I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang berdiri sejak 1 Januari 1995, Indonesia telah menjadi anggota dengan memiliki peluang keterbukaan akses pasar produk ekspor ke seluruh anggota WTO yang berjumlah 150 negara. Liberalisasi produk pertanian dan produk industri merupakan salah satu isu sentral dalam negoisasi World Trade Organization (WTO) belakangan ini. Negoisasi yang telah dimulai sejak Putaran Uruguay dan berlanjut hingga di Putaran Doha, sampai saat ini belum juga membuahkan hasil. Putaran Doha yang telah berjalan sejak tahun 2001 dan telah membuahkan komitmen negara-negara dalam Deklarasi Para Menteri pada bulan November 2001 untuk mencapai tujuan yakni sistem perdagangan dunia yang berlandaskan pasar dan keadilan, ternyata masih belum mampu menggiring anggota WTO mencapai kesepakatan liberalisasi. Negara maju dan negara berkembang saling menyalahkan satu sama lain terkait mandeg -nya negoisasi perdagangan untuk komoditas pertanian ini. Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa menuding negara berkembang terlalu menutup pintu perdagangannya yang mengakibatkan sulitnya mencapai kesepakatan. Sebaliknya, negara berkembang tidak akan membuka pintu perdagangannya selama subsidi yang diberikan negara maju kepada para petani sangat besar sekali yang tentu saja mengakibatkan petani di negara maju mampu menghasilkan produk yang lebih bersaing di pasaran. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang sangat vocal dalam menyuarakan liberalisasi perdagangan memproteksi sektor pertaniannya tidak hanya melalui tariff namun juga melalui subsidi ekspor yang sangat besar. Pada tahun 2007 dukungan pemerintah Amerika Serikat terhadap para petaninya diperkirakan mencapai 32,663 milyar USD, sebuah nilai yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia yang hanya sebesar 1,4 milyar USD (Susilowati dan Kustiari, 2009). Dukungan yang besar terhadap petani pada negara-negara besar juga dapat dilihat pada kasus negara-negara Uni Eropa (UE), Australia, Kanada dan Selandia Baru. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa untuk komoditi daging sapi, peternak di negara anggota Uni Eropa mendapatkan bantuan sebesar 74 persen dari total pendapatan usaha ternaknya. Dengan kata lain, hanya 36 persen pendapatan peternak sapi di Uni Eropa berasal dari usaha ternak mereka sendiri. Hal yang serupa juga dapat dilihat pada komoditas pertanian lainnya. Negara-negara 1

2 maju lainnya seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru juga memberikan dukungan yang cukup besar terhadap petani mereka meski tidak sebesar yang diberikan AS dan UE. Kebijakan subsidi eskpor ini tentu mengakibatkan persaingan yang tidak adil antar petani di beda negara. Jika petani di negara berkembang secara langsung berhadapan dengan produk pertanian yang dihasilkan negara maju sudah sangat jelas petani di negara berkembang akan kalah bersaing. Sebesar apapun tingkat efisiensi yang mampu dikejar oleh petani di negara berkembang tentu tidak akan sebanding dengan dukungan yang didapat petani di negara maju yang membuat mereka mampu menawarkan produk pertaniannya dengan harga yang sangat kompetitif. Tabel 1. Bantuan Pemerintah Negara Maju Terhadap Petani yang Dihitung Dalam Bentuk Producer Support Estimate (Rata-Rata dalam US D Juta) Komoditas AS UE Australia Kanada Selandia Baru Total OECD Beras Na Na 78 Jagung na Kedelai Na 24 Gula Na 51 Daging Sapi NA 1 33 Daging Unggas Catatan: na menandakan tidak ada data Sumber: Sawit (2007) Salah satu implikasi logis yang mungkin terjadi bagi negara berkembang jika negara maju tetap memberikan subsidi pertanian yang besar adalah harga komoditas pertanian dunia akan rendah dan ini bukan dikarenakan perbaikan tingkat efisiensi petani melainkan subsidi besar-besaran yang dilakukan negara maju. Tentu saja hal ini akan menimbulkan persaingan yang tidak adil dalam perdagangan, dimana dimungkinkan terjadinya serbuan produk pangan dari negara maju ke negara berkembang (Sawit, 2009). Kondisi inilah yang saat ini mengancam Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk produk pangan. Tekanan produk pangan impor terlihat jelas pada neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia. Tabel 1 menunjukkan bahwa semenjak tahun 2005, neraca perdagangan sub sektor tanaman pangan selalu negatif atau dengan kata 2

3 lain total nilai ekspor kita lebih kecil dibandingkan dengan total nilai impor. Fakta yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa jika dilihat hingga ke level komoditi, komoditi yang memiliki neraca perdagangan negatif adalah komoditi-komoditi pangan utama Indonesia seperti beras, jagung, kacang tanah dan kedelai. Tabel 2. Neraca Perdagangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan ( ) Tanaman Pangan Ekspor 274, , , , ,914 Impor 2,423,418 2,115,138 2,568,454 2,729,147 3,526,961 Selisih (2,148,921) (1,828,394) (2,304,299) (2,440,098) (3,178,047) Ekspor 1,462 Beras 9, Impor 64,948 53, ,905 46, ,783 Selisih (63,486) (44,665) (133,279) (45,903) (122,848) Ekspor 13,746 Jagung 11,894 4,674 18,626 29,325 Impor 189,139 45, , ,608 13,586 Selisih (175,393) (33,740) (294,438) (155,982) 15,739 Ekspor 6,703 Kedelai 6,565 8,406 8,613 8,252 Impor 967, , , , ,722 Selisih (961,254) (795,214) (800,650) (492,265) (724,470) Ekspor 7,656 Kc.Tanah 10,792 10,743 9,526 1,407 Impor 45,708 44,087 59,527 64,539 10,253 Selisih (38,052) (33,295) (48,784) (55,013) (8,846) Ubi Kayu Ekspor 57,346 41,029 16,684 14,188 35,871 Impor 10,446 24,632 70, ,948 Selisih 46,900 16,397 (53,600) 13,410 (22,077) Ekspor 5,209 Ubi Jalar 4,581 6,259 6,197 6,594 Impor Selisih 5,206 4,565 6,161 6,074 6,587 Gandum Ekspor 167, , , , ,973 Impor 990, ,486 1,041,386 1,444,784 2,371,698 Selisih (823,620) (816,591) (853,585) (1,240,827) (2,119,725) Tanaman Pangan Lainnya Ekspor 15, ,962 27,401 1,894 Impor 154, , ,084 1,975 2,413 Selisih (139,223) (150,502) (126,122) 25,426 (519) Sumber: Badan Pusat Statistik Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada sub sektor peternakan. Sebagai gambaran, selama periode , sekitar empat puluh persen dari kebutuhan daging sapi 3

4 nasional masih diimpor 1. Sedangkan untuk komoditas susu, 73 persen kebutuhan susu nasional masih harus diimpor 2. Kondisi tersebut menunjukkan betapa rentannya perekonomian Indonesia terhadap serbuan produk pangan luar negeri jika dilihat dari sisi konsumen. Kebutuhan masyarakat yang terus meningkat akibat dorongan populasi dan perubahan taraf hidup akan semakin memperparah ketergantungan Indonesia di masa yang akan datang. Jika dilihat dari sisi produsen, tekanan produk pangan asing akan berdampak negatif secara langsung terhadap kesejahteraan tenaga kerja di sektor pertanian Indonesia. Salah satu ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Besar NTP dapat mencerminkan kemampuan tukar produk pertanian yang dihasilkan dengan komoditas yang dikonsumsi rumah tangga petani. Sepanjang tahun 2008, NTP petani cenderung mengalami penurunan dari 100,69 pada bulan Januari menjadi 99,20 pada bulan Oktober. Hal ini mengartikan secara relatif kesejahteraan petani mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi tahun dasar yakni Secara lebih detail juga dapat ditunjukkan bahwa untuk petani tanaman pangan, NTP mengalami penurunan yang lebih tajam dari 100,52 menjadi 97,64 pada bulan Oktober. Secara agregat, penurunan NTP ini dirasakan oleh lebih dari 40 juta tenaga kerja di sektor pertanian atau sekitar 41 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat terlihat bahwa posisi Indonesia dalam negoisasi perdagangan internasional sangatlah penting mengingat ancaman datang baik dari sisi konsumen maupun produsen. Oleh karena itu sangatlah penting bagi pemerintah untuk memanfaatkan berbagai tindakan yang dimungkinkan dan dibenarkan sebagai anggota WTO guna melindungi serbuan produk pangan luar negeri, salah satunya melalui Special Safeguard Mechanism (SSM). Melalui mekanisme SSM, Indonesia dapat melakukan tindakan perlindungan terhadap produsen lokal ketika terjadi tingkat impor yang melebihi dari faktor pemicu atau trigger yang telah ditetapkan. Tindakan perlindungan yang dimaksud adalah penerapan tariff yang lebih tinggi daripada kondisi normal. Ukuran trigger secara konseptual dapat menggunakan peningkatan drastis pada volume impor atau penurunan drastis pada harga komoditas impor. Permasalahan yang selanjutnya muncul adalah seberapa besar perubahan pada volume dan harga impor tersebut dapat dikatakan sudah termasuk tingkat yang mengkhawatirkan. Beberapa ekonom muncul dengan berbagai usulan tentang bagaimana menghitung trigger tersebut. Sampai dengan laporan ini 1 Kompas, 9 November Media Indonesia, 29 Juni

5 dibuat, perhitungan trigger yang paling umum adalah dengan menggunakan patokan volume atau harga impor rata-rata tiga tahun ke belakang atau yang dikenal dengan konsep Moving Average (MA 3). Cara perhitungan semacam ini termasuk sederhana dan mudah diterapkan, namun yang masih sering menjadi pertanyaan adalah apakah metode tersebut sudah tepat dan cocok untuk semua negara? Merujuk kepada kasus Indonesia, trigger yang sangat ketat dan sensitif cenderung tidak akan memberikan perlindungan melainkan tekanan terhadap produsen. Jika volume impor melebihi trigger dan remedy diterapkan, maka akan berdampak kepada peningkatan harga komoditas pangan yang selanjutnya akan merugikan konsumen domestik. Di sisi lain, negosiasi DDA-WTO sudah mengarah lebih dari sekedar liberalisasi hambatan tarif dan mulai beralih pada negosiasi hambatan non-tarif atau NTB. Diantara sektor yang penting dalam negosiasi ini adalah sektor elektronik, otomotif, dan kimia. Namun dalam studi ini tidak terbatas untuk membahas non-pertanian saja, melainkan beberapa produk pertanian akan menjadi bahasan juga. Hambatan non tarif seperti prosedur dan labelling saat ini diduga menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Untuk itu, perlu dilakukan analisis mengenai tingkat signifikansi pengaruh tersebut atau dengan kata lain membuktikan hipotesis tersebut. Studi ini mencoba menjawab kebutuhan analisis dimaksud, dan fokus pada isu seputar NTB. Diantara isu NTB yang berkembang, tentunya Indonesia akan meletakkan prioritas pada masalah yang memang dihadapi oleh sektor tertentu dalam perekonomian yang dianggap strategis. Selain tentunya mempertimbangkan apakah isu ini menjadi kepedulian dari anggota WTO yang lain. Isu yang berkembang dalam negosiasi NTB dan yang dibawa oleh setiap negara pengusul bervariasi. Mencakup persoalan fasilitasi, ketentuan pajak ekspor, transparansi perijinan, standar, ketentuan NTB pada komoditas tertentu. Isu yang terkumpul disajikan dalam Tabel 3. Dalam studi ini, beberapa isu yang dipilih untuk dijadikan fokus pembahasan dibatasi pada ketersediaan informasi dan data. Adapun yang direncanakan adalah ketentuan penerapan pajak ekspor, transparansi perijinan ekspor, dan penerapan standar pada produk elektronik. Namun karena faktor keterbatasan akses terhadap data khususnya data primer, maka pembahasan kemudian mencakup komoditas pertanian yang memang didukung oleh ketersediaan data. Selain itu, komoditas tersebut diduga sedang mengalami kendala dari munculnya NTB baru yang dianggap signifikan mempengaruhi kinerja ekspor. 5

6 Tabel 3. Isu Hambatan Non-Tarif Isu Proponent Fasilitasi Penyelesaian Masalah Hambatan Non- African Group, Kanada, Uni Eropa, LDC Tariff Group, NAMA-11 (incl. Indonesia), New Zealand, Norwegia, Pakistan, Swiss. Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor* Uni Eropa Transparansi Perijinan Ekspor* Jepang, Taiwan, Amerika Serikat Penghapusan Diskriminasi Terhadap Barang Bukan Jepang, Swiss, Amerika Serikat Baru Ketentuan NTBs Produk Kimia Argentina Ketentuan NTBs Produk Kehutanan dalam New Zealand Konstruksi Bangunan Ketentuan NTBs Elektronika Uni Eropa Prosedur Electrical Safety dan EMC Barang-barang Amerika Serikat Elektronika* Standar Produk Otomotif* Amerika Serikat Labelling Tekstil, Pakaian, Alas Kaki dan Travel Uni Eropa, Sri Lanka, Amerika Serikat Goods* Sumber : Sampai saat ini Indonesia belum dapat memutuskan posisi runding untuk setiap negosiasi hambatan non tarif di atas. Adapun kendala utama dalam penyusunan usulan posisi runding tersebut adalah belum adanya kajian mengenai dampak hambatan non tarif bagi kinerja ekspor dan manfaat negosiasi tersebut bagi Indonesia. Menyadari masalah ini, perlu dilakukan kajian mengenai manfaat dan tantangan keikutsertaan Indonesia dalam negosiasi hambatan non tarif di WTO Tujuan Keikutsertaan aktif Indonesia dalam negosiasi produk pertanian dan non pertanian di WTO akan memberikan dampak positif dalam kinerja perdagangan nasional. Namun, masih perlu dilakukan analisis untuk menentukan usulan posisi terbaik, khususnya dalam proteksi petani domestik melalui special safeguard mechanism (SSM) dan peningkatan akses pasar 6

7 melalui isu non tariff barriers (NTB). Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disusun tujuan dari kajian ini sebagai berikut : 1. Menganalisis kinerja serta pola impor produk pertanian nasional, 2. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi spesial safeguard mechanism, 3. Mengidentifikasi dan menganalisis signifikansi hambatan non tarif yang menghambat ekspor non migas Indonesia, 4. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi hambatan non-tarif Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup yang digunakan dalam kajian ini menekankan pada hal penting sebagai berikut : 1. Data impor produk pertanian yang dianalisis dalam menyusun usulan posisi runding SSM diutamakan untuk produk penting dari Kementrian Pertanian yaitu beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu. 2. Data impor yang digunakan dalam analisis ini adalah data bulanan dan tahunan selama lima tahun terakhir. 3. Analisis impor dilakukan berdasarkan data impor untuk menentukan pola impor musiman, trend impor bulanan dan tahunan, serta lonjakan impor yang masih dapat ditolerir. 4. Lonjakan impor yang ditolerir didasarkan pada nilai standart deviasi, dengan batas maksimal sebesar tiga standart deviasi. 5. Data konsumsi tidak dapat diperoleh, sehingga dilakukan analisis trend impor untuk mengetahui apakah produk pertanian diimpor untuk kepentingan konsumsi atau barang konsumtif. 6. Analisis NTB menekankan pada tiga produk pertanian yaitu coklat, sawit, dan kopi yang digunakan adalah selama periode Mitra dagang yang dianalisis dalam hambatan NTB adalah negara mitra dengan aturan NTB ketat yaitu Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. 8. Analisis regresi NTB dikhususkan pada contoh kasus kebijakan NTB negara mitra dan dampaknya bagi kinerja ekspor nasional. 7

8 1.4. Pembabakan Kajian ini akan disusun dalam beberapa bab yang terdiri dari enam bab yang merupakan suatu kesatuan. Adapun judul dan isi dari setiap bab tersebut terdiri dari : 1. Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, tujuan, dan ruang lingkup penelitian. 2. Studi Pustaka Dan Literatur, berisikan literatur mengenai teori dan aplikasi Special Safeguard Mechanism, serta definisi, taksonomi, metode estimasi dan pendekatan mengukur Hambatan Non Tarif. 3. Metodologi Penelitian, memberikan informasi terkait waktu, tempat, dan metode yang digunakan dalam kajian ini. 4. Analisis Kepentingan Indonesia dalam negosiasi Special Safeguard Mechanism yang memberikan informasi neraca perdagangan, analisis pola dan trend impor, metode penentuan lonjakan impor dan temuan turun lapang. 5. Pendekatan Model Ekonometrika Untuk Mengukur Dampak NTB Pada Komoditas Kopi, Sawit Dan Coklat, berisi dinamika ekspor, analisis dampak kebijakan NTB terhadap kinerja ekspor, dan temuan turun lapang. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi, merupakan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan yang menjadi intisari kajian ini. 8

9 II. STUDI PUSTAKA DAN LITERATUR 2.1. Special Safeguard Mechanism Dalam WTO Special Safeguard Mechanism (SSM) bukanlah satu-satunya bentuk perlindungan yang diberikan untuk komoditas pertanian. Berdasarkan hasil dari Putaran Uruguay, sebuah negara dapat melakukan GATT safeguard atau tindakan pembatasan impor sementara pada sebuah produk (termasuk produk pertanian) jika industri domestik terpuruk atau tertekan akibat serbuan produk impor yang diiringi dengan penurunan harga (jika hanya terjadi penurunan harga maka safeguard tidak dapat digunakan). Pembatasan impor tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kuota atau peningkatan tariff di atas bound rate. Pelaksanaan safeguard ini dapat dilaksanakan jika telah dilakukan pengujian atau pembuktian terjadinya keterpurukan dan negoisasi terkait dengan kompensasi. Selanjutnya berdasarkan Agreement on Agriculture (AoA) yang dihasilkan pada Putaran Uruguay, sebuah negara dapat memanfaatkan Special Safeguard (SSG) untuk melindungi sektor pertanian domestik jika terjadi serbuan produk impor atau jatuhnya harga secara signifikan. SSG hanya dapat digunakan pada produk yang memiliki tariff dan termasuk ke dalam produk yang dinegoisasikan pada Putaran Uruguay. Terdapat 39 anggota yang mendapatkan hak untuk menerapkan SSG, yakni terdiri dari 9 negara maju, 24 negara berkembang dan 6 negara transisi. Secara detail nama negara dan jumlah produk (tariff lines) yang dapat menggunakan SSG adalah: Australia (10), Barbados (37), Botswana (161), Bulgaria (21), Canada (150), Colombia (56), Costa Rica (87), Czech Republic (236), Ecuador (7), El Salvador (84), EU (539), Guatemala (107), Hungary (117), Iceland (462), Indonesia (13), Israel (41), Japan (121), Korea (111), Malaysia (72), Mexico (293), Morocco (374), Namibia (166), New Zealand (4), Nicaragua (21), Norway (581), Panama (6), Philippines (118), Poland (144), Romania (175), Slovak Republic (114), South Africa (166), Swaziland (166), Switzerland- Liechtenstein (961), Chinese Taipei (84), Thailand (52), Tunisia (32), United States (189), Uruguay (2), Venezuela (76). Berdasarkan data di atas dapat terlihat bahwa hanya sedikit negara berkembang yang dapat memanfaatkan instrument SSG. Meskipun ada, jumlah produk yang dapat dilindungi sangat sedikit sekali, contohnya pada Indonesia yang hanya mendapatkan 1 persen dari total produk yang dinegoisasikan. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar negara berkembang menggunakan ceiling binding yang mengakibatkan hilangnya hak untuk menggunakan SSG. 9

10 Selain itu, negara berkembang yang telah memanfaatkan SSG juga sangat mengeluhkan sulitnya formula dan kebutuhan data yang digunakan dalam SSG. Akibatnya, SSG sangat sulit untuk diterapkan. Which products? Which countries Trigger Remedy Constraint/ Condition Expiry of mechanism? Sumber: WTO (2008) Tabel 4. Tiga Tipe Safeguard Untuk Komoditas Pertanian GATT Safeguard Special Agricultural Safeguard/ SSG Special Safeguard Mechanism/ SSM All, including Agricultural, if tariffied Agricultural agricultural All Developed and developing Only developing countries, but only if tarrified Import surge with Import surge or price fall Import surge or price fall price fall Quantity restriction, Tariff increase Tariff increase tariff increase Show injury or threat of injury, negotiate compensation Only products tariffied in Uruguay Round (where comfort needed for liberalization) For import surge: limit on % of products in a year ceiling on tariff at or above pre-doha rate minimum surge for tariff exceeding pre-doha rate? Permanent Expires or reduced post- Different views Doha Tipe safeguard yang ketiga dan sampai saat ini masih terus dinegoisasikan adalah Special Safeguard Mechanism (SSM). SSM hanya berlaku untuk negara berkembang, khususnya bagi negara yang tidak memiliki SSG. Sama seperti SSG, trigger dari SSM ditentukan oleh peningkatan produk impor yang drastis atau penurunan harga yang cukup signifikan tanpa harus disertai dengan pembuktian atau negoisasi. Trigger direpresentasikan dalam bentuk persentase dari tahun dasar, jadi trigger sebesar 115 persen dapat diartikan terjadinya kenaikan sebesar 15 persen. Jika hal itu terjadi maka negara dapat meningkatkan tariff safeguard-nya (atau sering disebut dengan remedy) yang besarnya tergantung pada besarnya trigger. Jika merujuk kepada Revised Draft Modalities for Agriculture December 2008, 10

11 kelemahan dari ukuran ini adalah bahwa SSM tidak dapat digunakan jika ukuran safeguard lain sedang digunakan pada produk yang sama dan besar tariff yang diterapkan ditambah dengan remedy tidak boleh melebihi bound rate yang telah disepakati pada negoisasi sebelum Putaran Doha. Perhitungan trigger berdasarkan volume pada awalnya diusulkan untuk sama dengan SSG yakni dengan memasukkan variabel perubahan volume konsumsi domestik, namun berdasarkan Teks Desember 2008 trigger untuk SSM yang diusulkan hanya memperhitungkan perubahan volume impor terhadap rata-rata tiga tahun terakhir. Selanjutnya jika terjadi lonjakan impor sebesar 110% - 115% maka tariff dinaikkan sebesar 25%; 115% - 135% tariff dinaikkan sebesar 40 persen dan remedy sebesar 50 persen jika terjadi lonjakan impor sebesar lebih dari 135 persen. Jika perhitungan trigger didasarkan pada harga, maka kejatuhan harga didefinisikan sebagai perubahan harga relatif terhadap rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya. SSM akan berlaku jika terjadi kejatuhan harga c.i.f sebesar 85 persen dari rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya. Besaran remedy yang diterapkan adalah sebesar 85 persen dari perbedaan harga impor dan harga trigger. Sumber: WTO (2008) Gambar 1. SSM dalam Kerangka Putaran Doha Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat 2 hal teknis yang sangat penting dalam negoisasi WTO selanjutnya. Pertama, yakni besaran remedy yang dapat diterapkan berikut 11

12 dengan besaran rentang lonjakan. Kedua, cara dalam menentukan besaran trigger. Pendekatan yang selama ini diusulkan dan cukup banyak diterima adalah dengan menggunakan Moving Average (MA), khususnya MA 3. Beberapa pendekatan lain yang sempat diwacanakan adalah penggunaan MA 5, fixed reference prices dan Olympic average price (dengan menghilangkan nilai yang terbesar dan terkecil, setelah itu baru dihitung rata-ratanya). Kedua poin ini yang terus menerus dinegoisasikan selain dari tuntutan negara berkembang agar negara maju mau menurunkan dan bahkan menghilangkan subsidi ekspor yang mereka berikan SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM KERANGKA TEORITIS Pada dasarnya SSM merupakan suatu pengecualian bagi suatu negara untuk menerapkan kebijakan perdagangan yang protektif ketika terjadi suatu kondisi yang dapat menekan produsen domestik. Proteksi perdagangan tersebut selanjutnya direpresentasikan dengan peningkatan tariff (remedy) ketika terjadi lonjakan impor atau penurunan harga yang sangat drastis dan melewati trigger yang telah ditetapkan. Dengan demikian, secara teoritis SSM mirip dengan kebijakan tariff yang lebih tinggi pada negara pengimpor. Price Supply Pw +t+t Pw+t Pw Pw Q 1 Q 2 Q 3 Q 4 Demand Quantity Gambar 2. SSM dalam Kerangka Teoritis Gambar 2 menunjukkan bahwa pada kondisi normal harga dunia adalah Pw dan setelah dikenai tariff maka harga yang berlaku di domestik adalah Pw+t dengan tingkat impor sebesar Q1-Q4. Ketika harga dunia jatuh ke level Pw atau terjadi lonjakan impor dengan tingkat impor di atas Q1-Q4, maka hal ini akan memicu SSM dan pemerintah dapat menerapkan remedy 12

13 yakni dengan menerapkan tariff lebih besar daripada t atau dengan kata lain menaikkan harga domestik menjadi Pw +t+t dan impor akan menurun ke level Q2-Q3. Berdasarkan Gambar 2. ini dapat dilihat bahwa konsekuensi yang harus dibayar ketika suatu negara menerapkan SSM adalah harga yang lebih tinggi yang harus dihadapi oleh konsumen. Sehingga jika suatu negara petani merupakan net consumer maka penerapan SSM akan berdampak negatif terhadap negara tersebut SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM LITERATUR TERDAHULU Special Safeguard Mechanism (SSM) merupakan isu yang sangat menarik bagi para peneliti di bidang perdagangan internasional. Salah satu penelitian yang fokus pada SSM pada masa awal perkembangannya adalah Ruffer (2002). Pada penelitiannya, Ruffer (2002) dan Vergano mengusulkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memformulasikan SSM. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah: perlunya untuk menghilangkan persyaratan pembuktian terjadinya dampak negatif akibat adanya serbuan impor; penerapan SSM dengan jangka waktu yang pendek; tidak adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi bagi negara yang terkena dampak negatif akibat diterapkannya SSM; tidak perlunya persyaratan untuk merubah regulasi nasional untuk menerapkan SSM; penerapan SSM tidak boleh dilakukan bersamaan dengan penerapan hambatan perdagangan yang lain; dan pelaporan penerapan SSM kepada CoA (WTO Committee on Agriculture) dan review secara periodik. Selain itu Ruffer dan Vergano (2002) juga mengusulkan beberapa poin penting yang harus segera disepakati terkait dengan penerapan SSM, yakni: country coverage; product coverage; triggers; safeguard measures; dan timescale. Didalam perkembangannya sebagian besar temuan dan rekomendasi dari penelitian ini digunakan dalam teknis pelaksanaan SSM. Grant dan Meilke (2005) menganalisis dampak penerapan SSM pada komoditas gandum. Penelitian ini berfokus pada stabilitas pasar dan kesejahteraan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah partial equilibrium model untuk sektor gandum dengan memanfaatkan data dari 38 negara dimana 32 negara diantaranya memiliki posisi sebagai net-importer. Grant dan Meilke (2005) mengestimasi dampak dari Mr. Harbinson draft text yang disirkulasikan pada bulan Maret 2003 dan proposal dari Amerika Serikat (Swiss-25) jika kebijakan tersebut diterapkan. Secara umum hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa SSM dapat mengakibatkan distorsi perdagangan namun dalam skala yang tidak tergolong parah. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa penerapan SSM hanya mengakibatkan biaya ekonomi kurang dari 20 persen dari keuntungan yang diperoleh dunia dengan adanya SSM 13

14 tersebut. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan beberapa temuan penting lainnya, yakni: potensi pemanfaatan SSM akan meningkat seiring dengan meningkatnya liberalisasi perdagangan dan jatuhnya harga domestik; Negara yang memiliki pendapatan rendah terancam akan menerima dampak negatif dari penerapan SSM yang ditunjukkan dengan turunnya surplus konsumen; dan kebijakan SSM diprediksi mampu menstabilkan nilai import khususnya pada Negara dengan tingkat pendapatan yang rendah. Sawit et al. (2006) menganalisis penerapan proposal G-33 yang terkait dengan SSM untuk kasus Indonesia. Merujuk pada penerapan fasilitas perlindungan perdagangan yang diterapkan sebelumnya, yakni SSG, Sawit et al. (2006) menunjukkan bahwa fasilitas SSG tersebut tidak sesuai digunakan oleh Indonesia karena: (i) rata-rata harga impor yang dijadikan sebagai harga referensi akan memperkecil peluang Indonesia untuk menggunakan mekanisme SSG dalam melindungi pasar domestik; (ii) parameter atau konstanta yang digunakan dalam formula SSG dalam menentukan tambahan tariff menghasilkan tambahan tariff yang tidak memadai untuk mengatasi penurunan harga. Selain itu, temuan penting lainnya yang dipaparkan pada Sawit et al. (2006) diantaranya adalah besarnya persentase perubahan volume impor komoditas pertanian jauh lebih fluktuatif dengan rentang yang jauh lebih besar dan persentase yang lebih tinggi; penerapan SSG yang tidak efektif dikarenakan remedy yang dapat diterapkan dalam mekanisme SSG relatif rendah bila dibandingkan dengan bound tariff komoditas pertanian secara umum. Jika proposal SSM dari negara-negara yang tergabung dalam G-33 diterapkan maka dapat ditunjukkan bahwa Indonesia mengalami serbuan impor dan kejatuhan harga pada periode 1996 sampai dengan 2005 untuk komoditas pangan, khususnya pada komoditas beras, jagung, gula, daging sapi, pisang, dan daging unggas. Selama data yang digunakan adalah data bulanan (berdasarkan proposal SSM G-33) maka penerapan SSM jika diperlukan akan dapat dilakukan sesegera mungkin dan masalah keterlambatan penerapan seperti yang dialami pada fasilitas SSG dapat dihindari. Selain itu mekanisme SSM berdasarkan proposal negaranegara G-33 secara teknis jauh lebih mudah dan simple. Terkait dengan adanya berbagai usulan mekanisme SSM dari berbagai pihak, Hutabarat dan Rahmanto (2006) memandang bahwa SSM merupakan fasilitas yang sangat penting untuk terus diperjuangkan oleh Negara berkembang guna melindungi pasar domestik Negara yang bersangkutan. Negara berkembang harus dapat segera merumuskan komponen-komponen dari SSM, yakni yang berkaitan dengan kerangka penerapan SSM dan Instrumen/Alat dalam penerapan SSM. Yang dimaksud dengan kerangka pada hasil penelitian ini mencakup hal-hal 14

15 yang sebagian telah diungkapkan oleh Ruffer (2002), diantaranya adalah SSM seharusnya tidak dibatasi pada keadaan dan jumlah produk tertentu; mekanismenya haruslah sederhana dan efektif; tidak mensyaratkan pembuktian kerugian; tidak menuntut adanya kompensasi untuk Negara yang menerima dampak negatif akibat penerapan SSM; penggunanya bersifat tetap; dan alat SSM-nya dapat berupa tariff bea masuk yang tinggi dan pembatasan impor. Terkait dengan alat/instrument yang harus dimiliki oleh SSM, Hutabarat dan Rahmanto (2006) menekankan beberapah hal penting, yakni pemicu penerapan SSM dapat berupa peningkatan jumlah impor atau penurunan harga domestik yang terjadi secara tiba-tiba; harga acuan yang dipakai adalah c.i.f dalam mata uang yang digunakan dalam perdagangan; apabila nilai impor lebih besar daripada tren-nya atau harga lebih rendah daripada tren-nya maka pemberlakuan bea masuk tambahan atau pembatasan kuota impor dapat dilakukan. Sharma (2006) membandingkan berbagai alternatif dalam penentuan trigger baik berdasarkan volume ataupun harga. Untuk penentuan trigger berdasarkan harga dibandingkan beberapa alternatif yakni penggunaan fixed reference prices dengan 3 alternatif harga rata-rata (periode , dan olympic average pada periode ) dan rolling reference prices yakni dengan menggunakan 3 year moving average (MA-3) dan 5 year moving average (MA-5). Sedangkan untuk penentuan trigger dengan berdasarkan volume impor dibandingkan pendekatan 3 year moving average (MA-3), fixed period reference import level pada periode , dan higher of two reference. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa MA-3 dan MA-5 merupakan ukuran yang cukup tepat untuk menentukan trigger yang berdasarkan harga. Diantara kedua pilihan ini, MA-5 terbukti cukup efektif mengatasi penurunan harga komoditas dunia. Selain itu, MA-5 juga akan memberikan remedy yang secara relatif lebih besar dibandingkan MA-3. Sementara itu, 3 alternatif harga rata-rata yang tetap menghasilkan output yang secara relatif kurang bagus dibandingkan moving average. Untuk penentuan trigger berdasarkan volume impor didapatkan hasil yang agak mirip dimana moving average terlihat lebih baik dibandingkan dengan 2 pendekatan lainnya. Montemayor (2008) menganalisis potensi dampak dari draft proposal yang disirkulasikan pada bulan Mei 2008 terhadap kemampuan negara-negara dalam mengakses SSM dan pada kondisi apa SSM tersebut efektif untuk mengatasi gap antara harga barang dunia dan harga barang impor. Pada penelitian tersebut dikembangkan berbagai model simulasi dengan memanfaatkan data bulanan dari 27 komoditas pertanian dari 6 negara berkembang termasuk didalamnya Indonesia untuk periode 2000 sampai dengan Hasil dari simulasi pada 15

16 penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan threshold, penentuan periode berlakunya remedy, dan cross check terbukti memiliki dampak yang relatif lebih besar terhadap tingkat akses negara terhadap SSM dan efektifitas dari SSM tersebut dibandingkan dengan tingkat dari remedy itu sendiri. Hal ini mengimplikasikan bahwa negara berkembang dapat mengurangi fokus negoisasinya tidak lagi kepada tingkat remedy melainkan pada hal-hal lainnya. Diskusi dan perdebatan tentang konsep SSM terus berlanjut dan pada bulan Juli 2008 telah disirkulasikan kembali revisi ketiga atau yang dikenal dengan Chairman Falconer s third modalities text. Isi dari dokumen ini menunjukkan bahwa anggota WTO telah mencapai beberapa konsensus yang terkait dengan hal teknis dari SSM, kecuali yang terkait kemungkinan negara berkembang dalam menerapkan tariff di atas tingkat yang disetujui pada sebelum Putaran Doha. Grant dan Meilke (2008) menganalisis hal tersebut dan melihat dampaknya terhadap negara berkembang. Pada penelitian tersebut diestimasi dampak yang akan diterima oleh negara berkembang untuk 3 kondisi yang ditunjukkan oleh tiga skenario pada model simulasi. Ketiga skenario tersebut adalah pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli; pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli yang dikombinasikan dengan batasan tariff sesuai kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha; dan pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli dan dimungkinkannya peningkatan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha. Hasil dari analisis Grant dan Meilke (2008) menunjukkan bahwa penerapan Paket Juli diprediksi hanya akan mengakibatkan welfare loss yang kecil, khususnya bagi developing dan least developed countries. Selanjutnya jika penerapan Paket Juli tersebut dikombinasikan dengan kebijakan batasan tariff sesuai kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha maka diprediksi akan mengakibatkan welfare loss perekonomian dunia sebesar US$ 204 juta. Welfare loss akan meningkat sedikit jika Negara berkembang dimungkinkan untuk menerapkan SSM dan dapat meningkatkan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha. Studi tersebut menunjukkan bahwa penerapan SSM yang disertai mekanisme peningkatan tariff yang melebihi batasan yang telah disepakati pada sebelum putaran Doha hanya akan menimbulkan welfare loss yang kecil, sehingga tidak menjadi hal yang terlalu mengkhawatirkan jika diterapkan. Negara anggota WTO khususnya negara maju seharusnya mempertimbangkan hal tersebut sehingga kesepakatan perdagangan untuk produk pertanian dapat segera tercapai. Selain dari diskusi mengenai metode perhitungan apa yang relatif lebih tepat dalam menghitung trigger SSM, beberapa penelitian menunjukkan berbagai kelemahan dari SSM 16

17 dalam melindungi kepentingan negara berkembang. Finger (2009) menunjukkan bahwa kebijakan SSM dapat menimbulkan kebijakan yang salah, dimana negara dapat menerapkan SSM pada komoditi yang seharusnya tidak di SSM dan juga sebaliknya dimana komoditi yang seharusnya mendapat SSM justru tidak mendapatkan perlindungan karena statistic masih di bawah trigger yang ditetapkan. Salah satu contoh yang cukup menarik dipaparkan pada penelitian tersebut adalah kasus Indonesia. Jika berdasarkan statistik maka banyak sekali produk yang seharusnya mendapatkan SSM, namun jika itu diterapkan maka akan berdampak negatif terhadap petani domestik dikarenakan tipikal petani Indonesia yang cenderung netconsumer. Keterbatasan lain yang ada pada konsep SSM yang saat ini diajukan adalah jika perhitungan trigger didasarkan pada volume, maka terdapat kemungkinan trigger tersebut menjadi terlalu tinggi dan terlalu telat (South Centre, 2009). Selain itu, South Centre (2009) juga menekankan bahwa remedy yang diusulkan saat ini masih terlalu rendah dan belum mampu untuk mengatasi serbuan barang impor, baik itu untuk price-based SSM dan volume-based SSM. Hertel et.al (2010) menambahkan kekurangan lain dari SSM yakni kemungkinannya dalam meningkatkan tekanan terhadap volatilitas harga domestik akibat output domestic yang terlalu rendah dan harga yang tinggi dibandingkan dengan fungsi utamanya sebagai stabilator harga Definisi Non Tariff Barrier (NTB) Secara umum definisi hambatan non-tarif atau NTB mengacu pada berbagai intervensi kebijakan selain tarif yang pada akhirnya mempengaruhi dan mendistorsi perdagangan barang, jasa, dan faktor-faktor produksi (Beghin, 2006). Bentuk umum dari NTB dapat berupa aturan perdagangan spesifk di pasar domestik dan kebijakan khusus seperti kuota impor, sukarela pembatasan ekspor (voluntary export restraints), pembatasan intervensi negara-trading, subsidi ekspor, countervailing duty, hambatan teknis perdagangan, kebijakan sanitary dan phytosanitary (SPS), aturan asal, dan skema kebutuhan konten domestik. Dari keberagaman bentuk NTB ini, diskusi yang berkembang dalam literatur pada akhirnya mencoba melakukan klasifikasi atau taksonomi atas jenis-jenis NTB. Taksonomi dari NTB, selain berasal dari jenis spesifik NTB juga termasuk kebijakan makro yang dapat mempengaruhi perdagangan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun penggolongan atau taksonomi NTB yang sempurna atau lengkap, karena suatu NTB seringkali didefinisikan dengan konsep yang tidak dicakup oleh definisi yang sudah ada (Deardorff dan Stern, 1998 dalam Beghin, 2006). 17

18 2.5. Taksonomi NTB Deardorff dan Stern (1998) mengusulkan taksonomi NTB terdiri dari lima jenis. Jenis pertama meliputi NTB yang sifatnya kuantitatif dan hambatan yang terkait dengan tipe NTB ini. Contoh praktek NTB yang masuk kategori ini adalah impor kuota dan hambatan administrasinya (perizinan, pelelangan, dan lainnya); batasan ekspor dan larangan impor (ban); pembatasan ekspor sukarela, batas maksimal impor tetapi dikelola oleh eksportir; kontrol devisa yang berdasarkan lisensi; embargo; konten domestik dan persyaratan pencampuran konten yang memaksa penggunaan komponen lokal dalam produk akhir; diskriminatsi perjanjian perdagangan dan aturan asal; dan countertrade, seperti barter dan pembayaran in kind. Jenis kedua mencakup biaya selain tarif dan kebijakan terkait yang dapat mempengaruhi impor. Kategori ini meliputi pungutan yang dibebankan saat harga mencapai batas ambang atau tingkat acuan tertentu; persyaratan deposito awal pada impor, anti-dumping dan countervailing duty yang dikenakan pada barang masuk yang diduga diekspor "di bawah biaya" atau dengan bantuan subsidi ekspor yang diberikan oleh pemerintah mitra, dan seperti pajak pertambahan nilai yang terkadang secara asimetris dikenakan atas barang impor relatif terhadap barang domestik. Jenis ketiga cakupannya lebih luas, meliputi semua berbagai bentuk kebijakan pemerintah,termasuk kebijakan makro-ekonomi. Kategori misalnya dalam bentuk partisipasi langsung pemerintah dalam perdagangan melalui institusinya dan dukungan negara pada bentuk aktivitas monopoli dan monopsoni; kebijakan pemerintah untuk pengadaan barang dengan preferensi domestik, dan kebijakan yang pro perusahaan dalam negeri yang terkait subsidi dan bantuan. Selain itu, jenis ketiga dari NTB juga mencakup kebijakan makro ekonomi dan nilai tukar, kebijakan persaingan, kebijakan investasi asing langsung; kebijakan perpajakan nasional dan kebijakan jaminan sosial nasional, termasuk kebijakan imigrasi. Dari ilustrasi singkat tentang bentuk-bentuk NTB tersebut dapat dikatakan bahwa definisi NTB pada akhirnya tergantung pada konteks kebijakan yang dilakukan. Dua kategori terakhir terkait dengan prosedur kepabeanan dan administrasi, dan hambatan teknis perdagangan atau technical barriers to trade (TBT), yang menjadi isu sentral dalam taksonomi NTB. Jenis pertama meliputi metode penilaian kepabeanan yang berbeda dengan penilaian impor yang sebenarnya; klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem klasifikasi internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan; dan prosedur customs clearance, seperti pemeriksaan dan dokumentasi yang menciptakan biaya tambahan. 18

19 Sedangkan hambatan teknis untuk perdagangan atau dikenal sebagai TBT berkaitan dengan kesehatan,sanitasi, perlindungan hewan, dan peraturan lingkungan; standar mutu; keselamatan dan standar industri, kemasan dan peraturan pelabelan dan media lain/peraturan periklanan. Terkait dengan kompleksitas dan keragaman jenis NTB, studi ini memilih fokus dari jenis NTB untuk studi kasus Indonesia pada aspek kategori keempat khususnya terkait dengan hambatan yang sifatnya teknis (TBT). Hal ini didasarkan informasi awal pada kegiatan pra survey lapangan untuk komoditas sektor otomotif, elektronik, pertanian dan kakao yang mengindikasikan dominannya jenis NTB ini pada komoditas fokus dari studi ini Pendekatan Untuk Mengukur NTB Secara umum dapat dikatakan bahwa mengukur hambatan non tarif bukanlah sesuatu yang mudah. Menurut (Fukao, Kataoka, & Kuno, 2003) terdapat empat metode pengukuran NTB. Pendekatan pertama adalah teknik menghitung perbedaan antara harga impor dan harga domestik yang dikenal price wedge atau price differential. Teknik ini menghitung ukuran NTB sebagai selisih antara kedua harga di setiap tingkat sub agregasi komoditas dan mengurangkan tarif pada komoditas ini dari selisih tersebut. Seperti dikutip dalam Fukao et al. (2003) pendekatan ini pernah dipergunakan untuk mengestimasi besaran NTB di Jepang oleh Sazanami, Urata, dan Kawai (1995), Kataoka dan Kuno (2003), di Korea oleh Kim (1995), di Cina oleh Shuguang et al. (1999), di Uni Eropa oleh Messerlin (2001). Pendekatan ini, meskipun terkesan paling mudah untuk dihitung, memiliki dua kelemahan. Kelemahan pertama adalah terkait dengan kualitas. Komiya and Negishi (1998) dalam Fukao et al. (2003) mengkritisi bahwa ukuran NTB yang didapatkan dengan teknik price differential ini hanya akan valid apabila dipastikan kesamaan kualitas antara barang impor dan barang domestik yang dibandingkan harganya. Apabila kualitas antara kedua barang tidak identik, maka ukuran NTB menjadi kurang bermakna. Kelemahan kedua terkait dengan ketidakmampuan pendekatan ini untuk menangkap pola NTB berupa kebijakan bantuan nontarif seperti subsidi yang diberikan kepada produksi domestik, serta efek dari margin biaya perdagangan dan biaya transportasi antar negara terkait barang impor. Pada akhirnya, efek NTB yang hendak diukur menjadi bias atau tidak terungkap. Namun, jika dikehendaki teknik ini sebagai alat analisis sebatas untuk identifikasi awal ada atau tidaknya NTB, pendekatan ini masih dapat dipergunakan dengan mengurangkan tarif(jika ada) dalam perbedaan harga tersebut. Tentunya masih dengan asumsi, inklusif atas trading dan transportation cost. 19

20 Pendekatan kedua, mirip dengan pendekatan pertama yaitu menghitung selisih harga namun dengan mempergunakan perbedaan antara harga domestik dan harga di negara mitra (Jetro, 2000 dalam Fukao et al. 2003). Namun sayangnya terkait dengan harga di negara mitra atau dikenal dengan basis data purchasing power parity (PPP) tidak banyak tersedia. Selain itu, relatif sulit untuk mengisolasi efek perbedaan dari pengaruh biaya distribusi dan margin biaya perdagangan antara negara. Selain itu, dengan pendekatan ini juga sulit untuk memisahkan antara hambatan tarif dan NTB. Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang mempergunakan teknik ekonometrika dan memperkiraan besaran NTB melalui gravity model. Dalam pendekatan ini, error yang tidak dapat dijelaskan dalam model diperlakukan sebagai besaran hambatan (tarif dan non-tarif), seperti yang dilakukan oleh Yoon (2001) dan Harrigan (2003) dalam Fukao et al. (2003). Selain itu ada pertimbangan atas berbagai faktor lain selainntb yang menjelaskan besaran error seperti impor dari luar negeri afiliasi. Selain itu terdapat kritik bahwa estimasi ini sulit dilakukan karena masalah ketersediaan data pada tingkat sub agregat suatu komoditi, sedangkan pada tingkat agragatif sifat NTB akan berbeda-beda sehingga estimasi menjadi tidak lagi valid Estimasi Empiris Model Gravity: Inklusif Border Effect, Tarif Dan NTB Salah satu studi terkini yang mencoba menghitung efek NTB terhadap kinerja perdagangan bilateral dengan basis model graviti untuk efek perbatasan dan perbedaan harga adalah (Chevassus-Lozza, Latouche, & Majkovic, 2007) yang mendasarkan pada pendekatan yang dibuat oleh Anderson dan van Wincoop (2003). Dalam melakukan uji empiris, Chevassus- Lozza, et al.(2007) tidak mempergunakan nilai volume perdagangan sebagai komponen di sebelah kiri model graviti, namun yang dipergunakan adalah koefisien perdagangan bilateral relatif yang diformulasikan sebagai: = Dimana: = nilai nominal ekspor barang k dari i ke j = pengeluaran total negara j untuk komoditas k = total ekspor negara i untuk komoditas k = nilai total perdagangan dunia untuk barang k Adapun definisi persamaan operasional yang dipergunakan oleh Chevassus-Lozza, et al.(2007) yang akan diadopsi dalam studi ini ditunjukkan oleh spesifikasi persamaan berikut. 20

21 ln = + + +! " + $ Dimana % + & '%" +( = perbandingan harga relatif komoditas k terhadap indeks harga umum di negara j = indeks CES dari tingkat daya saing negara i di dunia = jarak antara i dan j " = efek perbatasan antara i dan j, model ini mengadopsi variabel kesamaan tertentu seperti bahasa dan sejarah koloni dalam bentuk dummy % = tarif i '%" = non-tarif i 21

22 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama 11 (sebelas) bulan di tahun Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan selanjutnya hasil pengolahan data sekunder dilakukan verifikasi dengan kegiatan turun lapang Data dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian Republik Indonesia untuk 10 komoditi terpilih. Data primer digunakan untuk memberikan gambaran riil tentang bagaimana para pelaku bisnis dan pembuat kebijakan memandang kondisi impor saat ini dan penting atau tidaknya penerapan SSM sebagai salah satu upaya proteksi. Data primer yang dianalisis hanya mencakup kasus kota Medan dan dikumpulkan seiringan dengan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Metode Penelitian Statistika Deskriptif Metode statistika deskriptif digunakan untuk menggambarkan data yang telah dikumpulkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini sehingga dapat diperoleh gambaran karakteristik responden dan faktor yang berpengaruh terhadap kemauan lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit perumahan. Data dapat disajikan dalam bentuk tabulasi (seperti tabulasi tunggal dan tabulasi silang), charts, dan diagram. Metode tabulasi silang (cross-tabulation) adalah metode statistika yang merangkum data dengan dua atau lebih variabel secara bersamaan. Terkadang metode ini juga menggunakan cara deskriptif sederhana untuk melihat apakah ada hubungan antara dua buah variabel. Tabulasi silang biasanya menggunakan tabel yang di dalamnya terdapat dua atau lebih variabel bebas dan takbebas. Setiap sel pada tabel ini berisi jumlah responden yang memberikan sebuah kombinasi informasi yang lebih spesifik. Oleh karenanya, setiap sel mengandung sebuah tabulasi silang tunggal (single cross-tabulation). Pada intinya, penggunaan metode ini adalah untuk memberikan solusi dari suatu masalah dengan menampilkan kombinasi dari variabel dan menganalisis variabel bebas dan takbebas. 22

23 Penggunaan metode tabulasi silang seringkali dijumpai dalam penelitian karena metode ini mudah untuk dimengerti bagi kebanyakan orang yang memiliki keterbatasan pengertian dalam ilmu hitung. Selain itu metode ini juga dapat digunakan untuk berbagai jenis tipe data baik berupa data nominal, ordinal, interval maupun rasio. Dengan demikian, tabulasi silang dapat digunakan jika salah satu variabel bersifat kualitatif dan lainnya kuantitatif ataupun jika keduanya bersifat kualitatif dan sebaliknya Statistical Quality Control Statistical Quality Control (SQC) merupakan suatu pendekatan statistik yang digunakan oleh profesional untuk melakukan penilaian dan pemantauan terhadap capaian kualitas dari suatu komoditas dan sekaligus mengidentifikasi permasalahan kualitas dari suatu komoditas dan proses dalam menghasilkan komoditas tersebut. Secara umum, alat statistik yang digunakan dalam SQC adalah descriptive statistics, statistical process control (SPC) dan acceptance sampling. Diantara ketiga alat ini, SPC merupakan pendekatan yang paling sering digunakan karena juga mampu untuk mengidentifikasi perubahan atau variasi dari karakter kualitas suatu produk atau proses produksinya. Analisa terhadap variasi kualitas produk tersebut pada akhirnya akan mampu memberikan informasi tentang ada tidaknya produk yang tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan dan ketidakkonsistenan dari tingkat kualitas berdasarkan data sampel yang digunakan. Atas dasar penjelasan inilah peneliti melihat adanya kesamaan tujuan dari statistical quality control dengan SSM yakni mengidentifikasi ada tidaknya suatu kondisi yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat memberikan suatu komparasi metode perhitungan trigger dari SSM. Selain itu, alasan menggunakan SQC sebagai metode adalah atas dasar kemudahan pengoperasian atau perhitungan yang merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam prasyarat metode yang digunakan dalam perhitungan trigger SSM. Analisa dengan menggunakan SPC selanjutnya akan kita fokuskan kepada penggunaan control chart yakni suatu chart yang mampu menunjukkan apakah sampel yang dianalisis berada pada variasi yang normal atau tidak. Dalam kasus impor, jika data impor tidak berada pada variasi normal maka dapat diasumsikan bahwa pada periode tersebut telah terjadi lonjakan impor. Setiap control chart memiliki batas atas (upper control limit/ucl) dan batas bawah (lower control limit/lcl) yang membatasi wilayah range dari nilai impor yang masih dapat diakomodasi. Gambar 3. memperlihatkan bagaimana gambaran control chart yang akan digunakan dalam penelitian ini. 23

24 Gambar 3. Komponen Control Chart Jika merujuk kepada rule of thumb yang sering digunakan, batas bawah dan batas atas yang digunakan adalah ± 3 standar deviasi dari nilai mean. Standar deviasi merupakan suatu ukuran variasi yang diformulasikan sebagai berikut: n i= 1 σ = Dimana: σ ( x ) 2 i x n 1 : standar deviasi dari sampel (1) x x i n : rata-rata : observasi ke-i : jumlah observasi dalam sampel Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan bahwa observasi yang dianalisa berada di sekitar nilai rata-rata sampelnya. Jika diasumsikan bahwa data yang digunakan memiliki sebaran normal maka batasan range ini akan menangkap persen dari variasi normalnya. Namun jika kita menetapkan bahwa batasan yang digunakan adalah ± 2 standar deviasi, maka control limit tersebut akan menangkap persen dari variasi normalnya. Penjelasan dari konsep ini secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 4. 24

Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization

Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization LAPORAN AKHIR PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 FLEKSIBILITAS PENERAPAN SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DAN KAJI ULANG KEBIJAKAN DOMESTIC SUPPORT UNTUK SPECIAL PRODUCT INDONESIA Oleh : M. Husein Sawit Sjaiful Bahri Sri Nuryanti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

Pantjar Simatupang LATAR BELAKANG

Pantjar Simatupang LATAR BELAKANG JUSTIFIKASI MEKANISME KAWAL PENYELAMATAN KHUSUS (SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM) SEBAGAI BAGIAN DARI PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA (SPECIAL AND DIFFERENTIAL TREATMENT) BAGI NEGARA-NEGARA SEDANG BERKEMBANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perdagangan multilateral dalam bentuk organisasi perdagangan dunia atau World

I. PENDAHULUAN. perdagangan multilateral dalam bentuk organisasi perdagangan dunia atau World 34 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi anggota forum kerjasama perdagangan multilateral dalam bentuk organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi 329 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam periode September 1994 - Oktober 2009 terbukti telah terjadi banjir impor bagi komoditas beras, jagung dan kedele di Indonesia, dengan tingkat tekanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan perekonomian dunia telah mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) mulai bergesernya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perekonomian dunia mulai mengalami liberalisasi perdagangan ditandai dengan munculnya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pertanian selain dua kubu besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa). Cairns Group

BAB V PENUTUP. pertanian selain dua kubu besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa). Cairns Group BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Cairns Group adalah sebuah koalisi campuran antara negara maju dan negara berkembang yang merasa kepentingannya sebagai pengekspor komoditas pertanian selain dua kubu besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sarnowo dan Sunyoto (2013:1) permintaan adalah jumlah barang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sarnowo dan Sunyoto (2013:1) permintaan adalah jumlah barang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Permintaan Menurut Sarnowo dan Sunyoto (2013:1) permintaan adalah jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu. Rasul et al (2012:23)

Lebih terperinci

Lima Peraturan WTO yang Perlu Diubah untuk Memungkinkan Kedaulatan Pangan dari Semua Negara Jacques Berthelot, Solidarité, 18 Oktober 2015

Lima Peraturan WTO yang Perlu Diubah untuk Memungkinkan Kedaulatan Pangan dari Semua Negara Jacques Berthelot, Solidarité, 18 Oktober 2015 Lima Peraturan WTO yang Perlu Diubah untuk Memungkinkan Kedaulatan Pangan dari Semua Negara Jacques Berthelot, Solidarité, 18 Oktober 2015 Kedaulatan pangan tidak berarti autarki tetapi merupakan hak setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

Kajian SSM terhadap komoditas ekspor Indonesia

Kajian SSM terhadap komoditas ekspor Indonesia Kajian SSM terhadap komoditas ekspor Indonesia Latar belakang Special Safeguard Mechanism (SSM) adalah SSM adalah mekanisme yang memungkinkan negara-negara berkembang untuk memberikan perlindungan sementara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dilihat dari kontribusi sektor

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas & Hirschey

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Liberalisasi perdagangan mulai berkembang dari pemikiran Adam Smith

BAB I PENDAHULUAN. Liberalisasi perdagangan mulai berkembang dari pemikiran Adam Smith BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Liberalisasi perdagangan mulai berkembang dari pemikiran Adam Smith yang mengusung perdagangan bebas dan intervensi pemerintah yang seminimal mungkin. Kemudian paham

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, sektor

Lebih terperinci

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL GLOBAL TRADING SYSTEM 1. Tarif GATT (1947) WTO (1995) 2. Subsidi 3. Kuota 4. VERs 5. ad. Policy 6. PKL NEGARA ATAU KELOMPOK NEGARA NEGARA ATAU KELOMPOK NEGARA TRADE BARRIERS

Lebih terperinci

Oleh: Dabukke Muhammad. Frans Betsi M. Iqbal Eddy S. Yusuf

Oleh: Dabukke Muhammad. Frans Betsi M. Iqbal Eddy S. Yusuf LAPORAN AKHIR TA. 2013 PENGARUH KEBIJAKAN PERDAGANGAN NEGARA- NEGARAA MITRA TERHADAP KINERJA DAN DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA Oleh: Budiman Hutabarat Saktyanu K. Dermoredjo Frans Betsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Tarif Bawang Merah Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO, setiap negara yang tergabung sebagai anggota WTO harus semakin membuka pasarnya. Hambatan perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN DUNIA. Nuhfil Hanani AR

PRODUKSI PANGAN DUNIA. Nuhfil Hanani AR 49 PRODUKSI PANGAN DUNIA Nuhfil Hanani AR Produksi Pangan dunia Berdasarkan data dari FAO, negara produsen pangan terbesar di dunia pada tahun 2004 untuk tanaman padi-padian, daging, sayuran dan buah disajikan

Lebih terperinci

analisis FluKtuasi ekspor beberapa PRoduK PeRtanian indonesia di negara mitra utama

analisis FluKtuasi ekspor beberapa PRoduK PeRtanian indonesia di negara mitra utama analisis FluKtuasi ekspor beberapa PRoduK PeRtanian indonesia di negara mitra utama Oleh : Adrian D. Lubis 1 Abstrack Developing countries have built Special Safeguard Mechanism (SSM) proposal in order

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenaitentang dampak kebijakan tarif dan kuota impor terhadap kinerjainerja industri tepung terigu Indonesia

Lebih terperinci

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l BAB V 5.1 Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Dalam kesepakatan AoA, syarat hegemoni yang merupakan hubungan timbal balik antara tiga aspek seperti form of state, social force, dan world order, seperti dikatakan

Lebih terperinci

KAJIAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DAN GLOBAL

KAJIAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DAN GLOBAL LAPORAN AKHIR KAJIAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DAN GLOBAL Tim Peneliti: Reni Kustiari Achmad Suryana Erwidodo Henny Mayrowani Edi Supriadi Yusuf Soeprapto Djojopoespito

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4.1. Konsep Kebijakan Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VI Nomor 4 Tahun 2014 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VII Nomor 1 Tahun 2015 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. KORELASI HARGA DAN DERAJAT INTEGRASI SPASIAL ANTARA PASAR DUNIA DAN PASAR DOMESTIK UNTUK KOMODITAS PANGAN DALAM ERA LIBERALISASI PERDAGANGAN (Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) Adreng Purwoto, Handewi P.S.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM NEGARA-NEGARA TUJUAN EKSPOR. tersebut juga menjadi tujuan ekspor utama bagi Indonesia.

BAB V GAMBARAN UMUM NEGARA-NEGARA TUJUAN EKSPOR. tersebut juga menjadi tujuan ekspor utama bagi Indonesia. BAB V GAMBARAN UMUM NEGARA-NEGARA TUJUAN EKSPOR Negara tujuan ekspor yang dibahas dalam bab ini hanya dibatasi pada 10 negara dengan tingkat konsumsi karet alam terbesar di dunia. Negara-negara tersebut

Lebih terperinci

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari RESUME Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari penandatanganan Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) oleh pemerintahan Indonesia yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan liberalisasi perdagangan barang dan jasa semakin tinggi intensitasnya sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. dan liberalisasi perdagangan barang dan jasa semakin tinggi intensitasnya sehingga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan perekonomian dalam perdagangan internasional tidak lepas dari negara yang menganut sistem perekonomian terbuka. Apalagi adanya keterbukaan dan liberalisasi

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 2 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan dengan mengurangi atau menghapuskan hambatan perdagangan secara diskriminatif bagi negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Permasalahan pangan di sisi penyediaan saat ini adalah permintaan pangan yang tinggi seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, sementara pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 1 PENGERTIAN GLOBALISASI Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan

Lebih terperinci

ISBN : PENYUSUNAN BAHAN ADVOKASI DELEGASI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN MULTILATERAL

ISBN : PENYUSUNAN BAHAN ADVOKASI DELEGASI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN MULTILATERAL ISBN : 979-3556-43-9 PENYUSUNAN BAHAN ADVOKASI DELEGASI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN MULTILATERAL Budiman Hutabarat M. Husein Sawit Bambang Rahmanto Supriyati Helena J. Purba Adi Setyanto PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur

Lebih terperinci

KULIAH UMUM MENTERI PERTANIAN PADA PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

KULIAH UMUM MENTERI PERTANIAN PADA PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA KULIAH UMUM MENTERI PERTANIAN PADA PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Jakarta, 8

Lebih terperinci

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Rikky Herdiyansyah SP., MSc Pengertian Kebijakan Ek. Internasional Tindakan/ kebijakan ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Kebijakan ekonomi internasional dalam arti luas semua kegiatan ekonomi pemerintah suatu negara yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah)

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang fokus terhadap pembangunan nasional. Menurut data Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

Analisis Kepentingan Special Safeguard Mechanism Indonesia Dalam Negosiasi Pertanian Di World Trade Organization (WTO) Oleh :

Analisis Kepentingan Special Safeguard Mechanism Indonesia Dalam Negosiasi Pertanian Di World Trade Organization (WTO) Oleh : Analisis Kepentingan Special Safeguard Mechanism Indonesia Dalam Negosiasi Pertanian Di World Trade Organization (WTO) Oleh : Adrian Darmawan Lubis, Firman Mutakin, Reni K. Arianti 1 Abstract Multilateral

Lebih terperinci

Dari hasil penelitian mengenai perilaku makroekonomi lndonesia. dikaitkan dengan liberalisasi perdagangan, maka dapat ditarik beberapa

Dari hasil penelitian mengenai perilaku makroekonomi lndonesia. dikaitkan dengan liberalisasi perdagangan, maka dapat ditarik beberapa VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai perilaku makroekonomi lndonesia dikaitkan dengan liberalisasi perdagangan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan : 1. Dari pembahasan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PROSPEK KERJASAMA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PROSPEK KERJASAMA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PROSPEK KERJASAMA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU Oleh : Budiman Hutabarat Delima Hasri Azahari Mohamad Husein Sawit Saktyanu Kristyantoadi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 57 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Estimasi Model Dalam analisis data panel perlu dilakukan beberapa pengujian model, sebagai awal pengujian pada ketiga model data panel statis yakni pooled least square (PLS),

Lebih terperinci

SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax:

SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax: SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Telp: 021-3860371/Fax: 021-3508711 www.kemendag.go.id Ekspor Indonesia Tahun 2011 Melampaui Target USD 200 Miliar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Regional Trade Agreements (RTA) didefinisikan sebagai kerjasama perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup free trade agreements (FTA),

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 I. PENDAHULUAN Kegiatan Sosialisasi Hasil dan Proses Diplomasi Perdagangan Internasional telah diselenggarakan

Lebih terperinci

MEKANISME PERLINDUNGAN KHUSUS UNTUK INDONESIA DAN K 33: SEBUAH GAGASAN

MEKANISME PERLINDUNGAN KHUSUS UNTUK INDONESIA DAN K 33: SEBUAH GAGASAN MEKANISME PERLINDUNGAN KHUSUS UNTUK INDONESIA DAN K 33: SEBUAH GAGASAN Budiman Hutabarat dan Bambang Rahmanto Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN 6.1. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian Kriteria pertama yang harus dipenuhi dalam analisis ini adalah adanya kesesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekspor merupakan salah satu bagian penting dalam perdagangan internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan sebagai total penjualan barang

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VI Nomor 3 Tahun 2014 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan BAB V KESIMPULAN Penelitian ini membahas salah satu isu penting yang kerap menjadi fokus masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan berkembangnya isu isu di dunia internasional,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam EKONOMI PERTANIAN

KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam EKONOMI PERTANIAN KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam EKONOMI PERTANIAN Jumlah Penduduk di Indonesia 3 Juta/Th PERTANIAN DI INDONESIA Penghasil biji-bijian nomor 6 di dunia Penghasil beras nomor 3 setelahchina dan India Penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Liberalisasi perdagangan kini telah menjadi fenomena dunia. Hampir di seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok perdagangan bebas

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN BAHAN ADVOKASI DELEGASI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN MULTILATERAL

LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN BAHAN ADVOKASI DELEGASI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN MULTILATERAL LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN BAHAN ADVOKASI DELEGASI INDONESIA DALAM PERUNDINGAN MULTILATERAL Oleh: Budiman Hutabarat M. Husein Sawit Supriyati Bambang Rahmanto Adi Setiyanto Helena J. Purba PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS NOTIFIKASI DAN KERANGKA MODALITAS PERJANJIAN PERTANIAN WTO

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS NOTIFIKASI DAN KERANGKA MODALITAS PERJANJIAN PERTANIAN WTO LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS NOTIFIKASI DAN KERANGKA MODALITAS PERJANJIAN PERTANIAN WTO Oleh : Budiman Hutabarat Saktyanu K. Dermoredjo Frans B.M. Dabukke Erna M. Lokollo Wahida PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. Outline Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan AFTA Tujuan Strategis AFTA Anggota & Administrasi AFTA Peranan & Manfaat ASEAN-AFTA The

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini BAB I PENDAHULUAN Saat ini, pembentukan Free Trade Agreement (FTA) menjadi salah satu opsi utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini menjadikan evaluasi dampak terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN VI.1 Proses Perancangan Kebijakan Proses perancangan kebijakan industri sari buah didasarkan pada arah kebijakan pembangunan nasional yang kemudian dijabarkan dalam visi dan

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1 Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1 Pengertian Globalisasi Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan menyulut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang masalah Pada tahun 2008 terjadi krisis global dan berlanjut pada krisis nilai tukar. Krisis ekonomi 2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika

Lebih terperinci

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PADA HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA DAN TIGA NEGARA (CHINA, INDIA, DAN AUSTRALIA) TERHADAP KINERJA EKSPOR-IMPOR, OUTPUT NASIONAL DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA: ANALISIS

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 4 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan aspek yang sangat penting dalam. perekonomian setiap Negara di dunia. Tanpa adanya perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan aspek yang sangat penting dalam. perekonomian setiap Negara di dunia. Tanpa adanya perdagangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan aspek yang sangat penting dalam perekonomian setiap Negara di dunia. Tanpa adanya perdagangan internasional, kebutuhan suatu

Lebih terperinci

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL INDONESIA DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (SERI 1) 24 JULI 2003 PROF. DAVID K. LINNAN UNIVERSITY OF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia sangat tidak terbatas sedangkan alat pemenuh kebutuhan tersebut sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap manusia tidak dapat

Lebih terperinci

8. KESlMPUlAN DAN SARAN

8. KESlMPUlAN DAN SARAN 8. KESlMPUlAN DAN SARAN 8.f Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesirnpulan sebagai berikut. 1. Secara umum model yang dikembangkan dalam penelitian ini cukup baik dan mampu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume VI Nomor 1 Tahun 2014 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL - KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 3 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL, KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN mendasar, mudahnya perpindahan arus barangfjasa, faktor produksi dan modal

BABI PENDAHULUAN mendasar, mudahnya perpindahan arus barangfjasa, faktor produksi dan modal BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era ekonomi global, akan muncul beberapa perubahan yang mendasar, mudahnya perpindahan arus barangfjasa, faktor produksi dan modal masuk maupun keluar

Lebih terperinci

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Perjanjian Penghindaran Berganda (P3B) Perjanjian Penghindaran Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat

Lebih terperinci

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI Tindakan/ kebijakan ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk

Lebih terperinci