BAB I PENDAHULUAN. solvensi yaitu perusahaan mampu membayar utang-utangnya, dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. solvensi yaitu perusahaan mampu membayar utang-utangnya, dan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya pasti memiliki utang. Menurut kemampuan perusahaan dalam membayar utangnya, perusahaan terbagi menjadi dua yakni perusahaan yang solvensi yaitu perusahaan mampu membayar utang-utangnya, dan terdapat juga perusahaan yang insolvensi yaitu yang secara sederhana disebut sebagai perusahaan yang tidak mampu membayar utangutangnya. 5 Secara umum insolvensi diartikan sebagai keadaan suatu usaha dimana kondisi aktivanya lebih kecil daripada pasivanya, dengan kata lain bahwa utang perusahaan lebih besar daripada hartanya. 6 Perusahaan yang insolvensi memiliki dampak buruk terhadap pelaksanaan kegiatan usahanya sehingga kinerja perusahaan tersebut akan terus menurun dan akan sampai pada keadaan dimana perusahaan sebagai debitor berhenti membayar. 7 Pailit adalah keadaan dimana suatu perusahaan atau seseorang tidak dapat atau tidak sanggup untuk membayar utang-utang yang dimilikinya. Menurut Munir Fuady dalam bukunya, yang dimaksud 5 H.M.N. Purwosutjipto, 1988, Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, Djambatan, Jakarta, hlm Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2014, Laporan Penelitian: Penerapan Asas Solvabilitas dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, hlm H.M.N. Purwosutjipto, Op.cit.. 1

2 dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitur (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) utang/kreditur di mana debitur dalam keadaan berhenti membayar utangutangnya, sehingga debitur membayar utang-utangnya tersebut. 8 Pengaturan mengenai kepailitan perusahaan diatur dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya pengaturan tentang kepailitan memiliki tujuan sebagai mekanisme pendistribusian aset perusahaan secara adil dan merata terhadap para kreditor berkaitan dengan keadaan ketidakmampuan debitor melaksanakan kewajiban pembayaran utang tersebut. 9 Pernyatan pailit dapat dijatuhkan kepada setiap orang maupun badan hukum, termasuk perusahaan asuransi jiwa yang memenuhi persyaratan pailit sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. Salah satu perusahaan asuransi jiwa yang telah dinyatakan pailit ialah PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. 10 PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya merupakan salah satu perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang telah lama 8 Munir Fuady, 2005, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm Hukumpedia.com, Fungsi dan Tujuan Kepailitan, diakses pada tanggal 4 Maret 2017 pukul WIB 10 Otoritas Jasa Keuangan, Pengumuman Pernyataan Pailit PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, PT-Asuransi-Jiwa-Bumi-Asih-Jaya.aspx#sthash.9rustS4K.dpuf, diakses pada tanggal 4 Maret 2017 pukul WIB. 2

3 melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi jiwa di Indonesia. Perusahaan ini didirikan sejak tahun 1967 oleh Karel Mompang Sinaga bersama dengan rekan-rekannya. 11 Namun seiring dengan meningkatnya persaingan ekonomi, PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya tidak dapat mengelola perusahaannya dengan baik dan tidak dapat memenuhi kriteria kesehatan keuangan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana telah ditetapkan. Melihat keadaan tersebut, pada Oktober 2013 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Perusahaan tersebut dilarang melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi jiwa dan diwajibkan menurunkan papan nama, serta menyelesaikan utang dan kewajiban. 12 Dalam rangka penyelesaian utangutangnya PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi dengan Putusan Nomor 408K/Pdt.Sus-Pailit/ Pengaturan dan pelaksanaan permohonan penyataan pailit perusahaan asuransi jiwa memiliki perbedaan dengan permohonan pernyataan pailit perusahaan di sektor lain. Hal ini disebabkan karena apabila dilihat dari segi makro, bahwa dalam menjalankan perannya selaku lembaga keuangan non bank, perusahaan asuransi jiwa juga menjalankan fungsi utama bank dalam mengumpulkan dana jangka panjang masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali kepada 11 Rozald Priadi Hatoguan Sihombing, 2007, Analisa Pengambilan Keputusan Investasi di PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya dengan Pendekatan Good Corporate Governance dan SWOT, Tesis S-2 Magister Administrasi Bisnis, SBM ITB, Bandung, hlm Otoritas Jasa Keuangan, Op.cit. 13 Mahkamah Agung RI, 2015, Putusan Nomor 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015, hal

4 masyarakat. Fungsi ini memiliki kaitan yang erat dengan kepercayaan masyarakat dalam menyalurkan dananya pada industri ini. Selain itu, perusahaan asuransi jiwa juga memiliki fungsi lain yang membedakannya dengan lembaga keuangan bank, yaitu dalam hal pemberian proteksi terhadap nilai ekonomi hidup masyarakat. 14 Pentingnya peran perusahaan asuransi jiwa dalam perekonomian dan kehidupan sosial menjadikan perusahaan asuransi jiwa sebagai salah satu industri jasa keuangan non bank yang perlu diawasi dan diatur secara khusus sebagaimana lembaga keuangan lainnya. Di Indonesia, kewenangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan pada industri asuransi jiwa dimiliki oleh lembaga independen yang khusus menangani sektor jasa keuangan, yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan industri asuransi jiwa oleh OJK ialah kewenangan OJK dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi jiwa. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yang menyatakan bahwa: Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 14 Radiks Purba, 1995, Memahami ASURANSI di Indonesia, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, hlm

5 Ketentuan mengenai permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi oleh OJK juga diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian yang dinyatakan sebagai berikut: Kreditor menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga. Namun ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian tersebut tidak sesuai dengan fakta dalam kasus permohonan pernyataan pailit Perusahaan Asuransi Jiwa PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Dalam kasus tersebut tidak terdapat kreditor yang melakukan permohonan pernyataan pailit PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya kepada OJK, akan tetapi OJK atas kehendaknya sendiri melakukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan tersebut. PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya selaku debitor dalam perkara permohonan pernyataan pailit beranggapan bahwa permohonan pernyataan pailit asuransi jiwa hanya dapat dilakukan apabila terdapat kreditor dari perusahaan asuransi jiwa yang mengajukan permohonan pernyataan pailit terlebih dahulu kepada OJK dan kemudian OJK menentukan persetujuan permohonan tersebut agar dapat diajukan ke Pengadilan Niaga, sebagaimana mengacu pada bunyi Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian. Pada pemeriksaan tingkat pertama perkara kepailitan ini, OJK beranggapan bahwa syarat permohonan pernyataan pailit telah terpenuhi dengan adanya kreditor lain yang merupakan para pemegang polis dan 5

6 terdapat pula utang yang telah jatuh tempo yang berupa klaim asuransi milik para pemegang polis yang belum terbayar oleh PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh OJK. Pertimbangan penolakan permohonan tersebut didasarkan pada tidak dapat dibuktikannya klaim asuransi pemegang polis sebagai utang yang dapat digunakan sebagai syarat permohonan pernyataan pailit. 15 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU maupun Undang-Undang Perasuransian tidak mengatur hal-hal yang menjadi dasar bahwa permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan oleh OJK atas kehendaknya sendiri tanpa adanya permohonan pernyataan pailit dari kreditor perusahaan asuransi jiwa kepada OJK sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan fakta dalam perkara kepailitan ini dan menimbulkan ketidakpastian hukum, bahwa permohonan pernyataan pailit yang dimohonkan oleh OJK terhadap PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya ternyata dikabulkan oleh Mahkamah Agung. 16 Perihal lain yang menjadi permasalahan dalam perkara kepailitan PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya ialah adanya ketidakpastian hukum terkait dalil OJK yang menyatakan bahwa klaim asuransi para pemegang polis PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya dapat dikategorikan sebagai utang dan dapat menjadi dasar pemenuhan syarat permohonan pernyataan pailit. 15 Ibid., hal Mahkamah Agung RI, Op.cit. 6

7 Menurut PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, klaim asuransi tidak dapat dikategorikan sebagai utang dan para pemegang polis bukan merupakan kreditor sebagaimana dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Hal ini didasarkan pada tidak adanya ketentuan perundangundangan yang menyatakan bahwa klaim manfaat asuransi yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih adalah utang. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan membahas mengenai permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana telah diputus dalam Putusan Mahkamah Agung No 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Apa dasar hukum yang menjadikan OJK tetap dapat melakukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya meskipun tidak terdapat permohonan pernyataan pailit dari kreditor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perasuransian? b. Bagaimana klaim asuransi para pemegang polis yang telah jatuh tempo dan belum terbayar oleh PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya dapat dikategorikan sebagai utang dan dapat menjadi dasar 7

8 pemenuhan syarat permohonan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganalisis permohonan pernyataan pailit PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya yang dimohonkan oleh OJK terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perasuransian maupun Undang-Undang Kepailitan dan PKPU b. Untuk mengetahui dan menganalisis dapat atau tidaknya klaim asuransi jiwa tertanggung yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dikategorikan sebagai utang yang menjadi dasar pemenuhan syarat permohonan pailit. 2. Tujuan Subyektif Memperoleh data serta informasi yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti dalam rangka penyusunan Penulisan Hukum sebagai syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat, baik secara akademis maupun secara praktis. Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum di dalam bidang Hukum Dagang, khususnya 8

9 bagi mahasiswa agar kritis terhadap masalah hukum sekaligus dapat menemukan solusi hukum terkait dengan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi jiwa oleh Otoritas Jasa Keuangan. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: a. Manfaat bagi Perusahaan Asuransi Jiwa Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi dan/atau pedoman bagi kalangan perusahaan di bidang jasa usaha asuransi jiwa untuk dapat mencegah terjadinya kepailitan perusahaan yang mengakibatkan kerugian di kemudian hari. b. Manfaat bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan referensi bagi rekan mahasiswa mengenai permohonan pernyataan pailit Perusahaan Asuransi Jiwa oleh Otoritas Jasa Keuangan serta syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan pailit perusahaan asuransi jiwa. c. Manfaat bagi Penulis Bagi penulis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan tambahan pengetahuan dalam memahami kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi jiwa dan 9

10 ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal tersebut. E. Keaslian Penelitian Penulisan hukum ini adalah karya asli dari penulis dan sepengetahuan penulis, penulisan hukum tentang Kajian Hukum atas Permohonan Pernyataan Pailit PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya oleh Otoritas Jasa Keuangan belum ada yang membahas sebelumnya. Namun terdapat penulisan hukum yang berkaitan dengan PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, yaitu : 1. Arthur Samosir, 2009, Kekuatan Hukum Polis Asuransi Jiwa Perorangan pada Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya Cabang Medan, Universitas Sumatera Utara Medan. Pada penulisan tersebut, penulis menitikberatkan pada kegunaan dan peranan polis asuransi terhadap pelaksanaan perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung sebagai objek penelitian. Selain itu, terdapat beberapa penulisan hukum yang berkaitan dengan kepailitan perusahaan asuransi jiwa, yaitu: 1. Isnandar Syahputra Nasution, 2009, Kewenangan Pengajuan Permohonan Pailit Terhadap Perusahaan Asuransi, Universitas Diponegoro Semarang. Pada penulisan tersebut, penulis menitikberatkan pada kewenangan Menteri Keuangan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi. 10

11 Pada Penulisan Hukum tersebut penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1) Mengapa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa perusahaan asuransi itu hanya Menteri Keuangan saja yang berwenang mengajukannya? 2) Bagaimana pelaksanaan Pasal 2 Ayat 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan? 3) Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah asuransi jika perusahaan asuransi tersebut dipailitkan? apakah nasabah asuransi termasuk kelompok kreditor perusahaan asuransi dalam pailit dan termasuk kreditor apa nasabah perusahaan asuransi tersebut (apa kreditior separatis, atau kreditor preferen, ataukah kreditor konkuren)? Hasil penelitian yang didapat penulis dalam penulisan hukum tersebut sebagai berikut: 1) Perusahaan Asuransi sesuai dengan fungsinya yang menghimpun dan mengelola dana dari masyarakat dalam 11

12 jumlah besar melalui pengambilalihan resiko yang belum dapat dipastikan maka perusahaan asuransi memegang peranan penting dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian Negara. Sehingga kepailitan pada sebuah perusahaan asuransi akan menimbulkan banyak dampak negatif dari segi perekonomian mengingat banyak kepentingan yang terkait dengan jenis usaha yang satu ini, tidak hanya para kreditornya tetapi juga masyarakat luas dan pihak investor terutama investor asing yang tentunya akan enggan menanamkan modalnya jika terdapat ketidak pastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan perasuransian. Dengan demikian adanya kewenangan Menteri Keuangan tidak boleh diartikan memiliki kewenangan memutuskan pailit atau tidaknya suatu perusahaan asuransi melainkan hanya melakukan fungsi Pengawasan dan Pembinaan agar kepentingan pemegang polis tidak menjadi korban pihak lain yang akan mengajukan pailit; 2) Pelaksanaan Pasal 2 Ayat (5) sejak diundangkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang artinya sejak tahun 2004 hingga sekarang belum pernah ada kendala apa pun, hal ini karena sampai saat ini belum ada kreditor perusahaan asuransi yang mengajukan permohonan pailit kepada 12

13 Menteri Keuangan, sehingga memang masing aman-aman saja; 3) Kreditor (nasabah asuransi) dari suatu perusahaan asuransi yang telah dinyatakan pailit masuk dalam kategori kreditor preferen. Dengan demikian jika suatu perusahaan asuransi telah dinyatakan pailit maka nasabah pemegang polis asuransi dari perusahaan asuransi tersebut berhak mengajukan tuntutan pemenuhan kewajiban pembayaran utang terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan melalui Pengadilan Negeri baik secara perdata maupun pidana. 2. Sungkowo Budi, 2013, Perlindungan Konsumen Jasa Asuransi terhadap Perusahaan Asuransi yang Dinyatakan Pailit Didasarkan Pada Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, Universitas Jember. Pada penulisan tersebut, penulis menitikberatkan pada perlindungan terhadap konsumen jasa asuransi yang telah dinyatakan pailit. Pada Penulisan Hukum tersebut penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana pengawasan dan pembinaan Pemerintah dalam menumbuhkembangkan perasuransian di Indonesia? 13

14 2) Bagaimana tanggung jawab perusahaan asuransi terhadap konsumen jasa asuransi apabila dinyatakan pailit? 3) Apa konsekuensi hukum apabila perusahaan asuransi tidak mampu membayar klaim pihak konsumen jasa asuransi? Hasil penelitian yang didapat penulis dalam penulisan hukum tersebut sebagai berikut: 1) Pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam menumbuhkembangkan perasuransian diindonesia, menteri keuangan diberikan kewenangan dan perangkat lainnya termasuk didalamnya kewenangan untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap perusahaan asuransi. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian dan lebih meningkatkan upaya perlindungan terhadap pemegang polis. Setelah dikeluarkannya undang undang nomor 21 tahun 2011 pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan asuransi di Indonesia beralih pada otoritas jasa keuangan bukan lagi ditangan badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan. Otoritas jasa keuangan juga melindungi konsumen jasa keuangan dengan cara pencegahan dan 14

15 penerimaan laporan terhadap tidak tanduk pelaku usaha yang merugikan konsumen jasa keuangan. 2) Tanggung jawab perusahaan asuransi jiwa ACELIFE terhadap konsumen jasa asuransi yang perusahaannya telah dinyatakan pailit yaitu untuk memberi ganti rugi atas apa yang telah diberikan oleh konsumen jasa asuransi terhadap perusahaan asuransi yang berupa premi. Tanggung jawab tersebut dilakukan oleh perusahaan reasuransi yang telah diikuti oleh perusahaan asuransi jiwa ACELIFE guna untuk menutup semua ganti rugi atau klaim yang dialami atau diajukan oleh para nasabah perusahaan asuransi jiwa ACELIFE. Ganti rugi tersebut dibayarkan sesuai dengan isi polis yang telah disetujui oleh para pihak yaitu antara perusahaan asuransi jiwa ACELIFE dengan para nasabahnya. 3) Konsekuensi hukum bila perusahaan asuransi tersebut terkena pailit dan tidak mampu membayar klaim konsumen jasa asuransi adalah perusahaan asuransi tersebut akan kehilangan hak untuk menguasai harta bendanya, pembatalan segala perbuatan hukum debitur atau tertanggung atau konsumen jasa asuransi, dan konsekuensi hukum yang terakhir adalah pemberian hak retensi pada konsumen jasa asuransi yaitu berupa hak 15

16 untuk menyita aset-aset yang dimiliki perusahaan asuransi tersebut sampai perusahaan asuransi tersebut melalui kuratornya dapat menubusnya kembali. 3. Anak Agung Intan Permata Sari, 2015, Kepailitan PT Asuransi Jiwa Buana Putra yang Izin Usahanya Telah Dicabut : Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 229 K/PDT.SUS-PAILIT/2013, Universitas Udayana Denpasar. Pada penulisan tersebut, penulis menitikberatkan pada keterkaitan pengajuan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi terhadap izin usaha yang telah dicabut. Pada Penulisan Hukum tersebut penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1) Apakah perusahaan asuransi yang izin usahanya telah dicabut dapat dipailitkan? 2) Siapakah yang dapat mengajukan permohonan kepailitan terhadap perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya? Hasil penelitian yang didapat penulis dalam penulisan hukum tersebut sebagai berikut: 1) Perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya dapat dimohonkan palit dan apabila dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maka harus diikuti dengan proses likuidasi yang berujung pada pembubaran perusahaan 16

17 mengingat perusahaan yang telah dicabut izin usahanya tidak dapat menjalankan usaha di bidang lain. 2) Tanpa mengurangi ketentuan Undang-Undang Kepailitan, ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa perusahaan asuransi yang izin usahanya telah dicabut dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan penelusuran dari skripsi dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Kajian Hukum atas Permohonan Pernyataan Pailit PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya oleh Otoritas Jasa Keuangan (Studi Kasus Putusan Nomor 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor belum ada yang membahasnya. Jika terdapat referensi yang terdapat dalam karya orang lain atau pihak lain, maka penulis akan menyebutkan sumbernya dengan jelas. 17

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipastikan kapan akan terjadinya. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dipastikan kapan akan terjadinya. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu risiko yang ditakuti oleh manusia adalah kematian baik yang terjadi karena kecelakaan maupun musibah yang lainnya yang risiko itu sendiri tidak dapat dipastikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai pendukung pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Dosen Pengampu: Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H. DISUSUN OLEH Asawati Nugrahani (E )

Dosen Pengampu: Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H. DISUSUN OLEH Asawati Nugrahani (E ) Pertanggung Jawaban Pengembalian Premi Asuransi oleh Perusahaan Asuransi Pailit Terhadap Pemegang Polis (Studi Kasus Asuransi Jiwa Bumi Asih) Tugas Ini Disusun Dalam Rangka Untuk Memenuhi Nilai UAS Metode

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak

I. PENDAHULUAN. Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak terduga, misalnya mendapat kecelakaan dalam perjalanan di darat, di laut atau di udara. Jika

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan tersebut tidak lagi sanggup melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan tersebut tidak lagi sanggup melaksanakan kewajiban-kewajibannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak jenis, ragam, kualitas dan variasinya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Terhadap kasus yang dihadapi oleh PT Metro Batavia dan International Lease

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Terhadap kasus yang dihadapi oleh PT Metro Batavia dan International Lease BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah hal-hal yang telah dijelaskan dalam bab I, II, III, dan Bab IV, disini penulis berkesimpulan bahwa: 1. Berdasarkan pada data dan fakta yang telah dianalisis,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Kedudukan Tertanggung Setelah Perusahaaan Asuransi Dinyatakan Pailit

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Kedudukan Tertanggung Setelah Perusahaaan Asuransi Dinyatakan Pailit BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kedudukan Tertanggung Setelah Perusahaaan Asuransi Dinyatakan Pailit Perusahaan asuransi merupakan bentuk pengalihan risiko yang didalamnya terdapat perjanjian antara penanggung

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA MENURUT UNDANG-UNDANG No. 37 TAHUN 2004 SKRIPSI

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA MENURUT UNDANG-UNDANG No. 37 TAHUN 2004 SKRIPSI AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA MENURUT UNDANG-UNDANG No. 37 TAHUN 2004 SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Akuntansi forensik berperan dalam beberapa proses dalam perkara kepailitan. Hal ini

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Akuntansi forensik berperan dalam beberapa proses dalam perkara kepailitan. Hal ini BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan terhadap Akuntansi Forensik Dalam Praktik Kepailitan pada Pangadilan Niaga maka peneliti menarik kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan dengan manusia lain. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 071/PUU-II/2004

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 071/PUU-II/2004 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 071/PUU-II/2004 I. PEMOHON Mira Amalia Malik, SH., MH dan Djawoto Jowono, SE., M.M. (Ketua Harian dan Sekretaris) bertindak untuk dan atas nama Yayasan Lembaga Konsumen

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN BATANG TUBUH PENJELASAN RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAH REASURANSI,

Lebih terperinci

Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur

Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur hukumnya dan menyelesaikan permasalahan

Lebih terperinci

KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI

KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 016/K/N/2007) STUDI KASUS HUKUM Oleh: HERMAWAN SUTRISNO Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas

Lebih terperinci

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan BAB I A. Alasan Pemilihan Judul Pailit adalah suatu keadaan dimana seorang debitor tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada kreditor, dan pernyataan pailit atas

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank-Bank di Indonesia dimana bank-bank dinilai oleh Otoritas Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. Bank-Bank di Indonesia dimana bank-bank dinilai oleh Otoritas Perbankan, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dampak dari krisis ekonomi yang terjadi dipertengahan tahun 1997 yang telah membawa kesengsaraan bagi perekonomian nasional, khususnya bagi dunia Perbankan, merupakan

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Hukum Kepailitan di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut PKPU) pada umumnya dikaitkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut PKPU) pada umumnya dikaitkan dengan permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang selanjutnya disebut PKPU) pada umumnya dikaitkan dengan permasalahan antara seorang debitor dengan kreditor-kreditornya.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan,

Lebih terperinci

Penundaan kewajiban pembayaran utang

Penundaan kewajiban pembayaran utang Penundaan kewajiban pembayaran utang PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor atau kreditor Debitor mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 2 Nomor 10 (2013) Copyright 2013

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 2 Nomor 10 (2013)  Copyright 2013 JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 2 Nomor 10 (2013) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja Copyright 2013 KAJIAN HUKUM TENTANG KEWENANGAN MENTERI KEUANGAN DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.337, 2014 EKONOMI. Asuransi. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Van Koophandel (WvK), buku Ketiga yang berjudul Van de Voordieningen in Geval

BAB I PENDAHULUAN. Van Koophandel (WvK), buku Ketiga yang berjudul Van de Voordieningen in Geval 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaturan kepailitan di Indonesia sebelum tahun 1945, diatur dalam Wetboek Van Koophandel (WvK), buku Ketiga yang berjudul Van de Voordieningen in Geval van

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asuransi menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk meminimalisir risiko yang berkemungkinan dapat menimbulkan kerugian atas harta kekayaannya atau jiwa seseorang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut juga dengan penelitian hukum teoritis atau penelitian hukum dogmatik karena tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Dalam utang-piutang, kreditor bersedia menyerahkan sejumlah uang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Dalam utang-piutang, kreditor bersedia menyerahkan sejumlah uang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam utang-piutang, kreditor bersedia menyerahkan sejumlah uang ataupun barang kepada debitor, dengan didasari asumsi bahwa kreditor percaya debitor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung. BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR A. Syarat dan Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh Debitur Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PT Bank Rakyat Indonesia ( Persero ) Tbk atau dikenal dengan nama bank BRI merupakan salah satu BUMN yang bergerak dalam bidang perbankan mempunyai fungsi intermediary

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan,

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, 114 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: a. UU Perbankan, UU Bank Indonesia, PP No.25/1999 dan SK DIR Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bentuk Hukum Perusahaan Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian secara terus menerus, bersifat tetap dan terang-terangan dengan tujuan

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

Heri Hartanto - FH UNS

Heri Hartanto - FH UNS 1 Kekuasaan Kehakiman Psl 13 UU 14/1970 Jo. UU 4/2004 ttg Kekuasaan Kehakiman : memungkinkan di bentuk peradilan khusus di dalam peradilan Umum. Psl 8 UU 2/1986 Jo. UU 8/2004 ttg Peradilan Umum : Di dlm

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama keterpurukan negara Indonesia dewasa ini. Hal ini tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama keterpurukan negara Indonesia dewasa ini. Hal ini tidak dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekian banyak para cendekia dan pengamat memandang bahwa persoalan penegakan hukum khususnya dalam penanganan perkara yang lemah menjadi penyebab utama keterpurukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA.JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI (SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. hukum dagang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Asuransi 1. Pengertian Asuransi Di Indonesia, selain istilah asuransi digunakan juga istilah pertanggungan. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membayar ganti rugi atau disebut dengan penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik atau wederkerig

BAB I PENDAHULUAN. membayar ganti rugi atau disebut dengan penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik atau wederkerig 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan lembaga asuransi atau pertanggungan semakin dirasakan baik oleh perorangan maupun badan usaha di Indonesia. Seseorang atau badan usaha secara pribadi

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci