BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring Anatomi nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior septum nasi. Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh sfenoid. Dinding lateral terdapat muara tuba Eustachius. Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara histologi mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia (pseudostratified ciliated columnar epithelium) yang ke arah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis (stratified squamous epithelium). Di antara keduanya terdapat epitel peralihan (transitional epithelium) yang terutama didapatkan pada dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller (Brennan, 2006). Nasofaring memiliki pleksus limfatik submukosa yang banyak. Daerah drainase urutan pertama adalah nodul retrofaringeal yang terdapat di ruang retrofaringeal di antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia prevertebral. Sistem limfatik kemudian bermuara ke cincin juguler interna profunda bagian atas pada dasar tengkorak di dalam ruang parafaring retrostyloid di ujung atas otot sternokleidomastoid. Kemudian sistem limfatik bermuara ke posterior daerah 7

2 8 syaraf aksesorius dan bagian depan ke kelompok jugulodigastrik. Nasofaring adalah struktur yang terletak di garis tengah tubuh, kaya akan pembuluh limfe dengan muara yang bersilangan sehingga penyebaran sel tumor bilateral dan kontralateral tidak jarang dijumpai (Bailey dkk., 2006). Anatomi nasofaring disajikan pada Gambar 2.1. Gambar 2. 1 Anatomi Nasofaring (dikutip dari Bailey dkk., 2006) Epidemiologi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma. Angka kejadian karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak geografinya. Daerah endemik karsinoma nasofaring adalah daerah dengan populasi resiko tinggi, terutama di daerah Cina Selatan dan Asia Tenggara, India Barat Daya, Afrika Utara, Eskimo dan Alaska. KNF merupakan kanker yang sering terjadi di Indonesia dan menempati peringkat ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara, kanker

3 9 kulit dan merupakan kanker yang paling sering terjadi di bagian kepala leher. Penyakit ini 100% terkait dengan EBV, terutama tipe undifferentiated carcinoma. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher adalah KNF, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), tumor ganas rongga mulut, tonsil, tiroid dan hipofaring dalam prosentase yang lebih rendah (Roezin dan Adham, 2007). Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan Departemen Kesehatan, angka kejadian KNF di Indonesia adalah 4,7 per penduduk. (Roezin dan Adham, 2007). Dari data profil karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Hasanudin Makasar, periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang THT-KL adalah karsinoma nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun ditemukan 684 penderita karsinoma nasofaring (Lutan dkk., 2003). Berdasarkan data Internasional Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 2002 ditemukan sekitar kasus baru karsinoma nasofaring di seluruh dunia dan sekitar atau sekitar 40% dari kasus yang meninggal berasal dari Cina (Chang dan Adam, 2006). Penderita KNF dapat terjadi pada semua umur, ratarata penderita karsinoma nasofaring berumur tahun dengan 23,3 kasus/ laki-laki dan 8,9 kasus/ perempuan. Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3:1 (Jeon dkk., 2005). Di negara barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF termasuk jarang dengan angka kejadian sekitar 0,5/ penduduk, dengan angka 1-2% dari seluruh kanker kepala dan leher. Di Cina Selatan dan Hongkong penyakit ini endemik dengan angka kejadian meningkat hingga 50/ penduduk (Chan dan Felip, 2009).

4 10 Secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda daripada kanker kepala dan leher di tempat lain. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan dekade V (Chan dan Felip, 2009). Pada daerah resiko rendah usia terbanyak pada dekade V dan dekade VI tapi masih terdapat angka kejadian yang signifikan pada usia di bawah 30 tahun, dengan puncak awalnya antara usia tahun. KNF lebih sering dijumpai pada pria daripada wanita dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Marur dan Forastiere, 2008). Di Indonesia perbandingan penderita laki-laki dan perempuan berkisar antara 2-3 berbanding 1, dengan frekuensi terbanyak pada umur tahun. Hasil penelitian di dalam maupun luar negeri melaporkan bahwa sebagian besar penderita (69-96%) datang berobat ke rumah sakit sudah dalam keadaan stadium lanjut atau stadium III dan IV (Widiastuti dkk., 2011) Etiologi Sampai saat ini penyebab pasti karsinoma nasofaring masih belum jelas. Secara umum etiologi karsinoma nasofaring merupakan hasil interaksi kondisi genetik yang susceptible, bahan karsinogenik yang ada di lingkungan atau environmental carcinogen dan adanya infeksi EBV (Chan dan Felip, 2009). Penelitian Her (2001), menyatakan sedikitnya ada 3 faktor etiologi yaitu: infeksi EBV, kerentanan genetik dan faktor lingkungan yang berperan dalam tingginya kejadian KNF di Cina. Etiologi dari KNF dapat dibagi menjadi faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik.

5 11 Faktor ekstrinsik: a. Infeksi Virus Epstein-Barr KNF dianggap memiliki hubungan erat dengan EBV. Terutama antibodi IgA terhadap EBV dan DNA EBV dalam kadar yang tinggi pada serum penderita KNF. Dari berbagai jenis KNF hanya tipe undifferentiated yang memiliki hubungan imunohistologis dengan EBV. Tidak jelas bagaimana DNA virus berhubungan dengan karsinoma sel epitel dan kapan sel epitel terinfeksi dengan EBV, apakah sebelum atau sesudahnya berubah menjadi keganasan atau sebagai akibat rusaknya sistem pertahanan tubuh. EBV mampu merubah limfosit B namun tidak cukup bukti yang menyatakan bahwa dapat merubah sel epitel. EBV sendiri tidak bereplikasi di dalam sel tumor karsinoma nasofaring dan antigen virusnya tidak diekspresikan pada tumor ini (Cho, 2007; Jeyakumar dkk., 2006). b. Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup Ikan yang diasinkan dianggap sebagai faktor etiologi penting pada populasi Cina bagian selatan. Ikan laut yang diasinkan mengandung sejumlah nitrosamine volatile terutama N-nitrosodimethylamine dan N-nitroso-diethylamine. Zat ini diketahui merangsang karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma pada rongga hidung dan paranasal dari beberapa penelitian terhadap hewan (Cho, 2007). Penelitian Chew (2003), menghubungkan kejadian KNF dengan pola hidup, faktor makanan dan pengaruh lingkungan sekitarnya di Hongkong dan Cina menunjukkan adanya hubungan yang erat terutama dengan konsumsi ikan yang diasinkan pada usia dini.

6 12 Sejumlah faktor inhalasi dari lingkungan telah dilaporkan berhubungan dengan KNF. Dilaporkan juga adanya hubungan positif antara penggunaan bahan bakar fosil untuk memasak dan KNF. Di Kenya kejadian KNF cukup tinggi, di mana penduduk yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang buruk di mana asap dan uap hasil memasak tidak dapat keluar dari atap yang sangat tertutup rapat. Orang merokok selama 10 tahun atau lebih memiliki resiko tinggi terhadap KNF (Kumar, 2003). Faktor intrinsik: Genetik Ras mongoloid terutama bagian selatan merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Dewi dkk., 2012). Pasien dengan KNF pada populasi Cina berasal dari sub populasi dengan genetik yang khas. Sampai saat ini HLA adalah satu-satunya sistem genetik yang memiliki hubungan erat dengan kanker ini. Lokus HLA yang terlibat pada KNF adalah lokus HLA-A dan DR yang terdapat pada rantai pendek kromosom 6 (Cho, 2007) Gejala dan tanda klinis Pasien KNF jarang ditemukan asimptomatik. Kebanyakan pasien memiliki berbagai gejala yang onsetnya berbeda-beda dan kadang tidak diperhatikan oleh pasien (Chew, 2003). Gejala klinis dari penderita KNF berhubungan dengan lokasi

7 13 tumor primer dan perluasannya. Secara umum dapat dibagi menjadi empat kelompok gejala, antara lain gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata serta gejala metastasis atau gejala leher. Adanya kecurigaan tumor ganas nasofaring harus dipikirkan apabila dijumpai trias gejala sebagai berikut: 1) tumor leher, gejala telinga dan gejala hidung, 2) gejala intrakranial, gejala telinga dan gejala hidung, 3) tumor leher, gejala intrakranial dan gejala hidung (Gourzones dkk., 2013). KNF sering muncul pertama kali di fosa Rosenmuller dekat dengan muara tuba Eustachius, sehingga gejala-gejala awal berupa keluhan di telinga seperti rasa penuh, berdenging, kadang-kadang disertai penurunan pendengaran. Gejala ini disebabkan oleh karena oklusi muara tuba Eustachius oleh masa tumor. Gejala hidung dapat berupa pilek-pilek, hidung buntu dan ingus bercampur darah. Gejala di mata berupa pandangan kabur atau diplopia (Chew, 2003). Metastasis tumor ke kelenjar getah bening leher regional sering terjadi, yaitu sekitar 65%-80%. Pembesaran kelenjar getah bening servikal merupakan gejala pertama yang timbul pada penderita KNF. Kelenjar limfe retrofaringeal lateral (rouviere nodes) merupakan filter kelenjar yang pertama, namun tidak dapat dipalpasi. Kelenjar yang paling sering pertama kali dapat dipalpasi adalah kelenjar jugulodigastrik dan atau apikal di bawah sternomastoid. Metastase kelenjar limfe bilateral dan kontralateral sering dijumpai. Selanjutnya sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening dan mengadakan metastase jauh mengenai organ tubuh yang lain seperti tulang, hati dan paru (Chew, 2003).

8 14 Gejala lanjut karsinoma nasofaring terjadi akibat perluasan tumor ke jaringan sekitarnya. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan menjalar sepanjang fosa kranii media. Sel tumor biasanya masuk ke rongga tengkorak melalui foramen laserum dan menimbulkan lesi pada kelompok saraf kranialis anterior (saraf kranialis III, IV dan VI). Perluasan tumor ke arah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasalis, fosa pterigopalatina sampai orbita, sehingga terjadi lesi pada saraf kranialis I dan II. Tumor yang besar dapat mendesak palatum mole, menimbulkan obstruksi saluran nafas atas dan saluran makanan. Perluasan tumor ke arah posterolateral menuju ruang parafaring dan fosa pterigopalatina yang kemudian masuk ke foramen jugularis sehingga menimbulkan kerusakan saraf kranialis posterior (saraf kranialis IX, X, XI dan XII) serta nervus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fisura orbitalis. Perluasan tumor ke arah inferior menuju rongga mulut atau regio retrotonsil dapat menimbulkan sumbatan saluran nafas dan saluran makanan (Chew, 2003; Jeyakumar dkk., 2006). Setiap gejala mempunyai nilai dalam mendiagnosis KNF. Bila jumlah nilai 50, diagnosis KNF dapat ditegakkan. Walaupun terbukti KNF secara klinis, biopsi nasofaring mutlak dilakukan untuk konfirmasi diagnosis histopatologi dan menentukan subtipe histopatologi yang erat hubungannya dengan pengobatan dan prognosis (Chew, 2003). Untuk nilai mendiagnosis KNF ditunjukkan pada Tabel 1. Digby score,

9 15 GEJALA NILAI Massa terlihat di nasofarinh 25 Limfadenopati Leher 25 Gejala di hidung seperti epistaksis dan hidung buntu 15 Gejala telinga seperti tinitus dan penurunan 15 pendengaran Sakit Kepala unilateral atau bilateral 5 Gangguan neurologi 5 Eksoftalmus 5 Dikutip dari Chew, Histopatologi dan stadium WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel skuamous dan dibedakan menjadi 3 tip 1) WHO tipe I: keratinizing squamous cell carcinoma, menunjukkan differensiasi skuamosa dengan adanya jembatan interseluler dan atau keratinisasi di atasnya. 2) WHO tipe II: differentiated non keratinizing carcinoma, sel tumor menunjukkan diferensiasi dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, terdiri dari sel-sel yang bervariasi mulai dari sel matur sampai anaplastik dan hanya sedikit sekali membuat keratin atau tidak sama sekali.

10 16 3) WHO tipe III: Undifferentiated carcinoma, mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen. Sel ganas memiliki inti bulat sampai oval dan vesikuler, batas sel yang tidak jelas, dapat ditemukan sel ganas berbentuk spindle dengan inti hiperkromatik. Tumor tipe 2 dan tipe 3 lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan virus Epstein-Barr (Chan dan Felip, 2009). Penentuan stadium dilakukan berdasarkan klasifikasi TNM dalam AJCC (American Joint Committee on Cancer) tahun 2008 sebagai berikut: (Deschler dan Day, 2008) T Tx T0 = Tumor primer : Tumor primer tidak dapat ditentukan : Tidak ditemukan adanya tumor primer Tis : Karsinoma insitu T1 : Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan atau kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. T2 : Tumor meluas sampai pada jaringan lunak T2a: Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa Perluasan ke parafaring T2b: Dengan perluasan ke parafaring T3 T4 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan atau sinus paranasal. : Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terlibatnya saraf kranial,

11 17 hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal atau ruang mastikator. N = Pembesaran kelenjar getah bening regional Nx : Pembesaran kelenjar getah bening regional tidak dapat ditentukan N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional N1 : Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, diatas fossa supraklavikula dan atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang. N2 : Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikula. N3 : Metastasis pada kelenjar getah bening di atas 6 cm dan atau pada supraklavikula N3a: Ukuran kelenjar getah bening > 6 cm N3b: Kelenjar getah bening meluas ke fossa supraklavikula M = Metastase jauh Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan M0 : Tidak ada metastasis jauh M1 : Terdapat metastasis jauh Stadium klinik Stadium 0 : Tis N0 M0

12 18 Stadium I : T1 N0 M0 Stadium IIA : T2a N0 M0 Stadium IIB : T1 N1 M0 T2a N1 M0 T2b N0, N1 M0 Stadium III : T1 N2 M0 T2a, T2b N2 M0 T3 N0, N1, N2 M0 Stadium IVA : T4 N0, N1, N2 M0 Stadium IVB : Semua T N3 M0 Stadium IVC : Semua T semua N M Diagnosis Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, radiologis dan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi biopsi nasofaring merupakan gold standard untuk penegakan diagnosis. Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi adanya tumor nasofaring, perluasan tumor ke jaringan sekitarnya dan adanya destruksi tulang dasar tengkorak. Untuk memperoleh gambaran lesi yang lebih jelas, dapat dilakukan pemeriksaan tomogram atau computed tomography scaning (CT-Scan) dengan kontras maupun magnetic resonance imaging (MRI) (Jeyakumar dkk., 2006; Nakayana dkk., 2011).

13 19 CT-Scan dapat menunjukkan perluasan jaringan lunak di daerah nasofaring dan ke arah lateral menuju ruang paranasofaring. CT-Scan sensitif untuk mendeteksi erosi tulang, terutama dasar tengkorak. Perluasan tumor ke intrakranial melalui foramen ovale dengan penyebaran perineural juga dapat di deteksi, yang merupakan bukti keterlibatan sinus kavernosus tanpa erosi dasar tengkorak (Chew, 2003; Nakayana dkk., 2011). MRI lebih baik dari pada CT-Scan dalam membedakan tumor dengan inflamasi jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastasis kelenjar retrofaringeal dan leher dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi sumsum tulang oleh tumor, di mana CT-Scan tidak dapat mendeteksi infiltrasi ini kecuali disertai erosi tulang. Penting untuk mendeteksi infiltrasi sumsum tulang ini karena berhubungan dengan peningkatan resiko metastasis jauh (Chew. 2003; Nakayana dkk., 2011). Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, diagnosis karsinoma nasofaring sangat ditunjang dengan beberapa pemeriksaan tambahan yaitu; pemeriksaan serologi, pulasan imunohistokimia, hibridisasi in situ, polymerase chain reaction (PCR) dan Southern blotting (Gourzones dkk., 2013; Marur dan Forastiere, 2008) Penatalaksanaan dan prognosis Radioterapi masih tetap merupakan modalitas terapi utama untuk KNF. Radioterapi sebagai gold standard untuk KNF sudah dimulai sejak lama. Hasil radioterapi untuk KNF stadium dini sebenarnya cukup baik, respon lengkap sekitar

14 20 80% sampai 100%, sedangkan untuk KNF stadium lanjut respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari 40%. Hasil radioterapi pada stadium lanjut didapatkan kurang memuaskan sehingga para ahli berupaya mencari cara untuk meningkatkan kontrol lokoregional dan sistemik, sekaligus meningkatkan survival rate (Brenan, 2006; Marur dan Forastiere, 2008). KNF merupakan salah satu keganasan yang responsif terhadap pemberian kemoterapi. Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Pemberian kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit lokoregional tingkat lanjut dikombinasikan dengan radioterapi sangat bermanfaat dalam mengurangi resiko metastasis jauh dan dapat meningkatkan kontrol lokal. Kemoterapi dapat diberikan sebelum (neoadjuvant), selama (concurrent) atau setelah (adjuvant) pemberian radioterapi (Brenan, 2006). Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosis KNF datang pada stadium III dan IV, dengan penyakit lokal lanjut dan metastasis. Standar pengobatan adalah radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi. Akhir-akhir ini dilaporkan beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada KNF yaitu accelerated fractionation radiotherapy, brakhiterapi, tiga dimensional radioterapi dan kombinasi kemoterapi dengan radioterapi (Brenan, 2006). Angka ketahanan hidup paling jelek terjadi pada gambaran histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan dengan gambaran histopatologi yang lain. Kategori yang digunakan untuk menentukan prognosis suatu tumor adalah:

15 21 1) Adanya anaplasia dan atau pleomorfism. 2) Angka proliferasi sel yang tinggi, dihitung dari jumlah mitosis atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan petanda imunohistokimia. 3) Jumlah infiltrasi sel limfosit yang sedikit. 4) Tingginya densitas dari S-100 protein yang hasilnya positif untuk sel-sel dendritik. 5) Dijumpai pembuluh darah kecil. 6) Dijumpai ekspresi human epidermal reseptor protein-2 (King dkk., 2006). 2.3 Biologi Sel Kanker Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak terkendali. Sel kanker memiliki kemampuan untuk menyerang jaringan biologis lainnnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastase). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan adanya kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi tersebut dapat terjadi secara spontan ataupun diwariskan (Kumar dkk., 2010). Suatu pertumbuhan normal diatur oleh kelompok gen, yaitu growth promoting protooncogenes, growth inhibiting cancer supresor genes (antioncogenes) dan gen yang berperan pada kematian sel terprogram (apoptosis). Selain ke tiga kelompok gen tersebut, terdapat juga kelompok gen yang berperan pada DNA repair yang berpengaruh pada proliferasi sel. Ketidakmampuan dalam memperbaiki DNA yang rusak menyebabkan terjadinya mutasi pada genom dan menyebabkan terjadinya

16 22 keganasan. Proses karsinogenesis merupakan suatu proses multitahapan dan terjadi baik secara fenotip dan genetik, seperti disajikan pada Gambar 2.2 (Kumar dkk., 2010). Gambar 2. 2 Skema sederhana dasar molekuler penyakit kanker (dikutip dari Kumar dkk., 2010)

17 23 The six hallmark of cancer (6 karakter sel kanker) adalah enam perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang secara bersama-sama menentukan, fenotip keganasan, yaitu (Barnes, 2002) : 1) Growth signal anatomy, sel normal memerlukan sinyal eksternal untuk pertumbuhan dan pembelahannya, sedang sel kanker mampu memproduksi growth factor dan growth receptor sendiri. Dalam proliferasinya sel kanker tidak tergantung pada sinyal pertumbuhan normal. Mutasi yang dimiliki memungkinkan sel kanker untuk memperpendek growth factor pathway. 2) Evasion Growth inhibitory signal, sel normal merespon sinyal penghambatan pertumbuhan untuk mencapai homeostasis. Jadi ada waktu tertentu bagi sel normal untuk proliferasi dan mencapai pendewasaan. 3) Evasion of Apoptosis Signal, pada sel normal kerusakan DNA akan dikurangi jumlahnya dengan mekanisme apoptosis, bila ada kerusakan DNA yang tidak bisa lagi direparasi. Sel kanker tidak memiliki kepekaan terhadap sinyal apoptosis. 4) Unlimited replicative potential, sel normal mengenal dan mampu menghentikan pembelahan selnya bila sudah mencapai jumlah tertentu dan mencapai pendewasaan. 5) Angiogenesis (formation of blood vessel), sel normal memiliki ketergantungan terhadap pembuluh darah untuk mendapatkan oksigen dan nutrient yang diperlukan untuk hidup. Namun bentuk dan karakter pembuluh darah sel

18 24 normal lebih sederhana atau konstan sampai dengan sel dewasa. Sel kanker mampu menginduksi angiogenesis, yaitu pertumbuhan pembuluh darah baru di sekitar jaringan kanker. Pembentukan pembuluh darah itu baru diperlukan untuk survival sel kanker dan ekspansi ke bagian lain dari tubuh (metastasis). 6) Invasion and metastasis, sel normal memiliki kepatuhan untuk berpindah ke lokasi lain di dalam tubuh. Perpindahan sel kanker dari lokasi primernya ke lokasi sekunder atau tertiernya merupakan faktor utama adanya kematian yang disebabkan karena kanker. Gambar 2.3 Enam tanda utama kanker (The hallmarks of cancer) (dikutip dari Barnes, 2002) 2.4 Epstein Barr Virus (EBV) EBV merupakan Gamma Herpes Virus yang ditemukan pada tahun 1964 oleh Michael Epstein dan Yvonne Barr. EBV menyebar ke seluruh infeksi primer dan menetap sebagai infeksi latent maka ekspresi gen EBV terbatas, dan yang pasti hanya

19 25 terdapat LMP-2A yaitu suatu protein laten yang memberikan signal kehidupan dan menginhibisi aktivitas sel B dan pintu masuk siklus litik. Ketika reaktif terjadi, litik yang berat pada protein viral akan diekspresikan dengan aktivasi inhibisi mekanisme immun. Termasuk interleukin 10 homolog yang menginhibisi co-stimulator antigen presenting fungsi monosit, makrofag dan beberapa interferon yang mengurangi pelepasan sitokin, interferon α dan β. Sebagai tambahan bcl-2 homolog prolog sel dari survival untuk inhibisi apoptosis (Gourzones dkk., 2013). Keganasan seperti KNF dapat muncul dari klon sel terinfeksi EBV setelah terinfeksi beberapa tahun. Pada klonal, EBV dapat menetapkan derajat dari perkembangan tumor. Genom EBV merupakan monoclonal yang alami dan menunjukkan bahwa infeksi EBV pada KNF terjadi lebih dulu oleh ekspansi dari klon yang malignansi, spesifik kesalahan dari imun, stimulasi proliferasi sel B oleh infeksi lain dan abrasi genetik sekunder atau mutasi merupakan faktor tambahan dari karsinogenesis (Jeon dkk., 2005) Pada undifferentiated nasopharynx carcinoma, EBV menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller s di Waldeyer ring. Walaupun hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat diuraikan dan EBV banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA-mediated endocytosis. EBV juga dapat dideteksi pada karsinoma in situ, suatu prekursor undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Infeksi EBV dapat terjadi sebelum neoplasma dan berkembang menjadi keganasan (Gourzones dkk., 2013).

20 Cyclooxygenase-2 (COX-2) Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik dari prostaglandin (PG), Tromboxan dan Prostacycline dari Arachidonic Acid (AA). Enzim ini pertama kali ditemukan pada tahun 1988 oleh Dr.Daniel Simmons seorang peneliti dari Harvard University (Kim dkk., 2004). Gambar 2.4 Jalur Cyclooxygenase (dikutip dari Kim dkk.,2004) Terdapat dua bentuk COX, yaitu cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2). COX-1 berfungsi sebagai housekeeping pada hampir semua jaringan normal. Enzim COX-2 merupakan bentuk yang dapat terinduksi. Bentuk PG yang berasal dari aktivitas COX-1 memfasilitasi berbagai proses fisiologi, sedangkan COX-2 sangat mudah terinduksi oleh berbagai proses inflamasi, faktor pertumbuhan dan promotor tumor lainnya (Dewi dkk., 2012).

21 27 COX-2 adalah enzim yang dapat diinduksi dalam makrofag, bertanggung jawab untuk pengeluaran produksi prostaglandin (PG) yang tinggi selama inflamasi dan respon imun. COX-2 adalah enzim yang dapat meningkatkan respon untuk merangsang faktor pertumbuhan, peningkatan kadarnya banyak ditemukan dalam beberapa progressivity human carcinoma (Widiastuti dkk., 2011). Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Terjadinya proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh darah yang meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan serta protein plasma di dalam jaringan (Dewi dkk, 2012). Peningkatan level COX-2 telah ditemukan pada berbagai lesi premalignant dan kanker epitel. Peningkatan ekspresi COX-2 telah dilaporkan pada berbagai macam tumor, seperti kanker kolon, kanker paru, kanker payudara, kanker lambung, kanker esophagus dan kanker kepala leher yang menunjukkan bahwa COX-2 mungkin terlibat dalam proses karsinogenesis. Peningkatan regulasi COX-2 pada sel kanker juga dihubungkan dengan peningkatan angiogenesis dan metastasis (Hasibuan dkk., 2014). Ekspresi seluler COX-2 meningkat di atas normal pada stadium awal karsinogenesis dan melalui perkembangan tumor serta pertumbuhan invasif tumor. PG yang berasal dari COX-2 berperan dalam karsinogenesis, inflamasi, supresi respon imun, inhibisi apoptosis, angiogenesis, invasi sel tumor dan metastasis (Tan dan Putti, 2005).

22 Biologi cyclooxygenase-2 (COX-2) Cyclooxygenase (COX) merupakan bagian integral dari membran terutama membran mikrosomal. Melalui pemeriksaan mikroskop fluorescence dan teknik pewarnaaan histofluoresence menunjukkan bahwa gambaran Cyclooxygenase-1 (COX-1) dan Cyclooxygenase-2 (COX-2) berlokasi pada retikulum endoplasma dan membran inti, COX-2 konsentrasinya lebih tinggi pada membran inti (Choy dan Milas, 2003). Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, ditemukan 3 family Cyclooxygenase (COX), yaitu COX-1, COX-2 dan yang terbaru adalah Cyclooxygenase-3 yang memiliki kesamaan aktivitas enzimatik tetapi memiliki fungsi dan pola ekspresi yang berbeda. COX-1 dan COX-2 merupakan produk dari 2 gen yang berbeda, COX-1 pada manusia berlokasi pada kromosom 9 dan COX-2 pada kromosom 1. COX-1 terekspresi pada mukosa gastrointestinal, ginjal, platelet, endotel pembuluh darah dan memelihara fungsi fisiologis jaringan ini. COX-2 terdapat sedikit sekali pada jaringan yang normal dan meskipun waktu aktifnya singkat sebagai intermediate-early respon gen yang akan meningkatkan ekspresi 20 kali lipat terhadap faktor pertumbuhan, tumor promotor dan onkogenik mutasi sedangkan COX-3 banyak ditemukan pada korteks serebri dan jantung (Huang dkk., 2010).

23 Cyclooxygenase, prostaglandin dan kanker Famili COX adalah enzim yang terdiri dari dua anggota, COX-1 adalah enzim yang terekspresi di banyak organ dan COX-2 hanya terekspresi pada jaringan tertentu saja. Di mana ekspresinya meningkat oleh sejumlah rangsangan, faktor pertumbuhan dan onkogen (Hasibuan dkk., 2014). Ke dua enzim COX mengkatalisis asam arakidonat menjadi prostaglandin G2 (PGG2) dan sesudah itu menjadi prostaglandin H2 (PGH2), yang berperan sebagai subtsrat untuk isomerisasi multipel yang secara sendirinya berespon untuk generasi yang menghasilkan eikosanoid, termasuk PGE2, PGI2 dan TXA2. Di dalam sel-sel epitel PGE2 akan menekan apoptosis dengan meningkatkan ekspresi BCL-2 dan juga meningkatkan ekspresi Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) yang dapat meningkatkan migrasi sel atau lebih invasif dan mengaktivasi Epidermal Growth Factor Reseptor (EGFR). Selanjutnya, COX-2 akan menginduksi angiogenesis, sehingga memiliki kemampuan untuk tumbuh dan bermetastasis (Kim dkk., 2004; Loong dkk., 2009). Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa level enzim COX-2 meningkat pada beberapa kanker, seperti karsinoma kolorektal, karsinoma kepala dan leher serta kanker paru-paru dan payudara. Ekspresi COX-2 dapat dilihat dari level intensitas pewarnaan COX-2 dengan imunohistokimia. Faktor yang kemungkinan berperan dalam peningkatan ekspresi COX-2 adalah faktor pertumbuhan, mediator inflamasi, agen perusak DNA dan agen oksidasi. Angiogenesis merupakan proses yang diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru terbentuk dan untuk

24 30 menyokong pertumbuhan massa tumor (Hasibuan dkk., 2014). COX-2 secara konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor. Efek proangionik dari COX-2 dapat meningkatkan ekspresi dari Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) (Huang dkk., 2010; Loong dkk., 2009). Selain peranannya dalam karsinogenesis, peningkatan ekspresi COX-2 juga dihubungkan dengan perkembangan kanker pada manusia. Sel tumor serta komponen seluler stroma tumor (seperti infiltrasi makrofag, limfosit, fibroblas dan sel endotel) menghasilkan COX-2, yang akan meningkatkan produksi beberapa macam prostaglandin. Namun matriks ekstraseluler tumor, sel stromal pada tumor juga berperan penting terhadap progresi dari tumor (Choy dan Milas, 2003) Peranan COX-2 terhadap Apoptosis dan dalam Memicu Angiogenesis Apotosis pada sel normal bertujuan untuk mencegah proliferasi yang tidak terkontrol dengan mengeleminasi sel-sel yang mengalami senescent atau mengalami kerusakan molekuler. Fungsi terutama pada sel-sel epitel yang terus mengalami pembaharuan melalui siklus proliferasi sel, kemudian mengalami diferensiasi akhir, senescent dan akhirnya mati (Sobolewski dkk., 2010). Terganggunya mekanisme apoptosis menyebabkan sel-sel tumor memiliki waktu survive lebih lama dan terjadi akumulasi genetic error. Terjadinya gangguan pada program kematian sel juga berkontribusi terhadap resistensi terhadap terapi. Sejumlah

25 31 studi menyatakan bahwa COX-2 merupakan faktor yang penting terhadap terganggunya mekanisme apoptosis (Kim dkk., 2004). Sedangkan angiogenesis merupakan proses yang diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor. COX-2 dan PG merupakan faktor potensial yang penting pada angiogenesis tumor, di mana COX-2 secara konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah di sekitar tumor (Huang dkk., 2010; Kim dkk., 2004) Peranan COX-2 terhadap Invasi Sel Kanker Pada mekanisme terjadinya kanker akan melalui empat fase yaitu, fase induksi, fase in situ, fase invasi serta fase disseminasi. Pada fase invasi sel-sel telah menjadi ganas dan berkembang dengan cepat serta menginfiltrasi melewati membrane sel kejaringan sekitarnya dan pembuluh darah serta pembuluh limfe. Dari percobaan binatang diketahui ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses invasi sel-sel tumor ganas tersebut yaitu, penambahan tekanan di dalam tumor akibat pembelahan sel-sel yang aktif, bertambahnya gerakan amoeboid dari sel-sel tersebut, berkurangnya daya kohesi antar sel, mungkin ada hubungan dengan berkurangnya ion kalsium atau perubahan muatan listrik dari membran sel, meluasnya bahan-bahan yang lisis oleh karena sel-sel kanker tersebut dan hilangnya jembatan interseluler yang biasa ditemukan dalam sel-sel normal (Nurdiansah dkk., 2013).

26 32 Meskipun prinsip efek tumorigenik dari COX-2 termasuk memicu PGE2, COX-2 juga memiliki aktivasi peroksidase dan hasilnya dapat berpotensi terbentuknya mutagen DNA pada jaringan yang berisiko. Tergantung dari lingkungan jaringannya, karsinogen dapat terbentuk melalui aktivasi peroksidase dari COX-2 yang berasal dari bermacam subtrat termasuk amin aromatik, amin heterosiklik, derivat hidrokarbon polisiklik (Chen dkk., 2005; Widiastuti dkk., 2011) Hubungan EBV dengan COX-2 Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada biosintetik pathway dari prostaglandin (PG) dan thromboxans dari asam arakidonat. COX-2 tertampil pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya membuktikan bahwa akan menyebabkan karsinogenesis. Telah dilaporkan terjadi perubahan metabolisme xenobiotik, yang meningkatkan pertumbuhan tumor invasif, angiogenesis dan menghambat apoptosis. COX-2 mensensitisasi Prostaglandin E2 (PGE2) untuk menstimulasi BCL-2 dan inhibit apoptosis serta menyokong IL-6 untuk sintesis haptoglobin. PGE2 dihubungkan dengan tumor metastasis, IL-6 dengan sel karsinoma invasif sedangkan haptoglobin dengan implantasi dan angiogenesis (Chen dkk., 2005; Kim dkk., 2004; Gallo dkk., 2001). COX-2 mengandung bermacam-macam stimulasi seperti sitokin, faktor pertumbuhan dan onkogen. Pada semua tumor, infeksi EBV merupakan laten yang predominan. Gen EBV diekspresikan pada infeksi laten yang dibatasi 6 EBV Nuclear Antigene dan 3 LMP. Pada tipe 2 latent merupakan EBNA-1 dan 3 LMP yang

27 33 diekspresikan pada KNF dan pada nasal T/Natural Kill Cell Lymphoma. LMP-1 dideteksi lebih 70% pada KNF dan semua infeksi EBV preinvasif lesi nasofaring. (Nurdiansah dkk., 2013 ; Chua dkk., 2009). Induksi COX-2 oleh LMP-1 menyokong untuk invasif angiogenesis dan LMP-1 menambah produksi prostaglandin E2 pada sel epitel nasofaring. COX merupakan kunci enzim yang mengontrol rate-limiting step pada sintesis prostanoid dan sel neoplasma, serta metabolisme yang diproduksi oleh aksi COX-2 pada asam arakidonat menunjukkan benturan pada bermacam-macam pathway karsinogenik (Hasibuan dkk., 2014; Sobolewski dkk., 2010). Menurut Choy dan Milas (2003), ekspresi seluler COX-2 meningkat pada stadium awal dan melalui perkembangan tumor serta pertumbuhan invasif dari KNF. Tan dan Putti (2005) dan Loong dkk (2009), melakukan penelitian untuk menilai ekspresi COX-2 pada KNF. Penelitiannya menunjukkan terdapat proporsi tinggi KNF yang mengekspresikan COX-2 dan terdapat hubungan ekspresi COX-2 dan prognosis buruk pada stadium lanjut KNF tipe undifferentiated carcinoma. Pada KNF tipe undifferentiated carcinoma EBV menginfeksi sel epitel nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller dan waldayer ring. Walaupun hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat diuraikan dan EBV banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA mediated endocytosis. Umumnya infeksi EBV di epitel premalignant nasofaring mendorong

28 34 ekspansi klonal dari perubahan sel nasofaring dan berubah menjadi sel malignant (Dewi dkk., 2012). Berdasarkan hal tersebut diatas diperkuat oleh teori karsinogenesis Kumar dkk., 2010 yaitu: 1. Mutasi Somatik, yaitu perubahan urutan letak nukleotida dalam asam amino rantai DNA yang menyebabkan perubahan kode genetik. Menghasilkan produksi protein yang abnormal, sehingga regulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel terganggu, sel menjadi otonom dan lepas dari regulasi normal dan dapat tumbuh tanpa batas. 2. Penyimpangan Diferensiasi Sel (Teori Epigenetik), terjadinya gangguan sistem atau mekanisme regulasi gen seperti represif, depresi serta ekspresi regulasi sehingga timbul gangguan pertumbuhan dan diferensiasi sel. 3. Aktivasi Virus yang masuk ke dalam inti sel dan berintegrasi dengan DNA penderita serta mengubah fenotip sel dengan menyisipkan informasi baru atau mengubah transkripsi dan tranlasi sel. 4. Seleksi Sel, pada tubuh manusia diperkirakan terdapat lebih dari gen dan masing-masing gen mempunyai fungsi tersendiri. Di dalam tubuh setiap saat ada sel yang mati dan ada pula sel baru yang terbentuk melalui proses mitosis.

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan sekitar dan dapat bermetastasis atau menyebar ke organ lain (World Health

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui

Lebih terperinci

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009

KARSINOMA DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

KARSINOMA NASOFARING

KARSINOMA NASOFARING KARSINOMA NASOFARING DEPT. ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN-USU RS. H. ADAM MALIK 2009 Tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak di Indonesia Banyak terjadi di dunia, insidens

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa. yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa. yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006). Diperkirakan ada 10.000 kasus baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul dari permukaan dinding lateral nasofaring (Zeng and Zeng, 2010; Tulalamba and Janvilisri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari Kanker Kepala Leher (KKL) dalam hal epidemiologi, karakteristik klinis, etiologi, dan histopatologi (Ruiz

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi primer terjadi pada awal masa anak-anak dan umumnya asimptomatik.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S.

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. ABSTRAK Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, 2005. Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring Nasofaring adalah ruangan berbentuk trapezoid dengan lokasi di posterior dari koana, kemudian meluas ke inferior ke bagian batas bawah dari palatum mole.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian pada wanita setelah kanker payudara. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker serviks uteri merupakan salah satu masalah penting pada wanita di dunia. Karsinoma serviks uteri adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi dan merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan 5 2.1 Anatomi Nasofaring BAB II KAJIAN PUSTAKA Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini jumlah penderita kanker di seluruh dunia semakin meningkat. Dari kasus kanker baru yang jumlahnya diperkirakan sembilan juta setiap tahun lebih dari setengahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan penyebab kematian terbanyak. Pengobatannya sangat tergantung dari stadium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL)

BAB I PENDAHULUAN. keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kepala dan leher merupakan istilah luas yang mengacu kepada keganasan epitel sinus paranasalis, rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. Hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling

BAB I PENDAHULUAN. berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa paling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker kepala dan leher adalah berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestive atas (UADT), meliputi rongga mulut, nasofaring, orofaring, hipofaring dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang terjadi di sebagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker masih menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Hal ini terbukti dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat kanker di seluruh dunia. Terdapat 14

Lebih terperinci

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak.

BAB 2 TUMOR. semua jaringan tubuh manusia pada berbagai keadaan sel untuk berkembang biak. BAB 2 TUMOR 2.1 Definisi Tumor Sel mempunyai tugas utama yaitu bekerja dan berkembang biak. Bekerja bergantung kepada aktivitas sitoplasma sedangkan berkembang biak bergantung pada aktivitas intinya. Proliferasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma servik merupakan penyakit kedua terbanyak pada perempuan dengan usia rata-rata 55 tahun (Stoler, 2014). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru setiap

Lebih terperinci

TUMOR NASOFARING. Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF)

TUMOR NASOFARING. Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF) TUMOR NASOFARING TUMOR NASOFARING Tumor benigna - Angiofibroma belia Tumor maligna - Karsinoma nasofaring (KNF) - Limfoma non Hogdkin - Karsinoma kistik adenoid - Adenocarcinoma & tumor kel. ludah minor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

BAB I PENDAHULUAN. ganas hidung dan sinus paranasal (18 %), laring (16%), dan tumor ganas. rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah kesehatan perempuan di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini terkait dengan tingginya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita

BAB I PENDAHULUAN. dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling sering ditemui dikalangan wanita sedunia, meliputi 16% dari semua jenis kanker yang diderita oleh kaum wanita dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karsinoma Nasofaring 2.1.1. Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring.

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Staging tumor, nodus, metastasis (TNM) Semakin dini semakin baik. di bandingkan dengan karsinoma yang sudah invasif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Staging tumor, nodus, metastasis (TNM) Semakin dini semakin baik. di bandingkan dengan karsinoma yang sudah invasif. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prognosis Kanker Payudara Prognosis dipengaruhi oleh ukuran tumor, metastasis, derajat diferensiasi, dan jenis histopatologi. Menurut Ramli (1994), prognosis kanker payudara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker endometrium adalah kanker paling sering pada saluran genitalia wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia setelah payudara,

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua terbesar setelah penyakit infeksi. Pada tahun-tahun terakhir ini tampak adanya peningkatan kasus kanker disebabkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Pemerintah Dr. Kariadi Semarang yang beralamat di jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengah

Lebih terperinci

Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengahmerupakan Satuan

Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengahmerupakan Satuan Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang yang beralamat di jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengahmerupakan Satuan Kerja atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyebab kematian utama yang memberikan kontribusi 13% kematian dari 22% kematian akibat penyakit tidak menular utama di dunia (Shibuya et al., 2006).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker adalah penyakit tidak menular yang timbul akibat pertumbuhan tidak normal sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Pertumbuhan sel tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kematian akibat PTM (Penyakit Tidak Menular) akan meningkat di seluruh dunia. Lebih dari dua per tiga (70%) populasi global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker Ovarium merupakan penyebab utama kematian dari kanker ginekologi. Selama tahun 2012 terdapat 239.000 kasus baru di seluruh dunia dengan insiden yang bervariasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling. sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling. sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan merupakan penyebab kematian kedua pada wanita setelah kanker

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health

BAB 1 PENDAHULUAN. kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health Estimates, WHO 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak. pada wanita di dunia. Menurut World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak. pada wanita di dunia. Menurut World Health Organization BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan karsinoma terbanyak pada wanita di dunia. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, kanker payudara menduduki peringkat keempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari semua kanker pada organ reproduksi. Diantara kanker yang ditemukan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. dari semua kanker pada organ reproduksi. Diantara kanker yang ditemukan pada 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kanker ovarium adalah kanker ginekologi yang dijumpai hampir 30% dari semua kanker pada organ reproduksi. Diantara kanker yang ditemukan pada perempuan,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Korelasi stadium..., Nurul Nadia H.W.L., FK UI., Universitas Indonesia BAB 4 HASIL 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM pada tahun 2007. Data yang didapatkan adalah sebanyak 675 kasus. Setelah disaring

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kasus diantaranya menyebabkan kematian (Li et al., 2012; Hamdi and Saleem,

BAB 1 PENDAHULUAN. kasus diantaranya menyebabkan kematian (Li et al., 2012; Hamdi and Saleem, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker ovarium merupakan peringkat keenam keganasan terbanyak di dunia, dan merupakan penyebab kematian ketujuh akibat kanker. Kanker ovarium didiagnosis pada 225.500

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker yang paling sering ditemukan pada wanita, setelah kanker mulut

BAB I PENDAHULUAN. kanker yang paling sering ditemukan pada wanita, setelah kanker mulut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker payudara adalah keganasan pada jaringan payudara yang berasal dari epitel duktus atau lobulus. 1 Di Indonesia kanker payudara berada di urutan kedua sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jutaan wanita di seluruh dunia terkena kanker payudara tiap tahunnya. Walaupun

BAB I PENDAHULUAN. jutaan wanita di seluruh dunia terkena kanker payudara tiap tahunnya. Walaupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara adalah keganasan paling sering pada wanita dan diperkirakan jutaan wanita di seluruh dunia terkena kanker payudara tiap tahunnya. Walaupun terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab kematian ketiga yang disebabkan oleh kanker baik secara global maupun di Asia sendiri.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karsinoma Nasofaring Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung, berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi anteroposterior

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan terdapat kasus baru kanker ovarium dan kasus meninggal BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan penyebab kematian ketujuh pada wanita di dunia. Diperkirakan terdapat 239.000 kasus baru kanker ovarium dan 152.000 kasus meninggal dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K) Tumor jinak sering ditemukan, sedangkan tumor ganas jarang ± 3% dari tumor kepala leher & 1% dari seluruh keganasan. Gejala klinis tumor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

Bagaimana Proses Terjadinya Keganasan

Bagaimana Proses Terjadinya Keganasan Bagaimana Proses Terjadinya Keganasan Kanker adalah suatu penyakit dimana terjadi proleferasi sel yang tidak terkontrol (Devita). Kanker terjadi karena adanya kerusakan gen yang mengatur pertumbuhan dan

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri

BAB 6 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri 78 BAB 6 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 45 penderita karsinoma epidermoid serviks uteri stadium lanjut yaitu stadium IIB dan IIIB. Pada penelitian dijumpai penderita dengan stadium IIIB adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sebuah metastasis adalah akibat kurang efektifnya manajemen

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sebuah metastasis adalah akibat kurang efektifnya manajemen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker Kolorektal (KKR) merupakan salah satu penyebab kematian di dunia akibat kanker. KKR merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia karena semakin banyaknya penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum merupakan penyakit yang mengerikan. Banyak orang yang merasa putus harapan dengan kehidupannya setelah terdiagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker merupakan pertumbuhan yang cepat dan abnormal pada sel, tidak terkontrol, dan tidak terlihat batasan yang jelas dengan jaringan yang sehat serta mempunyai sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal atau terus menerus dan tak terkendali, dapat merusak jaringan sekitarnya serta dapat menjalar ke tempat yang jauh dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan. yang jarang ditemukan di sebagian besar negara, namun

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan. yang jarang ditemukan di sebagian besar negara, namun BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang jarang ditemukan di sebagian besar negara, namun sangat sering dijumpai di Cina Selatan, Afrika Utara, Alaska,

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Pemeriksaan tumor pada kolon secara makroskopis, berhasil tumbuh 100%

BAB VI PEMBAHASAN. Pemeriksaan tumor pada kolon secara makroskopis, berhasil tumbuh 100% 63 BAB VI PEMBAHASAN Pemeriksaan tumor pada kolon secara makroskopis, berhasil tumbuh 100% dari masing-masing kelompok dan bersifat multipel dengan rerata multiplikasi dari kelompok K, P1, P2, dan P3 berturut-turut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Retinoblastoma merupakan keganasan intraokular paling sering pada anak, yang timbul dari retinoblas immature pada perkembangan retina. Keganasan ini adalah keganasan

Lebih terperinci

2. Untuk melihat hasil tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada KSS rongga

2. Untuk melihat hasil tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada KSS rongga 18 mulut. 2. Untuk melihat hasil tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada KSS rongga 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN 20 BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Pengambilan Data Data didapatkan dari rekam medik penderita kanker serviks Departemen Patologi Anatomi RSCM Jakarta periode tahun 2004. Data yang didapatkan adalah sebanyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan disekitarnya dan dapat bermetastatis atau menyebar keorgan lain (WHO,

Lebih terperinci

D. Kerangka Teori E. Kerangka Konsep F. Hipotesis... 36

D. Kerangka Teori E. Kerangka Konsep F. Hipotesis... 36 vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR SINGKATAN... x INTISARI... xi ABSTRACT...

Lebih terperinci

Update Diagnosis dan Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL dalam Rangka Meningkatkan Mutu Pelayanan Primer

Update Diagnosis dan Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL dalam Rangka Meningkatkan Mutu Pelayanan Primer Makalah Lengkap Update Diagnosis dan Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL dalam Rangka Meningkatkan Mutu Pelayanan Primer Rocky Plaza Hotel Padang 1 November 2014 Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala

Lebih terperinci

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS Program Studi : Pendidikan Dokter Kode Blok : KBK301 Blok : NEOPLASMA (Blok 9) Bobot : 4 SKS Semester : III Standar Kompetensi : Mahasiswa mampu: -

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker serviks adalah keganasan yang berasal dari epitel pada serviks terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar kanker serviks adalah epidermoid

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. adanya heterogenitas pada perubahan genetik. Kanker payudara menjadi penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. adanya heterogenitas pada perubahan genetik. Kanker payudara menjadi penyebab BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kanker payudara merupakan penyakit kompleks yang ditandai dengan adanya heterogenitas pada perubahan genetik. Kanker payudara menjadi penyebab utama kematian di dunia.

Lebih terperinci

b. Tumor: massa jaringan abnormal yg tumbuh berlebihan, terus-menerus meskipun rangsang yang menimbulkannya telah hilang.

b. Tumor: massa jaringan abnormal yg tumbuh berlebihan, terus-menerus meskipun rangsang yang menimbulkannya telah hilang. Kasus: Seorang perempuan Ny. J berusia 40 th mnegeluh ada benjolan di payudara sebelah kiri sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan tidak berwarna kemerahan dan tidak terasa nyeri. Pasien juga tidak mengeluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan jenis keganasan terbanyak pada wanita

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan jenis keganasan terbanyak pada wanita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan jenis keganasan terbanyak pada wanita diseluruh dunia dan menjadi penyebab kematian tertinggi kedua setelah kanker paru-paru. Kanker payudara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Histologi 2.1.1. Anatomi Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian, yaitu nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL

CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL CA TONSIL 1. DEFINISI CA TONSIL Kanker tonsil andalah indikasi keganasan pada tonsil. Penyakit tonsil dan adenoid merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi dalam masyarakat. Nyeri tenggorokan, infeksi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya tumor ganas THT-KL ditemukan pada rongga mulut, orofaring,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya tumor ganas THT-KL ditemukan pada rongga mulut, orofaring, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Kepala dan Leher Pada umumnya tumor ganas THT-KL ditemukan pada rongga mulut, orofaring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, hipofaring, laring dan telinga. Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI, KLASIFIKASI, DAN STADIUM EWING S SARCOMA. pada jaringan lunak yang mendukung, mengelilingi, dan melindungi organ tubuh.

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI, KLASIFIKASI, DAN STADIUM EWING S SARCOMA. pada jaringan lunak yang mendukung, mengelilingi, dan melindungi organ tubuh. BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI, KLASIFIKASI, DAN STADIUM EWING S SARCOMA Sarcoma adalah suatu tipe kanker yang jarang terjadi dimana penyakit ini berkembang pada struktur pendukung tubuh. Ada 2 jenis dari sarcoma,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. Karsinoma Nasofaring 2.1 Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor yang timbul dari sel epitel yang melindungi dan melintasi nasofaring. KNF pertama kali disebutkan oleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas pallatum molle.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang diikuti dengan timbulnya gejala ataupun tidak. WHO-IARC menggolongkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. ANATOMI FISIOLOGI LIDAH 1. Anatomi lidah Lidah terletak didasar mulut, ujung dan pinggiran lidah bersentuhan dengan gigi bawah. Lidah secarara anatomi terbagi atas 3 bagian, yakni

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat dan bentuk berbeda dari sel asalnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia kasus kanker rongga mulut berkisar 3-4% dari seluruh kasus kanker yang terjadi. Sekitar 90-95% dari total kanker pada rongga mulut merupakan kanker sel skuamosa

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN

LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN LAMPIRAN 1 DATA SAMPEL PENELITIAN NO NAMA MR UMUR SEX SUKU STADIUM PA (TIPE) EKSPRESI LMP1 1 IH 350582 43 LK BATAK IVC 3 0 2 K 405691 59 LK ACEH IVB 3 3 3 DP 351293 37 LK BATAK III 2 3 4 NS 352005 85 LK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar dari setiap manusia yang ada di bumi ini. Hak untuk hidup sehat bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar dari setiap manusia yang ada di bumi ini. Hak untuk hidup sehat bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak untuk hidup sehat telah ditetapkan secara internasional sebagai hak dasar dari setiap manusia yang ada di bumi ini. Hak untuk hidup sehat bukan hanya dalam

Lebih terperinci