HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 f. Lama running : 30 menit. g. Suhu : suhu ruang 3. Tahap Perhitungan Perhitungan kadar aflatoksin yang terdapat pada sampel secara konvesional dapat dihitung menggunakan persamaan: / Keterangan: Cp = Konsentrasi aflatoksin dalam sampel (ppm) Lc = Luas area contoh Ls = Luas area standar Cs = konsentrasi standar (ppm) FP = Faktor pengenceran Bc = Bobot contoh (g) Meskipun demikian, instrumen HPLC yang digunakan mampu memproses data secara otomatis sehingga perhitungan dapat pula dilakukan dengan persamaan: / Keterangan: Cp = Konsentrasi aflatoksin dalam sampel (ppm) Ch = Konsentrasi aflatoksin dalam kromatogram (ppm) Bc = Bobot contoh (g) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Seleksi Isolat Lokal Penghasil Aflatoksin Menggunakan KIT ELISA Proses seleksi sampel isolat lokal Aspergillus sp. yang dilakukan menggunakan Kit ELISA dengan format kompetitif langsung telah berhasil dilakukan. Jumlah total sampel yang telah menjalani uji potensi ialah sebanyak 55 sampel dari 10 isolat Aspergillus flavus yang diperoleh dari hasil sampling di daerah Jawa Barat dan Jabotabek, disertai isolat JCM. Hasil pembacaan dari microplate spectrophotometer kemudian diolah dengan perhitungan hingga menghasilkan nilai persen inhibisi. Nilai serapan (OD) dan persen inhibisi dari ikatan konjugat dan antibodi kemudian dijadikan kurva kalibrasi standar, yaitu plot antara nilai OD dan konsentrasi aflatoksin B 1. Kedua kurva kalibrasi analisis menunjukkan linieritas yang baik. Berikut ini ialah salah satu kurva kalibrasi yang digunakan (Gambar 12). 29

2 % Inhibisi y = 14,55ln(x) + 22 R² = 0, Aflatoksin B1 (ng/ml) Gambar 12. Tampilan kurva kalibrasi analisis untuk sampel S.3 (A) 6/8/09, S.5 (D) 29/7/09, S.26 (C) 31/7/09, dan F-0213 (B) 13/8/09 berdasarkan pembacaan dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm dengan ELISA kit Aflavet. ELISA-kit yang digunakan merupakan ELISA-kit yang dikembangkan oleh Balitvet yakni ELISA-kit Aflavet yang spesifik untuk analisis aflatoksin B1. Hasil seleksi dari 10 isolat lokal (S3, S5, S9, S11, S14, S17, S19, S23, S26, dan F-0213) yang terdiri atas 50 sampel dengan satu isolat kontrol positif (JCM) yang terdiri dari 5 sampel menggunakan ELISA-kit ditampilan pada Tabel 9. Tabel 9. Kadar aflatoksin dalam sampel berdasarkan analisis g menggunakan ELISA Kit c 30

3 Sampel b Kadar aflatoksin a (ppb) f H1 534,0 S3 S5 S9 S11 Sampel Kadar aflatoksin (ppb) f H1 27,7 Sampel Kadar aflatoksin (ppb) f H1 319,7 H3 267,0 H3 29,4 H3 108,4 H5 491,4 S14 H5 878,6 S26 H5 1212,3 H8 n.d H8 145,7 H8 145,1 H11 31,4 H11 79,9 H11 143,7 H1 219,9 H1 H5 219,9 S17 H5 n.d F-0213 H5 25,6 H8 101,2 H8 n.d H8 252,8 a Aflatoksin B 1. b Sampel isolat lokal Aspergillus flavus koleksi Bbalitvet Culture Collection (BCC) yang ditumbuhkan dalam media PDB (inkubasi 9 hari, suhu 25 C). Data merupakan hasil sampling pada hari ke-1, 3, 5, 8, dan 11. c ELISA-Kit Aflavet dengan format direct competitive ELISA yang dikembangkan oleh Balitvet (Balai Besar Penelitian Veteriner), Cimanggu, Bogor. d Sampel diinkubasi tambahan selama 10 menit sebelum dibaca persen inhibisi pada ELISA-reader. e Sampel isolat lokal Aspergillus flavus yang dipilih untuk dilanjutkan dalam tahapan penelitian berikutnya. f part per billion g Persamaan yang digunakan dalam menentukan nilai persen inhibisi ialah: y=14,721ln(x) + 25,931; R2=0,9159. Pengecualian pada sampel S.3 H11, S.5 H3, S.26 H5, dan F-0213 H8 yang menggunakan persamaan y=14,551ln(x) + 22; R2=0,9406. Sampel dengan kadar aflatoksin tertinggi ialah sampel S.26 H5 dengan kandungan aflatoksin sebesar 1212,3 ppb. n.d = not detected (below quantitation limit: 0,3 ng/g) h Isolat JCM merupakan isolat kontrol positif (+) n.d H1 14,7 H3 234,2 H3 n.d H3 84,5 H11 433,7 H11 n.d H11 64,9 H1 267,0 H1 H3 178,6 H3 n.d H3 734,6 H5 223,0 S19 H5 n.d JCM h H5 556,7 H8 302,5 H8 n.d H8 809,4 H11 178,6 H11 n.d H11 445,9 H1 38,3 H1 n.d n.d H3 135,4 H3 n.d H5 18,1 S23 H5 n.d H8 108, 4 H8 n.d H H11 n.d H1 n.d Balitvet mengembangkan metode analisis AFB1 secara Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) berupa Aflavet yang telah divalidasi dengan melakukan inner laboratorium study dan telah terbukti mendapatkan hasil konsisten dengan metode standar kromatografi 31

4 (Rachmawati et al. 2004). Analisis berlangsung dalam plat mikro. Aflatoksin B1 yang terdapat pada sampel akan berkompetisi dengan konjugat untuk berikatan dengan antibodi yang terlapis dalam plat mikro. Data hasil seleksi menunjukkan bahwa dari 55 sampel isolat lokal yang diseleksi diperoleh 69% hasil positif. Sampel terdeteksi mengandung aflatoksin dalam kisaran 17,7-1212,3 ppb dengan 27 sampel mengandung aflatoksin <100 ppb, 27 sampel mengandung aflatoksin dalam kisaran ppb, dan satu sampel mengandung aflatoksin >1000 ppb dengan kandungan aflatoksin rata-rata sebesar 187,5 ppb. Jumlah aflatoksin terdeteksi tertinggi ditemukan pada sampel S.26(C) dengan jumlah aflatoksin B1 terdeteksi sebesar 1212,3 ppb. Sampel tersebut kemudian akan dipilih untuk dilanjutkan ke tahapan penelitian berikutnya. Tahapan seleksi yang dilakukan menggunakan ELISA-Kit berjalan dengan cepat dan efisien, sehingga bisa mempercepat waktu seleksi yang dibutuhkan. Pada hasil seleksi ditemukan pula beberapa sampel yang menghasilkan nilai n.d (not detected). Hal tersebut terjadi karena jumlah aflatoksin B1 apabila ada pada sampel-sampel tersebut berada di bawah limit deteksi AFB1 ELISA-Kit Aflavet yakni 0,3 ng/g (Rachmawati et al. 2004). Hal tersebut kemungkinan disebabkan sampel-sampel tersebut menghasilkan aflatoksin B1 dalam jumlah terlalu sedikit, tidak menghasilkan aflatoksin B1 atau bahkan memang tidak menghasilkan aflatoksin samasekali. Uji ELISA seringkali memberikan hasil kesalahan positif, sehingga konfirmasi hasil uji ELISA menggunakan uji lain yang lebih spesifik seperti HPLC (High Performance Liquid Chromatography) sangatlah penting untuk dilakukan (Ruiqian et al. 2004). B. Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC Sampel yang telah dibiakkan dalam media cair PDB dan GAN termodifikasi kemudian di-sampling secara aseptis untuk analisis kandungan aflatoksin menggunakan metode TLC (Thin Layer Chromatography). Sampel kemudian disimpan dalam suhu refrigerator sebelum diekstrak menggunakan klorofom. Sampel yang telah diekstrak dianalisis dengan metode TLC menggunakan teknik perbandingan dengan standar (Jones 1972). Sampel di-spotting pada lempeng silika gel (fase stasioner) dengan fase gerak kloroform-aseton (9:1) yang telah dipersiapkan dan diletakkan dalam developing chamber yang telah dijenuhkan terlebih dahulu. Secara alami aflatoksin memberikan fluoresensi pada panjang gelombang tertentu yang disebabkan oleh struktur oxygenated pentaheterocyclic aflatoksin (Fente et al. 2001). Hal tersebut memungkinkan analisis aflatoksin menggunakan TLC untuk kemudian hasil fluoresensi dibaca menggunakan UV-reader pada panjang gelombang 365 nm. Hasil fluoresensi yang diamati dalam UV-reader dibandingkan dengan hasil fluoresensi standar yang digunakan. Selanjutnya dilakukan perhitungan konsentrasi aflatoksin dalam sampel sesuai dengan rumus yang tersedia. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua sampel dari semua ulangan yang diperoleh dari media GAN termodifikasi tidak terdeteksi menghasilkan aflatoksin. Uji TLC yang dilakukan pada sampel dari media GAN termodifikasi telah diujikan dengan berbagai volume spotting namun tetap tidak menunjukkan keberadaan aflatoksin yang terdeteksi pada sampel. Hal tersebut berbeda dengan hasil analisis TLC pada sampel dari media PDB yang secara konstan 32

5 menunjukkan adanya produksi aflatoksin pada tiap ulangan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil uji TLC e kadar aflatoksin sampel pada media PDB a Kadar Aflatoksin (ppb)* Sampling Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Rataan JCM b S.26 c JCM b S.26 c JCM b S.26 c JCM b S.26 c JCM b S.26 c JCM b S.26 c H0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 H2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 H ,0 0, ,0 0,0 0,0 0, H H H H H H19 0, H21 0,0 0, , a Media PDB (ph 4.00, suhu 25 C) b Kontrol positif (+) berupa isolat Aspergillus flavus Koleksi JCM c Sampel berupa isolat lokal Aspergillus flavus S.26 d ppm (part per billion=ng/g) e Konsentrasi standar aflatoksin yang digunakan: B 1 =200 ppb, B 2 =100 ppb, G 1 =1000 ppb, G 2 =300 ppb. LoD = 0.4 ppb (Meilawati 2007) Berbeda dengan sampel pada medium GAN termodifikasi, sampel pada medium PDB menunjukkan adanya produksi aflatoksin. Perbedaan hasil yang cukup signifikan mengindikasikan adanya perbedaan kapabilitas kedua media yang digunakan dalam mendukung produksi aflatoksin pada strain S.26 dan JCM. Meskipun hasil analisis sampel dari media GAN termodifikasi tidak menunjukkan keberadaan aflatoksin, hasil pengamatan visual selama periode pembiakan kapang pada media GAN termodifikasi menunjukkan adanya pertumbuhan kapang yang ditunjukkan dengan adanya koloni pada media. Meskipun demikian, ciri-ciri morfologis koloni yang terdapat pada media GAN termodifikasi berbeda dengan koloni yang dijumpai pada media PDB. Koloni pada media PDB memiliki ciri morfologis berwarna kuning kehijauan dan berubah menjadi hijau tua pada koloni yang sudah tua (Gambar 13). Sementara itu, koloni pada media GAN termodifikasi berwarna putih yang berasal dari miselium kapang (Gambar 14). 33

6 Gambar 13. Koloni Aspergillus flavus pada media GAN termodifikasi Gambar 14. Koloni Aspergillus flavus pada media PDB Brian et al. (1961) menyatakan bahwa medium GAN (Glucose Ammonium Nitrate) mampu menunjukkan hasil produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus. Meskipun demikian, hasil penelitian Maggon et al. (1969) menunjukkan bahwa medium GAN dapat memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu. Hasil percobaan yang dilakukan Moggan et al. (1969) mengindikasikan bahwa medium GAN bisa memberikan hasil yang variatif bergantung pada strain Aspergillus flavus yang diujikan. Aspergillus tidak membutuhkan garam untuk produksi toksin sehingga ketersediaan trace element dalam media sangat mempengaruhi produksi toksin. Meskipun demikian, setiap strain memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sehingga efek dari trace element yang tersedia dalam medium GAN dapat menunjukkan hasil yang variatif (Moggan et al. 1969). Nazari (2010) menyatakan bahwa perubahan pada komposisi medium bisa mempengaruhi parameter pertumbuhan yang berbeda. Hal tersebut menjelaskan mengapa beberapa peneliti telah melaporkan adanya pengaruh yang besar dari suatu medium terhadap pertumbuhan suatu kapang 34

7 sementara beberapa peneliti lain melaporkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dari kapang yang sama. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa strain S.26 (C) dan JCM yang digunakan dalam analisis dengan TLC, seperti halnya strain DU/KR 79 F dan DU/KR 79 K dalam penelitian Moggan et al. (1969) tidak menunjukkan produksi aflatoksin dalam medium GAN termodifikasi karena pengaruh dari modifikasi medium berupa substitusi sukrosa pada sebagian glukosa, penetapan ph awal 7, maupun ketidakcocokan strain terhadap medium GAN. Uji TLC dilakukan pada 100 sampel yang berasal dari sampling pada lima ulangan yang berasal dari strain yang sama sehingga apabila strain yang digunakan tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada medium GAN termodifikasi maka semua sampel yang diujikan akan memberikan hasil yang sama. Kasno (2003) menyatakan bahwa koloni Aspergillus flavus yang sudah menghasilkan spora akan berwarna cokelat kehijauan hingga kehitaman dan miselium yang berwarna putih sudah tidak nampak lagi. Penampakkan warna putih pada koloni kapang di media GAN termodifikasi diduga terjadi karena kapang yang tumbuh belum atau tidak mampu menghasilkan spora. Bukti-bukti menunjukkan bahwa metabolit sekunder dapat diasosiasikan dengan proses perkembangan kapang seperti sporulasi dan pembentukkan sklerotia (Yu et al. 2002). Rendahnya produksi aflatoksin disebabkan pula oleh rendahnya pembentukkan biomassa miselia kapang yang mengindikasikan adanya pertumbuhan yang terhambat. Pertumbuhan yang terhambat akan mempengaruhi produksi aflatoksin karena meskipun aflatoksin merupakan metabolit sekunder namun produksinya sangat terkait dengan berbagai enzim yang ikut terhambat saat pertumbuhan terhambat. Sardjono et al. (1992) dan Aryantha et al. (2007) menyimpulkan bahwa pertumbuhan miselia yang terhambat memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung kepada sintesis enzim termasuk enzim yang berperan dalam produksi aflatoksin sehingga akan berpengaruh terhadap produksi aflatoksin baik langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut Yu et al. (2002) menyatakan bahwa hasil pengamatan menunjukkan kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk metabolisme sekunder dan pembentukkan spora adalah sama. Pembentukkan spora dan metabolit sekunder juga berlangsung secara bersamaan. Hal ini mungkin bisa menjelaskan alasan tidak ada aflatoksin yang terdeteksi pada uji TLC pada sampel-sampel dari media racikan. Berbeda dengan koloni pada media GAN termodifikasi, warna koloni pada media PDB menandakan bahwa koloni tersebut telah menghasilkan spora dan metabolit sekunder. Hal tersebut sejalan dengan hasil analisis TLC yang menunjukkan adanya aflatoksin yang diproduksi oleh kapang pada media PDB. Meskipun demikian, penyebab adanya perbedaan hasil dari kedua media masih belum dapat dijelaskan dengan akurat karena faktor utama yang menyebabkan adanya perbedaan belum bisa diidentifikasi. Kedua media yang digunakan secara umum hanya memiliki perbedaan dalam ph awal dan sumber nitrat yang digunakan. Media GAN termodifikasi memiliki ph 7.00 dengan nitrat berasal dari sumber anorganik yakni ammonium nitrat. Sementara itu, media PDB yang digunakan memiliki ph awal 4.00 dengan nitrat berasal dari sumber organik. Kedua faktor tersebut diduga mempengaruhi produksi aflatoksin pada kedua media. Yu et al. (2002) menyatakan bahwa terdapat bukti potensial tentang ekspresi gen dalam produksi aflatoksin yang dipengaruhi oleh sinyal lingkungan, seperti ph dan kandungan nitrat. Meskipun demikian, pengaruh nitrat terhadap produksi aflatoksin sampai saat ini masih belum jelas. Sementara itu, Buchanan et al. (1975) dan Ruiqian (2004) menyatakan bahwa bahwa ph awal tidak mempengaruhi produksi aflatoksin pada beberapa strain secara signifikan dan universal, 35

8 sedangkan pengamatan lainnya menunjukkan bahwa ph asam lemah secara nyata menekan pertumbuhan kapang namun menghasilkan aflatoksin yang lebih tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan media PDB dengan ph awal 4.00 mampu mendukung produksi aflatoksin lebih baik dibanding media GAN termodifikasi yang memiliki ph awal 7.00 terhadap strain S.26 dan JCM yang dievaluasi. Meskipun demikian, tidak diketahui signifikansi pengaruh faktor ph awal karena ph akhir pada kedua media tidak diukur. Pengaruh dari ph awal bergantung pada komposisi media sehingga ph awal yang optimum untuk tiap media akan berbeda. Namun demikian, terdapat indikasi bahwa ph awal 7.00 mungkin merupakan salah satu penyebab minimnya produksi aflatoksin pada media GAN termodifikasi. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk melihat pengaruh ph awal sekaligus menentukan ph awal yang paling optimum untuk media GAN termodifikasi. Parameter lain selain ph awal dan komposisi media antara media GAN termodifikasi dan media PDB adalah sama. Parameter seperti ketersediaan O 2 dan CO 2, suhu, dan kelembaban udara dianggap seragam karena kedua media ditempatkan pada ruang inkubasi yang sama. Kedua media ditempatkan pada ruangan dengan temperatur sekitar 25 C dan kelembaban udara normal. Temperatur ruang inkubasi diusahakan tetap konstan dalam kisaran 25 C. Meskipun demikian, pengatur suhu yang berupa AC (Air Conditioner) memungkinkan adanya sedikit variasi suhu selama pembiakan kapang, namun variasi suhu tersebut dialami oleh biakan dalam kedua media sehingga dalam hal ini kondisi pembiakan dapat disimpulkan seragam. Kedua jenis sampel baik dari isolat lokal S.26 dan JCM memiliki produksi tertinggi pada ulangan kedua. Sampel isolat S.26 pada ulangan kedua menghasilkan nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 400 ppb dan sampel isolat JCM menghasilkan nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 500 ppb. Sampel dari ulangan kedua kemudian dianalisis menggunakan HPLC untuk memperoleh nilai kandungan aflatoksin yang lebih akurat. Metode TLC dalam analisis aflatoksin yang dilakukan masih memiliki beberapa kelemahan seperti tingkat sensitivitas yang lebih rendah dari metode lain seperti HPLC. Publikasi hasil penelitian yang menggunakan TLC juga telah menurun jumlahnya dalam tahuntahun belakangan. Meskipun demikian, metode ini masih dapat digunakan untuk melihat kurva produksi aflatoksin dari sampel yang diuji. Metode TLC dengan teknik perbandingan dengan standar dalam mengestimasi konsentrasi aflatoksin merupakan pengukuran subjektif. Kesulitan dalam memperkirakan perbedaan-perbedaan kecil dalam intensitas fluoresensi secara visual menyebabkan adanya kisaran presisi sebesar ± 20% dalam kondisi ideal (Jones 1972). Faktor yang mempengaruhi tingkat presisi analisis antara lain kesalahan dalam spotting, variasi resolusi dari batch yang berbeda tiap lempeng silika gel, dan kesalahan dalam penentuan peak areas pada pengamatan di UV-reader. Akurasi dan tingkat presisi dalam analisis aflatoksin bisa ditingkatkan dengan mengembangkan instrumen pengukuran yang dapat mengukur intensitas fluoresensi secara objektif. C. Hasil Konfirmasi Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC Analisis menggunakan metode HPLC kemudian dilakukan sebagai uji konfirmasi dari analisis menggunakan metode TLC yang dilakukan sebelumnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan HPLC fase normal secara bertahap hingga menemukan kandungan aflatoksin pada sampel dalam range pada kromatogram. Sebelum sampel diinjeksikan standar terlebih dahulu diinjeksikan. Berikut ini merupakan salah satu kromatogram standar (Gambar 15). 36

9 Gambar 15. Kromatogram standar aflatoksin: B1=5 ppb, B2=2,5 ppb, G1=25 ppb, dan G2=7,5 ppb Sampel ulangan kedua dari media PDB kemudian mengalami proses derivatisasi dengan trifluoroasetat (TFA) sebelum kemudian dianalisis menggunakan HPLC. Data diperoleh dalam bentuk kromatogram seperti dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16. Kromatogram sampel ulangan ke-2 S. 26 PDB H9 (AFB1=13 ppb) 37

10 Hasil analisis sampel ulangan kedua yang telah diderivatisasi ditampilkan dalam bentuk kromatogram. Hasil perhitungan setelah memasukkan variabel faktor pengenceran dan berat contoh sehingga menghasilkan kadar aflatoksin dalam sampel dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil uji HPLC a kadar aflatoksin sampel ulangan 2 pada media PDB b Sampel c Kadar Aflatoksin (ppb) d Ulangan Jenis Sampel Kode Sampel B1 B2 G1 G2 ULANGAN 2 Isolat Aspergillus flavus JCM Isolat Aspergillus flavus lokal S.26 PDB (+) H7 369,1 -nd- --nd-- 3,7 PDB (+) H9 652,6 -nd- --nd-- 7,8 PDB (+) H12 847,7 17,9 --nd-- --nd-- PDB (+) H14 447,7 0,9 --nd-- --nd-- PDB (+) H16 74,7 -nd- --nd-- --nd-- PDB H7 290,2 --nd-- --nd-- --nd-- PDB H9 935,8 --nd-- --nd-- --nd-- PDB H12 596,2 --nd-- --nd-- --nd-- PDB H14 148,6 4,7 304,2 --nd-- PDB H16 201,5 82, ,3 --nd-- a High Performance Liquid Chromatography menggunakan fase gerak isokratik metanol:asam asetat glasial:akubiades (15:20:65), laju alir:1,2 ml/menit, volume injeksi: 20µL, detektor: fluoresen λem (425 nm), λeks (365 nm), kolom C 18 µbondapack (3,9x300 mm). Nilai %SBR=0,21-2,00%. Analisis ANOVA one-variant (f hitung = ) menunjukkan kedua sampel (S.26 dan JCM) tidak berbeda nyata. b media PDB (Potato Dextrose Broth) dengan ph awal 4.00 c Sampel merupakan ulangan kedua dari lima ulangan d part per billion Analisis menggunakan HPLC mampu mendeterminasi kandungan aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat (Ruiqian et al. 2004). HPLC merupakan alat berbasis-kimia untuk kuantifikasi dan analisis sejumlah komponen kimia dalam suatu campuran kimiawi. Alat tersebut memiliki banyak kegunaan dan dapat diotomatisasi dengan mudah meskipun aplikasi yang lebih luas menjadi terbatas karena prosedurnya yang kompleks dan peralatannya yang mahal. Meskipun demikian, aplikasi pada penelitian yang beragam mampu menjadikan metode HPLC sebagai metode yang paling banyak dilakukan dalri seluruh metode kromatografi (Skoog et al. 2007). Hasil analisis aflatoksin pada kedua sampel dimulai pada sampel H-7 seperti dapat dilihat pada Gambar

11 Jumlah AFB1 (ppm) 1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 H7 H9 H12 H14 H16 H19 H21 AFB1 S,26 0, , , , , , , AFB1 JCM 0, , , , , , , Gambar 17. Kurva produksi aflatoksin B1 isolat S.26 dan JCM pada media PDB (ph 4,00 dan suhu inkubasi 25 C) dengan interval h7-h21. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua sampel memiliki nilai dan waktu produksi maksimum yang berbeda. Sampel isolat lokal memiliki nilai produksi toksin maksimum sebesar 935,8 ppb yang diperoleh pada H-9 sedangkan sampel isolat JCM memproduksi aflatoksin sebesar 847,7 ppb yang diperoleh pada H-12. Hasil tersebut dapat dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan oleh Aryantha et al. (2007) yang menghasilkan aflatoksin sebesar 1090,1 ppb. Kandungan aflatoksin sampel isolat lokal S.26 mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan hasil seleksi yang diperoleh menggunakan teknik ELISA, yakni sebesar 1.212,3 ppb. Hal tersebut mnegindikasikan adanya kemungkinan hasil kesalahan positif pada uji seleksi. Penurunan nilai produksi maksimum aflatoksin juga mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh dari berbagai faktor yang membedakan sampel uji HPLC dengan sampel yang digunakan dalam seleksi. Sampel yang dianalisis menggunakan HPLC telah mengalami penyegaran dalam media padat agar miring dan berbagai serial transfer dalam proses persiapan dan pembiakan. Hal tersebut bisa mempengaruhi kemampuan sampel dalam meproduksi toksin. Strain dari Aspergillus flavus seringkali mengalami degenerasi melalui perlakuan serial transfer pada media berkultur yang menyebabkan perubahan morfologi seperti penurunan sporulasi pada area hifa, serta ketidakmampuan untuk memproduksi sklerotia diiringi penurunan produksi aflatoksin (Horn et al ). Aspergillus flavus diketahui dapat tumbuh secara aseksual dengan baik dalam kondisi laboratorium, meskipun demikian populasinya secara alamiah sangat poliformik (Hedayati et al. 2007). Reddy et al. (1971) menyatakan bahwa produksi aflatoksin pada media sintetis untuk pertumbuhan fungi secara umum lebih rendah dari produksi pada media crude seperti media padat jagung maupun media sintetis dengan ekstrak crude. Bilgrami et al. (1988) memberikan postulasi bahwa penurunan produksi aflatoksin pada kondisi laboratorium bisa disebabkan oleh minimnya paparan terhadap lingkangan kompetitif dan kondisi stres seperti terdapat di alam. Penurunan produksi aflatoksin setelah melalui serial transfer di laboratorium mungkin dapat diartikan pada level populasi dimana seleksi lebih memilih varian Aspergillus yang tidak menghasilkan aflatoksin. Horn et al. (2001) menjelaskan bahwa dalam populasi di alam, kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan cenderung memilih spesies tipe liar (wild type) dan 39

12 menyingkirkan spesies-spesies yang umumnya hanya dapat diamati di laboratorium. Meskipun demikian, efek yang lebih jelas dari kompetisi dan kondisi yang tidak menguntungkan bagi Aspergillus flavus seringkali sulit untuk dideteksi karena keberagaman yang tinggi dalam produksi aflatoksin pada tiap sampel. Produksi aflatoksin sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis, serta faktor-faktor lain meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, ph, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002; Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008). Selain itu, pengelompokkan gen mengindikasikan bahwa produksi aflatoksin memiliki kaitan dengan fungsi kelangsungan hidup kapang. Meskipun demikian, hal tersebut masih belum sepenuhnya dipahami mengingat tidak semua Aspergillus flavus menghasilkan aflatoksin namun masih tetap dapat bersaing dengan Aspergillus flavus dalam relung yang sama (Yu et al. 2002). Berbeda dengan biosintesis kebanyakan metabolit sekunder lainnya, ekpresi gen aflatoksin terbantu dengan adanya karbohidrat sederhana seperti glukosa, sukrosa, dan maltosa, namun bukan oleh pepton maupun laktosa. Chiou et al. (2002) Melaporkan bahwa dari 18 enzim yang terlibat dalam reaksi biosintesis aflatoksin, gen Afi-J merupakan gen yang menentukan produktivitas aflatoksin. Apabila gen tersebut terganggu atau inaktif, produksi aflatoksin akan menurun dengan sangat signifikan bahkan sampai tidak memproduksi aflatoksin samasekali. Yu et al. (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa beberapa faktor nutrisi dan lingkungan tersebut dapat mempengaruhi akumulasi aflatoksin dengan mengubah aktivitas dari satu atau lebih enzim yang terlibat dalam biosintesis aflatoksin. Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa aflatoksin hanya diproduksi pada temperatur C dengan temperatur optimal C. Produksi aflatoksin umumnya lebih optimum dalam kelembaban tinggi. Sebagai misal, kelembaban udara maksimum untuk produksi aflatoksin pada jagung adalah 25% pada 30 C dengan kelembaban relatif bervariasi dari 83-88%. Kandungan O 2 dan CO 2 juga mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Penurunan kandungan CO 2 dalam udara sebesar 20% akan menekan produksi aflatoksin dan pertumbuhan kapang. Penurunan kandungan O 2 dalam udara sebesar 10% juga akan menekan produksi aflatoksin. Meskipun demikian, pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin hanya akan benar-benar terhenti pada kandungan O 2 dalam udara kurang dari 1% (Ruiqian et al. 2004). Kemampuan Aspergillus untuk memproduksi aflatoksin bergantung pada sistem metabolismenya, terutama metabolisme primer lipida dan enzim-enzim synthetase spesifik untuk memproduksi metabolit sekunder (Martins et al. 2008). Hal tersebut merupakan ciri-ciri spesifik yang unik dari tiap strain sehingga strainstrain yang berbeda dapat memberikan hasil yang berbeda dimana beberapa strain mampu memproduksi aflatoksin, terutama aflatoksin B 1 dan B 2, dalam jumlah besar sementara beberapa strain yang lain tidak (Hedayati et al. 2007). Hasil pengamatan dengan TLC dan HPLC menunjukkan bahwa kadar aflatoksin dapat turun bahkan sampai tidak terdeteksi pada beberapa ulangan. Secara alami produsen aflatoksin, yakni beberapa strain Aspergillus sp. tertentu mampu melakukan proses biodegradasi dari aflatoksin. Ciegler et al. (1966) menyatakan bahwa degradasi aflatoksin merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan beberapa parameter. Beberapa penulis menyatakan bahwa toksin digunakan sebagai sumber energi ketika karbohidrat yang tersedia sudah habis. Meskipun demikian hal tersebut nampaknya kurang tepat ketika Ciegler et al. (1966) melaporkan bahwa 40

13 penambahan karbohdrat setelah produksi maksimum toksin tercapai tidak mencegah degradasi toksin. Ciegler et al. (1966) lebih lanjut menyatakan bahwa lisis miselia diperlukan untuk terjadinya degradasi aflatoksin. Beberapa strain Aspergillus flavus yang tidak menunjukkan kemampuan mendegradasi aflatoksin sebelumnya bisa diinduksi untuk melakukan degradasi dengan melakukan fragmentasi pada miselianya. Sementara itu, strain yang mampu mendegradasi toksin dapat dicegah dengan menempatkan strain tersebut dalam kondisi dimana miselia lisis sulit untuk terjadi. Pengamatan lebih lanjut menyimpulkan adanya sebuah reaksi non-spesifik pada miselia yang telah lisis. Sementara itu, Hamid dan Smith (1987) menyatakan bahwa terhambatnya degradasi toksin pada miselia yang utuh dan tidak lisis mengindikasikan adanya sejenis sistem enzim cytochrome P-450 monooxygenase dalam proses biodegradasi aflatoksin. Meskipun demikian, peranan spesifik enzim tersebut dalam lajur degradasi aflatoksin masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Penelitian lainnya juga menunjukkan keberadaan sistem enzim tersebut pada Aspergillus flavus, meskipun demikian lokasi yang tepat dari aktivitas enzim tersebut dalam jalur degradasi toksin masih belum diketahui. Azab et al. (2005) menyatakan bahwa fragmentasi miselia sangat penting untuk biodegradasi aflatoksin, dimana fragmentasi akan melepaskan faktor intraselular yang bertanggung jawab untuk proses biodegradasi aflatoksin. Hasil biodegradasi fungi mengungkapkan bahwa laju degradasi tercepat diasosiasikan dengan miselia fungi berusia sembilan hari baik pada spesies Aspergillus flavus maupun Aspergillus parasiticus. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang mengalami fragmentasi miselium (Sumber: Azab et al. 2005) 41

14 Hasil pengamatan pada kromatogram sampel juga menunjukkan adanya komponenkomponen lain baik yang tidak teridentifikasi maupun komponen aflatoksin selain aflatoksin B 1 yang berasal dari reaksi silang yang mungkin terjadi selama proses seleksi. Hal tersebut menjadikan kemurnian aflatoksin dalam sampel belum mencukupi untuk dijadikan standar. Proses purifikasi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mencapai kemurnian standar yang diinginkan. Penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh Reddy et al. (2009). Hasil penelitian Reddy et al. (2009) menunjukkan bahwa dari 85 strain Aspergillus flavus yang diseleksi, hanya 51% strain yang mampu menghasilkan aflatoksin B1 sebesar pbb dalam uji ELISA dari isolat yang ditumbuhkan pada medium YES. Hasil tersebut secara komparatif menunjukkan potensi yang jauh lebih besar dibandingkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yakni sebesar 17,7-1213,3 ppb. 5 sampel dengan nilai produksi aflatoksin tertinggi ditumbuhkan pada media padat beras dan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dalam kisaran ppb. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Reddy et al. (1971) yang menyatakan bahwa produksi aflatoksin pada crude media umumnya lebih tinggi dari media sintetis. Reddy et al. (2009) juga menemukan adanya medium yang tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada isolat yang ditumbuhkan, yakni medium AFPA (Aspergillus flavus and parasiticus agar). Seperti halnya medium GAN termodifikasi yang tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada penelitian ini, diduga medium AFPA tidak cocok untuk mendukung produksi aflatoksin dari isolat yang digunakan. Secara umum penelitian yang dilakukan Reddy et al. (2009) mampu menghasilkan produksi aflatoksin yang jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian ini. Produksi aflatoksin B1 yang tinggi dari strain Aspergillus flavus potensial bisa membantu menghasilkan standar murni untuk analisis kontaminasi aflatoksin pada beras di pasar domestik dan ekspor (Reddy et al. 2009). 42

BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN tempat fase stasioner terimobilisasi. Efisiensi kolom akan dipengaruhi oleh besarnya partikel fase diam. Semakin kecil ukuran fase diam, semakin besar efisiensi kolom. Deteksi pada alat HPLC dilakukan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Produksi Aflatoksin Metode Davis et al. (1966) Penelitian yang dilakukan oleh N. D. Davis, U. L. Diener, dan D. W. Eldridge di Alabama bertujuan untuk melihat bagaimana kondisi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 Setelah dilakukan peremajaan pada agar miring

Lebih terperinci

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase Abstrak Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin pada proses pelapukan kayu. Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Penentuan panjang gelombang maksimum ini digunakan untuk mengetahui pada serapan berapa zat yang dibaca oleh spektrofotometer UV secara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di daerah penghasil jagung di Provinsi Jawa Barat yaitu di Kabupaten Garut dimulai dari Oktober 2006 sampai Mei 2007. Pemilihan lokasi Kabupaten

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Bakteri Penitrifikasi Sumber isolat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sampel tanah yang berada di sekitar kandang ternak dengan jenis ternak berupa sapi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. PREPARASI SUBSTRAT DAN ISOLAT UNTUK PRODUKSI ENZIM PEKTINASE Tahap pengumpulan, pengeringan, penggilingan, dan homogenisasi kulit jeruk Siam, kulit jeruk Medan, kulit durian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Preparasi sampel Daging bebek yang direbus dengan parasetamol dihaluskan menggunakan blender dan ditimbang sebanyak 10 g kemudian dipreparasi dengan menambahkan asam trikloroasetat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) Peremajaan dan purifikasi terhadap kedelapan kultur koleksi isolat bakteri dilakukan terlebih dahulu sebelum pengujian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolat Actinomycetes Amilolitik Terpilih 1. Isolat Actinomycetes Terpilih Peremajaan isolat actinomycetes dilakukan dengan tujuan sebagai pemeliharaan isolat actinomycetes agar

Lebih terperinci

4. PENGARUH FAKTOR FISIKOKIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI DAN ATAU PEMBENTUKAN PIGMEN

4. PENGARUH FAKTOR FISIKOKIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI DAN ATAU PEMBENTUKAN PIGMEN 4. PENGARUH FAKTOR FISIKOKIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI DAN ATAU PEMBENTUKAN PIGMEN 4.1 Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri dan pembentukan pigmen Hasil identifikasi dari sampel bakteri yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengumpulan Sampel Pengumpulan sampel ini dilakukan berdasarkan ketidaklengkapannya informasi atau keterangan yang seharusnya dicantumkan pada etiket wadah dan atau pembungkus.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Pencarian kondisi analisis optimum levofloksasin a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT Pada penelitian ini digunakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat

Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI. Sejarah Asam sitrat. Kegunaan asam sitrat Pendahuluan PRODUKSI ASAM SITRAT SECARA FERMENTASI Asam sitrat merupakan asam organik Berguna dalam industri makanan, farmasi dan tambahan dalam makanan ternak Dapat diproduksi secara kimiawi, atau secara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini, pengambilan lima sampel yang dilakukan dengan cara memilih madu impor berasal Jerman, Austria, China, Australia, dan Swiss yang dijual

Lebih terperinci

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri nata de coco di Indonesia saat ini tumbuh dengan pesat dikarenakan nata de coco termasuk produk makanan yang memiliki banyak peminat serta dapat dikonsumsi

Lebih terperinci

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)  HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri 11 didinginkan. absorbansi diukur pada panjang gelombang 410 nm. Setelah kalibrasi sampel disaring dengan milipore dan ditambahkan 1 ml natrium arsenit. Selanjutnya 5 ml sampel dipipet ke dalam tabung

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase merupakan enzim yang mempunyai peranan penting dalam bioteknologi saat ini. Aplikasi teknis enzim ini sangat luas, seperti pada proses likuifaksi pati pada proses produksi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk. maupun non pangan (Darwis dan Sukara, 1990).

BAB I PENGANTAR. dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk. maupun non pangan (Darwis dan Sukara, 1990). BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Enzim menjadi primadona industri bioteknologi karena penggunaanya dapat menghemat energi dan aman untuk lingkungan. Enzim merupakan produk yang mempunyai nilai ekonomis

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Isolat Aspergillus flavus NTGA7A4UVE10 hasil penelitian terdahulu

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Isolat Aspergillus flavus NTGA7A4UVE10 hasil penelitian terdahulu BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. BAHAN 1. Mikroorganisme Isolat Aspergillus flavus NTGA7A4UVE10 hasil penelitian terdahulu berasal dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen Farmasi FMIPA UI. 2. Medium dan

Lebih terperinci

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan 4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. formula menggunakan HPLC Hitachi D-7000 dilaksanakan di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. formula menggunakan HPLC Hitachi D-7000 dilaksanakan di Laboratorium 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian validasi metode dan penentuan cemaran melamin dalam susu formula menggunakan HPLC Hitachi D-7000 dilaksanakan di Laboratorium Kimia Instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2008, beberapa produk susu dan olahannya yang berasal dari Cina

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2008, beberapa produk susu dan olahannya yang berasal dari Cina 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu mengandung berbagai protein, vitamin (A, B1, B2, B6, B12, C, D, E, dan K), mineral, karbohidrat dan lemak. Protein dalam susu mengandung semua jenis asam amino

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Penentuan kadar air berguna untuk mengidentifikasi kandungan air pada sampel sebagai persen bahan keringnya. Selain itu penentuan kadar air berfungsi untuk mengetahui

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4 Isolat-isolat yang diisolasi dari lumpur aktif.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4 Isolat-isolat yang diisolasi dari lumpur aktif. 7 diidentifikasi dilakukan pemurnian terhadap isolat potensial dan dilakukan pengamatan morfologi sel di bawah mikroskop, pewarnaan Gram dan identifikasi genus. Hasil identifikasi genus dilanjutkan dengan

Lebih terperinci

HASIL. Penapisan Kapang yang Berpotensi dalam Produksi AIA

HASIL. Penapisan Kapang yang Berpotensi dalam Produksi AIA 17 HASIL Penapisan Kapang yang Berpotensi dalam Produksi AIA Sebanyak 51 kapang asal serasah tanaman hutan yaitu 19 dari Katingan (Tabel 1) dan 32 dari Tarakan (Tabel 2) telah diuji potensinya dalam memproduksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

HASIL. Tekstur dan komposisi tanah Hasil analisis tekstur dan komposisi bahan organik pada tabel 1 menunjukkan bahwa

HASIL. Tekstur dan komposisi tanah Hasil analisis tekstur dan komposisi bahan organik pada tabel 1 menunjukkan bahwa Analisa Reduksi Asetilen (ARA : Acetylene Reduction Assay). Sebanyak,5 ml inokulum bakteri pertama pertama dan,5 ml inokulum bakteri kedua diinokulasikan kedalam campuran 2 ml NMS cair bebas nitrogen yang

Lebih terperinci

AFLATOKSIN dan BAHAN PENGAWET

AFLATOKSIN dan BAHAN PENGAWET AFLATOKSIN dan BAHAN PENGAWET AFLATOKSIN Senyawa metabolik sekunder yang bersifat toksik dan karsinogenik Dihasilkan: Aspergilus flavus & Aspergilus parasiticus Keduanya tumbuh pada biji-bijian, kacang-kacangan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Desember di Laboratorium Biomasa Universitas Lampung.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Desember di Laboratorium Biomasa Universitas Lampung. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Biomasa Universitas Lampung. B. Alat dan Bahan Alat-alat yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam kegiatan budidaya ikan, pakan dibagi menjadi dua jenis, pakan buatan dan

I. PENDAHULUAN. Dalam kegiatan budidaya ikan, pakan dibagi menjadi dua jenis, pakan buatan dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan. Pakan menghabiskan lebih dari setengah biaya produksi dalam kegiatan budidaya ikan. Dalam kegiatan budidaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. uji, yaitu uji resistensi logam berat, uji TPC (Total Plate Count), dan uji AAS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. uji, yaitu uji resistensi logam berat, uji TPC (Total Plate Count), dan uji AAS BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, biodegradasi logam berat dilakukan dengan beberapa uji, yaitu uji resistensi logam berat, uji TPC (Total Plate Count), dan uji AAS (Atomic Absorption Spectrofotometer).

Lebih terperinci

II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup

II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup Kompetensi: Setelah mengikuti kuliah mahasiswa dapat menjelaskan aktivitas makhluk hidup yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan A. Sifat pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA II. A. Aspergillus flavus

TINJAUAN PUSTAKA II. A. Aspergillus flavus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aspergillus flavus Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Optimasi esterifikasi DHA Dilakukan dua metode esterifikasi DHA yakni prosedur Lepage dan Merck, kemudian larutan DHA (oil) yang termetilasi dengan kadar akhir DHA

Lebih terperinci

PERANCANGAN DAN PENGAPLIKASIAN DETEKTOR CEPAT AFLATOKSIN UNTUK MENGUKUR KANDUNGAN AFLATOKSIN PADA PRODUK HASIL PERTANIAN

PERANCANGAN DAN PENGAPLIKASIAN DETEKTOR CEPAT AFLATOKSIN UNTUK MENGUKUR KANDUNGAN AFLATOKSIN PADA PRODUK HASIL PERTANIAN PERANCANGAN DAN PENGAPLIKASIAN DETEKTOR CEPAT AFLATOKSIN UNTUK MENGUKUR KANDUNGAN AFLATOKSIN PADA PRODUK HASIL PERTANIAN Arifin Dwi Saputro, Ridwan Kurniawan, Hanim Zuhrotul Amanah, Sri Rahayoe Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHUUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHUUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHUUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit utama di Indonesia karena prevalensinya cukup tinggi, yaitu 25,8% untuk usia 18 tahun (Riset Kesehatan Dasar, 2013), meskipun

Lebih terperinci

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob Pertumbuhan total bakteri (%) IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob dalam Rekayasa GMB Pengujian isolat bakteri asal feses sapi potong dengan media batubara subbituminous terhadap

Lebih terperinci

Penyiapan Kultur Starter. Bioindustri Minggu 6 Oleh : Sri Kumalaningsih, dkk

Penyiapan Kultur Starter. Bioindustri Minggu 6 Oleh : Sri Kumalaningsih, dkk Penyiapan Kultur Starter Bioindustri Minggu 6 Oleh : Sri Kumalaningsih, dkk Pendahuluan Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi barang dan jasa dengan menggunakan mikroorganisme diantaranya

Lebih terperinci

Analisis Fenobarbital..., Tyas Setyaningsih, FMIPA UI, 2008

Analisis Fenobarbital..., Tyas Setyaningsih, FMIPA UI, 2008 4 3 5 1 2 6 Gambar 3. Alat kromatografi cair kinerja tinggi Keterangan : 1. Pompa LC-10AD (Shimadzu) 2. Injektor Rheodyne 3. Kolom Kromasil TM LC-18 25 cm x 4,6 mm 4. Detektor SPD-10 (Shimadzu) 5. Komputer

Lebih terperinci

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Alat kromatografi kinerja tinggi (Shimadzu, LC-10AD VP) yang

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Alat kromatografi kinerja tinggi (Shimadzu, LC-10AD VP) yang BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA A. ALAT Alat kromatografi kinerja tinggi (Shimadzu, LC-10AD VP) yang dilengkapi dengan detektor UV-Vis (SPD-10A VP, Shimadzu), kolom Kromasil LC-18 dengan dimensi kolom

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN JASAD RENIK

PERTUMBUHAN JASAD RENIK PERTUMBUHAN JASAD RENIK DEFINISI PERTUMBUHAN Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pada organisme multiselular, yang disebut pertumbuhan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

IV. Hasil dan Pembahasan

IV. Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan 4.1. Keasaman Total, ph. Ketebalan Koloni Jamur dan Berat Kering Sel pada Beberapa Perlakuan. Pada beberapa perlakuan seri pengenceran kopi yang digunakan, diperoleh data ph dan

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id II. TELAAH PUSTAKA Koloni Trichoderma spp. pada medium Malt Extract Agar (MEA) berwarna putih, kuning, hijau muda, dan hijau tua. Trichoderma spp. merupakan kapang Deutromycetes yang tersusun atas banyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan larutan induk standar fenobarbital dan diazepam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan larutan induk standar fenobarbital dan diazepam BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Pembuatan larutan induk standar fenobarbital dan diazepam Ditimbang 10,90 mg fenobarbital dan 10,90 mg diazepam, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 yang bertempat di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol.

HASIL DAN PEMBAHASAN. pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol. 8 pertumbuhan dan kurva produksi yang menunjukkan waktu optimum produksi xilitol. Optimasi Konsentrasi Substrat (Xilosa) Prosedur dilakukan menurut metode Eken dan Cavusoglu (1998). Sebanyak 1% Sel C.tropicalis

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur uji aktivitas protease (Walter 1984, modifikasi)

Lampiran 1 Prosedur uji aktivitas protease (Walter 1984, modifikasi) 76 Lampiran Prosedur uji aktivitas protease (Walter 984, modifikasi) Pereaksi Blanko (ml) Standard (ml) Contoh ml) Penyangga TrisHCl (.2 M) ph 7. Substrat Kasein % Enzim ekstrak kasar Akuades steril Tirosin

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fase gerak : dapar fosfat ph 3,5 : asetonitril (80:20) : panjang gelombang 195 nm

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fase gerak : dapar fosfat ph 3,5 : asetonitril (80:20) : panjang gelombang 195 nm BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Optimasi Sistem KCKT Sistem KCKT yang digunakan untuk analisis senyawa siklamat adalah sebagai berikut: Fase diam : C 18 Fase gerak : dapar fosfat ph

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HPLC : ANALISA TABLET VITAMIN C

LAPORAN PRAKTIKUM HPLC : ANALISA TABLET VITAMIN C LAPORAN PRAKTIKUM HPLC : ANALISA TABLET VITAMIN C Nama : Juwita (127008003) Rika Nailuvar Sinaga (127008004) Hari / Tanggal Praktikum : Kamis / 19 Desember 2012 Waktu Praktikum : 12.00 15.00 WIB Tujuan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

Analisis Fisiko Kimia

Analisis Fisiko Kimia Analisis Fisiko Kimia KROMATOGRAFI Oleh : Dr. Harmita DEFINISI Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin berkembang dengan pesat, terutama perkembangan antibiotik yang dihasilkan oleh mikrobia. Penisilin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Protease dari Penicillium sp.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Protease dari Penicillium sp. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim Protease dari Penicillium sp. Enzim merupakan suatu protein yang memiliki aktivitas biokimia sebagai katalis suatu reaksi. Enzim sangat

Lebih terperinci

HASIL. Karakteristik, Morfologi dan Fisiologi Bakteri Nitrat Amonifikasi Disimilatif

HASIL. Karakteristik, Morfologi dan Fisiologi Bakteri Nitrat Amonifikasi Disimilatif HASIL Karakteristik, Morfologi dan Fisiologi Bakteri Nitrat Amonifikasi Disimilatif Hasil konfirmasi kemurnian dari keempat isolat dengan metoda cawan gores, morfologi koloninya berbentuk bulat, elevasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Absorbsi Near Infrared Sampel Tepung Ikan Absorbsi near infrared oleh 50 sampel tepung ikan dengan panjang gelombang 900 sampai 2000 nm berkisar antara 0.1 sampai 0.7. Secara grafik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Biakan murni merupakan tahapan awal di dalam pembuatan bibit jamur. Pembuatan biakan murni diperlukan ketelitian, kebersihan, dan keterampilan. Pertumbuhan miselium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KULTUR UJI 4.1.1 Kemurnian kultur Kemurnian kultur uji merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam melakukan validasi metode analisis karena dapat mempengaruhi hasil

Lebih terperinci

Gambar 5. Tekstur dan Struktur Bumbu Penyedap Blok Spirulina Perlakuan Kontrol (A) dan Maltodekstrin 10% (B).

Gambar 5. Tekstur dan Struktur Bumbu Penyedap Blok Spirulina Perlakuan Kontrol (A) dan Maltodekstrin 10% (B). 3. HASIL PENGAMATAN 3.1. Penampakan Fisik Penampakan fisik bumbu penyedap blok Spirulina yang diamati meliputi struktur, tekstur dan perbedaan intensitas warna yang dihasilkan. Perbandingan penampakan

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil).

Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Lampiran 1 Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Kurva Standar HPLC siklo(tirosil-prolil) Luas area (kromatogram HPLC) 60000000.00 50000000.00 40000000.00 30000000.00

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN Percobaan yang akan dilakukan adalah fermentasi minyak kelapa dengan bantuan mikroorganisme yang menghasilkan enzim protease dan menganalisis kualitas minyak yang dihasilkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Enzim adalah senyawa protein yang dihasilkan oleh berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. Enzim adalah senyawa protein yang dihasilkan oleh berbagai jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Enzim adalah senyawa protein yang dihasilkan oleh berbagai jenis organisme seperti tanaman, hewan dan mikrobia untuk mendukung aktivitas metabolisme sel. Salah satu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

Mengenal Aflatoksin dan Metode Analisisnya pada Kakao

Mengenal Aflatoksin dan Metode Analisisnya pada Kakao Mengenal Aflatoksin dan Metode Analisisnya pada Kakao Oleh: Bayu Refindra Fitriadi, S.Si Calon PMHP Ahli Pertama Kakao merupakan salah satu produk unggulan perkebunan Indonesia, bahkan saat ini Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sekitar 2/3 wilayah dari total wilayah Indonesia. Dengan luasnya

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sekitar 2/3 wilayah dari total wilayah Indonesia. Dengan luasnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia memiliki wilayah perairan yang lebih banyak dari dataran yaitu sekitar 2/3 wilayah dari total wilayah Indonesia. Dengan luasnya wilayah perairan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data mengenai biomassa panen, kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), kandungan nutrisi,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemilihan Kondisi Optimum Kromatografi Gas untuk Analisis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemilihan Kondisi Optimum Kromatografi Gas untuk Analisis BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pemilihan Kondisi Optimum Kromatografi Gas untuk Analisis DHA Kondisi analisis optimum kromatografi gas terpilih adalah dengan pemrograman suhu dengan suhu awal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA), jalan Tangkuban Perahu No. 157 Lembang, Bandung. 3.2.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Analisis Kuantitatif Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

Modul 5 Bioremediasi Polutan Organik

Modul 5 Bioremediasi Polutan Organik Modul 5 Bioremediasi Polutan Organik MODUL 5 Bioremediasi Polutan Organik POKOK BAHASAN : Bioremediasi limbah cair organik dengan tanaman air dan bakteri TUJUAN PRAKTIKUM : 1. Memahami dan mampu merancang

Lebih terperinci

Zat-zat hara yang ditambahkan kedalam media tumbuh suatu mikroba adalah :

Zat-zat hara yang ditambahkan kedalam media tumbuh suatu mikroba adalah : 1. DEFINISI MEDIA Media adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran zat-zat hara (nutrient) yang berguna untuk membiakkan mikroba. Dengan mempergunakan bermacammacam media dapat dilakukan isolasi, perbanyakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber pangan terutama pada tumbuhan. Berbagai macam tumbuhan mampu menghasilkan cadangan makanan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum melakukan pengamatan terhadap bakteri dan jamur di laboratorium, telebih dahulu kita harus menumbuhkan atau membiakan bakteri/jamur tersebut. Mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan pada Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi pada bulan Februari sampai Mei tahun 2012. 3.2 Alat-alat Alat alat yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel Temulawak Terpilih Pada penelitian ini sampel yang digunakan terdiri atas empat jenis sampel, yang dibedakan berdasarkan lokasi tanam dan nomor harapan. Lokasi tanam terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diliputi oleh perairan. Dengan luas dan panjangnya garis pantai Indonesia, komoditi

BAB I PENDAHULUAN. diliputi oleh perairan. Dengan luas dan panjangnya garis pantai Indonesia, komoditi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan Negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya diliputi oleh perairan. Dengan luas dan panjangnya garis pantai Indonesia, komoditi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini isolat actinomycetes yang digunakan adalah ANL 4,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini isolat actinomycetes yang digunakan adalah ANL 4, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Actinomycetes Pada penelitian ini isolat actinomycetes yang digunakan adalah ANL 4, isolat ini telah berhasil diisolasi dari sedimen mangrove pantai dengan ciri

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan α-amilase adalah enzim menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik pada pati. α-amilase disekresikan oleh mikroorganisme, tanaman, dan organisme tingkat tinggi. α-amilase memiliki peranan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Populasi Bakteri Penambat N 2 Populasi Azotobacter pada perakaran tebu transgenik IPB 1 menunjukkan jumlah populasi tertinggi pada perakaran IPB1-51 sebesar 87,8 x 10 4 CFU/gram

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL PEMBAHASAN 5.1. Sukrosa Perubahan kualitas yang langsung berkaitan dengan kerusakan nira tebu adalah penurunan kadar sukrosa. Sukrosa merupakan komponen utama dalam nira tebu yang dijadikan bahan

Lebih terperinci