BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rendemen Tepung Tulang Jangilus Pengolahan limbah tulang Jangilus basah sebanyak 1000 gram menghasilkan berat kering tulang Jangilus sebanyak 550 gram dan menghasilkan tepung tulang sebanyak 330 gram, sehingga rata-rata rendemen tepung tulang Jangilus adalah sebesar 33% dari berat basah tulang Jangilus (Lampiran 11). Penelitian Nabil (2005) yang memanfaatkan tulang tuna menjadi tepung tulang tuna menghasilkan rendemen sebesar 13,28% - 28,85%. Asni (2004) menggunakan tulang ikan patin sebanyak 40 kg menghasilkan tepung tulang ikan patin sebanyak 3,2 kg, rendemen yang dihasilkan dari tulang ikan patin tersebut sebesar 8%. Berdasarkan hal tersebut nilai rata-rata rendemen tulang Jangilus menjadi tepung lebih banyak dibandingkan dengan tulang tuna dan tulang ikan patin. 4.2 Kadar Air Biskuit Kadar air dalam suatu bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Selain itu air juga berfungsi sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan yang nantinya akan membentuk dan mempengaruhi tekstur biskuit (Winarno 199). Kadar air rata-rata hasil uji dari biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata Kadar Air Biskuit dengan Penambahan Tepung Tulang Jangilus Penambahan Tepung Tulang Rata-rata Kadar Air Jangilus (%) (%) 0 3,16 5 2,6 10 2,36 15 2,03 20 1,85 2
28 Menurut SNI No. 01-293-1992, standar mutu biskuit untuk kadar air yaitu maksimum 5%. Secara kesuluruhan kadar air biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus yang dihasilkan masih sesuai dengan standar mutu biskuit. Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata kadar air paling tinggi adalah pada biskuit tanpa penambahan tepung tulang Jangilus sebesar 3,16%, dan rata-rata kadar air paling rendah adalah pada biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus sebanyak 20% yaitu sebesar 1,85%. Hasil pengukuran kadar air pada biskuit menunjukkan dengan bertambahnya tepung tulang Jangilus pada bahan biskuit memberikan pengaruh dengan semakin berkurangnya kadar air pada produk biskuit. Perbedaan kandungan kadar air pada tepung tulang dimungkinkan karena metode pembuatan yang berbeda (Tababaka 2004). Tepung tulang merupakan produk kering yang memiliki kandungan air yang cukup rendah, mengingat dalam proses pembuatannya tulang dipanaskan dan dikeringkan sehingga pada saat ditambahkan ke dalam adonan, tepung tulang akan menyerap air yang ada dalam adonan (Kaya 2008). Dengan demikian semakin besar persentase penambahan tepung tulang pada biskuit akan menyebabkan kadar air yang terdapat pada biskuit menjadi lebih rendah. 4.3 Kemekaran Biskuit Hasil pengamatan rata-rata kemekaran biskuit dari tiap perlakuan adalah 34,81% - 3,8% (lampiran 13), kemekaran biskuit tertinggi pada penambahan tepung tulang Jangilus 0% dan terendah pada penambahan tepung tulang Jangilus 15% dan 20% (Tabel 6). Tabel 6. Rata-rata Kemekaran Biskuit dengan Penambahan Tepung Tulang Jangilus Penambahan Tepung Tulang Jangilus (%) Rata-rata Kemekaran Biskuit (%) 0 3,8 5 36,30 10 36,30 15 34,81 20 34,81
29 Hasil pengamatan menunjukan bahwa semakin banyak penambahan tepung tulang Jangilus akan menurunkan presentase kemekaran biskuit. Dalam kandungan terigu terdapat gluten yang merupakan protein gandum yang tidak larut dalam air dan mempunyai sifat elastis seperti karet (Marliyati et al, 1992 dalam Maulida 2005). Gluten juga memegang peranan penting sebagai bahan pembangun struktur adonan (Ikrawan 2006). Dalam penelitian ini tepung tulang Jangilus yang digunakan memiliki kadar abu yang cukup tinggi yaitu sebesar 61,5%. Semakin tinggi kadar abu yang terkandung dalam adonan biskuit dapat mempengaruhi homogenitas jaringan gluten, dengan kata lain gluten akan mudah putus sehingga akan mempersulit proses pengembangan pada biskuit. Hal ini sesuai dengan penelitian Wijayanti (200) yang menyatakan meningkatnya kadar abu dan pati dapat menurunkan tingkat pengembangan dan homogenitas adonan pada roti. 4.4 Karakteristik Organoleptik Karakteristik organoleptik merupakan parameter yang dinilai oleh panelis dalam menentukan tingkat kesukaan terhadap suatu produk. Karakteristik organoleptik yang diamati dengan uji hedonik yaitu kenampakan, aroma, rasa dan tekstur pada biskuit. 4.4.1 Kenampakan Biskuit Kenampakan merupakan parameter organoleptik yang pertama dan penting yang dinilai oleh panelis karena bila kesan kenampakan produk baik atau disukai, maka panelis akan melihat parameter organoleptik yang lainnya (aroma, rasa dan tekstur). Meskipun kenampakan tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi kenampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen. Produk dengan bentuk seragam, menarik dan utuh pasti lebih disukai panelis dibandingkan dengan produk yang kurang rapi dan tidak utuh (Soekarto 1985). Hasil pengamatan kenampakan penambahan tepung tulang Jangilus pada biskuit disajikan pada Tabel sedangkan pengamatan dan perhitungan pada Lampiran 15.
30 Tabel. Rata-rata Kenampakan Biskuit Berdasarkan Perlakuan Persentase Penambahan Tepung Tulang Jangilus Penambahan Tepung Tulang Jangilus (%) 0 5 10 15 20 Median Rata-rata Kenampakan,10 a,10 a,10 a 6,40 a 6,30 a Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji perbandingan taraf 5% Berdasarkan hasil penelitian terhadap kenampakan biskuit, diperoleh nilai median untuk semua perlakuan bernilai yang berarti produk tersebut disukai oleh panelis, sedangkan rata-rata kenampakan biskuit berkisar 6,30 sampai,10 (lampiran 15), hasil rata-rata kenampakan tertinggi adalah perlakuan penambahan tepung tulang Jangilus sebanyak 0%, 5% serta 10% dan terendah pada perlakuan 20%. Nilai rata-rata kenampakan cenderung lebih disukai oleh panelis dari semua perlakuan terdapat pada fortifikasi tepung tulang Jangilus sebanyak 0%, 5% dan 10%, yaitu termasuk disukai dengan kenampakan permukaan utuh dan rata serta warna biskuit coklat kekuning-kuningan. Kenampakan biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus 15% dan 20% mempunyai kenampakan permukaan kurang rata dan warna biskuit sedikit kecoklatan. Warna makanan atau biskuit yang berwarna coklat disebabkan adanya browning non enzimatik yaitu sebuah proses kimia yang menghasilkan warna coklat pada makanan tanpa adanya aktivitas enzim, salah satunya karamelisasi yang disebabkan oleh pemanasan gula yang melampaui titik leburnya dan menghasilkan lelehan gula berwarna coklat (Winarno 199). Menurut Soekarto (1985), produk dengan bentuk seragam, menarik dan utuh akan lebih disukai konsumen dibandingkan dengan produk yang kurang rapi dan tidak utuh. Berdasarkan uji statistik semua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kenampakan biskuit, hal ini disebabkan karena biskuit mempunyai warna yang relatif sama serta sulit dibedakan, yaitu berwarna coklat kekuning-kuningan
31 dan cerah, sehingga penambahan tepung tulang Jangilus pada biskuit dari semua perlakuan tidak berpengaruh pada kesukaan panelis terhadap kenampakan warna biskuit (lampiran 10). Hal ini berarti bahwa penambahan tepung tulang Jangilus sampai dengan persentase fortifikasi tepung tulang Jangilus sebesar 20% masih disukai panelis. 4.4.2 Aroma Biskuit Beberapa industri pangan menyimpulkan bahwa uji aroma sangat penting karena dapat memberikan hasil penilaian yang disukai atau tidak disukai pada produk makanan. Aroma pada produk pangan sebagian besar berasal dari bumbubumbu yang ditambahkan pada adonan (Soekarto 1985). Hasil pengamatan aroma penambahan tepung tulang Jangilus pada biskuit disajikan pada Tabel 8 dan data hasil perhitungannya pada Lampiran 16. Tabel 8. Rata-rata Aroma Biskuit Berdasarkan Perlakuan Persentase Penambahan Tepung Tulang Jangilus Penambahan Tepung Tulang Jangilus (%) 0 5 10 15 20 Median 3 3 Rata-rata Aroma,60 b 6,60 b 6,50 b 4,50 a 3,90 a Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji perbandingan taraf 5% Berdasarkan hasil penilaian terhadap aroma biskuit, diperoleh nilai median untuk semua perlakuan berkisar antara 3 (tidak disukai) dan (disukai) panelis. Aroma biskuit pada perlakuan 0%, 5% dan 10% berbeda nyata dengan perlakuan 15% dan 20%. Aroma biskuit pada perlakuan 0% mempunyai nilai rata-rata paling tinggi yaitu,60 menghasilkan aroma biskuit yang tidak tercium aroma bau amis dari tulang ikan melainkan aroma khas mentega yang tercium. Aroma biskuit pada perlakuan 20% mempunyai nilai rata-rata lebih rendah yaitu 3,90 menghasilkan aroma biskuit yang masih tercium aroma bau amis dari tulang ikan.
32 Hasil uji statistik Friedman pada Lampiran 16 menunjukkan bahwa penambahan tepung tulang Jangilus memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat penerimaan panelis pada aroma biskuit yang dihasilkan. Penambahan persentase tepung tulang Jangilus yang semakin meningkat pada biskuit memberikan aroma yang kuat, hal ini dipengaruhi oleh tepung tulang Jangilus yang memiliki bau khas tulang ikan. Aroma khas tulang ikan yang kuat dalam tepung tulang Jangilus mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap karakteristik aroma. Hal ini mengakibatkan semakin bertambahnya persentase tepung tulang Jangilus yang digunakan akan menurunkan penilaian aroma panelis terhadap produk biskuit yang disajikan. Biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus 0%, 5%, dan 10% masih disukai oleh panelis tetapi pada perlakuan 15% sampai 20% sudah tidak disukai. 4.4.3 Tekstur Biskuit Perubahan tekstur bahan dapat mengubah rasa dan aroma yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel olfaktori dan kelenjar air (Winarno 199). Dalam penelitian ini pengamatan tekstur dilakukan dengan cara ketika biskuit dikunyah maupun digigit dalam mulut. Hasil pengamatan tekstur penambahan tepung tulang Jangilus pada biskuit disajikan pada Tabel 9 dan data hasil perhitungan pada Lampiran 1. Tabel 9. Rata-rata Tekstur Biskuit Berdasarkan Perlakuan Persentase Penambahan Tepung Tulang Jangilus Penambahan Tepung Tulang Jangilus (%) 0 5 10 15 20 Median Rata-rata Tekstur,10 a 6,0 a 6,80 a 6,40 a 6,20 a Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji perbandingan taraf 5%
33 Berdasarkan hasil penilaian terhadap tekstur biskuit, diperoleh nilai median untuk semua perlakuan berkisar yang berarti produk tersebut disukai panelis, dengan karakteristik tekstur biskuit agak padat dan renyah. Hasil uji statistik Friedman pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa penambahan tepung tulang Jangilus tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat penerimaan panelis pada tekstur biskuit yang dihasilkan. Penambahan tepung tulang Jangilus pada biskuit tidak terlalu mempengaruhi terhadap penilaian rata-rata tekstur. Penambahan tepung tulang Jangilus mengakibatkan penurunan gluten karena adanya kandungan kalsium dan fosfor yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan daya ikat atau struktur adonan yang dibangun oleh gluten kurang menyatu atau kurang kompak sehinggamenyebabkan tekstur biskuit menjadi sedikit keras, kasar, dan kurang rata. Sesuai dengan pernyataan Kaya (2008) kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dalam tepung tulang mempengaruhi tekstur biskuit yang semakin keras. Meskipun demikian tekstur biskuit yang ditambah dengan tepung tulang Jangilus hingga 20% masih dapat diterima panelis dan tidak berbeda nyata dengan kontrol. 4.4.4 Rasa Biskuit Penerimaan panelis terhadap suatu produk sangat dipengaruhi oleh karakteristik rasa, walaupun parameter lainnya baik, tetapi jika memiliki rasa yang tidak disukai maka produk akan ditolak (Soekarto 1985). Hasil pengamatan rasa penambahan tepung tulang Jangilus pada biskuit disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Rata-rata Rasa Biskuit Berdasarkan Perlakuan Persentase Penambahan Tepung Tulang Jangilus Penambahan Tepung Tulang Rata-rata Median Jangilus (%) Rasa 0 5 10 15 20 5 5,10 b 6,10 ab 6,50 b 5,40 ab 4,0 a Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji perbandingan taraf 5%
34 Berdasarkan hasil penilaian terhadap rasa biskuit, diperoleh nilai median untuk semua perlakuan berkisar antara 5 (netral) dan (disukai) oleh panelis. Penambahan tepung tulang Jangilus pada biskuit berpengaruh terhadap rasa setiap perlakuan. Rasa biskuit pada perlakuan 0% mempunyai nilai rata-rata tertinggi yaitu,10 menghasilkan biskuit dengan rasa khas biskuit pada umumnya, hal ini disebabkan pada perlakuan 0% tidak dilakukan penambahan tepung tulang Jangilus, sehingga rasa gurih berasal dari bahan utama pada produk biskuit. Rasa biskuit pada perlakuan 20% mempunyai nilai rata-rata terendah yaitu 4,0 menghasilkan rasa gurih yang dihasilkan dari tulang ikan yang cenderung kurang disukai oleh panelis. Hasil uji statistik Friedman pada Lampiran 18 menunjukkan bahwa penambahan tepung tulang Jangilus memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat penerimaan panelis pada rasa biskuit yang dihasilkan. Penambahan tepung tulang Jangilus ternyata mempengaruhi rasa dari biskuit yang dihasilkan. Kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dari tepung tulang ikan mengakibatkan after taste pada produk yang dihasilkan yaitu terasa sedikit berkapur (Kaya 2008). Penambahan tepung tulang Jangilus pada perlakuan 5% menghasilakn nilai rata-rata sebesar 6,10 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan penambahan tepung tulang Jangilus pada perlakuan 10% yaitu sebesar 6,50. Hal ini disebabkan penambahan tepung tulang Jangilus sebanyak 5% belum mampu merubah penilaian panelis terhadap rasa gurih pada biskuit. Perlakuan 10% memiliki hasil nilai rata-rata rasa paling tinggi dari perlakuan penambahan tepung tulang Jangilus, hal ini disebabkan karena pada perlakuan penambahan tepung tulang Jangilus 10% terhadap biskuit menghasilkan rasa gurih yang berasal dari tepung tulang. Sedangkan pada perlakuan 15% dan 20% terjadi penurunan nilai rata-rata rasa seiring dengan peningkatan penambahan tepung tulang Jangilus, hal ini disebabkan karena adanya after taste atau rasa berkapur yang dihasilkan dari tulang ikan, sehingga kurang disukai dibandingkan dengan perlakuan 5% dan 10%.
35 4.5 Pengambilan Keputusan Dengan Metode Bayes Pengambilan keputusan terhadap nilai bobot relatif dari kriteria kenampakan, aroma, rasa, dan tekstur biskuit dilakukan dengan perbandingan berpasangan (Pairwise Comparison), pengambilan keputusan dengan metode Bayes yaitu suatu teknik yang digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif atau perlakuan dengan mempertimbangkan bobot kriteria dan nilai median (Marimin 2004). Data hasil uji perbandingan berpasangan terhadap kriteria kenampakan, aroma, rasa, dan tekstur biskuit dari ke-20 panelis disajikan pada Lampiran 19. Penyelesaian hasil perbandingan berpasangan tersebut dilakukan dengan manipulasi matriks untuk menentukan bobot kriteria (Lampiran 20). Hasil perhitungan terhadap bobot kriteria kenampakan, aroma, rasa dan tekstur biskuit disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai Bobot Kriteria Biskuit Kriteria Kenampakan Aroma Rasa Tekstur Bobot Kriteria 0,19 0,26 0,46 0,08 Berdasarkan perhitungan terhadap bobot kriteria kenampakan, aroma, rasa dan tekstur biskuit didapatkan hasil bahwa rasa mempunyai nilai yang lebih besar dibandingkan dengan kriteria lainya, ini membuktikan kriteria rasa paling berpengaruh terhadap penilaian biskuit. Hasil perhitungan terhadap bobot kriteria dan dalam menentukan perlakuan terbaik dengan mempertimbangkan kriteria kenampakan, aroma, rasa dan tekstur biskuit disajikan pada Tabel 12 dan cara perhitungan disajikan pada Lampiran 20.
36 Tabel 12. Matriks Keputusan Penilaian Biskuit Dengan Metode Bayes Kriteria Perlakuan (%) Nilai Kenampakan Aroma Rasa Tekstur Alternatif 0,00 5,00 10,00 15 3 5 5,04 20 3 5 5,04 Bobot Kriteria 0,19 0,28 0,46 0,08 Berdasarkan perhitungan dengan metode Bayes didapatkan hasil bahwa biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus semua perlakuan masih diterima atau disukai oleh panelis, namun perlakuan 0%, 5%, dan 10% memperoleh nilai alternatif lebih tinggi yaitu (disukai) panelis dibandingkan dengan perlakuan 15% dan 20% yaitu 5,04 (biasa). Berdasarkan semua parameter yang diamati, penambahan tepung tulang Jangilus 0%, 5%, dan 10% merupakan perlakuan yang lebih disukai oleh panelis dibandingkan perlakuan lainnya. 4.6 Kadar Kalsium Biskuit Pengukuran kadar kalsium didasarkan pada hasil penilaian tingkat kesukaan panelis pada biskuit yang diuji. Biskuit tanpa penambahan tepung tulang Jangilus dan biskuit dengan penambahan tulang Jangilus sebesar 10% diukur berdasarkan hasil dari uji hedonik dimana 0% hingga 10% lebih disukai dibandingkan dengan 15% dan 20%. Hasil pengukuran kandungan kalsium biskuit adalah sebagai berikut: Tabel 13. Kandungan Kalsium Biskuit dengan Penambahan Tepung Tulang Jangilus Berdasarkan Perlakuan yang Disukai dalam 3 g Biskuit Penambahan Tepung Tulang Kandungan Kalsium (%) Jangilus (%) 0 0,19 10 0,63
3 Kalsium adalah salah satu karakteristik kimia yang merupakan komponen utama dalam penentuan mutu. Kalsium yang terkandung dalam biskuit pada penelitian ini berasal dari kalsium yang terkandung dalam tepung terigu, susu bubuk dan tepung tulang Jangilus. Biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus mempunyai kandungan kalsium yang lebih tinggi dibandingkan dengan biskuit tanpa penambahan tepung tulang Jangilus. Nilai kandungan kalsium dari perlakuan 0% dan 10% menunjukan semakin bertambahnya tepung tulang Jangilus pada biskuit diikuti dengan semakin bertambahnya kadar kalsium yang terkandung. Hasil perhitungan kandungan kalsium pertakaran saji sebanyak 3 g menunjukkan bahwa biskuit tanpa penambahan tepung tulang Jangilus mengandung kalsium 5, mg/3 g biskuit, dan biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus 10% mengandung kalsium sebesar 18,9 mg/3 g biskuit (Lampiran 21). Lebih besarnya kandungan kalsium pada biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus dengan biskuit tanpa penambahan tepung tulang Jangilus menjadi keunggulan tersendiri. Hal tersebut menunjukan bahwa biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus selain disukai masyarakat juga memiliki kandungan gizi berupa kadar kalsium lebih besar dibandingkan biskuit tanpa penambahan tepung tulang Jangilus. Kadar kalsium yang terkandung pada biskuit dengan penambahan tepung tulang Jangilus 10% sebagai salah satu biskuit yang paling disukai belum mencukupi kebutuhan kalsium manusia per harinya, karena berdasarkan Widyakarya pangan dan gizi (2004) kebutuhan kalsium manusia antara 500 hingga 1000 mg/hari. Kekurangan kalsium ini menurut Asni (2004) dapat ditambahkan dari bahan pangan lain seperti susu, keju, serealia, sayuran (bayam dan brokoli) dan kacang-kacangan. 4. Hasil Keseluruhan Pengamatan Hasil keseluruhan penelitian yang telah dilakukan terhadap uji rendemen tepung tulang Jangilus, uji organoleptik (hedonik), uji fisik dan uji kimia dengan penambahan tepung tulang Jangilus pada biskuit disajikan pada Tabel 14.
38 Tabel 14. Hasil Keseluruhan Pengamatan Biskuit Rata-Rata Penambahan Tepung Tulang Jangilus Pengamatan (%) 0 5 10 15 20 Kadar Air (%) Kemekaran (%) 3,16 3,8 2,6 36,30 2,36 36,30 2,03 34,81 1,85 34,81 Karakteristik Organoleptik (Hedonik) Kenampakan Aroma Rasa Tekstur,10 a,60 b,10 b,10 a,10 a 6,60 b 6,10 ab 6,0 a,10 a 6,50 b 6,50 b 6,80 a 6,40 a 4,30 a 5,40 ab 6,40 a 6,30 a 3,90 a 4,0 a 6,20 a Metode Bayes Nilai Alternatif,00,00,00 5,04 5,04 Kadar Kalsium (%) 0,19-0,63 - - Pengamatan biskuit menghasilkan bahwa dengan semakin tinggi persentase fortifikasi tepung tulang Jangilus akan menurunkan tingkat kadar air dan kemekaran biskuit. Berdasarkan hasil uji hedonik yang dilakukan, fortifikasi tepung tulang Jangilus pada biskuit 0%, 5%, dan 10% dari perhitungan uji bayes ketiga perlakuan ini mempunyai nilai alternatif yang sama dan lebih disukai dibandingkan dengan perlakuan 15% dan 20%, namun perlakuan 15% dan 20% masih diterima oleh panelis. Berdasarkan perhitungan kadar kalsium perlakuan 0% mempunyai kadar kalsium 0,19% dan perlakuan 10% sebesar 0,63%, sehingga dapat dikatakan bahwa penambahan tepung tulang Jangilus akan meningkatkan kadar kalsium biskuit. Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai, tingkat kesukaan merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan, hasil pengujian diperoleh bahwa perlakuan penambahan tepung tulang Jangilus 0%, 5%, dan 10% merupakan perlakuan yang disukai oleh panelis, namun dalam fortifikasi nilai gizi menjadi daya dukung suatu produk. Pengujian kadar kalsium biskuit dengan perlakuan penambahan tepung tulang Jangilus 10% memiliki nilai yang lebih baik
39 dibandingkan hasil penilaian biskuit tanpa penambahan tepung tulang Jangilus. Hal tersebut menunjukan penambahan tepung tulang Jangilus sebanyak 10% pada pembuatan biskuit sebagai perlakuan yang lebih baik dari perlakuan lainya, karena karakteristik organoleptik yang disukai serta didukung adanya kalsium yang terkandung didalamnya.