VII. DAMPAK REINDUSTRIALISASI TERHADAP KINERJA EKONOMI MAKRO DAN SEKTOR INDUSTRI NON-MIGAS

dokumen-dokumen yang mirip
6. HASIL DAN PEMBAHASAN

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

Analisis Perkembangan Industri

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2)

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dapat diatasi dengan industri. Suatu negara dengan industri yang

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

BERITA RESMI STATISTIK

V. MEMBANGUN DATA DASAR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

BERITA RESMI STATISTIK

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

Produk Domestik Bruto (PDB)

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1.

Statistik KATA PENGANTAR

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PROYEKSI EKONOMI MAKRO : Masukan bagi Pengelola BUMN Biro Riset LMFEUI

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

4. KONSTRUKSI DATA DASAR

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

REINDUSTRIALISASI DAN DAMPAKNYA TERHADAP EKONOMI MAKRO SERTA KINERJA SEKTOR INDUSTRI DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini pasti akan melakukan interaksi dengan negaranegara

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

Analisis Perkembangan Industri

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

BAB I PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN II (SEMESTER I) TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN 2007: PROSPEK DAN KEBIJAKAN

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI


BERITA RESMI STATISTIK

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA

Statistik KATA PENGANTAR

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA BULAN SEPTEMBER 2004

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu.

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

Working Paper DINAMIKA TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY INDUSTRI BESAR DAN SEDANG INDONESIA DALAM MEMPENGARUHI OUTPUT

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

PERUBAHAN POLA PENGGUNAAN ENERGI DAN PERENCANAAN PENYEDIAAN ENERGI

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

Analisis Perkembangan Industri

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

PERTUMBUHAN EKONOMI BANTEN TRIWULAN IV TAHUN 2013

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak lain

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN TRIWULAN I-2014

Transkripsi:

VII. DAMPAK REINDUSTRIALISASI TERHADAP KINERJA EKONOMI MAKRO DAN SEKTOR INDUSTRI NON-MIGAS Struktur teori pada model CGE biasanya terdiri atas sistem persamaan yang menggambarkan permintaan tenaga kerja, permintaan faktor produksi, permintaan input antara, permintaan kombinasi faktor produksi dan input antara, permintaan kombinasi antara output, permintaan barang investasi, permintaan rumah tangga, permintaan ekspor dan permintaan akhir lainnya, permintaan marjin, harga penjualan, keseimbangan pasar, pajak tidak langsung, PDB pada sisi permintaan dan pengeluaran, neraca perdagangan, tingkat pengembalian modal, akumulasi investasi dan modal, dan akumulasi hutang (Oktaviani, 2008). Di sini dapat dilihat terjadinya hubungan antara ekonomi sektoral dan makroekonomi seperti dapat dilihat pada Gambar 47. Hubungan antar peubah makroekonomi dapat diubah-ubah sesuai dengan tujuan penelitian dan kebijakan yang dianalisis dampaknya. Dengan demikian, posisi peubah sebagai peubah eksogenus atau endogenus dapat disesuaikan dengan kebijakan makroekonomi apa yang akan dilihat pengaruhnya. Sebagai contoh, dampak dari perubahan nilai tukar terhadap peubah ekonomi makro lainnya dapat dianalisis. Dalam hal ini, nilai tukar dapat mempengaruhi besarnya nilai ekspor dan impor yang kemudian mengubah penggunaan faktor produksi impor, investasi, produksi dan juga PDB riil. Mengacu pada pembahasan bab sebelumnya yang menunjukkan bahwa dari sisi permintaan deindustrialisasi dipengaruhi secara negatif oleh pangsa investasi dan pangsa ekspor produk industri non-migas serta dipengaruhi secara positif oleh pangsa impor produk-produk industri non-migas. Sementara itu, dari sisi

290 penawaran deindustrialisasi dipengaruhi secara negatif oleh tingkat teknologi yang digunakan oleh sektor industri non-migas dan dipengaruhi secara positif oleh upah riil tenaga kerja sektor industri dan harga riil bahan bakar minyak. Tenaga Kerja Agregat Tingkat Pengembalian Modal Tingkat Upah Riil Stok Kapital PDB Riil Konsumsi RT Riil = + Investasi Riil Pengeluaran Pemerintah Riil + + Neraca Perdagangan Rasio Konsumsi RT dan Pengeluaran Pemerintah Riil = Peubah Endogen = Peubah Eksogen Nilai Tukar Riil Sumber : Horridge et al., 1993 (Dimodifikasi) Gambar 47. Hubungan Ekonomi Makro dalam Model CGE Dalam penelitian ini, seluruh simulasi yang dilakukan menggunakan skenario atau closure jangka panjang dengan adanya perubahan modal (kapital) sepanjang waktu investasi sehingga terjadi akumulasi kapital. Closure yang digunakan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada bab ini selanjutnya dilakukan analisis dampak dari beberapa faktor penyebab deindustrialisasi tersebut melalui serangkaian strategi reindustrialisasi yaitu peningkatan investasi sektor industri non-migas (Sim 1), peningkatan ekspor produk-produk sektor industri non-migas

291 (Sim 2), penurunan impor produk industri non-migas (Sim 3), peningkatan teknologi/produktivitas sektor industri non-migas (Sim 4) dan subsidi harga BBM untuk sektor industri non-migas (Sim 5). Simulasi dilakukan dengan menggunakan model comparative static untuk melihat perubahan terhadap beberapa variabel endogen sebagai dampak adanya reindustrialisasi tersebut. Respon kebijakan dilihat pada beberapa variabel endogen seperti output, tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga. Alokasi perubahan pendapatan di antara kelompok rumah tangga yang berbeda juga disajikan dengan melihat dampak simulasi kebijakan terhadap distribusi pendapatan. Dampak terhadap perubahan variabel makroekonomi dari sisi pengeluaran PDB juga dipaparkan. Masing-masing dampak kebijakan dilihat pada level sektoral maupun pada sektor industri non-migas berdasarkan skala usahanya yaitu kecil, menengah dan besar. 7.1. Dampak Peningkatan Investasi di Sektor Industri Non-Migas Pada subbab ini, dampak simulasi peningkatan investasi dilihat dari adanya perubahan jumlah investasi dibandingkan dengan stok kapital yang sudah ada. Besaran shock dimasukkan ke dalam model sebagai guncangan pada variabel eksogen finv3 (Shifter for longrun investment rule) untuk sektor industri non-migas sebesar 10 persen. 7.1.1. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral Selanjutnya, pada sub bab ini dibahas mengenai dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi terhadap kinerja ekonomi sektoral khususnya sektor industri non-migas. Variabel yang dipaparkan meliputi variabel output dan penyerapan tenaga kerja di masing-masing sektor serta distribusi pendapatan. Pada Tabel 68

292 ditunjukkan hasil simulasi peningkatan investasi terhadap output dan penyerapan kerja masing-masing sektor. Secara umum, peningkatan investasi mengakibatkan peningkatan output di seluruh cabang industri. Hal ini menunjukkan pentingnya investasi untuk mendukung peningkatan output. Hanya beberapa cabang industri yang pertumbuhan outputnya kurang dari 2 persen seperti industri penggilingan padi, industri rokok, dan industri pupuk/pestisida. Dari Tabel 68, terlihat bahwa pertumbuhan output cabang industri dari industri yang berbasis pertanian (agroindustri) seperti industri pengolahan dan pengawetan makanan (10.10 persen) dan industri minyak/lemak (4.51 persen) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan output sektor ekonomi secara keseluruhan (3.06 persen). Tabel 68. Dampak Simulasi Peningkatan Investasi terhadap Output dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ( Persen Perubahan) No. Sektor Output Tenaga Kerja 1 Pertanian 3.48 0.16 2 Pertambangan 2.97-0.07 3 Industri pengolahan dan pengawetan makanan 10.10 5.21 4 Industri minyak dan lemak 4.51 0.82 5 Industri penggilingan padi 1.99-0.84 6 Industri tepung, segala jenisnya 2.27-0.56 7 Industri gula 2.95-0.19 8 Industri makanan lainnya 2.82-0.23 9 Industri minuman 2.07-0.87 10 Industri rokok 1.88-0.95 11 Industri pemintalan 5.51 1.81 12 Industri tekstil, pakaian dan kulit 5.10 1.49 13 Industri bambu, kayu dan rotan 3.13-0.09 14 Industri kertas, barang dari kertas dan karton 3.20 0.05 15 Industri pupuk dan pestisida 1.90-0.93 16 Industri kimia 3.41 0.34 17 Pengilangan minyak bumi 2.14-0.71 18 Industri barang karet dan plastik 3.67 0.50

293 Tabel 68. Lanjutan ( Persen Perubahan) No. Sektor Output Tenaga Kerja 19 Industri barang-barang dari mineral bukan logam 3.01-0.10 20 Industri semen 2.81-0.26 21 Industri dasar besi dan baja 3.33 0.29 22 Industri logam dasar bukan besi 5.96 2.17 23 Industri barang dari logam 3.07-0.02 24 Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik 3.28 0.25 25 Industri alat pengangkutan dan perbaikannya 2.68-0.28 26 Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun 4.71 1.27 27 Jasa-Jasa 2.75-0.11 Sumber : Hasil Analisis, 2011 Peningkatan output yang relatif tinggi juga dialami oleh industri-industri dasar seperti industri logam dasar bukan besi (5.96 persen) dan industri lainnya (4.71 persen). Peningkatan investasi mendorong output agroindustri, industri penyerap tenaga kerja, dan industri dasar tumbuh lebih tinggi sehingga mendorong pertumbuhan sektor industri secara umum yang akhirnya memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, peningkatan investasi industri non-migas mengakibatkan dampak yang berbeda dalam penyerapan tenaga kerja pada beberapa cabang industri. Penyerapan tenaga kerja pada cabang-cabang industri yang padat karya umumnya relatif tinggi seperti pada industri pengolahan dan pengawetan makanan, industri minyak lemak, industri pemintalan, dan industri tekstil. Di sisi lain, cabang-cabang industri yang padat teknologi umumnya mengalami penurunan dalam penyerapan tenaga kerjanya seperti industri pupuk/pestisida, industri barang dari logam dan industri alat angkutan. Mengingat model yang digunakan adalah model comparative static yang mengasumsikan bahwa penawaran atau jumlah tenaga kerja adalah tetap (tidak

294 mengalami pertumbuhan), maka perubahan tenaga kerja hanya terjadi karena perpindahan tenaga kerja dari satu cabang industri ke cabang industri lainnya. Perpindahan tenaga kerja tersebut karena adanya perbedaan relatif antara upah tenaga kerja dan harga kapital sebagai input primer yang saling bersubstitusi. Peningkatan investasi menyebabkan pada beberapa cabang industri harga kapital menjadi lebih murah dibandingkan dengan upah tenaga kerja sehingga cenderung lebih banyak menggunakan kapital sehingga otomatis mengurangi penggunaan tenaga kerja. Demikian pula sebaliknya, Peningkatan investasi menyebabkan pada beberapa cabang industri harga kapital menjadi lebih mahal dibandingkan dengan upah tenaga kerja sehingga cenderung lebih banyak menggunakan tenaga kerja sehingga otomatis penyerapan tenaga kerja meningkat. Secara umum, peningkatan investasi mengakibatkan peningkatan jumlah tenaga kerja di sebagian sektor. Dari 23 cabang industri non-migas, terdapat 10 cabang industri yang penyerapan tenaga kerjanya meningkat. Dampak dari peningkatan investasi tersebut memberikan kenaikan permintaan tenaga kerja yang paling besar adalah di sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan yang merupakan sektor padat tenaga kerja. Sektor yang penyerapan tenaga kerjanya menurun paling besar adalah sektor industri rokok dan industri pupuk/pestisida. Pada sektor-sektor tersebut, penurunan permintaan tenaga kerja terjadi karena peningkatan efisiensi kapital yang terjadi menyebabkan faktor tersebut lebih efisien dalam menggunakan tenaga kerja sehingga cenderung mengurangi penggunaan tenaga kerjanya. Dampak simulasi kebijakan terhadap distribusi pendapatan rumah tangga berguna untuk mengetahui kelompok rumah tangga mana yang saja yang menerima dampak positif atau negatif akibat peningkatan investasi tersebut. Pada Tabel 69, terlihat bahwa secara umum peningkatan investasi mengakibatkan pendapatan riil

295 rumah tangga mengalami peningkatan yang relatif hampir merata untuk semua golongan rumah tangga. Besaran perubahan peningkatan distribusi pendapatan riil berkisar antara 3.01 persen dan 3.17 persen. Dampak paling kecil dirasakan rumah tangga yang berpendapatan rendah di sektor non-pertanian di perdesaan (rural5). Sebaliknya, peningkatan pendapatan paling besar terjadi pada rumah tangga pemilik lahan lebih dari antara 0.5-1 ha di perdesaan (rural3). Secara rata-rata, peningkatan investasi mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga di perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga di perkotaan. Hal ini terjadi karena peningkatan investasi mampu mendorong pertumbuhan output cabang-cabang industri berbasis pertanian yang notabene lebih banyak terkait dengan rumah tangga perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan cabangcabang industri lainnya. Tabel 69. Dampak Simulasi Peningkatan Investasi terhadap Distribusi Pendapatan Riil Rumah Tangga ( Persen Perubahan) No. Rumah Tangga Nilai 1 Buruh pertanian di perdesaan (Rural 1) 3.16 2 Petani pemilik lahan < 0.5 hektar (Rural 2) 3.13 3 Petani pemilik lahan antara 0.5 1.0 hektar (Rural 3) 3.17 4 Petani pemilik lahan > 1.0 hektar (Rural 4) 3.16 5 Rumah tangga yang berpendapatan rendah di sektor non-pertanian di 3.01 perdesaan (Rural 5) 6 Rumah tangga yang berpendapatan menengah di sektor nonpertanian 3.13 di perdesaan (Rural 6) 7 Rumah tangga yang berpendapatan tinggi di sektor non-pertanian di 3.03 perdesaan (Rural 7) 8 Rumah tangga yang berpendapatan rendah di perkotaan (Urban1) 3.14 9 Rumah tangga yang berpendapatan menengah di perkotaan (Urban2) 3.07 10 Rumah tangga yang berpendapatan tinggi di perkotaan (Urban3) 3.03 Sumber : Hasil Analisis, 2011

296 7.1.2. Dampak terhadap Kinerja Sektor Industri Kecil, Menengah dan Besar Dampak peningkatan investasi terhadap ekonomi setiap sektor berdasarkan skala usahanya yang diukur dari total output ditunjukkan pada Tabel 70. Peningkatan investasi secara umum memberikan dampak positif untuk seluruh sektor dan skala usaha. Secara umum, peningkatan investasi mengakibatkan pertumbuhan output sektor ekonomi skala usaha kecil, menengah dan besar adalah berturut-turut 3.17 persen, 3.09 persen dan 2.99 persen. Peningkatan investasi mendorong pertumbuhan output sektor industri kecil dan menengah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan industri besar. Oleh karena itu, peningkatan investasi pada IKM perlu terus didorong sehingga mampu memberikan kontribusi bagi pertumbuhan sektor industri secara keseluruhan. Jika pertumbuhan output pada industri-industri yang berskala kecil menengah yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan industri berskala besar terjadi terus menerus dan dalam jangka waktu yang panjang, maka diharapkan ke depan terjadi perubahan struktur yang lebih seimbang antara industrik kecil menengah dengan industri besar. Peningkatan investasi secara umum memberikan dampak yang berbeda dalam penyerapan tenaga kerjanya untuk seluruh sektor dan skala usaha. Peningkatan investasi secara umum meningkatkan penyerapan tenaga pada sektorsektor usaha kecil dan menengah masing-masing sebesar 0.022 persen dan 0.017 persen. Sementara itu peningkatan investasi menurunkan penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor usaha besar turun sebesar -0.019 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya investasi pada sektor-sektor usaha besar relatif cenderung berupa investasi yang padat teknologi sehingga penyerapan tenaga kerjanya berkurang.

297 Tabel 70. Dampak Simulasi Peningkatan Investasi terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ( Persen Perubahan) No. Nama Sektor Kecil Menengah Besar 1 Pertanian 3.57 3.48 3.43 2 Pertambangan 2.97 2.97 2.96 3 Industri pengolahan dan pengawetan makanan 10.08 10.10 10.11 4 Industri minyak dan lemak 4.50 4.51 4.51 5 Industri penggilingan padi 1.99 1.98 1.98 6 Industri tepung, segala jenisnya 2.27 2.27 2.27 7 Industri gula 2.95 2.95 2.95 8 Industri makanan lainnya 2.82 2.82 2.82 9 Industri minuman 2.07 2.07 2.07 10 Industri rokok 1.88 1.88 1.88 11 Industri pemintalan 5.51 5.51 5.51 12 Industri tekstil, pakaian dan kulit 5.09 5.12 5.11 13 Industri bambu, kayu dan rotan 3.13 3.13 3.13 14 Industri kertas, barang dari kertas dan karton 3.20 3.20 3.20 15 Industri pupuk dan pestisida 1.91 1.91 1.90 16 Industri kimia 3.41 3.41 3.42 17 Pengilangan minyak bumi 2.21 2.19 2.08 18 Industri barang karet dan plastik 3.67 3.67 3.67 19 Industri barang-barang dari mineral bukan logam 3.01 3.01 3.01 20 Industri semen 2.81 2.81 2.81 21 Industri dasar besi dan baja 3.33 3.33 3.34 22 Industri logam dasar bukan besi 5.95 5.95 5.97 23 Industri barang dari logam 3.07 3.07 3.07 24 Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik 3.28 3.28 3.29 25 Industri alat pengangkutan dan perbaikannya 2.68 2.68 2.67 26 Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun 4.71 4.71 4.70 27 Jasa-Jasa 2.76 2.70 2.77 Rata-Rata Terbobot 3.17 3.09 2.99 Sumber : Hasil Analisis, 2011 Di sisi lain, investasi pada sektor-sektor usaha kecil menengah lebih mengarah pada investasi yang padat tenaga kerja sehingga mendorong penyerapan tenaga kerja yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usaha-usaha besar. Hasil ini menunjukkan bahwa investasi pada industri kecil menengah perlu terus

298 didorong dan dikembangkan, karena selain berdampak pada perubahan struktur ekonomi yang lebih seimbang antara industri kecil menengah dan industri besar, juga karena peranannya dalam menyerap tenaga kerja sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. 7.1.3. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Makro Peningkatan investasi pada sektor industri non-migas mengakibatkan perubahan kondisi ekonomi makro di tingkat nasional. Hasil simulasi peningkatan investasi terhadap keragaan makro eknomi terlihat pada Tabel 71. Kinerja makroekonomi setelah simulasi kebijakan dianalisis dari sisi pengeluaran PDB. Dari sisi pengeluaran PDB, variabel-variabel makroekonomi meliputi konsumsi pemerintah dan swasta, pembentukan modal, ekspor, dan impor. Dari Tabel 71 terlihat bahwa dampak peningkatan investasi menyebabkan peningkatan PDB riil nasional naik sebesar 3.07 persen. Peningkatan PDB riil dipengaruhi antara lain oleh peningkatan perubahan stock (3.35 Persen), neraca perdagangan (0.04 persen), dan konsumsi rumah tangga (2.96 Persen). Apabila dilihat dampaknya terhadap variabel harga, maka peningkatan investasi mengakibatkan menurunkan harga-harga secara umum. Ini terlihat dari relatif rendahnya penurunan harga-harga yang hanya -0.021 persen. Peningkatan investasi menyebabkan peningkatan efisiensi kapital mendorong sebagian sektor untuk berlaku efisien sehingga mampu menghasilkan barang yang lebih murah atau paling tidak relatif sama. Pada gilirannya, karena hampir seluruh harga menjadi lebih murah dengan adanya investasi, konsumsi masyarakat meningkat (2.96 persen) karena peningkatan upah riil rata-rata (3.06 persen) masih lebih besar dibandingkan dari peningkatan indeks harga konsumen (-0.021 persen).

299 Tabel 71. Dampak Simulasi Peningkatan Investasi terhadap Indikator Makroekonomi Nasional (Persen Perubahan) Deskripsi Variabel Nilai Neraca Perdagangan delb 0.04 GDP Riil Sisi Pengeluaran x0gdpexp 3.07 GDP Riil Sisi Pengeluaran Sektor Pertanian x0gdpexp_ag 2.61 GDP Riil Sisi Pengeluaran Sektor Industri x0gdpexp_mn 5.63 GDP Riil Sisi Pengeluaran Sektor Pertambangan x0gdpexp_mo 0.74 GDP Riil Sisi Pengeluaran Sektor Jasa x0gdpexp_se 2.11 Pengeluaran Riil Agregat Investasi x2tot_i 2.28 Pengeluaran Riil Agregat Investasi Sektor Pertanian x2tot_i_ag 0.00 Pengeluaran Riil Agregat Investasi Sektor Industri x2tot_i_mn 10.22 Pengeluaran Riil Agregat Investasi Sektor Pertambangan x2tot_i_mo -0.14 Pengeluaran Riil Agregat Investasi Sektor Jasa x2tot_i_se -0.04 Konsumsi Riil Rumah tangga x3tot 2.96 Konsumsi Riil Rumah tangga Sektor Pertanian x3tot_ag 3.41 Konsumsi Riil Rumah tangga Sektor Industri x3tot_mn 2.87 Konsumsi Riil Rumah tangga Sektor Pertambangan x3tot_mo 1.47 Konsumsi Riil Rumah tangga Sektor Jasa x3tot_se 2.98 Indeks Volume Ekspor x4tot 4.39 Indeks Volume Ekspor Produk Pertanian x4tot_ag 3.93 Indeks Volume Ekspor Produk Industri x4tot_mn 6.16 Indeks Volume Ekspor Produk Pertambangan x4tot_mo 2.87 Indeks Volume Ekspor Jasa x4tot_se 2.38 Indeks Volume Impor x0cif_c 3.42 Indeks Volume Impor Produk Pertanian x0cif_c_ag 3.60 Indeks Volume Impor Produk Industri x0cif_c_mn 3.37 Indeks Volume Impor Produk Pertambangan x0cif_c_mo 3.47 Indeks Volume Impor Jasa x0cif_c_se 3.52 Inventori Riil Agregat x6tot 3.35 Inflasi/Indeks Harga Konsumen (IHK) p3tot -0.021 Pangsa Sektor Pertanian terhadap Total PDB shrgdpexp_ag -0.043 Pangsa Sektor Industri terhadap Total PDB shrgdpexp_mn 0.086 Pangsa Sektor Pertambangan terhadap Total PDB shrgdpexp_mo -0.213 Sumber : Hasil Analisis, 2011 Peningkatan investasi pada seluruh sektor industri non-migas juga mendorong pertumbuhan sektor industri non-migas (5.63 persen) lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional (3.07 persen). Hal ini mengakibatkan pangsa output sektor industri non-migas mengalami peningkatan sebesar 0.086 persen yang menunjukkan bahwa reindustrialisasi melalui peningkatan investasi di sektor industri non-migas cukup efektif dalam mendorong pertumbuhan sektor industri non-migas dan meningkatkan pangsa output sektor industri non-migas.

300 Pertumbuhan sektor industri yang lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi nasional karena didorong oleh pertumbuhan pengeluaran investasi riil sektor industri yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran investasi riil seluruh sektor. Demikian pula dengan ekspor untuk komoditas sektor industri yang meningkat lebih besar dibandingkan dengan ekspor secara rata-rata yaitu 6.16 persen dibanding 4.39 persen. Hal yang sama terjadi pada peningkatan impor produk-produk industri yang lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan ekspor rata-rata komoditas yaitu 3.37 persen dibanding 3.42 persen. Semakin pentingnya peranan investasi terlihat pada kontribusinya dalam pembentukan PDB. Selama periode tahun 2003-2010, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebagai refresentasi dari investasi terus mengalami peningkatan dari Rp 612.6 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 1 071.4 triliun pada tahun 2010. Selama periode tersebut, investasi terus tumbuh dengan trend rata-rata sebesar 8.21 persen per tahun. Perkembangan PMTB selama periode 2003-2010 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 72. Tabel 72. Perkembangan Pembentukan Modal Tetap Bruto dan Pangsanya dalam Produk Domestik Bruto Tahun 2003-2010 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun PMTB PDB Pangsa (Persen) (Triliun Rp) (Triliun Rp) 2003 612.6 1 579.6 19.7 2004 680.5 1 656.8 21.4 2005 792.0 1 750.7 22.5 2006 868.3 1 847.3 21.8 2007 942.4 1 964.3 22.5 2008 1 032.3 2 082.5 23.7 2009 932.3 2 177.7 23.4 2010 1 071.4 2 310.7 23.9 Sumber : BPS, Berbagai Tahun Terbitan (Diolah)

301 Sumber : BPS, Berbagai Tahun Terbitan (Diolah) Gambar 48. Perkembangan Pangsa Pembentukan Modal Tetap Bruto dalam Pembentukan PDB Tahun 2003-2010 Menurut Harga Konstan Tahun 2000 Begitu pentingnya peranan investasi dalam pembentukan PDB juga terlihat dari terus meningkatnya pangsa investasi dalam pembentukan PDB. Pangsa investasi dalam PDB terus meningkat dari 19.7 persen pada tahun 2003 menjadi 23.9 persen pada tahun 2010. Pangsa investasi mengalami penurunan pada periode tahun 2008 dan 2009 diduga karena krisis finansial global yang dipicu krisis keuangan dan perbankan di Amerika Serikat. Trend perkembangan pangsa investasi dalam pembentukan PDB secara ringkas ditampilkan pada Gambar 48. 7.2. Dampak Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas Pada subbab ini, dampak simulasi kebijakan peningkatan ekspor dilihat dari adanya peningkatan ekspor produk-produk industri sebagai akibat perubahan selera konsumen di luar negeri yang mendorong permintaan produk-produk ekspor nonmigas Indonesia. Perubahan selera konsumen di luar negeri dilakukan melalui upaya-upaya promosi produk-produk industri non-migas. Pembahasan

302 menggunakan simulasi peningkatan jumlah ekspor produk-produk yang dihasilkan sektor industri non-migas. Besaran shock dimasukkan ke dalam model sebagai guncangan pada variabel eksogen f4q (Quantity (right) shift in export demands) sebesar 10 persen untuk komoditas sektor industri non-migas. 7.2.1. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral Selanjutnya, pada sub bab ini dibahas mengenai dampak simulasi peningkatan ekspor produk-produk non-migas terhadap kinerja sektor industri, khususnya sektor industri non-migas. Variabel yang dipaparkan meliputi variabel output sektoral, penyerapan tenaga kerja di masing-masing sektor dan distribusi pendapatan. Pada Tabel 73 ditunjukkan hasil simulasi peningkatan ekspor terhadap output dan penyerapan kerja masing-masing sektor. Secara umum, peningkatan ekspor produk-produk industri non-migas mengakibatkan peningkatan output di seluruh cabang industri. Hal ini menunjukkan pentingnya ekspor untuk mendukung peningkatan output. Hanya beberapa cabang industri yang pertumbuhan outputnya di bawah pertumbuhan eknonomi nasional (3.13 persen) terutama cabang-cabang industri yang lebih banyak berorientasi pasar lokal seperti industri penggilingan padi (1.31 persen), industri tepung (2.19 persen), industri gula (2.57 persen), industri minuman (1.52 persen), industri rokok (1.60 persen), dan industri semen (2.06 persen). Sementara itu cabang-cabang industri yang produknya lebih banyak diekspor cenderung pertumbuhan outputnya relatif tinggi. Cabang-cabang industri tersebut seperti industri pengolahan dan pengawetan makanan (8.31 persen), industri minyak dan lemak (12.41 persen), industri pemintalan (12.04 persen), industri tekstil (8.77

303 persen), industri pulp dan kertas (6.33 persen), industri kayu (5.36 persen), industri barang dari karet (6.92 persen), dan industri logam dasar bukan besi (15.06 persen). Dari Tabel 73, terlihat bahwa pertumbuhan output cabang industri minyak lemak, industri pengolahan dan pengawetan makanan serta industri pemintalan dan industri tekstil relatif lebih tinggi dibandingkan dengan cabang-cabang industri lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa cabang-cabang industri tersebut memegang peranan yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan sektor industri secara keseluruhan. Peningkatan ekspor komoditas dari cabang-cabang industri tersebut mendorong output sektor industri tumbuh lebih besar sehingga pada akhirnya memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, peningkatan ekspor memberikan dampak yang berbeda dalam penyerapan tenaga kerja pada beberapa cabang industri. Empat cabang industri yang outputnya tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan cabang industri lainnya, yaitu industri pemintalan, industri minyak lemak, industri pengolahan dan pengawetan makanan serta industri tekstil juga menyerap lebih banyak tenaga kerja sehingga pertumbuhan tenaga kerja di cabang-cabang industri tersebut umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan cabang-cabang industri lainnya. Di sisi lain, beberapa cabang industri yang tidak berorientasi ekspor atau lebih berorientasi pasar dalam negeri mengalami penurunan dalam penyerapan tenaga kerjanya seperti industri penggilingan padi, industri tepung, industri gula, industri makanan lain, industri minuman, industri rokok, industri pupuk/pestisida, dan industri semen.

304 Tabel 73. Dampak Simulasi Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas terhadap Output dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ( Persen Perubahan) No. Sektor Output Tenaga Kerja 1 Pertanian 3.37-0.24 2 Pertambangan 3.84 0.46 3 Industri pengolahan dan pengawetan makanan 8.31 3.51 4 Industri minyak dan lemak 12.41 5.64 5 Industri penggilingan padi 1.31-1.55 6 Industri tepung, segala jenisnya 2.19-0.89 7 Industri gula 2.57-0.75 8 Industri makanan lainnya 2.95-0.36 9 Industri minuman 1.52-1.57 10 Industri rokok 1.60-1.43 11 Industri pemintalan 12.04 6.22 12 Industri tekstil, pakaian dan kulit 8.77 4.00 13 Industri bambu, kayu dan rotan 5.36 0.97 14 Industri kertas, barang dari kertas dan karton 6.33 1.83 15 Industri pupuk dan pestisida 2.46-0.73 16 Industri kimia 6.19 2.28 17 Pengilangan minyak bumi 1.95-1.06 18 Industri barang karet dan plastik 6.92 2.77 19 Industri barang-barang dari mineral bukan logam 3.47 0.03 20 Industri semen 2.06-1.04 21 Industri dasar besi dan baja 5.89 1.85 22 Industri logam dasar bukan besi 15.06 8.93 23 Industri barang dari logam 3.44 0.03 24 Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik 5.38 1.59 25 Industri alat pengangkutan dan perbaikannya 3.97 0.46 26 Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun 8.30 3.82 27 Jasa-Jasa 1.74-0.54 Sumber : Hasil Analisis, 2011 Secara umum, peningkatan ekspor mengakibatkan peningkatan jumlah tenaga kerja di sebagian sektor. Dampak dari peningkatan ekspor tersebut memberikan kenaikan permintaan tenaga kerja yang paling besar adalah di sektor industri pemintalan, industri tekstil, dan industri minyak lemak yang merupakan sektor yang selama ini banyak diandalkan dalam menyumbang devisa negara melalui

305 kegiatan ekspornya. Pada cabang-cabang industri yang melakukan penurunan penggunaan tenaga terjadi karena penurunan output sebagai akibat lebih banyak berorientasi pasar dalam negeri sehingga mengurangi penggunaan tenaga kerja. Dampak simulasi kebijakan terhadap distribusi pendapatan rumah tangga berguna untuk mengetahui kelompok rumah tangga mana yang saja yang menerima dampak positif atau negatif akibat kebijakan tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 74. Tabel 74. Dampak Simulasi Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas terhadap Distribusi Pendapatan Riil Rumah Tangga ( Persen Perubahan) No. Rumah Tangga Nilai 1 Buruh pertanian di perdesaan (Rural 1) 3.50 2 Petani pemilik lahan < 0.5 hektar (Rural 2) 3.34 3 Petani pemilik lahan antara 0.5 1.0 hektar (Rural 3) 3.34 4 Petani pemilik lahan > 1.0 hektar (Rural 4) 3.28 5 Rumah tangga yang berpendapatan rendah di sektor non-pertanian di 2.86 perdesaan (Rural 5) 6 Rumah tangga yang berpendapatan menengah di sektor nonpertanian 3.24 di perdesaan (Rural 6) 7 Rumah tangga yang berpendapatan tinggi di sektor non-pertanian di 2.77 perdesaan (Rural 7) 8 Rumah tangga yang berpendapatan rendah di perkotaan (Urban1) 3.24 9 Rumah tangga yang berpendapatan menengah di perkotaan (Urban2) 2.94 10 Rumah tangga yang berpendapatan tinggi di perkotaan (Urban3) 2.67 Sumber : Hasil Analisis, 2011 Pada Tabel 74, terlihat bahwa secara umum peningkatan ekspor mengakibatkan pendapatan riil rumah tangga mengalami peningkatan yang relatif berbeda untuk semua golongan rumah tangga. Besaran perubahan peningkatan distribusi pendapatan riil berkisar antara 2.67 persen dan 3.50 persen. Dampak paling kecil dirasakan pada rumah tangga yang berpendapatan tinggi di perkotaan (urban3). Sebaliknya, peningkatan pendapatan paling besar terjadi pada rumah tangga golongan dengan buruh pertanian (rural 1). Dari Tabel 70 terlibat bahwa

306 secara umum peningkatan pendapatan rumah tangga di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga di perkotaan sebagai akibat peningkatan ekspor produk-produk industri non-migas. Hal ini terjadi karena berdasarkan hasil simulasi terlihat bahwa peningkatan ekspor produk-produk industri non-migas mendorong pertumbuhan output cabang-cabang industri berbasis pertanian seperti industri pengolahan/pengawetan makanan dan industri minyak lemak yang banyak terkait dengan perdesaan sehingga secara langsung juga mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga yang berada di perdesaan. 7.2.2. Dampak terhadap Kinerja Sektor Industri Kecil, Menengah dan Besar Dampak peningkatan ekspor terhadap ekonomi setiap sektor berdasarkan skala usahanya yang diukur dari total output ditunjukkan pada Tabel 75. Peningkatan ekspor produk-produk industri secara umum memberikan dampak positif untuk seluruh sektor dan skala usaha. Cabang-cabang industri yang pertumbuhan output industri kecil menengahnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan industri besar adalah industri penggilingan padi, industri pemintalan, industri tekstil, industri pengolahan kayu/rotan, industri pupuk/pestisida, dan industri lainnya. Namun demikian, secara umum peningkatan ekspor lebih banyak mendorong pertumbuhan output industri besar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan industri kecil menengah. Hal ini menunjukkan bahwa peran industri besar dalam sumbangannya terhadap ekspor masih relatif besar dibandingkan dengan industri kecil menengah. Untuk mendorong pertumbuhan sektor industri lebih besar lagi, maka industri kecil menengah perlu terus didorong agar peranannya dalam ekspor dapat ditingkatkan.

307 Tabel 75. Dampak Simulasi Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha (Persen Perubahan) No. Nama Sektor Kecil Menengah Besar 1 Pertanian 3.42 3.37 3.33 2 Pertambangan 3.82 3.80 3.86 3 Industri pengolahan dan pengawetan makanan 8.30 8.32 8.32 4 Industri minyak dan lemak 12.36 12.41 12.44 5 Industri penggilingan padi 1.32 1.31 1.31 6 Industri tepung, segala jenisnya 2.19 2.19 2.19 7 Industri gula 2.57 2.57 2.57 8 Industri makanan lainnya 2.95 2.95 2.95 9 Industri minuman 1.52 1.52 1.52 10 Industri rokok 1.60 1.60 1.60 11 Industri pemintalan 12.03 12.05 12.04 12 Industri tekstil, pakaian dan kulit 8.74 8.81 8.78 13 Industri bambu, kayu dan rotan 5.34 5.37 5.36 14 Industri kertas, barang dari kertas dan karton 6.31 6.32 6.34 15 Industri pupuk dan pestisida 2.46 2.47 2.46 16 Industri kimia 6.17 6.16 6.21 17 Pengilangan minyak bumi 1.68 1.62 2.05 18 Industri barang karet dan plastik 6.91 6.89 6.94 19 Industri barang-barang dari mineral bukan logam 3.47 3.47 3.47 20 Industri semen 2.06 2.06 2.06 21 Industri dasar besi dan baja 5.88 5.88 5.89 22 Industri logam dasar bukan besi 15.02 15.03 15.09 23 Industri barang dari logam 3.43 3.43 3.44 24 Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik 5.34 5.37 5.42 25 Industri alat pengangkutan dan perbaikannya 3.96 3.97 3.98 26 Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun 8.30 8.32 8.29 27 Jasa-Jasa 1.76 1.53 1.81 Sumber : Hasil Analisis, 2011 Peningkatan ekspor, secara umum memberikan dampak yang berbeda dalam penyerapan tenaga kerjanya untuk seluruh sektor dan skala usaha. Umumnya cabang-cabang industri yang pertumbuhan outputnya meningkat karena peningkatan ekspor, penggunaan tenaga kerjanya juga meningkat baik pada industri

308 kecil, menengah maupun besar. Demikian pula sebaliknya, cabang-cabang industri yang bukan merupakan cabang-cabang yang diandalkan dalam ekspor, penggunaan tenaga kerjanya juga menurun baik pada industri kecil, menengah maupun besar. Peningkatan ekspor secara umum menurunkan penyerapan tenaga pada sektor-sektor usaha kecil dan menengah masing-masing sebesar -0.17 persen dan - 0.10 persen. Sementara itu peningkatan ekspor meningkatkan penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor usaha besar sebesar 0.15 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya ekspor lebih banyak dilakukan oleh sektor-sektor usaha besar sehingga penyerapan tenaga kerjanya meningkat. Di sisi lain, ekspor oleh sektor-sektor usaha kecil menengah relatif kurang sehingga mendorong penurunan dalam penyerapan tenaga kerja. 7.2.3. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Makro Peningkatan ekspor di tingkat nasional yang direpresentasikan dengan peningkatan ekspor produk-produk dari sektor industri non-migas mengakibatkan perubahan kondisi ekonomi makro di tingkat nasional. Hasil simulasi peningkatan ekspor terhadap keragaan makro eknomi terlihat pada Tabel 76. Kinerja makroekonomi setelah simulasi kebijakan dianalisis sisi pengeluaran. Dari sisi pengeluaran PDB, variabel-variabel makroekonomi meliputi konsumsi pemerintah dan swasta, pembentukan modal, ekspor dan impor. Dari Tabel 76 terlihat bahwa dampak peningkatan ekspor yang mengakibatkan peningkatan investasi menyebabkan peningkatan PDB riil nasional naik sebesar 3.13 persen. Peningkatan PDB riil dipengaruhi antara lain oleh peningkatan neraca perdagangan (1.40 Persen) dan konsumsi rumah tangga (1.87 Persen).

309 Tabel 76. Dampak Simulasi Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas terhadap Indikator Makroekonomi Nasional (Perubahan Persentase) Deskripsi Variabel Nilai Neraca Perdagangan delb 1.40 GDP Riil Sisi Pengeluaran x0gdpexp 3.13 GDP Riil Sisi Pengeluaran Sektor Pertanian x0gdpexp_ag 1.51 GDP Riil Sisi Pengeluaran Sektor Industri x0gdpexp_mn 7.44 GDP Riil Sisi Pengeluaran Sektor Pertambangan x0gdpexp_mo 0.79 GDP Riil Sisi Pengeluaran Sektor Jasa x0gdpexp_se 1.35 Pengeluaran Riil Agregat Investasi x2tot_i 0.00 Pengeluaran Riil Agregat Investasi Sektor Pertanian x2tot_i_ag 0.00 Pengeluaran Riil Agregat Investasi Sektor Industri x2tot_i_mn 0.64 Pengeluaran Riil Agregat Investasi Sektor Pertambangan x2tot_i_mo -0.20 Pengeluaran Riil Agregat Investasi Sektor Jasa x2tot_i_se -0.22 Konsumsi Riil Rumah tangga x3tot 1.87 Konsumsi Riil Rumah tangga Sektor Pertanian x3tot_ag 2.16 Konsumsi Riil Rumah tangga Sektor Industri x3tot_mn 1.81 Konsumsi Riil Rumah tangga Sektor Pertambangan x3tot_mo 0.93 Konsumsi Riil Rumah tangga Sektor Jasa x3tot_se 1.88 Indeks Volume Ekspor x4tot 9.34 Indeks Volume Ekspor Produk Pertanian x4tot_ag 3.99 Indeks Volume Ekspor Produk Industri x4tot_mn 16.27 Indeks Volume Ekspor Produk Pertambangan x4tot_mo 2.92 Indeks Volume Ekspor Jasa x4tot_se 2.43 Deskripsi Variabel 3.51 Indeks Volume Impor x0cif_c 4.11 Indeks Volume Impor Produk Pertanian x0cif_c_ag 3.65 Indeks Volume Impor Produk Industri x0cif_c_mn 3.43 Indeks Volume Impor Produk Pertambangan x0cif_c_mo 2.89 Indeks Volume Impor Jasa x0cif_c_se 5.25 Inventori Riil Agregat x6tot -0.02 Inflasi/Indeks Harga Konsumen p3tot -0.152 Pangsa Sektor Pertanian terhadap Total PDB shrgdpexp_ag 0.144 Pangsa Sektor Industri terhadap Total PDB shrgdpexp_mn -0.215 Pangsa Sektor Pertambangan terhadap Total PDB shrgdpexp_mo -0.037 Pangsa Sektor Jasa terhadap Total PDB shrgdpexp_se 1.40 Sumber : Hasil Analisis, 2011 Apabila dilihat dampaknya terhadap variabel harga, maka peningkatan ekspor produk-produk industri mengakibatkan turunnya harga-harga secara umum. Ini terlihat dari penurunan harga-harga yang mencapai -0.152 persen. Peningkatan ekspor mendorong sebagian sektor untuk berlaku efisien karena berproduksi secara massal sehingga mampu menghasilkan barang yang lebih murah. Pada gilirannya,

310 karena hampir seluruh harga menjadi lebih murah dengan adanya ekspor ini maka konsumsi masyarakat meningkat karena peningkatan upah rata-rata (2.97 persen) masih lebih besar dibandingkan dari peningkatan indeks harga konsumen (-0.152 persen). Menurunnya indeks harga konsumen yang juga mencerminkan menurunnya harga-harga produk Indonesia, menyebabkan produk Indonesia lebih stabil dan kompetitif di pasar internasional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai neraca perdagangan yang positif 1.40 persen yang terjadi karena peningkatkan volume ekspor (9.34 persen) yang lebih besar daripada volume impor (3.51 persen). Peningkatan ekspor produk-produk sektor industri juga mampu mendorong pertumbuhan sektor industri non-migas (7.44 persen) lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi nasional (3.13 persen). Hal ini mengakibatkan pangsa output sektor industri non-migas mengalami peningkatan sebesar 0.144 persen yang menunjukkan bahwa kebijakan reindustrialisasi melalui peningkatan ekspor di sektor industri cukup efektif mendorong peningkatan pangsa output sektor industri non-migas. Pertumbuhan sektor industri yang lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi nasional karena didorong oleh ekspor untuk komoditas sektor industri yang meningkat lebih besar dibandingkan dengan ekspor secara rata-rata yaitu 16.27 persen dibanding 9.34 persen. Semakin pentingnya peranan ekspor terlihat pada kontribusinya dalam pembentukan PDB. Selama periode tahun 2003-2010, ekspor terus mengalami peningkatan dari Rp 612.6 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 1 071.4 triliun pada tahun 2010. Selama periode tersebut, ekspor terus tumbuh dengan trend rata-rata

sebesar 7.87 persen per tahun. Perkembangan ekspor selama periode 2003-2010 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 77. 311 Tabel 77. Perkembangan Ekspor dan Pangsanya dalam Produk Domestik Bruto Tahun 2003-2010 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun PMTB PDB Pangsa (Persen) (Triliun Rp) (Triliun Rp) 2003 612.6 1 579.6 38.8 2004 680.5 1 656.8 41.1 2005 792.0 1 750.7 45.2 2006 868.3 1 847.3 47.0 2007 942.4 1 964.3 48.0 2008 1 032.3 2 082.5 49.6 2009 932.3 2 177.7 42.8 2010 1 071.4 2310.7 46.4 Sumber : BPS, Berbagai Tahun Terbitan (Diolah) Begitu pentingnya peranan ekspor dalam pembentukan PDB juga terlihat dari terus meningkatnya pangsa ekspor dalam pembentukan PDB. Pangsa ekspor dalam PDB terus meningkat dari 38.8 persen pada tahun 2003 menjadi 46.4 persen pada tahun 2010. Pangsa ekspor mengalami penurunan pada periode tahun 2008 dan 2009 diduga karena krisis finansial global yang dipicu krisis keuangan dan perbankan di Amerika Serikat yang mendorong negara-negara importir dunia mengurangi impornya sehingga berimbas pada jumlah ekspor Indonesia ke negaranegara tersebut. Trend perkembangan pangsa ekspor dalam pembentukan PDB secara ringkas ditampilkan pada Gambar 49. 7.3. Dampak Penurunan Impor Produk Industri Non-Migas Pada subbab ini, penurunan impor produk industri non-migas dilakukan dengan meningkatkan penggunaan produk-produk industri dalam negeri melalui serangkaian kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih

312 mencintai produksi dalam negeri dan peningkatan kualitas produksi dalam negeri sehingga permintaan konsumen terhadap produk-produk industri non-migas produksi dalam negeri meningkat. Peningkatan penggunaan produksi dalam negeri ini diharapkan dapat mengurangi laju impor produk-produk konsumsi sektor industri non-migas. Sumber : BPS, Berbagai Tahun Terbitan (Diolah) Gambar 49. Perkembangan Pangsa Ekspor dalam Pembentukan PDB Tahun 2003-2010 Menurut Harga Konstan Tahun 2000 Pengurangan laju impor juga dilakukan melalui serangkaian upaya-upaya non tarif lainnya seperti pemenuhan persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk-produk impor. Upaya lain yang dilakukan adalah mendorong tumbuhnya industri-industri penghasil bahan baku penolong dan barang modal. Hal ini perlu dilakukan mengingat impor Indonesia lebih didominasi oleh impor untuk bahan baku penolong dan barang modal yang pada tahun 2010 mencapai sekitar 87 persen dari total impor seperti dapat dilihat pada Tabel 78. Hal ini menunjukkan

bahwa sektor industri masih sangat tergantung pada input bahan baku dan barang modal impor. 313 Tabel 78. Perkembangan Impor Menurut Penggunaan Tahun 2006-2010 (Persen) No. Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 I. Barang Konsumsi 7.51 6.18 3.48 4.51 3.19 1 Makanan Dan Minuman (Belum 0.91 1.06 0.64 1.01 0.90 diolah) Untuk Rumah Tangga 2 Makanan Dan Minuman (Olahan) 1.99 2.69 1.52 1.45 1.88 Untuk Rumah Tangga 3 Bahan Bakar Dan Pelumas (Olahan) 1.38 1.65 1.29 0.63 0.75 4 Mobil Penumpang 0.37 0.54 0.46 0.48 0.71 5 Alat Angkutan Bukan Untuk Industri 0.14 0.13 0.12 0.24 0.20 6 Barang Konsumsi Tahan Lama 0.61 0.64 0.66 0.87 0.83 7 Barang Konsumsi Setengah Tahan 0.96 0.94 0.91 1.00 1.05 Lama 8 Barang Konsumsi Tidak Tahan Lama 1.11 1.19 0.98 1.26 1.19 9 Barang Yang Tidak Diklasifikasikan 0.03 0.19 0.06 0.22 0.20 II. Bahan Baku Penolong 77.37 78.01 79.43 73.82 76.07 1 Makanan dan Minuman (Belum 2.13 2.87 2.59 2.80 2.37 Diolah) Untuk Industri 2 Makanan dan Minuman (Olahan) 1.53 2.12 1.02 1.68 1.67 Untuk Industri 3 Bahan Baku (Belum Diolah) Untuk 3.97 3.90 3.77 3.08 3.50 Industri 4 Bahan Baku (Olahan) Untuk Industri 29.68 30.05 32.18 31.01 32.13 5 Bahan Bakar Dan Pelumas (Belum 12.88 12.52 8.05 7.83 6.59 Diolah) 6 Bahan Bakar Motor 5.31 5.31 4.81 5.44 6.52 7 Bahan Bakar Dan Pelumas (Olahan) 11.55 10.80 10.22 6.10 7.14 8 Suku Cadang Dan Perlengkapan 5.86 6.39 11.61 11.66 11.41 Barang Modal 9 Suku Cadang Dan Perlengkapan Alat 4.45 4.04 5.18 4.23 4.74 Angkutan III. Barang Modal 15.12 15.81 17.09 21.67 20.73 1 Barang Modal Kecuali Alat Angkutan 10.30 11.62 12.97 14.11 14.46 2 Mobil Penumpang 0.37 0.54 0.46 0.48 0.71 3 Alat Angkutan Untuk Industri 4.45 3.65 3.65 7.08 5.56 TOTAL 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber : Kementerian Perdagangan, 2011 Upaya-upaya penurunan laju impor yang diuraikan di atas dampaknya diasumsikan setara dengan pengenaan tarif bea masuk produk impor. Oleh karena itu, besaran shock dimasukkan ke dalam model sebagai guncangan pada variabel

314 eksogen t0imp (power of tariff) sebesar 5 persen untuk komoditas-komoditas industri non-migas. 7.3.1. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral Selanjutnya, pada subbab ini dibahas mengenai dampak simulasi penurunan impor produk industri non-migas. Variabel yang dipaparkan meliputi variabel output sektoral, penyerapan tenaga kerja di masing-masing sektor dan distribusi pendapatan. Pada Tabel 79 ditunjukkan hasil simulasi penurunan impor terhadap output dan penyerapan kerja masing-masing sektor. Secara umum, penurunan impor produk industri non-migas mengakibatkan peningkatan output di seluruh cabang industri kecuali industri semen, industri dasar besi baja dan industri logam dasar bukan besi. Cabang-cabang industri yang menghadapi persaingan dari produk-produk impor sejenis, cenderung outputnya tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan cabang-cabang industri lain seperti industri pengolahan dan pengawetan makanan (9.72 persen), industri minyak lemak (6.53 persen), industri gula (5.53 persen), industri pemintalan (9.39 persen), industri tekstil (6.66 persen), industri kertas (6.04 persen), industri pupuk/pestisida (6.74 persen), industri kimia (7.99 persen), industri besi baja (15.28 persen), industri logam dasar non besi (10.17 persen), industri mesin peralatan (8.96 persen), dan industri alat angkut (8.11 persen). Beberapa cabang industri yang pertumbuhan outputnya relatif kecil umumnya adalah industri berorientasi pasar dalam negeri seperti industri penggilingan padi, industri minuman, industri makanan lain, industri rokok, dan industri semen. Cabang-cabang industri ini tidak banyak mendapatkan saingan dari produk-produk impor sejenis sehingga

penurunan impor tidak berlalu berpengaruh terhadap output cabang-cabang industri tersebut. 315 Tabel 79. Dampak Simulasi Penurunan Impor Produk Industri Non-Migas terhadap Output dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ( Persen Perubahan) No. Sektor Output Tenaga Kerja 1 Pertanian 3.66-0.02 2 Pertambangan 4.89 1.09 3 Industri pengolahan dan pengawetan makanan 9.72 4.61 4 Industri minyak dan lemak 6.53 1.96 5 Industri penggilingan padi 1.87-1.10 6 Industri tepung, segala jenisnya 3.19-0.28 7 Industri gula 5.53 1.43 8 Industri makanan lainnya 4.00 0.22 9 Industri minuman 2.45-1.12 10 Industri rokok 2.03-1.92 11 Industri pemintalan 9.39 2.88 12 Industri tekstil, pakaian dan kulit 6.66 1.96 13 Industri bambu, kayu dan rotan 3.69-0.05 14 Industri kertas, barang dari kertas dan karton 6.04 0.84 15 Industri pupuk dan pestisida 6.74 2.13 16 Industri kimia 7.99 1.65 17 Pengilangan minyak bumi 2.91-0.31 18 Industri barang karet dan plastik 5.85-0.71 19 Industri barang-barang dari mineral bukan logam 4.36 0.36 20 Industri semen 2.92-0.42 21 Industri dasar besi dan baja 15.28 5.44 22 Industri logam dasar bukan besi 10.17 4.54 23 Industri barang dari logam 6.08 0.73 24 Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik 8.96 0.69 25 Industri alat pengangkutan dan perbaikannya 8.11 1.41 26 Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun 8.37 2.33 27 Jasa-Jasa 2.31-0.46 Sumber : Hasil Analisis, 2011 Sementara itu, penurunan impor produk industri non-migas memberikan dampak yang berbeda dalam penyerapan tenaga kerja pada beberapa cabang industri. Beberapa cabang industri yang outputnya tumbuh lebih tinggi

316 dibandingkan dengan cabang industri lainnya juga menyerap lebih banyak tenaga kerja sehingga pertumbuhan tenaga kerja di cabang-cabang industri tersebut umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan cabang-cabang industri lainnya. Cabang-cabang industri yang penyerapan tenaga kerja meningkat adalah industri pengolahan makanan, industri minyak lemak, industri gula, industri makanan lain, industri pemintalan, industri tekstil, industri pupuk/pestisida, industri kimia, industri besi baja, industri logam dasar non-besi, industri mesin peralatan, industri alat angkuta, dan industri lainnya. Secara umum, penurunan impor produk industri non-migas mengakibatkan peningkatan jumlah tenaga kerja di sebagian sektor. Dampak dari penurunan impor produk industri non-migas tersebut memberikan kenaikan permintaan tenaga kerja yang paling besar adalah di sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan yang merupakan sektor yang selama ini relatif banyak menghadapi serbuan produkproduk impor untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk kebutuhan bahan baku industri. Pada sektor-sektor yang melakukan penurunan penggunaan tenaga kerja terjadi karena penurunan output cabang-cabang industri tersebut sehingga mengurangi penggunaan tenaga kerjanya. Dampak penurunan impor produk industri non-migas terhadap distribusi pendapatan rumah tangga berguna untuk mengetahui kelompok rumah tangga mana yang saja yang menerima dampak positif atau negatif akibat kebijakan tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 80. Pada Tabel 80, terlihat bahwa secara umum penurunan impor produk industri non-migas mengakibatkan pendapatan riil rumah tangga mengalami peningkatan yang relatif beragam untuk semua golongan rumah tangga. Besaran perubahan peningkatan distribusi

317 pendapatan riil berkisar antara 2.56 persen dan 3.20 persen. Dampak paling kecil dirasakan pada rumah tangga yang berpendapatan tinggi di perdesaan (Urban3). Sebaliknya, peningkatan pendapatan paling besar terjadi pada rumah tangga buruh pertanian di perdesaan (Rural 1). Tabel 80. Dampak Simulasi Penurunan Impor Produk Industri Non-Migas terhadap Distribusi Pendapatan Riil Rumah Tangga ( Persen Perubahan) No. Rumah Tangga Nilai 1 Buruh pertanian di perdesaan (Rural 1) 3.20 2 Petani pemilik lahan < 0.5 hektar (Rural 2) 3.07 3 Petani pemilik lahan antara 0.5 1.0 hektar (Rural 3) 3.08 4 Petani pemilik lahan > 1.0 hektar (Rural 4) 3.03 5 Rumah tangga yang berpendapatan rendah di sektor non-pertanian di 2.69 perdesaan (Rural 5) 6 Rumah tangga yang berpendapatan menengah di sektor nonpertanian 3.00 di perdesaan (Rural 6) 7 Rumah tangga yang berpendapatan tinggi di sektor non-pertanian di 2.63 perdesaan (Rural 7) 8 Rumah tangga yang berpendapatan rendah di perkotaan (Urban1) 3.00 9 Rumah tangga yang berpendapatan menengah di perkotaan (Urban2) 2.77 10 Rumah tangga yang berpendapatan tinggi di perkotaan (Urban3) 2.56 Sumber : Hasil Analisis, 2011 7.3.2. Dampak terhadap Kinerja Sektor Industri Kecil, Menengah dan Besar Dampak penurunan impor produk industri non-migas terhadap ekonomi setiap sektor berdasarkan skala usahanya yang diukur dari total output ditunjukkan pada Tabel 81. Penurunan impor produk industri non-migas secara umum memberikan dampak positif untuk seluruh sektor dan skala usaha. Secara umum penurunan impor produk industri non-migas lebih banyak mendorong pertumbuhan output industri besar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan industri kecil menengah. Hal ini karena penurunan impor produk industri non-migas lebih banyak menguntungkan sektor industri besar dibandingkan dengan industri kecil

318 menengah karena umumnya produk-produk yang dikonsumsi tersebut umumnya adalah produk-produk substitusi impor yang dihasilkan oleh industri besar di dalam negeri. Tabel 81. Dampak Simulasi Penurunan Impor Produk Industri Non-Migas terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ( Persen Perubahan) No. Nama Sektor Kecil Menengah Besar 1 Pertanian 3.64 3.66 3.67 2 Pertambangan 4.87 4.84 4.93 3 Industri pengolahan dan pengawetan makanan 9.70 9.72 9.73 4 Industri minyak dan lemak 6.52 6.54 6.54 5 Industri penggilingan padi 1.88 1.87 1.87 6 Industri tepung, segala jenisnya 3.19 3.19 3.19 7 Industri gula 5.53 5.53 5.53 8 Industri makanan lainnya 3.99 4.00 4.00 9 Industri minuman 2.45 2.45 2.45 10 Industri rokok 2.03 2.03 2.03 11 Industri pemintalan 9.38 9.39 9.39 12 Industri tekstil, pakaian dan kulit 6.64 6.68 6.67 13 Industri bambu, kayu dan rotan 3.69 3.69 3.69 14 Industri kertas, barang dari kertas dan karton 6.03 6.03 6.05 15 Industri pupuk dan pestisida 6.73 6.72 6.74 16 Industri kimia 7.97 7.94 8.02 17 Pengilangan minyak bumi 2.61 2.60 3.03 18 Industri barang karet dan plastik 5.84 5.83 5.86 19 Industri barang-barang dari mineral bukan logam 4.36 4.36 4.36 20 Industri semen 2.92 2.92 2.92 21 Industri dasar besi dan baja 15.26 15.26 15.31 22 Industri logam dasar bukan besi 10.15 10.15 10.18 23 Industri barang dari logam 6.03 6.04 6.12 24 Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik 8.85 8.93 9.04 25 Industri alat pengangkutan dan perbaikannya 8.05 8.09 8.16 26 Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun 8.37 8.39 8.37 27 Jasa-Jasa 2.32 2.09 2.38 Sumber : Hasil Analisis, 2011