pada Fusarium spp. Isolat Ga-12, Ga-14, dan Ga-16 merupakan isolat yang memiliki jumlah septa makrokonidia relatif banyak, yaitu berkisar 5-7 (Tabel 3). Dua dari tiga isolat tersebut, yaitu isolat Ga-12 dan Ga-14 memiliki kemiripan pada bentuk konidiofor dan bentuk mikrokonidia, namun kedua isolat tersebut berbeda pada tipe makrokonidianya. Isolat Ga-12 memiliki ukuran relatif lebih besar pada makrokonidianya apabila dibandingkan dengan Ga-14 (Gambar 5 dan Gambar 6). Isolat Ga-14 berbeda dengan isolat Ga-16 karena pada isolat Ga-16 mikrokonidianya bersekat (Gambar 7). Luciasih et al. (2006) melaporkan bahwa keragaman antar Fusarium spp. dari 21 isolat Fusarium spp., beberapa isolat telah teridentifikasi sampai pada tingkat spesies. Spesies tersebut merupakan F. sambunicum (isolat Ga-1), F. tricinctum (isolat Ga-2, Ga-3, dan Ga-5), dan F. solani (isolat Ga-4, Ga-6, Ga-7, Ga-8, dan Ga- 9). Di antara ketiga spesies tersebut F. solani keberadaannya paling dominan sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Fusarium solani berbeda dengan F. sambunicum, antara lain berdasarkan karakter kelimpahan dan bentuk mikrokonidianya. Sedangkan F. solani dibedakan dari F. tricinctum berdasarkan karakter bentuk makrokonidianya, juga bentuk mikrokonidianya relatif lebih besar untuk F. solani dengan mikrokonidianya berbentuk elips. Cowan (1999) menerangkan bahwa tanaman memiliki kemampuan yang tidak terbatas dalam mensintesis substansi 87

94 Aspek PRODUKSI aromatis yang kebanyakan merupakan senyawa fenol atau turunan oksigen-tersubstitusinya. Pada umumnya senyawa-senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang seringkali berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan mikroorganisme, serangga ataupun herbivora. Gambar 5. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga- 2, Ga-9, Ga- 12, Ga-15, Ga-17, Ga-20, dan Ga-21) dengan perbesaran 40x Gambar 6. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-4, Ga-5, GA-7, Ga- 8, GA-10, Ga-11, Ga-14, dan Ga-18) dengan perbesaran 40x 88

95 Teknologi Induksi Pohon...(Erdy Santoso, dkk) Gambar 7. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium spp. (isolat Ga-3, Ga-6, Ga-13, Ga-16, dan Ga-19) dengan per-besaran 40x Gaharu merupakan senyawa fitoaleksin dari pohon gaharu sebagai mekanisme pertahanannya terhadap infeksi patogen. Kayu beresin ini merupakan metabolit sekunder yang dibentuk tanaman sebagai respon pertahanan. Pohon penghasil gaharu sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai metabolit sekunder yang beraroma harum (Yuan dalam Isnaini, 2004). Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi maupun keadaan cekaman (Goodman et al. dalam Isnaini, 2004). Metabolit sekunder dalam sistem pertahanan tanaman, baik fitoantisipin maupun fitoaleksin, memainkan peranan penting (Verpoorte et al., 2000). Fitoantisipin adalah senyawa aktif anti mikrobial yang telah terdapat pada tanaman, kadangkala terpicu pengaktifannya saat pelukaan. Fitoaleksin adalah senyawa aktif anti mikrobial yang diproduksi secara de novo setelah pelukaan atau infeksi. Biosintesis keduanya terpicu pada level gen (Verpoorte et al., 2000; Vidhyasekaran, 2000). Metabolit sekunder tanaman yang diturunkan dari terpenoid memiliki berbagai fungsi dalam tanaman, di antaranya sebagai minyak esensial (monoterpenoid), atraktan serangga, fitoaleksin sebagai agen anti mikrobial (sesqui-, di-, dan triterpena). Berdasarkan berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari jalur biosintesis yang terlibat akan berbeda. Terdapat jalur biosintesis yang terpicu pada level gen setelah pelukaan atau infeksi dan ada yang terjadi pada level senyawa, di mana senyawa yang telah ada secara enzimatis dirubah menjadi senyawa aktif ketika pelukaan. Sebagai contoh, biosintesis sesquiterpena tertentu pada solanaceae terpicu oleh infeksi mikroba, sedangkan pada tanaman lain biosintesis sesquiterpenoid 89

96 Aspek PRODUKSI merupakan ekspresi pembentukan yang umum, misalnya pada Morinda citrifolia, anthraquinone biasa ditemukan di seluruh bagian tanaman (Verpoorte, 2000). Konsentrasi metabolit sekunder bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan antar musim. Jenis-jenis tropis dan sub-tropis umumnya mengandung jumlah ekstratif yang lebih banyak dibanding jenis-jenis di daerah temperet (Forestry Comission GIFNFC, 2007). Metabolit sekunder pada kayu dapat disebut sebagai zat ekstratif. Zat ekstratif yang terdiri dari bermacam-macam bahan ini memilki fungsi yang penting dalam daya tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa, dan warna pada kayu. Zat ekstratif pada kayu teras dapat menjadi pertahanan pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hills, 1987). Rowell (1984) menyatakan bahwa di antara fungsi zat ekstratif adalah sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme. Metabolit sekunder tanaman efektif dalam melawan hama dan agen penyakit, karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme (Forestry Comission GIFNFC, 2007). B. Analisis Infeksi Batang Dalam kondisi menghadapi infeksi oleh jamur, pohon penghasil gaharu akan memberi respon untuk mempertahankan dan memulihkan dirinya. Daya tahan pohon akan menentukan pemenang antara pohon dengan penyakit yang disebabkan mikro-organisme tersebut. Dalam hal pembentukan gaharu tentunya diharapkan penyakitlah yang akan menang, sehingga dihasilkan produk gaharu yang diinginkan. Senyawa kimia yang dimiliki pohon merupakan salah satu upaya pertahanan pohon terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Gaharu sendiri telah diidentifikasi sebagai sesquiterpenoid, senyawa pertahanan tipe fitoaleksin. Kerentanan pohon dalam menghadapi infeksi jamur akan berkaitan dengan 90

97 Teknologi Induksi Pohon...(Erdy Santoso, dkk) gaharu yang terbentuk, dapat direfleksikan masing-masing oleh besar infeksi dan komponen kimianya. Pada Gambar 8 terlihat panjang infeksi yang terjadi pada batang pohon A. microcarpa pada umur inokulasi 2 bulan dan 6 bulan. Pada umur inokulasi 2 bulan isolat Fusarium spp. asal Gorontalo memperlihatkan nilai infeksi yang paling besar, yaitu 4,13 cm diikuti oleh isolat campuran, Padang, Kalbar, dan yang terendah adalah infeksi yang terbentuk oleh isolat asal Jambi. Dari hasil analisis sidik ragam, terlihat bahwa asal isolat berpengaruh nyata terhadap panjang infeksi yang terjadi pada batang A. microcarpa. Hasil uji lanjut Duncan memastikan bahwa pada dua bulan sejak inokulasi, isolat asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang paling besar pada batang pohon penghasil gaharu, diikuti oleh isolat campuran (Tabel 4). Berbeda dengan kondisi pada umur 2 bulan, pada umur inokulasi 6 bulan, isolat campuran menyebabkan infeksi yang lebih tinggi dibandingkan isolat yang lain (Gambar 8). Pada saat ini, secara statistik asal isolat tidak lagi memberikan pengaruh nyata terhadap infeksi yang terbentuk pada batang A. microcarpa. Namun sama halnya dengan kondisi pada umur inokulasi 2 bulan, dari Gambar 8 terlihat bahwa infeksi tertinggi masih disebabkan oleh isolat asal Gorontalo dan campuran. Tabel 4. Uji lanjut Duncan untuk infeksi 2 bulan umur inokulasi Asal isolat (Isolate origin) Rataan (Mean value) Jambi 1,857a Kalimantan Barat 2,223a Padang 2,297a Campuran 3,193a Gorontalo 4,133a Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nya-ta pada 0,05 91

98 Aspek PRODUKSI Gambar 8. Panjang infeksi batang A. microcarpa Gambar 9 menunjukkan perubahan panjang infeksi yang terjadi sejak dua bulan inokulasi hingga bulan keenam. Meskipun masih merupakan isolat yang menyebabkan infeksi terbesar, tetapi infeksi bulan keenam oleh isolat asal Gorontalo terlihat tidak mengalami perkembangan, sedangkan infeksi oleh keempat asal isolat yang lain menunjukkan peningkatan yang beragam. Namun begitu, secara statistik untuk bulan keenam inokulasi, asal daerah isolat tidak memberikan pengaruh nyata pada laju infeksi yang terjadi (nilai signifikansi 0,186 pada 5%). Gambar 9. Laju infeksi pada batang A. microcarpa 92

99 Teknologi Induksi Pohon...(Erdy Santoso, dkk) Perkembangan infeksi yang terjadi hingga 6 bulan setelah inokulasi menunjukkan asal daerah isolat tidak lagi memberikan pengaruh yang nyata, meskipun yang terbesar masih disebabkan oleh isolat campuran dan isolat asal Gorontalo. Hal ini diduga ada kaitannya dengan pertahanan masing-masing pohon contoh. Meskipun tetap menyebabkan infeksi yang besar, kekonsistenan perkembangan infeksi sebaiknya diteliti lebih lanjut dengan mengikuti perkembangan laju infeksi oleh isolat asal Gorontalo ini hingga kurun waktu tertentu. Dari perkembangan infeksi pada pohon A. microcarpa ini dapat dikatakan bahwa isolat asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang terbesar, yang berarti isolat ini menghasilkan kuantitas gaharu yang paling besar. Meskipun isolat campuran menunjukkan panjang infeksi yang lebih tinggi saat 6 bulan setelah inokulasi, namun ada kemungkinan hal ini masih merupakan pengaruh dari isolat asal Gorontalo tersebut. KESIMPULAN 1. Secara morfologi isolat Fusarium spp. didominasi warna putih, namun terdapat warna koloni merah muda, kuning, dan ungu. Hampir semua isolat memiliki aerial miselium. Secara histologi isolat Fusarium spp. memiliki karakter makrokonidia bersepta 3-4 dan makrokonidia didominasi oleh bentuk elips. 2. Uji perbedaan kecepatan tumbuh menunjukkan bahwa isolat Ga- 9, Ga-11, dan Ga-17 merupakan isolat yang memiliki kecepatan tumbuh tinggi apabila dibandingkan dengan isolat Fusarium yang lain. 3. Hasil inokulasi Fusarium spp. pada batang Aquilaria microcarpa dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui pendekatan besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat dianggap masing-masing sebagai refleksi kuantitas dan kualitas gaharu yang terbentuk. 4. Isolat Fusarium spp. asal Gorontalo menyebabkan infeksi yang paling besar, jadi sebaiknya isolat ini digunakan untuk inokulasi 93

100 Aspek PRODUKSI pada A. microcarpa jika diinginkan hasil gaharu dalam jumlah besar. DAFTAR PUSTAKA Adelina, N Seed Leaflet : Aquilaria malaccensis Lamk. Forest and Landscape Denmark. [2 Februari 2007]. Barden, A., A.A. Nooranie, M. Teresia, and S. Michael (2000). Heart of The Matter Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for Aquilaria malaccensis, TRAFFIC Network. pp. 2. Booth, C. (1971). The Genus Cylondrocarpon. (England : Commonwealth Mycological Institute). pp Cowan, M Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical microbiology Review.12 (4) : Forestry Commission GIFNFC Chemicals from Trees. http: // treechemicals. csl. gov.uk/review/extraction.cfm. [14 Juli 2007]. Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. pp Hills, W. E Heartwood and Tree Exudates. Berlin : Springer- Verlag. Hua SST Inhibitory Effect of Acetosyringone on Two Aflatoxin Biosynthetic Genes. Applied Microbiology 32 : Irawati Karakterisasi Mikoriza Rhizocstonia dari Perakaran Tanaman Vanili Sehat. Tesis. Magelang. pp Isnaini, Y Induksi Produksi Gubal Gaharu Melalui Inokulasi Cendawan dan Aplikasi Faktor Biotik. Disertasi). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Luciasih, A., D. Wahyuno, dan E. Santoso Keanekaragaman Jenis Jamur yang Potensial dalam Pembentukan Gaharu dari Batang Aquilaria spp. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam III(5): Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Rowell, Rm The Chemistry of Solid Wood. Washington : American Chemical Society. 94

101 Teknologi Induksi Pohon...(Erdy Santoso, dkk) Soehartono, T., A. Mardiastuti CITES and Implementation in Indonesia. Nagao Natural Environment Foundation. Jakarta. Sumadiwangsa, E. S. dan Harbagung Laju Pertumbuhan Tegakan Gaharu (Aquilaria malaccensis) di Riau yang Ditanam dengan Intensitas Budidaya Tinggi dan Manual. Info Hasil Hutan 6 (1) : Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Surata, I K., I M. Widnyana Teknik Budidaya Gaharu. Aisuli 14. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Trupti, C., P. Bhutada, K. Nandakumar, R. Somani, P. Miniyar, Y. Mundhada, S. Gore, K. Kain Analgesik and Anti- Imflamatoryactivity of Heartwood of Aquilaria agallocha in Laboratory Animal. Pharmacology-online 1 : Verpoorte, R.; R van der Heijden, J. Memelink General Strategies. In Verpoorte, R. and Alfermann, A. W. (Editors). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Boston, London. p : Verpoorte, R Plant Secondary Metabolism. In : Verpoorte, R. and Alfermann, A. W. (Editors). Metabolic Engineering of Plant Secondary Metabolism. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Boston, London. p : Vidhyasekaran, P Physiology of Disease Resistant in Plant. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. 95

102 96

103 4 EFEKTIVITAS DAN INTERAKSI ANTARA Acremonium sp. DAN Fusarium sp. DALAM PEMBENTUKAN GUBAL GAHARU PADA Aquilaria microcarpa Gayuh Rahayu Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor Erdy Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Esti Wulandari Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor LATAR BALAKANG Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dihasilkan oleh beberapa spesies pohon gaharu (Aquilaria sp., Magnoliopsida, Thymelaeaceae). Proses pembentukan gubal pada pohon gaharu, hingga saat ini masih terus diteliti. Menurut Nobuchi dan Siripatanadilok (1991), gubal gaharu diduga dapat terbentuk melalui infeksi cendawan. Beberapa spesies Fusarium seperti F. oxyporum, F. bulbigenium, dan F. lateritium telah berhasil diisolasi oleh Santoso (1996). Selain itu, Rahayu et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa isolat Acremonium sp. asal gubal gaharu pada Gyrinops verstegii (sin. A. filaria) dan A. malaccensis mampu menginduksi gejala pembentukan gubal pada pohon gaharu (A. crassna, A. malaccensis, A. microcarpa) umur 97

104 Aspek PRODUKSI 2 tahun. Pada gubal gaharu, hasil induksi cendawan, terdeteksi senyawa oleoresin (Prema dan Bhattacharyya, 1962). Rahayu et al. (2007) dan Rahayu (2008) juga menyatakan bahwa Acremonium sp. merangsang perubahan warna kayu dan pembentukan senyawa terpenoid. Oleh sebab itu, perubahan warna kayu dan adanya senyawa terpenoid dijadikan indikator efektivitas dan interaksi antara inokulan dalam pembentukan gubal. Acremonium sp. dan Fusarium sp. seringkali diperoleh dari satu gejala gubal. Mekanisme infeksi kedua cendawan ini pada satu lokasi infeksi belum dipelajari. Padahal menurut Sticher et al. (1997), pada beberapa kasus infeksi cendawan pada tumbuhan, infeksi cendawan yang pertama dapat membangkitkan resistensi yang disebut Systemic Acquired Resistance (SAR) terhadap infeksi cendawan kedua. Sebagai contoh, Caruso dan Kuc (1977) menyatakan bahwa infeksi F. oxysporum f.sp. cucumerinum dapat membangkitkan SAR tanaman semangka terhadap infeksi Colletotrichum lagenarium. Liu et al. (1995) juga menemukan proses SAR dari infeksi Pseudomonas lachrymans pada timun terhadap F. oxysporum. Infeksi ganda Fusarium sp. dan Acremonium sp. melalui pemanfaatan kedua cendawan tersebut sebagai penginduksi ganda memerlukan informasi awal mengenai kemungkinan terbentuknya SAR yang dibangkitkan oleh Fusarium sp. terhadap Acremonium sp. dan sebaliknya. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan interaksi antara Acremonium sp. terhadap Fusarium sp. dalam pembentukan gubal pada pohon gaharu (A. microcarpa). BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan dan alat yang digunakan adalah pohon A. microcarpa umur 13 tahun di Hutan Penelitian Carita, Banten, biakan Acremonium sp. IPBCC (koleksi IPBCC, Departemen Biologi FMIPA IPB), dan Fusarium sp. yang berasal dari Aquilaria sp. Padang (koleksi Laboratorium Mikrobiologi Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam), larutan gula 2%, 98

105 alkohol, aquades, bor, mata bor berukuran 4 mm, meteran, bahan pelet, dan alat pencetaknya. B. Metode 1. Pembuatan Inokulan Acremonium sp. dan Fusarium sp. diremajakan pada media agaragar kentang dekstrosa (Difco) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Biakan ini akan digunakan sebagai sumber inokulum untuk pembuatan inokulan. Acremonium sp. ditumbuhkan pada media serbuk gergaji selama 2 minggu, kemudian dibentuk berupa pelet dengan ukuran 4 mm x 40 mm. Fusarium sp. ditumbuhkan pada 300 ml media cair, dan diinkubasi selama 3 minggu menggunakan inkubator bergoyang. 2. Uji Efektivitas dan Interaksi Acremonium sp. dan Fusarium sp. Pertama-tama, sederetan lubang dibuat di sekeliling batang utama (mulai ketinggian 0,5-1 m di atas permukaan tanah) dengan mata bor berdiameter 4 mm, dengan kedalaman lubang maksimal 1/3 diameter batang. Jarak antar lubang dalam deretan sekitar 5 cm. Ke dalam deretan lubang ini dimasukkan inokulan 1 sampai lubang dipenuhi oleh inokulan. Seminggu kemudian, pohon dilubangi lagi pada jarak 15 cm secara vertikal dari deretan lubang yang pertama. Ke dalam lubang pada deretan kedua ini dimasukkan inokulan 2. Pasangan inokulan (FA atau AF) adalah set perlakuan. Jarak antar set perlakuan dalam 1 pohon ± 30 cm. Untuk inokulan berupa pelet, lubang diberi larutan gula 2% sebelum pemberian inokulan. Batang yang tidak diberi perlakuan (K), yang dilubangi saja (B), batang yang dilubangi dan diberi larutan gula (G), serta batang dengan perlakuan tunggal (diberi Acremonium sp. saja (AA) atau Fusarium sp. saja (FF)) digunakan sebagai pembanding. Pengamatan dilakukan setiap 1 bulan selama 4 bulan. Efektivitas dan interaksi diukur melalui perkembangan pembentukan gejala gubal di sekitar daerah induksi. Perubahan warna batang dan pembentukan wangi merupakan indikator pembentukan gubal. Batang di sekitar lubang dikupas kulitnya, kemudian zona perubahan warna batang diukur secara horizontal 99

106 Aspek PRODUKSI dan vertikal. Daerah yang menunjukkan perubahan warna kayu dari putih menjadi coklat-kehitaman diambil dengan dipahat dan dibawa ke laboratorium untuk pengamatan selanjutnya. Perubahan warna diamati pada 10 titik untuk setiap pohon. Tingkat perubahan warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem skor (0 = putih, 1 = putih kecoklatan, 2 = coklat, 3 = coklat kehitaman). Tingkat perubahan warna kayu dinyatakan dalam rataan dari hasil pengamatan 3 responden. Wangi ditetapkan berdasarkan sistem skor (0 = tidak wangi, 1 = agak wangi, 2 = wangi). Kayu di sekitar titik inokulasi dipahat, kemudian diamati wanginya secara organoleptik ketika kayu dibakar. Wangi dinyatakan dalam tingkat wangi dan persentase titik induksi dengan kategori agak wangi dan sangat wangi. Tingkat wangi dinyatakan dalam rataan skor dari 3 responden. 3. Deteksi Senyawa Terpenoid Senyawa terpenoid dideteksi dengan metode Lieberman- Burchard (Harborne, 1987). Setelah diamati tingkat wanginya, sampelsampel dari kayu yang mengalami perubahan warna dipisahkan dari bagian yang sehat. Sebanyak 0,4 g kayu yang berubah warna direndam dalam 5 ml etanol absolut panas, kemudian disaring pada cawan petri steril dan diuapkan sampai kering (sampai terbentuk endapan berwarna kuning). Pada endapan ditambahkan 1 ml dietil eter pekat, dihomogenisasi lalu dipindahkan ke tabung reaksi steril, ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H 2 SO 4 pekat. Perubahan warna menjadi merah atau ungu menunjukkan adanya senyawa triterpenoid (Harbone, 1987). Sebanyak 5 ml etanol absolut ditambahkan ke dalam larutan, kemudian absorbansinya diukur dengan spektrofotometer pada λ 268 nm. 4. Analisis Data Data hasil pengamatan (panjang, lebar zona perubahan warna, tingkat perubahan warna, dan tingkat wangi) dianalisis dengan SAS versi 9.1 menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan waktu dan uji F pada α = 5%. Bila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diamati maka setiap taraf perlakuan 100

107 Efektivitas dan Interaksi...(Gayu Rahayu, dkk.) dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan pada taraf 5%. HASIL A. Efektivitas Inokulan dalam Menginduksi Gejala Pembentukan Gubal Gaharu Secara umum semua perlakuan menyebabkan perubahan warna kayu dan merangsang munculnya perubahan aroma kayu (Tabel 1). Pemberian gula menyebabkan gejala pembentukan gubal gaharu menjadi tertekan. Efektivitas inokulan tunggal maupun ganda Acremonium dan Fusarium relatif lebih tinggi dalam merangsang pembentukan gejala gubal gaharu dibandingkan dengan metode induksi lainnya, Sebagai inokulan tunggal A dan F memiliki efektivitas yang relatif sama. Gejala pembentukan gubal akibat inokulan ganda juga cenderung tidak berbeda nyata dari inokulan tunggalnya. Berdasarkan persentase titik induksi pada kategori wangi, inokulan ganda lebih efektif. Di antara inokulan ganda, AF lebih efektif dalam menginduksi pembentukan wangi daripada FA dan inokulan tunggal. Sedangkan pada parameter lainnya, AF justru lebih baik. Tabel 1. Pembentukan gejala gubal gaharu hasil inokulasi cendawan tunggal dan ganda Perlakuan Inokulan tunggal Inokulan ganda Panjang (cm) Perubahan warna kayu Lebar (cm) Warna (skor) Rataan* Wangi (skor) Titik induksi agak wangi (%) Titik induksi wangi (%) AA 2,54ab 0,82a 1,90b 0,63ab 34,37 1,39 FF 3,14a 0,94a 1,45c 0,62ab 31,07 0,00 AF 3,20a 0,87a 1,75b 0,70a 39,55 6,24 FA 3,30a 0,83a 2,18a 0,59ab 20,12 4,16 101

108 Aspek PRODUKSI Perlakuan Kontrol positif Kontrol negatif Panjang (cm) Perubahan warna kayu Lebar (cm) Warna (skor) Rataan* Wangi (skor) Titik induksi agak wangi (%) Titik induksi wangi (%) G 1,86b 0,55b 1,02d 0,38c 10,41 0,00 B 2,87ab 0,73ab 1,16d 0,47bc 11,11 0,00 K 0,00c 0,00c 0,00e 0,00d 0,00 0,00 * dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05 Kayu mengalami perubahan warna dari putih menjadi coklat atau coklat kehitaman (Gambar 1). Pemberian inokulan tidak berpengaruh pada panjang dan lebar zona perubahan warna. Namun panjang zona perubahan warna tertinggi terjadi berturut-turut pada kayu yang diberi perlakuan ganda FA dan AF. Sedangkan tingkat perubahan warna dipengaruhi oleh inokulan. Tingkat perubahan warna tertinggi pada FA dan berbeda nyata dari perlakuan lainnya. Pemberian inokulan juga tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan wangi. Berbeda dengan perubahan warna kayu, tingkat wangi tertinggi terjadi pada kayu yang diberi inokulan ganda AF. Secara rataan nilai tingkat wangi yang terbentuk dari hasil perlakuan inokulan termasuk dalam kategori tidak wangi, Meskipun demikian, pemberian inokulan meningkatkan persentase titik induksi yang wangi. Bahkan inokulan tunggal AA dan inokulan ganda menghasilkan titik induksi pada kategori wangi (Tabel 1). a b c d Gambar 1. Perubahan warna kayu dengan tingkat kegelapan yang berbeda dari (a) intensitas terendah sampai (d) intensitas tertinggi 102

109 Efektivitas dan Interaksi...(Gayu Rahayu, dkk.) Periode induksi berpengaruh pada semua parameter pembentukan gubal kecuali panjang zona perubahan warna (Tabel 2). Secara umum, nilai parameter pembentukan gubal tertinggi terjadi pada bulan ke-2, kecuali tingkat perubahan warna. Pada bulan ke-2 induksi, intensitas warna cenderung naik, tapi intensitas warna kayu pada bulan ke-4 relatif sama dengan bulan ke-3. Tabel 2. Pengaruh periode induksi pada gejala pembentukan gubal gaharu Bulan Panjang (cm) Perubahan warna kayu Lebar (cm) Tingkat (skor) Rataan* Wangi (skor) Titik induksi agak wangi (%) Titik induksi wangi (%) 1 2,46ab 0,68a 0,83c 0,32c 8,43 0,00 2 2,58a 0,71a 1,24b 0,64a 39,47 0,00 3 2,32ab 0,65b 1,67a 0,51b 17,45 0,00 4 2,26b 0,65b 1,65a 0,36c 18,45 6,74 * dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05 B. Interaksi Inokulan 1 dan Inokulan 2 Secara umum inokulan 1 tidak membangkitkan resistensi pohon terhadap inokulan 2 (Tabel 3). Inokulasi F sebelum inokulasi A tidak mempengaruhi pembentukan gejala gubal pada titik A termasuk pembentukan wangi. Kehadiran F justru cenderung meningkatkan respon perubahan warna kayu akibat inokulasi A. Demikian pula inokulasi A sebelum F tidak mempengaruhi pembentukan gejala gubal pada titik F, kecuali warna pada F menjadi lebih gelap dan persentase titik induksi yang wangi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan inokulan tunggalnya. Inokulan ganda AF dan FA menghasilkan masing-masing 8,33% titik induksi pada kategori wangi. Infeksi sekunder juga tidak secara konsisten mempengaruhi infeksi primer (Tabel 4). Inokulasi F sebelum inokulasi A cenderung tidak mempengaruhi pembentukan gejala gubal termasuk tingkat 103

110 Aspek PRODUKSI wangi, kecuali pada perubahan warna kayu. Intensitas warna pada titik induksi F lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tunggalnya. Infeksi kedua oleh F juga cenderung tidak mempengaruhi gejala pembentukan gubal dan tingkat wangi. Infeksi sekunder oleh cendawan yang sama dengan cendawan tidak berpengaruh pada pembentukan gejala gubal (Tabel 5). Meskipun demikian, secara umum nilai parameter gejala gubal pada titik infeksi sekunder lebih rendah daripada pada titik infeksi primernya. Inokulan A dan F memiliki potensi yang relatif sama dalam merangsang pembentukan wangi. Tabel 3. Pengaruh inokulan 1 terhadap inokulan 2 dalam gejala pembentukan gubal gaharu Rataan* Perla-kuan Panjang (cm) Perubahan warna kayu Lebar (cm) Warna (skor) Wangi (skor) Titik induksi agak wangi (%) Titik induksi wangi (%) FAa 2,73abc 0,71bcd 2,15ab 0,60ab 26,37 8,33 AAa 1,96bc 0,66bcd 1,82bc 0,63ab 36,11 0,00 AFf 2,52abc 0,83abcd 1,57cd 0,70a 40,27 8,33 FFf 2,61abc 0,75abcd 1,36de 0,62ab 27,78 0,00 GGg 1,75c 0,53d 1,02e 0,38c 0,00 0,00 BBb 2,40abc 0,65cd 1,13e 0,47bc 0,00 0,00 KKk 0,00e 0,00e 0,00f 0,00d 0,00 0,00 * dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05 Tabel 4. Pengaruh infeksi sekunder dengan cendawan yang berbeda dari cendawan penginfeksi primer Perlakuan Panjang (cm) Perubahan warna kayu Lebar (cm) Warna (skor) Rataan* Wangi (skor) Titik induksi agak wangi (%) Titik induksi wangi (%) FFF 3,68ab 0,99ab 1,53cd 0,62ab 34,37 0,00 FAF 3,87a 0,95abc 2,22a 0,50bc 13,89 0,00 104

111 Efektivitas dan Interaksi...(Gayu Rahayu, dkk.) Perlakuan Panjang (cm) Perubahan warna kayu Lebar (cm) Warna (skor) Rataan* Wangi (skor) Titik induksi agak wangi (%) Titik induksi wangi (%) AAA 3,13abc 0,96abc 1,98ab 0,63ab 32,63 2,78 AFA 3,88a 1,06a 1,93ab 0,70a 38,86 4,15 GGG 1,98bc 0,56d 1,01e 0,38c 20,83 0,00 BBB 3,35abc 0,80abcd 1,20de 0,47bc 13,89 0,00 KKK 0,00d 0,00e 0,00f 0,00d 0,00 0,00 * dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05 Tabel 5. Pengaruh infeksi sekunder cendawan yang sama dengan cendawan penginfeksi primernya Perlakuan Panjang (cm) Lebar (cm) Warna (skor) Rataan* Wangi (skor) Titik induksi agak wangi (%) Titik induksi wangi (%) AAA 3,13abc 0,96abc 1,98ab 0,63ab 32,63 2,78 AAa 1,96bc 0,66bcd 1,82bc 0,63ab 36,11 0,00 FFF 3,68ab 0,99ab 1,53cd 0,62ab 34,37 0,00 FFf 2,61abc 0,75abcd 1,36de 0,61ab 27,78 0,00 * dari 3 ulangan kecuali pada kriteria panjang dan lebar rataan dari 5 ulangan, huruf yang berbeda pada angka pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada uji Duncan pada = 0,05 C. Pembentukan Senyawa Terpenoid Senyawa terpenoid terdeteksi pada semua perlakuan. Pada perlakuan tunggal FF dan gandanya terbentuk warna merah, yang menunjukkan adanya senyawa triterpenoid. Warna merah pada minyak gaharu dijadikan sebagai pembanding kandungan triterpenoid perlakuan. Pada ekstrak kayu B, G, dan inokulan A terbentuk warna hijau. Warna hijau ini menunjukkan adanya senyawa sterol (Harborne, 1987). Sedangkan pada K tidak terbentuk 105

112 Aspek PRODUKSI warna (bening). Hal ini menunjukkan bahwa pada K tidak terdapat senyawa triterpenoid maupun sterol. Kandungan senyawa triterpenoid pada zona perubahan warna bervariasi pada setiap perlakuan selama 4 bsi (Tabel 6). Secara umum, nilai absorbansi ekstrak terpenoid hasil perlakuan kurang dari nilai absorbansi minyak gaharu (0,813) sebagai pembandingnya. Selain itu, secara umum nilai absorban perlakuan inokulan ganda hampir sama dengan inokulan tunggal (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa inokulan ganda tidak efektif dalam meningkatkan kandungan senyawa terpenoid. Inokulan AF maupun FA juga tidak mempengaruhi kandungan terpenoid. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian inokulan 2 tidak mempengaruhi besarnya nilai absorban inokulan 1. Begitu pula dengan nilai absorban inokulan 1 yang tidak dipengaruhi oleh inokulan 2. Pada 3 bsi, perlakuan tunggal FF terbentuk endapan merah dan memiliki nilai absorbansi yang relatif tinggi. Hal ini menunjukkan kandungan triterpenoid yang relatif tinggi pula (Tabel 6). Tabel 6. Nilai absorbasi ekstrak kayu gaharu yang berubah warna Bulan ke- Perlakuan K G 0,29* 0,24* 0,34* 0,14* B 0,12* 0,22* 0,39* 0,45* AF A 0,20** 0,06* 0,25* 0,12** AF F 0,20** 0,05* 0,23** 0,11* FA F 0,12** 0,11** 0,21* 0,06* FA A 0,12** 0,19** 0,23** 0,23* AA 0,15* 0,20* 0,27* 0,40* FF 0,14** 0,06* 0,25** 0,15* * Endapan berwarna hijau; ** Endapan berwarna merah-kecoklatan 106

113 Efektivitas dan Interaksi...(Gayu Rahayu, dkk.) PEMBAHASAN A. Efektivitas Induksi Pohon-pohon yang diberi perlakuan menurun kebugarannya mulai 1 bsi. Penurunan kebugaran ditunjukkan oleh adanya daundaun yang mengalami klorosis pada cabang pertama dan kedua dari daerah lubang induksi dan kemudian daun-daun ini gugur. Secara umum inokulan tunggal mengakibatkan klorosis pada daun-daun di dua cabang dekat lubang induksi. Sedangkan pada pohon yang diberi inokulan ganda klorosis terjadi pada tiga cabang dekat lubang induksi. Berbeda dengan daun-daun pada pohon perlakuan, pada pohon kontrol daun-daun tidak mengalami klorosis sampai akhir pengamatan. Pada 2 bsi, jumlah daun yang mengalami klorosis tidak berbeda dengan 1 bsi, tetapi klorosis hampir memenuhi luasan helai daun. Klorosis mungkin berhubungan dengan ketersediaan hara. Ketersediaan hara terganggu karena jalur distribusinya ke daun terhambat akibat pengeboran. Selain itu, adanya inokulan juga menjadi penyebab klorosis. Caruso and Kuc (1977) menyatakan bahwa Colletotrichum lagenarium menyebabkan klorosis pada daun tanaman semangka dan muskmelon. Pohon semakin merana ketika diserang ulat. Tajuk-tajuk pohon menjadi gundul. Berkurangnya jumlah daun secara drastis dapat menghambat proses fotosintesis, karena daun merupakan tempat utama berlangsungnya fotosintesis. Fotosintat sebagai sumber karbon dalam pembentukan metabolit sekunder antimikrob pun terganggu, karena kemungkinan sumber karbon lebih diutamakan untuk pembentukan tunas baru. Pada akhirnya, perkembangan gejala pembentukan gubal pun terganggu. Perubahan warna kayu terjadi pada semua perlakuan. Pelukaan, larutan gula, inokulasi Acremonium sp. dan Fusarium sp. menyebabkan perubahan warna kayu dari putih menjadi gelap. Menurut Braithwaite (2007) Acremonium sp. dan Fusarium sp. berasosiasi dengan gejala perubahan warna kayu dan dicline pada Quercus sp. di New Zealand. Sebelumnya, Walker et al. (1997) juga menyatakan bahwa perubahan warna kayu menjadi warna coklat (browning) dapat disebabkan oleh serangan patogen (cendawan) 107

114 Aspek PRODUKSI dan kerusakan fisik. Perubahan warna kayu pada gaharu mungkin dapat mengindikasi adanya senyawa gaharu. Hal ini didukung oleh pernyataan Rahayu dan Situmorang (2006), bahwa perubahan warna dari putih menjadi coklat-kehitaman merupakan gejala awal terbentuknya senyawa gaharu. Pemberian larutan gula (G) menekan perkembangan gejala pembentukan gubal gaharu. Hal ini disebabkan karena gula tersebut segera dipergunakan pohon untuk proses penyembuhan daripada dimanfaatkan oleh cendawan. Menurut Nobuchi and Siripatanadilok (1991), perubahan warna kayu menjadi coklat muncul setelah sel-sel kehilangan pati akibat pelukaan. Periode inkubasi cenderung mempengaruhi semua parameter gejala gubal gaharu. Semakin lama periode induksi semakin gelap warna kayu. Sedangkan pada parameter lainnya, nilai tertinggi diperoleh pada bulan ke-2 induksi. Kemungkinan besar fenomena ini berhubungan dengan kebugaran pohon yang menurun mulai bulan ke-2. Berdasarkan persentase titik induksi yang wangi, inokulan ganda lebih baik dari inokulan tunggal maupun cara induksi lainnya. Hal ini membuktikan bahwa wangi merupakan respon spesifik terhadap bentuk gangguan (Rahayu et al., 2007). Aroma wangi mulai terdeteksi pada bulan ke-2 dan menurun pada bulan berikutnya. Aroma wangi merupakan bagian dari senyawa gaharu (Rahayu et al., 2007). Senyawa wangi merupakan senyawa yang mudah menguap sehingga kemungkinan besar tergolong senyawa seskuiterpenoid. Namun demikian metabolisme isopentenil pirofosfat sebagai pekursor pembentukan terpenoid (McGarvey and Croteau, 1995) mungkin tidak berhenti pada produk seskuiterpenoid tetapi dapat masuk dalam jalur metabolisme selanjutnya. Pada penelitian ini senyawa triterpenoid dan sterol juga terdeteksi. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme terpenoid dapat berlangsung terus dan berakhir pada produk selain seskuiterpenoid ketika dipanen. Aroma wangi dan frekuensi wangi pada pemberian inokulan ganda AF relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun, intensitas warna kayu lebih rendah dibandingkan 108

115 Efektivitas dan Interaksi...(Gayu Rahayu, dkk.) dengan pemberian inokulan ganda FA. Hal ini menunjukkan bahwa aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu sebanding dengan intensitas warna kayu. Sesuai dengan pernyataan Rahayu et al. (1999) bahwa terjadinya pembentukan wangi gaharu tidak selalu diikuti oleh perubahan warna kayu. Secara umum inokulan 1 tidak membangkitkan resistensi pohon terhadap inokulan 2. Hal ini berbeda dari hasil penelitian Krokene et al. (1999) yang membuktikan bahwa inokulasi Heterobasidion annosum yang diikuti oleh Ceratocystis polonica menekan pembentukan gejala bluestain pada pohon Norway spruce (Picea abies). Kemungkinan besar hal ini disebabkan aktivitas patologis yang berbeda. Acremonium dan Fusarium dikenal sebagai penyebab busuk batang atau kanker batang pada pohon berkayu. Heterobasidion juga menyebabkan busuk batang tetapi C. polonica adalah penyebab bluestain saja dan tidak menyebabkan busuk batang. Heterobasidion mungkin merangsang pohon membentuk senyawa fitoaleksin yang bersifat anti C. polonica. Kemungkinan lain adalah periode inokulasi antara inokulan 1 dan inokulan 2 yang hanya berselang 1 minggu. Krokene et al. (1999) menyatakan bahwa pada Norway spruce (P. abies) terhadap C. polonica terbentuk SAR setelah 3 minggu infeksi H. annosum. B. Pembentukan Senyawa Gaharu Acremonium sp. dan Fusarium sp. dalam bentuk inokulan tunggal atau inokulan ganda dapat merangsang pohon gaharu membentuk senyawa terpenoid. Paine et al. (1997) menyatakan bahwa serangan cendawan pada pohon Pinus akan merangsang pohon untuk membentuk senyawa terpenoid sebagai pertahanan pohon. Selain itu penelitian sebelumnya, Putri (2007) juga menyatakan bahwa pemberian Acremonium sp. pada A. crassna terbukti dapat merangsang pembentukan senyawa terpenoid. Pada penelitian ini triterpenoid mulai terdeteksi pada 1 bsi. Triterpenoid terdeteksi pada pemberian inokulan tunggal FF dan inokulan ganda yang ditunjukkan dengan terbentuknya endapan berwarna merah pada pengujian Lieberman-Burchard. Sedangkan pada perlakuan B, G, dan inokulan tunggal AA terbentuk warna hijau. 109

116 Aspek PRODUKSI Warna hijau ini mengindikasikan yang terbentuk adalah senyawa sterol. Harborne (1987) menyatakan bahwa sterol merupakan salah satu senyawa yang tergolong ke dalam senyawa terpenoid. SIMPULAN Semua pohon yag diinokulasi menurun kebugarannya sejak 1 bulan setelah inokulasi. Inokulan ganda terutama AF lebih efektif daripada inokulan tunggal dalam merangsang pembentukan wangi. Induksi dengan inokulan 1 yang hanya berselang 1 minggu dari pemberian inokulan 2 tidak membangkitkan resistensi pohon terhadap inokulan 2. Semua inokulan, kecuali inokulan tunggal A merangsang pohon membentuk triterpenoid. DAFTAR PUSTAKA Benhamou, N., S. Gagné, D.L. Quéré, L. Dehbi Bacterial- Mediated Induced Resistance in Cucumber: Beneficial Effect of the Endophytic Bacterium Serratia plymuthica on the Protection Against Infection by Pythium ultimum. Amer. Phytopathol. Soc. 90(1): Braithwaite, M., C. Inglis, M.A. Dick, T.D. Ramsfield, N.W. Waipara, R.E. Beever, J.M. Pay and C.F. Hill Investigation of Oak Tree Decline In Theauckland Region. New Zealand Plant Protection 60: Caruso, F.L., J. Kuc Protection of Watermelon and Muskmelon Against Colletotrichum lagenarium by Colletotrichum lagenarium. Phytopathol. 67: Harbone, J.B Metode Fitokimia. Padmawinata K dan I Sudiro (penerjemah). Institut Teknologi Bandung. Bandung Terjemahan dari: Phytochem Methods. Krokene, P., E. Christiansen, H. Solheim, V.R. Franceschi, A.A. Berryman Induced Resistance to Phatogenic Fungi in Norway Spruce. Plant Physiol. 121:

117 Efektivitas dan Interaksi...(Gayu Rahayu, dkk.) Liu, L., J.W. Kloepper, S. Tuzun Induction of Systemic Resistance in Cucumber by Plant Growth-Promoting Rhizobacteria: Duration of Protection and Effect of Host Resistance on Protection and Root Colonization. Phytopathol. 85: McGarvey, D.J. and F. Croteau Terpenoid Metabolism. Plant Cell 7: Nobuchi, T., S. Siripatanadilok Preliminary Observation of Aquilaria crassna Wood Associated with the Formation of Aloeswood. Bull. Kyoto Univ. Forest 63: Paine, T.D., K.F. Raffa, T.C. Harrington Interactions Among Scolytid Bark Beetles, their Associated Fungi, and Host Conifers. Annu. Rev. Entomol. 42: Rahayu, G., Y. Isnaini, M.I.J. Umboh Potensi Hifomiset dalam Menginduksi Pembentukan Gubal Gaharu. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Purwokerto, September Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Purwokerto. hlm Rahayu, G., A.L. Putri dan Juliarni Acremonium and Methyl- Jasmonate Induce Terpenoid Formation in Agarwood Tree (Aquilaria crassna). Makalah dipresentasikan dalam 3 rd Asian Conference on Crop Protection. Yogyakarta, August Rahayu, G Increasing Fragrance and Terpenoid Production in Aquilaria crassna by Multi-Application of Methyl- Jasmonate Comparing to Single Induction of Acremonium sp. Makalah dipresentasikan dalam International Conference on Microbiology and Biotechnology. Jakarta, November Santoso, E Pembentukan Gaharu dengan Cara Inokulasi. Makalah Diskusi Hasil Penelitian dalam Menunjang Pemanfaatan Hutan yang Lestari. Bogor, Maret Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hlm 1-3. Sticher, L., B. Mauch-Mani, J.P. Métraux Systemic Acquired Resistance. Institute de Biologie Végétale, Université de Fribourg, 3 route A Gockel, 1700 Fribourg. Switzerland. 111

118 112

119 Aspek SILVIKULTUR 113

120 114

121 5 UJI PRODUKSI BIBIT TANAMAN GAHARU SECARA GENERATIF DAN VEGETATIF Atok Subiakto, Erdy Santoso, Maman Turjaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam PENDAHULUAN Pengembangan tanaman gaharu umumnya tidak bertujuan untuk menghasilkan kayu, melainkan ditujukan untuk menghasilkan resin gaharu yang terbentuk dari respon tanaman atas infeksi mikroba, khususnya jamur Fusarium sp., Cylindrocarpon sp., Trichoderma sp., Pythium sp., Phialophora sp., dan Popullaria sp. (Santoso et al., 2007; Daijo and Oller, 2001; Parman et al., 1996; Sidiyasa dan Suharti, 1987). Di alam, kurang dari 5% gaharu terbentuk dari populasi pohon dan bila terbentuk biasanya kurang dari 10% biomas kayu pada pohon yang terinfeksi. Namun gaharu alam dapat mencapai kualitas tertinggi (kelas super) yang harganya bisa mencapai Rp 30 juta/kg. Karena potensi harga yang sangat tinggi, eksploitasi gaharu alam dilakukan tanpa mengindahkan kelestariannya. Akibatnya populasi jenis-jenis gaharu menyusut tajam, sehingga jenis ini dimasukkan dalam Appendix II CITES (Santoso et al., 2007). Konsekuensinya, dalam perdagangan resmi, gaharu harus dihasilkan dari pohon hasil budidaya, bukan dari alam. Budidaya gaharu memerlukan input iptek agar pertumbuhan dan produksi resin gaharu dapat optimal. Dukungan iptek dimaksud 115

122 Aspek SILVIKULTUR berkaitan dengan aspek pembibitan dan penyuntikan stimulan gaharu. Pembahasan makalah ini difokuskan pada aspek pembibitan atau perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu. Perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu dapat dilakukan, baik secara generatif maupun vegetatif. Biji pohon penghasil gaharu tergolong rekalsitran (Hou, 1960). Biji rekalsitran umumnya cepat berkecambah dan tidak dapat disimpan dalam jangka panjang (Roberts and King, 1980). Penerapan perbanyakan vegetatif dan pemuliaan pohon berpotensi untuk menghasilkan bibit klon gaharu yang memiliki keunggulan, baik pertumbuhan maupun produktivitas resin gaharunya. Proyek ITTO PD 425/06 berupaya untuk mengembangkan dan menerapkan iptek pada penanaman pohon penghasil gaharu agar pertumbuhan dan produktivitas resin gaharunya tinggi. Namun informasi iptek mengenai teknik perbenihan dan teknik perbanyakan vegetatif gaharu masih sangat terbatas. Makalah ini menyajikan hasil penelitian berkaitan dengan aspek perbenihan dan perbanyakan stek gaharu. METODE A. Perbanyakan Generatif Pengujian pada perbanyakan generatif dilakukan pada benih (biji) dan cabutan (anakan alam). Benih pohon penghasil gaharu yang digunakan pada uji penyimpanan dan daya kecambah benih adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis asal Sukabumi. Perlakuan pada uji penyimpanan benih adalah waktu (0, 2, 4, 6, dan 8 minggu) dan temperatur penyimpanan (25,4-26,1 o C dan 4,9-6,5 o C). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Bibit cabutan yang digunakan dalam uji waktu simpan cabutan adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis. Perlakuan pada uji waktu simpan bibit cabutan adalah tiga waktu simpan (1, 2, dan 3 hari penyimpanan) serta kondisi penyapihan (dalam sungkup dan tanpa sungkup). Pengujian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. 116

123 Uji Produksi Bibit...(Atok Subiakto, dkk.) B. Perbanyakan Vegetatif Teknik perbanyakan vegetatif yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik stek pucuk. Penelitian dilakukan pada rumah kaca yang menggunakan sistem pendingin kabut KOFFCO system (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Bahan stek yang digunakan pada pengujian ini adalah A. malacensis. Uji produksi bibit stek gaharu dilakukan dalam tiga tahap. Perlakuan pada pengujian pertama menggunakan prosedur rutin, yaitu media campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 2:1. Penyiraman 2 kali seminggu. Pada pengujian kedua perlakuan intensitas penyiraman dikurangi menjadi sekali seminggu dengan media arang sekam. Pada pengujian ketiga, media menggunakan campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 1:1 dan intensitas penyiraman 1 kali pada bulan pertama, 2 kali pada bulan kedua, dan 3 kali pada bulan ketiga. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perbanyakan Generatif Biji gaharu tergolong rekalsitran, sehingga harus secepatnya dikecambahkan. Uji penyimpanan benih dilakukan untuk mengetahui seberapa lama benih gaharu dapat disimpan. Hasil uji pengecambahan biji dari dua kondisi penyimpanan disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Kondisi penyimpanan (kondisi ruang dan dalam re-frigerator) tidak secara nyata mempengaruhi perkecambahan benih (P Anova = 0,0993). Di lain pihak, periode penyimpanan mempengaruhi persen kecam-bah benih (P Anova = < 0,0001). Secara teknis pengecambahan biji gaharu mudah dilakukan, media tabur dapat menggunakan arang sekam Tabel 1. Persen kecambah dari hasil uji penyimpanan biji Periode simpan Kondisi ruang (%) Refrigerator (%) Langsung 82-2 minggu minggu minggu minggu

124 Aspek SILVIKULTUR atau zeolit. Dalam pengujian ini media kecambah yang digunakan adalah arang sekam padi. Pada jenis-jenis biji rekalsitran seperti meranti, penaburan biji dilakukan segera setelah buah yang masak dan jatuh. Pada jenis gaharu penyimpanan pada kondisi ruang selama 2 bulan masih dapat menghasilkan kecambah dengan tingkat keberhasilan 48%. Perkecambahan umumnya dimulai pada minggu kedua dan persen jadi bibit dihitung pada minggu keenam setelah penaburan. Pada Tabel 2 tampak ada penurunan antara persen berkecambah dan persen jadi bibit. Penurunannya cenderung lebih besar bila bibit disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Oleh sebab itu untuk mendapatkan persen jadi bibit yang tinggi, pengecambahan harus dilakukan segera setelah pengunduhan buah. Perbanyakan generatif dapat pula dilakukan dengan menggunakan bibit yang diperoleh dari cabutan di bawah pohon induknya. Pada pengujian penanaman cabutan digunakan bibit gaharu berukuran tinggi 7 cm, kotiledonnya telah luruh. Hasil uji penanaman cabutan disajikan pada Tabel 3. Penggunaan sungkup Tabel 2. Persen jadi bibit (6 minggu setelah penaburan) dari hasil uji penyim-panan biji Periode simpan Kondisi ruang (%) Refrigerator (%) Langsung 74-2 minggu minggu minggu minggu 29 9 Tabel 3. Persen tumbuh bibit cabutan dari uji penyimpanan dan kondisi tanam bibit Periode simpan (hari) Dalam sungkup (%) Tanpa sungkup (%) meningkatkan secara nyata persen tumbuh bibit cabutan (P Anova = < 0,0001). Umumnya bibit cabutan yang masih memiliki kotiledon dapat langsung ditanam dalam kantong plastik tanpa penyungkupan. 118

125 Uji Produksi Bibit...(Atok Subiakto, dkk.) Namun bila kotiledon telah luruh, maka penanaman bibit cabutan harus melalui tahap penyungkupan. Sungkup dapat dibuat dari plastik PVC transparan, penyungkupan harus rapat agar kelembaban dalam sungkup dapat dijaga pada level di atas 95%. Hasil pengujian ini membuktikan bahwa kelembaban tinggi di dalam sungkup mempengaruhi keberhasilan penanaman bibit cabutan. Penyimpanan bibit cabutan selama tiga hari masih memberikan hasil yang cukup baik (76%) bila penanamannya menggunakan sungkup. B. Perbanyakan Vegetatif Uji produksi stek gaharu dilakukan dengan menggunakan teknologi KOFFCO system yang dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan dan Komatsu (Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Teknologi ini mengatur kondisi lingkungan, yaitu cahaya, kelembaban, temperatur, dan media pada tingkat optimal bagi pertumbuhan (Sakai et al., 2002). Hasil uji produksi stek gaharu disajikan pada Tabel 4. Uji produksi stek dilakukan dalam tiga tahap penelitian. Pada tahap pertama digunakan prosedur baku pembuatan stek. Perlakuannya adalah jenis dan wadah tanam (tabur) stek. Ratarata persen jadi stek pada uji tahap pertama berkisar antara 40-47%. Pembuatan stek dinilai dapat diusahakan secara ekonomis bila persen jadi mencapai 70% (Subiakto dan Sakai, 2007). Perlakuan jenis tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,6600) dalam persen jadi stek. Demikian pula perlakuan wadah tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,8276) dalam persen jadi stek. Mengingat persen jadi stek masih di bawah 70%, maka dilakukan pengujian lebih lanjut. Pada pengujian tahap kedua, penyiraman dikurangi menjadi satu kali seminggu, adapun perlakuan yang diuji adalah tiga jenis media (arang sekam padi, pasir, dan zeolit). Hasil pengujian menunjukkan media berpengaruh secara nyata (P Anova = 0,0083) terhadap persen jadi stek. Media terbaik adalah zeolit, namun persen berakar masih di bawah 70%. Zeolit merupakan media dengan porositas yang baik dan tidak ditumbuhi oleh cendawan 119

126 Aspek SILVIKULTUR ataupun alga. Karena zeolit adalah media yang berat dan relatif lebih mahal, maka perlu dicoba media lain yang memiliki tingkat porositas relatif sama dengan zeolit. Pada pengujian ketiga digunakan media campuran cocopeat dan sekam padi yang telah disteril. Perlakuan yang diuji adalah tingkat penyiraman (1 kali seminggu, 2 kali seminggu, dan 3 kali seminggu). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 5%, penyiraman berpengaruh secara nyata terhadap persen berakar stek (P Anova = 0,0210). Penyiraman terbaik adalah dua kali seminggu dengan persen berakar 69%. Efek dari penyiraman adalah menyebabkan jenuhnya media dan meningkatkan pertumbuhan cendawan, termasuk cendawan pembusuk. Tabel 4. Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek Tahapan riset Spesies Perlakuan Persen berakar (%) 40 1 A. crassna Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, media coco-peat : sekam = 2:1 1 A. crassna Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, 42 media coco-peat : sekam = 2:1 1 A. microcarpa Tanpa pot-tray, siram 3 kali seminggu, 44 media coco-peat : sekam = 2:1 1 A. microcarpa Dengan pot-tray, siram 3 kali seminggu, 47 media coco-peat : sekam = 2:1 2 Campuran Media sekam bakar, siram 1 kali 17 A. crassna dan seminggu A. microcarpa 2 Campuran Media pasir, siram 1 kali seminggu 31 A. crassna dan A. microcarpa 2 Campuran A. crassna dan A. microcarpa 3 Campuran A. crassna dan A. microcarpa 3 Campuran A. crassna dan A. microcarpa 3 Campuran A. crassna dan A. microcarpa Media zeolit, siram 1 kali seminggu 55 Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 1 kali seminggu Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 2 kali seminggu Media cocopeat : sekam = 1:1, siram 3 kali seminggu

127 Uji Produksi Bibit...(Atok Subiakto, dkk.) KESIMPULAN 1. Persen kecambah terbaik diperoleh dari benih yang langsung dikecambahkan setelah pengunduhan. Namun dengan mengantisipasi penurunan daya kecambah, benih masih dapat disimpan selama dua bulan. Benih gaharu tidak perlu disimpan dalam refrigerator, cukup disimpan pada suhu ruangan. Penanaman bibit cabutan menggunakan sungkup menghasilkan persen tumbuh lebih baik dibandingkan bila tidak menggunakan sungkup. 2. Media terbaik untuk penyetekan gaharu adalah campuran antara serbuk kulit kelapa (cocopeat) dan sekam padi dengan perbandingan 1:1. Penyiraman terbaik dilakukan dua kali dalam seminggu. Pembuatan stek gaharu tersebut dilaksanakan pada rumah kaca dengan KOFFCO system. DAFTAR PUSTAKA Daijo, V. dan D. Oller Scent of Earth. URL: com/scent-of-earth/alag.html (diakses : 5 Febuari 2001). Hou, D Thymelaceae. In : Flora Malesiana (Van Steenis, C.G.G.J., ed). Series I, Vol. 6. Walter-Noodhoff, Groningen. The Netherland. p Parman, T., Mulyaningsih, dan Y. A. Rahman Studi Etiologi Gubal Gaharu Pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu Pakar Gaharu di Kanwil Dephut Propinsi NTB. Mataram. Sakai, C. and A. Subiakto Pedoman Pembuatan Stek Jenisjenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Badan Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor. Sakai, C., A. Subiakto, H. S. Nuroniah, dan N. Kamata Mass Propagation Method from The Cutting of Three Dipterocarps Species. J. For. Res. 7: Santoso, E., A. W. Gunawan, dan M. Turjaman Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil Gaharu Aquilaria microcarpa. J. Pen. Htn & KA. IV-5 :

128 Aspek SILVIKULTUR Sidiyasa, K. dan M. Suharti Jenis-Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu. Makalah Utama Diskusi Pemanfaatan Kayu Kurang Dikenal. Cisarua, Bogor. Subiakto, A. dan C. Sakai Manajemen Persemaian KOFFCO System. Badan Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor. Roberts, E. H. and M. W. King The Characteristic of Recalcitrant Seeds. In : Recalcitran Crop Seeds (Chin, H. F., and Roberts, E. H., eds). Tropical Press SDN. BHD. Kuala Lumpur, Malaysia Turjaman, M., Y. Tamai, and E. Santoso Arbuscular Mycorrhizal Fungi Increased Early Growth of Two Timber Forest Product Species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria Under Greenhouse Conditions. Mycorrhiza 16 :

129 6 APLIKASI RHIZOBAKTERI PENGHASIL FITOHORMON UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT Aquilaria sp. DI PERSEMAIAN Irnayuli R. Sitepu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Aryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Yasuyuki Hashidoko Lab. of Ecological Chemistry, Division of Applied Bioscience, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University Maman Turjaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam PENDAHULUAN Gaharu (dalam Bahasa Inggris dikenal dengan agarwood atau eaglewood) adalah kayu resin yang bernilai komersial tinggi karena digunakan sebagai dupa, bahan aditif minyak wangi, dan minyak esensial untuk kegiatan keagaman, budaya, bahkan kegiatan sehari-hari. Di alam, perburuan gaharu dilakukan secara agresif dan tidak bijaksana. Pohon penghasil gaharu yang ditemukan dengan ciri-ciri adanya lubang kecil yang disebut lubang semut, ditebang dan dipanen gaharunya. Cara perburuan ini mengancam kelestarian gaharu di habitat alaminya, sehingga untuk mencegah punahnya pohon penghasil gaharu, sejak November 1994, Aquilaria 123

130 Aspek SILVIKULTUR dan Gyrinops, dua genus pohon penghasil gaharu terpenting yang termasuk ke dalam famili Thymelaeaceae (Ordo: Myrtales dan Kelas: Magnoliopsida) telah masuk ke dalam daftar CITES (the Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Appendix II TRAFFIC-CITES-CoP13 Prop.49 (2004) mencatat ada 24 spesies yang termasuk genus Aquilaria dan tujuh spesies termasuk ke dalam genus Gyrinops. Kedua genus ini ditemukan tumbuh alami di paling tidak 12 negara, termasuk Bangladesh, Butan, Kamboja, Indonesia, Lao PRD, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Papua New Guinea (Barden et al. dalam Gunn et al., 2004). Gaharu terjadi melalui proses patogenisitas di mana jenis patogen fungi tertentu menginfeksi jenis pohon tertentu dan sebagai respon terhadap serangan patogen, pohon menghasilkan metabolit sekunder atau senyawa resin yang menyebabkan bau wangi ketika dibakar. Selain ditemukan pada kedua genus di atas, produk unik ini juga dapat terjadi pada beberapa genus tanaman lainnya, yaitu Aetoxylon, Enkleia, Phaleria, Wikstroemia, Gonystylus. Keberadaan gaharu semakin menipis di alam. Agar ketersediaan produk gaharu dan pohon penghasil gaharu tidak punah dan untuk menjaga kesinambungan produksi gaharu yang lestari, perlu upaya budidaya pohon penghasil gaharu. Gaharu hasil budidaya diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan pasokan gaharu untuk ekspor ke negara-negara pemakai. Budidaya merupakan kunci utama dalam meningkatkan produksi gaharu yang semakin menipis. Kegiatan budidaya pohon penghasil gaharu tidak terlepas dari penyediaan bibit yang berkualitas tinggi. Lain halnya dengan komoditas pertanian yang langsung ditanam di lapangan, persiapan bibit kehutanan dilakukan mulai di persemaian. Upaya peningkatan mutu bibit di persemaian dapat dilakukan dengan pemupukan, penggunaan biji yang bermutu baik dan inokulasi mikroba yang dapat memacu pertumbuhan, seperti bakteri penghuni perakaran yang disebut rhizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman (RPPT atau plant growth promoting rhizobacteria). Istilah RPPT digunakan untuk bakteri yang dapat membantu pertumbuhan tanaman melalui 124

131 Aplikasi Rhizobakteri Penghasil...(Irna R. Sitepu, dkk) mekanisme yang beragam, baik secara langsung maupun tidak langsung (Glick, 1995; Kokalis-Burelle et al., 2006). Mekanisme ini meliputi produksi fitohormon, solubilisasi atau mineralisasi fosfat, penambatan nitrogen, sequestration besi oleh siderofor, membantu proses terbentuknya mikoriza, dan pencegahan terjadinya serangan patogen tular tanah (Garbaye, 1994; Glick, 1995; Lucy et al., 2004). Di antara mekanisme ini, fitohormon mendapatkan perhatian penelitian karena aplikasi bakteri penghasil fitohormon dilaporkan meningkatkan produksi tanaman inang secara berkesinambungan (Narula et al., 2006). Narula et al. (2006) mengatakan bahwa dalam studi pemanfaatan bakteri penambat nitrogen untuk meningkatkan produksi tanaman, kandungan nitrogen pada tanaman yang diinokulasi tidak meningkat secara myata, sehingga respon peningkatan pertumbuhan tanaman disebabkan oleh mekanisme lain dan bukan nitrogen, dan diduga adalah produksi fitohormon oleh bakteri penambat nitrogen tersebut. Azospirillum sp. yang dikenal sebagai bakteri penambat nitrogen, misalnya dapat memproduksi tiga jenis fitohormon, yaitu asam indol asetat (AIA/auksin), giberelin (AG), dan kinetin. Sedangkan Azospirillum chroococcum diketahui dapat memproduksi AIA, AG, dan sitokinin (berbagai sumber dalam Narula et al., 2006). Mikroorganisme yang menghuni rhizosfir berbagai macam tanaman umumnya memproduksi auksin sebagai metabolit sekunder sebagai respon terhadap suplai eksudat akar yang berlimpah di zona perakaran. Barbieri et al. (1986) dalam Ahmad et al. (2005) melaporkan bahwa Azospirilum brazilance meningkatkan jumlah dan panjang akar lateral. Sedangkan Pseudomonas putida GR12-2 pada bibit canola meningkatkan panjang akar sampai tiga kali lipat. Dikatakan bahwa bakteri penghasil hormon pertumbuhan diduga memegang peranan penting dalam memacu pertumbuhan tanaman. Namun, sampai saat ini informasi penelitian tentang pemanfaatan bakteri fitohormon untuk tanaman kehutanan di daerah tropis masih terbatas. Untuk menguji hipotesa ini, maka dilakukan penelitian uji aplikasi bakteri penghasil AIA/auksin dalam memacu pertumbuhan bibit penghasil gaharu Aquilaria sp. di persemaian. Dalam penelitian ini, bakteri terlebih dahulu diseleksi secara in vitro untuk 125

132 Aspek SILVIKULTUR mengetahui kapasitasnya sebagai bakteri penghasil fitohormon AIA/auksin. BAHAN DAN METODE A. Bakteri Penghasil Fitohormon: Identifikasi, Karakterisasi in vitro dan Persiapan Inokulum Rhizobakteri diisolasi dari rhizosfir dan rhizoplan bibit atau sapling menggunakan media campuran mineral Winogradsky s bebas N dengan ph 5,6-6,2 yang mengandung 1% sukrosa sebagai sumber karbon dan 0,3% gellan gum sebagai bahan pemadat (Hashidoko et al., 2002). Rhizobakteri ini kemudian diidentifikasi secara molekuler mengikuti metode Weisburg et al. (1991). Analisa sekuens DNA menggunakan BigDye Terminator v3.1 cycle (Applied Biosystems, Foste City, USA) dengan empat pilihan primer, yaitu: F (5 AAACTCAAAGGAATTGACGG 3), R (5 GTATTACCGCGGCTGCTGG 3), F (5 GTCCCGCAACGAGCGCAAC 3), 4. dan/atau 1080RM (5 ACGAGCTGACGACA 3). Homologi sekuens ditelusuri dengan menggunakan BLASTN online DNA database in National Center for Bio-technology Information (NCBI). Seleksi awal rhizobakteri secara in vitro dilakukan untuk mengetahui kemampuannya dalam memproduksi fitohormon (asam indol asetat-aia) melalui karakterisasi kualitatif dan kuantitatif. Katakterisasi kualitatif menggunakan metode colorimetric Brick et al. (1991) yang dimodifikasi sebagai berikut: Rhizobakteri ditumbuhkan dalam media agar Winogradsky s yang dimodifikasi (AWM) yang diberi 100 mg/l L-tryptophan (C 11 H 12 N 2 O 2 ). Segera setelah agar diinokulasi rhizobakteri, media ditumpuk dengan membran nitrocellulose berukuran pori 0,45mm, diameter 47 mm, dan diinkubasi dalam gelap pada suhu 28 C. Setelah inkubasi selama 3 hari, membran dipindahkan dan ditumpuk pada kertas saring berdiameter 55 mm No. 2 (Advantec, Toyo Roshi Kaisha Ltd., 126

133 Aplikasi Rhizobakteri Penghasil...(Irna R. Sitepu, dkk) Tokyo, Japan) yang telah direndam sebelumnya dalam larutan Salkowski. Perubahan warna diamati setelah 30 menit kemudian. Rhizobakteri yang mampu memproduksi AIA akan membentuk cincin halo warna merah di sekitar koloni. Intensitas warna yang terbentuk, kemudian dikelompokkan menjadi merah muda, merah, dan merah tua. Sedangkan karakterisasi AIA secara kuantitatif dilakukan mengikuti metode Narula (2004). Rhizobakteri yang membentuk cincin halo berwarna merah muda sampai merah pekat digunakan untuk uji kuantitatif AIA. Rhizobakteri dikulturkan pada media MW cair yang ditambah dengan 100mg/L L-tryptophan dan diinkubasikan pada suhu 28 C dalam kondisi statis di dalam gelap selama 7 hari. Kemudian larutan Salkowski ditambahkan pada supernatant kultur rhizobakteri. Setelah 0,5 jam, pembentukan warna dibaca pada A 665nm. Strain rhizobakteri yang bereaksi positif dengan larutan Salkowski kemudian diuji untuk mengetahui kemampuannya dalam memacu pertumbuhan akar Vigna radiata sebagai tanaman uji. Namun demikian, uji lanjutan pada V. radiata tidak menunjukkan adanya korelasi yang positif antara intensitas kepekatan warna merah dengan laju pertumbuhan tanaman (tinggi dan total panjang akar). Tidak adanya korelasi yang spesifik ini mengindikasikan bahwa kepekatan warna merah bukan merupakan indikasi tingginya kuantitas IAA yang dihasilkan, melainkan diduga merupakan indikasi perbedaan/variasi derifat dari senyawa indol yang dikonversi dari L-triptophan. Glickmann dan Dessaux (1995) menyatakan bahwa larutan Salkowsky memberikan respon positif tidak hanya terhadap auksin (IAA) melainkan juga terhadap asam indolpirufat dan indoleacetamide. Dari ketiga uji pendahuluan untuk mendapatkan bakteri penghasil AIA, maka dipilih sembilan bakteri (Tabel 1). Selain itu, digunakan juga satu isolat bakteri pemacu asosiasi mikoriza, yaitu Chromobacterium sp. CK8 karena Aquilaria sp. diketahui berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula, untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam membantu terbentuknya asosiasi mikoriza pada bibit Aquilaria sp. 127

134 Aspek SILVIKULTUR B. Inokulasi Bakteri Fitohormon pada Bibit Aquilaria sp. Sel bakteri yang ditumbuhkan pada media cair MW mg/l L-tryptophan diinkubasi dengan menggoyang selama 3 hari pada suhu 28ºC, setelah itu kultur bakteri agak dikentalkan dengan menambahkan 0,5% gellan gum selama 30 menit. Inokulasi dilakukan pada bibit yang berumur 4 minggu dengan cara merendam bibit dalam larutan bakteri selama 30 menit, kemudian ditanam dalam polybag yang berisi 500 g media tanah yang tidak steril. Pada saat penanaman, 1 ml larutan bakteri juga disebarkan di daerah perakaran. Bibit ditumbuhkan di rumah kaca dan disiram setiap hari dengan air keran. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi, diameter, dan bobot kering biomassa. Tabel 1. Informasi bakteri PGPR penghasil fitohormon yang digunakan sebagai inokulum Inang Substrat Sta-dium Asal lokasi Dipterocarpus sp. Rizoplan Sapling ~1 th Nyaru Menteng Hopea sp. Rizoplan Sapling ~1 tah Nyaru Menteng S. teysmanniana Rizoplan Sapling ~1 th Nyaru Menteng S. teysmanniana Rizoplan Sapling ~1 tah Nyaru Menteng Dipterocarpus sp. Rizoplan Sapling ~1th Nyaru Menteng S. teysmanniana Rizoplan Bibit~ 6 bln Nyaru Menteng S. balangeran Rizoplan Sapling ~1 bln S. parviflora Rizoplan Sapling ~1.5 th Pembi-bitan UP Nyaru Menteng Strain bakteri Stenotrophomonas sp. CK34 Bacillus sp. CK41 Azospirillum sp. CK26 Burkholderia sp. CK28 (DQ195889) Burkholderia sp. CK59 (DQ195914) Serratia sp. CK67 NI CK53 NI CK54 NI CK 61 Proteobacteria Chromobacterium sp. CK8 (DQ195926) Sub kelas Bacilli Proteobacteria Proteobacteria Proteobacteria Proteobacteria Proteobacteria Catatan: S: Shorea; H: Hopea; NI: bakteri yang belum teridentifikasi; UP: Universitas Palangkaraya; * isolat mycorrhization helper bacteria; AIA: asam indol asetat Hasil analisa colorimetric AIA Merah Merah muda Merah muda Merah muda pupus Merah muda pupus Merah muda pupus Merah tua Merah tua Merah muda * 128

135 Aplikasi Rhizobakteri Penghasil...(Irna R. Sitepu, dkk) a b Gambar 1. Warna merah yang terbentuk di sekitar koloni setelah direaksikan dengan reagen Salkowski (a): Pembentukan warna pada membrane nitroselulose 3 hari setelah inkubasi; (b): Pembentukan warna pada media cair. Bakteri NICK53 yang membentuk warna merah tua dibanding dengan kontrol media tanpa bakteri C. Rancangan Percobaan dan Analisa Data Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal, yaitu 10 isolat bakteri, yang masing-masing diulang sebanyak 10 bibit per perlakuan. Data dianalisa secara statistik dengan analisa sidik ragam menggunakan program SPSS version 10.0 (SPSS Inc., Chicago, USA). Data yang berbeda nyata diuji lanjut dengan Least Significant Difference untuk mengelompokkan perlakuan yang tidak berbeda nyata. Parameter yang diukur untuk mengetahui respon bibit terhadap inokulasi, yaitu tinggi, diameter, berat kering total, indeks mutu bibit, dan persentase peningkatan pertumbuhan. Analisa persentase peningkatan pertumbuhan dilakukan sebagai berikut: %Peningkatan = Bibit yang diinokulasi bibit kontrol x 100% Bibit kontrol 129

136 Aspek SILVIKULTUR HASIL DAN PEMBAHASAN Bibit Aquilaria sp. menunjukkan respon beragam terhadap inokulasi bakteri fitohormon (Gambar 2). Bakteri fitohormon memberikan pengaruh positif, netral atau negatif terhadap pertumbuhan tanaman jika dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi (kontrol negatif). Respon tanaman diamati melalui pertumbuhan tinggi dan diameter setiap bulannya. Bakteri fitohormon memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman mulai 1-5 bulan setelah inokulasi (P < 0,05). Dua isolat bakteri, yaitu Burkholderia sp. CK28 (DQ195889, β Proteobacteria) dan Chromobacterium sp. CK8 (DQ195926, β Proteobacteria) merupakan isolat yang paling konsisten dalam memberikan pengaruh paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi selama lima bulan setelah inokulasi (Gambar 2). Kedua bakteri ini berasal dari rhizoplan S. teysmanniana umur kurang lebih 1 tahun dan S. parviflora umur kurang lebih 1,5 tahun dari arboretum Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah. Peningkatan pertumbuhan tinggi bibit Aquilaria sp. berkisar antara 12,2-38,7% dibandingkan dengan bibit yang tidak diinokulasi pada lima bulan setelah inokulasi. Semua bibit yang diinokulasi secara signifikan memiliki pertumbuhan tinggi yang lebih baik daripada tanaman kontrol melalui analisa Least Significant Difference (LSD). Pertumbuhan diameter tidak menunjukkan respon yang konsisten terhadap inokulasi (Tabel 2). Respon yang serupa juga telah dilaporkan oleh Sitepu et al. (2007) bahwa respon diameter bibit Shorea selanica terhadap inokulasi RPPT tidak konsisten. Dijelaskan bahwa tanaman hutan pertumbuhannya jauh lebih lambat dari tanaman pertanian sehingga untuk pertumbuhan stadium awal di persemaian, tinggi merupakan parameter yang reliable untuk mengamati respon bibit terhadap inokulasi mikroba pemacu pertumbuhan. Pada habitat hutan yang rimbun dengan kanopi yang bertingkat, bibit yang tumbuh di lantai hutan perlu memiliki kemampuan untuk segera tumbuh tinggi bersaing dengan bibit di sekitarnya untuk mendapatkan cahaya agar dapat tumbuh baik. 130

137 Aplikasi Rhizobakteri Penghasil...(Irna R. Sitepu, dkk) Gambar 2. Pengaruh bakteri PGPR terhadap pertumbuhan tinggi bibit Aquilaria sp. sampai 5 bulan setelah inokulasi. Angka di atas notasi adalah peningkatan pertumbuhan dibanding kontrol Inokulasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, enam bulan setelah inokulasi, juga terhadap berat kering total, rasio pucuk terhadap akar, dan indeks mutu bibit (Gambar 3 dan Gambar 4). Inokulasi juga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan setelah bibit dipindah ke lapangan, bibit cenderung tumbuh lambat (Tabel 2). Bibit Aquilaria sp. ditumbuhkan di bawah tegakan meranti di Hutan Penelitian Dramaga. Tidak responnya bibit terhadap bakteri, enam bulan setelah inokulasi, dapat dijelaskan sebagai berikut: Tanah sebagai media tumbuh dan bibit Aquilaria sp. tidak disterilisasi pada saat inokulasi bakteri sehingga mikroba alami yang terdapat dalam tanah, kemudian bebas untuk berinteraksi dengan bakteri yang diinokulasikan. Diduga tidak adanya respon bibit yang nyata pada bulan keenam dan selanjutnya disebabkan karena bibit telah terinfeksi oleh fungi mikoriza secara alami yang dapat berasal dari tanah maupun air yang dipakai untuk menyiram tanaman walaupun analisa infeksi mikoriza alami tidak dilakukan. Fungi mikoriza dilaporkan baru berperan efektif tujuh bulan setelah inokulasi pada tanaman dipterokarpa, yaitu Shorea leprosula, Shorea acuminata, Hopea odorata, dan Shorea pinanga (Lee, 1990; Yazid et al., 1994; Turjaman et al., 2005). 131

138 Aspek SILVIKULTUR Tabel 2. Tabel 1. Analisa sidik ragam pada parameter pertumbuhan yang diukur Parameter Analisa sidik ragam Diameter (mm) tn tn * * tn tn Tinggi (cm) * * * * * tn Berat Kering Pucuk (g) Berat Kering akar (g) Berat Kering Total (g) Rasio P/A Indeks Mutu Bibit Catatan: tn: tidak nyata pada taraf 0,05 *: nyata pada taraf 0.05; P/A: Pucuk/akar tn tn tn tn tn Gambar 3. Berat kering total bibit Aquilaria sp. yang diinokulasi bakteri 132

139 Aplikasi Rhizobakteri Penghasil...(Irna R. Sitepu, dkk) Gambar 4. Gambar 4. Indeks mutu bibit Aquilaria sp. yang diinokulasi bakteri Pada bibit Aquiliaria sp. dalam penelitian ini, pengaruh mikoriza dimulai lebih awal, yaitu pada enam bulan setelah inokulasi. Bakteri tertentu dapat berperan dalam merangsang terbentuknya asosiasi mikoriza antara fungi mikoriza dan tanaman inangnya. Salah satu dari kedua inokulan yang paling efektif, yaitu Chromobacterium sp. CK8 adalah bakteri yang telah diuji secara in vitro dapat membantu pertumbuhan miselia fungi ektomikoriza Laccaria sp. Penelitian yang dilakukan oleh Poole et al. (2001) menyatakan bahwa bakteri Paenibacillus sp., Burkholderia sp., dan Rhodococcus sp. merangsang infeksi ektomikoriza pada tahapan pembentukan akar lateral antara Laccaria rufus dan Pinus sylvestris. Sedangkan Paenibacillus monteilii dan Paenibacillus resinovorans memacu simbiosis antara Pisolithus alba dengan Acacia holosericea di mana P. monteilii meningkatkan biomassa fungi di dalam tanah (Founoune et al., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Enebak et al. (1998) pada bibit loblolly dan slash pine melaporkan bahwa inokulasi RPPT meningkatkan biomassa tegakan. Pengaruh tidak langsung dari inokulasi RPPT berupa pembentukan asosiasi mikoriza (disebut sebagai mycorrhizal helper bacteria, MHB) juga telah dilaporkan. Pseudomonas fluorescense BBc6R8 memacu simbiosis antara Laccaria bicolor S238N-Douglas fir (Pseudotsuga menziesii) dan efek dari bakteri MHB ini paling efektif pada saat fungi mikoriza tumbuh berada pada kondisi yang tidak optimal (Garbaye, 1994; Brule et al., 2001). 133

140 Aspek SILVIKULTUR Untuk mengetahui apakah fenomena MHB ini juga berlaku untuk Aquilaria sp. dan apakah hipotesa di atas benar, maka perlu uji lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh inokulasi ganda antara bakteri dan fungi mikoriza arbuskula dalam memacu pertumbuhan bibit, baik di persemaian maupun di lapangan. Penelitian yang dilakukan oleh Kashyap et al. (2004) menunjukkan bahwa inokulasi ganda fungi mikoriza arbuskula dan bakteri Azotobacter dengan tambahan asam indol butirat secara nyata meningkatkan survival rate sapling Morus alba (Moraceae) yang ditanam pada kondisi yang bergaram tinggi dari 25-50%. Dalam hal ini bibit bermikroba dapat meningkatkan ketahanan tumbuh tanaman pada kondisi ekstrim. Dalam penelitian ini, pendekatan yang dilakukan adalah menyeleksi bakteri secara in vitro terlebih dahulu sebelum dilakukan uji pada tanaman target di persemaian. Uji in vitro merupakan metode yang praktis, terutama dalam menyeleksi isolat dalam jumlah besar sebelum dilakukan uji selanjutnya. Dari hasil in vitro didapat sembilan bakteri penghasil indol yang kemudian diuji lanjut pada bibit Aquilaria sp. Respon pertumbuhan bibit Aquilaria sp. terhadap inokulasi menghasilkan satu bakteri penghasil indol yang efektif, yaitu Burkholderia sp. CK28 yang menghasilkan warna pink muda pada uji colorimetric. KESIMPULAN Bibit Aquilaria sp. menunjukkan respon beragam terhadap inokulasi bakteri penghasil fitohormon. Inokulasi bakteri penghasil fitohormon dapat meningkatkan tinggi bibit Aquilaria sp. segera setelah inokulasi berturut-turut selama lima bulan. Peningkatan pertumbuhan tinggi bervariasi dari 12,2-38,7% dibandingkan dengan bibit yang tidak diinokulasi. Dua isolat Burkholderia sp. CK28 dan Chromobacterium sp. CK8 adalah dua bakteri yang secara konsisten memacu pertumbuhan tinggi. Uji lanjutan inokulasi ganda dengan fungi mikoriza arbuskula perlu dilakukan untuk mengetahui mikroba yang berperan dalam memacu pertumbuhan bibit pada stadia lanjut di persemaian sebelum dipindah ke lapangan. 134

141 Aplikasi Rhizobakteri Penghasil...(Irna R. Sitepu, dkk) Ucapan Terimakasih Para penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ahmad Yani dan Bapak Zaenal yang telah membantu pengukuran dan perawatan tanaman di Hutan Penelitian Dramaga. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, F., I. Ahmad, dan M.S. Khan Indole acetic acid production by the indigenous isolates of Azotobacter and fluorescent Pseudomonas in the presence and absence of tryptophan. Turkish Journal of Biology 29: Brick, J.M., R.M. Bostock, and S.E. Silverstone Rapid in situ assay for indoleacetic acid production by bacteria immobilized on a nitrocellulose membrane. Applied and Environmental Microbiology 57: Brulé, C., P. Frey-Klett, J.C. Pierrat, S. Courrier, F. Gerard, M.C. Lemoine, J.L. Rousselet, G. Sommer, and J. Garbaye Survival in the soil of the ectomycorrhizal fungus Laccaria bicolor and the effects of mycorrhiza helper Pseudomonas fluorescens. Soil Biology and Bio-chemistry 33: Enebak, S.A., G. Wei, and J.W. Kloepper Effect of plant growthpromoting rhizobacteria on loblolly and slash pine seedlings. Forest Science 44: Founoune, H., R. Duponnois, A.M. Ba, S. Sall, I. Branget, J. Lorquin, M. Neyra, and J.L. Chotte Mycorrhiza Helper Bacteria stimulate ectomycorrhizal symbiosis of Acacia holosericea with Pisolithus alba. New Phytologist 153: Garbaye, J Helper bacteria: a new dimension to the mycorrhizal symbiosis. New Phytologist 128: Glick, B.R The enhancement of plant growth by free-living bacteria. Canadian Journal of Microbiology 41: Glickmann, E. and Y. Dessaux A critical examination of the specificity of the Salkowski reagent for indolic compounds produced by phytopathogenic bacteria. Applied Environmental Microbiology 61:

142 Aspek SILVIKULTUR Gunn, B.V., P. Stevens, M. Singadan, L. Sunari, and P. Chatterton Eaglewood in Papua New Guinea. Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No.51. The Australian National University. Canberra. 18 pp. Hashidoko, Y., M. Tada, M. Osaki, and S. Tahara Soft gel medium solidified with gellan gum for preliminary screening for rootassociating, free-living nitrogen-fixing bacteria inhabiting the rhizoplane of plants. Bio-science Biotechnology Biochemistry 66: Kokalis-Burelle, N., J.W. Kloepper, and M.S. Reddy Plant growth-promoting rhizobacteria as transplants amendments and their effects on indigenous rhizo-sphere microorganisms. Applied Soil Ecology 31: Lee, S.S The mycorrhizal association of the Dipterocarpaceae in the tropical rain forests of Malaysia. AMBIO 19: Lucy, M., E. Reed, and B.R. Glick Applications of free living plant growth-promoting rhizobacteria. Antonie van Leeuwenhoek 86: Narula, N., A. Deubel, W. Gans, R.K. Behl, and W. Merbach Paranodules and colonization of wheat roots by phytohormone producing bacteria in soil. Plant Soil Environment 52: Narula, N Biofertilizer technology-a manual. Department of Microbiology. CCS Haryana Agricultural University, Hisar, India. pp.67. Poole, E.J., G.D. Bending, J.M. Whipps, and D.J. Read Bacteria associated with Pinus sylvestris-lactarius rufus ectomycorrhizas and their effects on mycorrhiza formation in vitro. New Phytologist 151: Sitepu, I.R Screening of plant-growth promoting rhizobacteria from Dipterocarpaceae plants growing in Indonesian tropical rain forests, and investigations of their functions on seedling growth. PhD Dissertation. Hokkaido University. 91 pp. Turjaman, M., Y. Tamai, H. Segah, S.H. Limin, J.Y. Cha, M. Osaki, and K. Tawaraya Inoculation with the ectomycorrhizal fungi 136

143 Aplikasi Rhizobakteri Penghasil...(Irna R. Sitepu, dkk) Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forest 30: Weisburg, W. G., S.M. Barns, D.A. Pelletier, and D.J. Lane S ribosomal DNA amplification for phylogenic study. Journal of Bacteriology 173: Yazid, S.M., S.S. Lee, and F. Lapeyrie Growth stimulition of Hopea spp. (Dipterocarpaceae) seedlings following ectomycorrhizal inoculation with an exotic strain of Pisolithus tinctorius. Forest Ecology Management 67:

144 138

145 7 PENGGUNAAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA EMPAT JENIS Aquilaria Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Ragil S.B. Irianto, Sugeng Sentosa, Aryanto, Ahmad Yani, Najmulah, Erdy Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam PENDAHULUAN Salah satu famili pohon tropika yang sekarang menjadi perhatian dunia internasional adalah Thymelaeaceae. Famili pohon ini sangat penting karena menghasilkan produk gaharu dan kayu mewah untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan di kawasan Asia (Lemmens et al., 1998; Oyen dan Dung, 1999). Thymeleaceae terdiri dari 50 genera dengan Aetoxylon, Gyrinops, Enkleia, Gonystylus, Phaleria, Wikstroemia, dan Aquilaria yang memproduksi gaharu (Ding Hou, 1960). Karena disebabkan tingginya nilai produk gaharu, maka jenisjenis ini mengalami kelebihan pemanenan di seluruh kawasan Asia selama 20 tahun terakhir (Paoli et al., 2001). Pada saat ini Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus dimasukkan ke dalam CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species) Appendix II (CITES 2005). Jenis-jenis Aquilaria pada umumnya banyak dijumpai pada hutan-hutan primer dan sekunder dataran rendah di Indonesia, Papua Nugini, Thailand, Malaysia, Vietnam, India, Bangladesh, Bhutan, Myanmar, China, Cambodia, dan Filipina. Jenis-jenis ini merupakan sumber utama dari kayu gaharu (semacam kayu yang 139

146 Aspek SILVIKULTUR mempunyai resin wangi) yang termasuk dalam urutan teratas dari kelompok hasil hutan bukan kayu bernilai sangat tinggi yang berasal dari hutan tropika. Produk gaharu biasanya digunakan sebagai bahan dasar parfum, incence, obat tradisional, dan produk komersial lainnya (Eurling dan Gravendeel, 2005). Namun demikian, jenis Aquilaria berkurang populasinya di alam, sulit sekali untuk melakukan pengaturan perlindungan genus ini dan termasuk juga dalam pengaturan kelestarian produksi gaharu alami. Ketersediaan nutrisi tanah merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan awal dalam kegiatan penanaman bibit-bibit tanaman hutan pada kondisi lahan hutan yang terdegradasi (Santiago et al., 2002). Pada tahap awal pertumbuhan jenis Aquilaria sering mengalami pertumbuhan yang lambat, sebab pada umumnya kondisi lahan hutan tropika di Indonesia kahat unsur hara terutama N dan P. Pada saat ini kegiatan reforestasi memproduksi ratusan juta bibit tanaman hutan setiap tahunnya. Penggunaan bibit tanaman hutan yang vigor sangat diperlukan dalam kegiatan reforestasi. Pada kenyataannya ketersediaan bibit biasanya cenderung dibuat dengan kualitas rendah dan mengalami defisiensi unsur hara dan pada akhirnya mengalami kematian yang tinggi pada saat telah ditanam di tingkat lapang. Telah banyak dilaporkan dalam beberapa jurnal internasional pentingnya pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula dari beberapa jenis tanaman hutan yang berbeda untuk membantu kegiatan reforestasi. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah diuji dengan hasil yang signifikan pertumbuhannya pada jenis Leucaena leucocephala (Michelsen dan Rosendahl, 1990), Parkia biglobosa, Tamarindus indica, Zizyphus mauritiana (Guissou et al, 1998), Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri and Mukerji, 2004), 11 jenis Eucalyptus (Adjoud et al., 1996), Tectona grandis (Rajan et al., 2000). Dari hasil studi literatur, belum dilaporkan adanya uji inokulasi fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis Aquilaria. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan tingkat pengaruh fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis Aquilaria, baik di tingkat persemaian maupun di lapangan. 140

147 Penggunaan Fungsi Mikoriza...(Maman Turjaman, dkk.) BAHAN DAN METODE A. Perbenihan dan Perkecambahan Benih Aquilaria crassna diperoleh dari Dramaga (Bogor), A. malaccensis dikoleksi dari Desa Gudang (Pulau Bangka), A. microcarpa dari Desa Mianas (Kalimantan Barat), A. beccariana berasal dari Sanggau (Kalimantan Barat). Semua benih Aquilaria spp. direndam selama dua jam, kemudian disterilisasi dengan sodium hypochlorit (5%) selama lima menit. Setelah disterilisasi, benih tersebut dicuci beberapa kali dengan air sampai bersih. Benih Aquilaria spp. dikecambahkan pada bak plastik yang berisi media zeolite. Benih Aquilaria spp. mulai berkecambah 21 hari setelah ditaburkan. B. Media Semai Jenis tanah ultisol diambil dari Hutan Penelitian Haurbentes, Jasinga dan kemudian disimpan di rumah kaca. Media semai tersebut disaring dengan diameter saringan lima mm. ph media adalah 4,7; P tersedia (Bray-1) adalah 0,17 mg kg -1, dan N total (Kjeldahl) was 1.7 mg kg -1. Kemudian media semai disterilisasi pada temperatur 121 o C selama 30 menit. C. Inokulum Mikoriza Arbuskula Fungi mikoriza arbuskula, G. decipiens, G. clarum, Glomus sp. ZEA, dan Glomus sp. ACA diisolasi dari Desa Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah melalui teknik pot kultur. Teknik pot kultur dimulai dengan cara spora tunggal. Inang yang digunakan untuk mempropagasi FMA adalah Pueraria javanica. Pot plastik diisi dengan zeolite steril dan ditambahkan 5 g dari masingmasing jenis FMA. Kemudian ditanam benih P. javanica yang telah berumur enam hari pada pot plastik tersebut. Pot-pot disusun pada rak-rak besi di rumah kaca dan dipelihara selama 90 hari. Spora, hifa eksternal, dan akar yang terkolonisasi dari masing-masing jenis FMA diamati di bawah mikroskop. 141

148 Aspek SILVIKULTUR D. Inokulasi FMA Polybag (ukuran 15 cm x 10 cm) diisi tanah steril 500 g. Inokulasi FMA diberikan 5 g untuk setiap pot dan diletakkan dekat akar semai Aquilaria spp. Semai empat jenis Aquilaria yang tidak diinokulasi sebagai kontrol. Dari hasil penelitian pendahuluan, penggunaan inokulum steril tidak memberikan pengaruh pertumbuhan pada Aquilaria spp. Semai dipelihara dan disiram setiap hari pada kondisi rumah kaca dan diamati selama 6 bulan. Temperatur di rumah kacar berkisar antara o C dan kelembaban udara 80-90%. Gulma dan hama yang mengganggu semai dimonitor setiap hari. E. Parameter Pertumbuhan Percobaan inokulasi pada jenis-jenis Aquilaria terdiri atas (a) kontrol (tanpa inokulum); (b) Entrophospora sp.; (c) G. decipiens; (d) G. clarum; (e) Glomus sp. ZEA; dan (f) Glomus sp. ACA. Desain penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 30 ulangan. Parameter yang diukur adalah tinggi, diameter, dan daya hidup semai. Setelah berumur enam bulan, dilakukan pemanenan pucuk dan akar semai Aquilaria. Semua sampel di-oven pada suhu 70 o C selama tiga hari. Analisis N dan P jaringan semai dilakukan dengan metode semi-micro Kjeldahl dan vanadomolybdate-yellow assay (Olsen and Sommers, 1982). Pada tingkat lapang, percobaan yang dilakukan hanya pada jenis A. beccariana dengan desain RAL yang sama. Percobaan dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Dramaga di bawah naungan tegakan Gmelina arborea. Paramater yang diamati pada tingkat lapang ini adalah tinggi dan diameter A. beccariana yang telah dilakukan selama dua tahun. F. Kolonisasi Mikoriza Arbuskula Akar dari masing-masing jenis Aquilaria dicuci untuk membersihkan partikel-partikel tanah yang masih menempel. Akar dibersihkan dalam 100 g l -1 KOH selama satu jam, diasamkan dalam larutan HCl dan diberi warna dengan 500 mg l -1 tryphan blue dalam lactoglycerol (Brundrett et al., 1996). Kemudian akar 142

149 Penggunaan Fungsi Mikoriza...(Maman Turjaman, dkk.) dicuci dalam 50% glycerol dan 100 potong akar berukuran satu cm diamati di bawah mikroskop compound dengan perbesaran 200x. Penghitungan kolonisasi mikoriza dilakukan dengan sistem skoring keberadaan dan tidak adanya struktur FMA (McGonigle et al., 1990). G. Analisis Statistik Analisis statistik menggunakan ANOVA dengan software StatView 5.0 (Abacus Concepts). Sedangkan analisis statistik lanjutan menggunakan uji beda nyata terkecil (LSD) apabila nilai F signifikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Lima jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) sangat efektif mengkolonisasi sistem perakaran dari A. crassna, A. malaccensis, A. Microcarpa, dan A. beccariana setelah enam bulan diinokulasi pada kondisi rumah kaca. Dari hasil penelitian sebelumnya Santoso et al. (2008), kolonisasi FMA yang terjadi pada akar bibit A. microcarpa dimulai sebelum minggu ke-7 setelah inokulasi. Tidak ada perbedaan nyata antara lima jenis FMA dalam mengkolonisasi perakaran empat jenis Aquilaria. Kolonisasi FMA dapat meningkatkan parameter pertumbuhan tinggi, diameter batang, berat kering, berat basah, dan daya hidup semai Aquilaria di persemaian (Tabel 1). Pada jenis A. crassna, A. Malaccensis, dan A. microcarpa, penggunaan FMA Entrophospora sp. lebih efektif meningkatkan parameter pertumbuhan dibandingkan jenis FMA lainnya. Khusus FMA G. clarum sangat efektif meningkatkan parameter pertumbuhan pada jenis A. beccariana. Semai yang tidak diinokulasi terkolonisasi oleh FMA yang tidak teridentifikasi (1-10%), tetapi tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan empat jenis Aquilaria. Kolonisasi FMA mampu meningkatkan serapan N dan P pada jaringan empat jenis Aquilaria dibandingkan semai yang tidak diinokulasi (Tabel 2). Peningkatan serapan N dan P ini memberikan pengaruh pada peningkatan dari parameter pertumbuhan empat jenis Aquilaria. Pada tingkat lapang, dilakukan kegiatan penanaman hanya pada jenis A. beccariana dua tahun setelah diinokulasi oleh FMA. Hasil penelitian pada tingkat lapang menunjukkan bahwa 143

150 Aspek SILVIKULTUR jenis G. clarum lebih efektif dalam meningkatkan pertumbuhan A. beccariana dibandingkan dengan kontrol dan jenis FMA lain yang telah diujicobakan. Dari hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat penting dalam memanfaatkan inokulum FMA pada jenis-jenis Aquilaria spp. Regenerasi jenis-jenis Aquilaria yang berkelanjutan dapat dibantu dengan adanya pemanfaatan teknologi FMA dimulai pada saat di persemaian. Penggunaan FMA yang efektif dapat meningkatkan pertumbuhan Aquilaria yang sangat signifikan, sehingga biomassa pohon penghasil gaharu yang akan dipanen akan meningkat, artinya produk gaharu hasil induksi yang akan dipanen lebih meningkat produksinya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang terdahulu, yaitu tentang pemanfaatan FMA pada 11 jenis Eucalyptus spp. (Adjoud et al., 1996), 17 jenis tanaman legume (Duponnois et al., 2001), Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri dan Mukerji, 2004). Penelitian pemanfaatan FMA pada jenis-jenis pohon tropika (Muthukumar et al., 2001) dan khususnya jenis-jenis Aquilaria menunjukkan bahwa ada kemungkinan inokulum FMA dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia di persemaian. Meskipun perhitungan tentang keuntungan dan biaya penggunaan FMA belum diuji dalam penelitian ini, hasilnya tidak diragukan lagi menunjukkan FMA dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia dalam penyediaan semai tanaman penghasil gaharu. Selanjutnya mekanisme penggunaan FMA sebagai pemacu pertumbuhan jenisjenis Aquilaria pada tanah masam dan pada tanah yang populasi FMA sangat rendah harus menjadi perhatian dan pertimbangan untuk mengetahui keberadaan FMA alami. Pola penanaman jenis-jenis Aquilaria dengan pola agroforestry sangat membantu mempercepat ketersediaan pohon-pohon penghasil gaharu di Indonesia. Pada prinsipnya, pencampuran dilakukan untuk melindungi pertumbuhan semai Aquilaria pada tahun pertama dan kedua dari sengatan sinar matahari. Jenis-jenis Aquilaria yang telah dikolonisasi oleh FMA akan dapat mempunyai hubungan antara sistem perakaran pohon jenis-jenis lain, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan gaharu dapat terpenuhi. 144

151 Penggunaan Fungsi Mikoriza...(Maman Turjaman, dkk.) Jenis-jenis pohon yang direkomendasikan sebagai pohon pencampur dengan pohon penghasil gaharu adalah pohon karet, kelapa sawit, kelapa, sengon, gmelina, melinjo, jengkol, dan beberapa jenis lain pohon buah-buahan. Gambar 1. Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon penghasil gaharu Aquilaria beccariana setelah dua tahun ditanam di tingkat lapang. K = Kontrol; Ent = Entrophospora sp.; Gg = G. decipiens; G.Aca = Glomus sp. ACA; Gc = G.clarum; G.ZEA = Glomus sp. ZEA. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Penggunaan FMA pada jenis-jenis Aquilaria sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan awal di persemaian dan lapangan. Jenis FMA Entrophospora sp. sangat efektif dalam memacu pertumbuhan tanaman dan serapan nurtisi pada jenis A. malaccensis, A. crassna, dan A. microcarpa. Khusus jenis pohon penghasil gaharu A. beccariana lebih memilih jenis FMA G. clarum untuk memacu pertumbuhan tanaman dan serapan nutrisinya, baik di tingkat semaian maupun lapangan. 2. Direkomendasikan untuk menggunakan jenis FMA efektif untuk mempercepat pertumbuhan jenis-jenis Aquilaria mulai di tingkat persemaian. Ketersediaan inokulum FMA di tingkat 145

152 Aspek SILVIKULTUR pengguna dan sosialisasi penggunaanya perlu dilakukan, agar penggunaan FMA menjadi efektif dan efisien. DAFTAR PUSTAKA Adjoud, D., C. Plenchette, R. Halli-Hargas and F. Lapeyrie Response of 11 Eucalyptus Species to Inoculation with Three Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Mycorrhiza 6 : Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove and N. Malajczuk Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32, Canberra. CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Appendices I, II and III of CITES. UNEP. 48 pp. Ding Hou Thymelaeaceae. In : Van Steenis, C.G.G.J. (ed) Flora Malesiana. Series I, Vol. 6. Wolters-Noordhoff, Groningen, The Netherlands. p Duponnois, R., H. Founoune, D. Masse and R. Pontanier (2005). Inoculation of Acacia holosericea with Ectomycorrhizal Fungi in a Semiarid Site in Senegal : Growth Response and Influences on The Mycorrhizal Soil Infectivity After 2 Years Plantation. Forest Ecology and Management 207 : Eurlings, M.C.M. and B. Gravendeel TrnL-TrnF Sequence Data Imply Paraphyly of Aquilaria and Gyrinops (Thymelaeaceae) and Provide New Perspectives for Agarwood Identification. Plant Systematics and Evolution 254 : Giri, B. and K.G. Mukerji Mycorrhizal Inoculant Alleviates Salt Stress in Sesbania aegyptiaca and Sesbania grandiflora Under Field Conditions : Evidence for Reduced Sodium and Improved Magnesium Uptake. Mycorrhiza 14 : Guisso, T., A.M. Bâ, J-M.Ouadba, S. Guinko and R. Duponnois Responses of Parkia biglobosa (Jacq.) Benth, Tamarindus indica L. and Zizyphus mauritiana Lam. to Arbuscular Mycorrhizal Fungi in a Phosphorus-Deficient Sandy Soil. Biology and Fertility Soils 26 :

153 Penggunaan Fungsi Mikoriza...(Maman Turjaman, dkk.) Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong (Eds.) Timber Trees : Minor Commercial Timbers. Plant Resources of South-East Asia No. 5 (2). Prosea, Bogor, Indonesia. McGonigle, T.P., M.H. Miller, D.G. Evans, G.L. Fairchild and J.A. Swan A New Method Which Gives an Objective Measure of Colonization of Roots by Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi. New Phytologist 115 : Michelsen, A. and S. Rosendhal The Effect of VA Mycorrhizal Fungi, Phosphorus and Drought Stress on The Growth of Acacia nilotica and Leucaena leucocephala Seedlings. Plant and Soil 124 : Muthukumar, T., K. Udaiyan and V. Rajeshkannan Response of Neem (Azadirachta indica A. Juss) to Indigenous Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Phosphate-Solubilizing and Asymbiotic Nitrogen-Fixing Bacteria Under Tropical Nursery Conditions. Biology and Fertility Soils 34 : Olsen, S.R. and L.E. Sommers Phosphorus. In : Page AL (ed.) Methods of Soil Analysis Part 2 Chemical and Micro-biological Properties. American Society of Agronomy, Madison, p Oyen, L.P.A. and N.X. Dung (Eds.) Essential-Oil Plants. Plant Resources of South-East Asia No. 19. Prosea, Bogor, Indonesia. Paoli, G.D., D.R. Peart, M. Leighton and I. Samsoedin An Ecological and Economic Assessment of The Nontimber Forest Product Gaharu Wood in Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia. Conservation Biology 15 : Rajan, S.K., B.J.D. Reddy and D.J. Bagyaraj Screening of Arbuscular Mycorrhizal Fungi for Their Symbiotic Efficiency with Tectona grandis. Forest Ecology and Management 126: Santiago, G.M., Q. Garcia and M.R. Scotti Effect of Post-Planting Inoculation with Bradyrhizobium sp. and Mycorrhizal Fungi on The Growth Brazilian Rosewood, Dalbergia nigra Allem. Ex Benth., in Two Tropical Soils. New Forests 24 : Santoso, E., A.W. Gunawan dan M. Turjaman Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman Penghasil 147

154 Aspek SILVIKULTUR Gaharu. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam IV (5): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. 148

155 Penggunaan Fungsi Mikoriza...(Maman Turjaman, dkk.) Lampiran 1. Kolonisasi mikoriza arbuskula dan pertumbuhan pada jenisjenis Aquilaria setelah enam bulan pada kondisi di rumah kaca Perlakuan Kolonisasi AM Tinggi (cm) Diameter (mm) Berat basah Berat kering Daya Pucuk Akar Pucuk hidup Akar (g) (g) (g) (g) (%) A. crassna Kontrol 4a* 20,90 a 2,9 a 0,68a 1,06a 0,33a 0,13a 70 Entrophospora sp. 73b 46,14 c 5,4 c 12,58b 5,72b 3,82b 1,35b 100 G. decipiens 63b 29,58 b 4,1 b 11,64b 7,36b 3,26b 1,56b 100 G. clarum 78b 32,43 b 4,4 b 8,82b 4,3b 0,86a 0,27a 100 Glomus sp. ZEA 78b 38,94 c 4,7 b 9,92b 4,54b 2,99b 1,01b 87 Glomus sp. ACA 59b 24,60 a 3,7 a 13,46b 6,94b 4,19b 1,52b 100 A. malaccensis Kontrol 1a 16,43a 2,28a 1,46a 0,52a 0,41a 0,18a 73 Entrophospora sp. 97b 25,97c 3,88c 4,68c 2,24c 1,44c 0,48c 100 G. decipiens 88b 21,91b 3,02b 2,92b 1,20b 0,88b 0,27b 100 G. clarum 83b 19,96b 2,94b 2,90b 1,28b 1,95c 0,78c 97 Glomus sp. ZEA 84b 22,33b 3,26b 2,62b 1,38b 0,79b 0,27b 90 Glomus sp. ACA 86b 21,30b 3,12b 2,74b 1,22b 0,89b 0,26b 93 A. microcarpa Kontrol 2a 13,39a 2,23a 0,75a 0,34a 0,23a 0,09a 67 Entrophospora sp. 97b 24,74d 3,89c 4,32c 2,29c 1,31c 0,37b 100 G. decipiens 88b 21,99c 3,67c 3,87c 3,41d 1,44c 0,57c 97 Glomus clarum 83b 20,28c 3,58c 3,46c 1,55b 0,95b 0,30b 93 Glomus sp. ZEA 85b 17,24b 2,84b 2,24b 1,08b 0,64b 0,24b 87 Glomus sp. ACA 87b 18,09b 2,98b 2,70b 1,23b 0,76b 0,28b 90 A. beccariana Kontrol 10a 15,40a 1,90a 0,30a 0,10a 0,09a 0,02a 73 Entrophospora sp. 85b 19,20b 2,37b 5,46e 2,54c 1,76c 0,78c 100 G. decipiens 71b 32,18d 3,94c 4,74d 1,64b 1,59c 0,41b 100 Glomus clarum 79b 45,30e 5,02d 6,74f 2,82d 2,30d 0,91d 100 Glomus sp. ZEA 61b 32,03d 3,75c 3,14b 1,38c 0,97b 0,36b 100 Glomus sp. ACA 84b 26,24c 3,53c 3,84c 1,20b 1,19b 0,28b

156 Aspek SILVIKULTUR Lampiran 2. Kandungan N dan P pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan diinokulasi oleh beberapa jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) Perlakuan N Concentrations (mg/g) N Content (mg/plant) P Concentrations (mg/g) P Content (mg/plant) A. crassna Kontrol 7,9 ± 0,1a* 2,6 ± 0,6a 0,78 ± 0,02a 0,26 ± 0,06a Entrophospora sp. 9,8 ± 0,1c 37,7 ± 4,3d 1,42 ± 0,03e 5,4 ± 0,6d G. decipiens 8,2 ± 0,2a 26,7 ± 4,1c 0,85 ± 0,02b 2,8 ± 0,5c G. clarum 8,7 ± 0,2b 7,4 ± 1,0b 0,95 ± 0,02c 0,82 ± 0,14b Glomus sp. ZEA 8,7 ± 0,1b 25,8 ± 3,6c 0,96 ± 0,03c 2,85 ± 0,41c Glomus sp. ACA 10,8 ± 0,2d 45,9 ± 9,6d 1,22 ± 0,02d 5,14 ± 1,0d A. malaccensis Kontrol 8,6 ± 0,2a 3,49 ± 0,5a 0,65 ± 0,02a 0,26 ± 0,04a Entrophospora sp. 12,1 ± 0,1d 17,28 ± 2,0c 0,73 ± 0,01b 1,06 ± 0,15d G. decipiens 10,7 ± 0,1c 9,02 ± 0,7b 0,85 ± 0,01c 0,75 ± 0,07c G. clarum 10,4 ± 0,1b 20,5 ± 3,3c 0,72 ± 0,02b 1,60 ± 0,20e Glomus sp. ZEA 11,1 ± 0,2c 8,8 ± 0,9b 0,77 ± 0,03b 0,6 ± 0,07b Glomus sp. ACA 10,9 ± 0,2c 9,7 ± 1,8b 1,04 ± 0,03d 0,92 ± 0,17c A. microcarpa Kontrol 7,8 ± 0,1a 1,02 ± 0,07a 0,65 ± 0,02a 0,08 ± 0,01a Entrophospora sp. 9,6 ± 0,2c 16,9 ± 1,5d 1,12 ± 0,03d 1,97 ± 0,18d G. decipiens 9,6 ± 0,1c 11,7 ± 0,9c 0,86 ± 0,01c 1,20 ± 0,18c G. clarum 9,3 ± 0,1c 8,3 ± 0,4b 0,78 ± 0,02b 0,70 ± 0,03b Glomus sp. ZEA 9,4 ± 0,1c 9,17 ± 1,35b 0,77 ± 0,03b 0,75 ± 0,12b Glomus sp. ACA 8,9 ± 0,2b 8,28 ± 0,40b 0,77 ± 0,02b 0,9 ± 0,1b A. beccariana Kontrol 6,0 ± 0,1a 5,02 ± 0,07a 0,40 ± 0,02a 0,10 ± 0,01a Entrophospora sp. 9,9 ± 0,2c 10,2 ± 1,0c 0,98 ± 0,02d 0,87 ± 0,20d G. decipiens 10,6 ± 0,1c 11,8 ± 0,8c 0,89 ± 0,03c 1,25 ± 0,21c G. clarum 11,3 ± 0,d 12,5 ± 0,4d 1,11 ± 0,02e 1,95 ± 0,03e Glomus sp. ZEA 9,4 ± 0,1b 9,17 ± 1,35b 0,77 ± 0,03b 0,75 ± 0,12b Glomus sp. ACA 8,8 ± 0,2b 9,28 ± 0,40b 0,97 ± 0,02d 1,04 ± 0,1c *Nilai-nilai dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P<0.05). 150

157 8 HAMA PADA TANAMAN PENGHASIL GAHARU Ragil SB Irianto, Erdy Santoso, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam PENDAHULUAN Tanaman penghasil gaharu yang ada di Indonesia sekitar 27 jenis, beberapa di antaranya yang cukup potensial menghasilkan gaharu yaitu Aquilaria spp., Aetoxylontallum spp., Gyrinops spp., dan Gonystylus spp. Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh masyarakat terutama di pedalaman Pulau Sumatera dan Kalimantan telah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan, antara lain dalam bentuk dupa untuk upacara keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Produk gaharu saat ini sangat dicari oleh para pencari gaharu, karena harganya yang cukup mahal, dimana harga gaharu super dapat mencapai sekitar Rp 40 juta/kg. Akibat dari harga yang cukup tinggi tersebut, maka para pencari gaharu semakin intensif untuk mendapatkannya, saat ini para pencari gaharu mulai memfokuskan mencari gaharu di Pulau Papua yang potensi alamnya (gaharu) masih cukup tinggi dibandingkan dengan di Pulau Kalimantan atau Sumatera. 151

158 Aspek SILVIKULTUR Dengan semakin langkanya tanaman penghasil gaharu di lapang dan harganya yang cukup tinggi tersebut, maka para peneliti kehutanan, rimbawan, dan masyarakat awam mulai mendomestikasi atau menanam tanaman penghasil gaharu di luar habitat aslinya. Saat ini banyak sekali para petani maupun orang kota yang mulai menanam tanaman penghasil gaharu dalam skala kecil dari beberapa pohon sampai dengan ribuan pohon. Penanaman tanaman penghasil gaharu yang monokultur dan di luar habitat aslinya pada umumnya akan rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Dimulai dua tahun yang lalu banyak sekali sentra penanaman tanaman penghasil gaharu yang terserang hama daun Heortia vitessoides Moore. Sentra penanaman tanaman penghasil gaharu yang terserang hama dan telah dilaporkan terdapat di KHDTK Carita (2008), Sanggau (2007), Mataram (2009), dan lain-lain. HAMA Heortio vitessoides A. Gejala Serangan Gejala serangan tingkat awal adalah permukaan daun yang muda dimakan oleh larva instar pertama dan daun tersebut hanya meninggalkan tulang-tulang daunnya. Pada stadia lebih lanjut ulatulat tersebut mulai menyerang daun-daun pada bagian cabang lebih atasnya dan menyebabkan tanaman menjadi gundul. Ngengat meletakkan telurnya pada bagian bawah permukaan daun yang muda pada cabang tanaman yang dekat dengan permukaan tanah. B. Siklus Hidup 1. Telur Ngengat meletakkan telurnya yang berwarna putih kekuningkuningan yang akan segera berubah menjadi kuning kehijauhijauan dalam bentuk kluster pada bagian bawah permukaan daun 152

159 Hama pada Tanaman...(Ragil SB Irianto, dkk.) yang muda pada cabang tanaman yang dekat dengan permukaan tanah, jumlah telur yang dihasilkan per imago betina berkisar antara Telur akan menetas sekitar 10 hari. 2. Larva/Ulat Ulat H. vitessoides pada instar pertama berwarna kuning pucat dan pada instar selanjutnya menjadi hijau kekuning-kuningan, ulat ini terdiri dari 5 instar dan berlangsung selama 23 hari. Larva instar terakhir pada saat akan berkepompong mulai berhenti makan dan ulat turun ke permukaan tanah untuk berkepompong. 3. Pupa Larva instar terakhir sebelum berkepompong akan berhenti makan dan turun ke permukaan tanah dengan bantuan benang sutera yang dihasilkannya. Ulat akan membungkus dirinya dengan butiran-butiran tanah atau serpihan-serpihan serasah yang ada di permukaan dengan bantuan benang-benang suteranya. Stadium pupa berkisar 8 hari. 4. Ngengat Serangga dewasa berbentuk ngengat yang aktif pada waktu malam. Ngengat betina dapat meletakkan telur sebanyak Stadium ngengat berkisar sekitar 4 hari. Ngengat (4 Hari) Kepompong (8 Hari) Telur (10 Hari) Larva (23 Hari) Gambar 1. Siklus hidup hama daun tanaman penghasil gaharu H. vitessoides 153

160 Aspek SILVIKULTUR STRATEGI PENGENDALIAN A. Jangka Pendek 1. Mekanis Pengendalian mekanis merupakan pengendalian yang sangat sederhana, sudah populer di tingkat petani, yaitu dengan cara mengambil ulat atau telur yang ada di tanaman tersebut. Pengendalian dengan cara ini mudah diaplikasikan terutama pada pesemaian atau bibit yang baru dua tahun, dimana tanaman masih bisa dijangkau oleh orang dengan berdiri tanpa bantuan alat. 2. Kimiawi Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan insektisida kontak, sistemik atau dengan insektisida yang berbahan aktif mikroorganisme, seperti Beauveria bassiana atau Bacillus thuringiensis. Karena hama ini memakan daun dan pada serangan berat umumnya tanaman gundul, maka disarankan pada saat penyemprotan dikombinasikan dengan pemupukan lewat daun dengan pupuk daun seperti gandasil, growmore, dan lain-lain untuk merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru. 3. Nabati Pengendalian nabati merupakan pengendalian yang cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh petani sendiri dengan mengambil bahan-bahan yang ada di sekitar lokasi penanaman tanaman gaharu. B. Jangka Menengah 1. Predator Rangrang Semut rangrang (Oecophylla smaradigna) merupakan serangga yang mudah ditemukan di kampung-kampung pada tanamantanaman yang banyak mengeluarkan nektar, seperti tanaman nangka, rambutan, melinjo, durian, dan lain-lain. Pencarian sarang semut rangrang yang memiliki ratu merupakan salah satu faktor 154

161 Hama pada Tanaman...(Ragil SB Irianto, dkk.) keberhasilan dalam perkembangan populasi serangga tersebut dalam jangka panjang. C. Jangka Panjang 1. Musuh Alami Musuh alami, baik parasit maupun predator dari serangga perusak daun tanaman penghasil gaharu H. vitessoides merupakan suatu cara pengendalian yang sangat diharapkan dalam jangka panjang. 2. Teknik Silvikultur Pengendalian dengan cara teknik silvikultur merupakan salah satu cara pengendalian yang sudah menyatu dengan penanaman suatu tanaman dan termasuk pengendalian yang sudah cukup dikenal oleh petani. DAFTAR PUSTAKA Kalita, J., P. R. Bhattacharyya, and S. C. Nath Heortia vitessoides Moore A Serious Pest of Agarwod Plant (Aquilaria malaccensis Lamk). Geobios 29: Mele, P. V. dan N. T. T. Cuc Semut Sahabat Petani: Meningkatkan Hasil Buah-Buahan dan Menjaga Kelestarian Lingkungan Bersama Semut Rangrang. ICRAF. 59 p. Mele, P. V A Historical Review of Research on The Weaver Ant Oecophylla in Biological Control. Agricultural and Forest Entomology 10:

162 156

163 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI 157

164 158

165 9 PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU MELALUI POLA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) Sri Suharti Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam PENDAHULUAN Gaharu merupakan salah satu tanaman hutan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum. Sejenis resin beraroma ini berasal dari tanaman jenis Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus. Jika tanaman ini terluka, rusak atau terinfeksi, baik disebabkan penyakit atau serangan serangga, akan menghasilkan resin/substansi aromatik berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari jenis kayu tertentu sebagai reaksi dari infeksi/ luka tersebut. Resin ini sebetulnya dapat melindungi tanaman dari infeksi yang lebih besar sehingga dapat dianggap sebagai sistim imun yang dihasilkan (Squidoo, 2008). Tanaman penghasil gaharu secara alami tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Beberapa nama diberikan pada gaharu seperti agarwood, aloeswood, gaharu (Indonesia), ood, oudh, oodh (Arab), chenxiang (China), pau d aquila (Portugis), bois d aigle (Perancis), dan adlerholz (Jerman). Aquilaria yang merupakan tanaman penghasil gaharu saat ini menjadi jenis yang dilindungi 159

166 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI di banyak negara dan eksploitasi gaharu dari hutan alam dianggap sebagai kegiatan ilegal. Kesepakatan internasional seperti CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang disepakati oleh 169 negara ditetapkan untuk menjamin bahwa perdagangan gaharu tidak mengganggu survival dari Aquilaria. Meskipun demikian, eksploitasi gaharu secara ilegal ternyata tetap berlangsung dan konsumen yang kurang memahami hal ini secara tidak sadar justru menciptakan permintaan yang tinggi yang dapat membahayakan keberadaan tanaman Aquilaria (Blanchette, 2006). Sampai saat ini, permintaan akan gaharu jauh melebihi supply yang ada. Sebagai akibatnya pada beberapa tahun terakhir ada kecenderungan besar-besaran untuk mambudidayakan gaharu terutama di wilayah Asia Tenggara (Squidoo, 2008). Di Indonesia, tingginya harga gaharu dan makin langkanya tanaman gaharu di hutan alam juga mendorong masyarakat di berbagai daerah untuk melakukan budidaya gaharu seperti yang terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. Upaya pembudidayaan tersebut makin berkembang karena ditunjang oleh kemajuan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa budidaya gaharu memberikan keuntungan yang layak bagi pelakunya. Namun karena pengusahaan gaharu memerlukan modal yang tidak sedikit, maka masyarakat yang mampu membudidayakan gaharu adalah kelompok yang memiliki permodalan yang kuat. Untuk mengembangkan budidaya gaharu secara lebih luas, perlu dikembangkan suatu skema kerjasama antara pemilik modal dengan masyarakat. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan adalah pola PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat). Pengembangan budidaya gaharu dengan pola PHBM (sistem bagi hasil) merupakan salah satu alternatif bentuk usahatani produktif yang selain bertujuan untuk mengembangkan budidaya gaharu secara luas juga sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan yang tingkat ketergantungannya terhadap hutan tinggi. PHBM diharapkan menjadi suatu cara yang efektif karena melibatkan masyarakat sekitar hutan dan parapihak pemangku 160

167 Prospek Pengusahaan Gaharu...(Sri Suharti) kepentingan lainnya untuk bekerjasama dan berbagi (ruang, waktu, hak dan kewajiban) dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling mendukung. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang prospek pengusahaan gaharu oleh masyarakat melalui pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). METODOLOGI Tulisan ini merupakan hasil desk study dari berbagai pustaka, laporan hasil penelitian, dan data statistik yang tersedia. Data dan informasi serta literatur tersebut dihimpun dari berbagai sumber antara lain, Departemen Kehutanan, CITES, BPS, Asosiasi Gaharu Indonesia (Asgarin), serta berbagai terbitan lainnya. Data dan informasi yang berhasil dihimpun, diolah dan Dianalisis secara deskriptif. Khusus untuk perhitungan analisis finansial usahatani gaharu digunakan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (B/C ). NPV atau nilai kini bersih dirumuskan sebagai berikut: = n Bt Ct NPV t = 0 t (1 + i)... (1) dimana: NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih), Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t, Ct = biaya pada tahun t, i = tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku), n = umur ekonomi proyek (cakrawala waktu). Suatu kegiatan usaha dinyatakan layak secara finansial bila nilai NPV > 0. IRR atau tingkat pengembalian internal dirumuskan sebagai berut: 161

168 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI NPV1 IRR = i1 + (i2 i1) NPV1 NPV2... (2) dimana: IRR = Internal Rate of Raturn (tingkat keuntungan internal), i1 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol, NPV1 = nilai NPV mendekati nol positif, i2 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati nol, NPV2 = nilai NPV negatif mendekati nol. Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR lebih besar dari tingkat suku pinjaman di bank yang berlaku saat ini. Selanjutnya, nilai B/C dirumuskan sebagai beikut: n Bt t = 0 t (1 + i) B/C = n Ct t = 0 t (1 + i)... (3) dimana: B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan-biaya), Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t, Ct = biaya pada tahun t, i = tingkat diskonto, n = umur ekonomis proyek. Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1. PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU A. Prospek Pasar Gaharu Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh endemik beberapa spesies gaharu komersial dari 162

169 Prospek Pengusahaan Gaharu...(Sri Suharti) marga Aquilaria seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. filarial, dan lain-lain. Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar ton, namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan spesies-spesies gaharu menjadi langka. Tingginya harga jual gaharu mendorong masyarakat untuk memburu gaharu, tidak hanya dengan cara memungut dari pohon gaharu yang mati alami melainkan juga dengan menebang pohon hidup. Oleh karena itu pada tahun 1995 CITES memasukkan A. malaccensis, penghasil gaharu terbaik ke dalam daftar Ap-pendix II dan sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun (Anonim, 2005). Perkembangan yang terjadi selanjutnya ternyata kurang begitu bagus. Bahkan sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh di bawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp.) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok (Gun et al., 2004). Selanjutnya, karena adanya kekhawatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan kembali menurunkan kuota ekspor menjadi hanya 125 ton/tahun (Anonim, 2005). Permintaan terhadap gaharu terus meningkat karena banyaknya manfaat gaharu. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu tidak hanya digunakan sebagai bahan wangi-wangian (industri parfum), tetapi juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris. Selain itu, beberapa agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan (untuk keperluan kegiatan religi). Namun dari sisi negara pengekspor, tingginya permintaan gaharu belum dapat dipenuhi karena kekurangan bahan baku bermutu tinggi untuk ekspor. Hal ini banyak dikeluhkan oleh beberapa eksportir gaharu Indonesia. Ekspor untuk pasar Timur Tengah sebagai contoh menurun dari kg pada tahun 2005 menjadi kg tahun 2006, karena sulitnya memperoleh bahan 163

170 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI baku gubal super yang diminta. Keluhan kekurangan bahan baku gaharu untuk ekspor juga dialami oleh pemasok pasar Singapura. Sebagai contoh, CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta yang pada tahun 2005 bisa mengekspor 5-6 ton/bulan, pada tahun 2006 hanya mampu mengekspor 2-3 ton/bulan (Adijaya, 2009). Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sudah diprediksi oleh berbagai pihak karena eksploitasi hutan dan perburuan gaharu yang tidak terkendali. Sebagai gambaran, pada Tabel 1 disajikan data hasil kajian tentang perdagangan gaharu di Indonesia yang diterbitkan CITES pada tahun Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga gaharu, baik di pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Pada tahun 1980, harga gaharu di tingkat pengumpul berkisar antara Rp / kg untuk kualitas rendah dan Rp /kg untuk kualitas super. Pada awalnya kenaikan harga gaharu relatif lambat, yaitu hanya naik menjadi Rp /kg pada tahun Kenaikan pesat terjadi pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997, Tabel 1. Hasil pemanenan dan ekspor gaharu jenis Aquilqria spp. dari Indonesia tahun Tahun Kuota hasil panen resmi*) Kuota hasil aktual*) Aktual ekspor berdasar CITES Indonesia*) Net ekspor laporan CITES **) Total ekspor gaharu (semua spesies)*) 1995 n/a n/a n/a )) 323,577 n/a , , ,523 (termasuk A. filarial dan jenis lain , , ,002 (termasuk A.filarial 180,000 kg) 293, , , , , , , ,212 n/a ) , ,000 81,079 76, , , ,000 81,377 81, , ,000 70,000 74,826 74, , ,000 68,000 70,546 n/a 175, ,000 50,000 n/a n/a n/a *): CITES Management Authority of Indonesia; **): CITES Annual Report Data Compiled by UNEP-WCMC; ): the reason for the unavailability of data for nd 1998 is not known 164

171 Prospek Pengusahaan Gaharu...(Sri Suharti) di mana harga gaharu mencapai Rp 3-5 juta/kg. Kenaikan harga gaharu terus berlanjut dan makin tajam hingga mencapai Rp10 juta/ kg pada tahun 2000 dan meningkat lagi hingga mencapai Rp 15 juta/ kg pada tahun 2009 (Adijaya, 2009; Wiguna, 2006). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang memiliki potensi biologis yaitu tersedianya beragam spesies tumbuhan penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan kawasan hutan yang potensial serta tersedianya teknologi inokulasi yang menunjang untuk pembudidayaan gaharu. B. Potensi dan Peluang Usaha Sebagaimana diuraikan sebelumnya, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menghasilkan gaharu, namun potensi yang tersedia tersebut sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan produksi gaharu lebih banyak berasal dari proses alami, sehingga produksi gaharu Indonesia terus menurun. Pada saat ini luas kawasan hutan dan perairan Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tercatat seluas 137,09 juta ha, terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam 23,31 juta ha, Hutan Lindung 31,6 juta ha, Hutan Produksi Terbatas 22,5 juta ha, Hutan Produksi Tetap 36,65 juta ha, Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi 22,8 juta ha, dan Taman Buru 0,23 juta ha (Departemen Kehutanan, 2007). Dari kawasan hutan tersebut khususnya dari kawasan hutan produksi alam, dihasilkan gaharu sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Enam di antaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana, 165

172 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina, dan kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spesies di antaranya terdapat di Indonesia yaitu di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku, dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam di antaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka (Anonim, 2002). Berbagai hasil penelitian tentang tanaman gaharu memberikan hasil yang sangat menggembirakan karena berbagai jenis tanaman gaharu dari hutan alam ternyata dapat dibudidayakan dan produksi gaharu dapat direkayasa. Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara monokultur maupun tumpangsari dengan tanaman lainnya. Persyaratan tumbuh serta pemeliharaan tanaman penghasil gaharu relatif tidak terlalu rumit. Karena sifat permudaan gaharu yang toleran terhadap cahaya (butuh naungan), penanaman pohon gaharu sebaiknya dilakukan secara tumpangsari atau berada di bawah naungan tegakan lain seperti karet, sawit, durian (Rizlani dan Aswandi, 2009) atau di bawah tegakan pohon hutan seperti meranti, mahoni, pulai seperti yang dikembangkan di KHDTK Carita. Jika ditanam secara monokultur dan tanpa naungan resiko kegagalan penanaman (tanaman muda) lebih tinggi. Beberapa alternatif pengembangan budidaya pohon penghasil gaharu selain pada hutan produksi (LOA), HTI, Hutan Rakyat juga dapat ditanam pada areal tanaman perkebunan (karet, kelapa, sawit, dan lain-lain). Setelah tanaman penghasil gaharu berumur 5 tahun dengan diameter 15 cm, rekayasa produksi untuk menghasilkan gaharu sudah dapat mulai dilakukan dengan cara teknik induksi/inokulasi penyakit pembentuk gaharu yang sesuai dengan jenis pohon. Hasil rekayasa tersebut dapat dipanen satu atau dua tahun kemudian. Pemanenan dapat dilakukan pada kondisi pohon belum mati, tetapi idealnya dipanen setelah pohon mati dengan variasi mutu produksi akan terdiri dari kelas gubal, kemedangan, dan abu/ bubuk (Sumarna, 2007). Keberhasilan berbagai hasil penelitian 166

173 Prospek Pengusahaan Gaharu...(Sri Suharti) tersebut makin mendorong dan menggugah pemburu gaharu untuk melakukan budidaya tanaman gaharu. Upaya pembudidayaan gaharu sudah mulai dirintis sejak tahun 1994/1995 oleh sebuah perusahaan pengekspor gaharu, PT Budidaya Perkasa di Riau dengan menanam A. malaccensis seluas lebih dari 10 hektar. Selain itu Dinas Kehutanan Riau juga menanam jenis yang sama seluas 10 hektar di Taman Hutan Raya Syarif Hasyim. Selanjutnya pada tahun beberapa individu atau kelompok tani juga mulai tertarik untuk membudidayakan jenis pohon penghasil gaharu. Sebagai contoh usaha yang dilakukan oleh para petani di Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi, yang menanam gaharu dari jenis A. malacensis dan A. microcarpa. Di desa tersebut, sampai akhir tahun 2002 terdapat sekitar 116 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Penghijauan Indah Jaya yang telah mengembangkan lebih dari seratus ribu bibit gaharu (Anonim, 2008). Selain itu, BP DAS Batanghari bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan pada 2004/2005 membuat demplot budidaya gaharu di antara tegakan tanaman karet rakyat seluas 50 ha (Sumarna, 2007). C. Kelayakan Pengusahaan Gaharu Untuk memperoleh gambaran bagaimana kelayakan pengusahaan gaharu melalui budidaya dan rekayasa produksi gaharu, berikut ini dilakukan contoh analisis finansial budidaya gaharu dengan asumsi tingkat keberhasilan mencapai 60%. Analisis finansial tersebut menggunakan beberapa batasan dan asumsi sebagai berikut: 1. Pengusahaan gaharu dilakukan pada luasan satu ha dengan jarak tanam 5 m x 5 m, sehingga kerapatan 400 pohon per hektar. 2. Tanaman yang bertahan hidup dan menghasilkan gaharu diasumsikan 60% dengan tingkat produksi 2 kg per pohon, sehingga total produksi 480 kg/ha dengan 3 kualitas masingmasing kelas kemedangan I sebesar 10%, kelas kemedangan II sebesar 40%, dan kelas kemedangan III sebesar 50%. 167

174 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI 3. Harga jual produksi gaharu hasil inokulasi untuk kelas kemedangan I = Rp 5 juta/kg, kelas kemedangan II = Rp 2 juta/ kg, dan kelas kemedangan III = Rp 500 ribu/kg. 4. Upah tenaga kerja, baik tenaga kerja keluarga maupun luar keluarga diasumsikan sebesar Rp /HK, sedangkan upah tenaga kerja untuk inokulasi Rp /pohon. 5. Harga inokulan diasumsikan Rp /pohon, sehingga total biaya inokulan Rp 20 juta/ha. 6. Analisis finansial menggunakan tingkat diskonto sebesar 15%. Berdasarkan asumsi dan batasan tersebut ternyata untuk pengusahaan satu hektar gaharu dibutuhkan biaya sebesar Rp 141,350 juta. Biaya tersebut meliputi biaya pra-investasi dan persiapan lahan serta penanaman sebesar Rp 26,50 juta, biaya bahan dan peralatan Rp 40,350 juta, dan biaya tenaga kerja Rp 74,50 juta. Kalau diperhatikan lebih seksama, beban biaya yang relatif besar adalah untuk pembelian bahan inokulan, tenaga kerja untuk inokulasi, dan tenaga kerja untuk pemungutan hasil (panen) yang besarnya mencapai Rp 77 juta atau sekitar 54,47% dari total biaya. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pengusahaan gaharu tersebut layak untuk dilaksanakan karena dapat menghasilkan keuntungan bersih nilai kini (NPV) sebesar Rp 147,74 juta/ ha, IRR sebesar 48,53%, dan B/C = 3,32 (Lampiran 1). PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU DENGAN POLA PHBM A. Peluang Pengembangan Gaharu dengan Pola PHBM Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu akhir-akhir ini makin marak karena sebagian masyarakat sudah dapat menikmati hasilnya. Namun di sisi lain juga dijumpai beberapa kasus ketidakberhasilan pengusahaan gaharu yang disebabkan antara lain oleh kegagalan dalam pemeliharaan, kegagalan dalam melakukan inokulasi, dan adanya pencurian pohon di kebun gaharu (Duryatmo, 2009). 168

175 Prospek Pengusahaan Gaharu...(Sri Suharti) Untuk lebih membudayakan penanaman gaharu secara luas, meningkatkan peluang keberhasilan serta mengurangi resiko kerugian yang diderita, perlu dikembangkan suatu pola kemitraan dalam budidaya tanaman penghasil gaharu. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan adalah melalui pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM), baik di lahan milik di luar kawasan hutan maupun di kawasan hutan. PHBM merupakan salah satu jawaban dari pergeseran paradigma dalam pengelolaan sumberdaya hutan dari yang berbasis negara (state based) ke arah yang berbasis komunitas/masyarakat (community based) (Indradi, 2009). Perubahan paradigma ke arah PHBM menjadi momentum penting bagi masyarakat desa hutan. Di satu sisi masyarakat dapat mendayagunakan potensi-potensi kehutanan untuk kesejahteraan mereka, dan di sisi lain, masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dapat menjadi aset bagi usaha-usaha penjagaan, pemeliharan, dan pengelolaan hutan (Hayat, 2007). Melalui pola PHBM, parapihak yang tertarik (pemerintah, pengusaha/investor, kelompok usaha bersama/koperasi, masyarakat) dapat berbagi peran dan tanggung jawab untuk mengembangkan tanaman gaharu. Masyarakat dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (lahan, input produksi, sarana prasarana, keterampilan, akses pasar, dan lain-lain) dapat ikut berperan dalam pengusahaan tanaman gaharu. Karena bentuk kerjasamanya adalah kemitraan, maka parapihak yang terlibat dalam kegiatan ini dapat memperoleh bagian/ sharing manfaat sesuai kontribusi masing-masing. Pengembangan gaharu melalui pola PHBM merupakan salah satu alternatif peningkatan produksi gaharu melalui pelibatan masyarakat dalam budidaya gaharu. Dengan pola ini diharapkan areal tanam dan juga kualitas dan kuantitas produksi gaharu akan dapat ditingkatkan. Pengembangan gaharu dengan pola PHBM dapat dilakukan, baik dalam areal hutan milik (hutan rakyat) maupun dalam kawasan hutan Negara. Pada areal hutan milik, masyarakat diharapkan melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri terutama pada lahan kosong (tidak produktif) secara swadaya. 169

176 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI Agar masyarakat bersedia menanam gaharu, maka perlu diberikan berbagai bentuk insentif, baik berupa pengadaan bibit, biaya tanam, biaya inokulasi tanaman maupun informasi tentang peluang dan teknik pengembangan gaharu. Pengadaan bibit dan inokulasi dapat difasilitasi oleh mitra kerjasama yang disalurkan kepada petani, baik dalam bentuk bantuan/hibah maupun melalui sistim kredit yang akan dibayar jika tanaman gaharu telah menghasilkan nantinya. Oleh karena lahan milik rakyat umumnya tidak begitu luas dan sudah ditumbuhi berbagai jenis tanaman, proporsi tanaman gaharu yang ditanam disesuaikan dengan luasan dan kondisi areal hutan milik yang ada. Dalam prakteknya pengembangan hutan rakyat gaharu umumnya dikombinasikan dengan tanaman semusim atau tahunan lainnya yang sudah ada (tanaman sisipan). Pengembangan tanaman gaharu dalam kawasan hutan dapat dilakukan melalui pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Hal ini sesuai dengan paradigma pembangunan kehutanan yang lebih menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan menempatkan masyarakat desa hutan sebagai patner/mitra menuju pengelolaan hutan lestari. Oleh karena kawasan hutan umumnya sudah ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan, maka pola tanam yang dikembangkan adalah pola tumpangsari (sisipan atau tanaman sela di antara tegakan yang sudah ada). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kerjasama kemitraan pengelolaan hutan dengan masyarakat desa hutan memberikan dampak positif, baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan meningkatkan posisi tawar serta rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang ada. Dampak positif yang terjadi selanjutnya adalah sumberdaya hutan akan lebih terjaga dan terpelihara, produktivitas meningkat serta kesejahteraan masyarakat akan meningkat pula. Adanya peningkatan kesejahteraan dari budidaya gaharu selanjutnya akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan dalam bentuk illegal logging dan perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan 170

177 Prospek Pengusahaan Gaharu...(Sri Suharti) setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya (Aswandi, 2009). Menempatkan masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan hutan secara tidak langsung juga telah memposisikan masyarakat sebagai garda terdepan dalam pengamanan sumberdaya hutan. Dari sisi masyarakat, pengembangan gaharu dengan pola PHBM memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh manfaat ganda yaitu dari hasil tanaman gaharu jika telah menghasilkan nantinya serta kesempatan untuk memanfaatkan lahan di antara tanaman untuk usahatani tanaman semusim. B. Sistim Bagi Hasil dalam PHBM Pengembangan gaharu dengan pola PHBM merupakan salah satu alternatif usaha yang dapat mengakomodasikan kepentingan ekologi di satu sisi dan pertimbangan ekonomi di sisi lain. Tanaman gaharu dipilih karena tanaman ini dapat tumbuh di dalam areal hutan yang sudah banyak ditumbuhi tegakan pohon dengan intensitas cahaya < 70%, pemeliharaannya relatif mudah dan bernilai ekonomi tinggi. Beberapa prinsip utama yang dipegang dalam pengembangan gaharu dengan pola PHBM adalah: 1. Pengembangan kerjasama memang layak secara ekonomi dalam jangka panjang (sesuai jangka waktu kontrak perjanjian kerjasama), 2. Adanya tujuan bersama yang ingin dicapai, 3. Adanya pengaturan kerjasama yang saling menguntungkan dan adil sesuai dengan kontribusi yang diberikan masing-masing pihak untuk mencapai tujuan bersama, 4. Adanya kesepahaman tentang resiko dan konsekuensi dari adanya perjanjian kerjasama tersebut. Beberapa skenario sebagai alternatif bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan antara lain sebagaimana disajikan dalam Tabel

178 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI Tabel 2. Alternatif bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan Jenis input Skenario I Skenario II Skenario III Skenario IV Lahan Saprodi Tenaga kerja Bahan inokulan Biaya inokulasi Pengolahan hasil Pemasaran Keterangan: 1. Petani; 2. Investor/Pengusaha; 3. Pemda/Pihak lain Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pengembangan gaharu dengan pola PHBM dapat dilakukan di areal hutan milik maupun di dalam kawasan hutan sepanjang persyaratan tumbuhnya terpenuhi. Berbeda dengan pengusahaan gaharu skala besar yang dilakukan oleh para investor, budidaya gaharu oleh masyarakat umumnya dilakukan dalam skala kecil dengan pola campuran. Sebagaimana sifat usahatani skala kecil oleh masyarakat yang ketergantungannya terhadap lahan usahatani yang dimiliki/digarap sangat tinggi, maka gaharu bukan merupakan komoditi utama yang diusahakan. Gaharu diusahakan sebagai investasi jangka panjang, sepanjang modal yang dimiliki mencukupi untuk biaya budidaya tanaman berikut biaya inokulasinya yang cukup besar. Konsekuensinya, populasi tanaman gaharu dalam setiap garapan petani berjumlah relatif sedikit serta tidak seragam, tergantung luas lahan garapan dan kepadatan tanaman yang ada. Dengan pola PHBM, diharapkan masyarakat yang memiliki banyak keterbatasan, baik dari segi permodalan, teknologi serta akses terhadap pasar dapat ikut berpartisipasi dalam budidaya tanaman gaharu. Besarnya bagi hasil yang diperoleh oleh masingmasing pihak yang terlibat dalam PHBM disesuaikan dengan kontribusi masing-masing pihak dan merupakan hasil kesepakatan bersama. Dengan demikian meskipun investor/penyandang dana 172

179 Prospek Pengusahaan Gaharu...(Sri Suharti) memberikan kontribusi input dengan porsi terbesar, belum tentu bagian hasil/sharing yang diperolehnya akan paling besar pula. Apalagi jika pengembangan kemitraan dengan pola PHBM bertujuan untuk meningkatkan kelestarian sumberdaya hutan (dalam hal ini tanaman gaharu yang sudah langka) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan bukan semata-mata untuk tujuan komersial (mendapat profit terbesar). C. Uji Coba Pengembangan Gaharu dengan Pola PHBM di KHDTK Carita Di areal KHDTK Carita, Banten pada tahun 2008 telah dikembangkan uji coba skema kemitraan budidaya tanaman penghasil gaharu dengan pola PHBM. Uji coba ini merupakan kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam dengan masyarakat sekitar areal KHDTK Carita, Banten. Kegiatan dilaksanakan pada sebagian Petak 21 di areal KHDTK Carita dengan luas ± 40 hektar. Kegiatan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat yang telah berusahatani di areal tersebut untuk ikut mengembangkan tanaman penghasil gaharu di lahan garapan mereka. Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini berasal dari Desa Sindang Laut dan Desa Suka Jadi tepatnya dari Kampung Longok, Cangkara, dan Cilaban sebanyak 49 orang (anggota Kelompok Tani Hutan Giri Wisata Lestari yang dipimpin Ustad Jafar sebanyak 40 orang dan Kelompok Tani Hutan Carita Lestari pimpinan Pak Rembang sebanyak 19 orang). Selama ini masyarakat ikut menggarap lahan di Petak 21 dengan budidaya berbagai tanaman jenis pohon serbaguna (JPSG) dan buah-buahan seperti melinjo, durian, cengkeh, jengkol, petai, dan nangka. Selain tanaman JPSG milik masyarakat, di areal tersebut juga terdapat berbagi pohon hutan seperti meranti, mahoni, pulai, khaya, dan hawuan. Oleh karena areal kerjasama sudah ditumbuhi berbagi jenis tumbuhan, maka pola tanam yang diterapkan adalah pola tumpangsari (sisipan di antara tanaman yang ada). Gaharu ditanam dengan jarak ± 5 m x 5 m. Dengan demikian jumlah 173

180 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI tanaman gaharu yang ditanam di areal kerjasama sebanyak pohon (± 400 pohon/ha). Sebelum penanaman, kegiatan pembangunan demplot uji coba tanaman penghasil gaharu di KHDTK Carita diawali dengan pendekatan yang lebih intensif kepada berbagai pihak yang terkait pengembangan gaharu di areal tersebut seperti Perhutani, Pemda, dan masyarakat calon peserta untuk mempelajari prospek partisipasi masyarakat dalam kegiatan dan pemeliharaan tanaman. Setelah diperoleh gambaran prospek partisipasi masyarakat dalam pembangunan demplot uji coba ini dilanjutkan dengan penyusunan rancangan teknis kerjasama penelitian dan penyusunan draft perjanjian kerjasama. Dengan pendekatan yang lebih intensif ini diharapkan masyarakat akan lebih memahami tujuan kerjasama penelitian serta dapat lebih aktif berpartisipasi dalam budidaya tanaman plot uji coba. Beberapa prinsip utama yang disepakati antara pihak pertama (Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam) dengan pihak kedua (kelompok masyarakat peserta uji coba) dalam pola kemitraan di areal KHDTK carita adalah: 1. Pihak pertama menyediakan biaya bagi pihak kedua untuk melakukan kegiatan budidaya penanaman pohon gaharu yang meliputi biaya upah dan bibit tanaman. 2. Pihak pertama memberikan pembinaan teknis budidaya tanaman gaharu secara rutin kepada pihak kedua. 3. Pihak pertama menyediakan jamur pembentuk gaharu untuk kegiatan inokulasi sebanyak 25% dari jumlah tanaman gaharu pada masing-masing penggarap setelah tanaman gaharu berumur 5 tahun. 4. Pihak pertama akan membantu mencarikan investor untuk bekerjasama menyediakan produksi jamur pembentuk gaharu untuk kegiatan inokulasi untuk 75% tanaman gaharu lainnya. 5. Pihak pertama akan memberikan pelatihan budidaya gaharu serta pemanenan gaharu (paket training gaharu) kepada pihak kedua. 174

181 Prospek Pengusahaan Gaharu...(Sri Suharti) 6. Pihak kedua berkewajiban memelihara dan menjaga keamanan tanaman gaharu dan tanaman hutan lainnya. 7. Pihak kedua berkewajiban mengikuti aturan teknis dan kaidah konservasi yang berlaku di dalam areal KHDTK Carita. 8. Pihak kedua berkewajiban melaporkan setiap kejadian seperti serangan hama/penyakit tanaman, kebakaran atau bencana lain yang mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan, baik pada tanaman gaharu atau tanaman lainnya di areal kerjasama. 9. Jika sudah menghasilkan, pihak pertama dan pihak kedua memperoleh hasil tanaman gaharu yang ditanam dan dipelihara di lokasi kerjasama dengan proporsi masing-masing 35% untuk pihak pertama dan 60% untuk pihak kedua. Selain pihak pertama dan pihak kedua, sebagian hasil tanaman gaharu akan diberikan pada Desa Sindang Laut sebesar 2,5% dan LMDH (kelompok) 2,5%. 10. Jika pada saat pemanenan tanaman gaharu ternyata ada tanaman yang mati/hilang/tidak/belum menghasilkan, maka resiko akan ditanggung bersama sehingga perhitungan bagi hasil pada saat panen ditentukan dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: P akhir P awal P akhir tan total tan mati = tan total x P awal = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu yang diterima masingmasing pihak jika ada tanaman yang mati/hilang/tidak/ belum menghasilkan = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu sesuai kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerjasama ini Butir-butir kesepakatan tersebut tertuang dalam naskah perjanjian kerjasama yang disusun berdasarkan hasil kesepakatan/ negosiasi antara pihak pertama dan pihak kedua. 175

182 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI KESIMPULAN DAN SARAN 1. Gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang memiliki potensi biologi yaitu tersedianya beragam spesies tumbuhan penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan kawasan hutan yang potensial serta tersedianya teknologi inokulasi yang menunjang untuk pembudidayaan gaharu. 2. Budidaya gaharu layak untuk dilaksanakan karena secara finansial akan memberikan keuntungan bersih nilai kini (NPV) sebesar Rp 147,74 juta/ha, IRR sebesar 48,53%, dan B/C = 3, Kerjasama kemitraan pengembangan tanaman penghasil gaharu dengan pola PHBM merupakan salah satu alternatif solusi untuk menjaga kelestarian hutan, meningkatkan produktivitas lahan serta meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. 4. Prinsip utama yang dipegang dalam pengembangan kerjasama kemitraan dengan pola PHBM adalah prinsip kelestarian dan kelayakan secara ekonomi dalam jangka panjang sesuai jangka waktu kontrak serta saling menguntungkan berdasarkan nilai kontribusi yang diberikan masing-masing pihak untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi. 5. Skema kemitraan dengan pola PHBM memberikan kesempatan kepada para-pihak yang berminat mengembangkan tanaman gaharu untuk bekerjasama sesuai dengan input/sumberdaya yang dimiliki dan memperoleh bagian hasil/sharing sesuai dengan kontribusi serta kesepakatan parapihak yang terlibat. DAFTAR PUSTAKA Adijaya, D Gaharu: Harta di Kebun. Trubus online. =viewarticle&cid=8 &artid=290. Diakses 16 Februari Anonim GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona. Info Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan. Halaman/STANDARDISASI_& _LINGUNGAN_ KEHUTANAN/INFO_V02/VI_V02.htm. Diakses 20 Januari

183 Prospek Pengusahaan Gaharu...(Sri Suharti) Anonim Review of Significant Trade Aquilaria malaccensis. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). /com/pc/14/e- PC A2.pdf. Diakses 16 Februari Anonim Pelatihan Nasional: BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN GAHARU. BIOTROP Training and Information Centre. com/gaharu. htm. Diakses 16 Februari Anonim Perkembangan Gaharu dan Prospeknya di Indonesia. forestry-senu57.blogspot.com/2008/01 /perkembangangaharu-dan-prospeknya-di.html. Diakses 16 Februari Aswandi BUDIDAYA GAHARU : Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan. view&id= 74&Itemid=1. Diakses, 12 Februari, Blanchette, R. A Sustainable Agarwood Production in Aquilaria Trees. agarwood.htm. Access November, Departemen Kehutanan Statistik Kehutanan Indonesia Depatemen Kehutanan. Jakarta. Duryatmo, S Tersandung Wangi Gaharu. Trubus online. &op=viewarticle&cid=1& artid=1618. Diakses 16 Februari Gun, B., P. Steven., M. Sungadan., L. Sumari and P. Chatteron. (2004). Eaglewood in Papua New Guinea. Tropical Rain Fo rest Project. Working paper No. 51. Vietnam. Hayat, Z Mencari Solusi PHBM di Geumpang. or.id/id/news /1/tahun/2007/bulan/11/tanggal/17/id/ 60/. Diakses 4 Maret Indradi, Y Perjalanan Panjang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia. Di akses 4 Maret Rizlani, C. dan Aswandi Prospek Budidaya Gaharu Secara Ringkas. prospek-budidaya-gaharu-secara ringkas.html. Diakses 13 Januari,

184 Sumarna, Y Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Temu Pakar Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal RLPS. Jakarta. Squidoo Production and marketing of cultivated agarwood. squidoo.com/agarwood Copyright 2008, Squidoo, LLC and respective copyright owners. Access November, Wiguna, I Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus online. =publisher&op=viewarticle& cid=8 &artid=290. Diakses 16 Februari 2009.

185 Lampiran 1. Lampiran 1. Analisis NPV, IRR, dan B/C dari Pengusahaan tanaman gaharu per hektar No. Keterangan Tahun ke I. Cash inflow (Rp 1000) a. Output (kg) 480 b. Nilai output Gaharu kemedangan I (10%) Gaharu kemedangan II (40%) Gaharu kemedangan III (50%) II. Cash outflow (Rp 1000) a. Pra investasi 1. Pra-investasi Persiapan lahan & tanam Sewa lahan Lain-lain Biaya pra investasi b. Biaya bahan & peralatan 1. Bibit tanaman gaharu Pupuk Urea Pupuk TSP/SP Pupuk KCl Pupuk kandang Peralatan pertanian Bahan inokulan Biaya bahan & peralatan c. Biaya tenaga kerja 1. Tenaga kerja keluarga Tenaga kerja upahan Tenaga kerja inokulasi Biaya tenaga kerja Total biaya III. Cash flow Cash flow komulatif IV. a. NPV (DF 15%) b. IRR (%) 48,53% c. B/C 3,3176 Catatan: Produksi gaharu 480 kg/ha dengan harga rata-rata Rp /kg Harga gaharu K1= Rp 5 juta/kg, K2= Rp 2 juta/kg dan K3=Rp /kg. Harga bibit Rp /phn, jumlah tanaman 400 phn/ha dibutuhkan 450 phn dg sulaman. Harga pupuk urea Rp 2500/kg, TSP Rp 7000/kg, KCl Rp 6000/kg, dan pupuk kandang Rp 150/kg Harga inokulan Rp /tanaman Total 179

186 Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI 180

187 10 THE ENVIRONMENTAL CHARACTERISTICS OF SOUTH KALIMANTAN SITE FOR EAGLEWOOD PLANTATION PROJECT Erry Purnomo Lambung Mangkurat University, South Kalimantan INTRODUCTION Eaglewood (gaharu) may play an important role in gaining foreign exchange and as a source of income for people living in out- and in-side the forest in Indonesia. This is because, the gaharu export market remains open. Therefore there is a big opportunity for the Indonesian farmers to establish eaglewood plantation. In South Kalimantan, the gaharu production may be considered low. Most of the gaharu formation usually relays on natural infection. Only small group of farmers using introduced inoculants. There is a lack of information on factors influencing the success of gaharu formation. The success of gaharu formation may not be only due to inoculants but may also be influenced by environmental characteristics (climate, soil properties and plant species). The present work focused on characterizing the environment, namely, climate, soil properties and plant diversity surrounding the newly grown and existing gaharu stands in South Kalimantan Province. 181

PRATEK PERDAGANGAN GAHARU DI INDONESIA. Oleh : Sulistyo A. Siran Maman Turjaman. Bogor, 8 Desember 2015 DAFTAR ISI

PRATEK PERDAGANGAN GAHARU DI INDONESIA. Oleh : Sulistyo A. Siran Maman Turjaman. Bogor, 8 Desember 2015 DAFTAR ISI PRATEK PERDAGANGAN GAHARU DI INDONESIA Oleh : Sulistyo A. Siran Maman Turjaman Bogor, 8 Desember 2015 DAFTAR ISI A. PENDAHULUAN B. ASPEK PERDAGANGAN GAHARU 1. SPESIFIKASI PRODUK 2. PRODUSEN GAHARU 3. KONSUMEN

Lebih terperinci

EKONOMI GAHARU. Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan. Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat.

EKONOMI GAHARU. Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan. Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat. EKONOMI GAHARU Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat. Hanya orangorang tertentu saja yang sudah membudidayakannya. Bukan karena tidak

Lebih terperinci

BP2LHK Manabo Kampus Kreatif Sahabat Rakyat

BP2LHK Manabo Kampus Kreatif Sahabat Rakyat BP2LHK Manabo Kampus Kreatif Sahabat Rakyat GELAR TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN TEKNIK INOKULASI GAHARU oleh : Jafred E. Halawane Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado Jl. Adipura Kelurahan Kima

Lebih terperinci

G A H A R U, SNI

G A H A R U, SNI G A H A R U, SNI 01-5009.1-1999 1. Ruang lingkup Standar ini meliputi definisi, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat

Lebih terperinci

Gaharu SNI 7631:2011. Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan

Gaharu SNI 7631:2011. Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan Standar Nasional Indonesia Gaharu ICS 65.020.99 Badan Standardisasi Nasional Copyright notice Hak cipta dilindungi undang undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015

ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015 Hariyatno Dwiprabowo AgustinusTampubolon ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015 Gaharu (Agarwood incense) telah dikenal sejak dahulu kala oleh empat peradaban kuno yakni India,

Lebih terperinci

Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan. Deden Djaenudin Puspijak 2012

Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan. Deden Djaenudin Puspijak 2012 Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan Deden Djaenudin Puspijak 2012 Outline Perkembangan gaharu Ketersediaan alam Budidaya Kelayakan ekonomi profitability Daya saing: domestik dan internasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. tinggi. Keadaan ini dapat dijadikan modal Indonesia dalam menanggapi

PENDAHULUAN. tinggi. Keadaan ini dapat dijadikan modal Indonesia dalam menanggapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi. Keadaan ini dapat dijadikan modal Indonesia dalam menanggapi persaingan global yang semakin

Lebih terperinci

.:::: Powered By Ludarubma ::::. G A H A R U

.:::: Powered By Ludarubma ::::. G A H A R U Page 1 of 5 Standar Nasional Indonesia SNI 01-5009.1-1999 G A H A R U 1. Ruang lingkup Standar ini meliputi definisi, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, cara pemungutan, syarat mutu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu digunakan sebagai bahan baku

BAB I PENDAHULUAN. kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu digunakan sebagai bahan baku 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak lebih dari 15 abad yang lalu, gaharu telah dikenal sebagai produk kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu digunakan sebagai bahan baku wewangian yang

Lebih terperinci

BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU

BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU ketiak daun. Bunga berbentuk lancip, panjangnya sampai 5 mm, berwarna hijau kekuningan atau putih, berbau harum. Buah berbentuk bulat telur atau agak lonjong, panjangnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaharu telah digunakan lebih dari 2000 tahun yang lalu secara luas oleh orang dari berbagai agama, keyakinan dan kebudayaan terutama di Negara-negara Timur Tengah, Asia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccensis ) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccensis ) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung BAB II Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccensis ) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Oleh: Ir. Sukandar, M.Si / Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Bangka Belitung. G aharu adalah produk Hasil

Lebih terperinci

ReKaM JeJaK GAHARU INOKULASI. Teknologi BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI

ReKaM JeJaK GAHARU INOKULASI. Teknologi BADAN LITBANG KEHUTANAN PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI EDITOR: Adi Susmianto Maman Turjaman Pujo Setio ReKaM JeJaK GAHARU INOKULASI Teknologi BADAN LITBANG KEHUTANAN FORDA PRESS bekerjasama dengan PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Rekam Jejak Gaharu

Lebih terperinci

PENGGUNAAN PAKU BERPORI DALAM INOKULASI POHON GAHARU. (Inovasi Baru Dalam Teknologi Rekayasa Pembentukan Gubal Gaharu Yang Berkualitas)

PENGGUNAAN PAKU BERPORI DALAM INOKULASI POHON GAHARU. (Inovasi Baru Dalam Teknologi Rekayasa Pembentukan Gubal Gaharu Yang Berkualitas) PENGGUNAAN PAKU BERPORI DALAM INOKULASI POHON GAHARU (Inovasi Baru Dalam Teknologi Rekayasa Pembentukan Gubal Gaharu Yang Berkualitas) SENTOT ADI SASMUKO BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MATARAM Gaharu (agarwood)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang cukup besar di dunia. Pada masa zaman pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia merupakan negara terkenal yang menjadi pemasok hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN JENIS TANAMAN GAHARU DI KALIMANTAN SELATAN

PROSPEK PENGEMBANGAN JENIS TANAMAN GAHARU DI KALIMANTAN SELATAN PROSPEK PENGEMBANGAN JENIS TANAMAN GAHARU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : RINGKASAN Kehutanan merupakan sektor yang berkontribusi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Kalimantan Selatan.

Lebih terperinci

8 penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang (Siran dan Turjaman 2010). Namun sering indikator ini tidak tepat dala

8 penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang (Siran dan Turjaman 2010). Namun sering indikator ini tidak tepat dala 7 2 IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI 2.1 Pendahuluan Tanaman A. microcarpa Bail memiliki batang tegak dan dapat mencapai ketinggian 40 m, diameter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan masalah kemiskinan dan tantangan dampak krisis ekonomi yang ditandai dengan tingginya tingkat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu dengan famili. Thymeleaceae dan bermarga Aquilaria. Aquilaria malaccensis adalah sumber

TINJAUAN PUSTAKA. Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu dengan famili. Thymeleaceae dan bermarga Aquilaria. Aquilaria malaccensis adalah sumber TINJAUAN PUSTAKA Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu dengan famili Thymeleaceae dan bermarga Aquilaria. Aquilaria malaccensis adalah sumber utama gaharu (agarwood). Guna menghindari tumbuhan penghasil

Lebih terperinci

Teknologi Pemanfaatan Mikroba untuk Rehabilitasi Lahan & Rekayasa Produksi Gaharu

Teknologi Pemanfaatan Mikroba untuk Rehabilitasi Lahan & Rekayasa Produksi Gaharu Teknologi Pemanfaatan Mikroba untuk Rehabilitasi Lahan & Rekayasa Produksi Gaharu Forest Microbiology Research Group of The R&D Centre For Conservation & Rehabilitation of FORDA Ministry of Forestry Orientasi:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Mahkota Dewa 1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., dengan nama sinonim Phaleria papuana. Nama umum dalam

Lebih terperinci

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 59 V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 5.1. Perkembangan Rumput Laut Dunia Rumput laut merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek

Lebih terperinci

TEKNOLOGI INOKULASI GAHARU

TEKNOLOGI INOKULASI GAHARU TEKNOLOGI INOKULASI GAHARU Erdy Santoso dan Maman Turjaman Gelar Iptek Hasil Litbang Kehutanan Mendukung KPH, IPB Covention Center, Senin-12 Mei 2014 POHON PENGHASIL GAHARU ALAM A.malaccensis A. crassna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sangat luas dan juga sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Komoditas pertanian merupakan bagian dari sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Untuk menunjang pembangunan pertanian tidak terlepas dari kemampuan petani dalam menerapkan teknologi

Lebih terperinci

Karena hal-hal diatas tersebut, kita harus mencari cara agar hewan dan tumbuhan tetap lestari. Caranya antara lain sebagai berikut.

Karena hal-hal diatas tersebut, kita harus mencari cara agar hewan dan tumbuhan tetap lestari. Caranya antara lain sebagai berikut. JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SD VI (ENAM) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP Kehadiran hewan dan tumbuhan itu sesungguhnya dapat menjaga keseimbangan alam. Satu makhluk

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

BAB 3 KONDISI TANAMAN NILAM

BAB 3 KONDISI TANAMAN NILAM BAB 3 KONDISI TANAMAN NILAM 3.1 Manfaat Dan Kegunaan Minyak Nilam Tanaman nilam (Pogostemon patchouli atau disebut juga sebagai Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman perdu wangi berdaun halus dan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seperti China Asia Free Trade Area (CAFTA) dapat memperparah keadaan krisis

I. PENDAHULUAN. seperti China Asia Free Trade Area (CAFTA) dapat memperparah keadaan krisis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan masalah kemiskinan dan tantangan dampak krisis ekonomi yang ditandai dengan tingginya tingkat

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia Komoditi perkebunan Indonesia rata-rata masuk kedalam lima besar sebagai produsen dengan produksi tertinggi di dunia menurut Food and agriculture organization (FAO)

Lebih terperinci

Islam sebagai agama yang Universal dan Konprehensif. Universal berarti bahwa

Islam sebagai agama yang Universal dan Konprehensif. Universal berarti bahwa 1 MEKANISME INVESTASI TANAMAN GAHARU DI KECAMATAN SINGINGI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI MENURUT PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Kasus Petani Gaharu Dengan PT.Elang Samudra Abadi) A. Latar Belakang Islam

Lebih terperinci

TEKNIK INOKULASI POHON PENGHASIL GAHARU & PERKEMBANGAN INDUSTRINYA

TEKNIK INOKULASI POHON PENGHASIL GAHARU & PERKEMBANGAN INDUSTRINYA TEKNIK INOKULASI POHON PENGHASIL GAHARU & PERKEMBANGAN INDUSTRINYA Erdy Santoso dan Maman Turjaman Centre for Conservation and Rehabilitation (CENCOR) Forestry Research & Development Agency (FORDA) Ministry

Lebih terperinci

Oleh: Merryana Kiding Allo

Oleh: Merryana Kiding Allo Corak Indah Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) CORAK INDAH KAYU EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243, telp. (0411)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agribisnis, agroindustri adalah salah satu subsistem yang bersama-sama dengan

I. PENDAHULUAN. agribisnis, agroindustri adalah salah satu subsistem yang bersama-sama dengan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya tanaman obat adalah salah satu cara penglolaan tanaman obat untuk mendatangkan keuntungan. Pembangunan ekonomi Indonesia bertumpu pada bidang pertanian dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Hasil hutan non kayu sudah sejak lama masuk dalam bagian penting strategi penghidupan penduduk sekitar hutan. Adapun upaya mempromosikan pemanfaatan hutan yang ramah lingkungan

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 08 I 17 Juli 2017 USAID LESTARI MENGEMBALIKAN KEJAYAAN KOMODITAS PALA Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Dalam wikipedia Indonesia disebutkan bahwa

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia 41 V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT 5.1. Perkembangan Produksi dan Ekspor Rumput Laut Dunia 5.1.1. Produksi Rumput Laut Dunia Indonesia dengan potensi rumput laut yang sangat besar berpeluang menjadi salah

Lebih terperinci

GAHARU DAN CARA PENYUNTIKAN GUBAL GAHARU PADA POHON GAHARU OLEH SYUKUR, SP, MP

GAHARU DAN CARA PENYUNTIKAN GUBAL GAHARU PADA POHON GAHARU OLEH SYUKUR, SP, MP GAHARU DAN CARA PENYUNTIKAN GUBAL GAHARU PADA POHON GAHARU OLEH SYUKUR, SP, MP widyaisara MUDA BALAI PELATIHAN PERTANIAN JAMBI 2015 I. TANAMAN GAHARU A. PENGERTIAN GAHARU : Gaharu merupakan substansi aromatic

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) telah dikenal bertahun - tahun sebagai tanaman penghasil minyak atsiri. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebiasaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 21 PENDAHULUAN Latar Belakang Gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bernilai ekonomi tinggi, berwarna khas, mengandung aroma resin wangi jika dibakar dan dapat digunakan untuk bahan parfum, dupa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis buah-buahan Indonesia saat ini dan masa mendatang akan banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses globalisasi, proses yang ditandai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian. Ekspor negara Indonesia banyak dihasilkan dari sektor pertanian, salah satunya hortikultura

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa buah lokal adalah semua jenis buahbuahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa buah lokal adalah semua jenis buahbuahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Buah-buahan Lokal Buah-buahan lokal merupakan buah yang varietas tanamannya asli dari Indonesia dan ditanam oleh petani Indonesia terlepas dari nama dan varietasnya.

Lebih terperinci

Budidaya Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis) Di Kenagarian Pilubang, Kecamatan harau, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatra Barat

Budidaya Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis) Di Kenagarian Pilubang, Kecamatan harau, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatra Barat BUDIDAYA GAHARU Jurnal Nasional Ecopedon JNEP Vol. 1 No.1 (2014) 001 004 http://www... Budidaya Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis) Di Kenagarian Pilubang, Kecamatan harau, Kabupaten 50 Kota,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari. (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir merupakan tanaman

PENDAHULUAN. Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari. (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir merupakan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan. Gambir berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan bernama gambir (Uncaria gambir Roxb.). Menurut Manan (2008), gambir

Lebih terperinci

PELUANG BISNIS BUDIDAYA JAMBU BIJI

PELUANG BISNIS BUDIDAYA JAMBU BIJI PELUANG BISNIS BUDIDAYA JAMBU BIJI Oleh : Nama : Rudi Novianto NIM : 10.11.3643 STRATA SATU TEKNIK INFORMATIKA SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011 A. Abstrak Jambu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dkk, 1999). Salah satu spesies endemik adalah Santalum album Linn.,

BAB I PENDAHULUAN. dkk, 1999). Salah satu spesies endemik adalah Santalum album Linn., BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan endemik dianggap penting bukan hanya karena jumlah (populasi)nya yang sangat sedikit, melainkan juga karena populasi tersebut sangat terbatas secara geografis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

Ekonomi Pertanian di Indonesia

Ekonomi Pertanian di Indonesia Ekonomi Pertanian di Indonesia 1. Ciri-Ciri Pertanian di Indonesia 2.Klasifikasi Pertanian Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri pertanian di Indonesia serta klasifikasi atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri minyak atsiri memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan di Indonesia, karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam penyediaan bahan bakunya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Biomassa adalah segala material yang berasal dari tumbuhan atau hewan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Biomassa adalah segala material yang berasal dari tumbuhan atau hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Biomassa adalah segala material yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan panas (Abimanyu dan Hendrana, 2014).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diutamakan. Sedangkan hasil hutan non kayu secara umum kurang begitu

BAB I PENDAHULUAN. diutamakan. Sedangkan hasil hutan non kayu secara umum kurang begitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam hutan. Hasil hutan dapat berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Hasil hutan kayu sudah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

Ribuan mikroba penyebab penyakit disuntikkan

Ribuan mikroba penyebab penyakit disuntikkan 1 GAHARU Suntikan Maut Dibalas Aroma Harum Batang gaharu terinfeksi cendawan Ribuan mikroba penyebab penyakit disuntikkan ke sekujur gaharu. Pohon itu membalas dengan harum gubal sebelum meregang nyawa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi Indonesia yang memiliki bagi perekonomian Nasional dalam berbagai bidang. Kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahap I Indonesia telah mengubah struktur perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer dalam PDB masih sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah jamur konsumsi (edible mushroom). Jamur konsumsi saat ini menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. adalah jamur konsumsi (edible mushroom). Jamur konsumsi saat ini menjadi salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komoditas sayuran yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah jamur konsumsi (edible mushroom). Jamur konsumsi saat ini menjadi salah satu sayuran yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) Page 1 of 6 Penjelasan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumatera Utara, karena mempunyai keunggulan komperatif dan kompetitif

PENDAHULUAN. Sumatera Utara, karena mempunyai keunggulan komperatif dan kompetitif PENDAHULUAN Latar Belakang Jeruk Keprok Maga merupakan salah satu komoditi buah buahan andalan Sumatera Utara, karena mempunyai keunggulan komperatif dan kompetitif dengan kultivar atau varietas jeruk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara karena setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya

Lebih terperinci

Membangun pasar kopi inklusif

Membangun pasar kopi inklusif Membangun pasar kopi inklusif Manfaat dari kekuatan kopi Potensi kopi Indonesia sangat besar, karenanya Indonesia dikenal sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia dan sektor kopi mempekerjakan ratusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan lainnya dipisahkan

Lebih terperinci

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan Strategi Penyelamatan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) dari... STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

European Union. Potensi rotan ramah lingkungan

European Union. Potensi rotan ramah lingkungan European Union Potensi rotan ramah lingkungan Manfaat rotan ramah lingkungan Solo, (Provinsi Jawa Tengah) Surabaya (Provinsi Jawa Timur) SNV menyadari besarnya kebutuhan akan produk rotan Indonesia yang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) Oleh : Prajogo U. Hadi Adimesra Djulin Amar K. Zakaria Jefferson Situmorang Valeriana Darwis PUSAT ANALISIS SOSIAL

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878. V. GAMBARAN UMUM 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia Luas lahan robusta sampai tahun 2006 (data sementara) sekitar 1.161.739 hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.874

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pada masa yang akan datang akan mampu memberikan peran yang nyata dalam

TINJAUAN PUSTAKA. pada masa yang akan datang akan mampu memberikan peran yang nyata dalam TINJAUAN PUSTAKA Upaya pengembangan produksi minyak atsiri memang masih harus dipicu sebab komoditas ini memiliki peluang yang cukup potensial, tidak hanya di pasar luar negeri tetapi juga pasar dalam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Sumberdaya yang digunakan dalam pembangunan ekonomi harus dimiliki atau

1. PENDAHULUAN Sumberdaya yang digunakan dalam pembangunan ekonomi harus dimiliki atau 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Arah pembangunan ekonohi nasional-sesuai dengan amanat konstitusi pasal 33 UUD 45 adalah pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan. Sumberdaya yang digunakan dalam pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari setengah angkatan kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah dan kondisi alam yang subur untuk pertanian. Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. usaha perkebunan mendukung kelestarian sumber daya alam dan lingkungan

I. PENDAHULUAN. usaha perkebunan mendukung kelestarian sumber daya alam dan lingkungan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perkebunan telah lama diusahakan oleh masyarakat Sumatera Barat yang berkaitan langsung dengan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Dari aspek ekonomi, usaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil rempah utama di dunia. Rempah yang dihasilkan di Indonesia diantaranya adalah lada, pala, kayu manis, vanili, dan cengkeh. Rempah-rempah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

LRC. Oleh : Herman Rakha / Peneliti LRC

LRC. Oleh : Herman Rakha / Peneliti LRC Oleh : Herman Rakha / Peneliti Hutan merupakan salah satu aset yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa hutan merupakan paru-paru bumi, satwa hidup, pohon-pohon,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh I. Latar Belakang Tanaman pala merupakan tanaman keras yang dapat berumur panjang hingga lebih dari 100 tahun. Tanaman pala tumbuh dengan baik di daerah tropis.

Lebih terperinci

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Indonesia 2,3 & 5 Agustus, 2010 LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Kebijakan dan Konvensi Internasional yang berdampak pada Perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di Indonesia memungkinkan berbagai jenis buah-buahan tumbuh dan berkembang. Namun sayangnya, masih banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil,

BAB I PENDAHULUAN. penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman nilam (Pogostemon Cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchauly Oil, dihasilkan oleh

Lebih terperinci