ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT Oleh : ROLAS TE SILALAHI A PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN ROLAS TE SILALAHI. Analisis Pengaruh Kebijakan Upah Minimum Propinsi (UMP) terhadap Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Jawa Barat. Dibawah bimbingan DEDI BUDIMAN HAKIM. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan industri andalan bagi Indonesia. Keunggulan industri TPT terlihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB nasional, besarnya penyerapan tenaga kerja serta kontribusi TPT dalam surplus perdagangan Indonesia. Disamping itu, industri TPT Indonesia memiliki fundamental yang kuat karena memiliki struktur industri yang lengkap, vertikal dan terintegrasi dari hulu sampai hilir atau mulai dari sektor industri man made fiber sampai sektor industri garment. Keunggulan tersebut menjadikan industri TPT Indonesia sebagai industri yang kuat serta memiliki kemampuan daya saing global. Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (2007), Jawa Barat merupakan sentral pabrik tekstil di Indonesia dengan distribusi perusahaan sebesar 57 persen. Pada tahun 2006, jumlah perusahaan TPT di Jawa Barat mencapai unit sedangkan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut sekitar orang. Selain itu, komoditi TPT merupakan salah satu komoditi ekspor terbesar Jawa Barat, selama periode nilainya mencapai angka rata-rata 4,0454 milyar US Dollar. Industri TPT merupakan salah satu subsektor dari industri pengolahan nonmigas yang memiliki peranan cukup besar dalam perekonomian Jawa Barat. Hal tersebut dapat dilihat dari kontribusi industri TPT dalam pembentukan PDRB Jawa Barat. Investasi memiliki peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan kegiatan ekonomi. Demikian juga halnya pada industri TPT, investasi berperan untuk mendorong daya saing dan meningkatkan produktivitas (API, 2008). Potensi Jawa Barat sebagai sentral industri TPT Indonesia serta adanya ketersediaan infrastruktur yang mendukung menjadikan Jawa Barat sebagai wilayah investasi TPT yang menjanjikan. Investasi atau penanaman modal terdiri dari penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Keinginan para investor untuk menanamkan modalnya di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Dinas Perindustrian (2007), iklim ketenagakerjaan termasuk faktor yang mempengaruhi investasi pada industri TPT. Hal tersebut dikarenakan industri TPT merupakan industri padat karya. Selain itu, penetapan nilai upah minimum sebagai salah satu kebijakan dibidang ketenagakerjaan juga mempengaruhi pertumbuhan investasi industri TPT. Pada kenyataannya, nilai upah minimum yang ditetapkan diberbagai propinsi sangat bervariasi dan cenderung mengalami peningkatan. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2006, perkembangan rata-rata tingkat UMP di Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif dengan rata-rata 14,46 persen per tahun. Sejalan dengan peningkatan UMP setiap tahunnya, nilai investasi industri TPT Jawa Barat justru dihadapkan pada pertumbuhan yang fluktuatif. Padahal berdasarkan teori, peningkatan UMP akan menurunkan investasi.

3 Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perkembangan kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Jawa Barat dan untuk menganalisis pengaruh nilai upah minimum propinsi (UMP) terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series (deret waktu) dari tahun 1994 sampai tahun Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan UMP Jawa Barat sedangkan metode kuantitatif melalui analisis regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh nilai UMP terhadap investasi industri TPT Jawa Barat. Model investasi terdiri dari model investasi dalam negeri (PMDN) dan investasi asing (PMA). Model yang digunakan adalah model dengan fungsi Double Log dan diestimasi dengan metode Ordinary Least Squares (OLS), kemudian diolah dengan menggunakan software E-views 4.1. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, maka gubernur berwenang menetapkan upah minimum yang sebelumnya ditetapkan oleh menteri yang membidangi ketenagakerjaan. Demikian juga halnya dengan upah minimum Propinsi Jawa Barat ditetapkan oleh gubernur dan dibantu oleh Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh bahwa nilai UMP secara signifikan berpengaruh negatif terhadap investasi dalam negeri (PMDN) industri TPT Jawa Barat. Nilai UMP berpengaruh signifikan terhadap PMDN secara negatif dengan dugaan parameter untuk nilai UMP sebesar 10,06549, asumsi cateris paribus. Artinya bahwa apabila nilai UMP meningkat sebesar 1 persen maka akan menurunkan PMDN sebesar 10,06549 persen. Hal ini menunjukkan bahwa nilai UMP menentukan keinginan para investor dalam negeri untuk menanamkan modalnya pada industri TPT di Jawa Barat. Pada model PMDN, variabel PDRB per kapita berpengaruh nyata secara positif sedangkan suku bunga tidak berpengaruh nyata. Pengaruh nilai UMP terhadap investasi asing (PMA) industri TPT Jawa Barat tidak signifikan. Para investor asing bersedia membayar upah di atas equilibrium karena di Indonesia, termasuk Jawa Barat memiliki turnover labour yang rendah. Artinya, para pekerja di sektor TPT cenderung tetap atau tidak sering berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Hasil estimasi model PMA juga menunjukkan bahwa variabel suku bunga berpengaruh negatif secara signifikan sedangkan PDRB per kapita dan laju nilai tukar tidak berpengaruh nyata. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka saran yang dapat diberikan adalah pemerintah propinsi Jawa Barat sebaiknya tetap melibatkan para pengusaha dalam perundingan penetapan nilai upah minimum propinsi. Selain itu, pemerintah sebaiknya meningkatkan kerjasama dengan pihak perbankan untuk menciptakan kebijakan ekonomi dalam upaya mempertahankan keberadaan dan mengembangkan potensi industri TPT nasional. Upaya peningkatan investasi industri TPT Jawa Barat dapat dilakukan melalui perbaikan iklim usaha yang kondusif.

4 ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT Oleh : ROLAS TE SILALAHI A Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

5 Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Kebijakan Upah Minimum Propinsi (UMP) terhadap Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Jawa Barat Nama : Rolas TE Silalahi NRP : A Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP Tanggal Kelulusan :

6 PERNYATAAN DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN UNTUK SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA APAPUN. Bogor, Agustus 2008 ROLAS TE SILALAHI A

7 RIWAYAT HIDUP Penulis memiliki nama lengkap Rolas Theresia Elisabeth Silalahi dan lahir di Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara, pada tanggal 3 Juli Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Bapak Daulat Silalahi dan Ibu Berliana Sitanggang. Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri Pardomuan I pada tahun 1992 dan diselesaikan pada tahun Kemudian jenjang pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Budi Mulia Pangururan. Pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2004 di SMU Negeri 1 Pangururan. Pada Juni 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa tingkat sarjana Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya melalui jalur USMI. Selama kuliah penulis aktif dalam UKM KEMAKI-IPB dan kegiatan kepanitiaan. Kepanitiaan yang pernah diikuti adalah Misa Awal Tahun Ajaran IPB tahun 2007 dan perayaan Natal Civitas Akademika IPB tahun Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Ekonomi Umum Tahun Ajaran 2007/2008.

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis hanturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Pengaruh Kebijakan Upah Minimum Propinsi (UMP) terhadap Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Jawa Barat. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana Pertanian, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Jawa Barat dan pengaruh nilai upah minimum propinsi (UMP) terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat. Namun penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan yang dihadapi penulis dalam pelaksanaan penelitian ini. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna untuk kegiatan penelitian upah minimum propinsi dan investasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) selanjutnya.

9 UCAPAN TERIMAKASIH 1. Kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang senantiasa mencurahkan kasih dan berkat kepada penulis. 2. Kepada kedua orangtua penulis, Bapak Daulat Silalahi dan Ibu Berliana Sitanggang. Terimakasih atas kasih, doa, dukungan, bimbingan, dan motivasi yang selalu diberikan. Kepada kedua adik penulis, Adonia dan Felix. Terimakasih atas doa, kasih, dan semangat yang selalu diberikan kepada kaka. 3. Kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec sebagai dosen pembimbing skripsi. Terimakasih atas bimbingan, kesabaran, pengertian, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. 4. Kepada Ibu Tanti Novianti, S.P, M.Si sebagai dosen penguji utama. 5. Kepada Bapak Adi Hadianto, S.P sebagai dosen penguji wakil departemen. 6. Kepada Bapak Benny Setiawan, Ibu Priyana, dan Ibu Sri dari Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah Jawa Barat, pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat, serta pihak Badan Pusat Statistik Jawa Barat. Terimakasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 7. Kepada sahabat-sahabat penulis, Marlina, Merika, Eva, Tata, Natalia, Martyanti, Lenny, Estu, Jimmy, Rocky, Kristian, Rianti, Laura, Martha, Lena, dan Lambok. Terimakasih atas bantuan, doa, dan dukungan yang diberikan. 8. Kepada teman-teman seperjuangan penulis, Marlina, Santi, Ismail, Fitria, dan Nisa. Terimakasih atas kerjasama, bantuan, semangat, dan doa yang diberikan. 9. Kepada Ribkha, Trista, Grista, Wida, Liana, Kak Dina, Bang Agus, EPS 41, BIA dan Umat Ciampea, serta semua pihak yang telah membantu penulis. Terimakasih banyak atas bantuan, doa, dan dukungannya. Tuhan Memberkati.

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN.... xii I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori Teori Upah Teori Upah Minimum Teori Investasi Suku Bunga Nilai Tukar Produk Domestik Bruto (PDRB) OLS Penelitian Terdahulu Penelitian Terdahulu Mengenai Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Penelitian Terdahulu Mengenai Investasi Penelitian Terdahulu Mengenai Upah Minimum III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Hubungan Upah Minimum, Suku Bunga, dan Investasi Hubungan Nilai Tukar, PDRB, dan Investasi Kerangka Pemikiran Operasional Hipotesis Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Model Estimasi Metode Estimasi Uji Kriteria Statistik Uji Ekonometrika Asumsi yang Digunakan Batasan Operasional Variabel... 47

11 V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT 5.1 Letak Geografis Keadaan Topografi dan Kondisi Iklim Pendidikan dan Populasi Penduduk Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur Kondisi Perekonomian Jawa Barat Profil Industri TPT Jawa Barat Perkembangan Industri TPT Jawa Barat Peranan Industri TPT terhadap Perekonomian Jawa Barat Sistem Pengupahan Pada Industri TPT VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Perkembangan Kebijakan Upah Minimum Propinsi Jawa Barat Tata Cara Penetapan Upah Minimum Propinsi Jawa Barat Gambaran Perkembangan Nilai Upah Minimum Propinsi Jawa Barat Analisis Pengaruh Nilai Upah Minimum Propinsi (UMP) terhadap Investasi Industri TPT Jawa Barat Uji Ekonometrika Estimasi Model PMDN Industri TPT PMA Industri TPT Implikasi Kebijakan VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 94

12 DAFTAR TABEL Nomor. Halaman 1 Persentase Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun Persentase Kontribusi Sektoral dalam Perekonomian Jawa Barat Berdasarkan Harga Konstan Upah Minimum Propinsi (UMP), Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Tahun (Ribu Rupiah) Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa Barat Tahun (Orang) Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan pekerjaan Utama di Jawa Barat Tahun 2000, 2003, 2005 (Orang) Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan di Propinsi Jawa Barat Tahun (km 2 ) Penyediaan, Penjualan, dan Susut Energi Listrik di Jawa Barat Tahun 2004 (Ribu KWH) Nilai Investasi pada PMDN dan PMA di Propinsi Jawa Barat Tahun Jumlah Perusahaan TPT di Jawa Barat Tahun Nilai Investasi dan Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Industri TPT di Jawa Barat Menurut PMDN dan PMA Tahun Ekspor Nonmigas Menurut Kelompok Barang di Propinsi Jawa Barat, Berdasarkan Nilai (Juta US Dollar) dan Volume (Ton) Tahun

13 Nomor. Halaman 12 Hasil Estimasi Uji Autokorelasi Model PMDN Hasil Estimasi Uji Autokorelasi Model PMA Hasil Estimasi Uji Heteroskedastisitas Model PMDN Hasil Estimasi Uji Heteroskedastisitas Model PMA Uji Multikolinearitas Model PMDN Uji Multikolinearitas Model PMA Hasil Estimasi Model PMDN Hasil Estimasi Model PMA... 79

14 DAFTAR GAMBAR Nomor. Halaman 1 Persentase Share (Kontribusi) Sektor dan Produksi Utama Indonesia terhadap Surplus Perdagangan Tahun Persentase Kontribusi Subsektoral Pada sektor Industri Pengolahan Tanpa Migas Jawa Barat, Periode Nilai Investasi Industri TPT di Propinsi Jawa Barat, Tahun Tingkat Upah dan Tingkat Penggunaan Tenaga Kerja Kurva Upah Minimum Tenaga Kerja Fungsi Investasi Kurva Keseimbangan Uang Riil dan Fungsi Investasi Hubungan Nilai Tukar, Pendapatan, dan Investasi Diagram Alur Kerangka Pemikiran Operasional Laju Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Jawa Barat, Tahun Kontribusi Total Nilai PMDN/PMA Berdasarkan Wilayah di Propinsi Jawa Barat, Tahun Perkembangan Rata-rata Upah Pekerja Indutri TPT di Jawa Barat, Tahun Perkembangan Nilai UMP dan KHL Propinsi Jawa Barat Perkembangan PDRBRiil Propinsi Jawa Barat Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Pada PMA Industri TPT Jawa Barat, Tahun

15 DAFTAR LAMPIRAN Nomor. Halaman 1 Data Riil yang Digunakan Pada Estimasi Model Uji Autokorelasi Model PMDN Industri TPT Jawa Barat Uji Heteroskedastisitas Model PMDN Industri TPT Jawa Barat Uji Autokorelasi Model PMA Industri TPT Jawa Barat Uji Heteroskedastisitas Model PMA Industri TPT Jawa Barat Uji Jarque-Bera Model PMDN Industri TPT Jawa Barat Uji Jarque-Bera Model PMA Industri TPT Jawa Barat Hasil Estimasi Model PMDN Indutri TPT Jawa Barat Hasil Estimasi Model PMA Industri TPT Jawa Barat... 98

16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor lain dalam meningkatkan kemajuan perekonomian suatu negara. Produk-produk industri selalu memiliki nilai tukar yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini dikarenakan industri memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada para pemakainya (Dumairy, 2000). Demikian juga dengan Indonesia, sektor industri memiliki peranan penting bagi peningkatan perekonomian negara yaitu dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Tabel 1. Persentase Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 15,46 15,24 14,92 14,49 14,15 Pertambangan dan Penggalian 11,28 10,63 9,66 9,42 9,14 Industri Pengolahan 27,85 28,01 28,37 28,07 27,85 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,65 0,65 0,65 0,66 0,66 Bangunan 5,60 5,69 5,81 5,91 6,10 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 16,16 16,26 16,37 16,78 16,89 Pengangkutan dan Komunikasi 5,05 5,42 5,85 6,52 6,74 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 8,69 8,9 9,12 9,21 9,23 Jasa-jasa 9,22 9,20 9,23 9,18 9,24 Produk Domestik Bruto (PDB) 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007 (diolah). Pada Tabel 1 terlihat bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor pembentuk PDB terbesar dibandingkan sektor perekonomian lainnya. Adapun

17 rata-rata kontribusi sektor industri dari tahun 2002 hingga tahun 2006 adalah sebesar 28,03 persen per tahun. Industri yang selama ini menjadi andalan bagi Indonesia adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Keunggulan industri TPT terlihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB nasional, besarnya penyerapan tenaga kerja serta kontribusi TPT dalam surplus perdagangan Indonesia. Pada tahun 2006, industri TPT mampu memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp 10,68 milyar dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sebesar pekerja. Selanjutnya, berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa diantara sektor dan komoditi utama Indonesia, industri TPT berada pada peringkat ketiga setelah sektor lainnya dan barang tambang yang memberikan share terhadap surplus perdagangan Indonesia. Adapun share yang diberikan oleh industri TPT adalah sebesar 20 persen (Departemen Perindustrian, 2007). Share Surplus Perdagangan Indonesia Tahun 2006 Produk Karet 6% Sepatu dan Produk kulit 4% Barang tambang 25% Lainnya 28% TPT 20% Migas 5% Elektronik 12% Sumber : Departemen Perindustrian, Gambar 1. Persentase Share (Kontribusi) Sektor dan Produksi Utama Indonesia terhadap Surplus Perdagangan Tahun 2006 Disamping itu, industri TPT Indonesia memiliki fundamental yang kuat karena memiliki struktur industri yang lengkap, vertikal dan terintegrasi dari hulu sampai hilir atau mulai dari sektor industri man made fiber sampai sektor industri

18 garment. Keunggulan tersebut menjadikan industri TPT Indonesia sebagai industri yang kuat serta memiliki kemampuan daya saing global. Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (2007), distribusi perusahaan TPT yang ada di Indonesia sebagian besar berlokasi di Jawa Barat yaitu sebanyak 57 persen. Kemudian diikuti oleh Jakarta dan Jawa Tengah, masing-masing sebanyak 17 persen dan 14 persen. Berdasarkan distribusi tersebut, Jawa Barat dapat dikatakan sebagai sentral industri tekstil di Indonesia. Pada tahun 2006, jumlah perusahaan TPT di Jawa Barat mencapai unit sedangkan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut sekitar orang. Selain itu, komoditi TPT merupakan salah satu komoditi ekspor terbesar Jawa Barat, selama periode nilainya mencapai angka rata-rata 4,054 milyar US Dollar (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, 2008). Industri TPT merupakan salah satu subsektor dari industri pengolahan non migas, yang memiliki peranan cukup besar dalam perekonomian Jawa Barat. Peningkatan sektor industri TPT dapat dilihat dari semakin bertambahnya sumbangan sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat. Pada Tabel 2 terlihat bahwa sumbangan sektor industri pengolahan mengalami peningkatan dari 40,48 persen pada tahun 2000 menjadi 45,49 persen pada tahun Kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel yang memberikan kontribusi sebesar 18,17 persen di tahun 2000 yang terus mengalami peningkatan menjadi 20,34 persen pada tahun 2006.

19 Tabel 2. Persentase Kontribusi Sektoral dalam Perekonomian Jawa Barat Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun Lapangan Usaha Pertanian 14,53 13,81 13,20 14,61 14,93 13,96 2. Pertambangan dan Penggalian 8,24 8,00 7,70 3,31 3,07 2,82 3. Industri Pengolahan 40,81 40,70 41,34 42,01 45,00 45,94 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 2,05 2,08 2,01 2,29 2,41 2,31 5. Bangunan 2,53 2,64 2,71 2,83 3,32 3,26 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 17,90 18,28 17,74 19,14 20,19 20,34 7. Pengangkutan dan Komunikasi 3,90 4,01 4,22 4,41 4,41 4,48 8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 2,89 3,07 3,20 3,11 3,26 3,08 9. Jasa-jasa 7,15 7,41 7,89 8,30 7,19 7,31 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2007 (diolah). Kontribusi industri TPT terhadap industri pengolahan nonmigas dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan gambar dapat dilihat bahwa diantara subsektor industri pengolahan nonmigas lainnya, industri TPT memberikan kontribusi terbesar kedua setelah industri alat angkutan, mesin dan peralatannya. Pada periode kontribusi industri TPT mengalami peningkatan yaitu dari 10,68 menjadi 11,03 persen. Angka pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa industri TPT merupakan salah satu sektor yang memiliki pertumbuhan yang positif. Dengan demikian, meningkatnya peran industri TPT terhadap industri pengolahan nonmigas akan berdampak cukup signifikan terhadap pertumbuhan PDRB dan berbagai aspek perekonomian Jawa Barat.

20 Persentase (%) Kontribusi Subsektoral Terhadap Sektor Industri Nonmigas Propinsi Jawa Barat Tahun 2005 Tahun 2006 Sektor Industri Pengolahan Nonm igas M akanan, M inuman dan Tembakau Tekstil Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar dan Baja Alat Angkutan, M esin dan Peralatannya Barang Lainnya Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Gambar 2. Persentase Kontribusi Subsektoral Pada Sektor Industri Pengolahan Nonmigas Jawa Barat, Periode Investasi memiliki peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan kegiatan ekonomi. Demikian juga halnya pada industri TPT, investasi berperan untuk mendorong daya saing dan meningkatkan produktivitas. 1 Potensi Jawa Barat sebagai sentral industri TPT Indonesia serta adanya ketersediaan infrastruktur yang mendukung menjadikan Jawa Barat sebagai wilayah investasi TPT yang menjanjikan (Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah Propinsi Jawa Barat, 2007). Investasi atau penanaman modal terdiri dari penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Rencana penanaman modal di Propinsi Jawa Barat harus mendapat persetujuan dari pemerintah daerah setempat. Pada tahun 2006, persetujuan nilai investasi PMDN industri TPT adalah sebesar Rp 198,409 milyar yang terdiri dari 9 proyek, sedangkan nilai investasi 1 Asosiasi Pertekstilan Indonesia Investasi untuk Menciptakan Peluang yang Lebih Baik dalam Indonesian Textile Magazine No. 45, Januari 2008.

21 PMA mencapai Rp 988,445 milyar yang terdiri dari 64 proyek. Tingginya minat para penanam modal terhadap industri TPT terkait dengan potensi Propinsi Jawa Barat sebagai pusat industri atau center of industry di Indonesia (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, 2007). Keinginan para investor untuk menanamkan modalnya di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Departemen Perindustrian (2007), iklim ketenagakerjaan termasuk faktor yang mempengaruhi investasi pada industri TPT. Hal tersebut dikarenakan industri TPT merupakan industri padat karya. Selain itu, penetapan nilai upah minimum sebagai salah satu kebijakan dibidang ketenagakerjaan juga menentukan pertumbuhan investasi industri TPT. 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang upah minimum dituangkan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah Minimum. Berdasarkan peraturan menteri tersebut, upah minimum dibagi dalam tiga kriteria yaitu upah minimum regional, upah minimum sektor regional dan upah minimum subsektor regional. Selanjutnya, pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan peraturan melalui Departemen Tenaga Kerja dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-01/MEN/1999 tentang Pembayaran Upah Minimum. Berdasarkan peraturan tersebut, upah minimum merupakan upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. Upah yang dibayarkan oleh semua perusahaan harus dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja. Pada pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa penetapan upah minimum mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL); indeks harga konsumen (IHK); kemampuan, 2 Anonim Hambatan Realisasi Investasi di Sektor TPT Indonesia. Diakses : 24 April 2008.

22 perkembangan dan kelangsungan perusahaan; upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah; kondisi pasar kerja; tingkat perkembangan perekonomian baik regional maupun nasional; serta pendapatan per kapita. Sejak tahun 2001, tingkat upah minimum regional dikenal dengan tingkat upah minimum propinsi (UMP) karena ruang lingkupnya hanya meliputi satu propinsi. Selain itu, setelah otonomi daerah dilaksanakan secara penuh di berbagai wilayah, dikenal juga istilah upah minimum kabupaten/kota (UMK). 3 Di Jawa Barat, nilai upah minimum propinsi ditetapkan dengan berpedoman kepada peraturan pemerintah pusat. Adapun tujuan penetapan upah minimum Jawa Barat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja serta menjaga dan meningkatkan prestasi kerja karyawan. Upah mempunyai kedudukan yang berbeda baik bagi para pekerja maupun perusahaan. Pada industri TPT, peranan upah minimum dan peningkatannya dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, baik dari sudut pekerja maupun pengusaha. Bagi pekerja, upah merupakan salah satu sarana utama untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Peningkatan upah minimum tentu saja dapat meningkatkan daya beli pekerja itu sendiri. Dilain pihak, bagi pengusaha dan para investor, upah merupakan salah satu sumber biaya yang dapat mempengaruhi biaya produksi total dan harga output, upah yang meningkat tentu saja menambah biaya produksinya. Industri TPT merupakan industri yang memiliki ciri khas sebagai industri padat karya sehingga biaya tenaga kerja merupakan salah satu komponen utama dalam struktur biaya industri dengan upah tenaga kerja sebagai komponen 3 Anonim Upah Minimum Regional. Diakses : 24 April 2007.

23 utamanya. Biaya tenaga kerja merupakan biaya terbesar kedua setelah biaya bahan baku sebesar 76,8 persen. Kontribusi biaya tenaga kerja untuk biaya produksi secara keseluruhan adalah 13,37 persen, diikuti oleh biaya bahan bakar, listrik, gas sebesar 6,60 persen kemudian biaya bahan baku lainnya sebesar 3,70 persen. Terkait dengan ciri khas industri TPT sebagai industri padat karya tersebut maka pengusaha sangat berhati-hati dalam meningkatkan nilai upah. Selain itu, besarnya kontribusi upah terhadap biaya produksi akan diperhitungkan oleh para investor. Berdasarkan uraian di atas, pengaruh upah minimum propinsi terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat sangat menarik untuk diteliti Perumusan Masalah Upah minimum merupakan jaring pengaman (safety net) dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya tersebut diwujudkan oleh pemerintah melalui propinsi, dengan menetapkan upah minimum yang sesuai dengan potensi dan keadaan ketenagakerjaan di daerahnya. Upah minimum propinsi yang ditetapkan diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan selanjutnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataannya, nilai upah minimum yang ditetapkan diberbagai propinsi sangat bervariasi dan cenderung mengalami peningkatan. Pada Tabel 3 berikut disajikan perkembangan rata-rata tingkat UMP beserta kebutuhan hidup layak (KHL) di Indonesia sejak tahun 2001 hingga tahun Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata UMP di Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif dengan rata-rata 14,46 persen per tahun.

24 Tabel 3. Upah Minimum Propinsi (UMP), Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Tahun (Ribu Rupiah) Tahun Rata-Rata UMP Rata-Rata KHL Pertumbuhan UMP (persen) ,17 342, ,74 416,89 18, ,72 478,42 14, ,50 494,94 10, ,70 602,15 10, ,15 719,83 18,60 Sumber: Badan Pusat Statistik, Sejalan dengan peningkatan upah minimum yang ditetapkan, pemerintah Propinsi Jawa Barat sebagai fasilitator antara pihak pekerja dan pengusaha mengalami dilema dalam menetapkan upah minimum propinsi. Pada satu sisi dengan kenaikan upah minimum yang diminta oleh pihak pekerja akan membawa dampak positif bagi pekerja, namun di sisi lain terdapat beberapa pihak pengusaha yang tidak mampu membayar kenaikan upah minimum tersebut. Kenaikan nilai UMP akan memiliki pengaruh secara langsung terhadap nilai investasi yang akan masuk ke suatu daerah, termasuk terhadap nilai investasi industri TPT. Hal tersebut dikarenakan dalam menanamkan modalnya baik investor asing maupun dalam negeri akan memperhatikan biaya produksi guna memperoleh keuntungan maksimal (profit oriented). Nilai UMP merupakan komponen terbesar kedua dalam perhitungan biaya industri dan dapat mempengaruhi biaya industri secara keseluruhan. Jika nilai UMP di suatu daerah tinggi maka biaya produksi akan semakin besar. Kondisi tersebut akan menurunkan nilai investasi yang akan masuk ke suatu daerah (Octivaningsih, 2006).

25 Investasi sektor industri TPT merupakan salah satu hal yang menarik untuk diteliti. Ketika industri TPT sedang diprioritaskan pertumbuhannya oleh pemerintah namun investasi sektor industri TPT mengalami peningkatan yang sangat kecil. Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa pertumbuhan nilai investasi industri TPT di wilayah Jawa Barat cenderung fluktuatif. Peningkatan investasi industri TPT terbesar terjadi pada tahun Adapun penyebab berfluktuasinya nilai investasi pada industri TPT adalah terjadinya ketidakstabilan perekonomian Indonesia, gangguan keamanan, kenaikan bahan baku utama (poliester) pada tahun 2003, serta kenaikan BBM dan tarif dasar listrik (TDL). Selain itu, rancangan undang-undang penanaman modal yang belum diselesaikan juga ikut mempengaruhi nilai investasi yang ditanamkan oleh para investor. Nilai Investasi Industri TPT Propinsi Jawa Barat Investasi (Milyar Rupiah) Tahun Investasi Sumber : Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah Jawa Barat, Gambar 3. Nilai Investasi Industri TPT di Propinsi Jawa Barat, Tahun Pada tahun 2004, nilai investasi industri TPT di Propinsi Jawa Barat sebesar Rp 1.049,37 milyar kemudian meningkat pada tahun 2005 menjadi

26 sebesar Rp 3.389,78 milyar. Kondisi pada periode ini turut juga dipengaruhi oleh ketidakstabilan perekonomian menjelang pemilihan umum. Pada tahun 2006, nilai investasi ini menurun drastis menjadi sebesar Rp 1.160,93 milyar. Kondisi tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya biaya produksi dan penggunaaan mesin-mesin yang sudah tua pada industri TPT. Sejalan dengan adanya kebijakan peningkatan UMP setiap tahunnya, nilai investasi industri TPT Jawa Barat justru dihadapkan pada pertumbuhan yang fluktuatif. Padahal berdasarkan teori, peningkatan UMP akan menurunkan investasi. Oleh karena itu, pada penelitian ini terdapat dua permasalahan yang akan dibahas yaitu: 1. Bagaimana perkembangan kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Jawa Barat? 2. Bagaimana pengaruh nilai upah minimum propinsi (UMP) terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan perkembangan kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Jawa Barat; 2. Menganalisis pengaruh nilai upah minimum propinsi (UMP) terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat.

27 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki tiga kegunaan: 1. Dapat menggambarkan pengaruh yang ditimbulkan dari penetapan UMP terhadap investasi industri TPT Jawa Barat bagi para stakeholders (pekerja dan pengusaha); 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah Propinsi Jawa Barat dalam menetapkan tingkat upah minimum propinsi (UMP) serta meningkatkan investasi industri TPT Jawa Barat; 3. Sebagai salah satu bahan rujukan dan data dasar (benchmark data) bagi penelitian selanjutnya yang tertarik dalam masalah yang sama Ruang Lingkup Penelitian Kebijakan upah minimum yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Propinsi Jawa Barat pada periode waktu UMP di Jawa Barat merupakan upah minimum keseluruhan yang mencakup semua sektor. Investasi yang dibahas adalah nilai investasi pada sektor industri TPT (secara keseluruhan) di Jawa Barat, yang berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) dengan menggunakan data nilai realisasi (izin usaha tetap) tahun Selain UMP, variabel independen lain yang digunakan pada model PMDN dan PMA adalah tingkat suku bunga, dan nilai PDRB per kapita sedangkan variabel laju nilai tukar rupiah terhadap US Dollar ditambahkan pada model PMA. Adapun pengaruh UMP terhadap investasi hanya dilihat dari segi pengusaha/investor industri TPT.

28 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori Teori Upah Menurut Arfida (2003), pandangan orang tentang tingginya tingkat upah tidak berubah namun tergantung terhadap sudut pandang yang dipakai. Konsep upah telah dibahas mulai dari kelompok mazhab klasik dan dilanjutkan oleh kelompok neoklasik hingga pemikiran-pemikiran di zaman modern. Para ekonom klasik meletakkan dasar penentuan kegiatan ekonomi pada mekanisme pasar bebas tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Demikian juga halnya dalam pembahasan tingkat upah, pasar tenaga kerja diasumsikan pada kondisi pasar persaingan sempurna yang berakibat tingkat upah yang terjadi di pasar ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran atas tenaga kerja (Wirakartakusumah, 1999). Beberapa pandangan para ekonom tentang konsep upah antara lain : (1) David Ricardo Teori upah Ricardo terkenal dengan sebutan hukum besi tentang upah atau iron law of wage. Tingkat upah sebagai balas jasa bagi tenaga kerja merupakan harga yang diperlukan untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan tenaga kerja. Ricardo juga menyatakan bahwa perbaikan upah hanya ditentukan oleh perbuatan dan perilaku tenaga kerja sendiri dan pembentukan upah sebaiknya diserahkan kepada persaingan bebas di pasar.

29 (2) Malthus Malthus merupakan salah seorang tokoh klasik yang meninjau upah dalam kaitannya dengan perubahan penduduk. Menurut Malthus, jumlah penduduk merupakan faktor strategis yang dipakai untuk menjelaskan berbagai hal. Malthus menyatakan bila penduduk bertambah, penawaran tenaga kerja juga bertambah sehingga dapat menekan tingkat upah. Demikian juga sebaliknya, tingkat upah akan meningkat jika penawaran tenaga kerja berkurang akibat jumlah penduduk yang menurun. (3) Jhon Stuart Mills Mills menyatakan bahwa tingkat upah tidak akan berubah dari tingkatnya semula. Menurut Milis, dunia usaha menyediakan dana upah (wage funds) yang ditujukan untuk pembayaran upah. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pada saat investasi dilaksanakan, jumlah dana sudah ditentukan sehingga tingkat upah tidak dapat berubah jauh dari alokasi yang telah ditetapkan. (4) Kelompok Neoklasik Kelompok ini masih termasuk klasik karena memiliki pandangan yang sama dengan pemikiran klasik yaitu tentang pentingnya kebebasan dalam berusaha. Teori neoklasik mengemukakan bahwa dalam rangka memaksimumkan keuntungan, tiap-tiap pengusaha menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga tiap faktor produksi yang dipergunakan menerima atau diberi imbalan sebesar nilai pertambahan hasil marjinal dari faktor produksi tersebut. Hal ini berarti bahwa pengusaha mempekerjakan sejumlah karyawan sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marjinal seseorang sama dengan upah yang diterima orang tersebut (Simanjuntak, 2001).

30 Dengan kata lain tingkat upah yang dibayarkan pengusaha adalah: W = VMP L = MP L X P (2.1) W = tingkat upah (dalam arti labour cost) yang dibayarkan pengusaha kepada pekerja; P = harga jual barang (hasil produksi) dalam rupiah per unit barang; MP L = marginal product of labour atau pertambahan hasil marjinal pekerja, diukur dalam unit barang per unit waktu; VMP L = value of marginal product of labour atau nilai pertambahan hasil marjinal pekerja atau karyawan. Berdasarkan Persamaan (2.1), nilai pertambahan hasil pekerja atau VMP L merupakan nilai jasa yang diberikan oleh pekerja kepada pengusaha. Atau dengan pengertian lain, VMP L adalah produksi marjinal yang diperoleh sebagai akibat penambahan satu unit tenaga kerja dikalikan dengan harga barang yang dihasilkan. Sebaliknya upah (W) dibayarkan oleh pengusaha kepada karyawan sebagai imbalan terhadap jasa karyawan yang diberikan kepada pengusaha. Pengusaha dapat menambah keuntungan dengan menambah pekerja selama nilai pertambahan hasil marjinal karyawan lebih besar dari upah yang dibayarkan oleh pengusaha (VMP L > W). Gambar 4 menunjukkan penentuan tingkat upah berdasarkan pemikiran neoklasik. Garis VMP L adalah kurva nilai produktivitas marginal labour (value of marginal product of labour) yang memiliki slope negatif. Hal ini sesuai dengan dengan hukum The Law of Diminishing Marginal Productivity of Labour yang menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja akan menurun jika jumlah tenaga kerja meningkat. Kurva VMPL dapat dianggap sebagai kurva permintaan tenaga

31 kerja sebab perusahaan yang menginginkan laba maksimum akan menggunakan tenaga kerja pada saat tingkat upah sama dengan VMP L nya. Misalnya jumlah tenaga kerja yang digunakan sebanyak ON 1, maka nilai hasil kerja (VMP L ) akan sama dengan tingkat upah dan lebih besar daripada tingkat upah yang berlaku (W). Pada kondisi ini keuntungan pengusaha akan meningkat dengan menambah tenaga kerja. Pada gambar juga terlihat bahwa pengusaha hanya dapat menambah penggunaan tenaga kerja hingga titik ON dan pada titik tersebut pengusaha mencapai laba maksimum. Jika tenaga kerja ditambah dengan jumlah yang lebih besar dari ON yaitu sebesar ON 2 maka keuntungan pengusaha akan berkurang. Kondisi tersebut dikarenakan pengusaha membayar upah dalam tingkat yang berlaku padahal VMP L yang diperoleh lebih kecil dari W yaitu hanya sebesar W 2. Penambahan jumlah tenaga kerja dengan jumlah yang lebih besar dari ON dapat dilakukan apabila pengusaha dapat membayar upah di bawah W dan pengusaha mampu menaikkan harga jual barang. Upah, W W 1 W W 2 VMP L 0 N 1 N N 2 Sumber : Simanjuntak, 1996 Gambar 4. Tingkat Upah dan Tingkat Penggunaan Tenaga Kerja

32 Jadi menurut teori neoklasik, karyawan akan memperoleh upah senilai dengan pertambahan hasil marjinalnya dengan asumsi adanya mobilitas sempurna. Dengan kata lain, upah dalam hal ini berfungsi sebagai imbalan atas usaha kerja yang diberikan seorang kepada pengusahanya Teori Upah Minimum Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-01/MEN/1999, upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, sedangkan UMP adalah upah yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di suatu propinsi. Kebijakan upah minimum merupakan salah satu income policy yang bertujuan untuk menilai kelemahan mekanisme pasar yang mengakibatkan terjadinya tingkat upah yang rendah. Selain itu, kebijakan upah minimum juga berupaya untuk mengadakan relokasi ekonomi masyarakat dan untuk meningkatkan pendapatan pekerja (Arfida, 2003). Secara grafis, kebijakan upah minimum dan dampaknya terhadap kesempatan kerja dapat dilihat pada Gambar 5 berikut. Upah,W W M W E E 2 E 3 E 1 LD LS Upah Minimum N E2 N E1 N E3 N (Tenaga Kerja yang diminta dan yang ditawarkan) Sumber : Arfida, 2003 Gambar 5. Kurva Upah Minimum Tenaga Kerja

33 Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa keseimbangan pasar tenaga kerja berada pada titik equilibrium E 1 dengan tingkat upah adalah W E dan tingkat penggunaan tenaga kerja adalah N E1. Adanya penetapan nilai upah minimum akan meningkatkan tingkat upah (W) menjadi W M sehingga equilibrium akan bergeser menjadi E 2 dan permintaan tenaga kerja akan menurun menjadi N E2. Penetapan nilai upah minimum mengakibatkan penawaran tenaga kerja lebih tinggi (E 3 ) dibandingkan permintaan tenaga kerja oleh perusahaan (E 2 ). Kondisi tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengangguran (N E3 -N E2 ). Berdasarkan Gambar 5, penetapan nilai upah minimum yang berakibat upah keseimbangan (We) meningkat menjadi W M akan meningkatkan biaya produksi perusahaan yang selanjutnya akan meningkatkan harga per unit barang yang diproduksi. Biasanya para konsumen akan memberikan respon yang cepat apabila terjadi kenaikan harga barang, yaitu mengurangi permintaan atau konsumsi barang. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, dan produsen terpaksa menurunkan jumlah produksinya. Perubahan tingkat upah yang mengakibatkan turunnya skala produksi ini disebut efek skala produksi atau scale-effect Teori Investasi Investasi menurut para ekonom memiliki beberapa pengertian. Menurut Sukirno (1981), investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau perbelanjaan yang dilakukan oleh para pengusaha untuk membeli barang-barang modal dan membina industri-industri. Sukirno juga menambahkan bahwa para pengusaha

34 membeli barang-barang modal dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan dimasa yang akan datang. Menurut Deliarnov (1995), investasi merupakan komponen pengeluaran agregat kedua setelah konsumsi. Investasi atau sering juga disebut penanaman modal adalah pengeluaran perusahaan secara keseluruhan untuk membeli barangbarang modal riil, baik untuk mendirikan perusahaan-perusahaan baru maupun untuk memperluas usaha yang telah ada. Investasi bersumber dari dana masyarakat yang ditabung melalui lembaga-lembaga keuangan, kemudian disalurkan kepada perusahan-perusahaan. Menurut Mankiw (2003), investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Investasi dapat dibedakan menjadi tiga subkelompok, yaitu investasi tetap bisnis (business fixed investment), investasi residensial (residential investment) dan investasi persediaan (inventory investment). Investasi tetap bisnis merupakan bagian terbesar dari pengeluaran investasi yang mencakup peralatan yang dibeli oleh perusahaan untuk proses produksi, sementara investasi residensial meliputi pembelian rumah baru, baik yang akan ditinggali oleh pemilik sendiri maupun yang akan disewakan kembali, sedangkan investasi persediaan adalah barang yang disimpan oleh perusahaan di gudang, meliputi bahan baku, persediaan, barang setengah jadi, dan barang jadi. Selain pengertian-pengertian di atas, Badan Koordinasi Penanaman Modal mendefinisikan investasi sebagai kegiatan penanaman modal pada berbagai kegiatan ekonomi (produksi) dengan harapan untuk memperoleh keuntungan (benefit) di masa yang akan datang. Penanaman modal tersebut meliputi penanaman modal dalam negeri maupun asing.

35 Menurut Undang-undang No. 6 Tahun 1968 yang telah disempurnakan menjadi Undang-undang No. 12 Tahun 1970, penanaman modal dalam negeri (PMDN) adalah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-benda baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia, yang disisihkan/disediakan guna menjalankan usaha. Penanaman Modal Asing berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 yang telah disempurnakan menjadi Undang-undang No.11 Tahun 1970 adalah alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia. Para pemilik modal asing melaksanakan investasi di Indonesia bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari usaha yang dilaksanakan tersebut. Dilihat dari sudut pandang ekonomi makro, investasi (I) memiliki peranan yang cukup penting dalam menentukan pertumbuhan ekonomi di suatu negara/daerah disamping konsumsi masyarakat (C), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor bersih (X-M). Besar kecilnya investasi yang dilakukan dalam suatu kegiatan ekonomi/produksi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu ramalan kondisi ekonomi ke depan, tingkat bunga, tingkat pendapatan nasional dan perubahanperubahannya, perubahan dan perkembangan teknologi dan keuntungan yang dicapai oleh perusahaan-perusahaan (Sukirno, 1981). Selain itu, Wiranta (2004) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi investasi adalah lingkungan usaha, perkembangan makroekonomi (mencakup stabilitas makroekonomi, stabilitas politik, penegakan hukum dan birokrasi yang efisien), peraturan/kelembagaan, dan iklim usaha yang kondusif.

36 Analisis makroekonomi lebih menekankan peranan tingkat bunga dalam menentukan tingkat investasi karena tingkat bunga merupakan biaya peminjaman. Agar proyek investasi menguntungkan, hasilnya (penerimaan dari kenaikan produksi barang dan jasa masa depan) harus melebihi biayanya (pembayaran untuk dana pinjaman). Jika suku bunga meningkat maka proyek investasi yang menguntungkan akan semakin lebih sedikit, dan jumlah barang-barang investasi yang diminta akan menurun. Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat bunga dan investasi memiliki hubungan berbanding terbalik sehingga semakin rendah tingkat bunga, tingkat investasi yang dilaksanakan akan semakin tinggi. Tingkat bunga yang digunakan adalah tingkat bunga riil karena mengukur biaya peminjaman yang sebenarnya. Sehingga hubungan antara tingkat bunga (r) dan investasi yang direncanakan (I), dapat dirumuskan ke dalam model sebagai berikut : I = I(r) (2.2) Secara grafis hubungan negatif antara investasi dengan suku bunga dapat dilihat pada Gambar 6. Tingkat bunga riil, r Fungsi investasi, I(r) Sumber : Mankiw, Gambar 6. Fungsi Investasi Kuantitas investasi, I

37 Suku Bunga Menurut Lipsey (1995), suku bunga merupakan harga yang harus dibayar untuk meminjam uang selama periode waktu tertentu dan dinyatakan dalam persentase uang yang dipinjam. Para ekonom membedakan antara tingkat bunga nominal dengan tingkat bunga riil ketika mempelajari peranan tingkat suku bunga dalam perekonomian. Tingkat bunga nominal adalah tingkat bunga yang biasa dilaporkan dan merupakan tingkat bunga yang dibayar investor ketika meminjam uang. Sedangkan tingkat bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya dan merupakan tingkat bunga yang menentukan investasi. Investasi sangat bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman. Tingkat bunga riil juga dapat dikatakan sebagai tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi (Mankiw, 2003). Hubungan antara suku bunga nominal (i), suku bunga riil (r) dan tingkat inflasi (π), dapat dirumuskan ke dalam model sebagai berikut : r = i π (2.3) Nilai Tukar Nilai tukar merupakan suatu nilai yang menunjukkan jumlah mata uang dalam negeri yang diperlukan untuk mendapat satu unit mata uang asing (Sukirno, 1981). Selain itu, nilai tukar merupakan suatu nilai yang menunjukkan tingkatan perdagangan antara dua mata uang yang berbeda (Lipsey, 1995). Suatu negara biasanya akan berusaha untuk mempertahankan nilai tukar yang ditetapkan dalam jangka waktu yang lama. Selama nilai tukar yang ditetapkan tersebut tidak

38 menimbulkan akibat yang kurang menguntungkan, maka negara tersebut tidak akan melakukan suatu perubahan terhadap nilai tukar yang telah ditetapkannya. Secara umum nilai tukar dibedakan menjadi dua jenis yaitu nilai tukar nominal (nominal exchange rate) dan nilai tukar riil (real exchange rate). Nilai tukar nominal adalah tingkat atau tarif dimana seseorang dapat memperdagangkan mata uang dari suatu negara dengan mata uang dari negara lain. Selain itu, nilai tukar nominal merupakan harga relatif dari mata uang dua negara. Nilai tukar riil adalah tingkatan dimana seseorang dapat memperdagangkan barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain atau dengan kata lain nilai tukar riil merupakan harga relatif dari barang-barang diantara dua negara (Mankiw, 2000). Nilai tukar riil memiliki peranan yang sangat penting karena nilai tukar riil adalah penentu banyaknya jumlah ekspor dan impor suatu negara. Nilai tukar riil ( ) dihitung dari nilai tukar nominal (e) dan tingkat harga di kedua negara yang diukur berdasarkan nilai tukar lokal yaitu harga domestik (P) serta harga luar negeri (P*). Maka nilai tukar riil adalah : = e x (P/P*) (2.4) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat dilihat dari PDRB wilayah tersebut. Laju pertumbuhan PDRB merupakan tingkat output yang diturunkan dari fungsi produksi suatu barang dan jasa. Fungsi produksi merupakan hubungan antara tingkat output (Y) dengan tingkat input. Tingkat input terdiri dari modal

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT Oleh : ROLAS TE SILALAHI A14304008 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Ketenagakerjaan merupakan isu penting dalam sebuah aktivitas bisnis dan perekonomian Indonesia. Angkatan kerja, penduduk

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA)

ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA) ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA) DITA FIDIANI H14104050 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Pengertian Tenaga Kerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A14105570 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Ketenagakerjaan Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH OKTAVIANITA BR BANGUN H

ANALISIS PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH OKTAVIANITA BR BANGUN H ANALISIS PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH OKTAVIANITA BR BANGUN H 14104017 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode 2010-2015, secara umum pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi, dimana pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010-2015, laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah maupun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BOGOR SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH. Oleh: Martyanti RB Sianturi A

KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BOGOR SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH. Oleh: Martyanti RB Sianturi A KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BOGOR SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH Oleh: Martyanti RB Sianturi A14304034 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Investasi merupakan modal penting bagi negara-negara berkembang, karena memiliki peranan yang besar dalam proses pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah

Lebih terperinci

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun. Indonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5% (yoy), sedangkan pertumbuhan triwulan IV-2011 secara tahunan sebesar 6,5% (yoy) atau secara triwulanan turun 1,3% (qtq). PDB per kapita atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perencanaan Wilayah Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah berhak untuk membangun wilayahnya sendiri. Pembangunan yang baik tentunya adalah pembangunan yang terencana.

Lebih terperinci

ANALISIS ALIRAN PERDAGANGAN TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INTRA-ASEAN. Oleh: Marlina Tota Juliani Siahaan A

ANALISIS ALIRAN PERDAGANGAN TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INTRA-ASEAN. Oleh: Marlina Tota Juliani Siahaan A ANALISIS ALIRAN PERDAGANGAN TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INTRA-ASEAN Oleh: Marlina Tota Juliani Siahaan A14304004 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hakikat pembangunan ini mengandung makna bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut

BAB II TINJAUAN TEORI. Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Ketenagakerjaan Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang disebut sebagai tenaga kerja

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A14301041 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kesempatan kerja. Pendekatan pertumbuhan ekonomi banyak

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)

ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) Oleh : Natalia A14304070 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah masalah yang penting dalam perekonomian suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Pulau Jawa merupakan salah satu bagian dari lima pulau besar di

IV. GAMBARAN UMUM. Pulau Jawa merupakan salah satu bagian dari lima pulau besar di 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Administratif Pulau Jawa merupakan salah satu bagian dari lima pulau besar di Indonesia, yang terletak di bagian Selatan Nusantara yang dikenal sebagai negara

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Sumatera Utara sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Sumatera Utara sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Sumatera Utara sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki 419 pulau. Total luas Propinsi Sumatera Utara sebesar 72.981,23

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghambat adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Melonjaknya

BAB I PENDAHULUAN. penghambat adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Melonjaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan serangkaian usaha yang dilakukan suatu negara untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dalam pembangunan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan daripada modal atau investasi. Modal merupakan faktor yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. peranan daripada modal atau investasi. Modal merupakan faktor yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu usaha dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi adalah peranan daripada modal atau investasi. Modal merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan. Pentingnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi nasional,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/02/72/Th. XIV. 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H14052333 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 184.845.034 194.426.046 9.581.012 5,18 2 Usaha Menengah (UM)

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H14103094 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT 5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H14104036 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Investasi atau penanaman modal merupakan instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang ada di suatu negara atau wilayah. Karena pada dasarnya, investasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Salah satu sasaran rencana pembangunan nasional adalah pembangunan disegala bidang dan mencakup seluruh sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan peningkatan

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dimensi masalah ketenagakerjaan bukan hanya sekedar keterbatasan lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih serius dengan penyebab

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014 No. 40/08/36/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN II-2014 PDRB Banten triwulan II tahun 2014, secara quarter to quarter (q to q) mengalami pertumbuhan sebesar 2,17 persen,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013 No. 09/02/36/Th. VIII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013 Secara total, perekonomian Banten pada triwulan IV-2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 No. 68/11/33/Th.VIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan akan berlangsung terus dalam Iaju yang semakin pesat

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI KOTA BOGOR. Oleh : EVA DWI PRIHARTANTI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI KOTA BOGOR. Oleh : EVA DWI PRIHARTANTI H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI KOTA BOGOR Oleh : EVA DWI PRIHARTANTI H14103031 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri JUNI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Juni 2017 Pendahuluan Membaiknya perekonomian dunia secara keseluruhan merupakan penyebab utama membaiknya kinerja ekspor Indonesia pada

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA Mudrajad Kuncoro Juli 2008 Peranan Masing- Masing Cabang Industri Terhadap PDB Sektor Industri Tahun 1995-2008* No. Cabang Industri Persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketertinggalan dibandingkan dengan negara maju dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. ketertinggalan dibandingkan dengan negara maju dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses mutlak yang harus dilakukan oleh suatu bangsa dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh bangsa tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang bahwa industri dipandang sebagai jalan pintas untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang bahwa industri dipandang sebagai jalan pintas untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Belajar dari pembangunan negara maju, muncul keyakinan banyaknegara berkembang bahwa industri dipandang sebagai jalan pintas untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No.51/08/33/Th.VIII, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan II tahun

Lebih terperinci

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh Triwulan I - 2015 LAPORAN LIAISON Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas, tercermin dari penjualan domestik pada triwulan I-2015 yang menurun dibandingkan periode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari suatu

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH (2001-2005) OLEH NITTA WAHYUNI H14102083 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1.

BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan barang dan jasa antar negara di dunia membuat setiap negara mampu memenuhi kebutuhan penduduknya dan memperoleh keuntungan dengan mengekspor barang

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA DI PROVINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH ( )

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA DI PROVINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA DI PROVINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (1994-2007) Disusun Oleh : LISBETH ROTUA SIANTURI H14104020 DEPARTEMEN

Lebih terperinci