BAB I PENDAHULUAN. atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asuransi menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk meminimalisir risiko yang berkemungkinan dapat menimbulkan kerugian atas harta kekayaannya atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan asuransi. Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka pihak penanggung (perusahaan asuransi) berkesempatan mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung. 1 Perusahaan asuransi menjalalankan kegiatan usaha diatur dalam UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya disingkat UU Usaha Perasuransian). Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. 2 Asuransi akan berhenti atau dibatalkan berdasarkan Pasal 293 dan Pasal 638 KUHD dalam hal pemberatan risiko setelah asuransi berjalan dihentikan atau dibatalkan sesuai kesepakatan penanggung dan tertanggung. 3 Asuransi juga dapat berakhir karena suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau risiko yang telah 1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan IV, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal Pasal 1 huruf a UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Usaha Perasuransian). 3 Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal

2 diperjanjikan terjadi (evenement), atau karena jangka waktu telah berakhir, atau karena asuransi gugur karena kematian, atau karena tertanggung tidak melanjutkan pembayaran premi sesuai perjanjian. 4 Usaha asuransi juga dapat berakhir jika kegiatan usaha perusahaan asuransi dicabut izinnya oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang selanjutnya diikuti dengan likuidasi, maka segala yang menyangkut hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi yang dilikuidasi merupakan hak utama untuk dibereskan oleh likuidator. Satu di antara prinsip-prinsip kepailitan adalah membereskan hutang-hutang debitor kepada para kreditor (prinsip paritas creditorium) terlebih dahulu. 5 Para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor pailit, jika debitor pailit tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor. 6 Prinsip ini dianut dalam Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian. Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi yang dilikuidasi merupakan hak utama. Apabila perseroan bubar, maka perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. 7 PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 mengajukan kasasi atas permohonan pailit yang diajukan oleh dirinya ke Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditolak. Penolakan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 4 Tuti Restuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hal M. Hadhi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hal Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2003), hal I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2000), hal. 380.

3 didasarkan alasan bahwa yang berhak mempailitkan PT. Asuransi Prisma Indonesia adalah Menteri Keuangan. 8 Menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat walaupun PT. Asuransi Prisma Indonesia (dalam likuidasi) telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan dan telah dibubarkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi secara hukum badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia masih eksis oleh karenanya tetap tunduk pada ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU dan yang berhak mengajukan atau mempailitkan PT. Asuransi Prisma Indonesia adalah Menteri Keuangan. 9 Menteri Keuangan berhak mengajukan permohonan pailit dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain yang bergerak di bidang kepentingan publik. 10 Pihak yang mengajukan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 adalah debitor sendiri yaitu PT. Asuransi Prisma Indonesia sedangkan menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengajukan permohonan pailit PT. Asuransi Prima Indonesia adalah Menteri Keuangan dan Putusan 8 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010, hal Ibid. 10 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 34. Ada 6 (enam) pihakpihak yang dapat mengajukan permohonan pailit antara lain: a. Debitor sendiri. b. Seorang atau beberapa orang kreditor. c. Kejaksaan demi kepentingan umum. d. Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank. e. Badan Pengawasn Pasar Modal (Bapepam-LK) menyangkut debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian. f. Menteri Keuangan dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain yang bergerak di bidang kepentingan publik.

4 Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 menguatkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Debitor (PT. Asuransi Prima Indonesia) memohonkan pailit untuk dirinya sendiri dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya terutama melakukan pembyaran utang-utangnya kepada para kreditor. 11 Demikian pula asalan-alasan yang dikemukakan oleh pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 didasarkan pada ketidakmampuannya untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditor yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 12 Kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit untuk PT. Asuransi Prima Indonesia sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. 13 Sementara di sisi lain Menteri Keuangan sama sekali belum pernah mengajukan permohonan pailit PT. Asuransi Prisma Indonesia kepada pengadilan niaga. Kondisi ini tampak semakin mempersulit pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia untuk menentukan status hukumnya. Jika perusahaan asuransi PT. Asuransi Prisma Indonesia dinyatakan tetap eksis oleh pengadilan akan semakin 11 Ibid., hal Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010, hal Ibid., hal. 51.

5 menimbulkan beban dalam membayar hutang atau kewajibannya kepada kreditor. Tetapi akibat hukum yang ditimbulkan jika perusahaan asuransi ini dinyatakan pailit adalah pemberesan harta pailit oleh likuidator. Itu berarti hutang-hutang perusahaan kepada kreditor diselesaikan terlebih dahulu sesuai dengan kemampuan harta kekayaan perusahaan dan debitor. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan tiga permasalahan berikut ini: 1. Bagaimanakah perusahaan asuransi menjalankan kegiatan usaha berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian? 2. Bagaimanakah kepailitan perusahaan asuransi menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? 3. Bagaimanakah legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami perusahaan asuransi dalam menjalankan kegiatan usaha berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

6 2. Untuk mengetahui dan memahami kepailitan perusahaan asuransi menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 3. Untuk mengetahui legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010. Secara teoritis dan praktis, penulisan skripsi ini memberikan manfaat yang berguna, yaitu: 1. Secara teoritis bermanfaat bagi akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya kreditor dan debitor. 2. Secara praktis bermanfaat bagi: debitor sendiri dan seorang atau beberapa orang kreditor. Bermanfaat bagi lembaga-lembaga yang berhubungan seperti: Kejaksaan demi kepentingan umum; Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank; Badan Pengawasn Pasar Modal (Bapepam-LK) menyangkut debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian; dan Menteri Keuangan dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain yang bergerak di bidang kepentingan publik. D. Keaslian Penulisan Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan masalah yang sama, maka peneliti melakukan pemeriksaan judul skripsi yang sama dengan, Legal Standing Perusahaan Asuransi yang Telah Dicabut Izin Usahanya Dalam

7 Menjalankan Permohonan Pailit (Studi Kasus Putusan MA Nomor 338K/PDT.SUS/2010). Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum, ternyata tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini artinya belum pernah dilakukan peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian dan jauh dari unsur plagiat serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yakni kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta sesuai dengan prosedur menemukan kebenaran ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Asuransi Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. 14 Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa perjanjian untuk asuransi jiwa unit link merupakan salah satu contoh perikatan yang lahir karena undang-undang. Asuransi berasal dari bahasa Inggris insurance yang dalam bahasa Indonesia telah diadopsi dalam Kamus Besar dengan padanan kata pertanggungan. 15 UU Usaha Perasuransian juga menentukan padanan kata asuransi adalah pertanggungan sebagaimana didefenisikan dalam Pasal 1 angka UU Usaha Perasuransian: Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, 14 Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 63.

8 dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Banyak pihak yang mengartikan asuransi secara berbeda-beda. Adam Smith, mengatakan asuransi itu merupakan suatu cara menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak sehingga kerugian itu menjadi ringan dan mudah. Pengertian menurut Adam Smith ini sama dengan asuransi menurut Muhammad Muslehuddin yang diadopsinya dari Encyclopedia Britanica. Abbas Salim, mengatakan asuransi sebagai suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian yang belum pasti. 16 Namun menurut Wirjono Prodjodikoro, asuransi diartikannya lebih sempurna mendekati defenisi asuransi dalam Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian. Wirjono menyebutkan asuransi dalam bukunya Hukum Asuransi di Indonesia bahwa asuransi adalah suatu persetujuan di mana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai penggantian kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas. 17 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian tersebut di atas, diketahui bahwa asuransi itu adalah perjanjian, makna asuransi itu sama dengan pertanggungan, sehingga ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam perjanjian asuransi yang dikelompokkan dalam dua pihak yakni pihak penanggung dan tertanggung. Perjanjian asuransi menurut Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian 16 Tuti Restuti, Op. Cit., hal Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1987), hal. 1.

9 juga menentukan pihak penanggung yang seharusnya memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian yang tidak pasti. Walaupun pengertian asuransi tersebut di atas tampak berbeda-beda satu sama lainnya, namun makna yang sama dalam pengertian ini bahwa penggantian dalam asuransi diberikan oleh pihak penanggung kepada tertanggung melalui premi yang diterima oleh pihak penanggung. Jadi terdapat dalam pengertian penanggugan diartikan secara searah yakni dari pihak penanggung kepada pihak tertanggung. Penanggungan diartikan dalam Kamus Hukum adalah kewajiban menaggung dan memikul tanggung jawab atas sesuatu perbuatan atau kejadian. 18 Molengraaff juga mendefenisikan asuransi sebagai persetujuan dengan mana satu pihak penanggung mengikatkan terhadap yang lain, penanggung mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang belum tentu atau kebetulan, dimana tertanggung berjanji untuk membayar premi kepada penanggung. 19 Pihak-pihak yang mengikatkan diri secara timbal balik itu disebut penanggung dan tertanggung. Penanggung dengan menerima premi memberikan pembayaran, ada juga yang mendefenisikan asuransi tanpa menyebutkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penikmatnya. 20 Sebagai lex generalis dari UU Usaha Perasuransian adalah KUHD yang mendasarkan pengertian penanggungan sama dengan asuransi, Pasal 246 KUHD, menentukan: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk menggantikan kepadanya karena suatu kerugian, 18 M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal Molengraaf dalam Tuti Restuti, Op. Cit., hal Djoko Prakoso, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 4.

10 kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu. Inti dari diadakannya asuransi sesungguhnya dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari apa yang disebut dengan risiko yang selalu melekat dalam diri manusia itu sendiri. Risiko tersebut yang dimaksud adalah risiko yang tidak diketahui kapan muncul, maka salah satu cara mengantisipasi risiko untuk meringankan beban kerugian tersebut, dalam aspek ekonomi dilakukan melalui asuransi. Namun tidak berarti asuransi tersebut jika tidak diatur melalui seperangkat peraturan perundangundangan. 21 Sehingga jika diartikan sebaliknya, asuransi atau pertanggung dimaknai sebagai salah satu cara untuk mengalihkan risiko (transfer of risk) atau membagi risiko (distribution of risk) dari pihak yang memiliki kemungkinan menderita karena adanya risiko kepada pihak lain (perusahaan asuransi) yang bersedia melindungi risiko tersebut melalui prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jadi pertanggungan diberikan oleh pihak penanggung kepada tertanggung sementara risiko dialihkan dari pihak tertanggung kepada pihak penanggung. 2. Pengertian Perusahaan Perasuransian Muatan dalam UU Usaha Perasuransian menggunakan istilah perusahaan perasuransian bukan perusahaan asuransi. Ini berarti pemaknaannya mencakup seluruh kegiatan dalam sistim yang tidak dapat dispisahkan antar satu sama lain dalam undang-undang. Semua kegiatan perasuransian dicakup dalam undang-undang sebagai suatu sistim yang terpadu. 21 Junaedy Ganie, Op. cit., hal. 3.

11 Pasal 1 angka 4 UU Usaha Perasuransian, menentukan, bahwa, Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultan Akturia. Sedangkan Pasal 1 angka 1 PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, menentukan, bahwa, Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Asuransi jiwa. Abdulkadir Muhammad menegegaskan istilah perasuransian melingkupi kegiatan yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. 22 Beliau berlandaskan pengertiannya pada Pasal 2 huruf a UU Usaha Perasuransian, menentukan: Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. Sesuai dengan pengertian asuransi dan perasuransian sebagaimana di atas, perusahaan asuransi dipastikan menyangkut segala hal: perusahaan perasuransian, perusahaan asuransi kerugian, perusahaan pialang reasuransi, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan asuransi jiwa. Pasal 1 angka 4 UU Usaha Perasuransian, menentukan pengertian perusahaan perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, 22 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan V, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hal. 23.

12 agen asuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi dan perusahaan konsultan akturia. Lebih lanjut disebutkan oleh Badulkadir Muhammad bahwa perusahaan asuransi adalah setiap perusahaan yang kegiatan usahanya menjalankan kegiatan di bidang perasuransian. 23 Setiap perusahaan perasuransian hanya dapat menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan dan tidak dimungkinkan adanya suatu perusahaan perasuransian yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian bersamaan dengan asuransi jiwa. 24 Perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. 25 Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. 26 Perusahaan reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa. 27 Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi Asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung Ibid., hal Ibid., hal Pasal 1 angka 5 UU Usaha Perasuransian. 26 Ibid., Pasal 1 angka Ibid., Pasal 1 angka Ibid., Pasal 1 angka 8.

13 Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi. 29 Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung. 30 Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan. 31 Perusahaan Konsultan Akturia adalah perusahaan yang memberikan jasa akturia kepada perusahaan asuransi dan dana pensiun dalam rangka pembentukan dan pengelolaan suatu program asuransi dan atau program pensiun. 32 Persyaratan umum perusahaan perasuransian menurut Pasal 3 PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, menentukan syaratsyarat sebagai berikut: 1) Perusahaan Perasuransian dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa: (1) Maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan salah satu jenis usaha perasuransian; (2) Perusahaan tidak memberikan pinjaman kepada pemegang saham. b. Susunan organisasi perusahaan sekurang-kurangnya meliputi fungsifungsi sebagai berikut: (1) Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan; (2) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan; (3) Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya. 29 Ibid., Pasal 1 angka Ibid., Pasal 1 angka Ibid., Pasal 1 angka Ibid., Pasal 1 angka 12.

14 c. Memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang memadai untuk mengelola kegiatan usahanya. e. Melaksanakan pengelolaan perusahaan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, yang sekurang-kurangnya didukung dengan: (1) Sistem pengembangan sumber daya manusia; (2) Sistem administrasi; (3) Sistem pengelolaan data. 2) Ketentuan lebih lanjut mengenai huruf d dan huruf e ditetapkan oleh Menteri. Dikatakan sebagai Perusahaan Perasuransian seluruh atau mayoritas pemiliknya adalah Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, serta seluruh anggota Dewan Komisaris dan pengurus harus Warga Negara Indonesia. 33 Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Perusahaan Perasuransian yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing harus Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing, atau seluruhnya Warga Negara Indonesia Pengertian Kepailitan Kata kepailitan merupakan gabungan awalan-akhiran (konfiks) ke dan an yang mengapit kata dasar pailit. Istilah pailit diartikan dalam Kamus Hukum adalah Suatu keadaan di mana seseorang berhenti tidak mampu lagi membayar hutangnya dengan putusan Hakim atau Pengadilan Negeri. 35 Istilah pailit juga dapat dijumpai dalam perbendaharaan Bahasa Belanda (failliet), Perancis (faillite), dan Latin (failire), dan Inggris (bankrupt). 36 Dalam istilah Bahasa Perancis adalah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan le failli. Dalam Bahasa Belanda 33 Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal Ibid. 35 M. Marwan dan Jimmy P., Op. cit., hal Ibid.

15 menggunakan istilah failliet memiliki arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. 37 Namun, walaupun sesungguhnya istilah-istilah pailit berbeda-beda namun tetap memiliki pengertian yang sama yaitu sama-sama mengandung makna tidak mampu membayar hutang. Istilah bangkrut yang umum dipergunakan di Indonesia berasal dari Bahasa Inggris yaitu bangkrupt yang sudah dikenal sejak Zaman Romawi. Pada waktu itu Romawai juga telah menggunakan istilah ini dengan sebutan banca rupta. Sementara pada abad pertengahan di Eropa terjadi praktik kebangkrutan dengan melakukan aksi penghancuran bangku-bangku dari para bangkir atau pedagang-pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor. Istilah banco inilah yang berasal dari kata bangku pada waktu itu. Umumnya di negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris, dipakai istilah bangkrupt yang dipergunakan untuk menyebut perusahaan-perusahaan debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar hutang-hutangnya yang disebut juga dengan insolvensi. Pengertian kepailitan diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa pailit. 39 Pengertian kepailitan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU, menentukan, bahwa yang dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal Sunarmi, Loc. cit.

16 Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undangundang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Sedangkan Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang- Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan UUK dan PKPU. Ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dipersamakan dengan ketidakmampuan membayar utang. Ketidakmampuan untuk membayar utang tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus ditagih dengan proses pengajuan ke Pengadilan, baik atas permintaan Debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. 40 F. Metode Penelitian 1. Jenis dan sifat penelitian 40 Ibid., hal. 21.

17 Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di bidang usaha perasuransian dan kepailitan serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu dengan cara menggambarkan dasardasar pertimbangan hakim secara analisis mengenai perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit. 2. Sumber data Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari: a. Bahan hukum primer, yaitu UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Usaha Perasuransian), UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU), UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah seminar, artikel, jurnal, surat kabar, makalah lepas di internet maupun karya-karya tulisan yang berkaitan dengan perusahaan perasuransian dan kepailitan. c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.

18 3. Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research) untuk memperoleh referensi dan studi dokumen untuk memperoleh putusan pengadilan mengenai perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit. Melakukan identifikasi terhadap data sehingga data yang diperoleh melalui studi pustaka dan studi dokumen putusan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi asas-asas dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan. 4. Analisis data Data-data yang diperoleh, akan dianalisis secara kualitatif yakni memilih pasal-pasal terpenting yang terdapat di dalam UU Usaha Perasuransian dan UUK dan PKPU kemudian menjelaskannya, menguraikannya, memaparkannya, dan menganalisisnya berdasarkan asas-asas, norma-norma hukum dan kaidah-kaidah. Dari hasil analisis data akan menghasilkan jawaban atas permasalahan, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan jawaban dan saran-saran. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan sebagai kerangka dalam skripsi ini, dibagi dalam 5 (lima) bab yaitu: BAB I : PENDAHULUAN.

19 Dalam bab ini yang dibahas adalah mengenai hal-hal berkaitan dengan latar belakang yang mengantarkan judul kepada perumusan masalah yang diteliti, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara teoritis dan praktis, tinjauan kepustakaan memuat pengertian-pengertian tentang asuransi, perusahaan perasuransian, dan pengertian kepailitan. Digunakan metode dan sistematika penulisan. BAB II : PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU USAHA PERASURANSIAN. Dalam bab ini dibahas tentang asas-asas dan prinsip-prinsip dasar asuransi meliputi: asas-asas perjanjian asuransi, prinsip itikad baik (good fait), prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest), dan prinsip pengalihan risiko. Selanjutnya dibahas tentang asuransi sebagai suatu perjanjian, berakhirnya perjanjian asuransi, dan pengaturan kegiatan usaha perusahaan asuransi dalam menjalankan kegiatan perasuransian. BAB III : KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI MENURUT UU NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Dalam bab ini dibahas tentang asas-asas dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam hukum kepailitan, syarat-syarat dan prosedur permohonan pailit, serta pengurusan dan pemberesan harta debitor pailit oleh kurator. BAB IV : LEGAL STANDING PERUSAHAAN ASURANSI YANG DICABUT IZIN USAHANYA DALAM MENJALANKAN PERMOHONAN PAILIT BERDASARKAN PUTUSAN MARI NOMOR 338K/PDT.SUS/2010.

20 Dalam bab ini dibahas tentang syarat-syarat mengajukan permohonan pailit, akibat hukum terhadap perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya, dan legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam mengajukan permohonan pailit, dengan terlebih dahulu menggambarkan posisi kasus, pertimbangan hakim pengadilan niaga jakarta pusat, kemudian menganalisis pertimbangan hakim MA berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 dan UU No.37 Tahun BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. LEGAL STANDING PERUSAHAAN ASURANSI YANG TELAH DICABUT IZIN USAHANYA DALAM MENJALANKAN PERMOHONAN PAILIT (Studi Kasus Putusan MA Nomor 338K/PDT.Sus/2010) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet. BAB II 21 TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI 1.1 Kepailitan 1.1.1 Pengertian Kepailitan Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.Kata Failliet itu sendiri

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut juga dengan penelitian hukum teoritis atau penelitian hukum dogmatik karena tidak

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.337, 2014 EKONOMI. Asuransi. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. hukum dagang merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan,

Lebih terperinci

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR 2.1. Pembubaran dan Likuidasi Dalam Pasal 1 UU PT tidak dijelaskan mengenai definisi dari pembubaran tetapi apabila ditarik dari rumusan Pasal 142 ayat (2)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum.

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) definisi dari Perseroan Terbatas (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipastikan kapan akan terjadinya. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dipastikan kapan akan terjadinya. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu risiko yang ditakuti oleh manusia adalah kematian baik yang terjadi karena kecelakaan maupun musibah yang lainnya yang risiko itu sendiri tidak dapat dipastikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 membuat perekonomian Indonesia belum seutuhnya stabil bahkan sampai saat ini. Banyak dunia usaha yang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN BATANG TUBUH PENJELASAN RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAH REASURANSI,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dimana sebagian besar masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dimana sebagian besar masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asuransi atau pertanggungan merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dimana sebagian besar masyarakat Indonesia sudah melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai pendukung pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1992 (EKONOMI. ASURANSI. Uang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. Pada awal kemerdekaan Indonesia, koperasi diatur

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah B A B I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Konsepsi harta kekayaan di dalam perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 1 adalah sebagai suatu persekutuan harta bulat, meliputi

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK

KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK Raden Besse Kartoningrat Fakultas Hukum, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya e-mail: radenbessekartoningrat@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. kondisi teori-teori yang mendukung di dalam mengkaji masalah wanprestasi

BAB II LANDASAN TEORI. kondisi teori-teori yang mendukung di dalam mengkaji masalah wanprestasi BAB II LANDASAN TEORI 2.1.URAIAN TEORI Di dalam pembahasan penulisan skripsi ini tentunya dibutuhkan suatu kondisi teori-teori yang mendukung di dalam mengkaji masalah wanprestasi perjanjian asuransi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa industri perasuransian yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan sehingga muncul berbagai macam permasalahan utang piutang yang timbul dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT OLEH MAHKAMAH AGUNG TERKAIT DENGAN PUTUSAN PAILIT PT. DIRGANTARA INDONESIA

PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT OLEH MAHKAMAH AGUNG TERKAIT DENGAN PUTUSAN PAILIT PT. DIRGANTARA INDONESIA PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT OLEH MAHKAMAH AGUNG TERKAIT DENGAN PUTUSAN PAILIT PT. DIRGANTARA INDONESIA Abstrak Oleh : I Wayan Sudana I Wayan Suardana Hukum

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan sudut pandang yang mereka gunakan dalam asuransi. Adapun definisi

BAB II LANDASAN TEORI. dengan sudut pandang yang mereka gunakan dalam asuransi. Adapun definisi BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Asuransi Banyak definisi yang telah diberikan kepada istilah asuransi. Dimana secara sepintas tidak ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal

Lebih terperinci

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates

Kepailitan. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates Kepailitan Miko Kamal Principal, Miko Kamal & Associates Sejarah Kepailitan Pada masa Hindia- Belanda: Faillissements- verordening Staatblad 1905:217 juncto Staatblad 1906: 348) Masa merdeka: - Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DAN SYARAT-SYARAT PERJANJIAN ASURANSI BERDASARKAN KUHD

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DAN SYARAT-SYARAT PERJANJIAN ASURANSI BERDASARKAN KUHD 17 BAB II TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DAN SYARAT-SYARAT PERJANJIAN ASURANSI BERDASARKAN KUHD A. Pengertian Asuransi Dalam ketentuan Pasal 1774 KUHPerdata yang sudah dikemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. Perkembangan asuransi di Indonesia tentunya tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dan teknologi dalam

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah perusahaan untuk pertama kalinya terdapat di dalam Pasal 6 KUHD yang mengatur mengenai penyelenggaraan pencatatan yang wajib dilakukan oleh setiap orang

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016 TINJAUAN HUKUM TENTANG PEMBUBARAN PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN 1 Oleh : Christian Ridel Liuw 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana alasan memilih

Lebih terperinci

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA.JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI (SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN IMBALAN BAGI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 diarahkan

Lebih terperinci

Komparasi Undang-undang

Komparasi Undang-undang Komparasi Undang-undang Substansi Undang-undang Nomor 2 Tahun1992 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 Jumlah Bab 13 Bab 18 Bab Jumlah Pasal 28 Pasal 92 Pasal Pengaturan dan Pengawasan Menteri Keuangan OJK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN Peraturan ini telah diketik ulang, bila ada keraguan mengenai isinya harap merujuk kepada teks aslinya.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1992 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peranan usaha perasuransian di Indonesia dalam menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur pada pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan ketidakmampuan membayar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

BAB II PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN

BAB II PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN BAB II PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN A. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran

Lebih terperinci

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007 LITERATUR Kitab Undang Undang Hukum Perusahaan ( Prof. Drs. C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, S.H., M.H.) Hukum Perusahaan Perseroan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung. BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak

I. PENDAHULUAN. Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak terduga, misalnya mendapat kecelakaan dalam perjalanan di darat, di laut atau di udara. Jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membayar ganti rugi atau disebut dengan penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik atau wederkerig

BAB I PENDAHULUAN. membayar ganti rugi atau disebut dengan penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik atau wederkerig 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan lembaga asuransi atau pertanggungan semakin dirasakan baik oleh perorangan maupun badan usaha di Indonesia. Seseorang atau badan usaha secara pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan pembangunan di bidang perekonomian terlebih setelah krisis moneter

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar

BAB I PENDAHULUAN. modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebijakan dalam sektor ekonomi adalah pengembangan pasar modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar modal, merupakan suatu

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT A. Pengertian Perseroan Terbatas Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan berasal dari kata Sero", yang mempunyai arti Saham.

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci