BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN. karena berperan terhadap timbulnya reaksi alergi seperti asma, dermatitis kontak,

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Debu merupakan gabungan dari partikel detrimen. yang berasal dari rambut, daki, bulu binatang, sisa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September sampai dengan. Desember 2013 di beberapa SMP yang ada di Semarang.

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. usia anak. Anak menjadi kelompok yang rentan disebabkan masih. berpengaruh pada tumbuh kembang dari segi kejiwaan.

commit to user BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian tentang hubungan serangan asma dengan

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

1. Personil Penelitian 1. Ketua penelitian Nama : dr. Mardiana Hasibuan Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK- USU/RSHAM

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi barier epidermal, infiltrasi agen inflamasi, pruritus yang

BAB IV METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 7. Peubah rancangan tempat tidur (TMP_TDR) Tempat tidur (1) (2) Kasur 1 0 Lainnya 0 1 Busa 0 0. Deskripsi Rerponden

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM Volume 3 Nomor 1 Tahun 2017

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Permasalahan. Alergen adalah zat yang biasanya tidak berbahaya

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB 4 HASIL PENELITIAN. 2010, didapatkan jumlah keseluruhan penderita dengan bangkitan kejang demam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah alergi digunakan pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. Scottish Health Survey pada anak usia 2-15 tahun didapatkan persentasi anak lakilaki

PENGOBATAN DINI ANAK ATOPI

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak

ARTIKEL ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum

LAMPIRAN. : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU. RSUP. H. Adam Malik, Medan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2011 sampai Desember 2011 di. RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. melaksanakan pembangunan nasional telah berhasil. meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi pada

LAMPIRAN 1. Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp ,- 2. Transportasi Rp ,- 3. Fotokopi dll Rp

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diresmikan pada tanggal 24 Maret Lahirnya Kecamatan Kota Tengah Kota

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dermatitis berasal dari kata derm atau o- (kulit) dan itis (radang atau

BAB 1 PENDAHULUAN. selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan. peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. populasi masyarakat yang menderita alergi. Suatu survei yang dilakukan oleh World

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. besar dan dapat menjadi sistem pengumpulan data nasional. tidak hanya puhak medis tetapi juga struktural.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan

BAB V PEMBAHASAN. infark miokard dilaksanakan dari 29 Januari - 4 Februari Penelitian ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan respon imun yang abnormal dari tubuh. Reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB 5 PEMBAHASAN. IMT arteri karotis interna adalah 0,86 +0,27 mm. IMT abnormal terdapat pada 25

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

sebanyak 23 subyek (50%). Tampak pada tabel 5 dibawah ini rerata usia subyek

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukanoleh : DIAH RIFQI SUSANTI J Kepada : FAKULTAS KEDOKTERAN

I. PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 44 Tahun 2009 tentang

BAB III METODE PENELITIAN. analitik cross-sectional dan menggunakan pendekatan observasional.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata Asthma berasal dari bahasa yunani yang berarti terengah-engah atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan di Indonesia tepatnya Jakarta pusat didapatkan 25.5% anak yang

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas 4-5 Sekolah Dasar Negeri di

BAB I PENDAHULUAN. Serangan asma merupakan salah satu penyebab rawat inap pada anak dirawat di

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menimbulkan gejala penyakit (Gunawan, 2010). ISPA merupakan

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

DAFTAR PUSTAKA. Anonim ISAAC International Data Centre.in Diakses pada 27 Februari 2011.

Transkripsi:

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Subyek Penelitian ini diberikan kuesioner ISAAC tahap 1 diberikan kepada 143 anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan kuesioner yang dikembalikan adalah 130 kuesioner (90,9 %). Hasil ini lebih baik dibandingkan penelitian di kroasia yang juga menggunakan kuesioner ISAAC tahap I (6-7 tahun), dimana kuesioner yang dikembalikan sebanyak 80,3%. Hasil penelitian ini diketahui pula bahwa dari 143 anak SD didapati 32 (24,6%) anak yang mengalami gejala alergi. Hal ini berbeda dengan penelitian di Taipei yang meliputi 142 sekolah, dengan total jumlah kuesioner ISAAC tahap 1 adalah 25.094 dimana didapatkan 3,694 (14,72%) anak yang mengalami alergi. 28 Karakteristik anak yang dinilai pada penelitian ini adalah jenis kelamin, status gizi dan usia. Variabel jenis kelamin anak pada penelitian ini menunjukkan proporsi sama besar antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Status gizi pada penelitian ini yang terbanyak adalah dengan status gizi baik. Penelitian yang dilakukan pada pasien asma oleh Chamara dkk menyebutkan tidak ada perbedaan bermakna antara status gizi ( BMI) dengan kejadian alergi (F=1.01, P=0,3156). 41 Usia, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan keluarga setiap bulan merupakan karakteristik orang tua yang dinilai pada penelitian ini. Rerata usia ayah adalah 38,12±3,07 tahun dan rerata usia ibu adalah 32,72±3,076 tahun. Pendidikan ayah terbanyak adalah sarjana dan jenis pekerjaan ayah adalah 46

wiraswasta, PNS/ABRI dan pegawai swasta adalah sama besar. Pendidikan ibu berdasarkan jumlah berurutan sebagai berikut adalah sarjana, SMA dan pasca sarjana. Sebagian besar ibu tidak bekerja. Hal ini sesuai dengan penelitian Chamara dkk yang melaporkan kejadian alergi pada anak lebih sering terjadi dan tergantung pada tingkat pendidikan orang tua mereka meliputi pendidikan ibu ( 2 =19,34, df=2, P=0,001) kondisi ekonomi yang sangat baik 2 =18,26, df=2, P=0,001). 41 2 =16,76, df=2, P=0,002), Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya alergi pada anak antara lain adalah riwayat alergi dalam keluarga, asap rokok dan pabrik. Pembersihan rumah terbanyak dilakukan dua kali sehari. Penelitian ini mendapatkan 23 anak memilki adanya riwayat alergi terjadi dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan penelitian asma di Turki bahwa prevalensi asma dan alergi meningkat secara signifikan pada anak dengan riwayat keluarga alergi. 42 Pabrik Apparel ( pabrik kain) di sekitar lingkungan rumah didapatkan pada 2 anak yang mengalami gejala alergi. Bahan iritan saluran nafas seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida dan partikel hasil pembakaran mesin diesel menyebabkan peningkatan IgE dengan berbagai mekanisme dan inflamasi lokal pada saluran pernafasan, sehingga terjadi peningkatan kontak antara jaringan dengan alergen sehingga timbul respon imun. 44 Riwayat keluarga merokok dalam satu rumah didapatkan pada 10 anak. Penelitian Pudjo menyebutkan asap rokok tidak berpengaruh terhadap rinitis alergika. (PR:1,06: 95% CI : 0,857-1,332). 59 47

5.2. Prevalensi Alergi Berdasarkan kuesioner ISAAC yang disebarkan didapatkan anak dengan gejala asma sebanyak 7 anak (5,4%), rinitis alergik sebanyak 18 anak (13,8%) dan dermatitis atopik sebanyak 7 anak (5,4%). Enam orang tua/wali anak menolak mengikuti penelitian sehingga 26 anak yang mengikuti penelitian ini. Subyek dalam penelitian ini adalah Asma sebanyak 6 anak (23,1%), rinitis alergik sebanyak 15 anak (57,7%) dan dermatitis atopik 5 anak (19,2%). Prevalensi kejadian alergi di Semarang berdasarkan kuesioner ISAAC pada anak usia 6-7 tahun adalah asma sebanyak 8,1%, rinitis alergik sebanyak 11,5% dan dermatitis atopik sebanyak 8,2% sedangkan penelitian di Kroasia didapatkan hasil asma sebanyak 9,7 %, rinitis alergik sebanyak 16,9 % dan dermatitis atopik sebanyak 5, 29 5,4 %. 5.3. Hubungan jenis alergi dengan kadar IgE spesifik Hasil pemeriksaan IgE spesifik pada penelitian ini adalah kadar Ig E spesifik tungau debu rumah positif terdapat pada 12 anak, kadar IgE spesifik kecoa positif didapatkan pada 6 anak sedangkan kadar IgE spesifik putih telur positif pada 5 anak. Penelitian di Taipei didapatkan hasil pemeriksaan IgE spesifik terbanyak adalah Dermatophagoides pteronyssinus, D. farinae and Blomia tropicaliswere yaitu 90.79%, 88.24%, 84.63% secara bermakna, sedangkan persentase yang mengalami alergi terhadap bulu anjing adalah sebanyak 8.69% dan kecoa 15.48%. Selain itu untuk alergen makanan didapatkan kepiting, susu, putih telur dan udang adalah 88,08%, 22,45%, 24,23%, dan 21,44% secara berurutan. 28 48

Kadar IgE spesifik dinyatakan positif bila kadar IgE spesifik pada kelas 1 dan seterusnya. Persentase dalam kelompok kadar IgE spesifik tungau debu rumah positif terbanyak didapati pada kelompok rinitis alergik, diikuti asma dan dermatitis atopik. Hal yang sama didapati pada hasil pemeriksaan kadar IgE spesifik kecoa dimana kelompok positif yang terbanyak positif adalah kelompok rinitis alergik diikuti oleh asma dan dermatitis atopik. Kadar IgE spesifik putih telur terbesar pada kelompok rinitis alergik, kemudian dermatitis. Penderita asma tidak didapati kadar IgE spesifik putih telur yang positif. Jenis alergen yang terbanyak pada asma, rinitis alergi dan dermatitis atopik adalah tungau debu rumah. Hal ini dikarenakan tungau debu rumah merupakan alergen utama yang terdapat pada debu rumah dan berkembang di tempat tidur, bantal, karpet, perabot rumah tangga dengan suhu 25 C-30 C dan kelembaban tinggi > 60%. Semarang memiliki suhu rata-rata 27,5 C dan kelembaban udara rata-rata 75%. Anak yang tersensitisasi tungau debu rumah dengan ukuran lebih 45 Penelitian di Taipei menyebutkan tungau debu rumah adalah alergen terbanyak pada anak yang menderita alergi. 28 Penelitian mengenai hubungan antara IgE spesifik dengan rinitis alergik, asma dan dermatitis atopik juga pernah dilakukan Lee dkk melaporkan berdasarkan pemeriksaan IgE spesifik pada asma didapatkan kadar IgE positif secara berurutan dari yang terbanyak adalah alergen inhalan, alergen makanan, jamur dan serbuk, begitu pula dengan rinitis alergik didapatkan kadar IgE spesifik positif secara berurutan pada alergen inhalan, alergen makanan, jamur dan serbuk. 49

Dermatitis atopik alergen terbanyak adalah alergen makanan diikuti tungau, jamur dan serbuk. Alergen inhalan yang diperiksa adalah tungau debu rumah, kecoa, bulu anjing, bulu kucing, alergen makanan adalah kepiting, putih telur, udang, kacang, daging sapi, susu, jagung, ikan salmon dan lain-lain. Alergen jamur yang diperiksa adalah Candida Albicans, Aspergillus, Cladosporium, Penicillum dan Alternaria sedangkan alergen serbuk yang diperiksa adalah rumput, pinus, kapas, kayu putih, murbei. 19 Hubungan antara jenis alergi dan kadar IgE spesifik tungau debu rumah, kecoa dan putih telur didapati hasil yang tidak bermakna. Asma dan rinitis alergik cenderung sebagai faktor risiko terjadinya kadar IgE spesifik positif pada tungau debu rumah dan kecoa, namun tidak pada kadar IgE spesifik putih telur. Hal ini sesuai dengan penelitian Cunha bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kadar IgE spesifik tungau debu rumah dengan asthma. 27 Hal yang sama juga dilaporkan oleh Martinez bahwa tidak didapatkan hubungan antara kadar IgE spesifik putih telur dengan dermatitis atopik. 60 Penelitian Syrjanen menunjukkan pada pasien a telur, rumput, bulu kucing, bulu anjing dan tungau debu rumah memprediksi terjadinya asma. 61 Berdasarkan uji Cramers V dan lambda, didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan maupun korelasi yang bermakna antara jenis alergi dengan kadar IgE spesifik tungau debu rumah, kecoa dan putih telur. Hasil analisis antara jenis alerhi dengan IgE spesifik, dimana IgE spesifik yang paling kecil nilai signifikansinya adalah IgE tungau debu rumah. Hal ini berarti IgE spesifik tungau 50

debu rumah mempunyai indepedensi dan korelasi terkuat pada asma, rinitis alergik dan dermatitis atopik dibandingkan kecoa dan putih telur. Penelitian Lee dkk menyebutkan tungau debu rumah merupakan faktor risiko asthma. Berdasarkan uji regresi logistik didapatkan IgE Spesifik putih telur memiliki pengaruh terbesar terhadap kejadian asma+rinitis alergik dan dermatitis atopik dibandingkan kedua jenis IgE lainnya. Hasil analisis dalam penelitian ini menggunakan power (1- ) adalah sebesar 48,3%. Ketiga faktor perancu yaitu riwayat alergi dalam keluarga, riwayat merokok dalam satu rumah dan pabrik. Pabrik memiliki pengaruh terkecil dan diikuti asap rokok dan riwayat alergi dalam keluarga (lampiran SPSS). Hal ini membuktikan bahwa faktor genetik yang paling besar pengaruhnya terhadap kejadian alergi. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah dilepaskannya berbagai mediator oleh sel mastosit dan basofil akibat rangsangan alergen yang terikat pada IgE yang terdapat pada permukaan sel tersebut. Granula sekretorik sel basofil dan sel mastosit mengandung mediator dan berbagai jenis sitokin. Mediator ini menarik sel-sel inflamasi lain sehingga menimbulkan manifestasi klinik alergi. Penelitian ini sebaiknya dilakukan pengambilan sampel pada saat anak mengalami gejala alergi. 20 Jenis alergen yang diperiksa pada penelitian ini terbatas yaitu tungau debu rumah, kecoa dan putih telur. Berdasarkan penelitian di beberapa negara lain didapatkan jenis alergen lain yang dapat menjadi pencetus terjadinya alergi seperti : bulu kucing, bulu anjing, jamur, kepiting, susu sapi, udang dan lain sebagainya. 51

5.4. Keterbatasan Penelitian Jumlah yang tidak sama pada setiap kelompok gejala alergi, sampling darah dilakukan saat anak tidak sedang mengalami gejala alergi, tidak mengendalikan faktor infeksi dan makanan sebagai faktor risiko terjadinya alergi, kemungkinan adanya bias pengukuran dalam penelitian ini dan rancangan penelitian ini berupa cross sectional. 52