KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI

Transkripsi

1 KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 016/K/N/2007) STUDI KASUS HUKUM Oleh: HERMAWAN SUTRISNO Nomor Mahasiswa : Program Studi : Ilmu Hukum UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS HUKUM YOGYAKARTA 2009

2 KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 016/K/N/2007) A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Dalam praktik dunia usaha adalah sudah sangat lazim apabila perusahaan memiliki utang kepada berbagai pihak, misalnya bank atau lembaga keuangan dan pihak perseorangan lainnya. Selama masih dapat membayar atau melunasi utang tersebut, berutang tidaklah salah. Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban melunasi utang-utangnya itu disebut sebagai perusahaan yang solvable. Sedangkan perusahaan yang tidak mampu lagi membayar utang-utangnya disebut sebagai perusahaan yang insolvable atau tidak mampu membayar. 1 Begitu pula PT Redsea Indonesia, yang pada awal berdirinya bernama PT Raya Global Indonesia, dalam usahanya untuk memperlancar jalannya perusahaan, juga mempunyai utang kepada pihak lain. Kepailitan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena jika 1 Ridwan Khairandy, et. al., Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Kerja Sama Pusat Studi Hukum FH UII dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 287.

3 perusahaan mengalami kepailitan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar utangnya. 2 Pada mulanya PT Redsea Indonesia menjalankan usahanya dengan lancar, bahkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak PMA VI. Namun sejak 2002 usaha PT Redsea Indonesia mengalami kemunduran karena PT Redsea Indonesia kesulitan dalam berinvestasi di Indonesia dan bersaing dengan produk garmen atau pakaian jadi dari negara lain. Karena kemunduran usaha dan adanya perselisihan hukum perpajakan dengan Direktorat Jenderal Pajak, akhirnya membuat PT Redsea Indonesia tidak mampu lagi menjalankan usahanya dan tidak mampu lagi membayar utang-utangnya atau dalam keadaan insolvable dan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. PT Redsea Indonesia mengajukan permohoan pailit atas perusahaanya sendiri ke pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah memeriksa dan mengadili permohonan pailit dari pemohon, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pailit dari pemohon. Dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Putusan No. 15/Pailit/2007/PN.Niaga.Jkt.Pst Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan pailit pemohon, tetapi tidak memasukkan Kantor Pelayanan Pajak PMA VI sebagai salah satu kreditor dari pemohon. 2 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Ctk kedua,citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 75.

4 Terhadap keputusan pengadilan niaga tersebut, PT Redsea Indonesia merasa keberatan dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Setelah memeriksa dan mengadili kasus tersebut, Mahkamah Agung dengan putusannya menolak permohonan kasasi dari pemohon PT Redsea Indonesia, putusan Mahkamah Agung tersebut memperkuat putusan pengadilan niaga. Majelis hakim berpendapat sama dengan pengadilan niaga bahwa Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak PMA VI tidak termasuk sebagai kreditor (preferen) dalam kasus kepailitan PT Redsea Indonesia dan pembayaran utangnya tidak diselesaikan melalui proses kepailitan. Dalam kasus ini terdapat persamaan analisis antara majelis hakim pengadilan Niaga dan majelis hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Majelis hakim berpendapat Kantor Pelayanan Pajak PMA VI bukan sebagai kreditor dari pemohon, karena utang pajak tersebut timbul karena Undang-Undang yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dalam Undang-Undang tersebut memberi kewenangan khusus pejabat pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap utang pajak di luar campur tangan Pengadilan. Oleh karena itu tagihan utang pajak diselesaikan di luar proses kepailitan, karena mempunyai hak istimewa penyelesaiannya. Hal yang menarik dalam kasus ini adalah, majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya menggunakan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Perpajakan,

5 untuk penyelesaian utang pajak. Padahal Undang-Undang tersebut telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan. Dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dapat disimpulkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak hanya mempunyai hak mendahului atas piutang pajaknya. Dengan demikian menurut hukum Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak PMA VI adalah sebagai kreditor dengan hak mendahului atau hak istimewa. Jika dilihat dari dari putusan Pengadilan Niaga dan putusan kasasi yang tidak menyatakan Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak PMA VI sebagai kreditor adalah menarik untuk dikaji dalam penelitian ini, karena dalam pertimbangan hukum Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung, tidak mempertimbangkan penerapan hak istimewa sebagaimana yang sudah ditentukan di dalam Pasal 1134 KUH Perdata, Pasal 21 ayat (1) dan (3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan. Demikian pula dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa pengertian kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang. Bukankah Kantor Pelayanan Pajak dapat dikategorikan sebagai kreditor yang piutangnya berasal dari Undang-Undang? Untuk itu penulis akan mencoba menganalisis masalah tersebut dalam tugas akhir ini.