BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan olahraga sepak bola dan bulutangkis. Peminat olahraga hoki

BAB II LANDASAN TEORI. dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepadaorang lain. Kemandirian dalam kamus psikologi yang disebut independence yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB II LANDASAN TEORI

PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000). Sedangkan pengertian kinerja

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia sebagai salah satu unsur dalam organisasi dapat

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang tua ingin anaknya menjadi anak yang mampu. menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya.

BAB II LANDASAN TEORI. dan menggerakkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB II LANDASAN TEORI. memperkirakan perilaku dari pengukuran sikap. Teori ini dinamakan reason action karena

MOTIVASI BERPRESTASI ABSTRACK

PSIKOLOGI PELATIHAN FISIK

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Zaman semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak zaman dulu, olahraga telah dikenal sebagai aktivitas yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan lingkungan organisasi harus lebih

BAB II LANDASAN TEORI. kebutuhan ini tercermin dengan adanya dorongan untuk meraih kemajuan dan

BAB III METODE PENELITIAN. korelasional. Menurut Arikunto (2002:23) Penelitian kuantitatif adalah penelitian

BAB II KAJIAN TEORITIS. diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah karyawan yang relatif banyak dan memiliki karakteristik pola

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

1. PENDAHULUAN. jawab atas dirinya sendiri terutama saat berhubungan dengan kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. Kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan sasaran penting dalam. yang memiliki lebih sedikit jumlah pegawai yang puas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. menerus merupakan aspek yang harus dibina dalam olahraga. sampai sasaran perilaku. McClelland dan Burnham (2001), motivasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB XIII TEKNIK MOTIVASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian

Persiapan Tim Hockey Jabar Menuju PON 2008

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu bentuk pendidikan formal yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. keberadaan objek, hubungan, dan kejadian yang diperoleh atas kepemilikkanindera,

budaya, alam sekitar, dan meningkatkan pengetahuan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan belajar mengajar pada hakekatnya merupakan serangkaian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ketidakpuasannya akan pekerjaannya saat ini. Keinginanan keluar atau turnover

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. motivasi dan prestasi yang membentuk suatu kesatuan makna dan. berprestasi adalah usaha seseorang dalam menguasai tugasnya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK. Katolik Soegidjapranata Semarang dengan judul Perbedaan motivasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

Bab 1 Kewirausahaan. 1. Kewirausahaan dalam Perspektif Sejarah

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa erat hubungannya dengan tugas perkuliahan. Menurut pandangan Kusuma

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bisma, Vol 1, No. 7, Nopember 2016 FAKTOR-FAKTOR MOTIVASI KERJA PADA PD JAYA HARDWARE DI PONTIANAK

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu bisnis yang bergerak di bidang jasa adalah perbankan. Di era

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam penyediaan fasilitas untuk industri minyak yang mencakup jasa penguliran

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. potensi intelektual dan sikap yang dimilikinya, sehingga tujuan utama

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DEFINISI MOTIVASI. Proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha seorang. Komponen Motivasi : Intensitas, arah dan ketekunan

BAB II LANDASAN TEORI

EKSPERIMEN PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA SEGIEMPAT DENGAN PENDEKATAN GUIDED NOTE TAKING

BAB II LANDASAN TEORI

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. muda. Berdasarkan laporan yang dirilis NBL Indonesia, untuk tahun ini NBL

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan seseorang baik dalam keluarga, masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan memegang peranan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Robert K Merton menulis beberapa pernyataan penting tentang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prestasi akademik yang tinggi pada umumnya dianggap sebagai

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB 2. Tinjauan Pustaka. Setiap orang pada dasarnya orang yang bekerja mempunyai tujuan untuk

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan memiliki pulau yang

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi. Kesemua unsur-unsur pembelajaran tersebut sangat mempengaruhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan adalah kohesivitas kelompok yang dikemukakan oleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Contoh Komitmen Karyawan terhadap Perusahaan / Organisasi di PT. Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia)

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB)

BAB II LANDASAN TEORI. bekerja yang ditandai secara khas dengan adanya kepercayaan diri, motivasi diri

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu usaha pada tiap individu dalam mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjalankan semua kegiatan yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai target-target tertentu yang harus dicapainya. Robbins & Judge (2007) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai dorongan individu dalam melakukan sesuatu secara maksimal dengan menggunakan seluruh kemampuannya untuk unggul dari individu yang lainnya hingga individu tersebut mencapai kesuksesan. Mangkunegara (2011) mengartikan motivasi berprestasi sebagai suatu dorongan dalam ciri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Sedangkan Munandar (2014) motivasi berprestasi adalah dorongan yang kuat untuk berhasil, dimana individu hanya berfokus untuk mengejar prestasi dari pada imbalan terhadap keberhasilan, individu juga akan lebih bersemangat untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan selalu menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Selain itu, Woolfolk (1995) mengatakan bahwa motivasi berprestasi adalah keinginan untuk meraik kesuksesan dan keunggulan dengan menggunakan daya kemampuan yang dimiliki secara maksimal. Mylsidayu (2015) mendefinisikan 13

14 bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan yang terjadi dalam diri individu untuk senantiasa meningkatkan kualitas tertentu dengan sebaik-baiknya atau lebih dari biasa dilakukan. Siagian (2004), motivasi berprestasi adalah orang yang berusaha berbuat sesuatu lebih baik dibandingkan dengan orang-orang lain dengan cara memperlihatkan keunggulannya. Menurut As ad (2004) motivasi berprestasi merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses yang diukur berdasarkan standar kesempurnaan dalam diri seseorang. Kebutuhan ini, berhubungan dengan pekerjaan dan mengarah ke tingkah laku pada usaha untuk mencapai prestasi. Berdasarkan uraian beberapa penjelasan diatas tentang definisi motivasi berprestasi. Maka peneliti menyimpulkan bahwa motivasi berprestasi ialah usaha tiap individu dengan menggunakan seluruh kemampuannya untuk mencapai tujuan karena tujuan yang akan dicapai merupakan tanggung jawabnya. 2. Aspek-aspek Motivasi Berprestasi Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009) orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi ditandai dengan hal-hal berikut: a. Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan menjadikan setiap tidakan yang diambil merupakan tanggung jawab pribadi. Jika gagal, ia tidak akan menyalahkan orang lain atas kegagalan tersebut, tetapi hal itu dinilai dan dirasakannya sebagai tanggung jawabnya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan berusaha untuk menyelesaikan setiap tugas yang dilakukan dan tidak akan meninggalkan tugas itu sebelum berhasil menyelesaikannya.

15 Individu akan merasa berhasil apabila telah menyelesaikan tugas dan gagal bila ia tidak dapat menyelesaikannya. b. Mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya Individu yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan menggunakan umpan balik dalam perbuatannya. Hal ini ia lakukan untuk mengetahui apakah tindakannya selama ini memiliki manfaat yang dapat berguna bagi individu lainnya atau tidak. Dengan menggunakan evaluasi tersebut ia dapat meningkatkan efektivitas tingkah lakunya untuk mencapai suatu prestasi. Pada individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi ini, pemberian umpan balik atas hasil kerja yang telah dilakukan sangatlah disukai. Umpan balik yang diberikan ini selanjutnya akan diperhatikan dan dilaksanakan untuk perbaikan hasil kerja yang akan datang. c. Adanya kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat atau sedang dalam melakukan tugasnya. Seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan melaksanakan suatu tugas yang ada tantangannya, tetapi yang dapat dicapai secara nyata. Ia tidak menyukai tugas yang terlalu mudah ataupun yang terlalu sukar, tetapi tugas yang disesuaikan dengan kemampuannya. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi mempertimbangkan resiko yang akan dihadapinya sebelum memulai suatu pekerjaan. Ia akan memilih tugas dengan derajat kesukaran sedang, yang menantang kemampuannya untuk mengerjakan namun masih memungkinkannya untuk berhasil menyelesaikannya dengan baik.

16 d. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif Seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi, tidak terikat pada suatu yang bersifat statis tetapi cenderung bertindak secara aktif mencari jalan keluar bagi masalah yang dihadapinya. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung bertindak kreatif, dengan mencari cara baru untk menyelesaikan tugas seefisien dan seefektif mungkin. Ia tidak menyukai pekerjaan rutin dengan pekerjaan yang sama. Bila dihadapkan pada tugas yang bersifat rutin, ia akan berusaha mencari cara lain untuk menghindari rutinitas tersebut namun tetap dapat menyelesaikan tugasnya itu. Selain itu menurut Menurut Robbins & Judge (2007) orang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi ditandai dengan: a. Menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba setiap tugas yang menantang tetapi mampu untuk diselesaikan, sedangkan orang yang tidak memiliki motivasi berprestasi tinggi akan enggan melakukannya. Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menyukai tugas-tugas yang menantang serta berani mengambil resiko yang diperhitungkan untuk mencapai suatu sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas dengan taraf kesulitan sedang dan dianggap realistis dengan kemampuannya untuk melakukan tuntutan pekerjaan. b. Bertanggung jawab secara pribadi atas kinerjanya Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memilih untuk bertanggung jawab secara pribadi terhadap kinerjanya. Mereka akan memperoleh

17 kepuasan setelah melakukan sesuatu yang lebih baik dengan tanggung jawabnya. Mereka juga mempunyai kecenderungan untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum selesai. c. Menerima umpan balik Umpan balik merupakan aspek penting dalam proses motivasi karena dapat memberikan informasi apakah seseorang hasil kerjanya telah berhasil mencapai seperti apa yang diharapkan. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi menganggap umpan balik sebagai hadiah karena mereka ingin mengetahui seberapa baik mereka mengerjakan tugas tersebut serta dapat dengan mudah menentukan apakah dirinya berkembang atau tidak ketika bekerja. Mangkunegara (2011) berpendapat bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi ditandai dengan: a. Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi, individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi selalu bertanggung jawab atas keberhasilan atau tidaknya tindakan yang diambil dalam sesuatu hal. b. Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya, individu selalu memiliki kemampuan dalam hal penyusunan tugas dan segala sesuatunya akan dikerjakan dan diselesaikan sesuai apa yang dijanjikannya, hal ini terkait dengan efektivitas individu terhadap pekerjaannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi akan memiliki efektivitas pada program yang telah disusunya hingga dapat diselesaikan secara singkat dan tetap menghasilkan hasil yang memuaskan.

18 c. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya, individu selalu mengambil risiko yang dapat menjadikan dirinya berpeluang untuk lebih berprestasi. Hal tersebut yang terjadi jika individu memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. d. Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan, individu selalu berusaha menyelesaikan tugas yang sudah dipilih dengan hasil yang memuaskan karena individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan mengerahkan segala kemampuannya untuk berprestasi. e. Mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu, individu selalu ingin menjadi yang lebih baik sehingga memiliki keinginan untuk menguasai segala hal yang masih dapat mencakup kemampuan yang di miliki diri individu tersebut. Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek diatas menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan aspek-aspek tentang motivasi berprestasi yaitu menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009) adalah memiliki tanggung jawab yang besar, mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya, adanya kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat dalam melakukan tugasnya, berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif. Sedangkan aspekaspek motivasi berprestasi menurut Robbins & Judge (2007) yaitu menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang, bertanggung jawab secara pribadi atas kinerjanya, dan menerima umpan balik. Selain, kedua tokoh tersebut Mangkunegara (2011) memberikan aspek-aspek individu yang memiliki motivasi

19 berprestasi yang tinggi yaitu memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi, memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang untuk merealisasikannya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil risiko yang dihadapinya, melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan, dan mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu. Penjelasan dari aspek-aspek diatas, maka peneliti memilih aspek menurut McClelland yaitu memiliki tanggung jawab yang besar, mempergunakan feed back (umpan balik) dalam perbuatannya, adanya kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat dalam melakukan tugasnya, berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif. Peneliti memilih aspek tersebut karena lebih komprehensif dan aspek-aspek tersebut mengarahkan kepada individu untuk memiliki sikap yang tidak mudah menyerah dalam mencapai kesuksesan dengan menentukan standar prestasi dari dirinya sendiri. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi McClelland (1987) mengatakan bahwa motivasi berprestasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi : a. Kemungkinan untuk sukses, Situasi dimana individu akan mengejar kesuksesan secara maksimal untuk mendapatkan kepuasan dari melakukan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya

20 sendiri. Ketika situasi tersebut memungkinkan untuk sukses pada individu tersebut, maka individu akan semakin termotivasi untuk berprestasi. b. Ketakutan akan kegagalan, Mengacu pada perasaan individu tentang ketakutan akan sebuah kegagalan sehingga akan membuat individu untuk semakin termotivasi mencari upaya agar dapat mengatasi kegagalan dan meningkatkan motivasinya untuk berprestasi. c. Value, Value merupakan nilai ketika individu akan mencapai tujuan dan tujuan tersebut benar-benar bernilai baginya, maka akan semakin termotivasi untuk berprestasi dalam hal ini individu akan cenderung melihat uang sebagai value yang dijadikan tujuan bagi individu untuk termotivasi berprestasi. d. Self-efficacy, Mengarah pada keyakinan individu pada dirinya sendiri untuk mampu mencapai keberhasilan. Semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang maka individu akan semakin termotivasi untuk berprestasi. e. Usia, Usia dapat menjadikan seorang individu memiliki perkembangan ego, kematangan emosi dan kematangan berfikir sehingga seorang individu dapat menggunakan kematangan usianya untuk termotivasi agar dapat berprestasi. f. Pengalaman, Pengalaman mampu menjadikan seorang individu mengingat kemampuan yang dimiliki pada masa lalu, memiliki keberagamaan akan sesuatu yang

21 diperoleh dari pengalamannya, dan dijadikan sebagai acuan untuk membantunya lebih termotivasi untuk berprestasi. g. Jenis kelamin Jenis kelamin mempengaruhi individu dalam memperoleh prestasi. Pria lebih memiliki motivasi berprestasi dibandingkan wanita didasari pada jenis kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan, pria lebih memiliki pekerjaan yang lebih beragam dibanding wanita. Sementara faktor eksternal meliputi: a. Lingkungan Lingkungan mempengaruhi motivasi orang-orang yang berada di sekitarnya. Motivasi individu akan menurun jika kondisi lingkungannya tidak mendukung individu yang berada di dalamnya. Dalam organisasi ataupun perusahaan, seorang pegawai dapat memiliki motivasi berprestasi apabila dalam lingkungan organisasi atau perusahaan tersebut terjadi interaksi antar pegawai. Interaksi tersebut dapat berlangsung pada seorang pegawai dengan pegawai yang lainnya dan juga dengan atasan. Motivasi berprestasi individu meningkat dipengaruhi oleh anggota yang berada dalam lingkungan perusahaan tersebut. b. Sosial Faktor sosial yaitu faktor yang menjelaskan tentang pengaruh dari orangorang disekitar individu. Pengaruh motivasi individu dipengaruhi oleh orangorang di sekitarnya/kelompok. Motivasi individu akan menurun jika satu atau dua anggota kelompok tidak memiliki kemampuan kerja kelompok yang baik. Seperti dalam suatu kelompok jika individu satu dengan yang lainnya tidak memiliki

22 hubungan yang baik maka akan menurunkan motivasi individu yang berada dikelompok tersebut. c. Hubungan individual Hubungan individual menjelaskan faktor-faktor dari dalam diri individu yang mempengaruhi motivasi seseorang. Faktor-faktor tersebut antara lain mencakup kemampuan, talenta, keahlian, dan pengetahuan. Kemampuan tersebut yang menjadi bekal bagi individu untuk memiliki hubungan antar individu satu dengan individu lainnya. Ketika individu memiliki intensitas hubungan maka individu tersebut memiliki objek dan termotivasi untuk mengembangkan kemampuannya agar lebih baik dari individu lainnya. Selain itu menurut Mangkunegara (2011), faktor-faktor motivasi berprestasi dibagi menjadi dua faktor diantaranya: a. Tingkat kecerdasan (IQ) Orang yang mempunyai motivasi prestasinya tinggi bila memiliki kecerdasan yang memadai. Hal ini karena IQ merupakan kemampuan potensi, apabila terpenuhi maka individu akan mengerahkan segala kemampuannya dan kemampuannya dapat tersalurkan dengan baik untuk mencapai tujuannya secara maksimal. b. Kepribadian Kepribadian yang dewasa akan mampu mencapai prestasi yang maksimal. Hal ini dikarenakan kepribadian merupakan kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan fungsi psiko-fisiknya yang sangat menentukan dirinya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

23 Berdasarkan uraian tentang faktor-faktor diatas menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan faktor-faktor tentang motivasi berprestasi yaitu menurut McClelland (1987). Ada dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi kemungkinan untuk sukses, ketakutan akan kegagalan, value, selfefficacy, usia, pengalaman dan jenis kelamin. Sementara, faktor ekstrinsik meliputi lingkungan sekolah, sosial dan hubungan individual. Selain itu faktor faktor motivasi berprestasi juga dijelaskan oleh Mangkunegara (2011) yaitu dibagi menjadi dua faktor diantaranya tingkat kecerdasan (IQ) dan kepribadian. Penjelasan dari faktor-faktor diatas, maka yang dipilih oleh peneliti adalah faktor menurut McClelland. Ada dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi kemungkinan untuk sukses, ketakutan akan kegagalan, value, self-efficacy, usia, pengalaman dan jenis kelamin. Sementara, faktor ekstrinsik meliputi lingkungan sekolah, sosial dan hubungan individual. Peneliti memilih faktor sosial. Faktor sosial yang dimaksud yaitu persepsi terhadap kohesivitas kelompok karena faktor sosial mempunyai pengaruh pada motivasi individu yang berada di dalam suatu kelompok. kohesivitas kelompok diukur melalui persepsi anggota terhadap tingkat kohesivitas kelompoknya. B. Persepsi terhadap kohesivitas kelompok 1. Pengertian Persepsi terhadap Kohesivitas kelompok Robbins (1996) mendefinisikan persepsi adalah sebuah proses di mana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka melalui panca indera untuk memberikan arti bagi lingkungan mereka. Menurut Walgito

24 (2003) persepsi yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Sehingga persepsi dapat didefinisikan dengan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang menyeluruh dari dalam diri individu. Baron & Bryne (2003), mengatakan bahwa persepsi merupakan proses yang digunakan oleh individu untuk mencoba mengetahui dan memahami perilaku orang lain. Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa agar individu dapat menyadari dan mengadakan persepsi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu (a) adanya objek yang harus dipersepsi, (b) adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi, (c) adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus dan (d) saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon. Berbagai uraian tentang persepsi diatas maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah penilaian yang dilakukan individu berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera dengan menafsirkan informasi tersebut hingga menghasilkan arti bagi lingkungan mereka. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar individu dapat menyadari dan mengadakan persepsi salah satunya adanya objek yang harus dipersepsi dan objek yang akan dipersepsi adalah individu dalam kelompok antara lain kohesivitas kelompok.

25 Carron, Bray, & Eys (2002) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai proses dinamis yang terlihat melalui kecenderungan kelekatan dan kebersatuan kelompok dalam pemenuhan tujuan atau keputusan anggota kelompok. Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai tingkat ketertarikan antar anggota kelompok, sehingga dapat bertahan di dalamnya dengan menjadi seperti orang-orang di dalam kelompok tersebut. Kesamaan dengan orang-orang di dalam satu kelompok tersebut akan menjadikan anggota satu lebih kompak dengan anggota lain dalam kehidupan berkelompok. Menurut Levi (2001) mendefinisikan cohesiveness yaitu peningkatan komitmen, interaksi dan ketertarikan pada diri individu untuk bergabung di dalam suatu kelompok. Walgito (2003) kohesivitas kelompok merupakan interaksi antara anggota kelompok yang dapat saling mempengaruhi, saling menyukai dan melekat satu sama lain hoingga menyelesaikan tugas yang merupakan tujuan dari kelompok tersebut. Beberapa uraian diatas yang menjelaskan tentang kohesivitas kelompok maka dapat disimpulkan bahwa kohesivitas kelompok merupakan daya tarik emosional sesama anggota kelompok dimana adanya rasa kelekatan dan kebersatuan kelompok secara bersama-sama saling mendukung untuk tetap bertahan dalam kelompok demi pencapaian tujuan. Berdasarkan penjelasan diatas maka penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terhadap kohesivitas kelompok diukur melalui persepsi anggota terhadap tingkat kohesivitas kelompoknya. Persepsi terhadap kohesivitas kelompok merupakan penilaian yang dilakukan individu berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera terhadap

26 anggota kelompok yang menunjukkan sejauh mana kelompoknya memiliki kecenderungan untuk terus bersama, bersatu dan mempertahankan kesatuan untuk mencapai tujuan. 2. Aspek-aspek Persepsi terhadap Kohesivitas Kelompok Carron, Bray, & Eys (2002) mengemukakan bahwa ada empat aspek kohesivitas kelompok, yaitu: a. Ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask) adalah individu tertarik terhadap tujuan kelompok dan kinerja kelompok terutama pada suatu tugas untuk kepentingan kelompok. Tugas tersebut memiliki kepentingan pada tujuan terhadap kelompok. Ketika dalam kelompok, anggota kelompok tersebut memiliki kenyamanan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan kelompok. b. Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social) adalah individu tertarik terhadap kelompok yang diikutinya. Ketika dalam kelompok memiliki agenda rutin untuk kumpul bersama, maka anggota tersebut memiliki rasa nyaman untuk hadir dalam agenda tersebut. c. Kesatuan kelompok dalam tugas (group integration-task) adalah keseluruhan anggota kelompok memiliki keinginan untuk mencapai tujuan secara bersama-sama. Anggota kelompok sama-sama memiliki keinginan bahwa kegiatan-kegiatan dan tugas yang di kerjakan demi mencapai tujuan kelompok. d. Kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social) adalah keseluruhan anggota kelompok memiliki kedekatan dan ikatan satu sama lain.

27 Kelompok sebagai sarana interaksi bagi seluruh anggota kelompok yang dapat menumbuhkan kenyamanan dan lebih dari tempat mencapai tujuan kelompok tersebut. Menurut Levi (2001) aspek-aspek kohesivitas kelompok diantaranya: a. Komitmen terhadap kelompok Kohesivitas kelompok yang tinggi memiliki anggota yang berkomitmen tinggi terhadap kelompoknya. Selalu berada di dalam kelompoknya dalam kondisi dan situasi apapun. b. Menyukai tugas yang dilakukan kelompok Individu yang memiliki kohesivitas tinggi akan menyukai tugas-tugas yang ada di dalam kelompoknya. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan hingga tercapainya tujuan dari kelompok tersebut. c. Menikmati proses kerja sama di dalam kelompok Kelompok yang memiliki kohesivitas yang tinggi, di dalamnya memiliki individu yang keinginan lebih besar untuk bekerja sama agar tercapainya tujuan dari kelompok. d. Memiliki keterlibatan pribadi di dalam kelompok Individu memiliki kelompok tersebut sehingga individu merasa kelompoknya merupakan salah satu bagian dari keluarga, tim atau komunitasnya. Aspek lain yang juga mempengaruhi kohesivitas kelompok dikemukakan oleh Walgito (2003), adalah: a. Individu mempunyai komitmen untuk bergabung dengan kelompok, dalam kelompok yang kohesivitasnya tinggi, setiap anggota kelompok tersebut

28 memiliki komitmen yang tinggi untuk mempertahankan kelompoknya dalam keadaan kelompok tersebut sedang baik ataupun dalam keadaan dilanda masalah. b. Individu tertarik dengan kelompok, kelompok yang kohesivitasnya tinggi memiliki individu yang memiliki ketertarikan terhadap kelompoknya sehingga individu tersebut memilih untuk masuk di dalam kelompok. c. Kesamaan tujuan untuk menyelesaikan tugas, jumlah anggota berkorelasi positif dengan pelaksanaan tugas. Yakni, makin banyak anggota makin besar jumlah pekerjaan yang diselesaikan. Sehingga semakin banyak tugas yang ada maka pemenuhan untuk timbulnya kohesivitas yang tinggi akan terbuka lebar. d. Adanya interaksi yang positif di dalam kelompok, kesempatan untuk melakukan interaksi sosial dengan orang lain harus dapat saling toleran, menghormati dan menyayangi orang lain serta bersikap santun. Tujuannya agar interaksi sosial yang dilakukan dapat menciptakan suasana yang tertib, teratur, dan dinamis di dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menimbulkan kondisi kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi. Berdasarkan uraian tentang aspek-aspek diatas menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan aspek-aspek tentang persepsi terhadap kohesivitas kelompok yaitu menurut Carron, Bray, & Eys (2002) adalah ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask), ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social), kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), dan kesatuan kelompok secara

29 sosial (group intregation-social). Sedangkan aspek-aspek persepsi terhadap kohesivitas kelompok menurut Levi (2001) yaitu komitmen terhadap kelompok, menyukai tugas yang dilakukan kelompok, menikmati proses kerja sama di dalam kelompok, memiliki keterlibatan pribadi di dalam kelompok. Aspek lain yang juga mempengaruhi kohesivitas kelompok dikemukakan oleh Walgito (2003) diantaranya individu mempunyai komitmen untuk bergabung dengan kelompok, individu tertarik dengan kelompok, kesamaan tujuan untuk menyelesaikan tugas, dan adanya interaksi yang positif di dalam kelompok. Berdasarkan aspek-aspek kohesivitas kelompok diatas maka peneliti memilih aspek menurut Carron, Bray, & Eys (2002) yaitu ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask), ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social), kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), dan kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social). Beberapa penelitian sebelumnya juga menggunakan aspek kohesivitas kelompok menurut Carron, dkk (2002) seperti penelitian (Saidah, 2016). C. Hubungan antara Persepsi terhadap Kohesivitas Kelompok dengan Motivasi Berprestasi pada Atlet Sepak Bola Robbins (1996) mendefinisikan persepsi adalah sebuah proses di mana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka melalui panca indera guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Sedangkan kohesivitas kelompok menurut Carron, Bray, dan Eys (2002) adalah proses

30 dinamis yang terlihat melalui kecenderungan kelekatan dan kebersatuan kelompok dalam pemenuhan tujuan atau keputusan anggota kelompok. Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai tingkat ketertarikan antar anggota kelompok, sehingga dapat bertahan di dalamnya dengan menjadi seperti orang-orang di dalam kelompok tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa persepsi terhadap kohesivitas kelompok adalah penilaian yang dilakukan individu berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera terhadap anggota kelompok yang menunjukkan sejauh mana kelompoknya memiliki kecenderungan untuk terus bersama, bersatu dan mempertahankan kesatuan untuk mencapai tujuan. Kohesivitas kelompok sangat berpengaruh terhadap motivasi berprestasi. Hal ini di perjelas oleh (Sakdiah dan Astuti, 2015) bahwa kohesivitas kelompok memiliki pengaruh positif dengan motivasi berprestasi pada atlet. Kohesivitas kelompok ditunjukkan di saat atlet sedang peformance dan dampak dari adanya hal tersebut motivasi berprestasi atlet meningkat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Suryabrata (dalam Sakdiah dan Astuti, 2015) atlet sepak bola dianjurkan untuk memiliki interaksi sesama atlet sepak bola lainnya. Berdasarkan interaksi tersebut timbul suatu persepsi. Persepsi akan timbul apabila ada objek yang dipersepsi (Sunaryo, 2004). Objek persepsi adalah antara individu sebagai atlet sepak bola dengan kelompok atau tim yang dibelanya. Persepsi yang positif pada individu terhadap kohesivitas kelompok membuat antar atlet sepak bola merasakan kesatuan anggota dalam tim untuk tetap terikat, menyatu atau tetap tinggal dalam tim dan mencegahnya meninggalkan tim (Walgito, dalam Sakdiah dan Astuti,

31 2015). Sebaliknya, bila atlet sepak bola memiliki persepsi negatif terhadap kohesivitas kelompoknya maka yang terjadi adalah atlet sepak bola tersebut merasa tidak nyaman di dalam kelompoknya, dan ingin meninggalkan kelompoknya untuk mencari kelompok yang baru. Carron, Bray, dan Eys (2002) menjelaskan kohesivitas kelompok terbagi menjadi empat aspek yaitu ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask), ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social), kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), dan kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social). Motivasi berprestasi menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), yaitu usaha pada tiap individu dalam mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjalankan semua kegiatan yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai target-target tertentu yang harus dicapainya. Sedangkan menurut Robbins & Judge (2007), motivasi berprestasi sebagai dorongan individu dalam melakukan sesuatu secara maksimal dengan menggunakan seluruh kemampuannya untuk unggul dari individu yang lainnya hingga individu tersebut mencapai kesuksesan. Lebih lanjut McClelland (1987), membagi aspek-aspek motivasi berprestasi menjadi empat yaitu mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya, mencari feed back (umpan balik) tentang perbuatannya, kecenderungan untuk memilih resiko yang moderat atau sedang dalam melakukan tugasnya, berusaha melakukan sesuatu dengan cara baru (inovatif) dan kreatif. Ketertarikan individu pada tugas kelompok (individual attractions to the grouptask), merupakan daya tarik individu terhadap tujuan kelompok dan kinerja

32 kelompok terutama pada suatu tugas untuk kepentingan kelompok (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Ketertarikan individu pada tugas kelompok juga dapat diartikan individu tertarik terhadap tujuan kelompok dan kinerja kelompok terutama pada suatu tugas untuk kepentingan kelompok (Safitri dan Arninda, 2012). Pada atlet sepak bola, apabila ketertarikan individu pada tugas kelompok dapat di persepsikan positif maka setiap individu di dalam anggota kelompok akan memandang bahwa, segala sesuatu hal yang dikerjakan di dalam kelompok akan berdampak kepada pemenuhan tujuan dari kelompok tersebut. Dampak kepada atlet sepak bola adalah kohesivitas di dalam kelompok tersebut dapat meningkat hingga berpengaruh kepada peningkatan motivasi berprestasi setiap atlet sepak bola (Sakdiah dan Astuti, 2015). Sebaliknya, apabila ketertarikan individu pada tugas kelompok di persepsikan negatif maka yang terjadi adalah setiap atlet tidak akan peduli terhadap pemenuhan tujuan dari kelompok, atlet akan mementingkan dirinya sendiri dan tujuan dari tim sukar untuk tercapai (Muniroh, 2013). Dampaknya dapat meluas ke atlet-atlet lainnya dan dapat menyebabkan penurunan motivasi berprestasi. Ketertarikan individu pada kelompok secara sosial (individual attractions to the group-social), merupakan individu yang tertarik terhadap kelompok yang diikutinya. (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Selain itu, ketertarikan individu pada kelompok secara sosial adalah dorongan kekuatan atau keinginan individu untuk tetap berada dikelompoknya berdasar kepada penerimaan dirinya secara baik di dalam kelompoknya (Muniroh, 2013). Pada atlet sepak bola, ketertarikan individu pada kelompok secara sosial apabila dapat di persepsikan secara positif maka atlet

33 sepak bola akan cenderung aktif dalam berinteraksi dengan sesama anggota kelompoknya seperti pada saat evaluasi yang diadakan pelatih dengan bertanya maupun memberikan pendapat mengenai pola permainan kelompok dan kemampuan individu dalam kelompok (Sakdiah dan Astuti, 2015). Dampaknya terjadi peningkatan kohesivitas kelompok diikuti dengan meningkatnya motivasi berprestasi dikarenakan interaksi antar individu terjalin dengan baik hingga mengarah ke peformance saat bertanding, tidak terjadi miss komunikasi antar atlet sepak bola ketika pertandingan dan menimbulkan rasa percaya diri antar sesama atlet sepak bola sehingga dapat meraih hasil pertandingan yang baik (Sakdiah dan Astuti, 2015). Sebaliknya, apabila ketertarikan individu pada kelompok secara sosial di persepsikan negatif maka yang terjadi adalah setiap atlet pasif, jarang berinteraksi, atlet akan menjadi individualis yang sebagaimana mestinya atlet sepak bola bekerja bersama tim (Kurniawati, 2016). Dampaknya dapat meluas ke atlet-atlet lainnya dan dapat menyebabkan kondusifitas di dalam tim bermasalah dan mengarah ke penurunan motivasi berprestasi. Kesatuan kelompok dalam tugas (group intregation-task), adalah keseluruhan anggota kelompok memiliki keinginan untuk mencapai tujuan secara bersama-sama. (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Penjelasan lain tentang kesatuan kelompok dalam tugas adalah individu memiliki keinginan yang lebih besar untuk bekerja sama dalam pemenuhan tujuan kelompok (Muniroh, 2013). Ketika kesatuan kelompok dalam tugas dapat di persepsikan secara positif maka akan berdampak kepada berjalannya kerja sama secara baik di dalam kelompok. Hal ini jika dikaitkan dengan atlet sepak bola, maka dapat meningkatkan hasil dari

34 pemenuhan tujuan kelompok. Atlet sepak bola yang notabene merupakan atlet cabang olahraga beregu dan mengandalkan kolektivitas serta kerja sama tim akan membutuhkan anggota-anggotanya memiliki kemauan untuk menyelesaikan pertandingan dengan hasil yang baik (Sakdiah dan Astuti, 2015). Dampaknya akan meningkatkan kohesivitas secara kerja sama tim dan beriringan dengan meningkatnya motivasi berprestasi dengan memiliki kemauan untuk menyelesaikan pertandingan dengan hasil yang baik. Sebaliknya, apabila kesatuan kelompok dalam tugas di persepsikan negatif dampaknya kondisi dalam tim mengalami penurunan motivasi berprestasi karena tidak ada atlet yang peduli terhadap tujuan kelompok, seharusnya dalam olahraga seperti sepak bola dibutuhkan kerja sama tim yang baik. Apabila tidak ada kerja sama tim yang baik maka timbul permasalahan tidak terpenuhinya tujuan dari tim (Kurniawati, 2016). Kesatuan kelompok secara sosial (group intregation-social), keseluruhan anggota kelompok memiliki kedekatan dan ikatan satu sama lain (Carron, Bray, dan Eys, 2002). Lebih lanjut dijelaskan kesatuan kelompok secara sosial adalah individu memiliki keterkaitan terhadap kelompoknya (Kurniawati, 2016). Apabila dikaitkan dengan atlet sepak bola, perasaan saling memiliki, kedekatan antar atlet sepak bola, dan tumbuh rasa kebersamaan antar atlet sepak bola demi kelompoknya sangat dibutuhkan. Atlet akan saling bercerita mengenai pengalaman kompetisi maupun mengenai kehidupan mereka diluar kompetisi dan latihan, menumbuhkan juga rasa percaya terhadap rekan satu tim sehingga membuat atlet fokus pada permainan untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok atlet yang mempersepsikan kesatuan kelompok secara sosial dengan baik

35 cenderung akan melakukan kerjasama secara terorganisir. Maka hasil yang di dapat beriringan dengan tujuan kelompoknya (Sakdiah dan Astuti, 2015). Atas dasar itu jika aspek ini dapat di persepsikan secara positif maka meningkatkan kohesivitas kelompok serta beriringan dengan meningkatnya motivasi berprestasi. Sebaliknya, apabila kesatuan kelompok secara sosial di persepsikan negatif yang terjadi kepedulian terhadap tim menurun karena setiap atlet tidak merasa memiliki atau tidak merasa bangga dalam membela timnya (Sakdiah dan Astuti, 2015). Dampaknya, muncul kesenjangan dan mengakibatkan tidak adanya komunikasi yang terjalin dengan baik antar sesama atlet di dalam tim. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sakdiah dan Astuti (2015) terhadap 149 atlet cabang olahraga sepakbola diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara kohesivitas kelompok dengan motivasi berprestasi pada atlet cabang olahraga beregu. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan Safitri dan Arninda (2012) terhadap 80 pegawai kelurahan di Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa hubungan positif yang signifikan antara kohesivitas kelompok dengan motivasi kerja. Berdasarkan pemaparan aspek-aspek persepsi terhadap kohesivitas kelompok diatas dan pengaruhnya dengan motivasi berprestasi. Maka peneliti menyimpulkan bahwa persepsi terhadap kohesivitas kelompok mempunyai hubungan positif dengan motivasi berprestasi. Ketika persepsi terhadap kohesivitas kelompok meningkat maka diiringi dengan meningkatnya motivasi berprestasi pada atlet sepak bola. Begitupun sebaliknya, ketika persepsi terhadap

36 kohesivitas kelompok menurun maka diiringi dengan menurunnya motivasi berprestasi pada atlet sepak bola. D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka diajukan hipotesis penelitian yaitu terdapat hubungan yang positif antara persepsi terhadap kohesivitas kelompok dengan motivasi berprestasi pada atlet sepak bola. Semakin positif persepsi terhadap kohesivitas kelompok maka semakin tinggi juga motivasi berprestasi pada atlet sepak bola, sebaliknya semakin negatif persepsi terhadap kohesivitas kelompok maka semakin rendah juga motivasi berprestasi pada atlet sepak bola.