DINAMIKA POLA KONSUMSI PANGAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

Ketahanan Pangan dan Pertanian. disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH URBANISASI TERHADAP SUKSESI SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBERLANJUTAN SWASEMBADA PANGAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

BAB I PENDAHULUAN. sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Pangan berfungsi sebagai sumber tenaga

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga di DIY menurut wilayah tempat

Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN NASIONAL

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)

PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

POLA KONSUMSI PANGAN POKOK DI BEBERAPA PROPINSI DI INDONESIA

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

I. LATAR BELAKANG POKOK BAHASAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL Posisi Pangan dalam Pembangunan Nasional

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STABILISASI HARGA PANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERUBAHAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA DESA SAWAH BERBASIS PADI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

Pendahuluan. Rakornas Bidang Pangan Kadin 2008

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN. memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional,

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

Politik Pangan, Upaya Dalam Membentuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2013

DAMPAK PROGRAM KRPL (KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI) TERHADAP POLA PANGAN HARAPAN (PPH) ABSTRAK

BADAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN Disampaikan pada : Pertemuan Sinkronisasi Kegiatan dengan Kabupaten/Kota

PROPOSAL SKRIPSI. : ANALISIS PERMINTAAN KONSUMSI SAYURAN DI JAWA TENGAH

PROGRAM DAN KEGIATAN BIDANG KONSUMSI DAN PENGANEKARAGAMAN PANGAN TAHUN 2017

tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan).

PERANAN PKK DALAM MENDUKUNG PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN SEBAGAI SUMBER GIZI KELUARGA. Oleh: TP. PKK KABUPATEN KARANGANYAR

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN: Analisis Data SUSENAS Handewi P.Saliem dan Ening Ariningsih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi

Transkripsi:

PSEKP/2016 1803.101.001.052H LAPORAN AKHIR TA. 2016 DINAMIKA POLA KONSUMSI PANGAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN Oleh: Erma Suryani Hermanto Handewi P. Saliem Mewa Ariani Rita Nur Suhaeti Gatoet Sroe Hardono PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2016

RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Latar Belakang 1. Undang-Undang No.18 Tahun 2012 Tentang Pangan mengamanahkan bahwa, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat. Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah juga berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif. Untuk dapat menjawab dan memenuhi amanah tersebut, kajian terkait pola konsumsi pangan sangat diperlukan, mengingat pada 10 tahun terakhir telah terjadi banyak perubahan tidak hanya terkait produksi dan ketersediaan pangan, kependudukan, kesejahteraan akan tetapi juga perubahan gaya makan. Konsumsi pangan salah satu entry point dan subsistem untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola konsumsi pangan masyarakat, akan dapat disusun kebijakan pangan terutama terkait berapa banyak dan jenis pangan/komoditas apa yang harus disediakan dan atau diproduksi di dalam negeri. Tujuan Penelitian 2. Secara umum tujuan penelitian adalah menganalisis perubahan pola konsumsi masyarakat dan implikasinya terhadap pengembangan komoditas pertanian. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis dinamika perubahan pola konsumsi pangan masyarakat yang mencakup struktur pengeluaran pangan, konsumsi energi dan protein, prevalensi rumah tangga rawan pangan, diversifikasi, tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi pangan; (2) melakukan estimasi elastisitas harga dan pendapatan komoditas pangan utama untuk perencanaan produksi pangan dalam negeri dan pengelolaan impor pangan; dan (3) merumuskan rekomendasi kebijakan diversifikasi pangan dan penanganan kerawanan pangan. Metodologi 3. Untuk menganalisis dinamika perubahan pola konsumsi pangan masyarakat, beberapa variabel yang dianalisis mencakup (1) struktur pengeluaran pangan dan nonpangan, (2) konsumsi energi dan protein, (3) diversifikasi/ keanekaragaman konsumsi pangan, (4) tingkat partisipasi konsumsi pangan, dan (5) tingkat konsumsi pangan. Analisis perubahan pola konsumsi dikelompokkan menurut wilayah, pendapatan, dan status rawan pangan. Pengelompokan menurut wilayah, yaitu (1) perkotaan, (2) perdesaan, dan (3) perkotaan dan perdesaan. Pengelompokan menurut tingkat pendapatan, dibagi dalam tiga kategori (berdasarkan Bank Dunia), yaitu (1) 40 persen kelompok pendapatan rendah, (2) 40 persen kelompok pendapatan sedang, dan (3) 20 persen kelompok pendapatan tinggi. Pengelompokan menurut xii

status rawan pangan, dibedakan dalam tiga kategori konsumsi, yaitu (1) sangat rawan, jika konsumsi kurang dari 70 persen angka kecukupan energi (AKE), (2) rawan pangan, jika konsumsi antara 70-89 persen AKE, dan (3) tahan pangan, jika konsumsi lebih dari atau sama dengan 90 persen AKE. 4. Estimasi elastisitas harga dan pendapatan difokuskan pada komoditas yang menjadi prioritas Kementerian Pertanian, yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi, daging ayam, gula, minyak goreng, telur, ikan segar, terigu, bawang merah, dan cabai. Elastisitas harga dan pendapatan akan dibedakan (1) secara nasional (desa+kota); (2) wilayah (desa, kota); dan (3) kelompok pendapatan (tinggi, sedang, rendah). 5. Kegiatan utama penelitian ini adalah melakukan analisis pola konsumsi masyarakat dengan menggunakan data Susenas yang bersumber dari BPS. Untuk menangkap perubahan pola konsumsi, penelitian ini menggunakan data Susenas pada dua titik waktu, yaitu tahun 2002 dan 2014. Analisis pada rentang waktu sekitar 12 tahun tersebut diharapkan mampu melihat perubahan pola konsumsi masyarakat. Untuk mendukung analisis data Susenas dan adanya perubahan pola konsumsi tersebut maka dilakukan pendalaman dan verifikasi perubahan konsumsi pangan masyarakat di empat provinsi contoh. 6. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Desember 2016. Lokasi penelitian mencakup empat provinsi contoh yaitu Jawa Barat, DI Yogyakarta, Sumatra Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Dari setiap provinsi dipilih satu kabupaten secara purposive yang mewakili pola pangan pokok masyarakat setempat, kepadatan jumlah penduduk, dan prevalensi rawan pangan. 7. Perubahan pengeluaran dan konsumsi pangan dianalisis melalui beberapa aspek, yaitu (a) menganalisis pangsa pengeluaran pangan dihitung berdasarkan persentase pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran; (b) analisis perubahan tingkat konsumsi energi dan protein dilakukan secara deskriptif melalui tabulasi dengan membandingkan rata-rata konsumsi energi atau protein di tingkat rumah tangga dengan Standar Angka Kecukupan Energi (AKE) yang mengacu pada rekomendasi hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004, yaitu 2000 kalori/kapita/hari untuk energi dan 52 gram/kapita/hari untuk protein; (c) analisis diversifikasi konsumsi pangan dilakukan dengan melihat keanekaragaman konsumsi pangan dengan menggunakan indeks Entropy; (d) analisis tingkat partisipasi diukur dengan cara menghitung persentase responden yang mengonsumsi suatu jenis makanan tertentu terhadap total responden pada masing-masing kategori; (e) Tingkat konsumsi pangan diukur dengan menghitung rata-rata rumah tangga yang mengonsumsi suatu jenis pangan/komoditas tertentu dengan satuan kg/kapita/tahun; (f) Prevalensi rumah tangga rawan pangan dihitung berdasarkan tingkat konsumsi energi per kapita per hari, dinyatakan dalam persen. Prevalensi rumah tangga rawan pangan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok sangat rawan pangan dengan tingkat xiii

konsumsi energi kurang dari 70 persen AKE, kelompok rawan pangan dengan tingkat konsumsi energi antara 70 persen dan 89 persen AKE dan kelompok tahan pangan dengan tingkat konsumsi energi/kapita/hari lebih dari atau sama dengan 90 persen AKE. Estimasi elastisitas harga sendiri, elastisitas pendapatan, dan elastisitas harga silang menggunakan model Almost Ideal Demand System. HASIL PENELITIAN Dinamika Perubahan Pola Konsumsi Pangan 8. Selama periode 2002-2014, pangsa pengeluaran pangan menurun terutama diperdesaan dan pada pada kelas pendapatan sedang. Pola tersebut juga terjadi di Provinsi contoh penelitian (Jabar, DIY, NTT, Sumbar). Namun apabila dipilah menurut kelompok pangan, peningkatan pangsa pengeluaran makanan jadi paling tinggi (4,4%) diikuti dengan tembakau+sirih (1,2%), ikan/udang segar (0,9%) dan umbi-umbian (0,7%). 9. Tingkat konsumsi energi rumahtangga mengalami penurunan selama periode 2002-2014 terutama di perdesaan dan pada kelas pendapatan rendah. Berdasarkan kelompok pangan, peningkatan konsumsi energi terjadi pada makanan/minuman jadi dan umbi-umbian. Peningkatan pangsa energi dari kelompok makanan/minuman jadi secara signifikan di Provinsi Jawa Barat dan DIY. Pada tahun 2014, tingkat konsumsi energi masih belum memenuhi standar yang dianjurkan, sebaliknya untuk tingkat konsumsi protein terutama di perkotaan serta pada kelas pendapatan sedang dan tinggi sudah memenuhi standar anjuran (57 gram/kapita/hari). Selama periode tersebut, pangsa protein hewani meningkat (diperdesaan lebih tinggi daripada perkotaan) yang berarti kualitas konsumsi pangan rumahtangga menunjukkkan perbaikan. Jika dilihat dari jenis pangannya, tingkat konsumsi protein yang berasal dari padi-padian dan kacang-kacangan menurun selama periode 2002-2014, baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan. 10. Proporsi rumahtangga rawan pangan meningkat selama periode 2002-2014 dan peningkatan proporsi tersebut lebih tinggi terjadi di wilayah perdesaan dan pada kelas pendapatan rendah dan sedang. Peningkatan rumahtangga rawan pangan paling tinggi di Propinsi NTT (10,5%), diikuti dengan Sumbar (6,05); sebaliknya penurunan rumahtangga rawan pangan terjadi di Propinsi DIY (7,7%). 11. Diversifikasi konsumsi pangan rumah tangga yang diukur dengan Indeks Entropy mengalami peningkatan pada periode 2002 2014. Peningkatan diversifikasi tersebut relatif tinggi pada rumahtangga di perdesaan dan rumah tangga yang berpendapatan rendah. Peningkatan diversifikasi konsumsi sayuran dan makanan jadi terjadi pada semua segmen rumahtangga baik menurut wilayah maupun kelas pendapatan. Peningkatan diversifikasi buah-buahan terjadi pada rumahtangga di perkotaan dan pada xiv

kelas pendapatan sedang dan tinggi. Sebaliknya, terjadi penurunan diversifikasi konsumsi untuk pangan sumber karbohidrat dan sumber protein nabati pada semua segmen rumahtangga. Namun untuk pangan sumber protein hewani, penurunan diversifikasi konsumsi hanya pada rumahtangga di diperkotaan dan rumah tangga pada kelas pendapatan sedang dan tinggi. 12. Tingkat partisipasi konsumsi beras masih tinggi dan hampuir mencapai 100 persen, dalam arti beras tetap menjadi makanan pokok hampir semua masyarakat baik yang kaya maupun miskin, yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan. Berdasarkan tingkat partisipasi, peranan jagung sebagai makanan pokok di perdesaan dan pada kelompok pendapatan rendah sudah berkurang. Tingkat partisipasi kedelai masih relatif tinggi, karena tahu dan tempe menjadi makanan populer tidak hanya sebagai lauk pauk namun atau makanan selingan dalam bentuk kudapan yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Di antara pangan hewani, tingkat partisipasi paling tinggi adalah komoditas ikan, telur, diikuti dengan daging ayam dan daging sapi. 13. Tingginya tingkat partisipasi, menjadikan tingkat konsumsi beras juga relatif tinggi dibandingkan dengan pangan sumber karbohidrat lainnya. Namun demikian, konsumsi beras menurun dari 104 kg/kapita tahun 2002 menjadi 92,3 kg/kapita tahun 2014. Penurunan konsumsi juga terjadi pada komoditas jagung, kedelai, terigu, gula pasir, dan daging sapi. Sebaliknya peningkatan konsumsi untuk minyak goreng, daging ayam, telur, ikan, bawang merah, dan cabai. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga, tingkat konsumsi pangan juga semakin meningkat. Kecenderungan ini sama untuk semua elemen masyarakat baik di perkotaan maupun di desa baik agregat nasional maupun provinsi. Perubahan Estimasi Elastisitas Harga dan Pendapatan Komoditas Pangan Utama 14. Parameter yang diestimasi dari model AIDS secara umum signifikan. Hasil dummy waktu menunjukkan bahwa analisis model signifikan dibedakan antar waktu (2002 dan 2014). Hal ini merupakan suatu indikasi yang kuat bahwa telah terjadi dinamika perubahan konsumsi menurut waktu, wilayah dan kelompok pendapatan dalam kurun waktu antara tahun 2002 dan 2014. 15. Elastisitas harga sendiri dari jenis pangan yang dianalisis mempunyai nilai negatif, hal ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa bahan pangan merupakan kelompok komoditas normal. Elastisitas harga bagi sebagian besar komoditas pangan cenderung menurun dari tahun 2002 ke tahun 2014, seperti beras, kedelai, daging sapi, minyak goreng, telur, ikan segar, bawang merah dan terigu. Sedangkan elastisitas harga yang meningkat (dan tetap) dari tahun 2002 ke tahun 2104 adalah jagung, daging ayam, gula, ikan olahan, dan cabai. xv

16. Penurunan nilai elastisitas harga untuk beras dari -0,64 tahun 2002 menjadi - 0,571 pada tahun 2014 menunjukkan bahwa beras menjadi barang kebutuhan pokok rumah tangga. Jika dilihat menurut wilayah, secara umum nilai elastisitas harga sendiri di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Hal ini menunjukkan daya beli rumah tangga di perdesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan. Menurut kelas pendapatan, nilai elastisitas harga sendiri untuk kelas pendapatan rendah secara umum lebih tinggi, menyusul kelas pendapatan sedang, dan kelas pendapatan tinggi. 17. Elastisitas pendapatan menunjukkan nilai positif, baik secara agregat, menurut wilayah (desa, kota), dan kelas pendapatan (rendah, sedang, tinggi). Secara umum nilai elastisitas pendapatan untuk seluruh komoditas pada tahun 2002 dan 2014 inelastis, kecuali jagung pada tahun 2002 elastis. Perubahan selama periode 2002-2014, secara agregat nilai elastisitas pendapatan cenderung menurun untuk seluruh jenis komoditas, kecuali kedelai dan daging ayam terjadi sedikit peningkatan. 18. Meningkatnya elastisitas pendapatan untuk terigu dari 0,552 pada tahun 2002 menjadi 0,633 pada tahun 2014 perlu dicermati. Kondisi ini menunjukkan bahwa permintaan terhadap terigu di masa yang akan datang cenderung meningkat dengan meningkatnya pendapatan rata-rata masyarakat. Hal ini akan berimplikasi bahwa kedepan ketergantungan terhadap bahan pangan eks impor akan semakin tinggi. Perlu adanya antisipasi untuk meningkatkan ketersediaan bahan pangan produk lokal yang dapat mensubstitusi terigu. 19. Elastisitas harga silang antar komoditas yang dianalisis bertanda positif atau negatif tergantung hubungan antar jenis pangan. Nilai elastisitas harga silang secara umum inelastis, baik secara agregat maupun menurut wilayah (desa, kota), dan kelas pendapatan (rendah, sedang, tinggi). Elastisitas harga silang selama kurun waktu 2002-2014 mengalami perubahan yang bervariasi antar komoditas. Hasil estimasi menunjukkan bahwa beras sebagai pangan pokok bersifat komplementer dengan seluruh jenis komoditas yang dianalisis, kecuali dengan jagung bersifat bersubstitusi. 20. Temuan menarik yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah adanya hubungan komplementer antara beras-terigu, hal ini didukung dengan fakta yang ditemukan di lokasi penelitian bahwa konsumsi nasi dengan lauk pauk berupa makanan olahan berbahan baku terigu. Nilai elastisitas harga silang beras-terigu pada tahun 2002 secara agregat sebesar -0,021 meningkat menjadi -0,037 pada tahun 2014. Peningkatan nilai elastisitas silang berasterigu disebabkan tingkat partisipasi rumah tangga yang mengkonsumsi terigu meningkat selama kurun waktu 2002-2014. xvi

IMPLIKASI KEBIJAKAN Pengembangan Diversifikasi Pangan 21. Indonesia memiliki kekayaan sumber bahan pangan yang beragam termasuk pangan sumber karbohidrat (umbi-umbian, sagu, biji-bijian), namun hasil analisis menunjukkan adanya penurunan diversifikasi konsumsi pangan sumber karbohidrat. Oleh karena itu, perlu dilakukan program pengembangan produksi pangan lokal berbasis sumberdaya dan budaya lokal di setiap propinsi sehingga tersedia pangan dan produk pangan lokal dengan mudah diperoleh di pasaran secara kontinyu dengan harga yang terjangkau. Hasil analisis tingkat konsumsi pangan menunjukkan penurunan konsumsi beras. Namun hasil estimasi elastisitas silang terigu-beras menunjukkan perubahan hubungan ke arah komplementer. Artinya, disatu sisi rumah tangga mengurangi konsumsi beras, namun di sisi lain rumah tangga mengkonsumsi beras dan pangan olahan berbahan terigu. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor gandum, perlu upaya serius dari pemerintah untuk melakukan peningkatan diversifikasi pangan non-terigu. 22. Peningkatan pengetahuan kepada masyarakat difokuskan pada rumahtangga di perkotaan dan pada kelas berpendapatan sedang dan tinggi. Hal ini sangat penting agar makanan yang dikonsumsi tidak hanya berorientasi pada aspek selera dan kemampuan daya beli akan tetapi juga memenuhi kaidah beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA). 23. Peningkatan diversifikasi konsumsi makanan jadi seharusnya dilakukan pada semua segmen rumah tangga (menurut wilayah dan menurut kelas pendapatan). Makanan jadi yang tersedia di pasaran harus memenuhi standar kesehatan, oleh karena itu perlu dilakukan fasilitasi dan monitoring kepada industri makanan jadi baik di tingkat rumahtangga maupun UKM. Penanganan Rumah Tangga Rawan Pangan 24. Pengembangan cadangan pangan berbasis sumberdaya lokal. Cadangan pangan sebagai salah satu instrumen untuk: (1) mengatasi masalah kelangkaan pangan sesaat, terutama pada keadaan darurat, (2) sebagai bantuan pangan untuk menangani masalah kerawanan pangan kronis, serta (3) untuk menjaga stabilitas harga pangan tertentu. Pada tingkat rumahtangga seyogyanya dilakukan dengan memanfaatan lahan pekarangan atau lahan tegalan dengan menanam beragam jenis pangan sehingga tanaman tersebut berfungsi sebagai lumbung pangan hidup. 25. Peningkatan daya beli melalui peningkatan pendapatan mereka. Program peningkatan pendapatan seharusnya berbeda antar wilayah sesuai dengan sumberdaya, ketrampilan, aset yang dimiliki dan karakteristik usaha. Program peningkatan pendapatan dapat berupa antara lain penciptaan xvii

lapangan kerja seperti padat karya, fasilitasi bantuan usaha, peningkatan ketrampilan dan lainnya. 26. Bantuan pangan berbasis pangan lokal seyogyanya tidak semuanya berbentuk beras. Bantuan pangan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah namun juga swasta melalui dana CSR dan kepedulian masyarakat. Pengembangan Komoditas Pangan 27. Program swasembada pangan seharusnya tidak hanya bertumpu pada aspek produksi, namun perlu memperhatikan aspek keterjangkauan pangan, akses pemanfaatan pangan, dan aspek diversifikasi konsumsi pangan. Kebijakan pangan melalui program yang terintegrasi dari hulu hingga hilir mulai dari sisi produksi-distribusi-pengolahan-konsumsi dari berbagai bahan pangan berbasis sumberdaya lokal. Program peningkatan produksi beras oleh pemerintah sudah sesuai dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan beras masih tinggi. Namun demikian mengingat bahwa elastisitas pendapatan pangan utama lainnya juga tinggi, maka dalam perencanaan produksi bahan pangan perlu juga dilakukan secara proporsional sesuai dengan permintaan, termasuk penyediaan pangan sumber protein hewani. 28. Peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai (Pajale). Upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi Pajale terus disesuaikan dengan potensi pengembangan lahan, dan pola tanam yang ada. Dengan demikian dalam mengejar target pencapaian produksi Pajale tidak berdampak negatif pada keberadaan tanaman lainnya seperti pangan lokal dan lainnya. Ketiga komoditas ini akan berkembang bersamaan apabila pemerintah juga memperhatikan harga output dan pemasarannya. Saat ini, petani enggan menanam jagung terutama pada wilayah yang belum berafiliasi dengan industri makanan ternak karena kesulitan dalam pemasaran dan harga jagung tidak kompetitif, demikian pula untuk komoditas kedelai. Oleh karena itu, pemerintah memfasilitasi pemasaran jagung dan kedelai melalui kebijakan harga dan pemasaran. Bulog dan BUMD atau swasta tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah menampung hasil pertanian dengan harga yang memberi keuntungan petani. 29. Peningkatan penyediaan pangan sumber protein hewani. Dengan peningkatan pendapatan rumahtangga, permintaan pangan sumber protein hewani seperti daging sapi, daging ayam, telur dan ikan juga meningkat. Namun karena partisipasi daging ayam dan telur sangat tinggi, sebaliknya untuk daging sapi relatif kecil maka penyediaan daging ayam dan telur hendaknya menjadi prioritas bagi pemerintah. Apalagi ada kecenderungan dari masyarakat, permintaan daging sapi tinggi pada waktu-waktu tertentu seperti hari raya, tidak kontinyu sepanjang waktu seperti daging ayam dan telur. Upaya peningkatan ketersediaan ikan dilakukan dengan peningkatan budidaya ikan dan pengaturan pola penangkapan ikan termasuk alat tangkap yang digunakan dan diutamakan nelayan domestik. Yang masih perlu xviii

dilakukan adalah pengawasan dalam pembuatan ikan olahan atau ikan asin sehingga ikan asin yang tersedia mempunyai kualitas prima dan tidak berdampak negatif pada kesehatan. 30. Peningkatan penyediaan bawang merah dan cabe merah. Kedua komoditas ini mempunyai tingkat partisipasi hampir 100% dalam arti termasuk kebutuhan pokok rumahtangga walaupun peranannya sebagai bumbu masakan. Upaya penyediaan bawang merah terutama dilakukan dengan penyediaan benihnya mengingat harga benih bawang merah relatif mahal dan terkonsentrasi di Jawa (misal Kab.Brebes). Pengembangan penangkaran benih bawang merah selayaknya dilakukan pada wilayah yang lebih menyebar karena konsumen bawang merah menyebar ke seluruh wilayah sehingga harga bawang merah tidak mahal. Untuk cabe merah dan cabe rawit, peningkatan produksinya dilakukan dengan membangun kawasan cabe di setiap propinsi. Program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) yang dikembangkan oleh pemerintah yang mendorong setiap rumahtangga memenuhi kebutuhan sayuran termasuk cabe harus terus digalakkan. Setiap rumahtangga menanam cabe terutama cabe rawit yang pemeliharaannya relatif mudah dibandingkan cabe merah. 31. Peningkatan produksi gula pasir dan minyak goreng. Kedua komoditas pangan ini juga dibutuhkan oleh hampir semua orang sehingga pemerintah berupaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kedua komoditas ini hanya dapat dihasilkan melalui industri pangan. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya terus melakukan penyempurnaan peraturan, mengawasi dan monitoring dalam penyediaan dan harga gulapasir dan minyak goreng terutama di tingkat konsumen. 32. Hasil analisis tingkat konsumsi pangan menunjukkan penurunan konsumsi beras. Namun hasil estimasi elastisitas silang terigu-beras menunjukkan perubahan hubungan ke arah komplementer. Artinya, disatu sisi rumah tangga mengurangi konsumsi beras, namun disisi lain rumah tangga mengkonsumsi beras dan pangan olahan berbahan terigu. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor gandum, perlu upaya serius dari pemerintah untuk melakukan diversifikasi pangan non terigu, terutama yang berbasis pada sumber pangan lokal, seperti umbi-umbian dan sagu. xix