BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada karsinoma nasofaring sampai saat ini masih tetap merupakan masalah besar. Hal ini disebabkan oleh karena gejala penyakit yang tidak khas dan letak tumor yang tersembunyi sehingga sulit diperiksa. Hampir seluruh penderita datang dengan stadium lanjut, bahkan sering datang dengan keadaan umum yang jelek. Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi World Health Organization (WHO) tahun 2005 adalah keratinizing squamous cell carcinoma, nonkeratinizing carcinoma dibagi menjadi 2 yaitu differentiated carcinoma nasopharynx dan undifferentiated carcinoma nasopharynx, dan basaloid squamous carcinoma. Tipe histologi undifferentiated carcinoma nasopharynx merupakan tipe yang paling sering diantara tipe yang lain dari karsinoma nasofaring yaitu 92% (Chan et al., 2005). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang sering terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insiden antara 10 53 kasus per 100.000 penduduk (Tse et al., 2006). Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas pada kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia yaitu sekitar 60% dan menduduki urutan ke-5 dari seluruh 1
2 keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, kelenjar getah bening, dan kulit (Chou et al., 2008). Berdasarkan data registrasi kanker tahun 2010 di Bali karsinoma nasofaring menempati peringkat kelima dari seluruh karsinoma pada lakilaki dan perempuan dengan jumlah 70 kasus, pada laki-laki menempati peringkat pertama dengan jumlah 47 kasus dari seluruh karsinoma (Anonim, 2010). Angka prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru KNF di seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal dari Cina sekitar 40%. Tingkat ketahanan hidup lima tahun penderita karsinoma nasofaring di Indonesia hanya sekitar 6,4 % dan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun penderita yang diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV (Chou et al., 2010). Karsinoma nasofaring mempunyai perangai berbeda dibandingkan dengan keganasan pada daerah lain di kepala dan leher, karena sifatnya yang sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis sering ditemukan pada stadium yang lanjut (Brennan, 2006). Diagnosis pasti karsinoma nasofaring memerlukan biopsi lesi. Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah genetik, faktor lingkungan dan Virus Ebstein Barr (VEB). Hampir semua karsinoma nasofaring mengandung VEB. Pada undifferentiated carcinoma nasopharynx, VEB menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rossenmuller s di Waldeyer;s ring. Infeksi VEB dapat terjadi sebelum neoplasma dan berkembang menjadi keganasan (Mantovani et al., 2008). Pemeriksaan serologi dan
3 imunohistokimia belum rutin dilakukan (Cho, 2007). Hal ini menyebabkan penatalaksanaan karsinoma nasofaring menjadi sulit dan belum memberi hasil yang memuaskan (Garden, 2010). Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi (Feng et al., 2010). Salah satu prognosis buruk pada undifferentiated carcinoma nasopharynx adalah dijumpainya banyak pembuluh darah kecil (Roezin, 2005). Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru yang terjadi secara normal dan sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk proliferasi sel kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat makanan dan pembuangan zat sisa yang adekuat. Angiogenesis juga berperan penting dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus masuk kedalam pembuluh darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran vaskular, dan kemudian berproliferasi pada tempat yang lain atau metastasis (Nishida et al., 2006). Pendekatan secara patologis untuk memperkirakan adanya suatu angiogenesis adalah dengan perkiraan secara mikroskopik densitas pembuluh darah (microvessel density/mvd) dari jaringan tumor melalui pemeriksaan immunohistokimia (Choi et al., 2005). Cyclooxygenase-2 (COX-2) merupakan faktor potensial yang penting pada angiogenesis tumor. Cyclooygenase-2 secara konsisten terekspresi dalam
4 pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah disekitar tumor (Choi et al., 2005). Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim penting pada jalur biositetik prostaglandin, tromboxan dan prostasiklin dari asam arakhidonat. Ekspresi seluler COX-2 meningkat normal pada stadium awal karsinogenesis dan selama perkembangan serta pertumbuhan invasif tumor (Xu et al., 2006). Cyclooxygenase-2 terekspresi pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya terbukti sebagai penyebab karsinogenesis. Prostaglandin dan enzim COX-2 merupakan mediator inflamasi yang terlibat dalam proses angiogenesis. Inflamasi merupakan respon fisiologis tubuh terhadap iritasi maupun stimuli yang mengubah homeostasis jaringan. Inflamasi akut dapat mengalami pemulihan sempurna jika tubuh mampu mengeliminasi penyebabnya, tetapi jika tubuh tidak mampu mengeliminasi akan berlanjut menjadi inflamasi kronis. Inflamasi kronis menyebabkan kematian sel dan tubuh mengkompensasi dengan peningkatan pembelahan sel. Bila diakselerasi dapat memudahkan terjadinya kesalahan pembentukan Deoxyribonucleic acid (DNA) dan mutasi (mutagen). Reaksi inflamasi dapat meningkatkan pelepasan sitokin dan faktor pertumbuhan. Secara umum sitokin ikut berperan pada regulasi protein dan meregulasi COX-2 yang merupakan enzim untuk sintesis prostaglandin (Soo, 2005). Induksi COX-2 atau ekspresi berlebihan berhubungan dengan peningkatan produksi prostaglandin-e2 (PGE2). Prostaglandin E2 menunjukkan adanya hubungan antara perkembangan tumor dan biosintesis prostaglandin. Prostaglandin E2 juga penting pada invasi tumor. Prostaglandin E2 dapat meningkatkan kadar Vascular
5 Endothelial Growth Factor (VEGF). Vascular Endothelial Growth Factor memproduksi matrix metalloprotein (MMP) untuk memulai suatu proses angiogenesis. Matrix Metalloprotein memecah ekstraseluler matrix. Hal ini merangsang migrasi sel endotel. Sel endotel mulai membelah begitu mereka bermigrasi ke jaringan sekitarnya. Kemudian tersusun menjadi pembuluh darah baru dan kemudian berkembang menjadi pembuluh darah matur (Nishida et al., 2006). Penelitian Hasibuan (2014) menemukan adanya korelasi positif sedang antara ekspresi COX-2 dan MVD pada karsinoma nasofaring dengan koefisien relasi 0,559 dengan tingkat kemaknaan (p=0,005) antara tingkat ekspresi COX-2 dengan gambaran angiogenesis. Sedangkan pada penelitian Tan dan Putti (2005) menyatakan microvessel density berkisar antara 1-59 (rata-rata 24,2), namun tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna MVD pada kelompok COX-2 positif dengan COX- 2 negatif (p=0,774). Dengan memperhatikan latar belakang maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara ekspresi COX-2 dengan angiogenesis, yang dinilai melalui MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar yang nantinya diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu faktor prediktif. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka disusun rumusan masalah penelitian adalah: apakah terdapat hubungan positif ekspresi COX-2 dengan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar?
6 1.3. Tujuan Penelitian Untuk membuktikan adanya hubungan positif antara ekspresi COX-2 dengan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat akademik 1. Memberikan informasi data epidemiologi tentang ekspresi COX-2 dan MVD pada undifferentiated carcinoma nasopharynx di RSUP Sanglah Denpasar. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau tambahan pengetahuan dalam pemanfaatan COX-2 sebagai faktor prediktif undifferentiated carcinoma nasopharynx. 1.4.2. Manfaat praktis Memberikan informasi kepada klinisi bahwa hasil pemeriksaan imunohistokimia COX-2 dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengobatan undifferentiated carsinoma nasopharynx dengan COX-2 inhibitor.