TESIS JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TESIS JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013"

Transkripsi

1 Hubungan Panjang Protrusi Prostat Intravesika dengan Ketebalan Otot Detrusor Buli-buli pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia Diukur Menggunakan Ultrasonografi Transabdominal TESIS JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013

2 Hubungan Panjang Protrusi Prostat Intravesika dengan Ketebalan Otot Detrusor Buli-buli pada Pasien Benign Prostate Hyperplasia Diukur Menggunakan Ultrasonografi Transabdominal TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Radiologi JOHANNES GURNING PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA AGUSTUS 2013

3 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Johannes Gurning NPM : Tanda tangan : Tanggal : 29 Agustus 2013

4

5 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang telah memberikan berkatnya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Banyak bantuan dari berbagai pihak bagi saya dalam menyelesaikan tesis ini, oleh karena itu saya mengucapkan terimakasih kepada: 1. dr. I Wayan Murna Yonathan, SpRad, sebagai pembimbing radiologis dan pembimbing akademis yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing saya dalam menyelesaikan tesis ini. 2. dr. Chaidir Arief M, PhD, SpU, sebagai pembimbing klinis yang telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran dalam penyelesaian tesis ini. 3. Dr. dr. Joedo Prihartono, MPH, sebagai pembimbing statistic yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran dalam penyusunan tesis ini. 4. dr. Aviyanti Djurzan, SpRad, sebagai penguji pokja yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini. 5. dr. Marcel Prasetyo, SpRad, debagai penguji metodologi yang telah memberikan masukan bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. 6. dr. Vally Wulani, SpRad, sebagai moderator yang telah memberikan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. 7. dr. Sawitri Darmiati, SpRad sebagai Ketua Program Studi Radiologi yang telah memberikan bimbingan selama menjalani proses pendidikan. 8. dr. Benny Zulkarnaen, SpRad, sebagai Kepala Departemen Radiologi yang telah membimbing saya selama menjalani proses pendidikan.

6 9. dr. Indrati Suroyo, SpRad, sebagai mantan Kepala Departemen Radiologi yang telah membimbing saya selama menjalani proses pendidikan. 10. Guru-guru saya di RSUPN Ciptomangunkusumo, RSPAD Gatot Subroto, RS Kanker Dharmais, RSUP Persahabatan, RSUP Fatmawati, RS Jantung Harapan Kita dan RSAB Harapan Kita yang telah member bimbingan selama saya menjalani proses pendidikan. 11. Seluruh radiografer, medis, paramedis dan seluruh karyawan di RSUPN Ciptomangunkusumo, RSPAD Gatot Subroto, RS Kanker Dharmais, RSUP Persahabatan, RSUP Fatmawati, RS Jantung Harapan Kita dan RSAB Harapan Kita yang telah banyak membantu saya dalam menjalani pendidikan. 12. Orang tua saya Pendeta Sihar M Gurning dan Tiodor M Siregar, mertua saya B br. Simamora, istri saya Riana Elvawaty Tambunan, SE dan anak saya Batara Gurning serta seluruh keluarga besar saya yang telah memberikan dukungan moral, dan doa selama menjalani pendidikan. 13. Rekan-rekan sejawat PPDS I Radiologi terutama angkatan 0806 yang telah memberikan perhatian dan dukungan selama saya menjalani pendidikan. Akhir kata, semoga Tuhan membalaskan segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan pelayanan masyarakat. Jakarta, 29 Agustus 2013 Hormat saya, Dr. Johannes Gurning

7 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Johannes Gurning NPM : Program Studi Departemen Fakultas Jenis Karya : Pendidikan Dolter Spesialis Radiologi : Radiologi : Kedokteran : Tesis Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya saya yang berjudul: Hubungan Panjang Protrusi Prostat Intravesika dengan Ketebalan Otot Detrusor Buli-buli pada pasien Benign Prostate Hyperplasia Diukur Menggunakan Ultrasonografi Transabdominal Beserta perangkat yang ada (bila diperlukan). Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengolah dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di : jakarta Tanggal, 27 Januari 2014 Yang menyatakan Johannes Gurning

8 ABSTRAK Nama : Johannes Gurning Program Studi : Radiologi Judul : Hubungan Panjang Protrusi Prostat Intravesika dengan Ketebalan Otot Detrusor Buli-buli Pada Pasien BPH Diukur Menggunakan USG transabdominal. Pendahuluan: Protrusi prostat intravesika adalah penonjolan prostat yang mengindentasi buli-buli akibat pertumbuhan prostat lobus median dan lateral. Terdapat hubungan yang positif antara protrusi prostat intravesika, volume prostat, ketebalan otot detrusor buli-buli dan keluhan berkemih. Tujuan penelitian ini adalah mengukur tingkat korelasi antara panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian korelasi menggunakan disain potong lintang. Uji korelasi yang dilakukan adalah uji korelasi Spearman Rank. Hasil: Selama bulan Juli dan Agustus 2013 didapatkan jumlah sampel 20 orang. Rerata tebal otot detrusor buli-buli 2,83 mm (SD 0,64). Rerata panjang protrusi prostat intravesika 7,44 mm (SD 4,63). Hasil uji korelasi Spearman Rank didapatkan koefisien korelasi 0,54 (p 0,015). Kesimpulan: terdapat korelasi yang kuat antara panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli Kata kunci: Protrusi prostat intravesika, ketebalan otot detrusor buli-buli Abstract Introduction : intravesical prostatic protrusion is prostatic protrusion to the bladder wall due to the growth of the median and lateral lobes of the prostate. There is a positive relationship between intravesical prostatic protrusion, prostate volume, thickness of the bladder detrusor muscle and bladder complaints. The purpose of this study was to Measure the degree of correlation between the length of intravesical prostatic protrusion with the detrussor wall thickness. Methods : This study is a correlation study using cross-sectional design. Correlation test was performed Spearman Rank correlation test. Results : During the months of July and August 2013 found 20 persons of samples. The mean of detrussor wall thickness 2.83 mm ( SD 0.64 ). The mean of intravesical prostatic protrusion length 7.44 mm ( SD 4.63 ). Spearman Rank correlation test results obtained correlation coefficient 0.54 ( p ). Conclusion : there is a strong correlation between the length of intravesical prostatic protrusion with detrussor wall thickness. Keywords : intravesical prostatic protrusion, detrussor wall thickness.

9 Daftar Isi DAFTAR ISI i BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Pertanyaan Penelitian Hipotesa Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Anatomi Fisiologi Berkemih Epidemiologi Gejala Klinis Diagnosis Gambaran Radiologi Prostat dan Buli-buli Teknik Pemeriksaan USG Prostat dan Buli-buli Kerangka Teori Kerangka Konsep 17 BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Tempat dan Waktu Populasi dan Sampel Subyek Penelitian Alur Penelitian 21

10 3.6 Cara Kerja Batasan Operasional Analisa Data Pendanaan Etika Penelitian 25 BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Hasil Penelitian Analisis Data Hasil Penelitian 27 BAB 5. PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Hasil Pengambilan Data Penelitian Analisis Korelasi Data Penelitian Keterbatasan Penelitian 38 BAB 6. KESIMPULAN dan SARAN 6.1 Kesimpulan Saran 39 DAFTAR PUSTAKA 41 Lampiran 1. Lembar persetujuan Lampiran 2. Formulir Penelitian Lampiran 3. Formulir Kuisioner IPSS Lampiran 4. Keterangan Lolos Kaji Etik Lampiran 5. Data Hasil Penelitian

11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penebalan otot detrusor buli-buli dapat terjadi pada pembesaran kelenjar prostat. Pada tahap awal setelah pembesaran prostat, tahanan pada leher buli-buli dan pada uretra daerah prostat meningkat. Peningkatan tahanan ini mengakibatkan detrusor menjadi lebih tebal. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding buli-buli. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. 1 Protrusi prostat intravesika adalah penonjolan prostat yang mengindentasi buli-buli akibat pertumbuhan prostat lobus median dan lateral. Terdapat hubungan yang positf antara protrusi prostat intravesika, volume prostat dan keluhan berkemih. 2 Pembesaran prostat menimbulkan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan kemih membuat penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi tersebut menetes pada akhir, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga buli-buli sering berkontraksi meskipun belum penuh. 3 Gejala tersebut dapat di dimasukkan ke dalam sistem skoring yaitu IPSS (International Prostate Symptom Score) yang sudah dipakai secara luas dalam praktek urologi.

12 Apabila terjadi dekompensasi buli-buli, akan terjadi peningkatan volume residu urin, sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, dapat terjadi sumbatan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan buli-buli menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesikoureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. 3 Penelitian yang dilakukan oleh Jung Soo Park 1, dkk pada tahun menyatakan bahwa ketebalan detrusor berhubungan dengan protrusi prostat ke dalam buli-buli. Penelitian yang dilakukan oleh Franco G 4, dkk pada tahun 2010 menyatakan bahwa ketebalan detrusor dan protrusio prostat yang diperiksa menggunakan Ultrasonografi (USG) merupakan pemeriksaan yang mudah, tidak invasif dan akurat untuk mengevaluasi gejala obstruksi pada pembesaran prostat. Penelitian yang dilakukan oleh Matthias Oelke 3, dkk pada tahun 2001 menyatakan bahwa ketebalan detrusor mendeteksi gejala obstruksi pada pria, lebih baik daripada pemeriksaan uroflowmetri, pemeriksaan residu urin, atau pemeriksaan volume prostat. Pelaporan hasil USG di departemen radiologi RSCM pada pemeriksaan prostat pada umumnya hanya melaporkan volume prostat, kalsifikasi dan lesi patologis. Oleh karena itu dirasakan perlu data-data yang dapat memberikan informasi sejauh mana hubungan antara panjang protrusi prostat ke dalam buli-buli dengan ketebalan otot detrusor buli-buli yang di ukur menggunakan USG transabdominal, sehingga pada pemeriksaan USG, radiologist juga mengevaluasi panjang protrusi prostat intravesika dan ketebalan otot detrusor buli-buli selain volume prostat.

13 1.2 Rumusan Masalah Pada saat ini, panjang protrusi prostat intravesika dan ukuran ketebalan otot detrusor buli-buli belum menjadi standar pelaporan di departemen radiologi RSCM apabila ditemukan pembesaran volume prostat. 1.3 Pertanyaan Penelitian - Sejauh mana pembesaran panjang protrusi prostat ke dalam buli-buli mempengaruhi ketebalan detrusor buli-buli? - Apakah ketebalan dinding buli-buli berhubungan dengan skor IPSS? - Apakah panjang protrusi prostat ke dalam buli-buli berhubungan dengan skor IPSS? 1.4 Hipotesa - Panjang protrusi prostat intravesika mempunyai korelasi positif dengan ketebalan otot detrusor buli-buli. - Ketebalan otot detrusor buli-buli mempunyai korelasi positif dengan skor IPSS - Panjang protrusi prostat ke dalam buli-buli mempunyai korelasi positif dengan skor IPSS 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan umum Meningkatkan kualitas pemeriksaan USG prostat dan buli-buli pada pasien yang mengalami pembesaran prostat jinak.

14 1.5.2 Tujuan khusus - Mengukur tingkat korelasi antara panjang protrusi prostat intra buli-buli dengan ketebalan otot detrusor buli-buli - Mengukur tingkat korelasi antara ketebalan otot detrusor buli-buli dengan skor IPSS - Mengukur tingkat korelasi antara panjang protrusi prostat intravesika dengan skor IPSS 1.6 Manfaat Penelitian Segi pendidikan: penelitian ini merupakan suatu sarana pendidikan, khususnya melatih cara berfikir dan meneliti serta mengetahui hubungan antara panjang protrusi prostat ke dalam buli-buli dengan ketebalan otot detrusor buli-buli dan skor IPSS Segi pengembangan pendidikan: diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengetahuan maupun acuan dalam evaluasi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah. Selain itu penelitian ini diharapkan juga dapat sebagai dasar penelitian lebih lanjut Segi pelayanan: penelitian ini diharapkan memberikan hubungan yang jelas sehingga dapat dipergunakan sebagai pemeriksaan yang tidak invasif kepada pasien dengan pembesaran prostat, selain itu pasien mendapatkan informasi penting mengenai keadaan prostat dan buli-buli pasien.

15 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar prostat akibat pertumbuhan prostat normal. Istilah hipertropi prostat yang sebelumnya pernah dipakai sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar-kelenjar prostat tidak bertambah besar tetapi jumlah sel bertambah banyak (hiperplasia). Protrusi prostat intravesika adalah penonjolan prostat yang mengindentasi dinding inferior buli-buli akibat pembesaran prostat. Otot detrusor buli-buli merupakan otot yang berkontraksi saat proses miksi. Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. 5,6 Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS). 6,7 IPSS adalah salah satu kuisioner yang paling sering digunakan secara internasional dalam praktek urologi yang dikembangakan oleh Asosiasi Urologi di Amerika, telah dimodifikasi dan disetujui WHO (World Health Organization) untuk dipakai secara luas. IPSS berisikan informasi yang mengarah kepada keluhan berkemih pasien. Keluhan dan perhitungan skor yang di nilai dalam IPSS adalah berdasarkan keluhan kepuasan berkemih, frekuensi berkemih, intermiten, urgensi, kelemahan pancaran, pemaksaan berkemih. 7 (Tabel skor IPSS terlampir).

16 2.2 Anatomi Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram. Prostat mengelilingi uretra pars prostatika dan ditembus di bagian posterior oleh dua buah duktus ejakulatorius. 8,9,10,11 Kelenjar prostat terletak di sisi inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. 8,9 8, 10,12 Kelenjar prostat terbagi atas 5 zona : 1. Lobus medius 2. Lobus lateralis (2 lobus) 3. Lobus anterior 4. Lobus posterior Gambar 2.1. Gross Anatomy prostat dan buli-buli potongan sagital 13

17 Gambar 2.2. Anatomi prostat berdasarkan zona. 13 A. Potongan transversal; B. Potongan sagital CZ= zona sentral; DV= vaskuler dorsal; EJD= duktus ejakulatorius; NVB= neurovascular bundle; L= m.levator; PZ= zona perifer; TZ= zona transisi; U=uretra Aliran darah prostat merupakan percabangan dari arteri pudenda interna, arteri vesikalis inferior dan arteri rektalis media. Pembuluh ini bercabang-cabang dalam kapsula dan stroma, dan berakhir sebagai jala-jala kapiler yang berkembang baik dalam lamina propria. Pembuluh vena mengikuti jalannya arteri dan bermuara ke pleksus sekeliling kelenjar. Persarafan prostat berasal dari pleksus hipogastrika inferior dan membentuk pleksus prostatika. Prostat mendapat persarafan terutama dari serabut saraf tidak bermielin. Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom yang terletak di kapsula dan di stroma. Serabut motoris, mungkin terutama simpatis, tampak mempersarafi sel-sel otot polos di stroma dan kapsula sama seperti dinding pembuluh darah. 13

18 Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyam. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot sirkuler dan paling luar merupakan otot longitudinal. Buli-buli merupakan tempat pengumpulan urin sebelum di buang. Buli-buli laki-laki berada di anterior dari rektum, diposterior dari simfisis pubis dan di atas prostat. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum bul-buli Fisiologi berkemih Proses berkemih atau mikturasi adalah proses pembuangan urin. Pada saat volume buli-buli ml atau tonus buli-buli cm H2O, akan timbul refleks rasa ingin kencing, kemudian, akan di kirim sinyal saraf parasimpatik untuk kontraksi otot detrusor sehingga urin dikeluarkan melalui uretra. Pengeluaran urin secara volunter dimulai dengan cara mengkontraksikan otot perut yang akan meningkatkan tekanan dalam kandung kemih dan memberikan tekanan pada leher kandung kemih dan uretra posterior. Hal ini memicu reseptor regang yang mencetuskan refleks mikturisi dan secara bersamaan menghambat sfingter uretra eksterna. Biasanya seluruh urin akan dikeluarkan, dan menyisakan tidak lebih dari 5 10 ml urin dalam buli-buli. 14 Pembesaran volume prostat akan meningkatkan panjang protrusi prostat intravesika sehingga meningkatkan tahanan pada uretra pars prostatika dan di leher buli-buli. Peningkatan tahanan pada uretra akan membuat otot detrusor berkontraksi lebih kuat untuk mengeluarkan urin sehingga akan menyebabkan hipertrofi otot detrusor buli-buli. Apabila pertumbuhan prostat berlanjut, akan terjadi kontraksi berlebih otot detrusor buli-buli dan akan menimbulkan gangguan berkemih berupa gejala obstruksi dan gejala iritasi.

19 2.4 Epidemiologi Hiperplasia prostat terjadi pada pria, sering ditemukan setelah usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, dimana pada selang waktu tersebut terjadi peningkatan cepat dalam ukuran yang berkelanjutan sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasia. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut akan menyebabkan gejala dan tanda klinik. 15, Gejala klinis Gejala klinis BPH yang menonjol adalah sumbatan saluran kencing bagian bawah. Terjadinya gejala tersebut dapat disebabkan oleh dua komponen, pertama adanya penekanan yang bersifat menetap pada uretra (komponen statik) dimana terjadi peningkatan volume prostat yang pada akhirnya akan menekan uretra pars prostatika dan mengakibatkan terjadinya hambatan aliran kencing. Kedua disebabkan oleh peningkatan tonus kelenjar prostat yang diatur oleh sistem saraf otonom (komponen dinamik) yang akhimya dapat meninggikan tekanan dan resistensi uretra. 16 Tanda dan gejala BPH antara lain sering buang air kecil, nokturia, pancaran urin lemah, urin yang keluar menetes-netes pada bagian akhir masa buang air kecil. Gejala hiperplasia prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling berhubungan, obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Tanda obstruksi yaitu: menunggu pada permulaan miksi; pancaran miksi terputus-putus; rasa tidak puas sehabis miksi; urin menetes pada akhir miksi; pancaran urin jadi lemah. 7,16

20 Gejala iritasi timbul karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada akhir miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga kandung kemih sering berkontraksi meskipun belum penuh. Bila terjadi dekompensasi akan terjadi retensi urin sehingga urin masih berada dalam kandung kemih pada akhir miksi. Tanda iritasi: rasa tidak dapat menahan kencing; terbangun untuk kencing pada saat tidur malam hari; bertambahnya frekuensi miksi; nyeri pada waktu miksi (disuria). 17 Gejala dan tanda ini diberi skoring untuk menentukan berat keluhan klinik. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Volume sisa urin setelah miksi normal pada pria dewasa sekitar 35 ml. Sisa urin dapat juga diketahui dengan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi, sisa urin lebih dari 100 ml, biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hiperplasia prostat. 16 Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan pancaran urin pada waktu miksi, cara pengukuran ini disebut uroflowmetri. Angka normal untuk pancaran urin rata-rata ml/detik dengan pancaran maksimal sampai 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan pancaran maksimal menjadi 15 ml/detik. Tetapi pada pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara kelemahan otot detrusor dengan obstruksi intravesikal.

21 2.6 Diagnosis Untuk mendiagnosis BPH dilakukan pemeriksaan standar dan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan standar meliputi: a) Hitung skor gejala, dapat ditentukan dengan menggunakan skor IPSS (International Prostate Symptom Score, IPSS) b) Riwayat penyakit lain atau pemakai obat yang memungkinkan gangguan miksi. c) Pemeriksaan fisik khususnya colok dubur. Pemeriksaan Tambahan: a) Pemeriksaan uroflowmetri (pengukuran pancaran urin pada saat miksi) b) Pemeriksaan TRUS-P (Transrectal Ultrasonography of the prostate) c) Pemeriksaan serum PSA (Prostatic spesific antigen) d) Pemeriksaan USG transabdominal e) Pemeriksaan patologi anatomi (diagnosis pasti) Pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah, radiografi konvensional untuk memperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan seperti batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel saluran kemih. Pembesan prostat dapat diketahui dengan adanya indentasi kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar kandung kemih pada fase buli-buli penuh pada pemeriksaan BNO-IVP tampak terangkat atau ujung distal ureter membengkok ke atas berbentuk seperti mata kail. Pemeriksaan CT Scan atau MRI jarang dilakukan. 13,18

22 2.7 Gambaran Radiologi Prostat dan Buli-buli Prostat MRI kelenjar prostat, pada T1WI, tampak dengan intensitas yang sedang sampai rendah, sama dengan otot-otot. Gambaran intensitas yang tinggi pada periprostatika merupakan batas prostat. Vena-vena periprostatika dan neurovaskuler adalah hipointens. Pada T2WI terlihat struktur internal prostat. Zona perifer tampak hiperintens karena mengandung air lebih banyak. Zona sentral terlihat hipointens karena jaringan otot lebih padat. Zona sentral dan zona transisi menjadi terlihat heterogen mengikuti perkembangan usia dan perkembangan hiperplasia prostat. Stroma fibromuskuler bagian anterior terlihat hipointens dan batasnya tidak tegas. Vesikula seminalis terlihat hipointens sampai isointens pada T1WI dan terlihat hiperintens pada T2WI karena cairan dalam tubulus. Ukuran normal vesikula seminalis bervariasi dan sering terlihat asimetris. 8,10,12 Pada pemeriksaan CT Scan, kelenjar prostat terlihat di dasar buli-buli, di posterior simfisis pubis, homogen, bulat dengan diameter maksimal 4 cm. Zona anatomi prostat tidak terlihat jelas pada CT Scan. Jaringan lemak yang tegas terlihat membatasi prostat dengan obturator internus. 8,10 Pada pemeriksaan CT scan, hipertrofi prostat akan terlihat (1) pembesaran prostat, dengan kontur berlobulasi; (2) kalsifikasi yang kasar; (3) degenerasi kistik dan (4) penebalan dinding buli-buli. Gambaran MRI pada hipertrofi prostat terlihat pembesaran prostat dengan intensitas heterogen di sentral pada T2WI. Terlihat area kistik dengan intensitas rendah pada T1WI dan intensitas tinggi pada T2WI. 8,10 Pada pemeriksaan dengan USG, dapat dilakukan transrektal maupun transabdominal. Pada hipertrofi prostat, USG digunakan untuk diagnosis dan evaluasi penatalaksanaan. USG transrektal juga berguna sebagai penuntun biopsi kelenjar prostat untuk diagnosis kanker prostat. Sensitivitas USG transrektal untuk diagnosis dini kanker prostat ditemukan 60% bila hanya dengan pemeriksaan USG. 8,10,15,19

23 Pada umumnya USG transrektal lebih luas di pakai untuk pemeriksaan prostat, namun banyak rumah sakit yang tidak memiliki probe transrektal, dan ketidaknyamanan pasien pada pemeriksaan USG transrektal sehingga USG transabdominal menjadi alternatif pemeriksaan prostat dan pengalaman pemeriksa sangat dibutuhkan untuk ketepatan pemeriksaan. 20 Pada USG transabdominal, prostat terlihat merupakan suatu organ yang bulat di dasar bulibuli. Pembesaran prostat mengindentasi dasar buli-buli. USG dapat menghitung volume prostat dengan rumus LL x AP x CC x 0,52 cc (LL = diameter latero-lateral, AP = diameter antero-posterior, CC = diameter cranio-caudal). Bila volume prostat lebih dari 30 cc (atau 30 gram) dikatakan sebagai pembesaran prostat. 8,10 Deviasi volume prostat yang diukur dengan USG ditemukan 10% setelah volume prostat di ukur pasca pembedahan Buli-buli Buli-buli yang penuh merupakan jendela akustik untuk evaluasi traktus genitalia. Abnormalitas pada buli-buli dapat mengaburkan abnormalitas pada organ-organ di rongga pelvis. USG sendiri tidak dapat mendiagnosis tumor buli-buli tanpa sistoskopi dan biopsi, namun USG dapat memprediksi adanya tumor dan menentukan perlu atau tidak dilakukan sistoskopi maupun biopsi. 21 USG dapat menilai dinding buli-buli, ureter distal, massa intravesika dan ekstravesika. Pada keadaan buli-buli penuh, tebal dinding buli-buli adalah 3 mm dan pada saat buli-buli kosong tebalnya adalah 5 mm. Volume buli-buli dapat di hitung dengan rumus yang sama dengan menghitung volume prostat. USG dapat menghitung volume buli-buli pada saat distensi dan menghitung volume residu urin. 8,10,22

24 2.8 Teknik pemeriksaan USG prostat dan buli-buli. Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal (trans rectal ultrasography = TRUS). Untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume kandung kemih, mengukur sisa urin dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. 10 Menurut penelitian Sun Ho Kim dan Seung Hyup Kim 22, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pemeriksaan USG prostat antara transabdominal dengan transrektal (r = 0,967). USG buli-buli pada laki-laki dapat dilakukan transabdominal maupun transrektal. USG transabdominal adalah yang paling sering dilakukan. Secara umum dipakai probe 3,5 MHz. Pada saat kosong, buli-buli berada di belakang simfisis pubis dan sangat sulit dilihat dengan USG. USG buli-buli pada laki-laki dewasa sangat baik dinilai pada saat volume urin sekitar cc, untuk itu sebelum pemeriksaan pasien dianjurkan minum yang banyak. Ketebalan otot detrusor buli-buli tidak berbeda bermakna pada volume urin mulai dari 250 cc sampai 800 cc. Pengukuran volume buli-buli dapat di ukur secara manual dengan memakai rumus LL x AP x CC x 0,52cc. Pada posisi terlentang, transduser diletakkan 1 cm di atas simfisis pubis dan diarahkan ke bawah. Buli-buli di skening secara transversal dan longitudinal. Variasi ketebalan dinding buli-buli tergantung beratnya distensi. Secara umum, ukuran normal ketebalan otot detrusor buli-buli dewasa pada saat penuh adalah 3 mm dan pada saat kosong adalah sekitar 5 mm. 21,23 Pada dasarnya USG transrektal dilakukan untuk melihat prostat, dapat juga dilakukan menilai buli-buli. Pasien dapat diperiksa dengan posisi miring atau posisi litotomi. Probe ditutupi dengan kondom dan diberikan gel yang cukup. Probe yang dipakai pada umumnya adalah 6-8 MHz yang dimasukkan kedalam rectum melalui anus. Pemeriksaan ini dapat mengevaluasi buli-buli, prostat dan struktur yang berada disekitarnya seperti vesikula seminalis dan uretra. Pada pemeriksaan USG transabdominal, prostat dapat tervisualisasi dengan baik dengan cara memanipulasi sudut probe sekitar 30 derajat kearah kaudal dengan menggunakan buli-buli sebagai jendela. Dengan sedikit penekanan untuk meyakinkan bahwa bagian inferior dari prostat tidak dikaburkan oleh bayangan artefak dari dasar buli-buli. Pengukuran jarak protrusi prostat intra buli-buli dapat di ukur dengan menarik garis imajiner dari ujung leher prostat yang menonjol ke dalam buli-buli kemudian diambil suatu garis tegak lurus, kemudian di ukur jarak terjauh dari garis imajiner tersebut ke ujung prostat yang menonjol ke buli-buli. 11

25 Gambar 2.3. Pengukuran protrusi 2 A. Teknik pengukuran panjang protrusi prostat intravesika menggunakan USG transrektal B. Teknik pengukuran panjang protrusi prostat intravesika menggunakan USG transabdominal.

26 2.9 Kerangka Teori Benign Prostatic Hyperplasia Protrusi prostat intravesika Hipertrofi otot halus Peningkatan jaringan yang menyempitkan lumen Peningkatan tekanan otot di uretra pars prostatika dan di leher buli Obstruksi berkemih Peningkatan aktivitas otot detrusor Evakuasi buli-buli efektif sementara Protrusi prostat berlanjut Obstruksi uretra Kontraksi berlebih otot detrusor Inkontinensia Protrusi prostat berlanjut Kekuatan kontraksi melemah, perasaan berkemih tidak puas Peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, urgensi Obstruksi berkemih Penebalan otot detrusor Retensi urin

27 2.10 Kerangka Konsep Hiperplasia prostat jinak Protrusi prostat intravesika (cm) Penebalan otot detrusor buli-buli (cm) Gejala obstruksi dan iritasi (skor IPSS)

28 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian korelasi menggunakan disain potong lintang (cross sectional) untuk mengetahui hubungan antara panjang protrusi prostat ke dalam buli-buli dengan ketebalan otot detrusor buli-buli pada pasien yang mengalami pembesaran prostat. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Departemen Radiologi, RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Juni sampai Agustus tahun 2013 (setelah disetujui oleh komite etik). Kegiatan April Mei Juni Juli Agustus Usulan V Administrasi V Perijinan V V Pengumpulan V V data Analisis data V Pelaporan V 3.3 Populasi dan Besar Sampel Populasi penelitian adalah semua pasien laki-laki yang pada pemeriksaan USG whole abdomen maupun pemeriksaan USG ginjal dan buli-buli ditemukan mengalami pembesaran prostat, baik pasien rawat inap maupun rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, yang memenuhi kriteria penelitian. Semua sampel diukur volume prostatnya, diukur jarak protrusi prostat intra buli-buli, di ukur ketebalan detrusor buli-bulinya, diukur volume buli-buli sebagai syarat mengukur ketebalan detrusor, serta mengisi data pribadi dan formulir IPSS (International Prostate Symptom Score).

29 Penentuan besar sampel ditentukan menggunakan rumus korelasi antara dua variabel yaitu: Zα + Zβ n = ,5 ln [(1 + r) / (1 r)] Keterangan: Zα = kesalahan tipe 1, dalam hal ini ditetapkan α = 5%; maka Zα = 1,96. Zβ = kesalahan tipe 2, dalam hal ini ditetapkan β = 20%; maka Zβ = 0,842 r = perkiraan koefisien korelasi = 0,6 n = jumlah sampel pasien hipertropi prostat di RSCM Berdasarkan perhitungan tersebut, maka besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 19,34 (dibulatkan menjadi 20 sampel) Subyek Penelitian Kriteria inklusi: 1. Pasien USG whole abdomen dan pasien USG ginjal-buli berusia 30 tahun atau lebih di departemen radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan volume prostat di atas 30 ml. 2. Pasien telah tamat pendidikan SD, mampu membaca dan menulis. Kriteria eksklusi: 1. Pasien dengan diagnosis maupun riwayat tumor prostat. 2. Ditemukan lesi fokal pada pemeriksaan USG prostat. 3. Pasien dengan infeksi saluran kemih maupun riwayat infeksi saluran kemih berulang. 4. Ditemukan lesi fokal pada buli-buli. 5. Batu uretra dan batu buli-buli.

30 3.5 Alur Penelitian Pasien berusia 30 tahun atau lebih dengan volume prostat di atas 30 ml. Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Surat izin tindakan/persetujuan penelitian Tidak dipakai sebagai sampel Pengukuran volume urin, volume prostat, panjang protrusi prostat, dan ketebalan otot detrusor buli-buli. Pengisian kuisioner IPSS Analisis data

31 3.6 Cara kerja Tahap pertama : Mendapatkan pasien penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi. Tahap kedua : Melakukan pengisian surat izin tindakan, mencatat data pasien. Tahap ketiga : Mengukur volume urin. Tahap keempat: Mengukur ketebalan otot detrusor buli-buli Tahap kelima: Mengukur volume prostat serta mengukur panjang protrusi prostat intravesika. Tahap keenam : Mengisi formulir IPSS Tahap ketujuh : Hasil pemeriksaan dianalisa oleh peneliti dan spesialis radiologi divisi genitourinary. 3.7 Batasan Operasional 1. Usia pasien yang diteliti adalah 30 tahun atau lebih yang dihitung berdasarkan tanggal lahir. 2. Pendidikan pasien yang diteliti harus tamat pendidikan sekolah dasar. 3. Sebelum melakukan pengukuran ketebalan otot detrusor dan pengukuran panjang protrusi prostat, dipastikan dahulu volume urin antara ml. 4. Ketebalan otot detrusor buli-buli di ambil dari nilai rata-tata ketebalan otot detrusor yang di ukur pada tiga tempat yang dapat diukur ketebalannya. 5. Pengukuran volume prostat dan volume buli-buli dilakukan dengan skening transversal dan longitudinal dengan dimensi terbesar serta menggunakan rumus perhitungan volume yang sudah ada pada mesin USG. 6. Pengukuran panjang protrusi intravesika dilakukan dengan menarik garis imajiner pada titik terjauh penonjolan prostat intravesika, kemudian diambil garis tegak lurus dengan garis imajiner tersebut. Yang di ukur adalah jarak terjauh dari garis imajiner tersebut. Skema: Buli- buli Panjang protrusi Prostat 7. IPSS diisi secara mandiri oleh pasien yang diteliti tanpa bantuan peneliti maupun tenaga medis. Pasien berusia 60 tahun atau lebih dapat dibantu peneliti dalam pengisian formulir IPSS.

32 8. Alat yang di pakai adalah USG di departemen radiologi yang dapat disimpan datanya ke dalam PACS departemen radiologi RSCM, yaitu SIEMENS ACUSON X300. Probe yang dipakai adalah probe curved 3,5 MHz. 9. Pengambilan data pasien melalui pemeriksaan USG dilakukan oleh peneliti dan pembimbing radiologi secara bersama-sama.

33 3.8 Analisis Data Seluruh data dari sampel penelitian dicatat pada formulir penelitian untuk diedit dan dikoding. Data direkam dalam cakram magnetis mikro komputer dan dilakukan validasi. Pada data yang sudah bersih dilakukan tabulasi dan diolah secara statistik menggunakan program SPSS Pada data kuantitatif akan dihitung nilai mean dan SD beserta tingkat kepercayaan 95% nya. Pengujian hubungan antara variabel kualitatif dan variabel kuantitatif dilakukan dengan uji Student t tidak berpasangan atau ANOVA one way. Apabila tidak memenuhi syarat parametrik, maka pengujian dilakukan dengan uji rangking Mann Whitney atau uji rangking Kruskal Wallis. Hubungan antara dua variabel kualitatif akan dilakukan dengan uji Chi Square, sedangkan bila tidak memenuhi syarat maka dilakukan pengujian dengan uji Mutlak Fisher. Hubungan antara dua variabel kuantitatif akan dilakukan dengan analisa korelasi-regresi dan uji Pearson, sedangkan bila tidak memenuhi syarat maka dilakukan pengujian dengan uji Spearman rank. Pengambilan kesimpulan statistik dilakukan dengan batas kepercayaan sebesar 5%. 3.9 Pendanaan - Biaya pengadaan literatur. - ATK, cakram magnetik komputer. - Biaya kertas USG. - Biaya pencetakan dan pengadaan laporan.

34 3.10 Etika Penelitian Penelitian ini mulai dilakukan setelah mendapat persetujuan dari komite etika penelitian. Pengambilan data pasien dilakukan peneliti setelah memberikan penjelasan kepada pasien dan mendapatkan persetujuan berupa informed consent dari pasien. Tidak ada biaya tambahan pada pasien yang akan di teliti. Hasil penelitian tidak akan mempengaruhi hasil pemeriksaan USG sebelumnya. Data pasien akan diperlakukan secara rahasia dengan hanya menuliskan inisial nama pasien pada data penelitian ini. Usulan penelitian ini telah lolos kaji etik pada tanggal 15 Juli 2015 dengan surat keterangan nomor: 450/H2.F1/ETIK/2013 oleh komite etik penelitian kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

35 BAB 4 HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di departemen radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli dan Agustus tahun Jumlah sampel yang didapatkan 20 orang setelah melalui seleksi, sesuai dengan kriteria inklusi. 4.1 Deskripsi hasil penelitian Tabel 4.1 Nilai rata-rata dan standar deviasi (SD) umur (n = 20) Variabel Mean SD 95% CI Low High Umur (tahun) 67,40 8,05 63,63 71,17 Umur rata-rata subyek pada penelitian ini adalah 67,40 tahun dengan standar deviasi 8,05 dan pada nilai interval kepercayaan sebesar 95% terdapat umur rata-rata subyek laki-laki antara 63,63 tahun sampai 71,17 tahun. Tabel 4.2 Nilai rerata, SD, dan median data hasil penelitian (n = 20) Karakteristik Mean SD Median Min Maks Volume buli-buli (cc) 181,63 46,46 168,8 153,7 350,5 Tebal otot detrusor 2,83 0,64 2,98 1,77 3,77 (mm) Volume prostat (cc) 42,35 17,97 36,95 30,3 108,7 Panjang protrusi (mm) 7,44 4,63 6,5 2,4 18,7 Skor IPSS 9,35 3, Dari 20 sampel penelitian, diperoleh data sebagai berikut (tabel 4.2); rata-rata volume bulibuli pada penelitian ini adalah 181,63 cc dengan standar deviasi 46,46, rata-rata volume prostat pada penelitian ini adalah 42,35 cc dengan standar deviasi 17,97, ketebalan rata-rata otot detrusor buli-buli pada penelitian ini adalah 2,83 mm dengan standar deviasi 0,64, ratarata panjang protrusi prostat intravesika pada penelitian ini adalah 7,44 mm dengan standar deviasi 4,63, dan rata-rata skor IPSS pada penelitian ini adalah 9,35 dengan standar deviasi 3,94.

36 4.2 Analisis data hasil penelitian Hubungan Antara panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli Untuk mengetahui normalitas distribusi sampel dilakukan uji Shapiro-Wilk (jumlah sampel kurang dari 50). Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk panjang protrusi prostat intravesika adalah 0,011 (<0,05), artinya sampel tidak berasal dari populasi berdistribusi normal. Uji korelasi yang dilakukan adalah uji korelasi Spearman_Rank.. Hasil uji korelasi Spearman_Rank. Menilai hubungan panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli didapatkan koefisien korelasi 0,535 (0,5-0,75) dan nilai p 0,015 (<0,05). Artinya terdapat hubungan korelasi kuat yang signifikan secara statistik antara panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli. Ketebalan otot detrusor Panjang protrusi Gambar 4.2 Grafik Curvefit panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor bulibuli Dilakukan pengkategorian berdasarkan ketebalan otot detrusor buli-buli. Tebal otot detrusor buli-buli kurang dari 3 mm termasuk kategori tidak menebal, sedangkan ukuran 3 mm atau lebih termasuk kategori menebal. Didapatkan 10 sampel (50%) dengan kategori dinding buli-buli yang menebal pada panjang protrusi prostat dengan mean 9,84 mm dan SD 5,20. Didapatkan 10 sampel (50%) dengan kategori dinding buli-buli yang tidak menebal dengan mean 2,33 cm dan SD 2,33.

37 Tabel 4.3 Panjang protrusi prostat intravesika menurut kategori ketebalan otot detrusor buli-buli ( 3mm = menebal, < 3mm = tidak menebal) Variabel Panjang protrusi prostat intravesika Ketebalan dinding buli-buli (mm) Jumlah Mean SD P (%) 3 mm 10 9,84 5,20 50 < 3 mm 10 5,03 2,33 50 Pada uji Mann_Whitney didapatkan nilai signifikansi panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli 0,029 (<0,05), artinya terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara panjang protrusi prostat intravesika dengan kelompok kategori ketebalan dinding buli-buli N = 10 < TEBALGR Gambar 4.3 Boxplot panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli Hubungan antara panjang protrusi prostat intravesika dengan skor IPSS Uji korelasi Spearman_Rank. antara panjang protrusi prostat intravesika dengan skor IPSS didapatkan nilai p 0,121 (>0,05) dan koefisien korelasi 0,359. Artinya korelasi antara panjang protrusi prostat intravesika dengan skor IPSS tidak bermakna secara statistik. Dilakukan pengkategorian gejala obstruksi berdasarkan skor IPSS. Skor IPSS 1-7 termasuk gejala obstruksi ringan, skor IPSS 8-18 termasuk gejala obstruksi sedang, dan skor termasuk gejala obstruksi berat. Hasil penelitian terdiri dari 2 kelompok yaitu gejala obstruksi ringan dan sedang.

38 Didapatkan 7 sampel (35%) dengan kategori gejala obstruksi ringan pada panjang protrusi prostat dengan mean 4,66 mm dan SD 2,5. Didapatkan 13 sampel (65%) dengan kategori gejala obstruksi sedang pada panjang protrusi prostat dengan mean 8,93 mm dan SD 4,9. Tabel 4.4 Panjang protrusi prostat intravesika terhadap kategori skor IPSS (1-7=gejala obstruksi ringan, 8-18=gejala obstruksi sedang) Variabel Panjang protrusi prostat intravesika Skor IPSS Jumlah Mean SD P Gejala obstruksi ringan (1-7) 7 4,66 mm 2,5 35 % Gejala obstruksi sedang (8-18) 13 8,93 mm 4,9 65 % Pada uji Mann_Whitney didapatkan nilai signifikansi panjang protrusi prostat intravesika dengan kategori skor IPSS 0,03 (<0,05), artinya terlihat perbedaan bermakna secara statistik antara panjang protrusi prostat intravesika dengan kelompok kategori keluhan obstruksi ringan dan sedang berdasarkan skor IPSS N = 7 ringan non 13 sedang bph IPSSGR Gambar 4.4 Boxplot panjang protrusi prostat intravesika dengan skor IPSS

39 4.2.3 Hubungan antara ketebalan otot detrusor buli-buli dengan skor IPSS Hasil uji korelasi Spearman_Rank antara ketebalan otot detrusor buli-buli dengan skor IPSS didapatkan nilai p 0,094 (>0,05) dan koefisien korelasi 0,384. Artinya korelasi antara ketebalan otot detrusor buli-buli dengan skor IPSS tidak bermakna secara statistik. Pada pengkategorian berdasarkan ketebalan otot detrusor buli-buli didapatkan 10 sampel (50%) dengan ketebalan otot detrusor buli-buli 3 mm atau lebih pada skor IPSS dengan mean 11,3 dan SD 3,84. Ditemukan 10 sampel (50%) dengan ketebalan otot detrusor buli-buli kurang dari 3 mm pada skor IPSS dengan mean 7,4 dan SD 3,06. Tabel 4.5 Kategori ketebalan otot detrusor buli-buli terhadap skor IPSS ( 3mm = menebal, < 3mm = tidak menebal) Variabel Skor IPSS Ketebalan dinding buli-buli (mm) Jumlah Mean SD P (%) 3 mm 10 11,3 3,86 50 < 3 mm 10 7,4 3,06 50 Pada uji Mann_Whitney didapatkan nilai signifikansi ketebalan otot detrusor buli-buli dengan skor IPSS 0,027 (<0,05), artinya terlihat perbedaan bermakna secara statistik antara skor IPSS dengan kelompok kategori ketebalan otot detrusor buli-buli skor IPSS 0 N = 10 < TEBALGR Gambar 4.5 Boxplot kategori ketebalan otot detrusor buli-buli dengan skor IPSS

40 4.2.4 Hubungan antara volume prostat dan panjang protrusi prostat intravesika. Hasil uji korelasi Spearman Rank didapatkan dilai p 0,006 (<0,05) dan koefisien korelasi 0,588 (0,40-0,70) artinya korelasi yang cukup erat antara volume prostat dengan panjang protrusi prostat intravesika bermakna signifikan secara statistik. Gambar 4.6 Grafik hubungan volume prostat dengan panjang protrusi prostat intravesika.

41 4.2.5 Hubungan antara volume prostat dengan skor IPSS Uji korelasi yang dilakukan adalah uji korelasi Spearman Rank. Hasil uji korelasi Spearman Rank didapatkan nilai p 0,424 (>0,05) dan koefisien korelasi 0,189. Artinya hubungan yang sangat kecil, antara volume prostat dan skor IPSS tidak bermakna secara statistik. Gambar 4.7 Grafik hubungan volume prostat dengan skor IPSS.

42 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan pengambilan sampel penelitian selama bulan Juli dan awal Agustus 2013, pada 20 subyek untuk mencari hubungan antara panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli pada pasien BPH di departemen radiologi FKUI/ RSUPN- CM. Proses pengambilan data berupa volume buli-buli, ketebalan otot detrusor buli-buli, volume prostat, panjang protrusi prostat intravesika dan skor IPSS diperoleh langsung dari subyek penelitian setelah diberikan informed consent. Pengisian formulir IPSS dilakukan lebih dahulu kemudian dilakukan pengambilan data melalui pemeriksaan USG tanpa mengasosiasikannya dengan skor IPSS subyek (blinded). 5.1 Karakteristik subyek penelitian Rata-rata usia subyek pada penelitian ini adalah 67,40 tahun dengan standar deviasi 8,05 (tabel 4.1). Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang mengatakan BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat akibat pertumbuhan prostat normal. Kecepatan pertumbuhan prostat pada masing-masing individu berbeda-beda. Pada umumnya, semakin bertambahnya usia, volume prostat semakin besar. 5.2 Hasil pengambilan data penelitian Rata-rata volume buli-buli pada penelitian ini adalah 181,63 cc dengan standar deviasi 46,46 (tabel 4.2). Pengukuran volume buli-buli dilakukan sebagai syarat untuk pengambilan ukuran ketebalan otot detrusor buli-buli. Menurut Oelke dan kawan-kawan 23, ketebalan otot detrusor buli-buli tidak berbeda bermakna pada volume buli-buli antara 150 cc sampai 800 cc. Rata-rata volume prostat pada penelitian ini adalah 42,35 cc dengan standar deviasi 17,97 (tabel 4.2). Pada penelitian Yang S dan kawan-kawan 2, prostat dikatakan membesar bila volume prostat lebih dari 30 cc. Semua sampel penelitian ini memiliki volume prostat lebih dari 30 cc dengan pemikiran telah menimbulkan efek tahanan pada saluran kemih dan menimbulkan gejala obstruksi berkemih pada pasien.

43 Ketebalan rata-rata otot detrusor buli-buli pada penelitian ini adalah 2,83 mm dengan standar deviasi 0,64 (tabel 4.2). Pengukuran ketebalan otot detrusor buli dilakukan di 3 tempat yang berbeda pada lokasi berbeda yang jelas menunjukkan batas ketebalan dinding buli-buli, karena tidak semua area dinding buli-buli dapat terlihat jelas dengan pemeriksaan USG, kemudian diambil nilai rata-rata pengukuran ketebalan tersebut. Rerata ketebalan otot detrusor yang diambil dianggap mewakili ketebalan otot detrusor karena ketebalan otot detrusor yang diukur pada 3 tempat tidak jauh berbeda. Rata-rata panjang protrusi prostat intravesika pada penelitian ini adalah 7,44 mm dengan standar deviasi 4,63 (tabel 4.2). Semua pasien penelitian mengalami penonjolan prostat intravesika. Garis imajiner sebagai batas protrusi intravesika dibuat dengan menarik satu garis pengukuran pada alat USG yang dipergunakan pada saat pemeriksaan. Rata-rata skor IPSS pada penelitian ini adalah 9,35 dengan standar deviasi 3,94 (tabel 4.2). Pengisian skor IPSS pada pasien berusia lebih dari 60 tahun dibantu oleh peneliti tanpa intervensi terhadap pilihan pasien. Pasien dengan skor IPSS 1-7 dikelompokkan kedalam kategori gejala obstruksi ringan, skor IPSS 8-18 dikelompokkan kedalam kategori gejala obstruksi sedang, dan skor IPSS dikelompokkan kedalam kategori gejala obstruksi berat. Tidak didapatkan pasien dengan kategori gejala obstruksi berat kemungkinan karena panjang protrusi prostat intravesika maupun volume prostat yang ditemukan belum menimbulkan gejala obstruksi berat. 5.3 Analisis korelasi data penelitian Uji korelasi menilai hubungan panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli didapatkan hubungan korelasi kuat yang signifikan secara statistik antara panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli. Begitu juga setelah dilakukan pengkategorian ketebalan otot detrusor buli-bulidan dilakukan uji Mann_Whitney, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara panjang protrusi prostat intravesika dengan kelompok kategori ketebalan dinding buli-buli yang termasuk tebal dan yang termasuk tidak tebal.

44 Hasil uji Spearman Rank dan Mann_Whitney menilai hubungan panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli maupun kelompok kategori ketebalan otot detrusor buli-buli sesuai dengan hipotesa penelitian yang mengatakan terdapat korelasi positif antara panjang protrusi prostat intravesika dengan ketebalan otot detrusor buli-buli yang mewakili derajat obstruksi. Hasil tersebut membenarkan penelitian Jung Soo Park dan kawan-kawan yang mengatakan ketebalan otot detrusor buli-buli berhubungan dengan protrusi prostat intravesika 1. Hubungan panjang protrusi prostat intravesika dengan skor IPSS tidak bermakna secara statistik. Bila dibandingkan dengan penelitian Yang S dan kawan-kawan 2 pada 15 pasien, (r=0,317, p=0,001), hasil yang ditemukan pada kelompok korelasi cukup (modest). Kemudian dilakukan pengkategorian berdasarkan skor IPSS. Terlihat perbedaan bermakna secara statistik antara panjang protrusi prostat intravesika dengan kelompok kategori ringan dan sedang keluhan obstruksi pasien berdasarkan skor IPSS. Hasil tersebut kemungkinan akibat adanya sampel dengan panjang protrusi prostat intravesika yang tidak begitu besar, tetapi memiliki skor IPSS yang tinggi. Setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan skor IPSS, terlihat kecenderungan bahwa panjang protrusi prostat intravesika berhubungan dengan skor IPSS. Hubungan ketebalan otot detrusor buli-buli dengan skor IPSS tidak bermakna secara statistik. Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Mathias Oelke dkk 3 serta Franco G dkk 4 yang mengatakan bahwa tebal otot detrusor buli-buli baik mendeteksi gejala obstruksi pada pria. Hasil tersebut kemungkinan karena adanya sampel dengan ketebalan otot detrusor buli yang dalam batas normal namun memiliki skor IPSS yang tinggi. Setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan ketebalan otot detrusor buli-buli, didapatkan perbedaan bermakna secara statistik antara skor IPSS dengan kelompok kategori ketebalan otot detrusor buli-buli yang menggambarkan kecenderungan hubungan ketebalan otot detrusor buli-buli dengan skor IPSS. Selain analisis data diatas, dilakukan juga analisis data hubungan antara volume prostat dengan panjang protrusi prostat intravesika. Hasil uji korelasi Spearman Rank hubungan antara volume prostat dan panjang protrusi prostat intravesika didapatkan nilai p 0,006 dan koefisien korelasi 0,588 artinya, korelasi yang cukup erat antara volume prostat dengan panjang protrusi prostat intravesika bermakna secara statistik. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Yang S dan kawan-kawan 2 pada 15 pasien (r=0,708, p<0,001) yang mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah hiperplasia kelenjar periuretral prostat yang akan mendesak jaringan prostat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH merupakan kelainanan adenofibromatoushyperplasia paling sering pada pria walaupun tidak mengancam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) 2.1.1. Pengertian BPH Menurut Anonim (2009) dalam Hamawi (2010), BPH secara umumnya dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat Jinak. Maka jelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia laki-laki yang terletak mengelilingi vesica urinaria dan uretra proksimalis. Kelenjar prostat dapat mengalami pembesaran

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA PADA USIA ANTARA 50-59 TAHUN DENGAN USIA DIATAS 60 TAHUN PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI DI RS. PKU (PEMBINA KESEJAHTERAAN UMAT) MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan pembesaran dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat jinak (BP H) merupakan penyakit jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan pembesaran prostat jinak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring peningkatan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan, semakin meningkat pula kualitas hidup dan kesehatan masyarakat yang salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dari setiap individu, masyarakat, pemerintah dan swasta. Apapun yang dilakukan pemerintah tanpa kesadaran individu dan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan yang menyebabkan kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan Alatas, 1985).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian Ilmu Penyakit Dalam.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian Ilmu Penyakit Dalam. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian Ilmu Penyakit Dalam. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di RSUP Dr. Kariadi, Semarang. Pengambilan

Lebih terperinci

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI

KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI KARYA AKHIR KORELASI HIPERTROFI PROSTAT, UMUR DAN HIPERTENSI Oleh I MADE DARMAWAN No. Reg CHS : P 2401204012 Pembimbing Prof. Dr. Achmad M. Palinrungi,Sp.B, Sp.U Dr. Azwar Amir, Sp.U DR.Dr. Burhanuddin

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET HUBUNGAN ANTARA DERAJAT LOWER URINARY TRACT SYMPTOMS (LUTS) DENGAN DERAJAT DISFUNGSI EREKSI PADA PASIEN BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA (BPH) DI RSUD MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benigna Prostate Hiperplasi (BPH) merupakan kondisi patologis yang paling umum terjadi pada pria lansia dan penyebab kedua untuk intervensi medis pada pria diatas usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yaitu berupa pembesaran prostat atau hiperplasia prostat. Kelainan kelenjar prostat dapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief, 2008).

BAB III METODE PENELITIAN. diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief, 2008). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross-sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi hanya

Lebih terperinci

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif EDITORIAL Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif Shahrul Rahman* * Doktor Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Pendahuluan Kelenjar prostat adalah salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau yang dikenal pembesaran prostat jinak sering ditemukan pada pria dengan usia lanjut. BPH adalah kondisi dimana terjadinya ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada waktu yang bersamaan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2007, Badan Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di Indonesia setelah infeksi saluran kemih 1. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan : Ilmu Penyakit Dalam 4.2. Tempat dan waktu penelitian Ruang lingkup tempat : Instalasi Rekam Medik untuk pengambilan data

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih (Fadlol & Mochtar. 2005). Penduduk

Lebih terperinci

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S Secara biologis pada masa usia lanjut, segala kegiatan proses hidup sel akan mengalami penurunan Hal-hal keadaan yang dapat ikut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Prostat Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk Indonesia sebanyak

Lebih terperinci

Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH.

Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH. 2 Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH. BPH terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal oleh proses

Lebih terperinci

Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.

Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed. Author : Bevi Dewi Citra, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 Files of DrsMed FK UR (http://www.files-of-drsmed.tk 0 BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) Pendahuluan Kelenjar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan studi retrospektif dan dilakukan menggunakan pendekatan cross sectional untuk mencari hubungan antara kadar HDL dengan karakteristik

Lebih terperinci

Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara. Nama lengkap : SYAH MIRSAH WARLI, SpU

Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara. Nama lengkap : SYAH MIRSAH WARLI, SpU Lampiran 1 Susunan Peneliti Peneliti Nama lengkap : Dr. MOHAMMAD HENDRO MUSTAQIM Pangkat/Gol/NIP : -/-/- Jabatan Fungsional : - Fakultas : Kedokteran Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Pembimbing

Lebih terperinci

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT BAB I PENDAHULUAN Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan akhirnya bibit penyakit. Apabila ketiga faktor tersebut terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu faktor terpenting dalam kehidupan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kerentanan fisik individu sendiri, keadaan lingkungan

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

LEMBAR PENJELASAN KUESIONER GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE

LEMBAR PENJELASAN KUESIONER GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE Lampiran 1 LEMBAR PENJELASAN KUESIONER GAMBARAN NILAI INTERNATIONAL PROSTATE SYMPTOM SCORE PADA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DI POLIKLINIK UROLOGI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN Saya Kamaleswaran Chandrasegaran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. citra dilakukan analisis pada kontras. Kerangka konsep ditunjukkan pada

BAB III METODE PENELITIAN. citra dilakukan analisis pada kontras. Kerangka konsep ditunjukkan pada BAB III METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Pada penelitian ini menggunakan rekontruksi tracking dengan hasil citra dilakukan analisis pada kontras. Kerangka konsep ditunjukkan pada Gambar 10. VARIABEL

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Berkemih Reflek berkemih adalah reflek medula spinalis yang seluruhnya bersifat otomatis. Selama kandung kemih terisi penuh dan menyertai kontraksi berkemih, keadaan ini

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 38 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di bidang ilmu penyakit saraf dan genetika 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di RSUP Dr.

Lebih terperinci

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM Definisi Inkontiensia Urine

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006

ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006 ABSTRAK PREVALENSI HIPERPLASIA PROSTAT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2006 Mayasari Indrajaya, 2007. Pembimbing : Penny Setyawati M.,dr.,Sp.PK.,M.Kes. Benign Prostatic Hyperplasia

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang SMF Kardiologi dan Kedokteran

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang SMF Kardiologi dan Kedokteran BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular serta SMF Rehabilitasi Medik. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA KORELASI PERUBAHAN TEKANAN DARAH PRA DAN PASCADIALISIS DENGAN LAMA MENJALANI HEMODIALISIS PADA PASIEN HEMODIALISIS KRONIK DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO PADA BULAN FEBRUARI 2009

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional yakni meneliti kasus BPH yang. Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012 Juli 2014.

III. METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross sectional yakni meneliti kasus BPH yang. Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012 Juli 2014. III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik non-eksperimental dengan pendekatan cross sectional yakni meneliti kasus BPH yang terdokumentasi di

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

Gambar 2.l. Anatomi Saluran Kemih

Gambar 2.l. Anatomi Saluran Kemih BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Fisiologi Sisfem Perkemihan Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini mencakup bidang Ilmu Patologi

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini mencakup bidang Ilmu Patologi BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini mencakup bidang Ilmu Patologi Klinik, dan Ilmu Gizi Klinik. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kedokteran Universitas Diponegoro Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Kariadi

BAB III METODE PENELITIAN. Kedokteran Universitas Diponegoro Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Kariadi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi lingkup Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan serta Ilmu Patologi Anatomi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini, ruang lingkup keilmuan yang digunakan adalah Ilmu Patologi Klinik 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 1) Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. Penelitian ini dilakukan di PICU dan HCU RS Dr. Kariadi Semarang pada

BAB 4 METODE PENELITIAN. Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. Penelitian ini dilakukan di PICU dan HCU RS Dr. Kariadi Semarang pada BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kesehatan Mata. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr.

Lebih terperinci

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya.

Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. FORUM KESEHATAN Kelenjar Prostat dan Permasalahan nya. Pengantar Kalau anda seorang pria yang berusia diatas 40 tahun, mempunyai gejala2 gangguan kemih (kencing) yang ditandai oleh: Kurang lancarnya aliran

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik dengan desain

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik dengan desain III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik dengan desain penelitian Cross Sectional, dimana data antara variabel independen dan dependen akan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian observasional analitik adalah penelitian yang

Lebih terperinci

BAB 3 METODA PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf. RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode Desember 2006 Juli 2007

BAB 3 METODA PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf. RSUP Dr. Kariadi Semarang pada periode Desember 2006 Juli 2007 50 BAB 3 METODA PENELITIAN 3.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Syaraf 3.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian akan dilakukan di Bangsal Rawat Inap UPF Penyakit

Lebih terperinci

TEKNIK RADIOGRAFI INTRA VENOUS PYELOGRAPHY

TEKNIK RADIOGRAFI INTRA VENOUS PYELOGRAPHY IVP TEKNIK RADIOGRAFI INTRA VENOUS PYELOGRAPHY DEFINISI Ilmu yang mempelajari prosedur /tata cara pemeriksaan ginjal, ureter, dan blass (vesica urinary) menggunakan sinar-x dengan melakukan injeksi media

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang keilmuan penelitian ini adalah ilmu anestesiologi dan terapi intensif.

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang keilmuan penelitian ini adalah ilmu anestesiologi dan terapi intensif. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Bidang keilmuan penelitian ini adalah ilmu anestesiologi dan terapi intensif. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi

Lebih terperinci

HUBUNGAN PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN KEJADIAN BATU KANDUNG KEMIH DI RSUP H ADAM MALIK TAHUN Oleh : MUHAMMAD REYHAN

HUBUNGAN PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN KEJADIAN BATU KANDUNG KEMIH DI RSUP H ADAM MALIK TAHUN Oleh : MUHAMMAD REYHAN HUBUNGAN PEMBESARAN PROSTAT JINAK DENGAN KEJADIAN BATU KANDUNG KEMIH DI RSUP H ADAM MALIK TAHUN 2012-2014 Oleh : MUHAMMAD REYHAN 120100129 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 HUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Neurologi dan Imunologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Neurologi dan Imunologi. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Neurologi dan Imunologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Instalasi Rawat

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA 1 UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR DUKUNGAN SUAMI DAN FAKTOR PENGETAHUAN IBU MENGENAI ASI HUBUNGANNYA DENGAN LAMA PEMBERIAN ASI PADA IBU PEGAWAI SWASTA DI BEBERAPA PERUSAHAAN DI JAKARTA SKRIPSI ANINDITA WICITRA

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kesehatan Anak. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan

Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan Kanker Prostat - Gambaran gejala, pengujian, dan pengobatan Apakah kanker Prostat itu? Kanker prostat berkembang di prostat seorang pria, kelenjar kenari berukuran tepat di bawah kandung kemih yang menghasilkan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 41 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional, dengan desain penelitian Cross Sectional (belah lintang) dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Bladder Retention Training 1.1. Defenisi Bladder Training Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr.Kariadi Semarang setelah ethical

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr.Kariadi Semarang setelah ethical BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Penyakit Dalam. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di

Lebih terperinci

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes Epidemiologi Kanker Prostat PERTEMUAN 8 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan tentang epidemiologi penyakit kanker prostat, riwayat alamiah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kariadi Semarang pada periode Maret Juni neutrofil limfosit (NLR) darah tepi sebagai indikator outcome stroke iskemik

BAB III METODE PENELITIAN. Kariadi Semarang pada periode Maret Juni neutrofil limfosit (NLR) darah tepi sebagai indikator outcome stroke iskemik BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini mencakup bidang Neurologi dan Hematologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan

Lebih terperinci

Penelitian ini merupakan penelitian observasional belah lintang ( ) dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada waktu yang. bersamaan. 3.2.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional belah lintang ( ) dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada waktu yang. bersamaan. 3.2. Penelitian ini merupakan penelitian observasional belah lintang ( bersamaan. ) dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada waktu yang 3.2. H0A0 H0A1 H1A0 N H1A1 H2A0 H2A1 H3A0 H3A1 Keterangan

Lebih terperinci

radiografi konvensional merupakan penelitian analitik dengan menggunakan

radiografi konvensional merupakan penelitian analitik dengan menggunakan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian tingkat kepuasan pasien rawat jalan pada tiga penyedia layanan radiografi konvensional merupakan penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelenjar prostat adalah satu organ genetalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan

Lebih terperinci

Anita Widiastuti Poltekkes Semarang Prodi Keperawatan Magelang

Anita Widiastuti Poltekkes Semarang Prodi Keperawatan Magelang PERBEDAAN KEJADIAN INKONTINENSIA URIN PADA PASIEN POST KATETERISASI YANG DILAKUKAN BLADDER TRAINING SETIAP HARI DENGAN BLADDER TRAINING SEHARI SEBELUM KATETER DIBUKA DI BPK RSU TIDAR MAGELANG Anita Widiastuti

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. I DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN: POST OPERASI BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) HARI KE-0 DI RUANG FLAMBOYAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDANARANG BOYOLALI NASKAH PUBLIKASI

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA KARAKTERISTIK LETAK PERFORASI APENDIKS DAN USIA PADA PASIEN YANG DIDIAGNOSIS MENDERITA APENDISITIS PERFORASI DI RSUPNCM PADA TAHUN 2005 HINGGA 2007 SKRIPSI Ade Sari Nauli Sitorus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilakukan di

Lebih terperinci

METODOLOGI. n = 2 (σ 2 ) (Zα + Zβ) δ 2

METODOLOGI. n = 2 (σ 2 ) (Zα + Zβ) δ 2 17 METODOLOGI Desain, Waktu dan Tempat Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah experimental study yaitu percobaan lapang (field experiment) dengan menggunakan rancangan randomized treatment trial

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Geriatri. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam khususnya Ilmu 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam khususnya Gerontologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hemoroid atau wasir adalah pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009). Hemoroid adalah struktur

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Obstetri dan Ginekologi dan Patologi

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Obstetri dan Ginekologi dan Patologi 33 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Obstetri dan Ginekologi dan Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini akan dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prostat 2.1.1. Anatomi Prostat Gambar 2.1. Letak Kelenjar Prostat (Schunke, et al, 2006) Prostat merupakan kelenjar fibromuskular yang mengelilingi uretra pars prostatika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma prostat ialah keganasan pada laki-laki yang sangat sering didapat. Angka kejadian diduga 19% dari semua kanker pada pria dan merupakan karsinoma terbanyak

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu penyakit saraf dan radiologi.

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu penyakit saraf dan radiologi. 50 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup penelitian adalah ilmu penyakit saraf dan radiologi. 3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Tempat : bangsal saraf dan bedah saraf RSUP

Lebih terperinci

Rumus Pearson Product Moment.(19)

Rumus Pearson Product Moment.(19) 1 = Konstanta 3. Analisa Data Analisa data dimaksudkan sebagai kegiatan yang bertujuan mengetahui hubungan antara variabel. Teknik analisa yang digunakan adalah: a. Analisa Univariat. Analisa distribusi

Lebih terperinci

BAB. 3. METODE PENELITIAN. : Cross sectional (belah lintang)

BAB. 3. METODE PENELITIAN. : Cross sectional (belah lintang) BAB. 3. METODE PENELITIAN 3.1 Rancang Bangun Penelitian Jenis Penelitian Desain Penelitian : Observational : Cross sectional (belah lintang) Rancang Bangun Penelitian N K+ K- R+ R- R+ R- N : Penderita

Lebih terperinci

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladdre adalah keadaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan suatu observasional, analitik, studi kasus kontrol untuk melihat perbandingan akurasi skor wells dengan skor padua dalam memprediksi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ngablak Kabupaten Magelang dari bulan Maret 2013.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ngablak Kabupaten Magelang dari bulan Maret 2013. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Fisiologi Kedokteran dan Ilmu Farmakologi-Toksikologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup bidang ilmu kedokteran khususnya Ilmu Fisiologi dan Farmakologi-Toksikologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB 3 SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB 3 SUBJEK DAN METODE PENELITIAN BAB 3 SUBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1. Subjek Penelitian 3.1.1. Kriteria Subjek Penelitian Subjek penelitian ini ialah pasien yang mengalami fraktur femur di Rumah Sakit Haji Adam Malik pada tahun Januari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan adalah desain analitik korelasional. Penelitian bertujuan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kesehatan Mata dan Ilmu Penyakit Dalam. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian 1. Karakteristik dasar subyek penelitian Penelitian dilakukan sejak 22 Juni 2016 sampai 1 Agustus 2016 di Puskesmas Pandak I Bantul. Sampel penelitian

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional).

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional). BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi, penyebab, mekanisme dan patofisiologi dari inkontinensia feses pada kehamilan. INKONTINENSIA

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Gizi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Gizi. BAB IV METODE PENELITIAN 1.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Gizi. 1.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat : Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Lebih terperinci