III. METODOLOGI PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. METODOLOGI PENELITIAN"

Transkripsi

1 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Di dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi daerah seluas-luasnya, dalam arti bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam Undang Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata, yakni suatu prinsip bahwa untuk penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Konsep otonomi yang diajukan memberikan keleluasaan yang sangat besar terutama kepada tingkat kabupaten/kota dalam menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat daerah setempat. Undang Undang telah menggarisbawahi bahwa kabupaten/kota akan memiliki 11 fungsi pelayanan utama yang wajib

2 56 dilaksanakan di daerah, antara lain: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, transportasi, dan lain-lain (LPEM, 2002). Kewenangan daerah dalam hal pelaksanaan tugas otonomi dan desentralisasi sangat luas, hal ini tercermin dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban yang diatur dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam tinjauan ekonomi publik, APBD merupakan alat untuk menyelenggarakan aktivitas kepemerintahan dan pengadaan barang publik seperti jalan, jembatan, pertahanan dan keamanan, serta jasa-jasa pemerintahan lainnya. APBD merupakan belanja publik (public expenditure) yang berfungsi untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) dalam penyediaan barang dan jasa publik (Stiglitz, 2000). Dalam teori keuangan publik disebutkan bahwa fungsi pemerintah terdiri dari fungsi alokasi, stabilisasi dan distribusi. Berkaitan dengan fungsi alokasi, pemerintah ikut serta dalam perekonomian dengan melakukan alokasi anggaran yang tercermin dalam pengeluaran pemerintah. Berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, fungsi distribusi pemerintah sangat menentukan keberhasilan dari upaya tersebut yang tercermin dalam alokasi pengeluaran pemerintah. Di era desentralisasi, konsep pengembangan kapasitas daerah diwujudkan dengan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan. Seiring dengan hal itu peningkatan tanggung jawab pemerintah terhadap kebutuhan dan kondisi daerah sangat diperlukan untuk proses pengambilan keputusan guna mengurangi kemiskinan di daerah. Pelaksanaan program pengurangan kemiskinan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin, penyediaan prasarana dasar perdesaan, serta

3 57 penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan dan pendidikan, diharapkan berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan. Desentralisasi lebih memberikan ruang (space) dan peluang bagi masyarakat di daerah untuk menyalurkan aspirasi pembangunan dalam rangka menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kondisi obyektif dan kebutuhan daerahnya. Karena itu, untuk mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin, diperlukan komitmen bersama dari semua stakeholders pembangunan, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga swadaya masyarakat (NGO), dunia usaha, maupun perguruan tinggi serta masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya penanggulangan kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah mempunyai hubungan erat dengan kondisi wilayah dan pembangunan ekonominya. Ada wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang melimpah sehingga penduduk di sekitarnya dapat memperoleh peningkatan pendapatan dan kesejahteraaan. Sebaliknya, ada wilayah yang sedikit sumberdaya alamnya sehingga penduduknya kesulitan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Tetapi kemiskinan bisa terjadi di wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang melimpah, hal ini menurut Utomo (1995) bisa terjadi karena: a. Sumberdaya alam di wilayah tersebut belum digunakan oleh penduduk setempat secara optimal. b. Penduduk setempat tidak mempunyai kemampuan yang cukup (keterampilan, modal, akses) untuk dapat mengolah sumberdaya alam untuk menghasilkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraannya.

4 58 c. Sumberdaya alam yang diolah di wilayah tersebut tidak dapat dinikmati oleh penduduk atau masyarakat setempat karena adanya kebocoran regional (regional leakages). Di sisi lain pembangunan wilayah dihadapkan pada tidak meratanya distribusi pendapatan dan ketimpangan pembangunan antardaerah. Wilayah yang berkembang bisa menjadi sangat berkembang dan maju, sedang berkembang dan bahkan tertinggal. Selain itu kesenjangan di dalam wilayah pun rentan sekali terjadi seperti antara kelompok lapisan masyarakat (aparat dan pengusaha) antara penduduk asli dengan pendatang dan penguasaan jabatan oleh etnis atau suku tertentu tidak hanya memperlebar kesenjangan tetapi akan menimbulkan konflik, yang telah banyak terjadi di berbagai daerah di tanah air. Penanganan kemiskinan di era otonomi daerah sangat tergantung dengan keberpihakan pemerintah daerah kepada masyarakat miskin. Dengan otonomi daerah seharusnya pemerintah semakin cepat dan tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakatnya dan partisipasi masyarakat pun meningkat untuk melakukan pembelaan terhadap hajat hidupnya. Oleh sebab itu kemiskinan sebagai permasalahan besar baik nasional maupun lokal diharapkan menjadi perhatian lebih bagi pelaksana pemerintahan. Dengan program penanganan kemiskinan pemerintah pusat, prakarsa pemerintah daerah, prakarsa kelembagaan masyarakat yang diiringi dengan partisipasi masyarakat akan memperbaiki tingkat kesejahteraan dan pemerataan pendapatan dan studi ini menfokuskan pada efektifitas alokasi fiskal pemerintah terhadap pengurangan kemiskinan. Cukup banyak ukuran yang dipakai untuk menilai jumlah penduduk miskin. Salah satunya ukuran garis kemiskinan (poverty line), kemiskinan absolut

5 59 dan relatif. Ukuran-ukuran ini diperlukan untuk menetapkan sasaran-sasaran program pengentasan kemiskinan, membantu penduduk/daerah miskin atau program-program yang berupaya mengurangi kemiskinan agar tepat sasaran. OTONOMI DAERAH PENERIMAAN DAERAH PENERIMAAN ASLI DAERAH DANA PERIMBANGAN BAGI HASIL SDA LAIN-LAIN PENERIMAAN PENGELUARAN DAERAH PENGELUARAN PEMBANGUNAN PENGELUARAN RUTIN SEKT PERTANIAN NON PERTANIAN SEKT. INFRASTRUKTUR SEKT. SOSIAL & PELAYANAN UMUM PERBAIKAN MAKRO EKONOMI INVESTASI, PDRB, EKSPOR & IMPOR PEN INGKATAN AKTIVITAS EKONOMI, PENINGKATAN PENDAPATAN, PERLUASAN LAPANGAN KERJA & PENYERAPAN TENAGA KERJA PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN Ket : = hubungan rincian = hubungan kausalitas Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan

6 Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Propinsi Riau yang meliputi 11 kabupaten/ kota mulai Juni 2005 sampai dengan Februari Sumber Data Sumber data utama penelitian ini berasal dari Badan Pusat Statistik Pusat, Badan Statistik Provinsi Riau, Departemen Keuangan, Bapeda Provinsi Riau dan Dinas terkait Gambaran Kesejahteraan Daerah Sebagai langkah awal dalam melakukan analisis yang berhubungan dengan kemiskinan akan dilihat gambaran umum kondisi kesejahteraan daerah tingkat Provinsi. Gambaran umum terhadap kondisi daerah yang dimaksud meliputi kependudukan, kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, keuangan daerah, indeks kemiskinan. Indeks kemiskinan yang sering digunakan meliputi Headcount Index (HCI), Poverty Gap Index (PGI), dan Square Poverty Gap Index (SPGI). Penentuan nilai indeks-indeks ini didasarkan pada suatu garis kemiskinan tertentu. Perbedaan metode perhitungan garis kemiskinan dapat menyebabkan perbedaan pada nilai indeks kemiskinan. Saat ini di Indonesia selain BPS, metode perhitungan garis kemiskinan dilakukan pula oleh lembaga lain diantaranya Bank Dunia dan LPEM-UI. Namun demikian dalam penelitian ini akan digunakan garis kemiskinan BPS.

7 61 Pengukuran pembangunan manusia lainnya dapat diukur dengan indeks kemiskinan manusia (IKM). Indeks ini menggunakan indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketersediaan pendidikan, akses sumberdaya publik, dan sumberdaya privat. IKM menggunakan variabel persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, dan deprivasi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan baik yang bersifat publik atau bukan, yang diwakili oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih, dan persentase anak berumur 5 tahun ke bawah dengan berat badan rendah atau kurang gizi Perumusan Model Ekonometrika Dalam analisis dampak otonomi daerah terhadap penanganan kemiskinan ini, lokasi penelitian yang digunakan mencakup Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Model ekonometrika dirumuskan berdasarkan fenomena desentralisasi fiskal dan berdasarkan teori-teori ekonomi makro, ekonomi regional, dan ekonomi publik. Model ini dibangun berdasarkan kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan yang diharapkan mampu menunjukkan kinerja perekonomian daerah dan perubahan tingkat kemiskinan secara sederhana dan jelas. Alasan studi terfokus di daerah karena otonomi dengan desentralisasi fiskalnya akan mempengaruhi kinerja perekonomian daerah dan tingkat kemiskinan, di mana sebelumnya daerah tergantung pada pusat (sentralisasi fiskal) dan berubah dengan diserahkannya tanggung jawab pusat ke daerah untuk mengatur dan bertanggungjawab terhadap pemerintahan dan perekonomian.

8 62 Model ekonometrika yang baik yaitu memenuhi kriteria ekonomi yang menyangkut tanda, kriteria statistik yang menyangkut uji statistiknya, dan kriteria ekonometrika yang me nyangkut asumsi-asumsi ekonometrikanya (Koutsoyiannis, 1977). Dari ketiga kriteria tersebut kriteria ekonomi ditempatkan lebih penting dibandingkan kriteria lain untuk dievaluasi dalam penelitian ini. Artinya, apabila hasil estimasi dari model yang telah dibangun belum sesuai dengan kriteria ekonomi yang diharapkan, maka akan dilakukan respesifikasi dan reestimasi model. Agar model yang dibangun dapat menangkap fenomena otonomi daerah dan keterkaitannya dengan perbaikan tingkat kemiskinan dan pemerataan pendapatan di kabupaten dan kota di provinsi Riau, maka model disusun dalam sistem persamaan simultan makroekonomi daerah dengan panel data (pooled data) 9 kabupaten dan 2 kota dan time series tahun Model dikelompokkan ke dalam empat blok yaitu: (1) blok penerimaan daerah, (2) blok pengeluaran daerah, (3) blok makro ekonomi daerah dan (4) blok tingkat kemiskinan. Model ini terdiri 28 persamaan dengan 18 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas Blok Penerimaan Daerah Di sisi penerimaan keuangan daerah, dapat dilihat dari aspek pajak daerah, retribusi, laba BUMD, dana bagi hasil, sumbangan, dan bantuan pemerintah pusat ke daerah. Penerimaan pemerintah daerah merupakan identitas dari penerimaan asli daerah, sumbangan pemerintah pusat, dan pinjaman pembangunan. Penerimaan asli daerah merupakan jumlah dari PAD dan dana bagi hasil. Secara

9 63 umum penerimaan pajak daerah, retribusi, pajak yang dibagihasilkan diduga pengaruhi oleh nilai PDRB dan populasi Pajak Daerah TAXD = a 0 + a 1 *TEXP + a 2 KONM + a 3 *DDF + a 4 *LTAXD + u 1...(3) a 1, a 2, a 3 > 0 ; 0< a 4,< Retribusi Daerah RETRD = b 0 + b 1 *PDRB + b 2 *TEXP + b 3 *DDF + u 2...(4) b 1,,b 2,, b 3 > Pendapatan Asli Daerah PAD = TAXD + RETRD + LABUD...(5) Dana Alokasi Umum DAU = c 0 + c 1 * TEXP + c 2 *AKED + c 3 * POP + c 4 *BHPJSDA + c 5 *DDF + u 3....(6) c 1,, c 3, c 5, >0 ; c 4, c 2 < Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah BHTAXD = d 0 + d 1 * PAD + d 2 * PESE + d 3 * DDF +u 4...(7) d 1, d 2, d 3 > Total Penerimaan Daerah TPED = PAD+DAU+DAK+BHTAXD+ BHPESDA +PELA + SAPBDTS... (8)

10 Blok Pengeluaran Daerah Pengeluaran atau belanja pemerintah kabupaten terdiri dari pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin. Pengeluaran pembangunan disagregasi menjadi pengeluaran untuk sektor anggaran ekonomi, sosial, dan pelayanan umum. Selanjutnya untuk sektor anggaran ekonomi dibedakan menjadi sektor produksi pertanian, sektor produksi non pertanian, dan infrastruktur. Sedangkan pengeluaran rutin disagregasi menjadi pengeluaran untuk gaji pegawai dan bukan gaji. Secara umum, pengeluaran pemerintah diduga dipengaruhi oleh penerimaan asli daerah, jumlah sumbangan yang diterima, populasi, dan pendapatan regional Pengeluaran Rutin Gaji PERGA = e 0 + e 1 * PAD + e 2 *DAU+e 3 *DAK + e 4 *JPGO + e 5 * DDF +u 5... (9) e 1, e 2, e 3, e 4, e 5 > Pengeluaran Rutin Non Gaji PERNGA = f 0 + f 1 * PAD + f 2 *SAPBDTS + f 3 * POP + f 4 * DDF+ u 6...(10) f 1, f 2, f 3, f 4 > Pengeluaran Rutin Daerah PERDA = PERGA + PERNGA... (11) Pengeluaran Sektor Pertanian PESPER = g 0 + g 1 * TPED + g 2 * PTKP + g 3 *DDF+ g 4 *LPESPER + u 7... (12) g 1, g 2, g 3 > 0 ; 0< g 4 < 1

11 Pengeluaran Sektor Non Pertanian PESNPER = h 0 + h 1 * TPED + h 2 * PTKNP + h 3 * PDGN + h 4 *DDF + u 8...(13) h 1, h 2, h 4 > 0 ; h 3 < Pengeluaran Infrastruktur PEINF = i 0 + i 1 * TPED + i 2 * PDRB + i 3 * LWIL + u 9...(14) i 1,, i 2,, i 3 > Pengeluaran Pelayanan Sosial PEPS0 = j 0 + j 1 * PAD + j 2 * JDEKE + j 3 *PDDK + j 4 *KSHT + j 5 *LPEPSO+ u (15) j 1, j 2,j 3, j 4, > 0 ; 1 > j 5 > Pengeluaran Pelayanan Umum PEPUM = k 0 + k 1 *PAD + k 2 *SAPBDTS + k 3 *POP +k 4 * DDF + k 7 * LPEPUM + u 11 (16) k 1, k 2, k 3,k 4, k 5, k 6 >0 ; 0<k 7 < Pengeluaran Sektor-Sektor Ekonomi PESE = PESPER + PESNPER + PEINF...(17) Pengeluaran Pelayanan Sosial-Umum PEPSU = PESPSO + PEPUM... (18) Total Pengeluaran Pembangunan TEXP = PERDA + PESE + PEPSU...(19)

12 Blok Makro Ekonomi Daerah Blok makro ekonomi daerah menggambarkan PDRB pada sisi permintaan agregat yaitu pengeluaran pemerintah, investasi, ekspor, impor daerah dan produksi sektoral yaitu sektor pertanian/non pertanian daerah Investasi Daerah INVD = l 0 + l 1 UMR + l 2 *PAD + l 3 *RETRD + L 4 *DDF + u 12 (20) l 1, l 2, l 4 < 0; I 3, > Ekspor Daerah EXPRD = m 0 + m 1 * PDRB + m 2 * EXR + m 3 * LEXPRD + u (21) m 1, m 2, m 3 > Impor Daerah IMPRD = n 0 + n 1 *PDRB + n 2 *EXPRD + n 3 *LIMPRD + u 14...(22) n 2, n 3 >0 ; n 1 < Produk Domestik Regional Bruto PDRB = KONM + INVD + TEXP + EXPRD IMPRD... (23) Produksi Sektor Pertanian PRSP = o 0 + o 1 * UPSP + o 2 * POP + o 3 * DDF + u (24) o 1, o 2, o 3 > 0

13 Produksi Sektor Non Pertanian PRSNP = p 0 + p 1 * UPSNP + p 2 TPSEK + p 3 * DDF + u (25) p 1, p 2, p 3 > Total Produksi Sektoral TPSEK = PRSP + PRSNP...(26) Blok Tingkat Kemiskinan Blok tingkat kemiskinan menggambarkan tingkat kemiskinan suatu daerah yang meliputi jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, jumlah penduduk miskin perkotaan dan jumlah penduduk miskin di perdesaan Penduduk Miskin Perkotaan MISKT = q 0 + q 1 * DAU + q 2 *POP + q 3 *UPSP + q 4 *PEPSU + q 5 *PTKNP + q 6 *DDF + u 17...(27) q 1, q 3, q 5, q 6 < 0 ; q 2, q 4 > Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan MISDS = r 0 + r 1 * PESE + r 2 *BHPJSDA + r 3 *DAU + r 4 *POP + r 5 *PTKP + r 6 *DDF + u 18...(28) r 1, r 4 > 0 ; r 2,,r 3,r 5, r 6 > Total Penduduk Miskin MISTOT = MISKT + MISDS......(29)

14 68 Keterangan : AKED BHPJSDA BHTAXD DAU DAK DDF = angkatan kerja (orang) = Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (juta Rp) = bagi hasil pajak (juta Rp) = dana alokasi umum (juta Rp) = dana alokasi khusus (juta Rp) = dummy desentralisasi fiskal Dimana bernilai 0 sebelum desentralisasi Bernilai 1 setelah desentralisasi diberlakukan EXPRD EXR INVD IMPRD JPGO JDEKE = ekspor daerah (juta Rp) = exchange rate (ribu Rp/US$) = investasi daerah (juta Rp) = impor daerah (juta Rp) = jumlah pegawai otonomi (orang) = jumlah desa dan kelurahan (buah) KPDK = kepadatan penduduk (orang/km 2 ) KSHT KONM = pengeluaran bidang Kesehatan (Juta Rp) = konsumsi masyarakat (juta Rp) LWIL = luas wilayah (Km 2 ) LPEPSO LABUD LTAXD LDAU LPESPER LPESNPER = lag pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp) = laba badan usaha daerah (juta Rp) = lag pajak daerah (juta RP) = lag dana alokasi umum (juta Rp) = lag pengeluaran sektor pertanian (juta Rp) = lag pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp)

15 69 LPEPUM LEXPRD LPRSNP MISKT MISDS MISTOT PDRB PAD POP PESE PELA PERGA PERNGA PTKP PTKNP PEINF PESPER PESNPER PERDA PEPSO PEPUM PDDK PESE PEPSU PRSP = lag pengeluaran pelayanan umum (juta Rp) = lag EXPRD (juta Rp) = lag produksi sektor non pertanian (juta Rp) = Jumlah penduduk miskin perkotaan (ribu jiwa) = Jumlah penduduk miskin perdesaan (ribu jiwa) = Total Penduduk Miskin (ribu jiwa) = produk domestik regional bruto (juta Rp) = pendapatan asli daerah (juta Rp) = jumlah penduduk (orang) = pengeluaran sektor ekonomi (juta Rp) = penerimaan lain-lain (juta Rp) = pengeluaran rutin gaji (juta Rp) = pengeluaran rutin non gaji (juta Rp) = penyerapan tenaga kerja pertanian (juta Rp) = penyerapan tenaga kerja non pertanian (juta Rp) = pengeluaran infrastruktur (juta Rp) = pengeluaran sektor pertanian (juta Rp) = pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp) = pengeluaran rutin daerah (juta Rp) = pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp) = pengeluaran pelayanan umum (juta Rp) = pengeluaran bidang pendidikan (juta Rp) = pengeluaran sektor ekonomi (juta Rp) = pengeluaran pelayanan sosial-umum (juta Rp) = produksi sektor pertanian (juta Rp)

16 70 PRSNP RETRD SAPBDTS = produksi sektor non pertanian (juta Rp) = retribusi daerah (juta Rp) = sisa anggaran tahun sebelumnya (juta Rp) SBK = Suku Bunga (%) TAXD TPED TEXP TAXD TPSEK UMR UPSP UPSNP = pajak daerah (juta Rp) = total pendapatan daerah (juta Rp) = total pengeluaran pembangunan (juta Rp) = pajak daerah (juta Rp) = Total pengeluaran sektoral (juta Rp) = upah minimum regional (Ribu Rp) = upah tenaga kerja pertanian (juta Rp) = Upah tenaga kerja non pertanian (juta Rp) Prosedur Analisis Identifikasi Model Indentifikasi model ditentukan atas dasar "order condition" sebagai syarat keharusan dan "rank condition" sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: (K-M) > (G- 1)... (30) dimana: K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah predetermined. M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model, dan

17 71 G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model. Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut. (K M) > (G -1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified) (K M ) = (G -1) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan (K M) < (G 1) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified). Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentifled untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977). Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 28 persamaan atau 28 peubah endogen ( G ), 26 peubah predetermined variable dan 23 peubah eksogen dan 7 lag endogenous variabel. Sehingga total peubah

18 72 dalam model (K) adalah 44 peubah, jumlah peubah dalam persamaan (M) paling banyak adalah 7 peubah. Berdasarkan kriteria order condition, maka setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified Metode Pendugaan Model Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan overidentified, dalam hal ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information Maximum Likehood). Pada penelitian ini, metode pendugaan model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model Untuk mengetahui dan menguji apakah peubah penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t atau dengan melihat nilai probabilitasnya.

19 Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Percent Square Error (RMSPE), Bias (UM) dan Theil s Inequality Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991). Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna. Jika U = 1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R 2 ). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil's serta makin besar nilai R 2, maka pendugaan model semakin baik Simulasi Model Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah baik di sektor penerimaan

20 74 maupun pengeluaran terhadap peubah-peubah endogen utamanya adalah untuk mengetahui dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan. Analisis simulasi diterapkan untuk periode tahun Karena mencakup periode yang sudah lampau, maka simulasi dinamakan simulasi historis Simulasi Kebijakan Simulasi model dilakukan untuk menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap peubah endogen. Variabel-variabel kebijakan desentralisasi fiskal yang dimaksud adalah dana alokasi umum (DAU), porsi bagi hasil pajak (BHPJSDA), Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan (PDDK & KSHT), pengeluaran pemerintah bidang pertanian (PESPER), dan pengeluaran untuk Infrastruktur. Simulasi antara lain bertujuan untuk: (1) melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model, (2) mengevaluasi kebijakan pada masa yang lampau, dan (3) membuat peramalan pada masa yang akan datang. Simulasi yang dilakukan pada penelitian ini untuk mengevaluasi alternatif kebijakan melalui simulasi historis (ex-post simulation). Adapun skenario yang dilakukan antara lain : 1. Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) 20 %. 2. Peningkatan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA) 10 %. 3. Peningkatan Penerimaan PAD sebesar 20 %. 4. Peningkatan pengeluaran Sektor pendidikan dan kesehatan sebesar 17 % dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Umum sebesar 20 %.

21 75 5. Peningkatan pengeluaran dan Pengeluaran Infrastruktur sebesar 10 % dan pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 %. 6. Peningkatan pengeluaran pembangunan dengan alokasi peningkatan pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan 9 %, Sektor infrastruktur 4 %, Sektor Pelayanan Umum 10 % dan Sektor Pertanian 10 %.

22 PENERIMAAN DAERAH PENGELUARAN DAERAH BHTAXD TAXD RETRD PAD TEXP DAU AKED PERGA PERDA DAK JPGO SAPBDTS JDEKE LWIL PDDK PEPSO PEPUM LABUD POP DDF BHPESDA TPED PELA SABDTS PERNGA PESPER PTKP PTKNP PESNPER KSHT PDGN PINF PEPSU PESE PDRB INVD EXPRD UPSNP IMPRD UMR EXR MISKT MISDS SBK PRSP UPSP MISTOT UPSNP PRSNP MAKRO EKONOMI DAERAH TPSEK KONM PENDUDUK MISKIN Gambar 3. Hubungan antar Peubah dalam Penelitian Ket : = Hubungan struktural = Hubungan identitas = Variabel endogen = Variabel eksogen

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan Kementrian Keuangan. Data yang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data APBD Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 yang diperoleh dari Dirjen Perimbangan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU. The Impact of Fiscal Policy on Performance of Agriculture in Riau Province

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU. The Impact of Fiscal Policy on Performance of Agriculture in Riau Province Jurnal Dinamika Pertanian Volume XXX Nomor 3 Desember 2015 (233 248) ISSN 0215-2525 DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU The Impact of Fiscal Policy on Performance

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 55 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan studi pustaka, teori-teori ekonomi makro, dan kerangka logika yang digunakan, terdapat saling keterkaitan antara komponen perekonomian makro

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berupaya meningkatkan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

VII. ANALISIS KEBIJAKAN VII. ANALISIS KEBIJAKAN 179 Secara teoritis tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif kebijakan dengan jalan mengubah dari salah satu atau beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan statistik sebagai alat bantu untuk mengambil keputusan yang lebih baik telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan. Setiap orang, baik sadar maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil output yang dibentuk oleh berbagai sektor ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0 12' - 8 lintang selatan dan 116 48' - 122 36' bujur timur. Luas wilayahnya 62 482.54 km². Provinsi Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

ESTIMASI PARAMETER PADA SISTEM PERSAMAAN SIMULTAN DENGAN METODE LIMITED INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (LIML) SKRIPSI

ESTIMASI PARAMETER PADA SISTEM PERSAMAAN SIMULTAN DENGAN METODE LIMITED INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (LIML) SKRIPSI ESTIMASI PARAMETER PADA SISTEM PERSAMAAN SIMULTAN DENGAN METODE LIMITED INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (LIML) SKRIPSI Oleh : IPA ROMIKA J2E004230 PROGRAM STUDI STATISTIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

BAB III METODE FULL INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (FIML)

BAB III METODE FULL INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (FIML) BAB III METODE FULL INFORMATION MAXIMUM LIKELIHOOD (FIML) 3.1 Model Persamaan Simultan Model persamaan simultan adalah suatu model yang memiliki lebih dari satu persamaan yang saling terkait. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan suatu negara pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan

Lebih terperinci

DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER

DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER P R O S I D I N G 186 DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER Novi Haryati, Soetriono, Anik Suwandari Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan penyelenggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan absolut (absolute poverty) merupakan salah satu masalah ekonomi utama yang dihadapi sebagian besar pemerintahan di dunia. Data World Bank pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama membangun daerahnya sendiri. Otonomi daerah adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produk Domestik Bruto (PDB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan tantangan tersendiri bagi setiap daerah baik provinsi maupun kota dan kabupaten untuk menunjukkan kemandiriannya. Hal ini sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan Indonesia menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era reformasi telah memberikan dampak yang besar terhadap perubahan di seluruh aspek pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siti Nurhayati Basuki, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siti Nurhayati Basuki, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ekonometrika merupakan bagian dari ilmu ekonomi yang menggunakan alat analisis matematika dan statistika dalam menganalisis masalah ekonomi secara kuantitatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa Barat berdasarkan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Kota Serang menjadi Pusat pemerintahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang BAB I PENDAHULIAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ini dapat dibuktikan dengan jelas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup segala bidang yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Rusyadi, 2005).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang telah merasakan dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

Dept.Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM-IPB, 2)

Dept.Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM-IPB, 2) ANALISIS EKONOMI RUMAHTANGGA PEKERJA WANITA INDUSTRI KECIL KAIN TENUN IKAT DI KELURAHAN BANDAR KIDUL KOTA KEDIRI DALAM RANGKA MENGHADAPI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Kasirotur Rohmah 1), Hastuti 2), dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan daerah sangat erat kaitannya dengan otonomi daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan seluruh bangsa tersebut. Hal ini di Indonesia yang salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan seluruh bangsa tersebut. Hal ini di Indonesia yang salah satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses mutlak yang dilakukan oleh suatu bangsa dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh bangsa tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan daerah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen anggaran daerah disebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh dan Kementrian Keuangan Republik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional yang dilakukan oleh bangsa Indonesia merupakan upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.

Lebih terperinci

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami beberapa kali modifikasi, karena ditemukan beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990).

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, baik di sektor publik maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990). Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan mengkaji kinerja perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sebelum desentralisasi fiskal tahun 1994 2000 dan setelah

Lebih terperinci