IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi keseluruhan kecernaan ransum. Nilai kecernaan yang paling tinggi pada suatu bahan pakan atau ransum menunjukan bahwa bahan pakan tersebut mempunyai kualitas zat makanan yang baik (Sutardi, 1980). Kemampuan ternak ruminansia untuk mencerna serat kasar dipengaruhi oleh kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar, dan aktivitas mikroorganisme (Maynard dkk., 2005). Nilai kecernaan serat kasar pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Kecernaan Serat Kasar Ransum Perlakuan Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5 R6 (%)... 1 65,52 65,54 60,69 61,95 74,74 66,63 2 70,78 58,58 79,49 69,14 82,40 64,26 3 70,78 63,20-69,30 77,50 67,23 4 70,67 68,82 72,36 71,67 79,70 75,04 Total 277,75 256,14 212,54 272,06 314,34 273,16 Rataan 69,44 64,04 70,85 68,02 78,59 68,29 Keterangan R1 = Imbangan protein 12% dan TDN 60% R2 = Imbangan protein 12% dan TDN 65% R3 = Imbangan protein 14% dan TDN 60% R4 = Imbangan protein 14% dan TDN 65% R5 = Imbangan protein 16% dan TDN 60% R6 = Imbangan protein 16% dan TDN 65%
Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kecernaan serat kasar, maka dilakukan analisis ragam yang tertera pada Lampiran 13. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa imbangan protein dan energi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan serat kasar. Selanjutnya guna mengetahui perbedaan antar perlakuan, maka dilakukan uji lanjut Duncan yang hasilnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Uji Duncan terhadap Kecernaan Serat Kasar Perlakuan Rataan Kecernaan Serat Kasar (%) Signifikasi R1 69,44 a R2 64,04 a R3 70,85 a R4 68,02 a R5 78,59 b R6 68,29 a Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom signifikasi menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Berdasarkan data yang diperoleh nilai rata-rata kecernaan serat kasar berkisar antara 64,04% dan 78,59%. Rataan nilai kecernaan tertinggi yaitu pada ransum perlakuan R5 (protein 16% dan TDN 60%) sebesar 78,59%. Hal ini menunjukkan bahwa domba muda seperti yang digunakan dalam penelitian (8 bulan) membutuhkan ransum dengan protein tinggi (16%). Hal ini sesuai dengan pendapat Cahyono (1998), pertumbuhan pada hewan yang masih muda membutuhkan ransum dengan
kandungan protein yang tinggi terutama untuk pembentukan jaringan. Sejalan pula dengan pendapat Umberger (1997) bahwa ransum penggemukan untuk domba muda dengan berat 20-35 kg disarankan mengandung 16% protein dan 78% TDN. Berdasarkan Tabel 7. dapat dilihat bahwa perlakuan R5 (protein 16% dan TDN 60%) menghasilkan kecernaan serat kasar nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Nilai kecernaan yang diperoleh dari penelitian ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Budiman, dkk., (2006). Hasil penelitian Budiman, dkk., (2006) menunjukkan rata-rata nilai kecernaan serat kasar pada domba yang diberi ransum dengan kandungan protein 12% sebesar 38,82%. Sedangkan yang menggunakan ransum berprotein 14% nilai kecernaan serat kasarnya sebesar 40,32%. Hal tersebut diduga karena nilai kecernaan tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan protein di dalam ransum, tetapi juga kandungan energi dalam ransum perlu diperhatikan. Imbangan kandungan protein dan energi harus sesuai dengan kebutuhan ternak, jangan sampai ternak defisiensi protein dan energi. Menurut NRC, (1985) defisiensi energi pada ternak yang sedang dalam fase pertumbuhan akan menyebabkan penurunan laju peningkatan bobot badan, yang akhirnya akan menghentikan pertumbuhan, bobot badan semakin menurun dan yang paling buruk adalah dapat menyebabkan kematian. Hal ini sejalan dengan pendapat Martawidjaja dkk., (1999) bahwa ternak yang kekurangan energi dalam pakannya
akan mengurangi fungsi rumen dan menurunkan efisiensi penggunaan protein serta menghambat pertumbuhan ternak. Lebih tingginya nilai kecernaan serat kasar pada perlakuan ransum R5 dibandingkan dengan perlakuan lainnya disebabkan karena terjadinya keseimbangan kandungan protein dan energi ransum tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ransum terbaik yang menghasilkan kecernaan serat kasar tertinggi mengandung protein 16% dan TDN 60%. Kondisi tersebut mempengaruhi produksi NH 3 dan VFA di dalam rumen yang digunakan oleh mikroba rumen untuk tumbuh dan berkembang biak sehingga populasinya meningkat. Kandungan protein 16% dan TDN 60% nampaknya mencukupi kebutuhan NH 3 dan VFA yang seimbang di dalam rumen, yang dibutuhkan oleh mikroba rumen, sehingga populasi mikroba rumen meningkat. Meningkatnya populasi mikroba rumen mengakibatkan meningkatnya kecernaan ransum termasuk kecernaan serat kasar. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutardi (1977) bahwa VFA terutama yang berantai cabang, esensial bagi pertumbuhan mikroba rumen. Demikian pula menurut Widodo, dkk., (2012) bahwa kecepatan produksi VFA dan sel bakteri berhubungan dengan konsumsi TDN. Protein kasar juga berpengaruh terhadap produksi VFA, karena VFA yang dihasilkan selain berasal dari fermentasi karbohidrat juga berasal dari fermentasi protein dalam rumen. Meningkatnya kandungan protein dalam ransum sejalan dengan meningkatnya nilai kecernaan di dalam ransum. Semakin tinggi kandungan protein
dalam ransum, maka produksi amonia (NH 3 ) akan semakin tinggi karena aktivitas bakteri proteolitik akan semakin meningkat (Arora, 1989). Sehingga ketika aktivitas bakteri meningkat di dalam rumen maka kecernaan akan meningkat. Jika kandungan protein dalam ransum rendah, maka konsentrasi NH 3 akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat sehingga menyebabkan turunnya kecernaan pakan begitu juga kecerenaan serat kasar (McDonald, dkk., 2002). Namun jika kandungan protein terlalu tinggi, maka akan menyebabkan penurunan kecernaan, karena ketika kandungan protein terlalu tinggi maka kandungan NH 3 yang dihasilkan akan melebihi batas optimun. Hal tersebut sangatlah tidak efisien dalam penggunaan ransum karena NH 3 akan dirubah menjadi urea dan dikeluarkan melalui urine atau dikembalikan ke tractus alimentarius melalui air liur (Tillman, dkk., 1998). 4.2 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) adalah fraksi karbohidrat yang terdapat dalam pakan. Karbohidrat dalam suatu bahan pakan terdiri atas dua fraksi yaitu serat kasar dan BETN. Komponen yang termasuk dalam BETN seperti gula, fruktan, pati, pectin, asam organik dan pigmen (Tillman dkk., 1998 dan Anggorodi, 1990). Nilai Kecernaan BETN pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Kecernaan BETN pada setiap perlakuan Perlakuan Ulangan R1 R2 R3 R4 R5 R6 (%)...... 1 49,66 54,39 41,54 50,53 42,03 46,69 2 56,83 46,03 66,58 63,95 67,2 44,04 3 56,16 46,83-58,36 53,24 44,38 4 56,94 59,07 5466 62,43 60,09 59,39 Total 219,6 206,3 162,8 235,3 222,6 194,5 Rataan 54,89 51,58 54,26 58,82 55,64 48,63 Berdasarkan Tabel 8. dapat dilihat bahwa rataan nilai kecernaan BETN hasil penelitian berkisar antara 48,63% sampai 58,82%. Rataan nilai tertinggi kecernaan BETN diperoleh pada perlakuan ransum R4 (protein 14% dan TDN 65%) yaitu sebesar 58,82%. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Parakkasi (1999) bahwa pencernaan BETN oleh ruminansia berkisar antara 39-94%. Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kecernaan BETN dilakukan analisis ragam yang tertera pada Lampiran 14. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi kecernaan BETN. Tidak berpengaruhnya perlakuan imbangan protein dan energi ransum terhadap kecernaan BETN dipengaruhi kuantitas dan kualitas BETN yang terdapat pada setiap perlakuan ransum hampir sama, sehingga menghasilkan kecernaan BETN yang hampir sama pula. Kuantitas dan kualitas BETN setiap perlakuan ransum hampir sama sehingga mempengaruhi jumlah mikroba rumen pencerna BETN yang sama pula, yang pada akhirnya menghasilkan kecernaan BETN yang sama. Kandungan BETN dalan setiap
ransum perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan serat kasar. Menurut Hernaman, dkk., (2015) menyatakan bahwa BETN lebih mudah dicerna dibandingkan dengan serat kasar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Budiman, dkk., 2006) bahwa meningkatnya energi mudah dicerna dan protein akan meningkatkan perkembangan bakteri amilolitik. Bakteri amilolitik merupakan bakteri pencerna pati. Sehingga kecernaan BETN cenderung meningkat. Kandungan zat makanan lain (abu, protein, lemak, dan serat) dalam ransum akan mempengaruhi kandungan BETN. Ketika kandungan abu, protein, lemak, dan serat kasar dalam ransum tinggi, maka kandungan BETN ransum akan rendah, karena kandungan BETN merupakan selisih antara bahan kering dengan total abu, PK, SK, dan LK. BETN sebagian besar disusun dari kelompok monosakarida sehingga dengan terdegradasinya serat kasar menjadi molekul yang lebih sederhana maka kecernaan BETN akan meningkat (Tillman, dkk., 1998). Seimbangnya kandungan antara protein dan energi yang terkandung di dalam ransum menyebabkan kecernaan ransum meningkat termasuk kecernaan BETN juga meningkat. Imbangan protein dan energi dalam ransum haruslah seimbang. Ketika protein melebihi kebutuhan ternak maka protein dalam bentuk N akan terbuang melalui urin, sehingga hal tersebut akan sia-sia. Sedangkan ketika energi dalam ransum berlebih, maka pertumbuhan mikroba dan efisiensi fermentasi rumen menurun, hal ini antara lain diakibatkan terjadinya fermentasi yang tidak berjalan
dengan baik yaitu energi digunakan bukan untuk sintesis protein melainkan untuk akumulasi karbohidrat sel mikroba (Ginting, 2005).