BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan, sementara stres itu sendiri akan menurunkan kualitas daging. Stres dapat diartikan kegagalan adaptasi suatu individu terhadap lingkungannya sehingga muncul gangguan homeostasis. Gangguan homeostasik ini akan terekspresikan dengan simtom penyakit fisik dan mental (Adzitey, 2011). Hewan yang mengalami stres sebelum proses pemotongan akan menurunkan kadar glikogen. Ketika hewan telah disembelih, glikogen di tubuh akan diubah menjadi asam laktat, dan otot akan menjadi kaku (rigor mortis). Keberadaan asam laktat inilah yang menyebabkan kualitas daging baik dari segi citra rasa, kekenyalan, dan juga warna. Jika hewan stres, glikogen yang ada akan dilepaskan ke aliran darah, sehingga keberadaan asam laktat di otot berkurang setelah proses pemotongan. Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari organisme yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan eksternal. Beragam hal terkait penyebab stres pada hewan seperti kandang dengan kepadatan tinggi, kondisi tranportasi ternak yang dilakukan tidak tepat, serta teknik restraint yang tidak tepat justru menyebabkan hewan semakin stres. Hewan dengan kondisi stres mengalami perubahan fisiologis seperti denyut jantung, tekanan darah, suhu tubuh, dan pernafasan. Beberapa hormon stres akan dikeluarkan melalui jalur saraf seperti epinefrine dan noreephinefrine 1
(katekolamin). Epinefrine akan membantu perombakan glikogen (yang disimpan di hati dan otot) menjadi glukosa. Energi yang tersimpan berupa glukosa dan oksigen akan dikonversi menjadi energi pada otot hewan. Hasil produk samping dari proses konversi ini adalah karbondioksida dan air. Ketika otot tidak mempunyai energi, maka hasil samping berupa asam laktat dan air (Ferguson & Warner, 2008). Stres kronik akan menstimulasi pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Selanjutnya ACTH akan menstimulasi kelenjar adrenal untuk mensintesis dan mensekresikan hormone kortisol. Kortisol menstimulasi hati agar membentuk enzim, yang berfungsi dalam mengkonversi asam amino ke dalam bentuk glukosa (gluconeogenesis), selain itu juga meningkatkan kerja glukagon dan growth hormone. Glukosa dari glukoneogenesis masuk ke dalam darah sehingga kadar gula darah meningkat (Engler et al., 1989, Walker et al., 2008; Kvetnansky et al., 2009). Hormon kortisol juga akan memacu proses glikogenolisis dan glikolisis pada hati dan otot serta menghambat sintesis glikogen. Hal ini akan menyebabkan cadangan glikogen dalam otot dapat berkurang atau habis (Swatland, 1984, Tarrant, 1989). Glikogen otot yang rendah saat ternak dipotong akan meningkatkan derajat keasaman daging, yang menyebabkan laju respirasi mitokondria juga tinggi dan deoksigenasi mioglobin sehingga daging akan menjadi berwarna merah gelap (Ashmore et al., 1973). Menurut Adzitey (2011) perlakuan prapenyembelihan yang mengabaikan kesejahteraan hewan pada domba, yang mengakibatkan stres akan menghasilkan daging yang kurang empuk. 2
Katekolamin adalah amina biogenik yang disintesis dari asam amino tirosin melalui produk antara berupa dihydroxyphenilalanine (DOPA). Katekolamin, disintesis terutama di medula adrenal dan ujung saraf dari sistem saraf sympthetic. Di sini mereka disimpan dalam granula dan dilepaskan setelah ada rangsangan tertentu. Katekolamin berikatan dengan reseptor membran spesifik pada sel target dan dipecah cepat oleh berbagai enzim salah satunya adalah Phenilethanolamine N-methyltranferase. Peran utama katekolamin adalah membantu tubuh dalam merespon stres akut dan kronis. Adrenalin mempengaruhi terutama otot jantung dan metabolisme, sementara itu noradrenalin bertindak sebagai vasokonstriktor pada arteri perifer (Kvetnansky et al., 2009; Walker et al., 2008). Selama ini, kondisi stres pada hewan diketahui dengan mengukur kadar kortisol dalam darah maupun saliva dengan metode enzym-linked immunosobent assay (ELISA). Meskipun hasilnya akurat namun proses pengukuran secara invasif merupakan suatu cara yang dianggap mahal, kurang praktis, serta mempunyai tenggang waktu tertentu sehingga pemeriksaan hewan stres tidak pernah dilakukan. Oleh karena itu perlu suatu kajian untuk merancang alat detektor stres yang lebih praktis dan murah dengan mengembangkan metode non invasif berdasarkan metode Spectrosscopy Fourier Transform Infrared (FTIR). Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR) adalah suatu teknik yang digunakan untuk memperoleh spektrum penyerapan inframerah, fotokonduktivitas emisi dari cairan, padat atau gas. Spektrometer FTIR mampu memeberikan data spektral dalam berbagai spektrum yang luas. Hal ini memberikan keuntungan 3
signifikan dibandingkan spektrometer dispersif yang mengukur intensitas pada panjang gelombang dengan rentang sempit pada suatu waktu (Deleris dan Petibois, 2003; Sjahfirdi et al., 2012). Penggunaan Spektroskopi Inframerah untuk aplikasi biomedis telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Fourier Transform Infra Red (FTIR) bersifat non-invasif, tidak memerlukan reagen diagnostik dalam analisis cairan biologis. FTIR dapat digunakan dalam penyelidikan kualitatif dan kuantitatif dari cairan biologis seperti darah, serum, air liur, urine dll. Sebagai contoh, Sjahfirdi (2012) melakukan pengujian hormone reproduksi pada tikus yang sedang estrus menggunakan metode FTIR. Pola-pola penyerapan memberikan dasar untuk membedakan antara konstituen dan secara terpisah mampu menganilis konsentrasinya. Prinsip kerja FTIR adalah mengenali komponen dalam suatu senyawa, maka FTIR diharapkan juga dapat mengenali kelompok komponen pada katekolamin dan kortisol seperti keton (=O) dan methyl (=CH3). Selanjutnya setiap kelompok komponen akan di deteksi dalam panjang gelombang dan nilai absorbansi yang berbeda. Teknik ini memiliki keuntungan karena hanya membutuhkan yang sampel sedikit, presisi yang baik, biaya murah (Sjahfirdi et al., 2012). Dari uraian diatas akan dilakukan inisiasi terobosan pengembangan detektor stres dengan metode berbasis FTIR yang cepat, mudah dan akurat. Meskipun masih dalam tahap rintisan namun diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam tahap berikutnya. 4
B. Permasalahan Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat, terjadi peningkatan kebutuhan akan produk pangan asal hewan berupa daging. Hal ini menuntut pengelola produsen daging untuk menyediakan secara cepat. Untuk memenuhi tututan tersebut terkadang melalaikan kaidah kesejahteraan hewan dan juga sarana prasarana yang tidak memadai sehingga menyebabkan hewan potong mengalami stres. Kesejahteraan hewan merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal pengelolaan hewan pada industri rumah potong hewan, karena hal ini dapat mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Perlakuan hewan yang tidak sesuai akan berpengaruh terhadap fungsi biologis yang menyebabkan hewan stres. Menurut Manteca (2008) beberapa parameter stres dapat diketehui dengan mengukur tingkat glukokortikoid plasma, katekolamin, prolaktin dan endorfin, detak jantung dan tingkat neurotransmitter otak dari hewan. Stres adalah konsekuensi tak terelakkan dari proses pemindahan hewan dari tempat pemelihraan (kegiatan prapenyembelihan) ke tempat penyembelihan. Tahap prapenyembelihan meliputi kondisi dan perlakuan selama dalam pemeliharaan, transportasi, pemasaran dan pada saat penyembelihan (Ferguson & Warner, 2008). Untuk itu pengelolaan hewan sebelum penyembelihan dengan memperhatikan kesejahteraan hewan mutlak diperlukan dan dilaksanakan secara benar. Informasi kondisi hewan (stres atau tidak stres) diperlukan untuk menentukan perlakuan dan pengelolaan hewan di dalam industri rumah potong. 5
Selama ini, kondisi stres pada hewan diketahui dengan mengukur kadar kortisol dalam darah maupun saliva dengan method enzym-linked immunosobent assay (ELISA). Meskipun hasilnya akurat namun proses pengukuran secara invasif merupakan suatu cara yang dianggap mahal, kurang praktis, serta mempunyai tenggang waktu tertentu sehingga pemeriksaan hewan stres tidak pernah dilakukan. Penggunaan sampel serum maupun plasma dalam analisis kortisol dan katekolamin dimungkinkan menghasilkan data yang bias yang disebabkan mekanisme pengambilan sample yang menyebabkan stres pada hewan coba. Selain hal tersebut belum ada data yang komprehensip mengenai rentang dan batasan nilai indikator stres (kortisol dan katekolamin) pada hewan ternak khususnya sapi pada kondisi prapenyembelihan maupun saat penyembelihan. Oleh karena itu perlu suatu kajian untuk memperoleh rentang dan batasan nilai indikator stres (kortisol dan katekolamin) sebagai dasar dalam merancang detektor stres yang lebih praktis dan murah dengan metode non invasif berdasarkan metode Spectrosscopy Fourier Transform Infrared (FTIR). C. Keaslian Penelitan. Penggunaan Spektroskopi Inframerah untuk aplikasi biomedis telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spektroskopi adalah metode non-invasif dan murah karena tampa reagen diagnostik dalam analisis cairan biologis. Hasil dapat digunakan dalam penyelidikan kualitatif dan kuantitatif dari cairan biologis seperti darah, serum, air liur, urine dll. Analisis berbasis IR dapat dilakukan dengan cepat dan tanpa reagen tertentu (Shaw et al., 1998; Heise et al., 1998; Heise, 1994; Deleris & Petibois, 6
2003). Selain itu Sjahfirdi et al., 2012, melakukan pengujian hormone reproduksi pada tikus yang sedang estrus menggunakan metode FTIR. Multi-komponen plasma manusia telah dievaluasi untuk penentuan substrat darah (Rohleder et al., 2005). Shaw et al., (2005) telah menggunakan teknik ini untuk kuantifikasi urea, kreatinin dan protein total dari sampel darah kering. Petibois et al., (2000) menganalisis glukosa dalam sampel serum. Gunasekaran et al., (2007) mempelajari gangguan lipid dalam sampel darah wanita dan sampel darah gagal ginjal. Meskipun demikian penelitian mengenai estimasi stres melalui analisis spektra infrared urin dan serum darah Sapi PO menggunakan Fourier Transform Infrared (FITR) sebagai inisisasi pembuatan detektor stres belum pernah dilakukan. Selama ini, kondisi stres pada hewan diketahui dengan mengukur kadar kortisol dalam darah maupun dalam saliva dengan metode enzym-linked immunosobent assay (ELISA). Meskipun hasilnya akurat namun proses pengukuran secara invasif merupakan suatu cara yang dianggap mahal, kurang praktis, serta mempunyai tenggang waktu tertentu sehingga pemeriksaan hewan stres tidak pernah dilakukan. Oleh karena itu perlu suatu kajian untuk merancang alat detektor stres yang lebih praktis dan murah dengan mengembangkan metode non invasive berdasarkan metode Spectrosscopy Fourier Transform Infrared (FTIR). D. Tujuan Penelitian: 1. Melakukan pengujian kadar katekolamin dan kortisol dalam serum darah dan urine sapi pada kondisi tidak stres dan saat stres akut dengan menggunakan metode ELISA. 7
2. Melakukan analisis spektra infrared sampel serum darah dan urin dengan metode FTIR. 3. Membuat analisis korelasi data kosentrasi katekolamin dan kortisol baik pada serum maupun pada urin dari hasil ELISA dibandingkan dengan spektra FTIR. E. Manfaat Penelitian: 1. Memperoleh rentang dan batasan kadar katekolamin dan kortisol dalam sample urin dan serum darah sapi pada kondisi prapenyembelihan dan saat penyembelihan dengan metode ELISA. 2. Memperoleh gambaran spektra infrered sample urin dan serum sapi pada kondisi prapenyembelihan dan saat penyembelihan dengan menggunakan FTIR. 3. Pemanfaatan FTIR dalam menilai kondisi stres sapi. 8