PENGOBATAN DERMATOMIKOSIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGOBATAN DERMATOMIKOSIS"

Transkripsi

1 PENGOBATAN DERMATOMIKOSIS Penyaji: dr.ramona Dumasari Lubis,SpKK NIP DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2 PENDAHULUAN Tujuan utama pengobatan infeksi jamur adalah menghilangkan atau membunuh organisme yang patogen dan memulihkan kembali flora normal kulit dengan cara memperbaiki ekologi kulit atau membran mukosa yang merupakan tempat berkembangnya koloni jamur. 1 Pada saat ini penemuan obat-obat anti jamur yang baru telah mengalami perkembangan yang pesat baik yang berbentuk topikal maupun sistemik dan diharapkan prevalensi penyakit infeksi jamur dapat berkurang. Sekarang ini ada empat golongan obat-obat anti jamur yang utama yaitu poliene, azol, alilamin dan echinocandin dan ada juga obat anti jamur yang bukan kelompok diatas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian obat-obat anti jamur topikal. Pengetahuan tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum, farmakokinetik, efek samping maupun interaksi obat-obat anti jamur sangat diperlukan dalam memberikan pengobatan. 2 I. OBAT ANTI JAMUR TOPIKAL Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk pengobatan infeksi pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan luas, infeksi pada stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat anti jamur topikal lebih sedikit dibandingkan obat anti jamur sistemik. 3 Jenis golongan obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu : Poliene : Nystatin 2. Azole - Imidazol : Klotrimazol, Ekonazol, Mikonazol, Ketokonazol, Sulkonazol, Oksikonazol, Terkonazol, Tiokonazol, Sertakonazol 3. Alilamin / benzilamin : Naftifin, Terbinafin, Butenafin 4. Obat anti jamur topikal lain : Amorolfin, Siklopiroks, Haloprogin GOLONGAN POLIENE Mekanisme kerja golongan poliene yaitu berikatan dengan ergosterol secara irreversibel. Ergosterol merupakan komponen yang sangat penting dari membrane sel jamur. Golongan poliene ini tidak efektif terhadap dermatofit dan penggunaannya 2

3 secara klinis juga terbatas yaitu untuk pengobatan infeksi yang disebabkan Candida albicans dan Candida spesies yang lain. 4 Nystatin 4-9 Nystatin merupakan antibiotik yang digunakan sebagai anti jamur, diisolasi dari Streptomyces nourse pada tahun 1951 dan merupakan antibiotik group poliene. Untuk pengobatan candida spesies, nystatin dapat digunakan secara topikal pada kulit atau membran mukosa (rongga mulut, vagina) dan dapat juga diberikan secara oral untuk pengobatan kandidosis gastrointestinal. Nystatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadang dapat timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi. Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan tablet nystatin unit setiap 6 jam dan untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppositories ( setiap unit) yang diberikan selama lebih kurang 14 hari.. Suspensi nystatin oral terdiri dari unit / ml yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir (newborn) : 1 ml, infant yang usianya lebih tua : 2 ml dan dewasa : 5 ml. GOLONGAN AZOL IMIDAZOL Golongan azol imidazol ditemukan setelah tahun 1960, relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol jamur yang mengakibatkan timbulnya defek pada membran sel jamur. Obat anti jamur golongan azol seperti klotrimazol, ketokonazol, ekonazol, oksikonazol, sulkonazol dan mikonazol, mempunyai kemampuan menggangu kerja enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. 4 Klotrimazol 4-10 Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidosis, diberikan oral troches (10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis 500, 200 atau 100 mg yang dimasukkan kedalam vagina selama 1, 3, atau 6 hari berturu-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit 3

4 digunakan klotrimazol cream 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Ekonazol 4-7,10 Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berturut-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ekonazol cream 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Mikonazol 4-6,9,10 Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan kandidosis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis 200 atau 100 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 7 atau 14 hari berturut-turut. Untuk pengobatan kandidosis oral, diberikan oral gel (125 mg) 4 kali sehari. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol cream 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Ketokonazol 3-7,10 Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, kutaneous kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan seborrrheic dermatitis. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ketokonazol 1% cream, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan pengobatan seborrrheic dermatitis dioleskan 2 kali sehari. Untuk pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol 2% shampoo dioleskan sekali sehari selama 5 hari sedangkan untuk pengobatan dandruff digunakan ketokonazol 1% shampoo sebanyak 2 kali seminggu selama lebih kurang 8 minggu. 4

5 Sulkonazol 5,6,12 Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneus. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol 1% cream Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu. Oksikonazol 4-6,13 Oksikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneous. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan oksikonazol 1% cream ataau lotion. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 2 minggu, untuk tinea pedis dioleskan 1 tatau 2 kali sehari selama 4 mingggu dan pitiriasis versikolor dioleskan 1 kali sehari selama 2 minggu. Terkonazol 4-6,14 Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneous dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis yang disebabkan Candida albicans, dapat digunakan terkonazol 0,4% vaginal cream (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan applikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 7 hari berturut-turut, terkonazol 0,8% vaginal cream (40 mg terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan applikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan vaginal suppositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari sebelum waktu tidur selama 3 hari berturut-turut. Tiokonazol 4-6,15 Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidosis kutaneous dan genital. Untuk pengobatan kandidosis vaginalis diberikan dosis tunggal sebanyak 300 mg dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada kulit digunakan tiokonazol 1% cream, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan kandidiasis kutaneus dioleskan 2 kali 5

6 sehari selama 2-4 minggu, untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari selama 2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4 minggu. Sertakonazol 16 Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandida spesies, digunakan sertakonazol 2% cream, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu. GOLONGAN ALILAMIN / BENZILAMIN Golongan alilamin yaitu naftifin, terbinafin dan golongan benzilamin yaitu butenafin, bekerja dengan cara menekan biosentesis ergosterol pada tahap awal proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan mengambat aktifitas squalene eposidase. Dengan berkurangnya ergosterol, akan menyebabkan penumpukan squalene pada sel jamur dan akan mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin bersifat fungisidal terhadap dermatofit dan bersifat fungistatik terhadap Candida albicans. 4 Naftifin 4-6,8,17 Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida spesies. Untuk pengobatan digunakan naftifine hydrochloride 1% cream dioleskan 1 kali sehari selama 1 minggu. Terbinafin 4-6,8,18 Terbinafin (Lamisil) dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin 1% cream yang dioleskan 1 atau 2 kali sehari, untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama 2 minggu. Butenafin 4-6,19,20 Butenafin merupkan golongan benzilamin dimana struktur kimia dan aktifitas anti jamurnya sama dengan golongan alilamin. Butenafine bersifat fungisidal terhadap 6

7 dermatofit dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis dan bersifat fungisidal. Dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu. GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL YANG LAIN Amorolfin 4-6,21 Amorolfine merupakan derivat morpolin, bekerja dengan cara menghambat biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya yang luas, dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama > 6 bulan. Untuk pengobatan onikomikosis digunakan amorolfine 5% nail laquer, untuk kuku tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama 6 bulan sedangkan untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan. Siklopiroks 4-6,22-24 Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypyridone, bersifat fungisida, sporosida dan mempunyai penetrasi yang baik pada kulit dan kuku. Siklopiroks efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail laquer 8%. Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam waktu detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus lapisan-lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai kedalaman 0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah jam pemakaian. Kadar obat akan mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ± 0,25 mikrogram tiap milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat terus hingga hari setelah pemakaian dan selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat minimal yang berefek fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan di setiap lapisan kuku. Sebelum pemakain cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang infeksi diangkat atau dibuang, kuku yang terisa dibuat kasar kemudian dioleskan 7

8 membentuk lapisan tipis. Lakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan ke dua dan seminggu sekali pada bulan ke tiga hingga bulan ke enam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat kuku siklopiroks tidak lebih dari 6 bulan. Haloprogin 4-6,8 Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu. II. OBAT ANTI JAMUR SISTEMIK Pemberian obat anti jamur sistemik digunakan untuk pengobatan infeksi jamur superfisial dan sistemik (deep mikosis), obat-obat tersebut yaitu : 1. GRISEOFULVIN 2-3,6-9,25-27 Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies Penicilium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai anti jamur pada tumbuhan dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan. Pada tahun 1959, diketahui griseofulvin ternyata efektif untuk pengobatan infeksi jamur superfisial pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang pertama diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis. Mekanisme kerja Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang bersifat fungistatik, berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur. Aktifitas spektrum Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies Epidermophyton floccosum, Microsporum spesies dan Trichophyton spesies, yang merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidosis kutaneus dan pitiriasis versikolor. Farmakokinetik Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5-1 gr, akan menghasilkan konsentrasi puncak plasma sebanyak 1 mikrogram / ml dalam waktu 4 jam dan level 8

9 dalam darah bervariasi. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari, dan ± 50 % dari dosis oral dapat di deteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit. Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong. Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi, dapat meningkatkan absorpsi mengakibatkan level griseofulvin dalam serum akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan di ditentukan dengan plasma free concentration. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat dan akan dideposit di sel prekusor keratin kulit (stratum korneum) dan terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi, akan digantikan dengan lapisan keratin baru yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin secara oral akan mencapai stratum korneum setelah 4-8 jam. Griseofulvin di metabolisme di hepar menjadi 6 desmethyl griseofulvin, dan akan di ekskresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1% dari dosis akan di jumpai pada urin tanpa perubahan bentuk. Dosis Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu mikrosize (mikrokristallin) dan ultramikrosize (ultramikrokristallin). Bentuk ultramikrosize, penyerapannya pada saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk mikrosize. Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans. Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa mg / hari (mikrosize) dosis tunggal atau terbagi dan mg / hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi. Anak - anak 2 tahun mg / kg BB / hari (mikrosize), dosis tunggal atau terbagi dan 5,5-7,3 mg / kg BB / hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3-6 bulan. Efek samping Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah dan sakit pada abodominal. Timbunya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi pada sebagian pasien. 9

10 Interaksi obat Absorbsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital tetapi efek tersebut dapat di kurangi dengan cara mengkonsumsi griseofulvin bersama makanan. Griseofulvin juga dapat menurunkan efektifitas warfarin yang merupakan antikoagulan. Kegagalan kontrasepsi telah dilaporkan pada pasien yang mengkonsumsi griseofulvin dan oral kontrasepsi. 2. KETOKONAZOL 2,3,6-9,25,28-30 Ketokonazol diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1977 dan di Amerika Serikat pada tahun Ketokonazol merupakan antijamur golongan imidazol yang pertama diberikan secara oral. Mekanisme kerja Ketokonazol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P-450, C-14-α-demethylase yang bertanggungjawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini akan mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permiabel dan terjadi penghancuran jamur. Aktifitas spektrum Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes. Farmakokinetik Ketokonazol yang diberikan secara oral, mempunyai bioavailabilitas yang luas antara 37% - 97% di dalam darah. Puncak waktu paruh yaitu 2 jam dan berlanjut 7-10 jam. Ketokonazol mempunyai daya larut yang optimal pada ph dibawah 3 dan akan lebih mudah diabsorbsi. Pasien yang menderita achlorhydia, harus mengkonsumsi ketokonazol bersama dengan cairan yang asam dan pada pasien yang mendapat obat - obat seperti antasid, antikolinergik, antiparkinson dan antagonis H 2 reseptor, sebaiknya mengkonsumsi ketokonazol 2 jam sebelumnya oleh karena dapat mengurangi absorbsi ketokonazol. 10

11 Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat eccrine. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari setelah obat dihentikan. Ketokonazol mempunyai distribusi yang luas melalui urin, saliva, sebum, kelenjar keringat eccrine, serebrum, cairan pada sendi dan serebrospinal fluid (CSF). Namun, ketokonazol 99% berikatan dengan plasma protein sehingga level pda CSF rendah. Ketokonazol dimetabolisme di hati dan diubah menjadi metabolit yang tidak aktif dan diekskresi bersama empedu ke dalam saluran pencernaan. Dosis Dosis ketokonazol yang diberikan pada orang dewasa 200 mg / hari, dosis tunggal dan untuk kasus yang serius dapat ditingkatkan hingga 400 mg / hari sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3 6,6 mg / kg BB, dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, tinea versikolor selama 5-10 hari sedangkan untuk tinea kapitis dan onikomikosis biasanya tidak direkomendasikan. Efek samping Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering di jumpai. Ketokonazol juga dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan tetapi kerusakan hepar yang serius jarang terjadi. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Efek samping yang serius dari hepatotoksik adalah idiosinkratik dan jarang ditemukan yaitu 1:10000 dan 1:15000, biasanya djumpai pada pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Dosis tinggi ketokonazol (>800 mg/hari) dapat menghambat sintesis human adrenal dan testikular steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomasti dan impoten. Interaksi obat Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid, antikolinergik dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat ini di berikan setelah 2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat memperpanjang waktu paruh seperti terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga sebaiknya tidak diberikan bersama dan 11

12 juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskular seperti pemanjangan Q-T interval dan torsade de pointes. Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan triazolam dan dapat meningkatkan level siklosporin dan konsentrasi serum dari warfarin. Pemberian bersama ketokonazol dengan rifampicin dapat menurunkan efektifitas ke dua obat. 3. ITRAKONAZOL 2,3,6-9,25,28-31 Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol. Mekanisme kerja Mekanisme kerja itrakonazol dengan cara menghambat 14-α-demethylase yang merupakan suatu enzim sitokrom P-450 yang bertanggung jawab untuk merubah lanosterol menjadi ergosterol pada dinding sel jamur. Aktifitas spektrum Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis spesies, Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous moulds dan dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes. Farmakokinetik Absorbsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal (55%) tetapi absorbsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,1-0,2 mg/l dalam waktu 2-4 jam. Itrakonazol mempunyai ikatan protein yang tinggi pada serum melebihi 99% sehingga konsentrasi obat pada cairan tubuh seperti pada CSF jumlahnya sedikit. Namun sebaliknya konsentrasi obat di jaringan seperti paru-paru, hati dan tulang dapat mencapai 2 atau 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada serum. Konsentrasi itrakonazol yang tinggi juga ditemukan pada stratum korneum akibat adanya sekresi obat pada sebum. Itrakonazol tetap dapat ditemukan pada kulit selama 2-4 minggu setelah pengobatan dihentikan dengan lama pengobatan 4 minggu sedangkan pada jari 12

13 kaki itrakonazol masih dapat ditemukan selama 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan lama pengobatan 3 bulan. Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan di ekskresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan di buang melalui feces tanpa mengalami perubahan. Itrakonazol di metabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom P Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan di ekskresi oleh empedu dan urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif. Dosis Dosis pengobatan untuk dermatofitosis adalah 100 mg/hari. Lama pengobatan untuk tinea korporis atau tinea kruris adalah selama 2 minggu tetapi untuk tinea manus dan tinea pedis adalah selama 4 minggu. Pengobatan untuk pitirisis versikolor dengan dosis 200 mg/hari selama 1 minggu. Untuk pengobatan onikomikosis dengan dosis 200 mg selama 3 bulan atau menggunakan dosis denyut yaitu kuku jari tangan sebanyak 2 pulsa itrakonazol dengan dosis 400 mg/hari selama 1 minggu dan 3 minggu tanpa pengobatan sedangkan kuku jari kaki sebanyak 3 pulsa atau lebih. Pengobatan kandidosis kutis dengan dosis 100 mg / hari selama 2 minggu, kandidosis orofaringeal 100 mg / hari selama 2 minggu, kandidosis vaginalis 2x200 mg selama 1 hari atau 200 mg selama 3 hari. Sedangkan untuk infeksi deep mikosis seperti aspergillosis, blastomikosis dan histoplasmosis diberikan dosis itrakonazol sebanyak mg/hari. Efek samping Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, sakit pada abdominal dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus dan ruam allergi. Efek samping yang lain yaitu kelainan test hati yang dilaporkan pada 5% pasien yang ditandai dengan peninggian serum transaminase, ginekomasti dilaporkan terjadi pada 1% pasien yang menggunakan dosis tinggi, impotensi dan penurunan libido pernah dilaporkan pada pasien yang mengkonsums itrakonazol dosis tinggi 400 mg /hari atau lebih. 13

14 Interaksi obat Absorbsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat-obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid, H2-antagonis, omeprazol dan lansoprazol. Itrakonazol dan metabolit utamanya merupakan suatu inhibitor dari sistem enzim human hepatic sitokrom P-450-3A4 sehingga pemberian itrakonazol bersama dengan obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat meningkatkan konsentrasi azol, interaksi obat ataupun ke duanya. Itrakonazol dapat memperpanjang waktu paruh dari obat-obat seperti terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum digoxin, siklosporin, takrolimus dan warfarin. 4. FLUKONAZOL 2,3,6-8,25,29,30,32,33 Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan di perkenalkan pertama kali di Eropa kemudian di Amerika Serikat. Mekanisme kerja Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu merupakan suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja dengan menghambat sistem enzim sitokrom P α-demethylase dan bersifat fungistatik. Aktifitas spektrum Flukonazol paling aktif terhadap Candida spesies, Coccidioides imminitis dan Cryptococcus neoformans. Mempunyai aktifitas yang terbatas terhadap Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum dan Sprothrix schenckii. Flukonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif untuk moulds termasuk Aspergillus spesies dan Zygomycetes. Walaupun flukonazol efektif terhadap Candida spesies tetapi resisten untuk Candida krusei dan Candida glabrata. Farmakokinetik Flukonazol secara cepat dan sempurna diserap melalui saluran gastrointestinal. Bioavailabilitas oral flukonazol melebihi 90 % pada orang dewasa. Konsentrasi puncak plasma dicapai setelah 1 atau 2 jam pemberian oral dengan eliminasi waktu paruh plasma ± 30 jam (20-50 jam) setelah pemberian oral. Absorbsi flukonazol tidak dipengaruhi oleh kadar asam lambung (ph). 14

15 Pemberian secara oral dengan dosis tunggal ataupun multiple lebih dari 14 hari maka flukonazol akan mengalami penetrasi yang luas ke dalam cairan dan jaringan tubuh. Flukonazol bersifat hidrofilik sehingga lebih banyak ditemukan di dalam cairan tubuh dan dijumpai di dalam keringat dengan konsentrasi tinggi. Ikatan flukonazol dengan protein biasanya rendah (12%) sehingga sirkulasi obat yang tidak berikatan tinggi. Metabolisme flukonazol terjadi di hepar dan diekskresi melalui urin dimana 80 % dari dosis obat akan di ekskresi tanpa perubahan dan 11% di ekskresi sebagai metabolit. Dosis Untuk pengobatan orofaringeal kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 2 minggu. Oesophageal kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 3 minggu. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis digunakan dosis tunggal 150 mg. Flukonazol juga efektif terhadap Cryptococcus neoformans dan merupakan terapi pilihan utama untuk cryptococcal meningitis pada pasien ADIS diberikan dengan dosis 6 mg/kg BB atau 400 mg /hari untuk berat badan 70 kg. Efek samping Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek samping lain yaitu hipersensitiviti, agranulositosis, exfoliatif skin disoders seperti Steven Johnsonsindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat. Interaksi obat Flukonazol dapat meningkatkan efek atau level dari obat yaitu astemizol, amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonilureas, terfenadin, theofilin, warfarin dan zidovudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride ataupun terfenadin merupakan kontra indikasi oleh karena dapat menimbulkan disaritmia jantung yang serius dan torsade de pointes. Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid dan gliburid yang menimbulkan efek hipoglikemi. Level atau efek flukonazol dapat menurun oleh karbamazepin, isoniazid, phenobarbital, rifabutin dan rifampin dan akan meningkat oleh simetidin dan hidroklorothiazid. 15

16 5. VORIKONAZOL 6 Vorikonazol merupakan sintetik triazol yang berasal dari flukonazol dan tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral. Mekanisme kerja Vorikonazol merupakan inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-α-demethylase. Hal ini menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur. Aktifitas spktrum Vorikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus species, Blastomyces dermatitidis, Candida species, Cryptococcus neoformans, Fusarium species, Histoplasma capsulatum dan Scedosporium apiospermum. Juga efektif terhadap dematiaceous moulds, tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes. Farmakokinetik Pemberian vorikonazol secara oral di absorbsi dengan cepat dan hampir sempurna (sekitar 96%). Dua jam setelah mengkonsumsi vorikonazol dengan dosis 400 mg dosis tunggal, diharapkan akan dicapai konsentrasi serum 2 mg/l. Absorbsi vorikonazol akan berkurang bersama makanan yang mengandung lemak tetapi tidak dipengaruhi perubahan ph lambung. Vorikonazol mempunyai volume distribusi yang luas (4,6L/kg BB) yang dapat di lihat pada jaringan dan diperkirakan berikatan dengan protein sekitar 58%. Vorikonazol di ekskresi dalam bentuk yang tidak mengalami perubahan melalui urin < 2% dari dosis yang di berikan. Vorikonazol di metabolisme melalui sistem enzim human hepatik sitokrom p Lebih dari 80% dosis oral akan dibuang sebagai metabolit melalui urin. Eliminasi waktu paruh berkisar 6-9 jam dengan dosis parenteral 3 mg/kg atau 200 mg dengan dosis oral. Terdapat 3 sistem enzim hepatik sitokrom yang mempunyai peranan dalam proses metabolisme vorikonazol yaitu Cyp-2C19, CYP-2C9 dan CYP- 3A4. Dosis Pengobatan intravenous vorikonazol harus di awali dengan 2 loading dose sebanyak 6 mg/ kg BB dengan jarak 12 jam dan selanjutnya 4 mg/kg BB dengan interval 12 jam. Setiap dosis harus di infus dengan rata-rata maksimum 3 mg/kg BB/jam selama periode 1-2 jam. Konsentrasi cairan infus tidak melebihi 5 mg/ml. 16

17 Pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg dapat diberikan dosis oral sebanyak 200 mg dengan interval 12 jam sedangkan berat badan yang kurang dari 40 kg dapat diberikan dosis 100 mg dengan interval 12 jam. Obat harus dikonsumsi 1 jam sebelum atau sesudah makan. Efek samping Kebanyakan efek samping yang dapat di jumpai pada pasien yaitu demam, adanya ruam pada kulit, mual, muntah, diare, sakit kepala dan sakit abdominal. Sekitar 13 % pasien di jumpai peninggian test fungsi hati selama pengobatan. Interaksi obat Absorbsi vorikonazol tidak menglami penurunan jika diberikan bersama dengan obat lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung. Vorikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistim enzim human hepatik sindrom P-450-3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum sirolimus, terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid dan quinidin sehingga sebaiknya vorikonazol tidak di konsumsi bersama dengan obat diatas. Vorikonazol dapat menunjukkan penurunan konsentrasi serum siklosporin dan takrolimus sehingga level dan dosis obat harus di monitor. Vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum warfarin yang berfungsi sebagai antikoagulan sehingga waktu protrombin pada pasien yang mendapat ke dua obat tersebut harus di monitor. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme lovastatin sehingga dosis obat tersebut harus disesuaikan. Vorikonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi tolbutamid dan glipizid yang menimbulkan efek hipoglikemik. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme anti-hiv protease inhibitor seperti saquinavir, amprenavir dan nelfenavir sedangkan ritonavir, amprenavir dan saquinavir dapat menghambat metabolisme golongan azol. Vorikonazol juga sebaiknya tidak diberikan bersama dengan carbamazepin, phenobarbital, rifabutin dan rifampicin. 6. TERBINAFIN 2,3,6-8,25,30,31,34-36 Terbinafin merupakan anti jamur golongan alilamin yang dapat diberikan secara oral. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983, di gunakan di Eropa sejak tahun 1991 dan di Amerika Serikat pada tahun

18 Mekanisme Kerja Terbinafin bekerja menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran plasma sel jamur), dengan cara menghambat kerja squalene epoxidase (merupakan suatu enzim yang berfungsi sebagai katalis untuk mengubah squalene menjadi squalene-2,3 epoxide). Dengan berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga pertumbuhan akan berhenti, disebut dengan efek fungistatik dan dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur disebut dengan efek fungisidal. Aktifitas spektrum Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit yang bersifat fungisidal dan bersifat fungistatik untuk Candida albicans tetapi bersifat fungisidal untuk beberapa species candida seperti Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis species, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenckii dan beberapa dermatiaceous moulds. Farmakokinetik Terbinafin di absorbsi dengan baik jika diberikan dengan cara oral yaitu > 70% dan akan tercapai konsentrasi puncak dari serum berkisar 0,8-1,5 mg/l setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorbsi obat. Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada pada dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma yaitu 1,1 jam ; eliminasi waktu paruh yaitu 16 dan 100 jam setelah pemberian 250 mg dosis tunggal ; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg /hari terminal waktu paruh rata-rata yaitu 22 hari di dalam plasma. Di dalam dermis- epidermis, rambut dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata yaitu hari. Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermisepidermis tetapi terbinafin di dalam kelenjar keringat ekrine tidak terdeteksi. Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit dengan konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-3 minggu setelah obat di hentikan. Terbinafin 18

19 dapat terdeteksi pada bagian distal dari nail plate dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan dan level obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin di metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan di ekskresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%. Dosis Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet 250 mg tetapi tidak tersedia dalam bentuk parenteral. Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari tetapi pada pasien dengan ganguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin clearence < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300 μmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis diatas. Pengobatan tinea pedis selama 2-6 minggu, tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau lebih. Efek samping Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dyspepsia, sakit di abdominal sering dijumpai. Jarang dijumpai pasien yang menderita kerusakan hepar dan meninggal akibat mengkonsumsi terbinafin untuk pengobatan infeksi kuku. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar yang kronik atau aktif. Interaksi obat Terbinafin tidak mempunyai efek clearance terhadap obat lain yang metabolismenya melalui hepatik sitokrom P-450. Namun konsentrasi darah akan menurun jika terbinafin di berikan bersama rifampicin yang merupakan suatu inducer yang poten terhadap sistem enzim hepatik sitokrom P-450. Level darah pada terbinafin dapat meningkat jika pemberiannya bersama cimetidin yang merupakan sitokrom P-450 inhibitor. 19

20 7. AMFOTERISIN B 2,6-9,25,30,37 Amfoterisin B merupakan antibiotik makrosiklik polyene yang berasal dari Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di tahun Amfoterisin B deoxycholate (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan infeksi deep mikosis, pemberian secara parenteral sering menimbulkan efek toksik terutama pada ginjal / nefrotoksik sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar lemak (lipid-based formulations) yaitu (1) Liposomal amfoterisin B (AmBisome), obat ini diselubungi dengan phospholipid yang mengandung liposome. (2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B kolloidal dispersion (Amphocil, Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan cholesterol sulphate yang membentuk potongan lemak yang kecil. Mekanisme kerja Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel jamur menjadi rentan selanjutnya mengakibatkan fungsi barrier membran menjadi rusak, hilangnya unsur-unsur penting sel, menggangu metabolisme dan matinya sel jamur. Efek lain pada membran sel jamur yaitu amfoterisin B dapat menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur. Aktifitas spektrum Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap : Aspergillus species, Mucorales species, Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei. Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fusarium species, Malassezia furfur, Scedosporium species dan Trichosporon asahii biasanya resisten. Farmakokinetik Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral (bioavaibilitasnya kurang dari 5%), sehingga untuk tetap mempertahankan konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara intravenous. 20

21 Formula konvensional Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kgbb akan menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l. Kurang dari 10% dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam pemberian dan lebih dari 90% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan pada hepar (40% dari dosis), paru-paru (6% dari dosis), ginjal (2% dari dosis) sedangkan pada cairan cerebrospinal (CSF) kurang dari 5% konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase ke dua ± jam dan waktu paruh fase ke tiga ± 2 minggu. Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations) Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti amfoterisin B lipid kompleks (ABLC), akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi sebagian kecil liposome akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama. Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome) yaitu mg/l dengan dosis 3 mg/kgbb dan mg/l untuk dengan dosis 5 mg/kgbb. Level 5-10 mg/l dapat di deteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5 mg/kg BB. Pemberian liposomal amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B berakhir waktu ± jam. Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks setelah pemberian parenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga distribusi obat pada jaringan lebih cepat, dimana level maksimum dicapai 1-2 mg/l setelah pemberian dosis 5 mg/ kgbb selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paruparu dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formulasi konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks berakhir ± 170 jam. Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B kolloidal dispersion sekitar 2 mg/l dengan dosis 1 mg/kgbb, tetapi level obat di dalam darah akan segera menurun setelah pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke jaringan. Pemberian Amfoterisin B kolloidal dispersion akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional 21

22 sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Dosis Formula konvensional Kebanyakan pasien dengan infeksi deep mikosis diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B selama 6-10 minggu (tergantung dari kondisi pasien). Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu di test dengan dosis 1 mg amphotericin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anakanak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian di observasi dan di monitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi seperti hipotensi yang berat atau reaksi anaphylaxis. Dosis obat dapat ditingkatkan lebih dari 1 mg/kg BB tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan level obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam. Formula dengan dasar lemak (lipid-base formulations) Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB tetapi dosis ini dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg/kg BB atau lebih. Formula ini harus di infus dalam waktu 2 jam, jika dapat diterima maka waktu pemberian dapat di persingkat menjadi 1 jam. Obat ini telah diberikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kg BB/hari. Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5 mg/kg BB dan di infuskan dengan rata-rata 2,5 mg/kg BB/jam. Obat ini telah diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis awal amfoterisin B kolloidal dispersion yaitu 1,0 mg/kg BB dan jika dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mg/kg BB. Formula ini di infuskan dengan rata-rata 1 mg/kg BB/jam. Obat ini telah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 gr tanpa efek samping toksik yang signifikan. 22

23 Efek samping Formula konvensional Pemberian formula konvensional dengan cara intravenous dapat segera menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku, biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang sedangkan dan lokal phlebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5 mg/kg BB/hari. Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potassium dan magnesium. Pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul normokromik dan normositik anemia yang sedang. Formula dengan dasar lemak (lipid-based formulations) Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amphotericin B lipid kompleks dan amfoterisin B kolloidal dispersion lebih sedikit dibandingkan dengan formula konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang dilaporkan sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping pada ginjal dibandingkan formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan : kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B kolloidal dispersion sebanyak 15 %, liposomal amfoterisin B sebanyak 20% sedangkan formula konvensional sebanyak 30-50%. Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan liver trasaminase, alkalin phosphatase dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan liposomal amfoterisin B di jumpai test fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-50% tetapi biasanya tidak menetap. Interaksi obat Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi obat diatas harus hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid atau digitalis glikosid dapat menimbulkan hipokalemi. 23

24 8. CASPOFUNGIN 6 Caspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B 0, yang merupakan hasil fermentasi lipopeptid jamur Glarea lozoyensis. Mekanisme Kerja Caspofungin menghambat sintesis β-(1,3)-d-glucan yang merupakan komponen dinding sel jamur. Aktifitas spektrum Caspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Caspofungin efektif terhadap Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus tetapi tidak efektif terhadap dermatofit. Caspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-ubah terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum dan dematiaceous molds. Caspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida species dengan efek fungisidal yang tinggi, tetapi terhadap Candida parapsilosis dan Candida krusei kurang efektif dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans. Farmakokinetik Pemberian caspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 10 mg/l. Kurang dari 10% dosis obat, akan menetap di dalam darah setelah pemberian jam dan lebih dari 96% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan di distribusikan ke dalam jaringan (± 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi di jumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan di ekskresi tanpa ada perubahan melalui urin. Caspofungin di metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%). Waktu paruh di awali sekitar 9-11 jam dan berakhir pada jam. Dosis Pada pasien aspergillosis dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus di infuskan dalam periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, di rekomendasikan dosis caspofungin diturunkan menjadi 35 mg dan selanjutnya 70 mg loading dose. Efek samping Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam pada kulit, mual dan muntah. 24

25 Interaksi obat Pemberian caspofungin bersama cyclosporin dapat meningkatkan trasaminase 2-3 kali lipat dari batas normal dan akan menurun apabila ke dua obat tersebut dihentikan. 9. FLUSITOSIN 6,7,9,30,38 Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintetis dari fluorinated pirimidin yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Mekanisme kerja Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease, kemudian dirubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourouracil yang bergabung ke dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu. Flusitosin dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang menyebabkan inhibisi sintesis DNA. Aktifitas spektrum Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap Candida spesies, Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea spesies dan Phialophora verrucosa. Farmakokinetik Pemberian flusitosin secara oral absorbsinya cepat dan hampir sempurna. Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin dosis 25 mg/kg BB dengan interval 6 jam, akan dicapai konsentrasi puncak plasma mg/l dan untuk pengulangan dosis berikutnya setiap 6 jam, akan dicapai konsentrasi puncak plasma mg/l. Flusitosin terdistribusi secara luas terutama pada jaringan dan cairan melebihi 50% konsentrasi darah. Flusitosin berikatan dengan protein rendah (sekitar 12%) sehingga menyebabkan tingginya sirkulasi obat yang tidak berikatan. Lebih dari 90% flusitosin di ekskresi melalui urin tanpa mengalami perubahan. Dosis Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin diawali dengan dosis mg/kg BB yang diberi dalam 4 dosis terbagi dengan interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin di awali dengan dosis 25 mg/kg BB. 25

26 Efek samping Efek samping yang sering di jumpai yaitu mual, muntah dan diare. Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi darah meninggi, menetap (>100 mg/l) dan dapat kembali normal jika obat di hentikan. Peninggian level transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan. Interaksi obat Efek anti jamur flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin (sitosin arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin merupakan kontra indikasi, oleh karena efek myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin dapat bertambah jika diberikan bersama dengan immunosupresif atau sitostatik. Pemberian zidovudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh karena dapat menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amphoterisin B dan flusitosin mempunyai efek aditif atau sinergis terhadap Candida spesies dan Cryptococcus neoformans namun efek nefrotoksik amphotericin B dapat berkurang ketika flusitosin di ekskresi. KESIMPULAN Pengobatan infeksi jamur baik yang superfisial maupun yang sistemik telah mengalami perkembangan yang pesat. Obat anti jamur tersebut dapat diberikan dengan cara topikal, sistemik maupun intravenous, yang terdiri dari golongan antibiotik, antimetabolit, azol, alilamin / benzilamin dan golongan topikal yang lain. Pengetahuan tentang farmakologi obat-obat anti jamur sangat diperlukan sehingga dapat dicapai efektifitas pengobatan yang maksimal. 26

PENGGOLONGAN OBAT ANTIFUNGI

PENGGOLONGAN OBAT ANTIFUNGI PENGGOLONGAN OBAT ANTIFUNGI GOLONGAN AZOL 1. KETOKONAZOL Spektrum luas efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malasezzia furfur, Paracoccidiodes

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR. dr. Agung Biworo, M.Kes

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR. dr. Agung Biworo, M.Kes FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR dr. Agung Biworo, M.Kes Infeksi oleh jamur disebut mikosis. Infeksi ini lebih jarang dibanding infeksi bakteri atau virus. Infeksi oleh jamur biasanya baru terjadi

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR dr. Agung Biworo, M.Kes Infeksi oleh jamur disebut mikosis. Infeksi ini lebih jarang dibanding infeksi bakteri atau virus. Infeksi oleh jamur biasanya baru terjadi

Lebih terperinci

A N TIIN F E K SI (A ntijam ur, A ntiam eba, M alaria, A ntelm intik)

A N TIIN F E K SI (A ntijam ur, A ntiam eba, M alaria, A ntelm intik) A N TIIN F E K SI (A ntijam ur, A ntiam eba, M alaria, A ntelm intik) dr. A gung Biw oro, M.K es B agian F arm akologi F K U nlam A N TI JA M U R Infeksi oleh jamur disebut mikosis. Infeksi jamur dibagi

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu (Pseudohifa).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu (Pseudohifa). 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Candida albicans Jamur C.albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah

Lebih terperinci

KASUS A. ILUSTRASI KASUS

KASUS A. ILUSTRASI KASUS KASUS A. ILUSTRASI KASUS Seorang Anak. Oki, laki-laki 2 tahun dengan berat badan 12 Kg, dibawa ke dokter oleh ibunya karena rewel tidak mau makan dan badan sumer. Hasil pemeriksaan fisik terdapat bercak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jamur oportunistik yang sering terjadi pada rongga mulut, dan dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. jamur oportunistik yang sering terjadi pada rongga mulut, dan dapat menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Candida albicans (C.albicans) merupakan salah satu jamur yang sering menyebabkan kandidiasis pada rongga mulut. 1 Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistik

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mamalia. Beberapa spesies Candida yang dikenal dapat menimbulkan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. mamalia. Beberapa spesies Candida yang dikenal dapat menimbulkan penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Candida spp dikenal sebagai fungi dimorfik yang secara normal ada pada saluran pencernaan, saluran pernapasan bagian atas dan mukosa genital pada mamalia. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kuku yang menyebabkan dermatofitosis.penyebab dermatofitosis terdiri dari 3

BAB I PENDAHULUAN. kuku yang menyebabkan dermatofitosis.penyebab dermatofitosis terdiri dari 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatofita merupakan kelompok jamur keratinofilik yang dapat mengenai jaringan keratin manusia dan hewan seperti pada kulit, rambut, dan kuku yang menyebabkan dermatofitosis.penyebab

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

ANTIINFEKSI ANTI JAMUR

ANTIINFEKSI ANTI JAMUR ANTIINFEKSI dr. Agung Biworo, M.Kes Bagian Farmakologi FK Unlam ANTI JAMUR Infeksi oleh jamur disebut mikosis. Infeksi jamur dibagi menjadi 2 : - Infeksi superfisial (infeksi dermatofit dan infeksi mukokutan)

Lebih terperinci

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Farmakokinetik - 2 Mempelajari cara tubuh menangani obat Mempelajari perjalanan

Lebih terperinci

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam 1. Agen Pelindung Mukosa a Sukralfat Dosis Untuk dewasa 4 kali sehari 500-1000 mg (maksimum 8 gram/hari) sewaktu lambung kosong (1 jam sebelum makan dan tidur). Pengobatan dianjurkan selama 4-8 minggu,

Lebih terperinci

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker. BAB 1 PENDAHULUAN Pemberian obat oral telah menjadi salah satu yang paling cocok dan diterima secara luas oleh pasien untuk terapi pemberian obat. tetapi, terdapat beberapa kondisi fisiologis pada saluran

Lebih terperinci

mengontrol biosintesis mediator inflamasi (prostaglandin,leukotriene) dengan meng inhibisi asam arakidonat.

mengontrol biosintesis mediator inflamasi (prostaglandin,leukotriene) dengan meng inhibisi asam arakidonat. A. PENDAHULUAN Tujuan praktikum ini lah mengenal dan memahami yang mungkin terjadi antara obat-obat p resep polifarmasi. Praktikum ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa setiap dokter pasti akan melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Mikosis adalah infeksi jamur. 1 Dermatomikosis adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Mikosis adalah infeksi jamur. 1 Dermatomikosis adalah penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mikosis adalah infeksi jamur. 1 Dermatomikosis adalah penyakit jamur yang menyerang kulit. 2 Mikosis dibagi menjadi empat kategori yaitu: (1) superfisialis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh. jamur Candida sp. Kandidiasis merupakan infeksi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh. jamur Candida sp. Kandidiasis merupakan infeksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida sp. Kandidiasis merupakan infeksi oportunistik dengan insidensi tertinggi (Nasronudin, 2008). Kandidiasis

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS dr HM Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Farmakologi FK UNLAM Banjarbaru PENGGUNAAN OBAT PADA ANAK Perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh, maupun enzim yang bertanggung

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ terluar yang membatasi manusia dan lingkungannya. Kulit mudah dilihat dan diraba serta berperan dalam menjamin kelangsungan hidup (Wasitaatmadja,

Lebih terperinci

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT : setiap molekul yang bisa merubah fungsi tubuh secara molekuler. NASIB OBAT DALAM TUBUH Obat Absorbsi (1) Distribusi (2) Respon farmakologis Interaksi dg reseptor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistis yang sering terjadi di rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida albicans (Neville dkk.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Parasetamol merupakan obat penurun panas dan pereda nyeri yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Metabolit Fenasetin ini diklaim sebagai zat antinyeri

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENANGANAN KASUS INFEKSI. Pendahuluan

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENANGANAN KASUS INFEKSI. Pendahuluan PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PENANGANAN KASUS INFEKSI Pendahuluan Terminologi Antibiotik Antiparasit Antijamur Antiprotozoa Antiseptik Antimikroba Aktivitas antibiotik Bakterisid Bakteriostatik Spektrum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menyebabkan infeksi karena jamur banyak ditemukan (Nasution, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menyebabkan infeksi karena jamur banyak ditemukan (Nasution, 2005). 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan daerah tropis dengan suhu dan kelembaban tinggi yang menyebabkan infeksi karena jamur banyak ditemukan (Nasution, 2005). Insiden penyakit infeksi

Lebih terperinci

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( )

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( ) DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI (12330713) PENDAHULUAN Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi, perkembangan di dunia farmasi pun tidak ketinggalan. Semakin hari semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat merupakan suatu bahan atau campuran bahan yang berfungsi untuk digunakan sebagai diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Bilirubin Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin

Lebih terperinci

FARMAKOKINETIK KLINIK ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA G I N A A R I F A H : : A S T I Y U N I A : : YUDA :: R I F N A

FARMAKOKINETIK KLINIK ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA G I N A A R I F A H : : A S T I Y U N I A : : YUDA :: R I F N A FARMAKOKINETIK KLINIK ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA G I N A A R I F A H : : A S T I Y U N I A : : YUDA :: R I F N A AMINOGLIKOSIDA Senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat

Lebih terperinci

MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pendahuluan Interaksi Obat : Hubungan/ikatan obat dengan senyawa/bahan lain Diantara berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dermatofita, non dermatofita atau yeast, 80-90% onikomikosis disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dermatofita, non dermatofita atau yeast, 80-90% onikomikosis disebabkan oleh BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Onikomikosis 2.1.1 Pendahuluan Onikomikosis adalah infeksi kuku yang disebabkan jamur golongan dermatofita, non dermatofita atau yeast, 80-90% onikomikosis disebabkan oleh dermatofita.

Lebih terperinci

PENGANTAR FARMAKOLOGI

PENGANTAR FARMAKOLOGI PENGANTAR FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI : PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - DIAGNOSIS - PENGOBATAN GEJALA PENYAKIT FARMAKOTERAPI : CABANG ILMU PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - PENGOBATAN FARMAKOLOGI KLINIK : CABANG

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian eksperimental quasi yang telah dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya pengaruh obat anti ansietas

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebersihan terutama pada kehidupan sehari hari. Dalam aktivitas yang relatif

BAB I PENDAHULUAN. kebersihan terutama pada kehidupan sehari hari. Dalam aktivitas yang relatif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Indonesia banyak masyarakat yang kurang memperhatikan pola kebersihan terutama pada kehidupan sehari hari. Dalam aktivitas yang relatif panjang, masyarakat kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA berpilin tunggal. HIV menginfeksi dan membunuh helper (CD4) T lymphocytes. Sel-sel lainnya yang mempunyai protein

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aspergillosis pulmonary infection merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh infeksi hifa jamur Aspergillus fumigatus. Infeksi dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa PENDAHULUAN Latar Belakang Industri perunggasan di Indonesia, terutama broiler saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa pemeliharaan broiler untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Leukemia atau lebih dikenal kanker darah atau sumsum tulang merupakan pertumbuhan sel-sel abnormal tidak terkontrol (sel neoplasma) yang berasal dari mutasi sel normal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah onikomikosis merupakan suatu istilah yang merujuk pada semua

BAB I PENDAHULUAN. Istilah onikomikosis merupakan suatu istilah yang merujuk pada semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Istilah onikomikosis merupakan suatu istilah yang merujuk pada semua kelompok infeksi jamur yang mengenai kuku, baik itu merupakan infeksi primer ataupun infeksi sekunder

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernafasan yang bersifat kronis dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna (2004),

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna (2004), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna (2004), insidensi penyakit jamur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh dermatofit, yaitu sekelompok infeksi jamur superfisial yang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh dermatofit, yaitu sekelompok infeksi jamur superfisial yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tinea atau dermatofitosis adalah nama sekelompok penyakit kulit yang disebabkan oleh dermatofit, yaitu sekelompok infeksi jamur superfisial yang tumbuh di lapisan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik usia muda maupun tua (Akphan dan Morgan, 2002). Kandidiasis oral

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik usia muda maupun tua (Akphan dan Morgan, 2002). Kandidiasis oral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kandidiasis oral merupakan infeksi jamur yang sering terjadi pada manusia baik usia muda maupun tua (Akphan dan Morgan, 2002). Kandidiasis oral disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam (makanan, dibuang melalui urin atau asam empedu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam (makanan, dibuang melalui urin atau asam empedu. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Drug Induced Liver Injury Tubuh manusia secara konstan dan terus menerus selalu menerima zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai dilakukan secara rutin dengan metode yang sistematis. Hal ini juga didukung oleh perkembangan yang

Lebih terperinci

Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif

Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif Sebelum PCT Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, orang dewasa Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif Dlm tubuh dimetabolisme menjadi PCT (zat aktif) + metaboliknya Yg sebenarnya antipiretik

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Bilirubin Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurun, maka sifat komensal candida ini dapat berubah menjadi. disebabkan oleh Candida albicans, sisanya disebabkan oleh Candida

BAB 1 PENDAHULUAN. menurun, maka sifat komensal candida ini dapat berubah menjadi. disebabkan oleh Candida albicans, sisanya disebabkan oleh Candida BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Candidiasis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh Candida sp. Candida adalah anggota flora normal yang hidup di dalam kulit, kuku, membran mukosa, saluran pencernaan,

Lebih terperinci

Obat Penyakit Diabetes Metformin Biguanide

Obat Penyakit Diabetes Metformin Biguanide Obat Penyakit Metformin Biguanide Obat Penyakit Metformin Biguanide. Obat diabetes ini bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin, baik pada jaringan hati maupun perifer. Peningkatan sensitivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) dapat diartikan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) dapat diartikan sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh

Lebih terperinci

AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL DAUN BENALU JAMBU AIR (Dendrophthoe falcata (L.f.) Ettingsh) TERHADAP Trichophyton rubrum DAN Candida albicans

AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL DAUN BENALU JAMBU AIR (Dendrophthoe falcata (L.f.) Ettingsh) TERHADAP Trichophyton rubrum DAN Candida albicans AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL DAUN BENALU JAMBU AIR (Dendrophthoe falcata (L.f.) Ettingsh) TERHADAP Trichophyton rubrum DAN Candida albicans SKRIPSI Oleh: LUSI ASTUTI NOVIA SARI K 100 060 037 FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Personal hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara

I. PENDAHULUAN. Personal hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Personal hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan personal hygiene diperlukan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit

Lebih terperinci

Penggunaan Obat pada Anak FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Penggunaan Obat pada Anak. Alfi Yasmina. Dosis: berdasarkan usia, BB, LPT

Penggunaan Obat pada Anak FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Penggunaan Obat pada Anak. Alfi Yasmina. Dosis: berdasarkan usia, BB, LPT FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS Alfi Yasmina Dipengaruhi oleh Fungsi biotransformasi hati Fungsi ekskresi ginjal Kapasitas pengikatan protein Sawar darah-otak, sawar kulit Sensitivitas reseptor obat

Lebih terperinci

Terms to know! Antiinfeksi dan Antiseptik. Prinsip umum terapi antiinfeksi. Kurva kadar obat dalam darah. Bakterisida atau bakteriostatik

Terms to know! Antiinfeksi dan Antiseptik. Prinsip umum terapi antiinfeksi. Kurva kadar obat dalam darah. Bakterisida atau bakteriostatik Terms to know! Antiinfeksi dan Antiseptik Yori Yuliandra, S.Farm, Apt Infeksi kontaminasi tubuh/ bagian tubuh oleh agen penginfeksi Agen penginfeksi jamur, bakteri, virus, protozoa Antiinfeksi obat untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di mana dalam pengobatannya membutuhkan

Lebih terperinci

ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA

ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA 1 AMINOGLIKOSIDA 2 AMINOGLIKOSIDA Mekanisme Kerja Ikatan bersifat ireversibel bakterisidal Aminoglikosida menghambat sintesi protein dengan cara: 1. berikatan dengan subunit 30s

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Interaksi Obat Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat

Lebih terperinci

MICROSPORUM GYPSEUM. Microsporum Scientific classification

MICROSPORUM GYPSEUM. Microsporum Scientific classification MICROSPORUM GYPSEUM Microsporum Scientific classification Kingdom: Fungi Division: Ascomycota Class: Eurotiomycetes Order: Onygenales Family: Arthrodermataceae Genus: Microsporum Spesies: Microsporum gypseum

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS Alfi Yasmina Penggunaan Obat pada Anak Dipengaruhi oleh Fungsi biotransformasi hati Fungsi ekskresi ginjal Kapasitas pengikatan protein Sawar darah-otak, sawar kulit

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Alfi Yasmina

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Alfi Yasmina FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS Alfi Yasmina Penggunaan Obat pada Anak Dipengaruhi oleh Fungsi biotransformasi hati Fungsi ekskresi ginjal Kapasitas pengikatan protein Sawar darah-otak, sawar kulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk sediaan yang sudah banyak dikenal masyarakat untuk pengobatan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hepatik merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif (Nurdjanah, 2009). Sirosis hepatik merupakan

Lebih terperinci

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 1 Rute pemberian obat Untuk memperoleh efek yang cepat obat biasanya diberikan secara

Lebih terperinci

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar.

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar. Kehadiran Candida sebagai anggota flora komensal mempersulit diskriminasi keadaan normal dari infeksi. Sangat penting bahwa kedua temuan klinis dan laboratorium Data (Tabel 3) yang seimbang untuk sampai

Lebih terperinci

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu : Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nekrosis merupakan proses degenerasi yang menyebabkan kerusakan sel yang terjadi setelah suplai darah hilang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan

Lebih terperinci

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR AKADEMI FARMASI TADULAKO FARMA PALU 2015 SEMESTER II Khusnul Diana, S.Far., M.Sc., Apt. Obat Farmakodinamis : bekerja terhadap fungsi organ dengan jalan mempercepat/memperlambat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Interaksi obat dianggap penting karena dapat menguntungkan dan merugikan. Salah satu dari interaksi obat adalah interaksi obat itu sendiri dengan makanan. Interaksi

Lebih terperinci

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Al Syahril Samsi, S.Farm., M.Si., Apt 1 Faktor yang Mempengaruhi Liberation (Pelepasan), disolution (Pelarutan) dan absorbtion(absorbsi/difusi)lda

Lebih terperinci

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit BAB 1 PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir, bentuk sediaan transdermal telah diperkenalkan untuk menyediakan pengiriman obat yang dikontrol melalui kulit ke dalam sirkulasi sistemik (Tymes et al., 1990).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini di dunia kafein banyak dikonsumsi dalam berbagai bentuk yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein terdapat dalam berbagai

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi dr H M Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi Keperawatan

Pengantar Farmakologi Keperawatan Pengantar Farmakologi Keperawatan dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok. Pada kelompok pertama adalah kelompok pasien yang melakukan Hemodialisa 2 kali/minggu,

Lebih terperinci

TINEA KAPITIS, apa tuh??

TINEA KAPITIS, apa tuh?? TINEA KAPITIS, apa tuh?? Trichophyton tonsurans Taksonomi Trichophyton tonsurans: Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Kelas : Euscomycetes Ordo : Onygenales Famili : Arthrodermataceae Genus : Trichophyton

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak.

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. BAB 1 PENDAHULUAN Di era globalisasi saat ini, rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab salah satu gangguan aktivitas sehari-hari seseorang. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus merupakan suatu sindrom terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan

Lebih terperinci

PENGANTAR TOKSIKOLOGI INDUSTRI Pengertian Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh merugikan suatu zat/bahan kimia pada organisme hidup atau ilmu tentang racun. Bahan toksik atau racun adalah

Lebih terperinci

Keadaan immunocompromised yaitu gangguan

Keadaan immunocompromised yaitu gangguan Sari Pediatri, Sari Vol. Pediatri, 3, No. Vol. 4, Maret 3, No. 2002: 4, Maret 244-2002 248 Infeksi Jamur Sistemik pada Pasien Immunocompromised Djajadiman Gatot Dalam keadaan normal relatif sedikit spesies

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saliva adalah cairan kompleks yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem di dalam rongga

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID Definisi: Typhoid fever ( Demam Tifoid ) adalah suatu penyakit umum yang menimbulkan gejala gejala sistemik berupa kenaikan suhu dan kemungkinan penurunan kesadaran. Etiologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cara menimbang bahan yang akan diekstraksi lalu mencampur bahan dengan air

BAB 1 PENDAHULUAN. cara menimbang bahan yang akan diekstraksi lalu mencampur bahan dengan air BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dekokta merupakan metode untuk mengambil zat aktif tanaman dengan cara menimbang bahan yang akan diekstraksi lalu mencampur bahan dengan air kemudian dipanaskan selama

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI TUBERCULOSIS (TBC) Bagian Farmakologi Fak Kedokteran UNLAM

FARMAKOTERAPI TUBERCULOSIS (TBC) Bagian Farmakologi Fak Kedokteran UNLAM FARMAKOTERAPI TUBERCULOSIS (TBC) H. M. Bakhriansyah,, dr., M.Kes Bagian Farmakologi Fak Kedokteran UNLAM TUBERCULOSIS 1 st line drugs rifampin (R), isoniazid (H) dan pirazinamid (Z). Obat first line supplemental:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

FARMASI USD Mei 2008. Oleh : Yoga Wirantara (078114021) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

FARMASI USD Mei 2008. Oleh : Yoga Wirantara (078114021) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Oleh : Yoga Wirantara (078114021) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Abstrak, Di lingkungan tempat tinggal kita banyak sekali terdapat berbagai macam jenis jamur. Jamur merupakan salah satu organisme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plumbum adalah salah satu logam berat yang bersifat toksik dan paling banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non essential trace element

Lebih terperinci

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK BAB 1 PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyakit yang berpotensi fatal dan dapat menyebabkan pasien mengalami penurunan kualitas hidup baik kecacatan maupun kematian. Pada penyakit ginjal

Lebih terperinci

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan BAB 1 PENDAHULUAN Sediaan Tablet merupakan suatu bentuk sediaan solid mengandung bahan obat (zat aktif) dengan atau tanpa bahan pengisi (Departemen Kesehatan RI, 1995). Tablet terdapat dalam berbagai ragam,

Lebih terperinci

Aplikasi Farmakokinetika Klinis Tidak diragukan lagi bahwa salah satu kunci keberhasilan terapi dengan menggunakan obat adalah ditentukan dari

Aplikasi Farmakokinetika Klinis Tidak diragukan lagi bahwa salah satu kunci keberhasilan terapi dengan menggunakan obat adalah ditentukan dari Aplikasi Farmakokinetika Klinis Tidak diragukan lagi bahwa salah satu kunci keberhasilan terapi dengan menggunakan obat adalah ditentukan dari ketepatan rancangan aturan dosis yang diberikan. Rancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang Permasalahan. Infeksi jamur patogen masih menjadi permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang Permasalahan. Infeksi jamur patogen masih menjadi permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Permasalahan Infeksi jamur patogen masih menjadi permasalahan dalam dunia medis hingga saat ini. Jamur patogen yang umum menginfeksi manusia adalah strain Candida

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus merupakan penyakit kronis pada homeostasis glukosa yang ditandai dengan beberapa hal yaitu, meningkatnya kadar gula darah, kelainan kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Superficial mycoses merupakan hal yang lazim terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan pernyataan para ilmuan St. John's Institute of Dermatology London, memperkirakan

Lebih terperinci

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : infeksi jamur subkutan adalah infeksi jamur yang secara langsung masuk ke dalam dermis atau jaringan subkutan melalui suatu trauma.

Lebih terperinci

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt KEGUNAAN FARMAKOKINETIKA 1. Bidang farmakologi Farmakokinetika dapat menerangkan mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh, khususnya

Lebih terperinci