Dosen Pengampu: Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H. DISUSUN OLEH Asawati Nugrahani (E )

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Dosen Pengampu: Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H. DISUSUN OLEH Asawati Nugrahani (E )"

Transkripsi

1 Pertanggung Jawaban Pengembalian Premi Asuransi oleh Perusahaan Asuransi Pailit Terhadap Pemegang Polis (Studi Kasus Asuransi Jiwa Bumi Asih) Tugas Ini Disusun Dalam Rangka Untuk Memenuhi Nilai UAS Metode Penelitian Hukum Kelas E Dosen Pengampu: Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H. DISUSUN OLEH Asawati Nugrahani (E ) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

2 1. Judul Pertanggung Jawaban Pengembalian Premi Asuransi oleh Perusahaan Asuransi Pailit Terhadap Pemegang Polis (Studi Kasus Asuransi Jiwa Bumi Asih) 2. Bidang Ilmu Ilmu Hukum (Hukum Perdata ) 3. Latar Belakang Masalah Asuransi sebagai lembaga keuangan bukan bank semakin mendapat tempat di masyarakat, bahkan hampir dalam seluruh hal mereka harus berurusan dengan pertanggungan. Jadi jelas, semakin lama pertanggungan akan menjadi kebutuhan masyarakat secara luas untuk menghadapi kemungkinan yang mungkin akan terjadi dan menimbulkan suatu resiko. Pertanggungan adalah perjanjian timbal balik antara penanggung dan penutup asuransi, dimana penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian dan/atau membayar sejumlah uang (santunan) yang ditetapkan pada penutup perjanjian, kepada penutup asuransi atau orang lain yang ditunjuk, pada waktu terjadinya evenement, sedangkan penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar uang premi.( H.M.N. Purwusutjipto 1990 :10) Resiko diartikan sebagai kerugian yang tidak pasti, terdapat dua unsur didalamnya, yaitu ketidakpastian dan kerugian. Jasa asuransi atau perasuransian dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih yang mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung bila terjadi suatu evenemen atau kerugian. Dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian, diatur pula bahwa objek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya. Undang Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyebutkan bahwa usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh Perseroan Terbatas, Koperasi, Usaha Bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan.tentunya di dalam menjalankan kegiatan usahanya perusahaan- perusahaan tersebut dapat mengalami resiko yaitu seperti resiko mengalami pailit. Menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 pasal 51 ayat (1), Kreditor menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga. Kemudian dalam pasal 51 ayat (2) menyebutkan, Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan yang disampaikan oleh kreditor

3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Di Indonesia, masalah krisis moneter pernah terjadi ketika pertengahan Tahun 1997 sampai Tahun 1998 lalu. Dimana akibat dari krisis ini ialah OJK akhirnya mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi Bumi Asih Jaya pada 18 Oktober 2013 karena memiliki utang klaim kepada nasabahnya yang belum dibayar. OJK mencatat Bumi Asih punya utang senilai Rp 85,6 miliar dari pemegang polis, baik polis asuransi perorangan maupun kumpulan. Untuk sementara, PT Bumi Asih Jaya berhasil lolos dari jeratan pailit. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan kepailitan yang diajukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Putusan tersebut bernomor No.27Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.NIAGA.Jkt.Pst. Pada Putusan Kasasi, Mahkamah Agung memutus permohonan Kasasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas PT Asuransi Bumi Asih Jaya. Berdasarkan situs resmi lembaga peradilan tertinggi ini, Majelis Hakim Agung telah mengabulkan permohonan OJK. Kini, PT Asuransi Bumi Asih Jaya berstatus pailit. Pasca dicabutnya izin usaha PT Bumi Asih Jaya (BAJ) sebagai perusahaan asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tanggal 18 Oktober 2013 lalu, hingga kini kewajiban perusahaan tersebut untuk membayar klaim polis asuransi terhadap nasabahnya masih ada yang belum terealisasikan. Bahkan, pasca diputus pailit, Ir. Anwar Aziz, warga gampoeng Keramat Dalam, Sigli, Selasa (12/4/2016), mengatakan dirinya merupakan nasabah PT Bumi Asih Jaya sejak tahun 2004 yang memiliki dua buah polis namun hingga kini masih belum ada kejelasan dari pihak perusahaan asuransi tersebut. Perusahaan asuransi akan memberikan ganti kerugian apabila terjadi evenemen. Apabila belum terjadi evenemen dan perusahaan sudah mengalami pailit, maka perlindungan terhadap pemegang polis akan semakin tidak jelas kedudukannya. Dengan pailitnya suatu perusahaan bukan berarti menghilangkan kewajiban Perusahaan untuk mengembalikan premi yang telah diajukan karena hal tersebut akan merugikan para pemegang polis.oleh karenanya, penulis tertarik untuk membuat suatu penelitian yang berjudul : Pertanggung Jawaban Pengembalian Premi Asuransi oleh Perusahaan Asuransi Pailit Terhadap Pemegang Polis (Studi Kasus Asuransi Jiwa Bumi Asih) 4. Perumusan Masalah

4 Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merumuskan beberapa masalah agar permasalahan yang diteliti lebih jelas dan penulisan hukum mencapai tujuan yang diinginkan, permasalahan yang akan dibahas adalah : a. Bagaimanakah pertanggung jawaban PT Asuransi Bumi Asih Jaya atas Premi yang telah dibayarkan oleh Pemegang Polis? b. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi Pemegang Polis Asuransi dari PT Asuransi Bumi Asih Jaya yang telah dinyatakan Pailit? 5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui pertanggung jawaban PT Asuransi Bumi Asih Jaya atas Premi yang telah dibayarkan oleh Pemegang Polis. b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi perlindungan hukum bagi Pemegang Polis Asuransi dari PT Asuransi Bumi Asih Jaya yang telah dinyatakan Pailit. 6. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang Hukum Perdata terutama yang berkaitan dengan pertanggung jawaban PT Asuransi Bumi Asih Jaya atas Premi yang telah dibayarkan oleh Pemegang Polis. 2) Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian- penelitian sejenis dimasa mendatang b. Manfaat Praktis 1) Menambah wawasan pengetahuan terutama dibidang ilmu Hukum Perdata terutama berkaitan dengan pertanggung jawaban PT Asuransi Bumi Asih Jaya atas Premi yang telah dibayarkan oleh Pemegang Polis. 2) Memberi pengetahuan berkaitan dengan pertanggung jawaban PT Asuransi Bumi Asih Jaya atas Premi yang telah dibayarkan oleh Pemegang Polis. 7. Tinjauan Pustaka a. Tinjauan Umum Asuransi Menurut pasal 1 angka (6) UU no 40 tahun 2014 disebut bahwa Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain

5 kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Dalam KUHD, belum dikenal adanya istilah asuransi namun dikenal istilah pertanggungan. Menurut Pasal 246 KUHD, yang dimaksud dengan pertanggungan adalah : Perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Dalam BW, menurut pasal 1774 dikenal perjanjian untung-untungan yang berarti suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, bagi semua pihak, maupun bagi mana pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Dengan adanya asuransi, kita dapat mengalihkan risiko itu kepada perusahaan yang bergerak di dalam bidang asuransi untuk menanggung resiko resiko yang seharusnya kita tanggung sehingga dapat membantu kita mengurangi beban hidup kita. Risiko- risiko yang banyak dapat terjadi dalam kehidupan kita antara lain Seperti, kehilangan harta kekayaan, kehilangan nyawa, kecelakaan, kebakaran, kerusakan pada hasil pertanian, kecelakaan pada angkutan umum, angkutan laut, dan angkutan udara, dan sebagainya. (H.M.N. Purwusutjipto 1990:.10 ) Dalam perasuransian terdapat berbagai jenis asuransi yang berfungsi untuk melindungi benda yang diasuransikan sesuai dengan asuransi yang digunakan oleh tertanggung. Jika ditinjau dari sifatnya asuransi terdiri dari asuransi wajib dan asuransi sukarela. Asuransi wajib yaitu asuransi yang sifatnya wajib dilakukan oleh pihak-pihak terkait yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan ketentuan perundangundangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan Asuransi sukarela adalah asuransi yang dilakukan secara sukarela dan sematamata dilakukan atas kesadaran seseorang akan kemungkinan terjadinya risiko kerugian atas sesuatu yang dipertanggungkan. Jika ditinjau dari fungsinya jenis asuransi dibagi menjadi berberapa jenis antara lain asuransi kerugian, asuransi jiwa dan reasuransi. Dalam hukum asuransi minimal terdapat 2 (dua) pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Penanggung adalah pihak yang menanggung beban risiko sebagai imbalan premi yang diterimanya dari tertanggung. Jika terjadi evenemen yang menjadi beban penanggung, maka penanggung berkewajiban mengganti kerugian.

6 Pada asuransi jiwa yang dipertanggungkan ialah yang disebabkan oleh kematian (death).dalam asuransi jiwa, jika terjadi evenemen matinya tertanggung, maka penanggung wajib membayar uang santunan, atau jika berakhirnya jangka waktu asuransi tanpa terjadi evenemen, maka penanggung wajib membayar sejumlah uang pengembalian kepada tertanggung. Penanggung adaiah Perusahaan Asuransi Jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulanggan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau matinya seseorang yang diasuransikan. Perusahaan Asuransi Jiwa merupakan badan hukum milik swasta atau badan hukum milik negara. Asuransi dapat juga diadakan untuk kepentingan pihak ketiga dan ini harus dicantumkan dalam polis. Menurut teori kepentingan pihak ketiga (the third partyinterest theory) dalam asuransi jiwa, pihak ketiga yang berkepentingan itu disebut penikmat. Penikmat ini dapat berupa orang yang ditunjuk oieh tentanggung atau ahli waris tertanggung. Hal-hal yang telah disepakati oleh pihak tertanggung dan pihak penanggung berkenaan dengan risiko yang hendak dipertanggungkan dituangkan dalam suatu dokumen atau akta yang disebut polis. Hal ini tercantum dalam Pasal 255 KUHD yang menyatakan bahwa : Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Polis asuransi merupakan dokumen hukum utama yang dibuat secara sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 251 KUHD. Polis bukanlah suatu kontrak atau perjanjian asuransi, melainkan sebagai bukti adanya kontrak atau perjanjian itu. Hal ini tercantum dalam Pasal 258 KUHD ayat (1) dan (2) yang menyatakan : Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian tulisan, namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. b. Tinjauan tentang Kepailitan Di Indonesia, masalah krisis moneter pernah terjadi ketika pertengahan Tahun 1997 sampai Tahun 1998 lalu. Dimana akibat dari krisis ini ialahbanyaknya perusahaan perusahaan pada saat itu mengalami kepailitan yang diakibatkan ketidakmampuan dari perusahaan tersebut untuk melunasi utang- utangnya yang sudah jatuh tempo. Selain itu, para investor asing berhenti menanamkan modalnya ke Indonesia yang mengakibatkan sumber devisa negara terancam. Perusahaan perusahaan kewalahan untuk memenuhi kewajibanya, baik kepada kreditur dalam negri maupun kepada kreditur luar negri, sehingga muncullah masalah wanprestasi

7 dari pihak debitur. Akibatnya, banyak perusahaan nasional yang tutup karena tidak mampu bersaing dan semakin menumpuknya utang yang belum terbayarkan sehingga menyebabkan perusahaan perusahaan harus mengalami kepailitan dan/ atau likuidasi yang semakin manambah angka pengangguran di Indonesia. Untuk mengatasi kondisi negara dan pemerintahan yang seperti ini, serta memberi suatu jaminan perlindungan yang pasti terhadap para investor asing juga lokal, maka perlu dibuat suatu peraturan yang dapat menjadi sarana hukum sebagai solusinya, baik bagi pihak debitur sendiri maupun bagi pihak krediturnya. Peraturan itu adalah Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang ( PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang Undang Kepailitan menjadi Undang Undang jo. Faillissementsverordening sebagaimana termuat dalam Staatsblad 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad 1906 Nomor 348 Kepailitan adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagibagi secara adil diantara para kreditor ( Munir Fuady, 2005:. 8) Secara etimologis istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Selanjutnya istilah pailit itu dalam bahasa Belanda adalah fayit, maka ada pula sementara orang yang menerjemahkannya sebagai palyit dan faillissement sebagai kepailitan. Kemudian pada negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy. Kepailitan berasal dari kata dasar pailit. Pailit adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa keadaan berhenti membayar utang-utang debitor yang telah jatuh tempo. (Zaeny Asyhadie, 2005:. 225) Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitor dalam keadaan berhenti membayar atau tidak mampu membayar. Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua (2) fungsi sekaligus, yaitu sebagai berikut: a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitor tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-utangnya kepada semua Kreditornya; b. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh kreditor-kreditornya jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan pasal 1132 KUHPerdata Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua

8 kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa syarat mengenai adanya kepilitan adalah minimal dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorium.32 Dengan demikian jika seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor saja, maka kepailitan akan kehilangan rasionya. Itulah sebabnya disyaratkan adanya concursus creditorium. Keharusan adanya dua kreditor yang disyaratkan dalam undang-undang kepailitan merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 1132 KUHPerdata. (Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2004:. 107) Kepailitan diawali dengan putusan hakim. Akibat dari putusan tersebut maka menurut Pasal 24 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut sebagai UU Kepailitan dan PKPU) sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan maka dihitung sejak pukul waktu setempat, debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Putusan pernyataan pailit menciptakan suatu sita kepailitan umum untuk kepentingan para kreditur secara bersama, serta melahirkan suatu hubungan hukum yang baru. Dengan adanya kepailitan, debitur tidak lagi menguasai barang-barangnya. Kewenangan itu telah beralih kepada kurator di bawah pengawasan hakim pengawas selanjutnya para kreditur mendapat kesempatan untuk mengajukan tagihan mereka kepada kurator. Harta pailit akan dibagikan sesuai dengan porsinya melalui mekanisme pendistribusian aset secara adil dan merata terhadap kreditur berkaitan dengan keadaan tidak membayarnya debitur karena ketidakmampuan debitur melaksanakan kewajiban tersebut.( M. Hadi Shubhan,2009:1.) c. Tinjauan tentang Tanggung Jawab Pengembalian Premi Tanggung jawab merupakan suatu bentuk dari perlindungan hukum atau perlindungan konsumen dari pelaku usaha. Selain tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku usaha, para konsumen juga akan mendapatkan hak haknya dari tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku usaha dibidang asuransi tersebut. Perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. (Abdulkadir Muhammad, 2006)

9 Dalam kasus kepailitan terhadap perusahaan asuransi,subjek hukum yang sangat perlu dilindungi hak haknya adalah pihak konsumen jasa asuransi atau pihak tertanggung sebagai kreditur dari perusahaan asuransi, sebab konsumen jasa asuransi merupakan pihak yang memiliki kedudukan yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perjanjian asuransi disamping kedudukan pelaku usaha perasuransian itu sendiri. Konsumen jasa asuransi memegang peranan yang sangat penting dalam perjanjian asuransi sebab ia dapat menentukan kehendak secara bebas apakah akan melanjutkan perjanjian asuransi ataukah akan menghentikan perjanjian asuransi tersebut. Hak hak dari konsumen jasa asuransi atau tertanggung sangat penting untuk dilindungi sebab dalam perjanjian asuransi, konsumen jasa asuransi atau tertanggung yang membayar premi asuransi kepada perusahaan asuransi sebagai pihak pelaku usaha atau penanggung untuk memberikan tanggung jawab kerugian atau penggantian kepada konsumen jasa asuransi atau tertanggung bila terjadi suatu peristiwa yang tidak diinginkan menimpa pihak konsumen jasa asuransi atau tertanggung. Sehingga, dengan adanya kepercayaan dari konsumen jasa asuransi tersebut untuk memasukkan dana mereka kepada perusahaan asuransi dalam bentuk premi asuransi, hal ini dapat menyebabkan semakin berkembangnya industri asuransi tersebut. Sehingga untuk itulah diperlukan suatu perlindungan hukum terhadap konsumen jasa asuransi. Hak hak konsumen jasa asuransi atau tertanggung antara lain adalah sebagai berikut: (Sidharta, 2006: ) 1. Hak untuk menunjuk orang yang akan menerima uang tanggungan; 2. Hak untuk merubah siapa siapa saja yang akan menjadi tertunjuk dalam batas batas tertentu; 3. Hak untuk menebus kemabali polis; 4. Hak untuk mengubah polis menjadi bebas premi; 5. Hak untuk mengadakan pengawasan terhadap penanggung; 6. Hak untuk mengadakan polis Selain hak hak diatas hak konsumen jasa asuransi yang perusahaan asuransinya tersebut dinyatakan pailit adalah hak untuk mendapatkan ganti kerugian daripembayaran premi yang sudah disetor atau dibayarkan. Untuk memenuhi hak hak para konsumen jasa asuransi atau tertanggung, pelaku usaha atau penanggung

10 dengan ini melakukan tanggung jawabnya sebagai pihak pelaku usaha yang melakukan usahanya. Perlindungan hukum terhadap konsumen jasa asuransi untuk mendapatkan hak haknya yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu berupa tanggung jawab ganti kerugian dari perusahaan asuransi yang telah pailit tersebut. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang telah dihasilkan atau diperdagangkan. Jika dihubungkan dengan kegiatan perasuransian kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang atau jasa dapat diartikan bahwa konsumen jasa asuransi disini dirugikan akibat telah menggunakan atau mempercayakan hartanya kepada pelaku usaha perasuransian atau penanggung dengan membayar premi untuk mendapatkan sebuah polis asuransi. Didalam perjanjian asuransi disyaratkan bahwa adanya kata sepakat dari para pihak, tentu saja para pihak disini mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum sesuai yang disyaratkan dalam undang undang. Kata kesepakatan antara pelaku usaha atau penanggung dengan konsumen jasa asuransi atau tertanggung yang mendasari terjadinya perjanjian asuransi itu tidak dilakukan dengan cara lisan saja, tetapi harus melalui prosedur administrasi yang telah ditetapkan. Tindakkan ini adalah langkah positif guna memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam undang undang mengenai pembuktian perjanjian asuransi. Persyaratan atau perjanjian tersebut guna menambah kepercayaan bagi para nasabah atau konsumen jasa asuransi jiwa untuk menjadi nasabah perusahaan asuransi tersebut. Dengan adanya perjanjian tertulis atau yang sering disebut dengan polis dapat melindungi hak hak dari nasabah atau konsumen jasa asuransi itu sendiri bila terjadi sesuatu pada suatu saat nanti dikemudian hari. Keputusan pailit dikeluarkan oleh pengadilan niaga melalui gugatan para nasabahnya bila pada suatu saat nanti perusahaan asuransi jiwa mengalami insolvensi atau tindakan tidak mampu membayar.dengan dikeluarkannya putusan pailit dari pengadilan niaga, perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya. Akibat hukum lain yang juga amat penting dari pernyataan pailit adalah bahwa untuk kepentingan harta

11 pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitur dalam hal ini adalah perusahaan asuransi yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur (konsumen jasa asuransi), yang dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan, inilah yang dimaksud dengan actio paulina [7]. Actio paulina merupakan sarana yang diberikan oleh undang undang kepada setiap kreditur untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang telah dilakukan oleh debitur (perusahaan asuransi) dimana perbuatan tersebut merugikan kreditur (konsumen jasa asuransi). Ada unsur penting yang menjadi patokan dalam pengaturan actio paulina dalam pasal 1341 KUHPerdata, yaitu unsur itikad baik menjadi landasan dalam menentukan perbuatan tersebut termasuk perbuatanyang diwajibkan atau tidak diwajibkan [8]. Pengaturan actio paulina dalam undang undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU terdapat dalam pasal 30 dan pasal 41. Dimana dalam pasal 30 undang undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU dikatakan:[7] Dalam hal suatu perkara dilanjutkan oleh kurator terhadap pihak lawan aka kurator dapat mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang dilakukan oleh debitur sebelum yang bersangkutan dinyatakan pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan debitur tersebut dilakukan dengan maksud untuk merugikan kreditur dan hal ini diketahui oleh pihak lawannya. Pasal 41 undang undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU terdapat 5 (lima) persyaratan yang harus dipenuhi agar actio paulina itu berlaku, antara lain:[7] 1) Debitur telah melakukan suatu perbuatan hukum; 2) Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur; 3) Perbuatan hukum dimaksud telah merugikan kreditur; 4) Pada saat melakukan perbuatan hukum, debitur mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan kreditur; 5) Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut, pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya

12 mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagikreditur. Konsekuensi hukum yang terakhir, apabila perusahaan asuransi tersebut tidak mampu membayar klaim,konsumen jasa asuransi sejak dilaksanakan putusan pailit adalah adanya hak retensi yang diatur dalam pasal 61 undang undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU yaitu hak kreditur atau tertanggung atau konsumen jasa asuransi untuk menahan barang barang kepunyaan debitur atau pelaku usaha asuransi atau perusahaan asuransi, hingga dibayarnya suatu hutang tidak kehilangan hak untuk menahan barang dengan diucapkannya pernyataan pailit. Apabila kurator bermaksud untuk menebus barang barang tersebut, maka kurator wajib melunasi hutang atau dalam hal ini adalah klaim dari pihak konsumen jasa asuransi terlebih dahulu. d. Kerangka Berpikir PERUSAHAAN ASURANSI TIDAK MEMENUHI KLAIM KREDITUR MELAPOR KEPADA OJK DITOLAK DITERIMA Pemberitahu an PERMOHONAN KEPAILITAN KE PENGADILAN NIAGA DITOLAK DITERIMA

13 PERTANGGUNGJAWA BAN PENGEMBALIAN PREMI 8. Metode Penelitian Jenis penelitianyang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. a. Sifat Penelitian Ditinjau dari sifatnya, penelitian ini bersifat preskriptif untuk memberian apa yang harus dilakukan dan bukan merupakan hipotesis. Yaini mengenai Perlindungan hukum terhadap Tertanggung pada Asuransi Unit Link b. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peruandang-undangan (statue approach) dilakukan dengan menelaah peraturan-peraturan perundang undangan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Hasil dari telaah tersebut memberikan suatu argumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi. c. Jenis dan Sumber Bahan Penelitian Adapun yang sumber penelitian penulis gunakan adalah: 1) Bahan Hukum Primer: a. Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian; b. Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen d. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata e. Kitab Undang- Undang Hukum Dagang f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

14 2) Bahan Hukum Sekunder a. Buku- Buku Mengenai Hukum Asuransi Indonesia b. Hasil-hasil penelitian yang relevan atau yang terkait, diantaranya skripsi, tesis, disertasi maupun jurnal- jurnal hukum. 9. Sistematika Penulisan Sistematika dalam penulisan hukum ini dibagi menjadi 4 bab. Yaitu: BAB I : PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 2. Rumusan Masalah 3. Tujuan Penelitian 4. Manfaat Penelitian 5. Metode Penelitian 6. Sistematika Penulisan BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 1) Tinjauan Tentang Asuransi a. Pengertian Asuransi b. Dasar hukum Asuransi c. Polis Asuransi 2) Tinjauan tentang Kepailitan a. Pengertian Kepailitan b. Dasar hukum Kepailitan c. Prosedur Kepailitan 3) Tinjauan Pertanggungjawaban pengembalian premi a. Pengertian pertanggung jawaban pengembalian premi b. Dasar Hukum Pertanggung jawaban pengembalian premi c. Perlindungan hukum bagi Pemegang Polis pengembalian premi BAB III HASIL PENELITIAN Dalam bab ini penulis akan menawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu: a. Bagaimanakah pertanggung jawaban PT Asuransi Bumi Asih Jaya atas Premi yang telah dibayarkan oleh Pemegang Polis.

15 BAB IV b. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi Pemegang Polis Asuransi dari PT Asuransi Bumi Asih Jaya yang telah dinyatakan Pailit. c. PENUTUP Bab keempat yang merupakan bab terakhir ini akan menjelaskan kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan serta saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16 Daftar Pustaka Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Asuransi Indonesia, cetakan 4, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti H.M.N. Purwusutjipto, 1990, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Buku 6, Jakarta :Djambatan Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2004, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada M. Hadi Shubhan, 2009 Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Jakarta:Kencana Prenada Media Group Man Suparman dan Endang, 1997 Hukum Asuransi : Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuransian, Bandung: Alumni, Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Bandung,:PT Citra Aditya Bakti Prakoso Djoko S.H. 2000, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta Raja Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Pemegang polis asuransi dan Instrumen-instrumenm Hukumnya, Bandung : Citra Aditya Bakti Zaeny Asyhadie, 2005, Hukum Bisnis Proses Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Jakarta, PT. Grafindo Persada Perundang- Undangan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Perasuransian

17 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Internet diakses tanggal 23 Mei tanggal 26 Mei 2016 diakses

II. TINJAUAN PUSTAKA. bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perusahaan Asuransi 1. Pengertian Perusahaan Asuransi Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak

I. PENDAHULUAN. Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak terduga, misalnya mendapat kecelakaan dalam perjalanan di darat, di laut atau di udara. Jika

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipastikan kapan akan terjadinya. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dipastikan kapan akan terjadinya. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu risiko yang ditakuti oleh manusia adalah kematian baik yang terjadi karena kecelakaan maupun musibah yang lainnya yang risiko itu sendiri tidak dapat dipastikan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Asuransi 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur pada pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan ketidakmampuan membayar

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Asuransi 1. Pengertian Asuransi Di Indonesia, selain istilah asuransi digunakan juga istilah pertanggungan. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dimana sebagian besar masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dimana sebagian besar masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asuransi atau pertanggungan merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dimana sebagian besar masyarakat Indonesia sudah melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet. BAB II 21 TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI 1.1 Kepailitan 1.1.1 Pengertian Kepailitan Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.Kata Failliet itu sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin pesat, dan untuk itu masyarakat dituntut untuk bisa mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin pesat, dan untuk itu masyarakat dituntut untuk bisa mengimbangi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat pada saat ini diperlukan adanya perlindungan, salah satu nya dengan adanya perlindungan asuransi. Hal itu terjadi karena dampak dari adanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI 2.1 Asas Subrogasi 2.1.1 Pengertian asas subrogasi Subrogasi ini terkandung dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asuransi menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk meminimalisir risiko yang berkemungkinan dapat menimbulkan kerugian atas harta kekayaannya atau jiwa seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu tantangan terbesar bagi hukum di Indonesia adalah terus berkembangnya perubahan di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian dan pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014 AKIBAT HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NIAGA TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Evie Sompie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bentuk Hukum Perusahaan Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian secara terus menerus, bersifat tetap dan terang-terangan dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan pembangunan di bidang perekonomian terlebih setelah krisis moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. Pada awal kemerdekaan Indonesia, koperasi diatur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai pendukung pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi yang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D 101 09 205 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-undang Kepailitan. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh Arkisman ABSTRAK Setelah dijatuhkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Hukum Kepailitan di Indonesia pasca reformasi tahun 1998 sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik, walaupun kegiatan bisnis bank umum sempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Undang-Undang Kepailitan tidak mengatur apakah harta kekayaan debitur masih melebihi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur

Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur hukumnya dan menyelesaikan permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung. BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum.

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017 AKIBAT HUKUM PUTUSAN KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 3 Oleh : Juditia Damlah 4 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang piutang acap kali menjadi suatu permasalahan pada debitor. Masalah kepailitan tentunya juga tidak pernah lepas dari masalah utang piutang. Debitor tersebut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I. Perkembangan ekonomi Indonesia melalui perusahaan asuransi adalah

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I. Perkembangan ekonomi Indonesia melalui perusahaan asuransi adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi Indonesia melalui perusahaan asuransi adalah seiring dengan munculnya pemikiran dalam masyarakat mengenai suatu ketidakpastian mengenai

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional yang dilaksanakan saat ini adalah pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional yang dilaksanakan saat ini adalah pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang dilaksanakan saat ini adalah pembangunan berkesinambungan secara bertahap untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan mengeluarkan produk pemberian kredit untuk keperluan konsumtif.

BAB I PENDAHULUAN. dengan mengeluarkan produk pemberian kredit untuk keperluan konsumtif. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah Globalisasi bukan hal baru bagi suatu negara khususnya Indonesia, sejak beberapa tahun terakhir globalisasi sudah berperan cukup aktif dan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN

ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN 90 Jurnal Cepalo Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2018 ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN Rilda Murniati Fakultas Hukum, Universitas Lampung,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI Oleh : Anak Agung Cynthia Tungga Dewi Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada

II. TINJAUAN PUSTAKA. dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Asuransi Kendaraan Bermotor Berdasarkan Pasal 1 sub (1) UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, dinyatakan bahwa pengertian asuransi atau pertanggungan adalah

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017 TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KURATOR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Quantri H. Ondang 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.337, 2014 EKONOMI. Asuransi. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya manusia juga tidak bisa terlepas dari kejadian-kejadian yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya manusia juga tidak bisa terlepas dari kejadian-kejadian yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial dan bagian dari masyarakat. Dalam kehidupannya manusia juga tidak bisa terlepas dari kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci