DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU. The Impact of Fiscal Policy on Performance of Agriculture in Riau Province

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU. The Impact of Fiscal Policy on Performance of Agriculture in Riau Province"

Transkripsi

1 Jurnal Dinamika Pertanian Volume XXX Nomor 3 Desember 2015 ( ) ISSN DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU The Impact of Fiscal Policy on Performance of Agriculture in Riau Province Dinda Julia, Alla Asmara dan Heriyanto Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Jl. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor, [Diterima: Agustus 2015, Disetujui: November 2015] ABSTRACT Growth in the agricultural sector in Riau Province slowed from year to year so it needs the appropriate fiscal mechanisms. This research aims to analyze the factors affecting fiscal revenues and expenditures in the agricultural sector in the province of Riau, analyzing the impact of changes in fiscal revenues and expenditures on the performance of the agricultural sector in the province of Riau, and formulate appropriate fiscal policy conducted in the province of Riau. Econometric analysis carried out by the simultaneous equation estimation methods Two Stage Least Squares (2SLS). The results showed that (1) factors affecting fiscal revenues and expenditures is the GDP, revenue, expenditure economic sectors, the total reception area, population, population density, and the rest of the budget of the previous year with a positive impact, as well as the total regional spending and DAU with negative effects, (2) Changes in fiscal policy positive impact on the agricultural sector, especially food crops, (3) fiscal policy is appropriate to increase the performance of the agricultural sector Riau Province is the increase in spending agricultural sector 10% to the GDP agriculture increased 0.67% and agriculture increased labor absorption 0.16%. Keywords: Fiscal policy, Agricultural performance, Simultaneous equation ABSTRAK Pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi Riau mengalami perlambatan dari tahun ke tahun sehingga perlu adanya mekanisme fiskal yang tepat. Tujuan penelitian adalah menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran fiskal pada sektor pertanian di Provinsi Riau, menganalisis dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran fiskal terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau, serta merumuskan kebijakan fiskal yang tepat dilakukan di Provinsi Riau. Analisis ekonometrika dilakukan dengan persamaan simultan dengan metode pendugaan Two Stage Least Squares (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran fiskal adalah PDRB, PAD, pengeluaran sektor ekonomi, total penerimaan daerah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan sisa anggaran tahun sebelumnya dengan pengaruh yang positif, serta total pengeluaran daerah dan DAU dengan pengaruh negatif, (2) Perubahan kebijakan fiskal berdampak positif terhadap kinerja sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan, (3) Kebijakan fiskal yang tepat dilakukan untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian Provinsi Riau adalah peningkatan pengeluaran sektor pertanian 10% sehingga PDRB sektor pertanian meningkat 0.67% dan penyerapan tenagakerja sektor pertanian meningkat 0.16%. Kata Kunci: Kebijakan fiskal, Kinerja sektor pertanian, Persamaan simultan PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan peran sektor pertanian dalam meningkatkan produk domestik bruto maupun perolehan devisa negara, selain karena sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Pemba-ngunan pertanian yang dilakukan oleh peme-rintah bertujuan untuk meningkatkan partum-buhan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan, membuka peluang dan kesempatan kerja bagi masyarakat, serta memenuhi kebu-tuhan dasar masyarakat. Menurut Musgrave (1989), dalam perekonomian, pemerintah memiliki peranan yang 233

2 Dinamika Pertanian Desember 2015 meliputi peran alokasi, peran distribusi, dan peran stabilisasi. Oleh sebab itu, menurut Dirgantoro (2010), pemerintah memiliki wewenang dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah dapat mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya, distribusi faktor input dan hasil-hasil pembangunan serta mengatur stabilitas ekonomi. Pada tahap awal pembangunan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi diperlukan intervensi pemerintah. Intervensi tersebut dilakukan dalam bentuk pengeluaran pemerintah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. Perkembangan beberapa tahun belakangan ini menunjukkan masyarakat mengharapkan agar potensi yang dimiliki daerah dapat dimanfaatkan secara maksimal. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1999, tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 Tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daerah diberikan wewenang dalam penyelenggaran pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah dan dituntut kemandiriannya dalam melaksanakan pembangunan. Pada tahun 2001, pola pembangunan dengan menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal mulai diberlakukan. Dengan adanya kebijakan ini, Pemerintah Daerah mendapatkan keleluasaan untuk menyusun secara mandiri program-program dan melakukan realokasi dana anggaran sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan kapasitas daerah masing-masing. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi daerah serta mengatasi permasalahan equity agar tercipta pemerataan dalam rangka mengurangi kesenjangan antar daerah. Bagi pemerintahan, desentralisasi fiskal yang berhasil akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Menurut Saefudin (2005), respon pemerintah dalam menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal yaitu: (1) fokus pada usaha memperbesar penerimaan (revenue) melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah, serta memanfaatkan sumberdaya yang masih belum dimanfaatkan secara optimal dengan berbagai cara, salah satunya bagi hasil, dan (2) lebih berorientasi pada peningkatan efektivitas pengeluaran (expenditure) dalam rangka menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik dan menguntungkan bagi daerahnya. PDRB Provinsi Riau dari tahun 2009 sampai 2013 terus meningkat. Dimana sektor pertanian merupakan sektor andalan yang berkontribusi besar kedua bagi PDRB setelah pertambangan. Namun kinerja sektor pertanian diketahui mengalami perlambatan. Berdasarkan data Bank Indonesia (2013), diketahui partumbuhan sektor pertanian pada tahun 2011 sebesar 4,3 persen kemudian menurun signifikan pada tahun 2012 menjadi sebesar 2,60 persen dan meningkat pada tahun 2013 menjadi sebesar 4,48 persen. Pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2012 merupakan pertumbuhan terendah selama lima tahun terakhir. Adanya perlambatan pertumbuhan sektor pertanian seiring dengan perlambatan partumbuhan pada seluruh subsektornya yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Tabel 1. Pertumbuhan Sektor Pertanian Provinsi Riau, Tahun (%) Lapangan Usaha Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Sumber: BPS Provinsi Riau (2014) Nasional Provinsi Riau Gambar 1. Rasio Fiskal terhadap Total Pendapatan Daerah Provinsi Riau (Kementerian Keuangan, 2012) Tanaman pangan mengalami perlamba-tan pertumbuhan sampai tahun 2013 dengan angka terendah yaitu sebesar 1,21 persen pada tahun 234

3 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau 2012 dan 0,49 persen pada tahun 2013 (Bank Indonesia, 2013). Gambar 1 memperlihatkan rasio fiskal terhadap total pendapatan daerah dimana rasio ini mengukur tingkat kemampuan daerah dalam mendanai program prioritas daerah tersebut. Tren rasio ruang fiskal per total pendapatan daerah Riau memiliki kecenderungan menurun pada tahun 2007 sampai dengan tahun Kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 sampai dengan tahun Sedangkan rasio ruang fiskal terhadap total pendapatan daerah secara nasional memiliki tren yang menurun dari tahun 2007 hingga Namun demikian, rasio ruang fiskal per total pendapatan daerah Provinsi Riau lebih tinggi dibandingkan dengan rasio secara nasional (Kementerian Keuangan, 2012). Hal ini memperlihatkan bahwa kemampuan Provinsi Riau telah cukup baik dalam hal kemandirian dan kemampuan daerahnya dalam membiayai berbagai program prioritas daerah seperti yang terdapat dalam misi pembangunan jangka menengah Provinsi Riau , diantaranya memperkuat keseimbangan antar wilayah sebagai kelanjutan dari pembangunan infrastruktur daerah, meningkatkan penanaman modal untuk mendukung lajunya pertumbuhan perekonomian, dan meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan. Perubahan kondisi fiskal yang mengalami penurunan seiring dengan adanya perlambatan pertumbuhan sektor pertanian diduga dikarenakan kebijakan fiskal yang berlaku di Provinsi Riau menyebabkan terjadinya penurunan kinerja sektor pertanian. Oleh sebab itu, kebijakan alokasi anggaran yang dialirkan untuk sektor pertanian merupakan hal penting yang perlu diperhatikan agar tepat sasaran dan mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian di provinsi Riau. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran fiskal di Provinsi Riau; (2) menganalisis dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran fiskal Pemerintah Daerah terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau (3) merumuskan kebijakan fiskal yang tepat dilakukan untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau. Penelitian sebelumnya tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal daerah dan ketahanan pangan di Provinsi Jawa Barat dilakukan oleh Wiwiek Rindayati tahun 2007, menggunakan data panel tahun dengan analisis deskriptif dan simultan, metode 2SLS. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pendapatan sektor pertanian signifikan dipengaruhi positif oleh produksi gabah, tenaga kerja sektor pertanian, lag pendapatan sektor pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga kerja sektor pertanian adalah angkatan kerja dan upah sektor pertanian. Angkatan kerja yang meningkat diikuti oleh penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang semakin besar, sedangkan upah merupakan insentif bagi tenaga kerja sehingga semakin besar tingkat upah maka akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang terlibat pada sektor pertanian. Apabila pengeluaran sektor per-tanian ditingkatkan maka akan terjadi peningkatan PDRB sektor pertanian maupun non pertanian, dan selanjutnya peningkatan tersebut juga meningkatkan pendapatan per kapita. Peningkatan pengeluaran sektor pertain-an berdampak pada peningkatan kinerja perekonomian daerah, peningkatan kinerja ketahanan pangan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kinerja fiskal daerah. Peningkatan upah sektor pertnaian berdampak pada penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Selain itu, Darsono et al pada tahun 2008 melakukan penelitian tentang Analisis Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan Agroindustri di Indonesia, dimana penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji kinerja sektor pertanian dan agroindustri, mengkaji hubungan kebijakan fiskal dengan kinerja sektor pertanian dan kinerja agroindustri, mengkaji instrument kebijakan fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan kinerja agroindustri, serta mengkaji keterkaitan antara kinerja sektor pertanian dengan kinerja agroindustri pada kondisi fiskal di Indonesia. Dengan menggunakan data sekun-der time series ( ) dan variabel yang meliputi kebijakan fiskal, variabel inves-tasi, variabel konsumsi, variabel kinerja sektor pertanian, dan variabel kinerja agroindustry, digunakan pendekatan model Vector Auto Regresive (VAR) untuk menjawab tujuan yang kedua setelah tujuan pertama dianalisis dengan nilai-nilai rasio konvensional. Tujuan ketiga dan keempat dianalisis dengan menggunakan metode IRF dan FEVD. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja sektor pertanian menurun mulai pertengahan periode 235

4 Dinamika Pertanian Desember an sampai tahun 2005 untuk semua aspek dalam perekonomian dimana kesejahteraan petani tertekan oleh over value nilai tukar rupiah, selain itu kinerja agroindustri terutama daya saingnya juga mengalami penurunan pada periode 1990-an. Terkait dengan agroindustri kebijakan fiskal dalam jangka panjang yang paling kuat mempengaruhi kinerja sektor pertanian dan agroindustri adalah anggaran sektor pertanian, penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur pertain-an dan desentralisasi fiskal meskipun respon kinerja sektor pertanian dan agroindustri atas shock instrument kebijakan fiskal untuk menca-pai keseimbangan relative lama, masing-masing 9 dan 8 tahun. Instrumen kebijakan fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja sektor pertanian adalah anggaran pajak pertambahan nilai, anggaran penelitian dan pengembangan pertanian, anggaran infrastruktur, subsidi pertanaian, dan desentralisasi fiskal. Sementara untuk agroindustri adalah pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, anggaran infrastruktur pertanian, dan desentralisasi fiskal. Keterkaitan antara sektor pertanian dengan agroindustri adalah adanya peran sektor pertanian dalam mem-pengaruhi variabilitas kinerja agroindustri me-lalui PDB pertanian, ekspor produk pertanian, dan impor produk pertanian. Studi yang dilakukan oleh Akai dan Sakata (2002) di Amerika Serikat memper-lihatkan bukti baru bahwa desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan data cross section dan time series (panel data) maka terdapat 50 observasi (rata-rata tahun untuk time series dan 50 negara bagian di Amerika Serikat). Penelitian empiris tersebut memperlihatkan desentralisasi fiskal memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tidak seperti paper sebelum-nya, paper ini menemukan bahwa desentralisasi fiskal memainkan peranan utama dalam per-tumbuhan ekonomi. Namun penelitian ini juga mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi selain desentralisasi fiskal. Saefudin (2005) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan kelembagaan di Provinsi Riau. Alat analisis yang digunakan adalah ekonometrika terdiri dari 3 blok, yaitu blok penerimaan fiskal daerah, blok pengeluaran fiskal daerah, blok makroekonomi daerah, dengan menggunakan pool data 5 kabupaten dan kota di Provinsi Riau pada tahun Hasil penelitian menunjukkan bahwa evaluasi pelaksanaan sebelum dan sesuadah desentralisasi fiskal dan kinerja fiskal daerah pada sisi penerimaan diketahui terjadi peningkatan dimana transfer dari pemerintah pusat memberi kontribusi besar, tetapi pada sisi pengeluaran menunjukkan alokasi pengeluaran rutin meningkat lebih tinggi daripada alokasi pengeluaran pembangunan. Penurunan alokasi pengeluaran pembangunan ditunjukkan oleh penurunan alokasi pengeluaran untuk sektor-sektor pembangunan khususnya sektor pertanian dan pelayanan fiskal umum. Kebijakan kenaikan dana alokasi umum dan bagi hasil bukan pajak dan realokasi pengeluaran rutin dan pembangunan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, penurunan kesenjangan antar daerah. Secara umum, eksekutif sebagai pelaksana kebijakan desentralisasi fiskal dan legislatif sebagai fungsi anggaran dan kontrol pemerintah daerah belum dapat menjalankan ketentuan Undang-Undang No.25 Tahun 1999 dengan baik. Secara administrasi dan ekonomi, pemerintah daerah belum mampu memberikan layanan publik dengan baik terbukti dengan belum adanya perubahan mendasar terhadap layanan publik, begitu juga pada kinerja administrasi, pengelolaan pembangunan dan kelembagaan daerah. Dirgantoro (2010) melakukan penelitian mengenai dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap transformasi struktur tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat menggunakan data sekunder tahun dengan metode pendugaan 2SLS. Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan pembahasan, diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat mengalami trans-formasi struktur tenaga kerja selama berlang-sungnya proses pembangunan. Kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian menurun, kontribusi tenaga kerja sektor agroindustri meningkat, dan kontribusi sektor lainnya meningkat. Selama berlangsungnya transfor-masi struktur tenaga kerja, sektor pertanian tidak berkaitan erat dengan sektor agroindustri, tetapi berkaitan erat sektor lainnya. Penurunan kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian tidak secara otomatis diikuti oleh peningkatan kontribusi tenaga kerja disektor agroindustri, tetapi diserap di sektor lainnya, seperti sektor informal. Peningkatan pengeluaran untuk belanja pegawai dan 236

5 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau penerimaan daerah dari DAU berdampak positif baik terhadap tenaga kerja sektor pertanian, total tenaga kerja, dan kontribusi tenaga kerja sektor pertanian meningkat. Peningkatan pengeluaran untuk sektor pertanian berdampak positif terhadap tenaga kerja pertanian dan terjadi peningkatan kontribusi tenaga kerja sektor pertanian, tetapi berdampak negatif terhadap total tenaga kerja. Peningkatan pengeluaran untuk infrastruktur berdampak positif terhadap tenaga kerja total, tetapi berdampak negatif pada tenaga kerja sektor pertanian dan kontribusi tenaga kerja sektor pertanian menjadi menurun, yang berarti terjadi transformasi di sektor pertanian. Penelitian dilakukan oleh Yao-sen tentang Perubahan Fiskal Sektor Pertanian-Pengeluaran Pendukung dan Pendapatan Petani Berdasarkan Teori Grey Correlation menggunakan data tahun Hasil penelitian diantaranya menunjukkan bahwa pengaruh pengeluaran pendukung produksi pertanian terhadap pendapatan petani menunjukkan trend yang menurun, pengaruh peningkatan pendapatan petani menunjukkan kepercayaan dan peningkatan pengetahuan dan penggunaan teknologi. Penelitian Wen-yan (2010) tentang dampak pengeluaran fiskal di China terhadap Pertanian dilihat dari pendapatan petani menunjukkan hasil bahwa peningkatan anggaran untuk ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak paling besar terhadap peningkatan pendapatan petani. Hal ini sesuai dengan penelitian Yao-sen yang juga dilakukan di China. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data series agregat Provinsi Riau tahun Sumber data diperolah dari BPS Nasional, BPS Provinsi Riau, Departemen Keuangan. Data yang dimasukkan dalam penelitian adalah pajak daerah (TAXD), retribusi daerah (RETRD), DAU, DAK, PAD, total penerimaan daerah (TPED), investasi sektor pertanian (INVSP), upah sektor pertanian (UPSP), dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian (PTKSP). Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan ekonometrika dengan sistem persamaan simultan dan metode estimasi Two Stage Least Squares (2SLS). Pengolahan data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2013 dan SAS Portable. Model dibentuk berdasarkan studi literatur yang diantaranya diacu dari Akai and Sakata (2002), Asnawi (2005), Saefudin (2005), Situmorang (2009), Salois (2010), Dirgantoro (2010), Sumedi (2013), Budiyanto (2014) dan Lisna (2014). Model dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) blok yaitu blok penerimaan fiskal daerah, pengeluaran fiskal daerah, dan kinerja sektor pertanian. Blok Penerimaan Fiskal 1. TAXD = a 0 + a 1*PDRB + a 2*TEXP + a 3*KPDK + a 4*LTAXD + u 1. (1) 2. RETRD = b 0 + b 1*INFL + b 2*PDRB + b 3 *DRETRD + u 2... (2) 3. PAD = TAXD + RETRD + LABUD..(3) 4. DAU = c 0 + c 1*PDRB + c 2*TEXP + c 3*AKED + c 4*LDAU + u (4) 5. BHTAXD = d 0 + d 1*PAD + d 2*PESE + d 3 *LBHTAX + u (5) 6. TPED = PAD + DAU + DAK + BHTAXD + BHPESDA + PELA + SAPBDTS..... (6) Blok Pengeluaran Fiskal 7. PERGA = e 0 + e 1*PAD + e 2*DAU + e 3*DAK + e 4*JPGO + e 5*LPERGA u 5.. (7) 8. PERNGA = f 0 + f 1*PAD + f 2*SAPBDTS + f 3*POP + u 6.. (8) 9. PERDA=PERGA + PERNGA (9) 10. PESPER = g 0 + g 1*TPED + g 2*PTKSP + g 3 *LPESPER + u (10) 11. PESNPER = h 0 + h 1*TPED + h 2*PTKSNP + h 3 *LPESNPER + u 8. (11) 12. PEINF = i 0 + i 1*TPED + i 2*PDRB + i 3*KPDK + u (12) 13. PESE = PESPER + PESNPER + PEINF... (13) 14. TEXP = PERDA + PESE + PEINF. (14) Blok Kinerja Sektor Pertanian 15. PDRBSTP = l 0 + l 1*TEXP+ l 2*PTKSTP + l3*lpdrbstp + u (15) 16. PDRBSPK = m 0 + m 1 *INVSPK + m2ptkspk + m3*lpdrbspk + u 13.. (16) 237

6 Dinamika Pertanian Desember PDRBSPT = n 0 + n 1*INVSPT + n2*ptkspt + n 3*LPDRBSPT + u 14.. (17) 18. PDRBSIK = o 0 + o 1*TEXP + o 2*PTKSIK + o3*pesper + o4*lpdrbsik + u 15.. (18) 19. PDRBSKH = p 0 + p 1*INVSKH + p 2*PTKSKH + p3*pesper + u (19) 20. PDRBSP = PDRBSTP + PDRBSPK + PDRBSPT + PDRBSIK + PDRBSK... (20) 21. PTKSTP = u 0 + u 1*UPSTP + u 2*PRSTP + u3*pdrbstp + u4*texp + u (21) 22. PTKSPK = v 0 + v 1*UPSPK + v 2*PRSPK + v3*pdrbspk + v4*texp + u (22) 23. PTKSPT = w 0 + w 1*UPSPT + w 2*PRSPT + w3*pdrbspt + w4*texp + u (23) 24. PTKSIK = x 0 + x 1*UPSIK + x 2*PRSIK + x3*pdrbsik + x4*texp + u (24) 25. PTKSKH=y 0 + y 1*UPSKH + y 2*PRSKH + y3*pdrbskh + y4*texp + u (25) 26. PTKSP = PTKSTP + PTKSPK + PTKSPT + PTKSIK + PTKSKH... (26) Keterangan: TAXD = Pajak Daerah (Rp RETRD = Retribusi Daerah (Rp PAD = Pendapatan Asli Daerah (Rp DAU = Dana Alokasi Umum (Rp DAK = Dana Alokasi Khusus (Rp BHTAXD = BHPESDA = Bagi Hasil Pajak (Rp ; Bagi Hasil Sumber Daya Alam (Rp TPED = Total Penerimaan Daerah (Rp PERGA = Pengeluaran Rutin Gaji (Rp PERNGA = Pengeluaran Rutin Non Gaji (Rp PERDA = Pengeluaran Rutin Daerah (Rp PESPER = Pengeluaran Sektor Pertanian (Rp PESNPER = Pengeluaran Sektor Non Pertanian (Rp PEINF = Pengeluaran Infrastruktur (Rp PESE = Pengeluaran Sektor Ekonomi (Rp TEXP = Total Pengeluaran Daerah (Rp PDRBSP = PDRB Subsektor Pertanian (Rp PDRBSTP = PDRB Subsektor Tanaman Pangan (Rp PDRBSPK = PDRB Subsektor Perkebunan (Rp PDRBSPT = PDRB Subsektor Peternakan (Rp PDRBSKH = PDRB Subsektor Kehutanan (Rp PDRBSIK = PDRB Subsektor Perikanan (Rp PTKSP = Penyerapan Tenaga kerja Sektor Pertanian (orang) PTKSTP = Penyerapan Tenaga kerja Subsektor Tanaman Pangan (orang) PTKSPK = Penyerapan Tenaga kerja Subsektor Perkebunan (orang) PTKSPT = Penyerapan Tenaga kerja Subsektor Peternakan (orang) PTKSKH = Penyerapan Tenaga kerja Subsektor Kehutanan (orang) PTKSIK = Penyerapan Tenaga kerja Subsektor Perikanan (orang) LABUD = Laba Badan Usaha Milik Daerah (Rp PDRB = Produk Domestik Regional Bruto (Rp JPGO = Jumlah Pegawai Negeri Otonom (orang) PTKSNP = Penyerapan Tengaakerja Sektor Non Pertanian (orang) LWIL = Luas Wilayah (km) KPDK = Kepadatan Penduduk (jiwa/km) POP = Jumlah Penduduk (jiwa) SBI = Suku Bunga (persen per tahun) INFL = Inflasi (persen per tahun) UPSP = Upah Sektor Pertanian (Rp UPSTP = Upah Subsektor Tanaman Pangan (Rp UPSPK = Upah Subsektor Perkebunan (Rp UPSPT = Upah Subsektor Peternakan (Rp UPSKH = Upah Subsektor Kehutanan (Rp UPSIK = Upah Subsektor Perikanan (Rp PRSP = Produksi Pertanian (Rp PRSTP = Produksi Subsektor Tanaman Pangan (Rp PRSPK = Produksi Subsektor Perkebun-an (Rp PRSPT = Produksi Subsektor Peternakan (Rp 238

7 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau PRSKH = Produksi Subsektor Kehutanan (Rp PRSIK = Produksi Subsektor Perikanan (Rp u = Komponen error. Identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1982, hal 358), hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Syarat kecukupan dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Tahapan identifikasi model meliputi 26 persamaan (G) yang terdiri dari 66 variabel atau peubah (K) serta 8 variabel dalam suatu persamaan (M) sehingga K M = 58 dan G 1 = 25, maka (K M) > (G 1). Oleh sebab itu berdasarkan kriteria order condition maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (over identified) sehingga dapat diduga parameter-parameternya. Selanjutnya dilakukan tahap validasi model yang bertujuan untuk mengevaluasi apakah nilai estimasi sesuai dengan nilai aktual masing-masing variabel endogen (Pindyck dan Rubinfield, 1991). Apabila model sudah valid maka dapat dilanjutkan ke tahap simulasi kebijakan. Analisis simulasi dampak kebijakan dilakukan pada periode historis tahun Simulasi 1 adalah peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) 5%, simulasi 2 adalah peningkatan Bagi Hasil Pajak Daerah (BHTAXD) 5%, simulasi 3 adalah peningkatan pengeluaran sektor pertanian (PESPER) 10% dan simulasi 4 adalah kombinasi kebijakan peningkatan PESPER 10% dan pengeluaran infrastruktur (PEINF) 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil estimasi model ekonometrika dibagi menjadi 3 (tiga) blok yaitu blok penerimaan fiskal, blok pengeluaran fiskal, dan blok kinerja sektor pertanian Provinsi Riau. Keragaan secara umum hasil estimasi dalam 3 blok tersebut menunjukkan hasil yang baik. Variabel eksogen dalam persamaan memiliki tanda yang sesuai dengan harapan berdasarkan teori ekonomi. Berdasarkan kriteria statistika lebih dari 70% persamaan dalam model memiliki nilai R 2 diatas 0,90. Nilai DW berada diantara 0,9 2,4 dan taraf nyata variabel eksogen adalah α < 25%. Secara umum hasil analisis menunjukkan variabel eksogen dan predetermined memiliki hasil yang sesuai dengan fakta dilapangan dan logis. Hasil statistik t menunjukkan terdapat variabel predetermined yang tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata 25%. Namun hasil estimasi tetap representatif dalam menunjukkan kinerja sektor pertanian sebagai dampak kebijakan fiskal di Provinsi Riau. Tanda dan besaran parameter estimasi secara teoritis dan logis telah cukup sesuai dan memperkuat untuk analisis selanjutnya. Model fiskal Provinsi Riau telah melalui tahap validasi dengan rentang waktu selama 8 tahun, yakni tahun secara agregat Provinsi Riau. Indikator validasi statistik yang digunakan adalah RMSPE (Root Means Squares Percent Error) dan nilai U Theil s (Theil s Inequality Coefficient). Secara keseluruhan hasil validasi cukup baik sehingga model dapat digunakan untuk simulasi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Fiskal Daerah Blok penerimaan fiskal daerah Provinsi Riau ditunjukkan oleh pajak daerah (TAXD), retribusi daerah (RETRD), Dana Alokasi Umum (DAU), dana bagi hasil pajak daerah (BHTAXD). Hasil estimasi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa Pajak daerah (TAXD) dipengaruhi oleh variabel PDRB, total pengeluaran daerah (TEXP), kepadatan penduduk (KPDK), dan pajak daerah tahun sebelumnya (LTAXD). Pada Tabel 2, variabel yang secara signifikan berpengaruh nyata dan bernilai positif adalah PDRB, sedangkan variabel lainnya tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Selanjutnya, pada retribusi daerah (RETRD), variabel penjelas memberikan pengaruh positif dan signifikan adalah PDRB dan delta retribusi daerah (DRETRD). Variabel penjelas lainnya yaitu inflasi (INFL) memberikan pengaruh positif namun tidak signifikan. Semakin besar PDRB Provinsi Riau menyebabkan peningkatan restribusi daerah dengan respon jangka pendek yang tidak elastis. Hal ini dikarenakan peme- 239

8 Dinamika Pertanian Desember 2015 Tabel 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Fiskal Provinsi Riau Pajak Daerah Parm Prob> Elastisitas Peubah Intercept PDRB * TEXP KPDK LTAXD R 2 = DW=1.67 α=1% Retribusi Daerah Parm Prob> Elastisitas Peubah Intercept INFL PDRB * DRETRD * R 2 = DW=0.91 α=1% Dana Alokasi Umum Peubah Parm Prob> Elastisitas Intercept PDRB * LWIL POP TEXP * R 2 = DW=2.01 α*=1% Bagi Hasil Pajak Daerah Peubah Parm Prob> Elastisitas Intercept PAD * PESE ** LBHTAXD R 2 = DW=1.94 α*=5% α**=25% rintah daerah berusaha meningkatkan penerimaan fiskal daerah melalui mekanisme retribusi. Sementara inflasi memberikan pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap meningkatnya retribusi daerah. Selanjutya, pada estimasi DAU, total pengeluaran pemerintah (TEXP) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perubahan DAU dengan respon yang elastis dalam jangka pendek, artinya semakin besar pengeluaran pemerintah maka alokasi DAU untuk Provinsi Riau semakin kecil. Sementara PDRB memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap DAU. Hal ini berarti semakin besar PDRB menyebabkan alokasi dana pemerintah pusat untuk pemerintah daerah Provinsi Riau melalui DAU semakin besar. Variabel penjelas yang secara langsung mempengaruhi bagi hasil pajak daerah (BHTAXD) adalah pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pengeluaran sektor ekonomi (PESE). Hasil estimasi pada Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir seluruh penerimaan daerah yang terdiri dari pajak, retribusi, DAU dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh PDRB. Kenaikan pajak dan retribusi merupakan cara pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas penerimaan fiskal daerahnya. Pada variabel bagi hasil pajak daerah, PAD dan pengeluaran sektor ekonomi berpengaruh secara positif dan signifikan. Artinya, dengan adanya peningkatan 240

9 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau pada PAD dan pengeluaran sektor ekonomi maka akan meningkatkan dana bagi hasil pajak daerah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wahyuni (2009) yang menyatakan bahwa volume perolehan pajak di daerah berkaitan erat dengan tingkat pendapatan sehingga daerah dengan tingkat pendapatan tinggi akan mem-peroleh dana bagi hasil pajak yang lebih tinggi pula. Penerimaan daerah yang berasal dari DAU akan menurun jika total pengeluaran dae-rah meningkat karena semakin tinggi penda-patan suatu daerah maka kegiatan perekono-mian semakin baik ditandai dengan mening-katnya pengeluaran daerah sehingga daerah tersebut semakin mandiri dalam mencukupi kebutuhan fiskalnya. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Fiskal Daerah Blok pengeluaran fiskal daerah Provinsi Riau ditunjukkan oleh pengeluaran rutin gaji (PERGA), pengeluaran rutin non gaji (PERNGA), pengeluaran sektor pertanian (PESPER), pengeluaran sektor non pertanian (PESNPER), dan pengeluaran infrastruktur (PEINF). Pada pengeluaran rutin gaji (PERGA), variabel yang berpengaruh positif dan signifikan adalah pendapatan asli daerah (PAD) dan pengeluaran rutin gaji tahun sebelumnya (LPERGA). Dana alokasi umum (DAU) memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap pengeluaran rutin gaji. Sedangkan variabel jumlah pegawai otonom (JPGO) memberikan pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap pengeluaran rutin gaji. Semakin besar PAD maka pemerintah daerah berusaha untuk meningkatkan mekanisme fiskal daerah melalui pengeluaran rutin terutama pengeluaran gaji (PERGA). Hal ini mengindikasikan bahwa alokasi ketersediaan fiskal yang berasal dari pengeluaran rutin gaji bergantung kepada pendapatan asli daerah (PAD) dimana semakin besar PAD Provinsi Riau menyebabkan meningkatnya pengeluaran rutin gaji. Peningkatan tersebut seiring dengan semakin bertambahnya jumlah pegawai otonom dari tahun ke tahun. Pada pengeluaran rutin non gaji (PERNGA), seluruh variabel berpengaruh positif dan signifikan, yaitu pendapatan asli daerah (PAD), sisa anggaran tahun sebelumnya (SAPBDTS), dan jumlah penduduk (POP). Pengeluaran rutin non gaji responsif terhadap perubahan PAD dan populasi namun tidak responsif terhadap perubahan SAPBDTS pada jangka pendek. Pada pengeluaran sektor pertanian (PESPER), variabel penjelas yang secara positif berpengaruh signifikan adalah total penerimaan daerah (TPED) dengan pengaruh yang tidak elastis dalam jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang. Variabel penyerapan tenaga kerja sektor pertanian (PTKSP) dan pengeluaran sektor pertanian tahun sebelumnya (LPESPER) memberikan pengaruh yang positif namun tidak secara langsung pengaruhnya terhadap pengeluaran sektor pertanian. Pengeluaran sektor non pertanian (PTKSNP) dipengaruhi oleh total penerimaan daerah (TPED) dan penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian (PTKSNP) dengan pengaruh positif yang signifikan namun tidak elastis. Sedangkan variabel pengeluaran sektor non pertanian tahun sebelumnya (LPESNPER) berpengaruh positif namun tidak signifikan. Pengeluaran infrastruktur (PEINF) dipengaruhi dengan pengaruh yang positif dan signifikan oleh total penerimaan daerah (TPED) dan kepadatan penduduk (KPDK). Sedangkan PDRB memberikan pengaruh yang positif namun kurang signifikan terhadap pengeluaran infrastruktur. Total penerimaan daerah (TPED) dan kepadatan penduduk (KPDK) berpengaruh positif dan signifikan serta masing-masing memiliki respon yang tidak elastis dan elastis terhadap pengeluaran infrastruktur (PEINF). Sedangkan PDRB memberikan pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap pengeluaran infrastruktur (PEINF). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar anggaran yang berasal dari penerimaan daerah dan semakin tinggi kepadatan penduduk, maka anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur akan meningkat. Peningkatan anggaran untuk pengeluaran infrastruktur perlu dilakukan melalui mekanisme fiskal karena masih minimnya infrastruktur di Provinsi Riau khususnya transportasi/ jalan. Hal ini menyebabkan terhambatnya kegiatan ekonomi sehingga laju pertumbuhannya pun mengalami perlambatan. Ketika mobilisasi dan distribusi terhambat maka akan berpengaruh terhadap kegiatan operasional distribusi sektor pertanian maupun non pertanian. Oleh sebab itu 241

10 Dinamika Pertanian Desember 2015 Tabel 3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Fiskal Provinsi Riau Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA) Peubah Parm Prob> Elastisitas Intercept PAD ** DAU ** JPGO LPERGA * R 2 = DW=2.03 α*=5% α*=15% Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA) Peubah Parm Prob> Elastisitas Intercept PAD * DAU SAPBDTS ** 0.68 POP ** R 2 = DW=2.22 α=5% α=20% Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER) Peubah Parm Prob> Elastisitas Intercept TPED * PTKSP LPESPER R 2 = DW=2.14 α*=1% Pengeluaran Non Pertanian (PESNPER) Peubah Parm Prob> Elastisitas Intercept TPED <0001* PTKSNP * PTKSP R 2 = DW=2.19 α*=5% Pengeluaran Infrastruktur (PEINF) Peubah Parm Prob> Elastisitas Intercept -7.14E TPED ** PDRB KPDK * R 2 = DW=2.14 α*=1% alokasi anggaran APBD untuk peningkatan infrastruktur penting untuk dilakukan. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Pertanian Provinsi Riau Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan pada Tabel 4, Produk Domestik Regional Bruto Sektor Tanaman Pangan (PDRBSTP) dipengaruhi dengan pengaruh positif dan signifikan oleh total pengeluaran daerah (TEXP), penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman pangan (PTKSTP) dan PDRBSTP tahun sebelumnya (LPDRBSTP). Variabel-variabel tersebut tidak responsif pengaruhnya terhadap PDRB subsektor tanaman pangan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. PDRB subsektor perkebunan dipengaruhi secara positif namun tidak signifikan oleh investasi subsektor perkebunan (INVSPK). Sementara variabel penyerapan tenagakerja sektor perkebunan (PTKSPK) dan variabel 242

11 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau PDRBSPK tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRBSPK. PDRB subsektor peternakan dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh penyerapan tenagakerja subsektor peternakan (PTKSPT) dan PDRBSPT tahun sebelumnya namun bersifat tidak responsif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Variabel yang secara positif dan signifikan mempengaruhi PDRB subsektor kehutanan adalah penyerapan tenagakerja subsektor kehutanan (PTKSKH) dan PDRBSKH tahun sebelumnya. Pengaruh PTKSKH bersifat tidak elastis dalam jangka pendek namun elastis dalam jangka panjang. Sementara investasi subsektor kehutanan (INVSKH) berpengaruh secara negatif dan pengeluaran sektor pertanian (PESPER) berpengaruh secara positif dimana keduanya memberikan pengaruh yang tidak signifikan. Variabel yang secara positif dan signifikan mempengaruhi PDRB subsektor perikanan (PDRBSIK) adalah total pengeluaran (TEXP), penyerapan tenagakerja subsektor perikanan (PTKSIK) dan PDRB subsektor perikanan tahun sebelumnya. Variabel-variabel tersebut bersifat tidak elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara pengeluaran sektor pertanian (PESPER) berpengaruh secara positif namun tidak signifikan. PDRB subsektor tanaman pangan dan perikanan meningkat dengan adanya peningkatan pada total pengeluaran pemerintah dan penyerapan tenaga kerja. Begitu juga dengan PDRB subsektor perkebunan dan kehutanan yang meningkat seiring dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa subsektor-subsektor tersebut mampu menyerap banyak tenagakerja yang produktif dengan adanya dukungan alokasi anggaran sehingga peningkatan pengeluaran berdampak pada peningkatan PDRB. Adanya peningkatan penyerapan tenagakerja tersebut mampu meningkatkan output produksi yang optimal dan berkontribusi bagi PDRB sektor pertanian. Berbeda dengan subsektor peternakan, dimana ketika terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja maka produktivitas tidak ikut meningkat sehingga menurunkan PDRB subsektor peternakan. Sementara investasi subsektor peternakan (INVSPT) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap PDRBSPT. Variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja subsektor tenaman pangan (PTKSTP) adalah upah tenagakerja subsektor tanaman pangan (UPSTP) dan produk domestik regional bruto subsektor tanaman pangan (PDRBSTP). Sementara total pengeluaran daerah (TEXP) memberikan pengaruh yang negatif. Penyarapan tenagakerja subsektor tanaman pangan bersifat tidak responsif terhadap perubahan variabelvariabel tersebut. Variabel produksi subsektor tanaman pangan (PRSTP) memberikan pengaruh yang negatif dan tidak signifikan. Penyerapan tenagakerja subsektor tanaman pangan bersifat tidak responsif terhadap seluruh variabel penjelas. Semakin tinggi upah subsek-tor tanaman pangan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman pangan. Hal ini terjadi karena upah yang tinggi dapat menarik minat masyarakat untuk bekerja pada subsektor tersebut. Selain itu, PDRB subsektor tanaman pangan dan total pengeluaran daerah yang mengalami kenaikan juga menyebabkan meningkatknya penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman pangan. Hal ini disebabkan karena subsektor tanaman pangan berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan daerah sehingga produksinya perlu untuk ditingkatkan. Penyerapan tenaga kerja subsektor perkebunan dipengaruhi signifikan oleh upah, dimana upah yang tinggi akan menarik minat masyarakat untuk bekerja pada subsektor tersebut. Kebijakan meningkatkan upah pada subsektor perkebunan di Provinsi Riau dilakukan karena subsektor tersebut berpotensi untuk ekspansi sehingga untuk menambah tenagakerja dilakukan dengan kebijakan kenaikan upah. Selain itu, PDRB yang mengalami peningkatan juga menyebabkan naiknya penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja subsektor perkebunan mendapat porsi yang cukup besar dari PDRB. Pada aspek subsektor peternakan, variabel yang secara positif dan signifikan mempengaruhi penyerapan tenagakerja subsektor peternakan (PTKSPT) adalah upah tenagakerja subsektor peternakan (UPSPT) yang bersifat elastis, sementara total pengeluaran daerah (TEXP) berpengaruh secara negatif dan signifykan namun tidak elastis. Variabel produksi subsektor peternakan dan PDRB subsektor peternakan berpengaruh secara negatif dan tidak 243

12 Dinamika Pertanian Desember 2015 signifikan terhadap penyerapan tenagakerja variabel upah. Sementara produksi subsektor Tabel 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau PDRB Subsektor Tanaman Pangan (PDRBSTP) PDRB Subsektor Perkebunan (PDRBSPK) Peubah Parm Prob> Elastisitas Peubah Parm Prob> Elastisitas Intercept Intercept TEXP ** INVSPK E-06 PESPER PTKSPK * PTKSTP * LPDRBSPK <001* LPDRBSTP * R 2 = DW=2.12 α=1% R 2 = DW=1.53 α*=10% α**=20% PDRB Subsektor Peternakan (PDRBSPT) PDRB Subsektor Kehutanan (PDRBSKH) Intercept Intercept TPED INVSKH <0001* PTKSPT * PTKSKH * LPESPER <001* PESPER R 2 = DW=1.32 α*=1% LPDRBSKH * R 2 = DW=2.4 α*=5% PDRB Subsektor Perikanan (PDRBSIK) Penyerapan Tenagakerja Subsektor T. Pangan Intercept Intercept TEXP * UPSTP <0001* PTKSIK * PRSTP PESPER PDRBSTP * LPDRBSIK <0001* TEXP * R 2 = DW=2.4 α*=15% R 2 = DW=2.4 α*=5% Penyerapan Tenagakerja Subsektor Perkebunan Penyerapan Tenagakerja Subsektor Peternakan Intercept <.0001 Intercept <0001* UPSPK * UPSPT <0001* PRSPK PRSPT PDRBSPK * 5.68 PDRBSPT TEXP TEXP * R 2 = DW=2.03 α*=5% R 2 = DW=2.36 α*=5% Penyerapan Tenagakerja Subsektor Kehutanan Penyerapan Tenagakerja Subsektor Perikanan Intercept <0001 Intercept <0001 UPSKH * UPSIK * PRSKH PRSIK PDRBSKH PDRBSIK TEXP TEXP * R 2 = DW=2.24 α*=1% R 2 = DW=2.1 α*=1% subsektor peternakan. Semakin tinggi upah tenagakerja subsektor peternakan menyebabkan kenaikan pada penyerapan tenaga kerja subsektor peternakan. Sementara kenaikan pada total pengeluaran daerah dapat menyebabkan turunnya penyerapan tenaga kerja subsektor peternakan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengeluaran daerah dialokasikan lebih banyak ke subsektor lain selain subsektor peternakan. Pada aspek penyerapan tenagakerja subsektor kehutanan (PTKSKH), variabel yang berpengaruh positif dan signifikan adalah upah tenaga kerja subsektor kehutanan (UPSKH), namun penyerapan tenagakerja subsektor kehutanan tidak responsif dengan perubahan kehutanan (PRSKH), PDRB subsektor kehutanan, dan total pengeluaran daerah (TEXP) seluruhnya berpengaruh secara negatif dan tidak signifikan. Semakin tinggi upah subsektor kehutanan akan menyebabkan tingginya penyerapan tenaga kerja subsektor tersebut. Hal ini seiring dengan subsektor tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan, dimana upah yang tinggi dapat menarik minat masyarakat untuk bekerja pada subsektor tersebut. Pada aspek penyerapan tenaga kerja subsektor perikanan (PTKSIK), variabel yang berpengaruh positif dan signifikan mempengaruhi adalah upah tenaga kerja subsektor perikanan (UPSIK). Sementara perubahan total pengeluaran daerah (TEXP) 244

13 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau Sebaliknya, daerah yang memiliki potensi fiskal kecil tetapi kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU yang relatif besar. Hal Tabel 5. Dampak Perubahan Kebijakan terhadap Penerimaan dan Pengeluaran Fiskal di Provinsi Riau Variabel Penerimaan a. TEXP b. RETRD c. PAD d. DAU e. BHTAXD f. TPED Pengeluaran a. PERGA b. PERNGA c. PERDA d. PESPER e. PESNPER f. PEINF g. PESE h. TEXP Simulasi 1 (%) (%) (%) (%) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenagakerja subsektor perikanan. Penyerapan tenaga kerja subsektor perikan-an responsif terhadap perubahan upah namun tidak terhadap perubahan total pengeluaran daerah. Sedangkan produksi subsektor perikanan (PRSIK) dan PDRB subsektor perikanan (PDRBSIK) berpengaruh secara negatif dan tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja subsektor perikanan. Adanya desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk melakukan mekanisme fiskal yang mendukung kinerja sektor pertanian. Secara keseluruhan, kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh upah, dimana upah yang tinggi dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Dampak Kebijakan Fiskal Dampak Perubahan Kebijakan terhadap Penerimaan dan Pengeluaran Fiskal di Provinsi Riau Kebijakan peningkatan DAU sebesar 5 persen berdampak pada meningkatnya total penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah. Total penerimaan daerah meningkat sebesar 0.80 persen dan total pengeluaran daerah meningkat sebesar 0.21 persen. Daerah yang memiliki potensi fiskal besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh DAU yang relatif kecil. tersebut menyebabkan peme-rintah daerah berupaya meningkatkan PAD yang berasal dari pajak dan retribusi agar tidak tergantung pada DAU. Adanya kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 10 persen menyebabkan total peneri-maan daerah mengalami penurunan seiring dengan adanya penurunan pada DAU sedang-kan total pengeluaran daerah mengalami peningkatan. Hal ini perlu diperhatikan agar daerah semakin mandiri dalam memenuhi kebutuhan bagi pembangunan daerah. Kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan infrastruktur masingmasing sebesar 10 persen dan 5 persen menyebabkan total penerimaan daerah menurun, sementara total pengeluaran daerah mengalami peningkatan, sama halnya dengan dampak yang terjadi pada kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 5 persen. Dampak peningkatan terbesar pada pengeluaran daerah terjadi pada pengeluaran sektor ekonomi. Porsi anggaran untuk pengeluaran sektor non pertanian menurun karena kebijakan ini menyebabkan porsi anggaran untuk pertanian dan infrastruktur meningkat. 245

14 Dinamika Pertanian Desember 2015 Dampak Perubahan Kebijakan terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau Pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa subsektor perkebunan memiliki dampak positif atau peningkatan yang paling banyak dibandingkan dengan subsektor lain. Hal ini mengindikasikan bahwa alokasi dana fiskal yang dianggarkan diperhatikan dari sisi kinerjanya disebabkan penurunan outputnya dari tahun ke tahun dengan disertai perlambatan pertumbuhan. Adanya alih fungsi lahan dan transformasi tenaga kerja merupakan salah satu penyebab menurunnya tren pertumbuhan subsektor tanaman pangan. Oleh sebab itu kebijakan peningkatan pengeluaran Tabel 6. Dampak Perubahan Kebijakan terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau Simulasi Aspek PDRB a. Tanaman Pangan b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan Penyerapan Tenagakerja a. Tanaman Pangan b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan 1 (%) (%) (%) (%) untuk subsektor perkebunan lebih banyak dibandingkan subsektor lainnya. Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu memperhatikan subsektor selain perkebunan yang perlu ditingkatkan pertumbuhannya seperti subsektor tanaman pangan dimana pertumbuhannya mengalami penurunan akibat alih fungsi lahan sehingga pangan sebagai kebutuhan utama masyarakat mengalami penurunan output. PDRB sektor pertanian meningkat pada seluruh simulasi. Ini mengindikasikan bahwa seluruh simulasi yang dilakukan merupakan mekanisme kebijakan fiskal yang mendukung sektor pertanian di Provinsi Riau. Peningkatan PDRB sektor pertanian paling tinggi terjadi pada simulasi 3 yaitu kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 10 persen, dimana dampak kebijakan tersebut terhadap PDRB sektor pertanian adalah meningkat sebesar 0,67 persen. Selain itu, berdasarkan aspek kinerja sektor pertanian lainnya yaitu penyerapan tenaga kerja, kebijakan fiskal pada simulasi 3 juga meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sebesar 0,16 persen. Kebijakan tersebut dapat mendorong terbukanya kesempatan kerja bagi masyarakat bukan hanya pada subsektor perkebunan, tetapi juga subsektor tanaman pangan. Subsektor tanaman pangan merupakan subsektor yang perlu untuk lebih sektor pertanian meru-pakan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau. Kementerian pertanian saat ini mendorong kegiatan pertanian dengan menggunakan teknologi berupa benih dan bibit unggul, mesin pertanian, dan teknologi irigasi dalam rangka meingkatkan ouput pertanian (Kementerian Pertanian, 2013). Metode penanaman inovatif yang sesuai dengan kondisi keterbatasan dan alih fungsi lahan juga dapat diterapkan untuk meningkatkan output pertanian. Adanya transformasi tenagakerja yang terjadi di Provinsi Riau juga merupakan hal yang penting untuk perhatikan agar sektor pertanian dapat menyerap tenaga kerja produktif yang dapat meningkatkan produktivitas pertain-an. Untuk itu, diperlukan dukungan pemerintah melalui mekanisme fiskal peningkatan pengeluaran sektor pertanian dalam rangka peningkatan kinerja sektor pertanian Provinsi Riau. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan fiskal di Provinsi Riau adalah PDRB, PAD, dan pengeluaran sektor ekonomi dengan pengaruh yang positif dan signifikan, serta total pengeluaran daerah dengan penga- 246

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Di dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi daerah seluas-luasnya,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder yang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data APBD Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 yang diperoleh dari Dirjen Perimbangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami beberapa kali modifikasi, karena ditemukan beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan Kementrian Keuangan. Data yang

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berupaya meningkatkan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU Ahmad Soleh Fakultas Ekonomi Universitas Dehasen Bengkulu ABSTRAK Ahmad Soleh; Analisis Belanja Pemerintah Daerah Kota Bengkulu. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 55 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi pustaka, teori-teori ekonomi makro, dan kerangka logika yang digunakan, terdapat saling keterkaitan antara komponen perekonomian makro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan permasalahan jangka panjang yang menjadi tolak ukur dalam mengukur

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Pengelolaan Pendapatan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Daerah

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 5.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah harus diperhatikan upaya untuk peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa BAB II KAJIAN PUSTAKA Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0 12' - 8 lintang selatan dan 116 48' - 122 36' bujur timur. Luas wilayahnya 62 482.54 km². Provinsi Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan seluruh bangsa tersebut. Hal ini di Indonesia yang salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan seluruh bangsa tersebut. Hal ini di Indonesia yang salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses mutlak yang dilakukan oleh suatu bangsa dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh bangsa tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional yang dilakukan oleh bangsa Indonesia merupakan upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER

DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER P R O S I D I N G 186 DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER Novi Haryati, Soetriono, Anik Suwandari Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak bisa sepenuhnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

Dept.Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM-IPB, 2)

Dept.Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM-IPB, 2) ANALISIS EKONOMI RUMAHTANGGA PEKERJA WANITA INDUSTRI KECIL KAIN TENUN IKAT DI KELURAHAN BANDAR KIDUL KOTA KEDIRI DALAM RANGKA MENGHADAPI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Kasirotur Rohmah 1), Hastuti 2), dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produk Domestik Bruto (PDB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam meningkatkan kesajahteraan seluruh rakyat Indonesia dan pemerataan status ekonomi antara penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan dikenal ada dua pendekatan yang menghubungkan pemerintah pusat dan daerah yaitu pendekatan secara sentralisasi dan pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

VII. ANALISIS KEBIJAKAN VII. ANALISIS KEBIJAKAN 179 Secara teoritis tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif kebijakan dengan jalan mengubah dari salah satu atau beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

Lebih terperinci

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA WILING ALIH MAHA RATRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang telah merasakan dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia pada tahun 1999 menjadi titik tolak tumbuh kembangnya desentralisasi fiskal yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan Indonesia menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi telah memberikan dampak yang besar terhadap perubahan di seluruh aspek pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 5.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah Di sisi penerimaan daerah, dengan berbagai upaya untuk peningkatan pendapatan asli daerah terus dilanjutkan, PAD diharapkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan mengkaji kinerja perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sebelum desentralisasi fiskal tahun 1994 2000 dan setelah

Lebih terperinci