KORELASI ANTARA KEJADIAN LEUKOSITURIA DAN VOLUME PROSTAT PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KORELASI ANTARA KEJADIAN LEUKOSITURIA DAN VOLUME PROSTAT PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI SKRIPSI"

Transkripsi

1 KORELASI ANTARA KEJADIAN LEUKOSITURIA DAN VOLUME PROSTAT PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran DIANIKA ROHMAH APRILIA G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

2 PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul: Korelasi antara Kejadian Leukosituria dan Volume Prostat Penderita Pembesaran Prostat Jinak pada Pemeriksaan Ultrasonografi Dianika Rohmah Aprilia, NIM: G , Tahun: 2010 Telah disetujui dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Jumat, Tanggal 12 November 2010 Pembimbing Utama Nama : Widiastuti, dr., Sp.Rad NIP : Pembimbing Pendamping Nama : Bimanggono H. M., dr., Sp.U NIP : Penguji Utama Nama : Dr. J. B. Prasodjo, dr., Sp.Rad NIP : Anggota Penguji Nama : Dr. Syarif Sudirman, dr., f ssp.an-kmn-kar., Sp.Ak NIP : Surakarta,.. Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS NIP NIP: ii

3 PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Surakarta, November 2010 DIANIKA ROHMAH APRILIA NIM. G iii

4 ABSTRAK Dianika Rohmah Aprilia, G , 2010, Korelasi antara Kejadian Leukosituria dan Volume Prostat Penderita Pembesaran Prostat Jinak pada Pemeriksaan Ultrasonografi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan Penelitian: Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah pembesaran prostat yang jinak yang dapat menimbulkan gejala berupa Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Prevalensi BPH sangat tinggi, terutama pada laki-laki berusia di atas 50 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi sehingga diharapkan dapat membantu dokter dalam pemilihan terapi bagi para penderita BPH. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan rancangan cross sectional. Sampel diambil menggunakan teknik total sampling dengan lokasi di Instalasi Radiologi, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, dan Rekam Medik RSUD dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai Agustus Jumlah total sampel adalah 28 orang yang dilakukan pengukuran volume prostat menggunakan USG dengan diagnosis pembesaran prostat jinak untuk kemudian dicari korelasinya dengan hasil pemeriksaan leukosit urine. Data yang didapat kemudian dianalisis dengan uji korelasi Spearman Rank (Rho) menggunakan program komputer. Hasil Penelitian: Hasil uji korelasi Spearman Rank (Rho) menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak (p > 0,05 dan r o < r t ). Simpulan Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak. Kata kunci : volume prostat leukosituria ultrasonografi iv

5 ABSTRACT Dianika Rohmah Aprilia, G , 2010, Correlation between Leukocyturia Occurrence and Prostate Volume of Patients with Benign Prostatic Hipertrophy on Ultrasonography Examination, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University Surakarta. Objective: Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) is a benign enlarged prostate causing symptoms called Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). The prevalence of BPH is very high, especially in men over 50 years. This study aims to determine the correlation between the leukocyturia occurrence and prostate volume of patients with benign prostate hypertrophy on ultrasonography examination with the result is expected to assist doctors in choosing therapy for BPH patients. Methods: This was an analytic observational study with cross sectional approach. Samples were taken using total sampling technique in Radiology, Clinical Pathology, Anatomical Pathology, and Medical Records Instalation of Dr. Moewardi general hospital Surakarta as the locations. The study was conducted from May to August The total number of samples is 28 people who carried out the measurement of prostate volume using ultrasound with the diagnosis of benign prostatic hypertrophy and then searched their correlation with urine leukocyte examination. The data was analyzed with Spearman Rank (Rho) correlation test using the computer program. Results: The Spearman Rank (Rho) correlation test showed no significant correlation between leukocyturia occurrence and prostate volume of patients with benign prostatic hypertrophy (p > 0.05 and r o < r t ). Conclusion: The results showed no significant correlation between leukocyturia occurrence and prostate volume of patients with benign prostatic hypertrophy. Key words: prostate volume - leukocyturia - ultrasonography v

6 PRAKATA Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta ala. Dengan segala karunia dan rahmat-nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Korelasi antara Kejadian Leukosituria dan Volume Prostat Penderita Pembesaran Prostat Jinak pada Pemeriksaan Ultrasonografi. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari tidak banyak yang dapat dilakukan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNS yang telah mengijinkan penulis untuk menyusun skripsi ini. 2. Seluruh jajaran Tim Skripsi FK UNS yang telah banyak membantu demi kelancaran pelaksanaan skripsi. 3. Widiastuti, dr., Sp.Rad selaku Pembimbing Utama dan Bimanggono H. M., dr., Sp.U, selaku Pembimbing Pendamping yang telah membantu dan meluangkan waktunya, kesabaran dalam memberi arahan, semangat, saran, koreksi, serta diskusi yang sangat bermanfaat sehingga penulis sangat terbantu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Dr. J. B. Prasodjo, dr., Sp.Rad sebagai Penguji Utama dan Dr. Syarif Sudirman, dr., Sp.An-KMN-KAR, Sp.AK sebagai penguji pendamping dalam ujian penelitian ini. Terimakasih atas semua arahan, ilmu, dan waktu yang telah diluangkan. 5. Ari Probandari N., dr., MPH sebagai pembimbing kepakaran pada penulisan skripsi ini atas saran dan masukan yang diberikan. 6. Semua Staf Tata Usaha dan Petugas di Instalasi Radiologi, Bedah, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Rekam Medik, Diklit RSUD dr. Moewardi Surakarta, Bagian Patologi Anatomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Keluargaku terimakasih untuk doa, semangat, dukungan serta kepercayaan yang diberikan. 8. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik selalu terbuka demi sebuah perbaikan di masa datang. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi semua pihak. Aamiin. Surakarta, 1 November 2010 Dianika Rohmah Aprilia vi

7 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA.. DAFTAR ISI... DAFTAR DIAGRAM..... DAFTAR LAMPIRAN... BAB II PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian... D. Manfaat Penelitian BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka Kelenjar Prostat... a. Anatomi Prostat b. Fisiologi Prostat 2. Pembesaran Prostat Jinak a. Definisi.. b. Faktor Risiko. c. Etiopatogenesis. d. Gejala dan Tanda.. e. Klasifikasi. vi vii x xi vii

8 f. Penegakan Diagnosis... g. Penatalaksanaan Ultrasonografi... a. Pengertian USG... b. Cara Kerja USG... c. Pemakaian Klinis. d. Kelebihan USG... e. Kekurangan USG.... f. Gambaran BPH pada Pemeriksaan USG.... g. Penggunaan USG untuk Mengukur Volume Prostat.. 4. Leukosituria a. Definisi.... b. Patofisiologi.... c. Cara Pemeriksaan.... d. Interpretasi Hasil..... B. Kerangka Pemikiran.... C. Hipotesis..... BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian B. Lokasi dan Waktu Penelitian... C. Subjek Penelitian.... D. Teknik Sampling..... E. Alur Penelitian viii

9 F. Identifikasi Variabel Penelitian... G. Definisi Operasional Variabel Penelitian... H. Alat dan Bahan Penelitian... I. Cara Kerja J. Teknik Analisis Data... BAB IV HASIL.. BAB VI PEMBAHASAN... BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. A. Simpulan.. B. Saran.... DAFTAR PUSTAKA.. LAMPIRAN ix

10 DAFTAR DIAGRAM Diagram 1. Distribusi Umur Subjek Penelitian. 32 Diagram 2. Distribusi Frekuensi Volume Prostat. 33 Diagram 3. Distribusi Volume Prostat Berdasarkan Umur Diagram 4. Distribusi Frekuensi Jumlah Leukosit Urine.. 35 Diagram 5. Jumlah Kejadian Leukosituria pada Pasien BPH... ii36 x

11 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Data Subjek Penelitian Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Spearman Rank (Rho) 48 Lampiran 3. Tabel Koefisien Korelasi Lampiran 4. Contoh Hasil USG Pasien BPH Lampiran 5. Surat Izin Penelitian. 51 Lampiran 6. Pengantar Penelitian. 52 xi

12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di inferior kandung kemih di depan rektum dan membungkus urethra pars prostatica (Argie, 2008). Volume adalah ukuran kuantitas atau kapasitas suatu zat (Dorland, 2002). Volume prostat meningkat seiring bertambahnya umur (Nickel, 2003). Dari beberapa penelitian cross sectional tentang volume prostat yang dibandingkan dengan usia, dapat disimpulkan bahwa volume prostat meningkat menjadi 25 ml pada pria berusia 30 tahun dan ml pada pria berusia 70 tahun (Soetapa, Djatisoesanto, dan Soebadi, 2007). Peningkatan volume prostat dapat berupa BPH atau karsinoma prostat. Benign prostatic hypertrophy (BPH) adalah pembesaran prostat yang jinak, bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Walaupun selama ini dikenal dengan hipertrofi prostat namun secara histologis yang dominan adalah hiperplasia (Sjamsuhidajat, 2005). Berdasarkan penelitian pada autopsi, BPH terdapat pada 20% pria usia tahun, 50% pria usia tahun, 65% pria usia tahun, 80% pria usia tahun, dan 90% pria usia tahun (Soetapa, Djatisoesanto, dan Soebadi, 2006). Penyebab pembesaran prostat jinak belum diketahui dengan pasti. Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun (Dwindra dan Israr, 2008). xii

13 Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai kriteria untuk mendiagnosis BPH. Penentuan volume prostat dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur, Ultrasonografi (USG), Magnetic Resonance Imaging (MRI), atau Computed Tomography (CT) (Soetapa, Djatisoesanto, dan Soebadi, 2007). Walaupun colok dubur merupakan pemeriksaan standar untuk menilai ukuran prostat, tetapi pemeriksaan ini tidak akurat (seringkali underestimate) dan subjektif (Nickel, 2003; Bapat et al., 2006). Menurut Roehrborn dan McConnell dalam Hardjowijoto dan Taher (2003), MRI atau CT dapat lebih tepat mengukur volume prostat, tetapi pemeriksaan ini mahal. USG merupakan salah satu pemeriksaan yang bermanfaat untuk menentukan derajat pembesaran prostat secara akurat (Goyal, et al., 2006). Pembesaran prostat jinak yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, urolithiasis, atau gejala-gejala gangguan miksi di saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan (Hardjowijoto dan Taher, 2003). Urinalisis adalah analisis fisik, kimia, dan mikroskopik terhadap urine (Kee, 2008). Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria (Hardjowijoto dan Taher, 2003). Leukosituria adalah pengeluaran leukosit di dalam urine (Dorland, 2002). Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti berminat untuk mengetahui korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi. xiii

14 B. Perumusan Masalah Adakah korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dokter dan pasien dalam pemilihan terapi umtuk pasien BPH. xiv

15 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kelenjar Prostat a. Anatomi Prostat Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik dilapisi kapsul fibromuskuler yang terletak di inferior kandung kemih, mengelilingi bagian proksimal uretra (urethra pars prostatica) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram (Dwindra dan Israr, 2008). Karena berat jenis jaringan prostat 1,05 gram/ml maka volume dalam ml dapat disamakan dengan berat kelenjar prostat dalam gram (Bapat, et al., 2006; Peterson, 2008). Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus: lobus medius, 2 lobus lateralis, lobus anterior, dan lobus posterior (Dwindra dan Israr, 2008). BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak terjadi pada bagian posterior lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan karsinoma prostat. (Kumar, Abbas, dan Fausto, 2005). Prostat mendapat aliran darah dari percabangan arteri pudenda interna, arteri vesicalis inferior dan arteri rectalis media. Pembuluh ini xv

16 bercabang-cabang dalam kapsula dan stroma, dan berakhir sebagai jalajala kapiler dalam lamina propria. Pembuluh vena mengikuti jalannya arteri dan bermuara ke pleksus sekeliling kelenjar. Pleksus vena mencurahkan isinya ke vena iliaca interna. Pembuluh limfe mulai sebagai kapiler dalam stroma dan mengikuti pembuluh darah dam mengikuti pembuluh darah. Limfe terutama dicurahkan ke nodus iliaca interna dan nodus sacralis. Persarafan prostat berasal dari plexus hypogastricus inferior dan membentuk plexus prostaticus. Prostat mendapat persarafan terutama dari serabut saraf tidak bermielin. Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom yang terletak di kapsula dan di stroma. Serabut motoris, mungkin terutama simpatis, tampak mempersarafi sel-sel otot polos di stroma dan kapsula sama seperti dinding pembuluh darah (Dwindar dan Israr, 2008). b. Fisiologi Prostat Kelenjar prostat mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan cairan vagina yang asam, suatu fungsi penting karena sperma lebih dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang sedikit basa. Prostat juga menghasilkan enzim-enzim pembekuan dan fibrinolisin. Enzim-enzim pembekuan prostat membekukan semen sehingga sperma yang diejakulasikan tetap tertahan di saluran reproduksi wanita saat penis ditarik keluar. Segera setelah itu, bekuan seminal diuraikan oleh xvi

17 fibrinolisin sehingga sperma motil yang dikeluarkan dapat bebas bergerak di dalam saluran reproduksi wanita (Sherwood, 2001). 2. Pembesaran Prostat Jinak a. Definisi Pembesaran prostat jinak atau Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa (Wilson dan Hillegas, 2005). b. Faktor Risiko Tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai korelasi antara faktorfaktor lain selain usia dalam peningkatan kejadian BPH. Merokok juga diduga sebagai faktor yang berhubungan dengan prostatektomi, namun ras, habitus, riwayat vasektomi, kebiasaan seksual dan penyakitpenyakit lain serta obat-obatan belum ditemukan mempunyai korelasi dengan peningkatan kejadian BPH (Dwindra dan Israr, 2008). c. Etiopatogenesis Penyebab BPH belum jelas. Beberapa yang teori telah dikemukakan di antaranya: xvii

18 1) Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5-α-reductase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat. 2) Teori reawakening, yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa embriologik (jaringan periuretral tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya). Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer BPH adalah penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. 3) Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal. 4) Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan/atau fibroblast growth factor (FGF) dan/atau adanya xviii

19 penurunan ekspresi transforming growth factor- b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat (Argie, 2008). Namun demikian, diyakini ada dua faktor penting penyebab terjadinya BPH, yaitu adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Dihidrotestosteron yang berasal dari testosteron dengan bantuan enzim 5-α-reductase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dihidrotestosteron. Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk kompleks DHT-reseptor yang kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA dan merangsang sintesis protein sehingga terjadi proliferasi sel. Dengan bertambahnya umur terdapat gangguan keseimbangan hormon testosteron dan estrogen. Diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen (hiperestrinisme) secara relatif. Estrogen diketahui mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis, dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami hiperplasia (Kumar, Abbas, dan Fausto, 2005). Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen urethra pars prostatica dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam kandung kemih. Untuk dapat mengeluarkan urine, kandung kemih harus berkontraksi lebih xix

20 kuat guna melawan tekanan tersebut. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari kandung kemih berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel kandung kemih. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada kandung kemih dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejalagejala prostatismus (Dwindra dan Israr, 2008). Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine. Tekanan di dalam kandung kemih yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian kandung kemih tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Irga, 2010). Proses kerusakan ginjal dipercepat apabila terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 2005). Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urine, dapat terbentuk urolithiasis di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria (Sjamsuhidajat, 2005). xx

21 Infeksi saluran kemih dapat timbul sebagai komplikasi ataupun mempercepat terjadinya retensi urine (Muruganandham, Dubey, dan Kapoor, 2007). BPH juga mungkin berhubungan dengan disfungsi seksual (Tang dan Yang, 2009). d. Gejala dan Tanda Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok: 1) Gejala obstruktif Terjadi karena penyempitan uretra pars prostatica karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus (Sjamsuhidajat, 2005). Gejala obstruktif BPH terdiri dari pancaran melemah (poor stream), harus menunggu lama pada permulaan miksi (hesistency), miksi terputus-putus (intermittency), harus mengejan saat buang air kecil (straining), menetes pada akhir miksi (terminal dribbling), dan rasa belum puas setelah miksi (incomplete emptying) (Argie, 2008). Obstruksi saluran kemih pada BPH menyebabkan terjadinya retensi urine akut. Retensi urine akut ditemukan pada hampir sepertiga penderita BPH yang menjalani terapi bedah (Muruganandham, Dubey, dan Kapoor, 2007). xxi

22 2) Gejala iritatif Disebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada saat miksi atau karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga kandung kemih sering berkontraksi meskipun belum penuh (Sjamsuhidajat, 2005). Gejala iritatif terdiri dari sering miksi (frequency), miksi sulit ditahan (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan nyeri saat miksi (disuria) (Argie, 2008). Kumpulan gejala yang ditandai dengan gejala obstruktif dan iritatif pada saluran kemih disebut Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) (As ari, et al., 2008). Lebih dari 50% pria berusia di atas 50 tahun mengalami sebagai manifestasi klinis dari BPH (Nickel, 2008). Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur/digital Rectal Examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat obstruksi (Argie, 2008). e. Klasifikasi Pembesaran prostat jinak terbagi dalam empat derajat berdasarkan gambaran klinisnya. 1) Derajat I: pada colok dubur didapatkan penonjolan prostat dengan batas atas mudah diraba. commit Sisa to user volume urine < 50 ml. xxii

23 2) Derajat II: pada colok dubur didapatkan penonjolan prostat jelas dengan batas atas dapat dicapai. Sisa volume urine ml. 3) Derajat III: pada colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba. Sisa volume urine >100 ml. 4) Derajat IV: terdapat retensi urine total (Sjamsuhidajat, 2005). f. Penegakan Diagnosis Diagnosis BPH dapat ditegakkan melalui: 1) Anamnesis Dilakukan untuk menilai gejala obstruktif dan gejala iritatif. 2) Pemeriksaan fisik Colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, di samping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi kandung kemih. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda keganasan prostat (Hardjowijoto dan Taher, 2003). 3) Pemeriksaan pencitraan a) Ultrasonografi transabdominal Menilai saluran kemih bagian atas. Pemeriksaan ini lebih akurat dibandingkan urografi intravena untuk menilai residu urine. b) Ultrasonografi transrektal xxiii

24 Pemindaian dilakukan setelah pemasangan transduser ke dalam rektum untuk menilai ukuran dan adanya massa yang terlokalisasi. Perbedaan penyakit yang jinak dan ganas dapat dengan jelas dibuat tanpa biopsi untuk analisis histologis (Patel, 2007). 4) Pemeriksaan pancaran urine atau flow rate Dapat dilakukan dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetre yaitu pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik. Pada pasien BPH tampak laju pancaran urine berkurang. Hasil pemeriksaan pancaran urin tidak spesifik menunjukkan penyebab kelainannya. Pancaran urine yang lemah dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih atau kelemahan otot detrusor (Hardjowijoto dan Taher, 2003). 5) Mengukur volume residu urine Residu urine atau Post Voiding Residual Urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah miksi. Jumlah residu urine pada orang normal adalah 0,09-2,24 ml. Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan secara invasif dengan kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non-invasif dengan mengukur sisa urine melalui USG. Pengukuran melalui kateterisasi lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, dan xxiv

25 menimbulkan infeksi saluran kemih. Peningkatan volume residu urine tidak selalu menunjukkan beratnya obstruksi. Namun, bagaimanapun adanya residu urine menunjukkan telah terjadi gangguan miksi (Hardjowijoto dan Taher, 2003). g. Penatalaksanaan Ada beberapa pilihan terapi pasien BPH, di mana terapi spesifik dapat diberikan untuk pasien kelompok tertentu. Untuk pasien dengan gejala ringan dapat dengan hanya dilakukan watchful waiting, yaitu observasi saja tanpa pengobatan. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar mengurangi nokturia, menghindari obat-obat parasympatholytic (misalnya dekongestan), mengurangi kopi, dan melarang meminum minuman beralkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa gejala, pancaran urin, dan TRUS. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan (Argie, 2008). Terapi medika mentosa terdiri dari penghambat adrenergik, fitoterapi, dan hormonal. Terapi paling akhir yang dilakukan adalah operasi. Indikasi absolut dilakukan operasi adalah retensi urine berat (retensi urine yang gagal dengan pemasangan kateter urine sedikitnya satu kali), infeksi saluran kencing berulan, gross hematuria berulang, batu kandung kemih, insufisiensi ginjal, dan diverticula kandung kemih (Dwindra dan Israr, 2008). xxv

26 3. Ultrasonografi a. Pengertian Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu imaging diagnostic (pencitraan diagnostik) untuk pemeriksaan alat-alat tubuh, di mana pemeriksa dapat mempelajari bentuk, ukuran anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan sekitarnya (Boer, 2005). Ultrasonografi menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi (1-10 MHz), yang dihasilkan oleh kristal piezo-elektrik pada transduser (Patel, 2007). b. Cara Kerja USG Transduser bekerja sebagai pemancar dan sekaligus penerima gelombang suara. Pulsa listrik yang dihasilkan oleh generator diubah menjadi energi akustik oleh transduser, yang dipancarkan dengan arah tertentu pada bagian tubuh yang dipelajari. Sebagian akan dipantulkan dan sebagian lagi akan merambat terus menembus jaringan yang akan menimbulkan bermacam-macam eko (pantulan gelombang ultrasonik) sesuai dengan jaringan yang dilaluinya. Pantulan eko yang berasal dari jaringan-jaringan tersebut akan membentur transduser, dan kemudian diubah menjadi pulsa listrik lalu diperkuat dan selanjutnya diperlihatkan dalam bentuk cahaya pada layar osiloskop. Dengan demikian, bila transduser digerakkan seolah-olah xxvi

27 pemeriksa melakukan irisan-irisan pada bagian tubuh yang diinginkan, dan gambaran irisan-irisan tersebut akan dapat dilihat pada monitor. Masing-masing jaringan tubuh mempunyai hambatan akustik tertentu. Dalam jaringan yang heterogen akan ditimbulkan bermacammacam eko, jaringan tersebut dikatakan ekogenik. Sedang pada jaringan yang homogen hanya sedikit atau sama sekali tidak ada eko, disebut anekoik atau bebas eko. Dengan demikian kista dan suatu massa solid akan dapat dibedakan (Boer, 2005). Tulang dan udara merupakan konduktor suara yang buruk sehingga tidak dapat divisualisasi dengan baik, sedangkan cairan memiliki kemampuan menghantarkan suara dengan sangat baik (Patel, 2007). c. Pemakaian Klinis USG digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dalam berbagai kelainan organ tubuh. USG digunakan antara lain untuk menemukan dan menentukan letak massa dalam rongga perut dan pelvis, membedakan kista dengan massa yang solid, mempelajari pergerakan organ (jantung, aorta, dan vena cava) maupun pergerakan janin dan jantungnya, pengukuran dan penentuan volume, pengukuran aneurisma arteri, fetal cephalometry, menentukan kedalaman dan letak suatu massa untuk biopsi, menentukan volume massa ataupun organ tubuh tertentu (misalnya kandung kemih, ginjal, kandung empedu, ovarium, uterus, dan lain-lain), memonitor arah dan gerakan jarum xxvii

28 menuju sasaran dalam biopsi jarum terpimpin, serta menentukan perencanaan dalam suatu radioterapi berdasarkan besar tumor dan posisinya (Boer, 2005). d. Kelebihan USG USG memiliki kelebihan dibandingkan pemeriksaan radiologis yang lain, yaitu bersifat non-invasif, dapat digunakan untuk melihat pergerakan organ, sifat jaringan-jaringan yang dicitrakan dapat dibedakan, alat USG kecil dan dapat dibawa ke mana-mana, pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama, berbagai bidang organ tubuh dapat diperiksa, tenaga listrik yang diperlukan hanya sedikit, tidak memerlukan alat-alat tambahan, memungkinkan tindakan biopsi jaringan yang tepat, serta peralatan relatif lebih murah jika dibandingkan dengan alat rontgen diagnostik khusus, kedokteran nuklir, tomografi komputer, dan alat magnetic resonance (Ilyas dan Budyatmoko, 2005). e. Kekurangan USG Kekurangan USG dibandingkan pemeriksaan radiologi yang lain yaitu tergantung pada kemampuan operator, ketidakmampuan suara untuk menembus gas atau tulang yang menyebabkan visualisasi yang kurang baik pada struktur-struktur di bawahnya, dan penyebaran xxviii

29 gelombang suara saat melewati lemak menghasilkan citra yang buruk pada pasien obesitas (Patel, 2007). f. Gambaran BPH pada Pemeriksaan USG Pada pemeriksaan USG, BPH terlihat sebagai pembesaran kelenjar pada zona sentral, nodul hipoekoid atau campuran ekogenik, kalsifikasi di antara zona sentral, dan volume prostat lebih dari 30 ml (Irga, 2010). g. Penggunaan USG untuk Mengukur Volume Prostat Untuk kepentingan klinis dan penelitian, volume prostat merupakan sebuah parameter penting. Berbagai teknik radiografi sering digunakan untuk menetukan volume prostat secara akurat. Namun tidak mudah untuk mendapatkan gambaran prostat yang memuaskan karena prostat terletak jauh di dalam pelvis dibelakang pubis dan prostat tidak dapat menyerap zat kontras. Volume prostat dapat diukur dengan berbagai cara menggunakan USG (Bapat, et al., 2006). Pemeriksaan USG secara transrektal (TRUS), digunakan untuk mengetahui besar dan volume prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan jumlah residu urine, dan mencari kelainan lain pada kandung kemih. Pemeriksaan USG secara transabdominal (TAUS) dapat mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama (Citra, 2009). xxix

30 Pada TAUS, visualisasi dari kelenjar prostat mungkin terganggu oleh tulang pubis atau kapasitas kandung kemih yang kecil. TRUS memberikan gambaran prostat yang lebih tepat karena jarak transduser ke prostat minimal (Bapat, et al., 2006). Walaupun demikian, Chung, et al. (2004) menyebutkan secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara ultrasonografi transabdominal dan transrektal dalam penentuan volume prostat. Berbagai rumus telah digunakan untuk menetukan volume prostat, yang paling umum digunakan adalah rumus ellipsoid yaitu volume prostat = panjang A-P x panjang cranio-caudal x panjang transversal x 0.52 (л/6) dalam ml (Bapat, et al., 2006). 4. Leukosituria a. Definisi Leukosituria adalah pengeluaran leukosit di dalam urine (Dorland, 2002). Leukosit dapat berasal dari bagian manapun dari saluran kemih. Leukosit hingga 4 atau 5 per lapang pandang kuat umumnya masih dianggap normal. Terdapatnya leukosit dalam jumlah banyak di urine disebut piuria (Wirawan, Immanuel, dan Dharma, 2008). b. Patofisiologi Peningkatan jumlah leukosit dalam urine (leukosituria atau piuria) umumnya menunjukkan adanya infeksi saluran kemih baik bagian atas xxx

31 atau bawah, sistitis, pielonefritis, atau glomerulonefritis akut. Leukosituria juga dapat dijumpai pada febris, dehidrasi, stress, leukemia tanpa adanya infeksi atau inflamasi, karena kecepatan ekskresi leukosit meningkat yang mungkin disebabkan karena adanya perubahan permeabilitas membran glomerulus atau perubahan motilitas leukosit. Pada suasana ph alkali leukosit cenderung berkelompok. Leukosit dalam urine juga dapat merupakan suatu kontaminan dari saluran urogenital, misalnya dari vagina dan infeksi serviks, atau meatus urethra externa pada laki-laki (Ihsan, 2010). Jika terdapat leukosituria dengan biakan bakteri yang negatif maka harus dipertimbangkan kemungkinan TBC ginjal, batu saluran kencing, papiler nekrosis, atau uretritis kronik. Neutrofil dalam urine akan meningkat pada penyakit proliferatif glomerulopati dan nefritis interstisialis. Eosinofiluria terjadi pada nefritis interstisialis alergika, glomerulonefritis, prostatitis, pielonefritis kronik, dan skistosomiasis. Limfosituria dapat merupakan tanda dini rejeksi akut pada pasien transplantasi (Effendi dan Markum, 2006). c. Cara Pemeriksaan Pemeriksaan mikroskopik diperlukan untuk mengamati sel dan benda berbentuk partikel lainnya. Cara pemeriksaannya didahului dengan pengambilan spesimen urine segar kira-kira 50 ml atau lebih dengan menggunakan wadah kering dan bersih. Spesimen segera xxxi

32 dibawa ke laboratorium dalam waktu 30 menit. Spesimen urine pagi hari sebaiknya diambil sebelum makan pagi. Spesimen tersebut harus didinginkan selama 6-8 jam. Sebaiknya urine yang digunakan adalah urine pancaran tengah (Kee, 2008). Sebelum diamati dengan mikroskop, sampel urine dihomogenkan kemudian dipindahkan ke dalam tabung pemusing sebanyak 10 ml. Selanjutnya dipusingkan dengan kecepatan relatif rendah (sekitar rpm) selama 5 menit. Tabung dibalik dengan cepat (decanting) untuk membuang supernatan sehingga tersisa endapan kira-kira 0,2-0,5 ml. Endapan diteteskan ke object glass dan ditutup dengan cover glass. Jika hendak dicat dengan dengan pewarna Stenheimer-Malbin, endapan ditetesi dengan 1-2 tetes cat tersebut, kemudian dikocok dan dituang ke object glass dan ditutup dengan cover glass. Endapan pertama kali diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran rendah menggunakan lensa objektif 10x, disebut Lapang Pandang Kecil (LPK) atau Low Power Field (LPF) untuk mengidentifikasi benda-benda besar seperti silinder dan kristal. Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan tinggi menggunakan lensa objektif 40x, disebut Lapang Pandang Besar (LPB) atau High Power Field (HPF) untuk mengidentifikasi sel (eritrosit, lekosit, dan epitel), ragi, bakteri, Trichomonas, filamen lendir, serta sel sperma (Ihsan, 2010). Karena jumlah elemen yang ditemukan dalam setiap bidang dapat berbeda dari satu bidang ke bidang lainnya, beberapa bidang dirata-rata. xxxii

33 Berbagai jenis sel yang biasanya digambarkan sebagai jumlah tiap jenis ditemukan per rata-rata lapang pandang kuat. Jumlah silinder biasanya dilaporkan sebagai jumlah tiap jenis yang ditemukan per lapang pandang lemah (Ihsan, 2010). d. Interpretasi Hasil Normal : 0-4 leukosit per LPB + : 5-20 leukosit per LPB + + : leukosit per LPB : leukosit per LPB : >100 leukosit per LPB (Ihsan, 2010) B. Kerangka Pemikiran xxxiii

34 Proliferasi sel prostat BPH Volume prostat Obstruksi uretra pars prostatica Retensi urine Kateterisasi? Infeksi saluran kemih Tekanan intravesical Urolithiasis Iritasi kandung kemih Trauma Leukosituria Febris Leukimia Stres Dehidrasi Keterangan : : diteliti : tidak diteliti? : dicari korelasinya pada penelitian ini xxxiv

35 C. Hipotesis Terdapat korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi. xxxv

36 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat observasional analitik retrospektif dengan pendekatan rancangan cross sectional menggunakan data dari rekam medik. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Instalasi Radiologi dan Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta antara bulan Mei sampai September tahun C. Subjek Penelitian 1. Populasi : Pasien BPH yang dilakukan pemeriksaan USG urologi di.instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah dr..moewardi Surakarta dan pemeriksaan urine. 2. Sampel : Pasien BPH yang dilakukan pemeriksaan USG urologi di.instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah dr..moewardi Surakarta dan pemeriksaan urine antara bulan.januari 2008 sampai Juni xxxvi

37 D. Teknik Sampling Teknik pengambilan sampel yang dipakai adalah total sampling dengan kriteria: 1. Inklusi : a. Pasien berusia 50 tahun atau lebih. b. Pasien yang diagnosis penyakitnya adalah BPH berdasarkan hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA). c. Pasien yang dilakukan pemeriksaan USG urologi sekaligus pemeriksaan urine antara bulan Januari 2008 sampai Juni d. Pasien yang dilakukan pemeriksaan USG urologi oleh salah seorang ahli radiologi dengan teknik TAUS. e. Pasien BPH yang telah dilakukan pemasangan kateter. 2. Eksklusi : a. Semua yang dilakukan pemeriksaan radiologi selain USG urologi atau yang dilakukan pemeriksaan USG tanpa pemeriksaan urine. b. Semua yang dilakukan pemeriksaan USG urologi dengan diagnosis selain BPH. c. Penderita leukosituria yang disebabkan antara lain: batu saluran kemih, trauma saluran kemih selain karena pemasangan kateter, febris, dehidrasi, dan leukemia. E. Alur Penelitian xxxvii

38 Populasi Sampel Pemeriksaan USG Pemeriksaan urine Volume Prostat Leukosit urine Data Uji Korelasi Spearman Data Analisis Data F. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Volume prostat pada pemeriksaan USG 2. Variabel terikat : Leukosit urine 3. Variabel luar : a. Dapat dikendalikan commit : to user xxxviii

39 1) Teknik pemeriksaan USG. 2) Operator yang melakukan USG. 3) Cara pemeriksaan leukosit urine pada pasien. b. Tidak dapat dikendalikan : Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terdapatnya leukosit urine. G. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Volume prostat pada pemeriksaan USG Volume prostat normal 20 ml. Volume prostat pada penelitian ini diukur dengan pemeriksaan USG prostat yang dihitung dengan rumus ellipsoid yaitu volume prostat = panjang A-P x panjang cranio-caudal x panjang transversal x 0.52 (л/6) dalam ml. Pada penelitian ini, volume prostat dibagi menjadi lima kelompok: Klasifikasi I Klasifikasi II Klasifikasi III Klasifikasi IV Klasifikasi V : volume prostat sampai 20,00 ml : volume prostat >20,00-40,00 ml : volume prostat >40,00-60,00 ml : volume prostat >60,00-80,00 ml : volume prostat >80,00 ml Cara pengukuran : Interpretasi hasil USG dan rumus ellipsoid. Skala : Ordinal 2. Variabel terikat : Leukosit commit urine to user xxxix

40 Leukosit urine yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terdapatnya leukosit di dalam urine. Leukosituria dibagi menjadi lima kelompok: Klasifikasi I Klasifikasi II Klasifikasi III Klasifikasi IV Klasifikasi V Cara pengukuran Skala : normal (0-4 leukosit per LPB) : + (>4-20 leukosit per LPB) : + + (>20-50 leukosit per LPB) : (> leukosit per LPB) : (>100 leukosit per LPB) : Pemeriksaan laboratorium : Ordinal 3. Variabel luar : a. Dapat dikendalikan (dengan homogenisasi) : 1) Teknik pemeriksaan USG. Teknik pemeriksaan USG yang digunakan dalam penelitian ini adalah TAUS. 2) Operator yang melakukan USG. Operator yang melakukan USG yang digunakan dalam penelitian ini adalah dr. Widiastuti, Sp. Rad. 3) Cara pemeriksaan leukosit urine pada pasien. Leukosit urine diperiksa dengan analisis mikroskopik. b. Tidak dapat dikendalikan : Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terdapatnya leukosit urine. xl

41 Yang dimaksud di sini adalah faktor-faktor tidak terdeteksi yang dapat mempengaruhi terdapatnya leukosit urine, antara lain stress pada penderita BPH, aktivitas berlebihan sebelum pemeriksaan laboratorium, dehidrasi, febris, dan leukemia. H. Alat dan Bahan Penelitian Penelitian dilakukan dengan interpretasi hasil USG urologi oleh ahli radiologi pada pasien yang telah menjalani pemeriksaan USG urologi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta dan rekam medis hasil pemeriksaan urine. I. Cara Kerja 1. Tahap Persiapan Mengumpulkan data pasien BPH yang telah melakukan pemeriksaan USG urologi dan pemeriksaan urine. Lembar data penelitian terlampir. 2. Tahap Pelaksanaan Tabulasi data yang didapat dari rekam medik. 3. Tahap Akhir Analisis data-data yang diperoleh baik dari hasil pemeriksaan USG urologi maupun dari rekam medis hasil pemeriksaan urine. xli

42 J. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan uji korelasi Spearman Rank (Rho). Uji ini digunakan untuk mengukur tingkat atau eratnya hubungan antara dua variabel yang berskala ordinal (Hidayat, 2007). xlii

43 BAB IV HASIL PENELITIAN Untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara leukosituria dengan volume prostat penderita BPH, telah dilakukan penelitian antara bulan Mei sampai September Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 28 sampel. Distribusi umur subjek penelitian: Jumlah Sampel I = tahun II = >59-69 tahun III = >69-79 tahun IV = >79-89 tahun 2 0 I II III IV Umur Diagram 1. Distribusi Umur Subjek Penelitian Data penelitian yang dikumpulkan merupakan data rasio, untuk memudahkan dalam melakukan analisis data tersebut dikonversi menjadi data ordinal supaya derajat masing-masing variabel dapat terbaca. Pada semua kategori usia terdapat pasien BPH. Persentase terbesar terdapat pada subjek yang berada pada kelompok umur >69-79 tahun yakni sebesar 42,86% (12 orang). Kemudian setelah itu dari persentase besar ke kecil adalah subjek yang berada pada kelompok umur >59-69 tahun sebesar commit 32,14% to user (9 orang), kelompok umur xliii

44 tahun sebesar 14,29% (4 orang), dan kelompok umur >79-89 tahun sebesar 10,71% (3 orang). 14 Jumlah Sampel I = sampai 20,00 ml II = >20,00-40,00 ml III = >40,00-60,00 ml IV = >60,00-80,00 ml V = >80,00 ml 2 0 I II III IV V Kelompok Volume Prostat Diagram 2. Distribusi Frekuensi Volume Prostat Pada diagram 2 terlihat bahwa presentase terbesar terdapat pada kelompok II yakni sebesar 46,43% (13 orang). Kemudian berturut-turut kelompok III sebesar 35,71% (10 orang), kelompok V sebesar 10,71% (3 orang), dan kelompok IV sebesar 7,14% (2 orang). Tidak ditemukan sampel pada kelompok I. Dari diagram 2 dapat dilihat bahwa volume prostat pada semua sampel lebih dari 20 ml, yang berarti lebih besar daripada volume prostat laki-laki normal yaitu kurang dari 20 ml. Data lengkap mengenai volume prostat pada sampel penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 1. xliv

45 8 Jumlah Sampel sampai 20,00 ml >20,00-40,00 ml >40,00-60,00 ml >60,00-80,00 ml >80 ml >59-69 >69-79 >79-89 Umur (tahun) Diagram 3. Distribusi Volume Prostat Berdasarkan Umur Diagram 3 memperlihatkan bahwa pada kelompok umur tahun, 3 orang (75%) memiliki volume prostat >20,00-40,00 ml dan 1 orang (25%) memiliki volume prostat >40,00-60,00 ml. Untuk kelompok umur >59-69 tahun, 6 orang (66,67%) memiliki volume prostat >20,00-40,00 ml, 1 orang (11,11%) memiliki volume prostat >40,00-60,00 ml, dan 2 orang (22,22%) memiliki volume prostat >80 ml. Untuk kelompok umur >69-79 tahun, 2 orang (16,67%) memiliki volume prostat >20,00-40,00 ml, 7 orang (58,33%) memiliki volume prostat >40,00-60,00 ml, 2 orang (16,67%) memiliki volume prostat >60,00-80,00 ml, dan 1 orang (8,33%) >80 ml. Sedangkan untuk kelompok umur >79-89 tahun, 2 orang (66,67%) memiliki volume prostat >20,00-40,00 ml dan 1 orang (33,33%) memiliki volume prostat >40,00-60,00 ml. Hal ini menunjukkan terdapat kecenderungan semakin meningkat usia maka volume prostat juga semakin meningkat. xlv

46 Sedangkan untuk distribusi frekuensi jumlah leukosit urine sampel penelitian dapat dilihat pada diagram di bawah ini: 12 Jumlah Sampel I = 0-4/LPB II = >4-20/LPB III = >20-50/LPB IV = >50-100/LPB V = > 100/LPB 2 0 I II III IV V Kelompok Leukosituria Diagram 4. Distribusi Frekuensi Jumlah Leukosit Urine Pada diagram 4 terlihat bahwa persentase terbesar terdapat pada kelompok II, yakni sebesar 39,29% (11 orang). Kelompok II menunjukkan kelompok pasien dengan leukosituria (+). Kemudian berturut-turut kelompok I (leukosituria (-)) sebesar 32,14% (9 orang), kelompok III (leukosituria (++)) sebesar 14,29% (4 orang), kelompok V (leukosituria (++++)) sebesar 10,71% (3 orang), dan kelompok IV (leukosituria (+++)) sebesar 3,57% (1 orang). Data lengkap mengenai jumlah leukosit urine pada sampel penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 1. xlvi

47 9 32,14% Dengan 19 Leukosituria 67,86% Tanpa Leukosituria Diagram 5. Jumlah Kejadian Leukosituria pada Penderita BPH Dari diagram 5 dapat dilihat bahwa 19 dari 28 (67,86%) sampel yang positif BPH pada hasil pemeriksaan mikroskopis urine menunjukkan leukosituria positif. Sedangkan 9 (32,14%) lainnya menunjukkan leukosituria negatif, yaitu 0-4/LPB. Dari data penelitian, setelah diuji dengan uji statistik Spearman Rank (Rho) didapatkan besarnya taraf signifikan 0,204 lebih besar dari 0,05 (H o diterima). Besarnya koefisien korelasi tata jenjang (r o ) adalah 0,248, lebih kecil dari harga kritik (r t ) 0,377 pada taraf signifikan 5% dan 0,496 pada taraf signifikan 1% (tabel harga kritik koefisien korelasi Rho terlampir). Jika r o r t maka H a diterima dan H o ditolak, sedangkan jika r o < r t maka H o diterima dan H a ditolak (Hartono, 2009). Dengan demikian, secara statistik tidak ada korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dengan volume prostat penderita BPH pada pemeriksaan USG. Koefisien korelasi 0,248 bertanda positif. Tanda positif menunjukkan semakin meningkat volume prostat maka derajat leukosituria juga semakin meningkat. Nilai koefisien korelasi (r) yang semakin mendekati ± 1 menunjukkan xlvii

48 semakin kuat hubungan antara dua variabel. Di bawah ini adalah tabel pedoman klasifikasi koefisien korelasi menurut ukuran yang konservatif beserta maknanya: Tabel 1. Klasifikasi dan Interpretasi Koefisien Korelasi r 0,000-0,200 0,200-0,400 0,400-0,600 0,600-0,800 0,800-1,000 Interpretasi Sangat rendah (tak berkorelasi) Rendah Sedang Kuat Sangat kuat Sumber: Hadi (1995) Jadi menurut interpretasi yang konservatif ini, koefisien korelasi 0,248 memiliki tingkat korelasi yang rendah dan positif. Akan tetapi interpretasi semacam ini sekarang sudah semakin ditinggalkan dan diganti dengan interpretasi yang didasarkan atas tabel nilai r. xlviii

49 BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah pasien BPH semakin meningkat sesuai peningkatan umur. Hal ini sesuai dengan penelitian pada autopsi yang menyebutkan bahwa BPH terdapat pada 20% pria usia tahun, 50% pria usia tahun, 65% pria usia tahun, 80% pria usia tahun, dan 90% pria usia tahun (Soetapa, Djatisoesanto, dan Soebadi, 2006). Terdapat pengecualian untuk kelompok umur >79-89 tahun dimana jumlah pasien BPH paling sedikit jika dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Penyebab sedikitnya jumlah sampel pada kelompok umur tersebut karena memang tidak banyak orang yang mencapai usia >79 tahun. Penyebab lainnya mungkin karena jumlah kunjungan ke rumah sakit untuk pasien pada kelompok umur tersebut memang sedikit. Volume prostat pada semua sampel lebih dari 20 ml. Ini sesuai dengan hasil penelitian cross sectional tentang volume prostat yang dibandingkan dengan usia, yaitu volume prostat meningkat menjadi 25 ml pada pria berusia 30 tahun dan ml pada pria berusia 70 tahun (Musa, et al., 2009). Pada penelitian ini, terdapat kecenderungan semakin meningkat usia maka volume prostat juga semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Nickel (2003) bahwa volume prostat semakin meningkat seiring bertambahnya umur. Hasil uji statistik dengan uji korelasi Spearman Rank (Rho) menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dengan volume xlix

50 prostat penderita BPH pada pemeriksaan USG. Walaupun 19 orang dari 28 sampel (67,86%) menunjukkan leukosituria positif, namun terkadang pasien BPH dengan volume prostat yang tidak terlalu besar pada pemeriksaan mikroskopik urine didapatkan jumlah leukosit urine yang sangat banyak, begitu juga sebaliknya. Tidak adanya korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dengan volume prostat dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini: 1. Obstruksi saluran kemih yang mengawali munculnya gejala dan komplikasi BPH tidak hanya berhubungan dengan volume prostat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lim, et al., (2006), protrusi prostat intravesikal dan volume prostat sama-sama memiliki korelasi yang baik dengan obstruksi saluran kemih. Namun yang paling berpengaruh terhadap terjadinya obstruksi saluran kemih adalah protrusi prostat intravesikal. Protrusi prostat intravesikal adalah suatu penonjolan prostat mulai dari leher buli-buli ke dalam rongga buli-buli yang mengakibatkan mekanisme ball valve di leher buli-buli, sehingga mengganggu aliran urine (Musa, et al., 2009). 2. Leukosituria pada penelitian ini dapat terjadi bila terdapat iritasi kandung kemih dan infeksi saluran kemih, di mana kedua keadaan ini diawali dengan adanya retensi urine. Banyak pasien BPH yang memeriksakan diri karena adanya gangguan miksi atau LUTS. Murugunandham, et al. (2007) menyebutkan bahwa laki-laki dengan retensi urine memiliki gejala LUTS ratarata 32 bulan sebelum terjadinya retensi urine sehingga ada kemungkinan pada sampel belum terdapat retensi urine. l

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring peningkatan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan, semakin meningkat pula kualitas hidup dan kesehatan masyarakat yang salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan pembesaran dari

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA PADA USIA ANTARA 50-59 TAHUN DENGAN USIA DIATAS 60 TAHUN PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI DI RS. PKU (PEMBINA KESEJAHTERAAN UMAT) MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia laki-laki yang terletak mengelilingi vesica urinaria dan uretra proksimalis. Kelenjar prostat dapat mengalami pembesaran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) 2.1.1. Pengertian BPH Menurut Anonim (2009) dalam Hamawi (2010), BPH secara umumnya dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat Jinak. Maka jelas

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET HUBUNGAN ANTARA DERAJAT LOWER URINARY TRACT SYMPTOMS (LUTS) DENGAN DERAJAT DISFUNGSI EREKSI PADA PASIEN BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA (BPH) DI RSUD MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH merupakan kelainanan adenofibromatoushyperplasia paling sering pada pria walaupun tidak mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan

Lebih terperinci

PERBEDAAN DERAJAT KEASAMAN URIN PADA PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN BAKTERIURIA RENDAH DAN TINGGI SKRIPSI

PERBEDAAN DERAJAT KEASAMAN URIN PADA PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN BAKTERIURIA RENDAH DAN TINGGI SKRIPSI PERBEDAAN DERAJAT KEASAMAN URIN PADA PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN BAKTERIURIA RENDAH DAN TINGGI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran PARADA JIWANGGANA G0012159

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di Indonesia setelah infeksi saluran kemih 1. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2007, Badan Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan suatu pembesaran progresif pada kelenjar prostat pria dewasa yang bersifat non-malignan (WHO, 1999). Pembesaran prostat

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif EDITORIAL Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif Shahrul Rahman* * Doktor Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Pendahuluan Kelenjar prostat adalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat jinak (BP H) merupakan penyakit jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan pembesaran prostat jinak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar

Lebih terperinci

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya.

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. FORUM KESEHATAN Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. Pengantar Kalau anda seorang pria yang berusia diatas 40 tahun, mempunyai gejala2 gangguan kemih (kencing) yang ditandai oleh: Kurang lancarnya aliran

Lebih terperinci

PERBEDAAN BAKTERIURIA PADA PASIEN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA DENGAN VOLUME PROSTAT TINGGI DAN TIDAK TINGGI SKRIPSI

PERBEDAAN BAKTERIURIA PADA PASIEN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA DENGAN VOLUME PROSTAT TINGGI DAN TIDAK TINGGI SKRIPSI PERBEDAAN BAKTERIURIA PADA PASIEN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA DENGAN VOLUME PROSTAT TINGGI DAN TIDAK TINGGI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Multazam Hanif G0012141

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN KEMIH PADA WANITA HAMIL BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN URINALISIS RUTIN DI PUSKESMAS SUKAWARNA BANDUNG

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN KEMIH PADA WANITA HAMIL BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN URINALISIS RUTIN DI PUSKESMAS SUKAWARNA BANDUNG ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN KEMIH PADA WANITA HAMIL BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN URINALISIS RUTIN DI PUSKESMAS SUKAWARNA BANDUNG Adina Pertamigraha, 2008; Pembimbing I : Aloysius Suriawan, dr.,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau yang dikenal pembesaran prostat jinak sering ditemukan pada pria dengan usia lanjut. BPH adalah kondisi dimana terjadinya ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Prostat Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Wilianto, 2010 Pembimbing I :dr. July Ivone.,M.K.K.,M.Pd.Ked Pembimbing II :dr. Sri Nadya S., M.Kes

ABSTRAK. Wilianto, 2010 Pembimbing I :dr. July Ivone.,M.K.K.,M.Pd.Ked Pembimbing II :dr. Sri Nadya S., M.Kes ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA PROSTAT BERDASARKAN UMUR, KADAR PSA,DIAGNOSIS AWAL, DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI DI RUMAH IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2007-31 DESEMBER 2009 Wilianto, 2010 Pembimbing I

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yaitu berupa pembesaran prostat atau hiperplasia prostat. Kelainan kelenjar prostat dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan yang menyebabkan kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan Alatas, 1985).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintah dan swasta. Apapun yang dilakukan pemerintah tanpa kesadaran individu dan masyarakat

Lebih terperinci

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan tentang epidemiologi penyakit kanker prostat, riwayat alamiah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006

ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006 ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006 Mayasari Indrajaya, 2007. Pembimbing : Penny Setyawati M.,dr.,Sp.PK.,M.Kes. Benign Prostatic Hyperplasia

Lebih terperinci

Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.

Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed. Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.tk 0 BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) Pendahuluan Kelenjar

Lebih terperinci

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional yakni meneliti kasus BPH yang. Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012 Juli 2014.

III. METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional yakni meneliti kasus BPH yang. Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012 Juli 2014. III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik non-eksperimental dengan pendekatan cross sectional yakni meneliti kasus BPH yang terdokumentasi di

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT BAB I PENDAHULUAN Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra

Lebih terperinci

PENGANTAR USG. Dr. Dewi Rosmana Tatasiwi

PENGANTAR USG. Dr. Dewi Rosmana Tatasiwi PENGANTAR USG Dr. Dewi Rosmana Tatasiwi PENGENALAN GELOMBANG Prinsip Gelombang Berdasarkan medium perambatannya gelombang dibedakan menjadi 1. Gelombang mekanik. Gelombang mekanik merupakan gelombang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih (Fadlol & Mochtar. 2005). Penduduk

Lebih terperinci

Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara. Nama lengkap : SYAH MIRSAH WARLI, SpU

Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara. Nama lengkap : SYAH MIRSAH WARLI, SpU Lampiran 1 Susunan Peneliti Peneliti Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM Pangkat/Gol/NIP : -/-/- Jabatan Fungsional : - Fakultas : Kedokteran Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Pembimbing

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma prostat ialah keganasan pada laki-laki yang sangat sering didapat. Angka kejadian diduga 19% dari semua kanker pada pria dan merupakan karsinoma terbanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benigna Prostate Hiperplasi (BPH) merupakan kondisi patologis yang paling umum terjadi pada pria lansia dan penyebab kedua untuk intervensi medis pada pria diatas usia

Lebih terperinci

PERBANDINGAN VOLUME PROSTAT ANTARA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

PERBANDINGAN VOLUME PROSTAT ANTARA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA PERBANDINGAN VOLUME PROSTAT ANTARA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DENGAN DIABETES MELLITUS DAN TANPA DIABETES MELLITUS DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Karla Kalua G0011124 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KELEMBABAN UDARA YANG TINGGI DENGAN RASIO FEV 1 SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KELEMBABAN UDARA YANG TINGGI DENGAN RASIO FEV 1 SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KELEMBABAN UDARA YANG TINGGI DENGAN RASIO FEV 1 SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran IVAN JAZID ADAM G.0009113 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN KARAKTERISTIK PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) YANG MENJALANI TRANSURETHRAL RESECTION OF PROSTATE (TURP) DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK PADA PERIODE JANUARI 2012 DESEMBER 2013 Oleh :

Lebih terperinci

TESIS JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013

TESIS JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013 Hubungan Panjang Protrusi Prostat Intravesika dengan Ketebalan Otot Detrusor Buli-buli pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia Diukur Menggunakan Ultrasonografi Transabdominal TESIS JOHANNES GURNING 0806361061

Lebih terperinci

GINJAL KEDUDUKAN GINJAL DI BELAKANG DARI KAVUM ABDOMINALIS DI BELAKANG PERITONEUM PADA KEDUA SISI VERTEBRA LUMBALIS III MELEKAT LANGSUNG PADA DINDING

GINJAL KEDUDUKAN GINJAL DI BELAKANG DARI KAVUM ABDOMINALIS DI BELAKANG PERITONEUM PADA KEDUA SISI VERTEBRA LUMBALIS III MELEKAT LANGSUNG PADA DINDING Ginjal dilihat dari depan BAGIAN-BAGIAN SISTEM PERKEMIHAN Sistem urinary adalah sistem organ yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia, sistem ini terdiri dari dua ginjal, dua ureter,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prostat 2.1.1. Anatomi Prostat Gambar 2.1. Letak Kelenjar Prostat (Schunke, et al, 2006) Prostat merupakan kelenjar fibromuskular yang mengelilingi uretra pars prostatika

Lebih terperinci

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladdre adalah keadaan

Lebih terperinci

Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan

Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan Apakah kanker Prostat itu? Kanker prostat berkembang di prostat seorang pria, kelenjar kenari berukuran tepat di bawah kandung kemih yang menghasilkan

Lebih terperinci

Kejadian Hernia Inguinalis pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia Periode Januari 2008 Desember 2013 di Rumah Sakit PHC Surabaya

Kejadian Hernia Inguinalis pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia Periode Januari 2008 Desember 2013 di Rumah Sakit PHC Surabaya Kejadian Hernia Inguinalis pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia Periode Januari 2008 Desember 2013 di Rumah Sakit PHC Surabaya SKRIPSI OLEH : Aditya Baladika NRP : 1523011035 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH.

Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH. 2 Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH. BPH terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal oleh proses

Lebih terperinci

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS Program Studi Kode Blok Blok Bobot Semester Standar Kompetensi : Pendidikan Dokter : KBK403 : UROGENITAL : 4 SKS : IV : Mengidentifikasi dan menyusun

Lebih terperinci

HUBUNGAN PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN KEJADIAN BATU KANDUNG KEMIH DI RSUP H ADAM MALIK TAHUN Oleh : MUHAMMAD REYHAN

HUBUNGAN PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN KEJADIAN BATU KANDUNG KEMIH DI RSUP H ADAM MALIK TAHUN Oleh : MUHAMMAD REYHAN HUBUNGAN PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN KEJADIAN BATU KANDUNG KEMIH DI RSUP H ADAM MALIK TAHUN 2012-2014 Oleh : MUHAMMAD REYHAN 120100129 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 HUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium yang melapisi saluran kemih karena adanya invasi bakteri dan ditandai dengan bakteriuria dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau tumor prostat jinak, menjadi masalah bagi kebanyakan kaum pria yang berusia di atas 50 tahun. BPH pada pria muncul tanpa ada

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN TENSION-TYPE HEADACHE DI POLIKLINIK SARAF RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran Diajukan Oleh: Fardhika J500110019

Lebih terperinci

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15 Kanker payudara adalah penyakit dimana selsel kanker tumbuh di dalam jaringan payudara, biasanya pada ductus (saluran yang mengalirkan ASI ke puting) dan lobulus (kelenjar yang membuat susu). Kanker atau

Lebih terperinci

Hubungan antara Anemia dan Kejadian Inersia Uteri di RSUD Dr.Moewardi SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Hubungan antara Anemia dan Kejadian Inersia Uteri di RSUD Dr.Moewardi SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hubungan antara Anemia dan Kejadian Inersia Uteri di RSUD Dr.Moewardi SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Dhyani Rahma Sari G0010056 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2010

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2010 ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KANKER PARU DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2009 31 DESEMBER 2010 Stevanus, 2011; Pembimbing I : dr. Hartini Tiono, M.Kes. Pembimbing II : dr. Sri Nadya J Saanin,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR SKRIPSI

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR SKRIPSI HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

PROFIL RADIOLOGIS TORAKS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLIKLINIK PARU RSUD DR HARDJONO-PONOROGO SKRIPSI

PROFIL RADIOLOGIS TORAKS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLIKLINIK PARU RSUD DR HARDJONO-PONOROGO SKRIPSI PROFIL RADIOLOGIS TORAKS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLIKLINIK PARU RSUD DR HARDJONO-PONOROGO SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran OLEH : EKA DEWI PRATITISSARI

Lebih terperinci

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Definisi Inkontiensia Urine

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing II : Triswaty Winata,dr,M.Kes.

ABSTRAK. Pembimbing II : Triswaty Winata,dr,M.Kes. ABSTRAK SKRINING INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) PADA KARYAWAN TAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DENGAN URINALISIS RUTIN, DIPSTIK, DAN PEWARNAAN Sternheimer Malbin PERIODE 2008-2009 Budi

Lebih terperinci

ABSTRACT. vii. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT. vii. Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT This study aimed to test whether the discipline of work affecting the performance of the Regional Water Company employees Tirtawening Bandung. The study was conducted on the distribution of clean

Lebih terperinci

HUBUNGAN DERAJAT KEPARAHAN STROKE DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA PASEIN POST-STROKE ISKEMIK AKUT SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN DERAJAT KEPARAHAN STROKE DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA PASEIN POST-STROKE ISKEMIK AKUT SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan HUBUNGAN DERAJAT KEPARAHAN STROKE DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA PASEIN POST-STROKE ISKEMIK AKUT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Eksy Andhika W G.0010068 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Nosokomial 1. Pengertian Infeksi nosokomial atau hospital acquired infection adalah infeksi yang didapat klien ketika klien tersebut masuk rumah sakit atau pernah dirawat

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2011

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2011 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2011- DESEMBER 2011 Christone Yehezkiel P, 2013 Pembimbing I : Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes. Pembimbing II :

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA PADA PASIEN ASMA WANITA YANG MENGGUNAKAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN TIDAK SKRIPSI

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA PADA PASIEN ASMA WANITA YANG MENGGUNAKAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN TIDAK SKRIPSI HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA PADA PASIEN ASMA WANITA YANG MENGGUNAKAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN TIDAK SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

Biologi Ginjal dan Saluran Kemih

Biologi Ginjal dan Saluran Kemih Biologi Ginjal dan Saluran Kemih DEFINISI Dalam keadaan normal, manusia memiliki 2 ginjal. Setiap ginjal memiliki sebuah ureter, yang mengalirkan air kemih dari pelvis renalis (bagian ginjal yang merupakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS KELAMIN DENGAN AKTIVITAS FISIK PADA MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER ANGKATAN 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

HUBUNGAN JENIS KELAMIN DENGAN AKTIVITAS FISIK PADA MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER ANGKATAN 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA HUBUNGAN JENIS KELAMIN DENGAN AKTIVITAS FISIK PADA MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER ANGKATAN 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dunia. Pada tahun 2012 sekitar 8,2 juta kematian diakibatkan oleh kanker. Kanker

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dunia. Pada tahun 2012 sekitar 8,2 juta kematian diakibatkan oleh kanker. Kanker BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di seluruh dunia. Pada tahun 2012 sekitar 8,2 juta kematian diakibatkan oleh kanker. Kanker merupakan

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal merupakan organ ekskresi utama pada manusia. Ginjal mempunyai peran penting dalam mempertahankan kestabilan tubuh. Ginjal memiliki fungsi yaitu mempertahankan keseimbangan

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013 Bram Adhitama, 2014 Pembimbing I : July Ivone, dr, MKK.MPd.Ked Pembimbing II : Cherry Azaria,dr.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAKRADENTA YUDHA POETERA G

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAKRADENTA YUDHA POETERA G PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN NEKROSIS PULPA DENGAN ABSES APIKALIS KRONIS ANTARA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DAN NON DIABETES MELLITUS DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI KARYA AKHIR KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI Oleh I MADE DARMAWAN No. Reg CHS : P 2401204012 Pembimbing Prof. Dr. Achmad M. Palinrungi,Sp.B, Sp.U Dr. Azwar Amir, Sp.U DR.Dr. Burhanuddin

Lebih terperinci

ABSTRAK. Vecky, 2010 Pembimbing I : dr. L. K. Liana, Sp.PA., M.Kes Pembimbing II : dr. Evi Yuniawati, MKM

ABSTRAK. Vecky, 2010 Pembimbing I : dr. L. K. Liana, Sp.PA., M.Kes Pembimbing II : dr. Evi Yuniawati, MKM ABSTRAK PREVALENSI KARSINOMA PROSTAT DITINJAU DARI USIA, GEJALA KLINIK, KADAR PSA, DIAGNOSIS AWAL DAN GRADING HISTOPATOLOGIS DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2003-31 MEI 2010 Vecky, 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara berkembang meskipun frekuensinya lebih rendah di negara-negara maju

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANEMIA DENGAN HIPOTERMIA PADA NEONATUS DI RSUD DR MOEWARDI. SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANEMIA DENGAN HIPOTERMIA PADA NEONATUS DI RSUD DR MOEWARDI. SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN ANEMIA DENGAN HIPOTERMIA PADA NEONATUS DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Ardiningsih G0009026 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS KELAMIN JANIN DENGAN KEJADIAN AKNE VULGARIS PADA WANITA HAMIL SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN JENIS KELAMIN JANIN DENGAN KEJADIAN AKNE VULGARIS PADA WANITA HAMIL SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN JENIS KELAMIN JANIN DENGAN KEJADIAN AKNE VULGARIS PADA WANITA HAMIL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ALYSSA AMALIA G0013021 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PROFIL PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA YANG DILAKUKAN ULTRASONOGRAFI DI RUMAH SAKIT UMUM DR.PIRNGADI PERIODE BULAN JULI 2012 HINGGA DESEMBER 2012

PROFIL PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA YANG DILAKUKAN ULTRASONOGRAFI DI RUMAH SAKIT UMUM DR.PIRNGADI PERIODE BULAN JULI 2012 HINGGA DESEMBER 2012 PROFIL PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA YANG DILAKUKAN ULTRASONOGRAFI DI RUMAH SAKIT UMUM DR.PIRNGADI PERIODE BULAN JULI 2012 HINGGA DESEMBER 2012 Oleh : Shalini Pitchai Pillai 100100396 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN DENGAN SINDROM PREMENSTRUASI PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI KEDOKTERAN ANGKATAN 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNS SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN DENGAN SINDROM PREMENSTRUASI PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI KEDOKTERAN ANGKATAN 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNS SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN DENGAN SINDROM PREMENSTRUASI PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI KEDOKTERAN ANGKATAN 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNS SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari rasa nyeri jika diberikan pengobatan (Dalimartha, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. dari rasa nyeri jika diberikan pengobatan (Dalimartha, 2002). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insidens kanker di Indonesia diperkirakan 100 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar 200.000 penduduk per tahun. Pada survei kesehatan rumah tangga yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Payudara Kanker payudara merupakan kanker yang paling umum diderita oleh para wanita di Hong Kong dan negara-negara lain di dunia. Setiap tahunnya, ada lebih dari 3.500 kasus kanker payudara baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (ureteritis), jaringan ginjal (pyelonefritis). 1. memiliki nilai kejadian yang tinggi di masyarakat, menurut laporan di

BAB I PENDAHULUAN. (ureteritis), jaringan ginjal (pyelonefritis). 1. memiliki nilai kejadian yang tinggi di masyarakat, menurut laporan di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan invasi mikroorganisme pada salah satu atau beberapa bagian saluran kemih. Saluran kemih yang bisa terinfeksi antara lain urethra

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI MIOMA UTERI DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER : July Ivone, dr.,m.s.mpd.

ABSTRAK PREVALENSI MIOMA UTERI DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER : July Ivone, dr.,m.s.mpd. ABSTRAK PREVALENSI MIOMA UTERI DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2008-31 DESEMBER 2008 Sherly, 2009; Pembimbing I Pembimbing II : Sri Nadya J Saanin, dr., M.Kes : July Ivone, dr.,m.s.mpd.ked

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran kelenjar (nodul) tiroid atau struma, sering dihadapi dengan sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan yang begitu berarti

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kelenjar Prostat a. Anatomi Kelenjar Prostat Kelenjar prostat merupakan kelenjar reproduksi tambahan pada pria. Kelenjar ini berbentuk seperti buah kemiri yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ASFIKSIA NEONATORUM DENGAN DAYA REFLEK SUCKING PADA BAYI BARU LAHIR UMUR 0 HARI DI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA ASFIKSIA NEONATORUM DENGAN DAYA REFLEK SUCKING PADA BAYI BARU LAHIR UMUR 0 HARI DI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN ANTARA ASFIKSIA NEONATORUM DENGAN DAYA REFLEK SUCKING PADA BAYI BARU LAHIR UMUR 0 HARI DI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor lainnya. Insidens ISK tertinggi terjadi pada tahun

Lebih terperinci

HUBUNGAN SKOR APRI DENGAN DERAJAT VARISES ESOFAGUS PASIEN SIROSIS HATI KARENA HEPATITIS B

HUBUNGAN SKOR APRI DENGAN DERAJAT VARISES ESOFAGUS PASIEN SIROSIS HATI KARENA HEPATITIS B HUBUNGAN SKOR APRI DENGAN DERAJAT VARISES ESOFAGUS PASIEN SIROSIS HATI KARENA HEPATITIS B SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ELSY NASIHA ALKASINA G0014082 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PERNYATAAN. diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

PERNYATAAN. diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan ii PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak

Lebih terperinci

ABSTRACT DENTAL MALOCCLUSION AND SKELETAL MALOCCLUSION INFLUENCE AGAINST TEMPOROMANDIBULAR DYSFUNCTION

ABSTRACT DENTAL MALOCCLUSION AND SKELETAL MALOCCLUSION INFLUENCE AGAINST TEMPOROMANDIBULAR DYSFUNCTION ABSTRACT DENTAL MALOCCLUSION AND SKELETAL MALOCCLUSION INFLUENCE AGAINST TEMPOROMANDIBULAR DYSFUNCTION Problems in temporomandibular joint, can be a pain and clicking mostly called by temporomandibular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dismenore adalah nyeri menstruasi seperti kram pada perut bagian bawah yang terjadi saat menstruasi atau dua hari sebelum menstruasi dan berakhir dalam 72 jam. Terkadang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan

BAB 1 PENDAHULUAN. tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkemihan merupakan salah satu sistem yang tidak kalah pentingnya dalam tubuh manusia. Sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesica urinaria

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA MIOMA UTERI DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA MIOMA UTERI DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA MIOMA UTERI DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2013-2014 Deryant Imagodei Noron, 2016. Pembimbing I : Rimonta F. Gunanegara,dr.,Sp.OG Pembimbing II : Dani, dr.,

Lebih terperinci