Tingkat Kelangsungan Hidup

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari

Lampiran 1. Tata Letak Wadah Penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. di alam yang berguna sebagai sumber pakan yang penting dalam usaha

PENGARUH TINGKAT SUBSTITUSI TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG MAGGOT TERHADAP KOMPOSISI KIMIA PAKAN DAN TUBUH IKAN BANDENG (Chanos chanos Forsskal)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gambar 1. Udang Galah (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

APLIKASI PAKAN BUATAN UNTUK PEMIJAHAN INDUK IKAN MANDARIN (Synchiropus splendidus)

BAB II TINJUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Jamur ini bersifat heterotrof dan saprofit, yaitu jamur tiram

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

Pengaruh Pemberian Viterna Plus dengan Dosis Berbeda pada Pakan terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Lele Sangkuriang di Balai Benih Ikan Kota Gorontalo

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biologi, Habitat dan Kebiasaan Makan Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter)

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Dosis Pakan Otohime yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Kerapu Bebek di BPBILP Lamu Kabupaten Boalemo

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. (Geneticaly Improvement of Farmed Tilapia). Klasifikasi ikan nila GIFT menurut. Khoiruman dan Amri (2005) adalah sebagai berikut :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Efektivitas Suplemen Herbal Terhadap Pertumbuhan dan Kululushidupan Benih Ikan Lele (Clarias sp.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

II. TINJAUAN PUSTAKA

PEMANFAATAN TEPUNG ECENG GONDOK TERFERMENTASI SEBAGAI BAHAN BAKU DALAM PEMBUATAN PAKAN IKAN BAUNG (Mystus nemurus CV

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

Nutrisi Pakan pada Pendederan kerapu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

PENGGUNAAN TEPUNG ONGGOK SINGKONG YANG DIFERMENTASI DENGAN Rhizopus sp. SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan di air tawar dan disukai oleh masyarakat karena rasanya yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3. protein dan non protein nitrogen (NPN). Amonia merupakan bentuk senyawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH SUBTITUSI PARSIAL TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG TULANG TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus.

PENGGUNAAN TEPUNG DAGING DAN TULANG SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PROTEIN HEWANI PADA PAKAN IKAN NILA MERAH (Oreochromis niloticus) ABSTRAK

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme awal saat penebaran yang dinyatakan dalam bentuk persen dimana semakin besar nilai persentase menunjukkan makin banyak organisme yang hidup selama masa pemeliharaan tertentu dalam suatu wadah budidaya (Effendie 2002). Hasil pengamatan terhadap benih udang galah selama 30 hari menunjukkan bahwa penggunaan Artemia sebanyak 100% pada perlakuan A dan penambahan kuning telur bebek sebanyak 50% pada perlakuan C menghasilkan kelangsungan hidup tertinggi sebesar 80% (24 ekor), penambahan kuning telur bebek sebanyak 25% pada perlakuan B dan penambahan kuning telur bebek sebanyak 100% pada perlakuan E menghasilkan kelangsungan hidup masingmasing sebesar 73% (22 ekor) dan 70% (21 ekor). Sedangkan penambahan kuning telur bebek sebanyak 75% pada perlakuan D menghasilkan kelangsungan hidup terendah yaitu sebesar 63% (19 ekor) (Lampiran 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa kelangsungan hidup mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan selama 30 hari, tingkat kelangsungan hidup turun dari 100% menjadi 63% (Gambar 5). Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan Hidup (%) 100 80 60 40 20 0 80 73 Artemia 100% Artemia 75% dan KTB 25% 80 Artemia 50 % dan KTB 50% 63 Artemia 25% dan KTB 75% 70 Kuning Telur Bebek 100% Gambar 5. Diagram Tingkat Kelangsungan Hidup Rata-rata Benih Udang Galah 25

26 Penambahan kuning telur bebek sebanyak 75% (perlakuan D) pada larva ikan selais (Ompok hypophthalmus) dalam penelitian Yurisman et al. (2010), menghasilkan tingkat kelangsungan hidup terbaik, hal tersebut diduga karena sifat hidup ikan selais yang hidup pada kolom air sehingga dapat memanfaatkan Artemia dan kuning telur bebek dengan baik. Berbeda dengan udang galah yang hidup pada dasar perairan, penambahan kuning telur bebek sebanyak 50% (perlakuan C) dan pemberian Artemia sp. sebanyak 100% (perlakuan A) merupakan kombinasi perlakuan terbaik karena masing-masing menghasilkan kelangsungan hidup sebesar 80% (Lampiran 7). Kelangsungan hidup dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kebiasaan dari udang galah itu sendiri. Udang galah merupakan hewan yang memiliki daerah teritorial, dimana ia akan berusaha mengusir atau bahkan memakan udang lain yang memasuki wilayahnya, kecenderungan kanibal muncul apabila udang galah tidak memeroleh makanan yang cukup (Hadie et al. 2002). Namun, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (Tabel 6). Tabel 6. Tingkat Kelangsungan Hidup Rata-rata Benih Udang Galah Tingkat Penggunaan Tingkat Kelangsungan Kuning Telur Bebek (%) Hidup (%) A 0 80,0 a B 25 73,3 a C 50 80,0 a D 75 63,3 a E 100 70,0 a Ket: Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%. Selama penelitian kelangsungan hidup tidak dipengaruhi oleh perlakuan, tetapi kebiasaan dari udang galah itu sendiri. Keadaan udang galah yang sedang molting sangat rentan terhadap serangan udang-udang lain. Hal ini dikarenakan kondisi udang galah masih sangat lemah dan kulit luarnya belum mengeras. Pada

27 Pada saat molting, udang galah mengeluarkan cairan molting yang mengandung asam amino, enzim dan senyawa organik hasil dekomposisi parsial eksoskeleton yang baunya sangat merangsang nafsu makan udang. Hal tersebut bisa membangkitkan sifat kanibalisme udang yang sehat dan tidak sedang molting untuk menyerang udang galah yang sedang molting (Passano 1960). Selain itu, waktu dan periode molting udang satu dengan yang lainnya berbeda atau tidak serentak, oleh karena itu faktor molting tidak dapat dikendalikan dan terjadi pada setiap perlakuan, sehingga kisaran nilai tingkat kelangsungan hidup yang didapat hampir sama atau tidak berbeda jauh. 4.2 Laju Pertumbuhan Harian Menurut Effendie (2002) pertumbuhan adalah proses perubahan individu atau biomassa pada periode waktu tertentu. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor dalam sulit dikontrol, meliputi keturunan, jenis kelamin dan umur. Faktor luar antara lain parasit dan penyakit, namun yang utama memengaruhi pertumbuhan adalah suhu perairan dan makanan. Lovell (1979) menyatakan bahwa pada masa awal pemeliharaan organisme yang dipelihara masih dalam tahap penyesuaian diri dengan lingkungan dan pakan yang diberikan. Pakan yang dikonsumsi pada dasarnya digunakan untuk aktifitas hidup utama seperti berenang, bernafas dan makan, kemudian selebihnya digunakan untuk pertumbuhan. Hasil pengamatan pertumbuhan benih udang galah selama 30 hari menunjukkan adanya pertambahan bobot individu pada setiap perlakuan (Lampiran 9). Laju pertumbuhan harian tertinggi dicapai dengan penambahan kuning telur bebek sebanyak 50% pada perlakuan C sebesar 3,89%, diikuti oleh penambahan kuning telur bebek sebanyak 25% pada perlakuan B dan 75% pada perlakuan D masing-masing sebesar 2,62% dan 2,25%. Sedangkan laju pertumbuhan harian terendah dicapai dengan penambahan kuning telur bebek sebanyak 100% pada perlakuan E dan 0% pada perlakuan A sebesar 1,73% dan 1,52% (Gambar 6).

28 Pertambahan Bobot Pertambahan Bobot (gram) 0.035 0.030 0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 0 2 4 6 Artemia 100% Artemia 75% dan KTB 25% Artemia 50% dan KTB 50% Artemia 25% dan KTB 75% Kuning Telur Bebek 100% Minggu ke- Gambar 6. Grafik Pertambahan Bobot Benih Udang Galah Hasil analisis ragam pada taraf 5% menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan kombinasi Artemia dan kuning telur bebek dengan tingkat yang berbeda pada benih udang galah memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan (Lampiran 10). Nilai laju pertumbuhan harian terendah yaitu pada perlakuan A sebesar 1,52%, sedangkan nilai laju pertumbuhan tertinggi yaitu pada perlakuan C sebesar 3,89% (Tabel 7). Tabel 7. Laju Pertumbuhan Harian Rata-rata Benih Udang Galah Tingkat Penggunaan Laju Pertumbuhan Kuning Telur Bebek (%) Harian (%) A 0 1,5239 a B 25 2,6198 d C 50 3,8864 e D 75 2,2203 c E 100 1,7204 ab Ket: Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

29 Menurut Djajasewaka dan Djajadiredja (1980), laju pertumbuhan akan berbeda tingkatannya tergantung dalam kemampuan mencerna dan memanfaatkan pakan yang diberikan seoptimal mungkin. Pemberian pakan yang sesuai, baik dari segi ukuran, jenis, jumlah dan waktu pemberian maupun nutrisi yang terkandung akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan kemampuan benih dalam menghadapi serangan (Haryanti et al. 1994). Selain dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas, sumber protein juga memainkan peranan yang penting dalam pertumbuhan benih udang galah. Protein dengan komposisi asam amino yang lengkap dan berimbang memiliki kualitas yang lebih dibandingkan dengan yang tidak lengkap dan kurang berimbang (Muchlisin et al. 2003). Hal ini sesuai dengan pernyataan Halver (1979) bahwa faktor utama yang memengaruhi pertumbuhan benih adalah ketersediaan pakan, baik secara kuantitatif maupun kualitas pakan atau jenis pakan, dan asam amino esensial yang terkandung dalam pakan. Menurut Sorgeloos (1980), nauplii Artemia kurang akan kandungan asam amino esensial histidin, metionin, dan treonin. Sedangkan menurut Mietha (2008) telur bebek mengandung 10 macam asam amino esensial yakni histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, lisin dan triptofan. Artemia defisien akan asam amino esensial, oleh karena itu asam amino esensial yang terkandung dalam perlakuan kombinasi Artemia dan kuning telur bebek masingmasing sebanyak 50% pada perlakuan C menghasilkan laju pertumbuhan harian sebesar 3,89% diduga memiliki komposisi asam amino yang paling lengkap dan berimbang dapat menutupi defisiensi kandungan asam amino esensial yang terdapat pada Artemia, sehingga dapat mencukupi dan mendorong peningkatan laju pertumbuhan benih udang galah (Lampiran 4). Berbeda dengan perlakuan lain, penambahan kuning telur bebek sebanyak 25% pada perlakuan B menghasilkan laju pertumbuhan harian sebesar 2,61% dan penambahan kuning telur bebek sebanyak 75% pada perlakuan D menghasilkan laju pertumbuhan harian sebesar 2,22% (Tabel 8).

30 Tabel 8. Estimasi Kandungan Asam Amino Esensial Pakan Asam Amino Kebutuhan Esensial A B C D E Udang Galah Arginin +1,80 +0,98 +0,15-0,68-1,50 7,90 Histidin +0,40 +0,25 +0,10-0,05-0,20 2,30 Lisin +1,10 +0,58 +0,05-0,47-1,00 8,20 Triptofan -1,10-0,73-0,35 +0,02 +0,40 1,10 Fenilalanin +3,80 +4,38 +4,95 +5,53 +6,10 4,70 Metionin +0,90 +1,60 +2,30 +3,00 +3,70 2,80 Treonin +1,80 +1,53 +1,25 +0,98 +0,70 4,20 Leusin +2,20 +2,00 +1,80 +1,60 +1,40 7,80 Isoleusin +2,30 +2,60 +2,90 +3,20 +3,50 4,50 Valin -1,20-0,15 +0,90 +1,95 +3,00 4,30 Pustaka Mudjiman (1989) Jauhari (1990) dalam Buwono (2000) Kordi (2010) Selain faktor protein dalam pakan, faktor daya tarik juga memainkan peran yang penting dalam pertumbuhan. Makanan yang memiliki daya tarik yang lebih baik akan dapat merangsang nafsu makan benih udang galah. Artemia merupakan pakan alami yang aktif bergerak sehingga menarik perhatian benih udang galah untuk menangkap dan memakannya. Namun menurut Nasution (2000) pakan alami memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak bebas hama penyakit, ketersediaan terbatas, dan kesinambungannya kurang terjamin. Artemia memiliki lapisan chorion tebal yang menyebabkan Artemia sedikit sulit untuk dicerna (Sorgeloos 1980), sehingga pemberian pakan Artemia saja pada perlakuan A selama 30 hari berturut-turut dengan dosis yang sama tidak efisien karena tidak mencukupi nutrisi untuk tumbuh sesuai dengan perkembangan organ tubuhnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa benih udang galah masih membutuhkan pakan alami, namun memerlukan pakan lain untuk menunjang pertumbuhan dan melengkapi kandungan nutrisi Artemia. Pakan lain harus mengandung protein (terutama asam amino esensial) dan lemak untuk pertumbuhan dan karbohidrat untuk tenaga, serta vitamin, mineral, serat dan air digunakan untuk proses fisiologis lainnya.

31 Sesuai dengan pendapat Mudjiman (1999) udang membutuhkan nutrisi yang digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan dan aktivitas, oleh karena itu, pakan harus mengandung zat penghasil energi seperti lemak dan protein. Widowati et al. (2001) menyatakan bahwa pakan yang berasal dari bahan nabati biasanya lebih sulit dicerna dibandingkan pakan yang berasal dari bahan hewani, karena pada umumnya bahan pakan nabati mengandung zat anti nutrisi. Protein hewani mampu menghasilkan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan protein nabati, namun jika asupan protein yang didapat terlalu berlebihan seperti pada perlakuan E, maka hanya sebagian yang akan diserap dan digunakan untuk pertumbuhan dan membentuk ataupun memperbaiki sel-sel yang rusak sementara sisanya dirombak menjadi energi (Buwono 2000). Dampak kelebihan protein yang tinggi menyebabkan meningkatnya kebutuhan energi untuk katabolisme protein yang salah satu hasilnya adalah nitrogen yang memiliki keterbatasan dalam menyimpan kelebihan protein. Katabolisme protein berlebih ini akan meningkatkan SDA (Specific Dinamic Action) yaitu penggunaan energi yang salah satunya untuk merombak protein yang tidak digunakan sehingga energi untuk pertumbuhan akan berkurang. Kelebihan protein juga akan menyebabkan pembuangan nitrogen yang banyak ke lingkungan budidaya (Boonyaratpalin 1991). Keseimbangan antara energi dan kadar protein sangat penting dalam laju pertumbuhan, karena apabila kebutuhan energi kurang maka protein akan dipecah dan digunakan sebagai sumber energi. Pemakaian sebagian protein sebagai sumber energi ini akan menyebabkan pertumbuhan ikan terhambat, mengingat protein sangat berperan dalam pembentukan sel baru (Buwono 2000). Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan perbandingan antara energi dan protein yang optimal di dalam pakan. 4.3 Rasio Konversi Pakan Rasio konversi pakan merupakan hasil perbandingan jumlah total pakan yang diberikan dengan pertambahan bobot yang dihasilkan. Nilai konversi pemberian pakan berbanding terbalik dengan pertambahan bobot ikan, sehingga semakin rendah nilai rasio konversi pakan, maka semakin baik kualitas pakan dan

32 semakin efisien ikan dalam memanfaatkan pakan yang dikonsumsinya untuk pertumbuhan (Mudjiman 2008). Hasil penelitian selama 30 hari pemeliharaan menunjukkan rata-rata nilai konversi pakan berkisar antara 1,95-3,02 (Gambar 7) (Lampiran 13). Rasio Konversi Pakan Rasio Konversi Pakan 4 3 3 2 2 1 1 0 3.02 2.35 1.95 2.76 3.01 Artemia 100% Artemia 75% dan KTB 25% Artemia 50 % dan KTB 50% Artemia 25% dan KTB 75% Kuning Telur Bebek 100% Gambar 7. Diagram Rasio Konversi Pakan Benih Udang Galah Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan kandungan Artemia dan kuning telur bebek memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasio konversi pakan benih udang galah (Lampiran 14). Nilai rasio konversi pakan terendah diperoleh dari penambahan kuning telur bebek sebanyak 50% pada perlakuan C sebesar 1,95 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Penambahan kuning telur bebek sebanyak 25% pada perlakuan B menghasilkan rasio konversi pakan sebesar 2,35, sedangkan penambahan kuning telur sebanyak 75%, 100% dan 0% pada perlakuan D, E dan A tidak berbeda nyata yakni sebesar 2,76, 3,01 dan 3,02 (Tabel 9).

33 Tabel 9. Rasio Konversi Pakan Tingkat Penggunaan Kuning Telur Bebek (%) Rasio Konversi Pakan A 0 3,0167 c B 25 2,3541 b C 50 1,9470 a D 75 2,7648 c E 100 3,0067 c Ket: Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%. Secara umum, nilai rasio konversi pakan yang baik jika nilainya mendekati 2, dilihat dari data perlakuan A, B, D dan E nilai rasio konversi pakan di atas 2, membuktikan bahwa perlakuan tersebut memiliki nilai efisiensi yang rendah. Hal tersebut diduga karena udang yang digunakan pada penelitian ini berukuran benih yang cenderung memiliki tingkat daya cerna yang tidak terlalu tinggi karena fungsi lambung sebagai tempat menyimpan makanan sementara dan tempat bakteri bekerja dalam mencerna makanan belum bekerja secara maksimum (Sugih 2005). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya nilai rasio konversi pakan. Pertama adalah kandungan nutrisi pakan dan jumlah pakan yang diberikan. Faktor kedua adalah lingkungan biota hidup, lingkungan yang buruk akan menyebabkan stres dan ikan tidak nafsu makan, sehingga pakan tidak 100% dimakan dan dicerna (Aquamedia 2009). 4.4 Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor eksternal yang dapat memengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisme air (Effendie 1997). Selama penelitian dilakukan pengukuran parameter kualitas air yaitu suhu, oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (ph), dan amonia (Tabel 10) (Lampiran 15).

34 Tabel 10. Kualitas Air Parameter Suhu ( o C) DO (mg/l) ph Amonia (mg/l) A 28,1-31,0 5,1-6,2 7,03-8,87 0-0,25 B 28,6-31,0 5,1-6,8 7,05-8,68 0-0,25 C 28,7-31,0 5,0-6,7 7,07-8,80 0-0,25 D 28,4-31,0 5,0-6,8 7,05-8,82 0-0,25 E 28,7-31,0 5,0-6,8 7,00-8,78 0-0,25 Baku Mutu (New et al. 2004) 28,0-31,0 > 5 7,0-8,5 < 0,3 Salah satu faktor pembatas yang cukup nyata dalam kehidupan udang adalah suhu air media pemeliharaan. Selama masa pemeliharaan suhu dikontrol sedemikian rupa sehingga mendukung kehidupan udang galah. Fluktuasi yang terjadi tersebut tidak terlalu besar karena pemeliharaan dilakukan di dalam ruangan dengan suhu yang terjaga. Kisaran suhu air yang didapat pada tiap perlakuan selama masa pemeliharaan antara 28,1-31,0 o C. Hal ini didukung oleh pernyataan New et al. (2004) bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan udang galah berkisar antara 28,0-31,0 o C dan di luar batas ini metabolisme udang menjadi rendah dan secara nyata berpengaruh terhadap nafsu makan udang. Kelarutan oksigen (DO) dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya temperatur dan salinitas. Effendi (2003) menjelaskan bahwa hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dengan suhu berbanding terbalik, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen juga berkurang dengan meningkatnya salinitas. Kandungan oksigen terlarut selama masa pemeliharaan dari hasil pengamatan berkisar antara 5,0-6,8 mg/l, tidak berbeda jauh karena tiap perlakuan diberi aerasi sebanyak 1 titik. Menurut New et al. (2004) kandungan DO yang mendukung kehidupan udang galah harus melebihi 5 mg/l. Nilai ph yang didapat dalam tiap perlakuan yaitu berkisar 7,0-8,8. Menurut New et al. (2004) kisaran ph optimal dan termasuk ke dalam batas aman untuk mendukung kehidupan udang galah berkisar antara 7,0-8,5. N

35 Namun, menurut Boyd (1991), pada ph di bawah 4,5 atau di atas 9,0 udang akan mudah sakit, lemah dan nafsu makan menurun, bahkan cenderung keropos dan berlumut, apabila nilai ph yang lebih besar dari 10 akan bersifat lethal bagi udang. Kandungan amonia dalam air media pemeliharaan merupakan hasil perombakan dari senyawa-senyawa nitrogen organik oleh bakteri atau dampak dari sisa pakan yang berlebihan. Senyawa ini sangat beracun bagi organisme perairan walaupun dalam konsentrasi yang rendah. Menurut New et al. (2004) dalam pemeliharaan udang galah kandungan amonia tidak melebihi 0,3 mg/l. Kandungan amonia yang diperoleh dari masa pemeliharaan berkisar antara 0-0,25 mg/l masih dalam batas toleransi pemeliharaan udang galah dan belum bersifat toksik bagi udang galah.