HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Hasil analisis tanah awal

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN METODE PENELITIAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Sifat Kimia dan Fisik Latosol sebelum Percobaan serta Komposisi Kimia Pupuk Organik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TOLERAN LAHAN MASAM DI KALIMANTAN SELATAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

APLIKASI PUPUK UREA PADA TANAMAN JAGUNG. M. Akil Balai Penelitian Tanaman Serealia

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN

PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT. Munif Ghulamahdi Maya Melati Danner Sagala

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

III. BAHAN DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. kedalaman tanah sekitar cm (Irwan, 2006). dan kesuburan tanah (Adie dan Krisnawati, 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

HASIL DAN PEMBAHASAN. kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tajuk. bertambahnya tinggi tanaman, jumlah daun, berat segar tajuk, berat kering tajuk

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAB VI PEMBAHASAN. lambat dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang tanah, penghanyutan

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pengamatan pada pemberian pupuk organik kotoran ayam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lahan Kering Masam

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

Lampiran 1 Hasil analisis tanah sawah Babakan Dramaga (SBD), University Farm Institut Pertanian Bogor

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada.

METODE PERCOBAAN. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

IV. HASIL 4.1. Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi Tabel 2 No Analisis Metode Hasil Status Hara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. lingkungan atau perlakuan. Berdasarkan hasil sidik ragam 5% (lampiran 3A)

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Tanam Kondisi lingkungan tanam meliputi tanah dan iklim. Faktor tanah meliputi sifat fisik tanah dan kimia tanah. Tanah pada lokasi penelitian termasuk kriteria lempung dengan kandungan bahan organik yang rendah (Tabel 1). Tanah dengan tekstur pasir yang dominan, umumnya memiliki kandungan organik yang rendah. Anda (2003) menyatakan bahawa tanah bertekstur kasar yaitu banyak mengandung pasir, memiliki ruang pori tanah lebih besar dan jumlahnya lebih banyak mengakibatkan banyak permukaan tanah yang terekspos. Kondisi ini mempengaruhi aksebilitas mikroorganisme dekomposer pada substrat bahan organik menjadi lebih cepat dan lebih luas sehingga bahan organik akan cepat terurai dan hilang dari dalam tanah. Tabel 1 Hasil analisis tekstur tanah, bahan organik dan kadar air tanah Variabel Satuan Tekstur* Pasir % 47 Debu % 29 Liat % 24 Bahan Organik* Hasil Analisis Kriteria*** Lempung Kesesuaian agroklimat**** Sesuai C % 0.82 Sangat Rendah Kurang sesuai N % 0.18 Rendah Sesuai bersyarat C/N % 5 Rendah Sesuai bersyarat Kadar Air Tanah** Kapasitas lapang % 35.81 Titik layu % 8.86 Air tersedia % 26.95 Rendah Sesuai bersyarat Keterangan: * Analisis dilakukan pada bulan Juli 2011 di Laboratorium Balai Penelitian Tanah; **Analisis dilakukan di Laboratorium Pascapanen IPB; ***Penilaian kriteria berdasarkan Diagram Kriteria Tekstur Tanah dalam Hardjowigeno (2010)****Sumber dari: Sumarno dan Manshuri (2006). Sifat fisik tanah seperti tekstur dan kandungan bahan organik secara langsung menentukan kesuburan atau kondisi optimal dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Sumarno dan Manshuri (2006) menyatakan bahwa tekstur tanah menentukan kemudahan akar berkembang, kemampuan daya serap dan permeabilitas terhadap air permukaan. Lengkong dan Kawulusan (2008)

18 menyatakan bahwa bahan organik di dalam tanah berperan memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah. Peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah yaitu dalam pembentukan agregat tanah sehingga dapat meningkatkan kemampuan menahan air. Pengaruh bahan organik terhadap sifat kimia tanah yaitu meningkatkan kapasitas tukar kation dan menyuplai hara N, P, K dan S. Pengaruh bahan organik terhadap biologi tanah yaitu meningkatnya jumlah dan aktivitas metabolik mikroorganisme tanah dalam dekomposisi bahan organik. Kadar air tanah tersedia rendah yaitu sebesar 26.95%, hal ini dikarenakan tekstur tanah didominasi oleh pasir dengan persentase liat yang rendah. Hardjowigeno (2010) menyatakan bahwa kemampuan tanah menahan air dipengaruhi antara lain oleh tektur tanah. Tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air. Tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan lebih besar sehingga kemampuan menahan air lebih tinggi. Sifat kimia tanah (Tabel 2) menunjukkan reaksi tanah (ph) agak masam pada ph aktual (ph H2O) dan masam pada ph potensial (ph KCl). Reaksi tanah aktual yang tidak terlalu masam mengindikasikan unsur hara dapat tersedia bagi tanaman. Hal ini dapat terlihat pada tingkat ketersediaan hara Fosfor (87.78 mg/kg) dan Kalium (105.07 mg/kg) yang tergolong tinggi. Adapun kandungan hara potensial Fosfor tergolong tinggi (475.00 mg/kg), sedangkan hara potensial Kalium tergolong rendah (163.00 mg/kg). Kapasitas tukar kation (KTK) termasuk rendah karena ion bermuatan positif seperti K + Ca 2+, Mg +, Na +, H + dan Al 3+ di dalam koloid tanah berada dalam jumlah yang rendah. Kejenuhan basa (KB) tergolong tinggi karena kation asam seperti H + dan Al 3+ berada dalam jumlah yang rendah dibandingkan kation basa (K + Ca 2+, Mg +, Na + ). Kandungan hara mikro seperti Fe dan Mn berada dalam jumlah tergolong tinggi, yang bersifat racun bagi tanaman. Hardjowigeno (2010) menyatakan bahwa pada reaksi tanah yang masam, unsur mikro seperti Fe dan Mn menjadi mudah larut. Unsur hara mikro yang tersedia dalam jumlah besar menjadi racun bagi tanaman, karena unsur hara mikro dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang sangat kecil.

Tabel 2 Hasil analisis kimia tanah* Variabel Satuan Metode Hasil Analisis Kriteria** 19 Kesesuaian agroklimat*** ph H 2 O 5.82 Agak Masam Sesuai ph KCl 4.86 Masam - P 2 O 5 mg/kg Ekstrak HCl 475.00 Tinggi Sangat sesuai K 2 O mg/kg 25% 163.00 Rendah Sesuai bersyarat P 2 O 5 mg/kg Bray I 87.78 Sangat Tinggi Sangat sesuai K mg/kg Ekstrak Morgan 105.07 Tinggi Sangat sesuai Susunan Kation K cmol(+)/kg 0.19 Rendah Sesuai bersyarat Ca cmol(+)/kg 4.51 Rendah Sesuai Ekstrak bersyarat Mg cmol(+)/kg Amonium 0.76 Rendah Sesuai Asetat bersyarat (CH 3 COONH 4 ) 0.06 Sangat Na cmol(+)/kg - 1 M ph 7 Rendah KTK % 6.26 Rendah KB % 88.00 Sangat Tinggi Sangat sesuai Al H Fe Mn cmol(+)/kg cmol(+)/kg mg/kg mg/kg Ekstrak KCl 1 M Ekstrak DTPA 0.00 Sangat Rendah 0.02 Sangat Rendah 39.13 Sangat Tinggi 135.35 Sangat Tinggi Sangat sesuai Sangat sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Keterangan: * Analisis dilakukan pada bulan Juli 2011 di Laboratorium Balai Penelitian Tanah; **Penilaian kriteria berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah 1983 dalam Hardjowigeno 2010)*** Sumber dari: Sumarno dan Manshuri (2006). Komponen lingkungan yang menentukan keberhasilan produksi kedelai selain faktor tanah adalah faktor iklim. Faktor iklim yang menentukan pertumbuhan tanaman kedelai diantaranya: intensitas sinar matahari, suhu, kelembaban udara dan curah hujan. Kondisi iklim pada lokasi penelitian yaitu intensitas cahaya tergolong tinggi, semakin meningkat dari awal tanam sampai fase generatif (bulan Juli sampai bulan September) dengan lama penyinaran nilai

20 tertinggi didapatkan 89.5% dan tingkat keawanan yang rendah. Suhu udara tergolong tinggi yaitu rata-rata 26.6 o C dengan suhu maksimal mencapai 33.5 o C. Kelembaban udara mengalami penurunan dari awal tanam sampai masuk fase generatif dengan rata-rata 71%. Curah hujan tergolong rendah, hujan hanya turun pada awal tanam yaitu satu bulan sebelum tanam dan setelah tanam (67.2 mm), kemudian tidak ada hujan yang turun ketika fase pertumbuhan maksimum dan masuk fase generatif yaitu bulan Agustus (Lampiran 5). Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan penyinaran matahari secara penuh. Sumarno dan Manshuri (2006) menyatakan bahwa berdasarkan kelimpahan cahaya matahari, kedelai optimal ditanam pada musim kemarau (Juli-Agustus). Suhu yang sesuai bagi pertumbuhan kedelai berkisar 22-27 0 C. Kelembaban udara yang optimal berkisar RH 75-90% selama periode pertumbuhan hingga stadia pengisian polong dan kelembaban udara rendah (RH 60-75%) pada waktu pematangan polong hingga panen. Curah hujan yang merata 100-150 mm per bulan pada dua bulan sejak tanam merupakan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan kedelai. Kondisi lahan yang kering pada awal tanam karena tidak turun hujan maka dilakukan penyiraman sampai dua minggu setelah tanam. Hal ini dilakukan untuk mendukung ketersediaan air sehingga benih dapat berkecambah dengan baik sampai menjadi bibit. Pengendalian hama dilakukan pada saat awal gejala muncul dengan penyemprotan insektisida dengan bahan aktif klorantraniliprol 50 g/l. Hama yang mengganggu tanaman di lapangan yaitu: ulat grayak, ulat jengkal dan ulat penggerek polong. Subandi et al. (2006) menyatakan bahwa kendala pertanaman kedelai pada MK 2 selain kekeringan juga ancaman hama. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Hasil uji F menunjukkan interaksi perlakuan genotipe dengan sistem olah tanah hanya berpengaruh nyata pada awal fase pertumbuhan tanaman yaitu terhadap variabel tinggi tanaman pada saat 2 mst. Pengaruh perlakuan genotipe secara tunggal nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada 2 mst sampai 6 mst, jumlah daun trifoliat pada 2 mst dan bobot 100 butir. Pengaruh perlakuan sistem olah tanah secara tunggal nyata berpengaruh terhadap hampir

21 semua pengamatan (tinggi tanaman pada 2 mst sampai 8 mst, jumlah daun trifoliat pada 4 mst sampai 8 mst, jumlah cabang pada 6 mst dan 8 mst, bobot kering daun pada 6 mst dan 8 mst, bobot kering batang pada 6 mst dan 8 mst, bobot kering akar pada 6 mst dan 8 mst, jumlah polong isi, bobot 100 butir dan bobot ubinan) (Tabel 3). Tabel 3 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen pertumbuhan dan produksi Variabel Perlakuan Umur Tanaman Sistem Genotipe Interaksi KK (mst) olah tanah (G) (GxS) (%) (S) Tinggi Tanaman (cm) 2 0.0001 ** <0.0001 ** 0.0347 * 6.23 4 0.0045 ** <0.0001 ** 0.2826 tn 6.85 6 0.0299 * <0.0001 ** 0.1351 tn 8.04 8 0.3906 tn <0.0001 ** 0.6756 tn 7.57 Jumlah Daun Trifoliat (helai) 2 0.0487 * 0.2519 tn 0.3196 tn 17.06 4 0.0836 tn 0.0005 ** 0.5308 tn 11.03 6 0.2105 tn <0.0001 ** 0.9878 tn 14.97 8 0.5622 tn <0.0001 ** 0.9892 tn 14.01 Jumlah Cabang 4 0.6246 tn 0.4114 tn 0.5381 tn (6.41) 6 0.1786 tn 0.0001 ** 0.4677 tn (22.62) 8 0.4498 tn <0.0001 ** 0.3465 tn (14.55) Jumlah Bintil Akar 6 0.2137 tn 0.1174 tn 0.6459 tn (29.81) 8 0.0969 tn 0.3346 tn 0.2708 tn (30.71) Bobot Kering Daun (g) 6 0.2915 tn <0.0001 ** 0.7342 tn (11.51) 8 0.2102 tn <0.0001 ** 0.9851 tn (14.66) Bobot Kering Batang (g) 6 0.4904 tn <0.0001 ** 0.7823 tn (9.73) 8 0.1638 tn <0.0001 ** 0.1962 tn (12.51) Bobot Kering Akar (g) 6 0.8977 tn <0.0001 ** 0.9407 tn (5.21) 8 0.2171 tn <0.0001 ** 0.5962 tn (8.62) Jumlah Polong Isi 0.2015 tn <0.0001 ** 0.1947 tn 7.48 Jumlah Polong Hampa 0.4582 tn 0.2384 tn 0.7735 tn (27.65) Bobot 100 Butir (g) 0.0012 ** <0.0001 ** 0.6356 tn 2.88 Bobot ubinan (g/2 m 2 ) 0.1590 tn <0.0001 ** 0.2981 tn 9.05 Keterangan: tn: tidak berbeda nyata berdasarkan uji F taraf 5%; *: berbeda nyata berdasarkan uji F taraf 5%; **: berbeda nyata berdasarkan uji F taraf 1%; KK: koefisien korelasi; ( ) data hasil transformasi x + 0.5; mst: minggu setelah tanam.

22 Pertumbuhan Tanaman Tinggi Tanaman (cm) Variabel tinggi tanaman (cm) pada awal pertumbuhan dipengaruhi secara nyata oleh interaksi antara genotipe dengan sistem olah tanah. Interaksi antara Genotipe Anjasmoro dan perlakuan sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi daripada interaksi genotipe PG-57-1, SP-30-4 dan Tanggamus dengan berbagai perlakuan sistem olah tanah. Genotipe Anjasmoro, Tanggamus dan SP- 30-4 lebih tanggap dengan perlakuan sistem olah tanah yang berbeda. Kondisi ini terlihat dari interaksi antara genotipe dengan sistem olah tanah, dimana pertumbuhan tinggi tanaman pada setiap genotipe nyata berbeda antar perlakuan sistem olah tanah, sedangkan interaksi antara Genotipe PG-57-1 dengan sistem olah tanah yang berbeda tidak menghasilkan tinggi tanaman yang nyata berbeda (Tabel 4). Tabel 4 Pengaruh interaksi genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap tinggi tanaman (cm) pada 2 mst Sistem olah tanah Genotipe SP-30-4 PG-57-1 Tanggamus Anjasmoro Tinggi tanaman (cm) Alur tanpa pupuk 8.68 fhijkl 8.00 ijkl 9.40 efgh 11.00 cd Konvensional tanpa 7.88 jkl 7.58 l 8.84 fhijkl 10.27 de pupuk Alur+PD 9.19 efghi 7.72 kl 9.66 efg 11.75 abc Alur+PD+KP 9.05 fghij 8.39 hijkl 9.79 ef 11.91 abc Alur+PD+KP+KM 8.90 fghijk 8.43 hijkl 9.30 efgh 11.58 abc Alur+PD+KP+KM 9.28 efgh 7.75 kl 9.53 efgh 12.56 a +MS Konvensional+PD 8.41 hijkl 7.83 jkl 9.28 efgh 11.22 bcd Konvensional+PD+KP 7.65 kl 7.57 l 8.35 hijkl 11.90 abc Konvensional+PD+KP 8.58 ghijkl 7.61 kl 8.91 fghijk 11.72 abc +KM Konvensional+PD+KP +KM+MS 9.53 efgh 7.64 kl 8.39 hijkl 12.18 ab Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada semua kolom dan baris menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa.

23 Pertumbuhan tinggi tanaman pada Genotipe Anjasmoro yang berinteraksi dengan sistem olah tanah alur, penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi daripada interaksi antara Genotipe Anjasmoro dengan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Kondisi yang sama juga tampak pada pertumbuhan tinggi tanaman Genotipe SP-30-4 yang berinteraksi dengan sistem olah tanah alur, penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi daripada interaksi antara Genotipe SP-30-4 dengan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Pertumbuhan tinggi tanaman pada Genotipe Tanggamus yang berinteraksi dengan sistem olah tanah alur, penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan dibandingkan interaksi antara Genotipe Tanggamus dengan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan menunjukkan hasil yang sama. Pertumbuhan tinggi tanaman pada Genotipe Tanggamus yang berinteraksi dengan sistem olah tanah alur, penambahan pupuk dasar dan kapur menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi daripada interaksi antara Genotipe Tanggamus dengan sistem olah tanah konvensional, penambahan pupuk dasar dan kapur. Pertumbuhan tinggi tanaman pada 4 mst dan 6 mst dipengaruhi secara nyata oleh faktor tunggal genotipe. Akan tetapi pada 8 mst pengaruh perlakuan genotipe terhadap tinggi tanaman tidak berbeda nyata. Genotipe Anjasmoro menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya pada 4 mst dan 6 mst. Pertumbuhan tinggi tanaman pada 4 mst sampai 8 mst dipengaruhi secara nyata oleh faktor tunggal sistem olah tanah. Perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi pada 4 mst dan 6 mst dibandingkan pada perlakuan olah tanah konvensional tanpa pupuk, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan (Tabel 5). Perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan tinggi tanaman nyata lebih tinggi pada 8 mst dibandingkan pada perlakuan olah tanah konvensional tanpa pupuk, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan

24 penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan. Hasil yang tidak berbeda nyata juga terdapat pada perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur dan kompos. Pengaruh kapur yang diberikan tidak dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman pada sistem olah tanah alur. Kondisi ini dapat terlihat pada perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar menghasilkan tinggi tanaman pada 4 mst sampai 8 mst tidak berbeda nyata dengan perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar dan kapur. Adapun pengaruh pemberian pupuk dasar pada olah tanah alur mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman dibandingkan tanpa pemberian pupuk. Tabel 5 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap tinggi tanaman (cm) dari 4 mst sampai 8 mst Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Genotipe 4 MST 6 MST 8 MST SP-30-4 15.36 c 26.81 c 36.71 PG-57-1 15.53 c 28.61 b 39.28 Tanggamus 17.12 b 29.03 b 40.01 Anjasmoro 19.55 a 33.31 a 43.20 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 15.38 ef 25.47 fg 33.49 e Konvensional tanpa pupuk 14.47 f 24.45 g 31.65 e Alur+PD 16.79 cd 28.25 de 38.46 cd Alur+PD+KP 17.45 bc 29.69 bcd 40.74 bc Alur+PD+KP+KM 17.63 bc 31.58 b 43.62 a Alur+PD+KP+KM +MS 18.64 a 34.13 a 46.16 a Konvensional+PD 16.16 de 27.34 ef 37.86 d Konvensional+PD+KP 16.75 cd 29.28 cde 39.92 bcd Konvensional+PD+KP+KM 17.23 c 30.46 bc 41.15 b Konvensional+PD+KP+KM+MS 18.40 ab 33.74 a 44.93 a Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam. Jumlah Daun Trifoliat (helai) Pertumbuhan daun trifoliat dipengaruhi oleh faktor genotipe secara tunggal terlihat pada 2 mst, kemudian pada 4 mst sampai 8 mst tidak nyata pengaruh dari perlakuan genotipe. Perlakuan sistem olah tanah nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan daun trifoliat mulai dari 4 mst sampai 8 mst. Pertambahan

25 jumlah daun trifoliat maksimal pada 6 mst kemudian terjadi penurunan. Pertumbuhan daun trifoliat Genotipe PG-57-1 pada 2 mst nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya dengan rata-rata jumlah daun trifoliat 1.73 buah daun. Pertumbuhan daun trifoliat Genotipe Tanggamus tidak berbeda nyata dibandingkan dengan Genotipe Anjasmoro, sedangkan Genotipe SP-30-4 menghasilkan daun trifoliat nyata lebih rendah dibandingkan genotipe lainnya (Tabel 6). Tabel 6 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap jumlah daun trifoliat (helai) dari 2 mst sampai 8 mst Perlakuan Jumlah Daun Trifoliat (helai) Genotipe 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST SP-30-4 1.28 c 3.90 6.99 7.46 PG-57-1 1.73 a 4.54 7.72 8.08 Tanggamus 1.58 b 4.21 6.98 7.61 Anjasmoro 1.55 b 3.78 6.37 7.15 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 1.52 3.83 bc 6.06 de 6.50 de Konvensional 1.40 3.52 c 5.65 e 5.98 e tanpa pupuk Alur+PD 1.67 4.04 ab 6.54 cde 7.17 cd Alur+PD+KP 1.67 4.25 ab 7.00 bc 7.60 bc Alur+PD+KP+KM 1.56 4.35 a 7.58 ab 8.19 ab Alur+PD+KP+KM 1.58 4.21 ab 8.00 a 8.63 a +MS Konvensional+PD 1.50 4.13 ab 6.65 bcd 7.25 bcd Konvensional+PD 1.50 4.19 ab 7.33 abc 7.92 abc +KP Konvensional+PD 1.46 4.19 ab 7.31 abc 7.92 abc +KP+KM Konvensional+PD +KP+KM+MS 1.50 4.35 a 8.00 a 8.60 a Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam. Pengaruh perlakuan sistem olah tanah terhadap jumlah daun trifoliat tidak berbeda nyata pada 2 mst. Perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan jumlah daun trifoliat nyata

26 lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah tanah konvensional tanpa pupuk pada 4 mst sampai 8 mst. Jumlah daun trifoliat yang dihasilkan pada 8 mst dengan perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan. Hasil yang tidak berbeda nyata juga terdapat pada perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos, dan pada perlakuan konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos, serta pada perlakuan konvensional dengan penambahan pupuk dasar dan kapur. Jumlah daun trifoliat meningkat rata-rata jumlahnya pada 6 mst kemudian terjadi penurunan pada 8 mst. Penurunan jumlah daun dikarenakan tanaman memasuki fase generatif dimana tampak di lapangan terjadi pengguguran daun. Marschner (1995) menyatakan bahwa proses senescence pada daun mengindikasikan terjadinya ekspor mineral nutrisi (remobilisasi) dari daun tua ke bagian sink tanaman. Biji merupakan sink yang kuat, sehingga remobilisasi mineral nutrisi lebih diarahkan pada pengisian biji. Jumlah Cabang Perlakuan genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan cabang tanaman mulai dari 4 mst sampai 8 mst. Perlakuan sistem olah tanah berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan cabang pada 6 mst sampai 8 mst. Pertumbuhan cabang maksimal terjadi pada 6 mst kemudian jumlah cabang yang muncul mengalami penurunan. Jumlah cabang yang dihasilkan pada 6 mst dengan perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan nyata lebih tinggi dibandingkan tiga perlakuan yaitu olah tanah konvensional tanpa pupuk, olah tanah alur tanpa pupuk dan konvensional dengan penambahan pupuk dasar. Akan tetapi jumlah cabang yang dihasilkan perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan tidak berbeda nyata dengan enam perlakuan lainnya (Tabel 7). Pengaruh perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan terhadap jumlah cabang yang dihasilkan pada 8 mst nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah tanah konvensional tanpa pupuk, tetapi

27 tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan. Hasil yang tidak berbeda nyata juga terdapat pada perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur dan kompos. Pengaruh perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan konstan nyata lebih tinggi terhadap variabel pertumbuhan yang dihasilkan dibandingkan olah tanah konvensional tanpa pupuk, hal ini dikarenakan terdapat korelasi nyata antar variabel. Terdapat korelasi nyata antara tinggi tanaman 6 mst, jumlah daun 6 mst dan jumlah cabang 6 mst dengan jumlah cabang yang terbentuk pada 8 mst (Lampiran 6). Tabel 7 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap jumlah cabang dari 4 mst sampai 8 mst Perlakuan Jumlah Cabang Genotipe 4 MST 6 MST 8 MST SP-30-4 0.72 0.99 1.35 PG-57-1 0.72 1.29 1.53 Tanggamus 0.73 1.16 1.49 Anjasmoro 0.71 1.06 1.39 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 0.71 0.87 c 1.01 d Konvensional tanpa pupuk 0.71 0.86 c 0.99 d Alur+PD 0.73 1.15 ab 1.44 c Alur+PD+KP 0.73 1.19 ab 1.54 bc Alur+PD+KP+KM 0.74 1.24 ab 1.58 abc Alur+PD+KP+KM +MS 0.73 1.34 a 1.76 a Konvensional+PD 0.71 1.04 bc 1.42 c Konvensional+PD+KP 0.71 1.14 ab 1.50 bc Konvensional+PD+KP+KM 0.71 1.18 ab 1.53 bc Konvensional+PD+KP+KM+MS 0.71 1.22 ab 1.65 ab Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam. Nilai korelasi meningkat seiring meningkatnya laju pertumbuhan yaitu 6 mst. Korelasi positif tinggi tanaman 6 mst dan jumlah cabang 8 mst sebesar 0.81. Korelasi positif jumlah daun 6 mst dan jumlah cabang 8 mst sebesar 0.90. Korelasi positif jumlah cabang 6 mst dan jumlah cabang 8 mst sebesar 0.95. Hal ini mengindikasikan terdapat hubungan linier yang nyata antara tinggi tanaman

28 pada 6 mst, jumlah daun 6 mst dan jumlah cabang 6 mst dengan jumlah cabang 8 mst. Semakin meningkat pertumbuhan tinggi tanaman pada 6 mst, jumlah daun 6 mst dan jumlah cabang 6 mst diikuti oleh peningkatan jumlah cabang pada 8 mst. Jumlah Bintil Akar Faktor genotipe dan sistem olah tanah tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil akar yang tumbuh pada 6 mst dan 8 mst. Jumlah bintil akar yang rendah disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak optimal. Ketersediaan air yang rendah, kondisi ini tampak dari jumlah curah hujan yang rendah dan pada saat fase pertumbuhan maksimum tidak ada turun hujan yaitu pada bulan Agustus (Lampiran 5). Kondisi lingkungan tersebut tidak mendukung perkembangbiakan bakteri di sekitar perakaran yang menginfeksi munculnya bintil akar. Lingkungan tumbuh yang tidak optimal juga dapat menyebabkan bintil akar yang telah terbentuk cepat mengalami pelapukan, sehingga jumlah bintil akar rendah pada 6 mst dan 8 mst (Tabel 8). Tabel 8 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap jumlah bintil akar pada 6 mst dan 8 mst Perlakuan Jumlah Bintil Akar Genotipe 6 MST 8 MST SP-30-4 1.29 1.24 PG-57-1 1.00 1.01 Tanggamus 1.13 1.11 Anjasmoro 1.11 1.23 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 1.03 1.30 Konvensional tanpa pupuk 1.06 1.00 Alur+PD 1.14 1.22 Alur+PD+KP 1.07 1.23 Alur+PD+KP+KM 1.26 1.07 Alur+PD+KP+KM +MS 1.39 1.27 Konvensional+PD 1.03 1.00 Konvensional+PD+KP 1.00 1.12 Konvensional+PD+KP+KM 1.10 1.08 Konvensional+PD+KP+KM+MS 1.22 1.20 Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam.

29 Modifikasi lingkungan tanam dengan perlakuan sistem olah tanah belum mampu meningkatkan jumlah bintil akar yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan sistem olah tanah tidak mampu menjadikan lingkungan tumbuh yang optimal untuk perkembangbiakan bakteri. Sistem olah tanah hanya mampu mengatasi permasalahan lingkungan tumbuh agar optimal untuk perkembangan perakaran tanaman. Pengaruh sistem olah tanah terhadap perkembangan perakaran tanaman, tampak dari bobot kering akar yang dihasilkan (Tabel 10). Kandungan Hara dan Serapan Hara Secara umum tanaman dapat beradaptasi dengan lingkungan tumbuh yang kurang optimum. Cekaman dari lingkungan tumbuh terutama kekeringan yang meningkat, diasumsikan dari data curah hujan yang rendah sebelum memasuki fase generatif memicu tanaman untuk menyerap unsur hara lebih banyak (Lampiran 5). Berdasarkan hasil analisis jaringan tanaman diketahui bahwa kandungan hara N dan K tergolong tinggi, sedangkan hara P tergolong rendah (Tabel 9). Hardjowigeno (2010) menyatakan bahwa batas antara kecukupan dan defisiensi unsur hara tanaman kedelai berdasarkan analisis tanaman yaitu hara N sebesar 4.2%, hara P sebesar 0.26% dan hara K sebesar 1.71%. Kandungan hara N dan K pada jaringan tanaman yang tergolong tinggi pada 6 mst, menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan tumbuh yang kurang optimal tidak menghambat serapan hara. Akan tetapi biomassa yang dihasilkan terdapat perbedaan nyata pada perlakuan sistem olah tanah, dimana sistem olah tanah konvensional tanpa penambahan pupuk menghasilkan biomassa yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 11 dan 12). Hal ini mengindikasikan pengaruh lingkungan tumbuh yang kurang optimal menghambat pertumbuhan tanaman. Harjadi dan Yahya (1988) menyatakan bahwa jika konsentrasi hara dalam tanaman yang sedang tumbuh meningkat dengan meningkatnya stress, dapat dianggap bahwa laju penyerapan hara lebih cepat daripada penambahan bobot kering tanaman. Stress air lebih menghambat pertumbuhan daripada penyerapan hara. Sebaliknya, penurunan persen kadar hara berarti asimilasi bersih dan pertumbuhan kurang dipengaruhi dibandingkan ketersediaan hara.

30 Tabel 9 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap kandungan hara N, P dan K Perlakuan Kandungan hara (%) Genotipe N P K SP-30-4 4.28 0.20 2.25 PG-57-1 4.52 0.23 1.92 Tanggamus 4.67 0.20 1.97 Anjasmoro 4.54 0.19 1.79 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 4.49 0.19 2.06 Konvensional tanpa pupuk 4.56 0.18 2.00 Alur+PD 4.22 0.20 1.96 Alur+PD+KP 4.38 0.20 2.12 Alur+PD+KP+KM 4.39 0.20 1.92 Alur+PD+KP+KM+MS 4.60 0.23 2.15 Konvensional+PD 4.66 0.19 1.91 Konvensional+PD+KP 4.56 0.21 1.89 Konvensional+PD+KP+KM 4.54 0.22 1.99 Konvensional+PD+KP+KM+MS 4.68 0.22 1.85 Batas antara kecukupan dan defisiensi unsur hara* 4.20 0.26 1.71 Keterangan: PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam; *Sumber dari: Hardjowigeno (2010). Serapan hara pada fase pertumbuhan maksimal (6 mst) dipengaruhi oleh faktor genotipe, kecuali serapan hara fosfor. Serapan hara nitrogen Genotipe Tanggamus nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe lain, akan tetapi dibandingkan Genotipe Anjasmoro menunjukkan hasil yang sama. Serapan hara kalium Genotipe SP-30-4 nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe lain, akan tetapi dibandingkan Genotipe Tanggamus menunjukkan hasil yang sama (Tabel 10). Perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan mampu meningkatkan serapan hara N, P, dan K nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, akan tetapi dibandingkan olah tanah konvensional yang ditambah pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan memperlihatkan hasil yang sama. Serapan hara yang tinggi pada perlakuan dengan pemulsaan mengindikasikan, mulsa mampu menjaga kelembaban tanah sehingga air tetap tersedia bagi tanaman. Ketersediaan air di dalam tanah dapat membantu pergerakan hara sehingga mudah diserap oleh tanaman. Marschner

31 (1995) menyatakan bahwa pergerakan hara menuju permukaan akar tanaman bersama-sama dengan gerakan massa air (aliran masa). Pergerakan air dikendalikan oleh laju transpirasi tanaman. Suplai hara N lebih dominan dengan mekanisme aliran masa, sedangkan hara P dan K secara difusi. Hardjowigeno (2010) menambahkan bahwa serapan hara N melalui mekanisme aliran massa sebesar 98.8%, sedangkan melalui mekanisme difusi serapan hara P sebesar 90.9% dan K sebesar 77.7%. Tabel 10 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap serapan hara N, P dan K Perlakuan Serapan hara (mg/tanaman) Genotipe N P K SP-30-4 75.75 b 3.62 39.81 a PG-57-1 76.91 b 3.91 32.64 b Tanggamus 87.84 a 3.77 36.99 a Anjasmoro 81.68 ab 3.41 32.20 b Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 66.42 ef 2.82 de 30.48 de Konvensional tanpa pupuk 59.68 f 2.37 e 26.16 e Alur+PD 70.08 def 3.32 cd 32.48 cde Alur+PD+KP 77.07 cde 3.50 cd 37.33 bc Alur+PD+KP+KM 81.14 cd 3.71 bc 35.59 bcd Alur+PD+KP+KM+MS 99.37 ab 5.01 a 46.51 a Konvensional+PD 79.72 cd 3.28 cd 32.74 bc Konvensional+PD+KP 79.83 cd 3.62 c 33.14 bc Konvensional+PD+KP+KM 88.62 bc 4.33 ab 38.77 bc Konvensional+PD+KP+KM+MS 103.51 a 4.80 a 40.91 ab Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam. Bobot Kering Tajuk dan Akar Bobot Kering Tajuk Pengaruh faktor genotipe tidak berbeda nyata terhadap variabel pertumbuhan vegetatif tanaman mulai dari 4 mst sampai 8 mst, kecuali variabel tinggi tanaman pada 4 mst dan 6 mst berbeda nyata (Tabel 5, 6 dan 7). Pertumbuhan vegetatif seperti jumlah daun dan jumlah cabang tidak dipengaruhi pertumbuhannya secara nyata dengan perlakuan genotipe pada 4 mst sampai 8

32 mst. Kondisi ini menyebabkan perlakuan genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering daun dan batang (tajuk tanaman) yang dihasilkan pada 6 mst dan 8 mst (Tabel 11). Tabel 11 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap bobot kering tajuk (g) pada 6 mst dan 8 mst Perlakuan Bobot Kering Daun (g) Bobot Kering Batang (g) Genotipe 6 MST 8 MST 6 MST 8 MST SP-30-4 1.77 2.17 1.43 2.03 PG-57-1 1.70 1.93 1.36 1.82 Tanggamus 1.88 2.14 1.46 2.23 Anjasmoro 1.80 2.05 1.43 2.14 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 1.48 e 1.58 d 1.23 e 1.66 e Konvensional tanpa 1.31 f 1.54 d 1.09 f 1.52 e pupuk Alur+PD 1.66 d 1.96 c 1.31 de 1.90 d Alur+PD+KP 1.76 cd 2.04 bc 1.40 cd 1.96 d Alur+PD+KP+KM 1.85 bc 2.24 b 1.47 bc 2.23 bc Alur+PD+KP+KM+MS 2.16 a 2.61 a 1.71 a 2.66 a Konvensional+PD 1.71 cd 2.01 bc 1.35 cd 2.03 cd Konvensional+PD+KP 1.75 cd 2.00 bc 1.37 cd 2.03 cd Konvensional+PD 1.95 ab 2.20 bc 1.55 b 2.11 cd +KP+KM Konvensional+PD +KP+KM+MS 2.21 a 2.54 a 1.71 a 2.43 b Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam. Pengaruh sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan bobot kering daun (g) pada 6 mst dan 8 mst nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Bobot kering daun yang dihasilkan pada olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan tidak berbeda nyata dengan perlakuan olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur dan kompos pada 6 mst. Hasil yang tidak berbeda nyata juga terdapat pada perlakuan olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan pada 6 mst dan 8 mst.

33 Bobot kering batang (g) pada 6 mst dan 8 mst dengan perlakuan olah tanah alur penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah tanah konvensional tanpa pemupukan, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan pada 6 mst. Hal ini mengindikasikan perlakuan olah tanah alur maupun konvensional mampu meningkatkan biomassa tanaman dengan aplikasi mulsa organik mampu mengurangi cekaman kekeringan sehingga input yang diberikan mampu diserap oleh tanaman. Pengaruh sistem olah tanah dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman sejalan dengan pembentukan biomassa. Hal ini dikarenakan terdapat korelasi nyata antara tinggi tanaman 6 mst, jumlah daun 6 mst dan jumlah cabang 6 mst dengan bobot kering daun dan bobot kering batang pada 8 mst yang terbentuk (Lampiran 7). Nilai korelasi meningkat seiring meningkatnya laju pertumbuhan yaitu 6 mst. Korelasi positif tinggi tanaman 6 mst dan bobot kering daun 8 mst sebesar 0.84. Korelasi positif jumlah daun 6 mst dan bobot kering daun 8 mst sebesar 0.84. Korelasi positif jumlah cabang 6 mst dan bobot kering daun 8 mst sebesar 0.76. Terdapat hubungan linier yang nyata antara tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada 6 mst dengan bobot kering daun pada 8 mst, dimana semakin meningkat pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada 6 mst diikuti oleh peningkatan bobot kering daun pada 8 mst. Korelasi positif tinggi tanaman 6 mst dan bobot kering batang 8 mst sebesar 0.87. Korelasi positif jumlah daun 6 mst dan bobot kering batang 8 mst sebesar 0.76. Korelasi positif jumlah cabang 6 mst dan bobot kering batang 8 mst sebesar 0.71. Terdapat hubungan linier yang nyata antara tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada 6 mst dengan bobot kering batang pada 8 mst, dimana semakin meningkat pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada 6 mst diikuti oleh peningkatan bobot kering batang pada 8 mst. Bobot Kering Akar Pertumbuhan bagian tajuk tanaman yang baik menunjukkan perakaran tanaman berkembang dengan baik. Keterkaitan pertumbuhan antara akar dan tajuk ini tampak dari pengaruh perlakuan yang diberikan. Perlakuan beberapa genotipe

34 tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tajuk tanaman yang ditunjukkan dengan bobot kering tajuk yang dihasilkan. Oleh karena itu perlakuan genotipe juga tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan perakaran tanaman yang ditunjukkan dengan bobot kering akar pada 6 mst dan 8 mst (Tabel 12). Tabel 12 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap bobot kering akar (g) pada 6 mst dan 8 mst Perlakuan Bobot Kering Akar (g) Genotipe 6 MST 8 MST SP-30-4 0.86 0.98 PG-57-1 0.88 0.97 Tanggamus 0.88 1.03 Anjasmoro 0.87 1.02 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 0.83 c 0.88 ef Konvensional tanpa pupuk 0.79 d 0.84 f Alur+PD 0.86 bc 0.95 de Alur+PD+KP 0.89 b 1.00 cd Alur+PD+KP+KM 0.88 b 1.04 bc Alur+PD+KP+KM +MS 0.94 a 1.16 a Konvensional+PD 0.85 bc 0.99 cd Konvensional+PD+KP 0.86 bc 1.01 cd Konvensional+PD+KP+KM 0.89 b 1.03 bcd Konvensional+PD+KP+KM+MS 0.95 a 1.09 ab Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam. Perlakuan sistem olah tanah yang diaplikasikan berpengaruh nyata dalam meningkatkan pertumbuhan tajuk tanaman. Pertumbuhan tajuk yang meningkat diiringi dengan peningkatan biomassa. Hal ini mengindikasikan perakaran tanaman tumbuh dengan baik yang menunjang pertumbuhan tajuk. Oleh karena itu perlakuan sistem olah tanah berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar tanaman. Pengaruh sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan bobot kering akar (g) pada 6 mst dan 8 mst nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Bobot kering akar yang dihasilkan pada olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan tidak berbeda nyata

35 dengan perlakuan olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan pada 6 mst dan 8 mst. Terdapat korelasi nyata antara pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada 6 mst dengan bobot kering akar yang terbentuk. Korelasi positif tinggi tanaman 6 mst dan bobot kering akar 8 mst sebesar 0.90. Korelasi positif jumlah daun 6 mst dan bobot kering akar 8 mst sebesar 0.83. Korelasi positif jumlah cabang 6 mst dan bobot kering akar 8 mst sebesar 0.81. Terbentuk hubungan linier yang nyata antara tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada 6 mst dengan bobot kering akar pada 8 mst, dimana semakin meningkat pertumbuhan tinggi tanaman pada, jumlah daun dan jumlah cabang pada 6 mst diikuti oleh peningkatan bobot kering akar pada 8 mst (Lampiran 7). Nisbah Bobot Kering Akar dan Tajuk Perbandingan antara biomassa akar dengan tajuk (nisbah akar/tajuk) tidak berbeda nyata pada empat genotipe yang diuji (Tabel 13). Nisbah akar/tajuk genotipe kedelai menurun pada 8 mst dibandingkan pada 6 mst. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan tajuk tanaman lebih dominan dibandingkan perkembangan akar tanaman. Penerapan sistem olah tanah memperlihatkan nisbah akar dan tajuk yang nyata berbeda antar perlakuan. Nisbah akar/tajuk pada sistem olah tanah konvensional nyata lebih tinggi dibandingkan sistem olah tanah lainnya pada 6 mst, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah alur pada 8 mst. Nilai nisbah akar/tajuk yang tinggi, mengindikasikan pengaruh cekaman kekeringan meningkat sehingga tanaman beradaptasi dengan meningkatkan pertumbuhan akar untuk mensuplai kebutuhan air dari dalam tanah. Nisbah akar/tajuk yang rendah pada sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan, mengindikasikan modifikasi lingkungan tumbuh yang diterapkan mampu mengurangi dampak buruk dari cekaman kekeringan. Hamim et al. (1996) menyatakan bahwa secara umum cekaman kekeringan mempunyai pengaruh dalam menekan pertumbuhan tanaman kedelai baik tajuk maupun akar sehingga menyebabkan penurunan bobot kering tanaman. Cekaman kekeringan menekan perkembangan tajuk jauh lebih besar daripada

36 perkembangan akar kedelai. Hal ini diduga berhubungan dengan upaya tanaman dalam mempertahankan status air di dalam tubuhnya yaitu dengan mengurangi kehilangan air melalui daun, sehingga tanaman mengurangi ukuran kanopinya, dan tetap mempertahankan perkembangan akarnya sehingga mampu mensuplai air dengan cukup. Tabel 13 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap nisbah akar/tajuk pada 6 mst dan 8 mst Perlakuan Nisbah Akar/Tajuk Genotipe 6 MST 8 MST SP-30-4 0.27 0.24 PG-57-1 0.30 0.27 Tanggamus 0.27 0.25 Anjasmoro 0.28 0.25 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 0.31 b 0.28 a Konvensional tanpa pupuk 0.33 a 0.28 a Alur+PD 0.30 bc 0.25 b Alur+PD+KP 0.29 cd 0.25 b Alur+PD+KP+KM 0.27 de 0.24 bc Alur+PD+KP+KM +MS 0.25 f 0.24 bc Konvensional+PD 0.28 cd 0.25 b Konvensional+PD+KP 0.28 cd 0.25 b Konvensional+PD+KP+KM 0.26 ef 0.25 b Konvensional+PD+KP+KM+MS 0.25 f 0.23 c Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam. Produksi Tanaman Jumlah Polong Jumlah polong yang dihasilkan yaitu polong isi dan polong hampa tidak berbeda nyata pada empat genotipe yang diuji. Sedangkan dengan perlakuan sistem olah tanah nyata berpengaruh terhadap jumlah polong isi yang dihasilkan. Perlakuan sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan polong isi nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya yaitu rata-rata menghasilkan 49.17 polong (Tabel 14).

37 Jumlah polong isi yang terbentuk merupakan hasil dari pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman. Terdapat korelasi yang nyata antara pertumbuhan jumlah cabang dengan jumlah polong isi yang terbentuk. Korelasi positif jumlah cabang pada 8 mst dengan jumlah polong isi sebesar 0.92. Hal ini mengindikasikan terdapat hubungan linier yang nyata antara jumlah cabang pada 8 mst dengan jumlah polong isi, dimana semakin meningkat pertumbuhan jumlah cabang pada 8 mst diikuti oleh peningkatan jumlah polong isi (Lampiran 8). Tabel 14 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap jumlah polong isi dan jumlah polong hampa Perlakuan Jumlah Polong Isi Jumlah Polong Hampa Genotipe SP-30-4 30.17 0.94 PG-57-1 33.52 0.82 Tanggamus 33.63 0.93 Anjasmoro 28.05 0.91 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 18.21 i 0.80 Konvensional tanpa pupuk 15.33 j 0.80 Alur+PD 26.50 g 0.90 Alur+PD+KP 32.63 e 0.80 Alur+PD+KP+KM 38.92 c 0.95 Alur+PD+KP+KM +MS 49.17 a 0.88 Konvensional+PD 24.17 h 0.88 Konvensional+PD+KP 28.29 f 0.94 Konvensional+PD+KP+KM 35.96 d 1.05 Konvensional+PD+KP+KM+MS 43.25 b 0.98 Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam. Produktivitas Bobot 100 butir yang dihasilkan nyata berbeda antar genotipe, akan tetapi bobot ubinan dan produktivitas yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar genotipe. Berdasarkan ukuran biji, Genotipe Anjasmoro memiliki ukuran biji tergolong besar. Oleh karena itu Genotipe Anjasmoro memiliki bobot 100 butir nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya dengan rata-rata 11.38 g, sedangkan Genotipe PG-57-1 memiliki bobot 100 butir nyata lebih rendah dibandingkan genotipe lainnya dengan rata-rata 8.46 g. Pengaruh nyata perlakuan

38 genotipe terhadap variabel bobot 100 butir tidak menghasilkan bobot panen yang berbeda nyata, hal ini dikarenakan bobot panen atau produksi lebih dipengaruhi oleh jumlah polong isi (Lampiran 8). Perlakuan genotipe yang tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah polong isi mengakibatkan perlakuan genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap bobot panen (Tabel 15). Tabel 15 Pengaruh genotipe kedelai dan sistem olah tanah terhadap produktivitas Perlakuan Genotipe Bobot 100 Butir (g) Bobot Ubinan (g/2 m 2 ) Produktivitas (kg/ha) SP-30-4 9.08 c 102.85 514.23 PG-57-1 8.46 d 102.16 510.81 Tanggamus 9.43 b 113.63 568.12 Anjasmoro 11.38 a 97.80 488.98 Sistem olah tanah Alur tanpa pupuk 8.77 g 64.13 f 320.65 f Konvensional 8.51 h 58.68 f 293.43 f tanpa pupuk Alur+PD 9.21 f 103.75 de 518.74 de Alur+PD+KP 9.86 cd 113.48 c 567.40 c Alur+PD+KP+KM 10.06 c 114.45 c 572.23 c Alur+PD+KP+KM 10.79 a 137.26 a 686.28 a +MS Konvensional+PD 9.02 f 100.42 e 502.11 e Konvensional+PD 9.53 e 109.81 cd 549.03 cd +KP Konvensional+PD 9.74 de 111.32 cd 556.61 cd +KP+KM Konvensional+PD +KP+KM+MS 10.40 b 127.78 b 638.88 b Keterangan: Angka-angka sekolom diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %; PD: pupuk dasar; KP: kapur; KM; kompos; MS: mulsa; MST: minggu setelah tanam. Perlakuan sistem olah tanah berpengaruh nyata terhadap bobot 100 butir, bobot ubinan dan produktivitas. Perlakuan olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan menghasilkan jumlah polong isi dengan bobot 100 butir nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Oleh karena itu produktivitas tanaman nyata lebih tinggi pada perlakuan olah tanah alur

39 dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan dibandingkan perlakuan sistem olah tanah lainnya mencapai 686.28 kg/ha. Perlakuan sistem olah tanah dengan penambahan pupuk dasar, kapur dan kompos tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah alur penambahan pupuk dasar dan kapur dalam meningkatkan produksi. Hasil serupa juga terdapat pada perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan perbandingan input yang sama. Hal ini mengindikasikan penambahan kompos tidak nyata meningkatkan produksi tanaman, melainkan produksi dapat ditingkatkan dengan penambahan kapur. Perlakuan sistem olah tanah alur maupun konvensional dengan penambahan pupuk dasar nyata lebih tinggi meningkatkan produksi tanaman dibandingkan sistem olah tanah alur maupun konvensional tanpa pemupukan. Hal ini mengindikasikan penambahan pupuk dasar berupa 200 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha nyata meningkatkan produksi dibandingkan tanpa pemupukan. Produksi yang terbentuk merupakan hasil dari pengaruh perlakuan terhadap pembentukan biomassa dan jumlah polong isi yang dihasilkan. Terdapat korelasi yang nyata antara biomassa dan jumlah polong isi yang terbentuk dengan produktivitas yang dihasilkan. Korelasi positif bobot kering daun pada 8 mst dan produktivitas sebesar 0.94. Korelasi positif bobot kering batang pada 8 mst dan produktivitas sebesar 0.90. Korelasi positif bobot kering akar pada 8 mst dan produktivitas sebesar 0.95. Terdapat hubungan linier yang nyata antara biomassa pada 8 mst dengan produktivitas, dimana semakin tinggi biomassa yang terbentuk diikuti oleh peningkatan produktivitas. Terdapat korelasi positif jumlah polong isi dan produktivitas sebesar 0.93. Hal ini mengindikasikan terdapat hubungan linier yang nyata antara jumlah polong isi dengan produktivitas, dimana semakin tinggi jumlah polong isi yang dihasilkan diikuti oleh peningkatan produktivitas (Lampiran 8). Pembahasan Umum Pengaruh Genotipe Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Karakteristik sifat dari genotipe yang ditanam sesuai dengan deskripsi tanaman secara kualitatif, diantaranya yaitu tipe pertumbuhan determinet, pertumbuhan vegetatif berhenti setelah fase berbunga. Akan tetapi secara

40 kuantitatif, nilai yang dihasilkan berada dibawah potensi tanaman baik genotipe hasil silangan maupun varietas nasional. Kondisi ini terlihat dari variabel pertumbuhan yaitu tinggi tanaman dan jumlah cabang, serta variabel produksi yaitu bobot 100 butir dan produktivitas yang nilainya berada di bawah potensi tanaman (Lampiran 1). Pertumbuhan tanaman mulai dari awal tanam (bulan Juli) sampai pertumbuhan maksimum yaitu 6 mst hanya memanfaatkan air yang tersedia pada awal tanam dan dari hujan yang turun. Air yang tersedia pada awal pertumbuhan tanaman dapat dimanfaatkan tanaman dengan teknik budidaya yang diterapkan, tampak dari adanya interaksi antara genotipe dengan teknik budidaya yang diterapkan pada variabel tinggi tanaman (2 mst). Pertumbuhan tinggi genotipe Anjasmoro meningkat 66.14%, Tanggamus meningkat 26.06% dan SP-30-4 meningkat 22.75%, pada sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan, dibandingkan pertumbuhan setiap genotipe pada sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Pengaruh genotipe nyata pada awal pertumbuhan tanaman yaitu pada variabel tinggi tanaman sampai 6 mst dan jumlah daun pada 2 mst. Hal ini mengindikasikan bahwa pada awal pertumbuhan kondisi lingkungan tumbuh optimal dan tanaman dapat beradaptasi dengan baik. Cekaman lingkungan berupa kekeringan meningkat pada 6 mst dan memasuki fase generatif yaitu tidak ada hujan pada bulan Agustus dan September (Lampiran 5). Tanggap setiap genotipe yang ditanam memperlihatkan pertumbuhan yang hampir sama, begitu juga dengan produksi yang dihasilkan, akan tetapi pertumbuhan dan produktivitas aktual rendah dibandingkan potensi dari genotipe tersebut. Frederick et al. (2001) menyatakan bahwa cekaman kekeringan yang terjadi ketika inisiasi pembungaan sampai pengisian biji akan menurunkan jumlah biji yang terbentuk. Zhang et al. (2011) menambahkan bahwa cekaman kekeringan dengan 45% kapasitas lapang dapat menghambat laju pertumbuhan tinggi tanaman dan diameter batang serta jumlah cabang produktif yang dihasilkan menurun. Produktivitas aktual yang rendah pada setiap genotipe yang diuji, dikarenakan tanaman berupaya adaptasi terhadap cekaman kekeringan. Zhu (2002) menyatakan bahwa dalam kondisi cekaman kekeringan, tanaman

41 menghasilkan hormon ABA yang berperan sebagai sinyal kimia pada tajuk yang mendorong penutupan stomata. Mekanisme tersebut merupakan upaya tanaman agar menekan laju transpirasi, sehingga tanaman tetap melanjutkan proses metabolisme dengan mengoptimalkan penggunaan air. Akan tetapi, upaya adaptasi tersebut mengakibatkan fotosintat yang dihasilkan untuk pengisian biji menjadi berkurang. Mapegau (2006) menambahkan bahwa penurunan hasil biji kering tanaman kedelai pada kondisi cekaman kekeringan terjadi karena jumlah fotosintat yang tersedia dan distribusinya ke dalam biji berkurang. Cekaman kekeringan yang berlanjut sampai fase pembungaan dan pengisian biji menyebabkan 20 sampai 46% penurunan hasil. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan laju fotosintesis, pembukaan stomata dan laju transpirasi (Zhang et al. 2011). Berdasarkan produktivitas kedelai nasional pada tahun 2011 yaitu 1.37 ton/ha (BPS 2012), maka produktivitas kedelai pada penelitian ini mengalami penurunan yaitu genotipe SP-30-4 mencapai 62.55%, genotipe PG-57-1 mencapai 62.80%, genotipe Tanggamus mencapai 58.62% dan genotipe Anjasmoro mencapai 64.39%. Pengaruh Sistem Olah Tanah Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Secara umum perlakuan sistem olah tanah alur maupun konvensional dengan penambahan pupuk dasar mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan biomassa yang dihasilkan dibandingkan sistem olah tanah alur maupun konvensional tanpa pemupukan. Produktivitas tanaman meningkat 76.78% pada sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar dibandingkan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Demikian juga dengan produktivitas tanaman pada sistem olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar meningkat 71.12% dibandingkan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Hasil ini mengindikasikan penambahan pupuk dasar berupa 200 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha nyata meningkatkan produksi dibandingkan tanpa pemupukan. Perlakuan sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar dan kapur mampu meningkatkan produktivitas mencapai 93.37% dibandingkan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Perlakuan sistem olah tanah

42 konvensional dengan penambahan pupuk dasar dan kapur mampu meningkatkan produktivitas mencapai 87.11% dibandingkan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Perlakuan sistem olah tanah dengan penambahan pupuk dasar, kapur dan kompos tidak berbeda nyata dengan perlakuan sistem olah tanah alur penambahan pupuk dasar dan kapur dalam meningkatkan produksi. Hasil serupa juga terdapat pada perlakuan sistem olah tanah konvensional dengan perbandingan input yang sama. Hal ini mengindikasikan penambahan kompos tidak nyata meningkatkan produksi tanaman, melainkan produksi dapat ditingkatkan dengan penambahan kapur kalsium magnesium karbonat [CaMg (CO 3 ) 2 ] dengan dosis 1.5 ton/ha. Perlakuan sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan mampu meningkatkan jumlah polong isi dan bobot 100 butir sehingga produktivitas tanaman lebih tinggi peningkatannya dibandingkan perlakuan lainnya. Peningkatan produktivitas mencapai 133.88% dibandingkan perlakuan dengan produktivitas terendah yaitu pada sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Sedangkan produktivitas pada sistem olah tanah konvensional dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan meningkat 117.73% dibandingkan sistem olah tanah konvensional tanpa pemupukan. Perlakuan dengan penambahan mulsa mampu menciptakan kondisi iklim mikro yang baik seperti suhu tanah pada siang hari yang tidak terlalu tinggi sehingga mampu menyimpan uap air. Suhu tanah dari hasil pengukuran pada saat suhu udara maksimum diketahui terdapat selisih yang besar antara perlakuan dengan penggunaan mulsa dengan tanpa mulsa yaitu rata-rata 25.6 o C (mulsa) dan 34.4 o C (tanpa mulsa). Suhu tanah yang rendah dengan penggunaan mulsa, memungkinkan tersedianya air di dalam tanah, sehingga unsur hara dari input yang diberikan mampu diserap tanaman melalui aliran massa. Khan dan Pervej (2010) menyatakan bahwa budidaya tanpa olah tanah dikombinasikan dengan mulsa organik mampu mengurangi 3.5 o C suhu tanah saat suhu udara maksimum dan menaikkan 2.3 o C suhu tanah saat suhu udara minimum. Mulsa organik mampu mengurangi suhu tanah karena mulsa memantulkan radiasi matahari, selain itu merupakan konduktor yang lemah sehingga menekan jumlah panas yang

43 diteruskan. Mulsa organik mampu menaikkan suhu tanah pada malam hari disebabkan oleh panas yang terperangkap dilepaskan ke tanah. Kondisi iklim mikro yang terkendali dengan pemberian mulsa, yaitu tidak menyebabkan fluktuasi memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan perakaran tanaman maupun organisme yang hidup di dalam tanah. Organisme tanah memberikan manfaat dalam dekomposisi bahan organik dan pada tanaman legum yaitu perkembangan bakteri bintil akar dalam pengambilan unsur hara. Brévault et al. (2007) menyatakan bahwa pemberian mulsa memberikan pengaruh positif terhadap keragaman dan kandungan organisme di dalam tanah. Jodaugienė et al. (2010) menambahkan bahwa mulsa jerami yang dihamparkan dengan ketebalan 5 cm di atas permukaan tanah mampu menghasilkan kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan organisme tanah berupa perubahan temperatur yang stabil antara siang dengan malam hari, sehingga tanah tetap lembab dan air tersedia dengan adanya uap air. Produktivitas aktual tanaman yang dihasilkan masih rendah dibandingkan potensi tanaman dengan perlakuan sistem olah tanah. Produktivitas dengan sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan hanya mencapai 686.28 kg/ha. Hal ini disebabkan rendahnya curah hujan yang turun ketika masuk fase generatif, sehingga tanaman mengalami cekaman kekeringan. Oldeman et al. (1979) menyatakan bahwa agroklimat dengan curah hujan lebih kecil dari 100 mm/bln merupakan bulan kering, yang secara berturutturut dalam 2 bulan akan menekan produksi tanaman. Cekaman kekeringan menghambat fotosintesis dan distribusi asimilat ke dalam organ reproduktif. Proses pengisian biji dan translokasi fotosintat sangat sensitif terhadap cekaman air, oleh karena itu dapat mengurangi bobot biji kering. Liu et al. (2003) menyatakan bahwa cekaman kekeringan ketika fase pembentukan bunga menyebabkan aborsi atau gugurnya sebagian bunga, sehingga rendahnya jumlah polong yang terbentuk, yang pada akhirnya menurunkan jumlah biji yang dihasilkan. Mapegau (2006) menyatakan bahwa hasil tanaman serealia (biji-bijian) ditentukan oleh fotosintesis yang terjadi setelah pembungaan. Hal ini berarti bahwa hasil biji kering tanaman termasuk kedelai bergantung pada fotosintat yang tersedia dan distribusinya, khususnya selama fase pengisian biji.

44 Cekaman kekeringan ketika fase reproduktif mulai dari pembentukan bunga, periode pengisian polong atau pembesaran biji menyebabkan berkurangnya biji yang terbentuk secara signifikan (Demirtaş et al. 2010). Berdasarkan produktivitas kedelai nasional pada tahun 2011 yaitu 1.37 ton/ha (BPS 2012), maka produktivitas kedelai tertinggi yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu pada sistem olah tanah alur dengan penambahan pupuk dasar, kapur, kompos dan pemulsaan mengalami penurunan mencapai 50.02%. Penerapan Paket Teknologi Budidaya Kedelai pada Lahan Kering Masam Indeks panen pada lahan kering masam tergolong rendah dibandingkan pada lahan sawah (Mulyani 2006). Hal ini dikarenakan lahan hanya dimanfaatkan untuk dua kali tanam dalam satu tahun. Terdapatnya bulan kering sehingga lahan hanya ditanami pada musim hujan, setelah masuk musim kemarau lahan tidak dimanfaatkan (bera). Melalui penelitian ini didapatkan bahwa pola tanam yang hanya dua kali tanam dapat dimasukkan budidaya kedelai pada awal musim kemarau (Gambar 2). Gambar 2 Ilustrasi pola tanam budidaya kedelai pada lahan kering masam