V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. BAHAN DAN METODE

PEMANFAATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) DAN CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK PEMODELAN LONGSOR (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu)

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

III. BAHAN DAN METODE

III. METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. PEMBENTUKAN TANAH

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

KONDISI UMUM 4.1 Aspek Fisik Wilayah Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

III. BAHAN DAN METODE

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh. Catur Pangestu W

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

BAB II LANDASAN TEORI

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METEDOLOGI PENELITIAN

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode telah terjadi 850

Gambar 7. Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

III.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu)

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

ix

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

Transkripsi:

32 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis DEM Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) dilakukan dari dua data yang berbeda yaitu dari Peta Rupa Bumi (topografi) dan data SRTM. Hal ini perlu dilakukan karena terdapat dua metode yang berbeda untuk menghasilkan informasi ketinggian atau garis kontur. Peta topografi dihasilkan dari proses fotogrametri sedangkan data SRTM melalui proses interferometri, sehingga merupakan dua data yang menarik untuk diperbandingkan. Proses pembuatan DEM dari peta topografi, dimulai dengan proses interpolasi ketinggian dengan metode IDW (Inverse Distance Weighting). Berdasarkan hasil interpolasi tersebut dan dibandingkan diperoleh adanya suatu perbedaan elevasi permukaan bumi antara DEM dari data topografi dan SRTM. Gambar 7a dan 7b memperlihatkan perbedaan tersebut antara DEM IDW dan DEM SRTM. Gambar 7c menunjukkan beberapa perbedaan nilai elevasi. Warna merah menujukkan nilai elevasi SRTM lebih besar daripada nilai elevasi peta topografi, sedangkan warna hijau menujukkan nilai elevasi dari peta topografi lebih besar daripada nilai elevasi dari SRTM. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa persebaran perbedaan elevasi tersebut banyak terdapat pada wilayah-wilayah yang memiliki relief atau terrain berbukit sampai bergunung, namun sebaliknya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada wilayah-wilayah yang memiliki relief relatif datar (warna abu-abu) Menurut Gorokhovickh dan Voustonik (2006), ketelitian mutlak vertikal data SRTM berhubungan langsung dengan karakteristik terrain, dimana nilai galat vertikal yang lebih besar sering muncul pada wilayah-wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang curam dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai kemiringan lereng yang lebih kecil atau landai. Hal ini erat kaitannya dengan terjadinya proses pemendekan permukaan (foreshortening) atau perebahan (layover) lereng-lereng curam pada permukaan bumi di citra SRTM, namun hal ini tidak terjadi pada lereng-lereng yang landai. Sifat-sifat data SRTM seperti ini perlu diperhatikan oleh pengguna, terutama untuk membuat pemodelan longsor.

33 Dalam penelitian ini DEM dari topografi dianggap paling baik karena tidak terdapat proses-proses foreshortening dan layover dan dipilih untuk pemodelan longsor. (a) (b) (c) Gambar 7. Hasil penggabungan DEM (a) DEM IDW (b) DEM SRTM (c) gabungan kedua DEM warna merah nilai SRTM > IDW, warna hijau nilai IDW > SRTM 5.2. Aplikasi DEM untuk Pemodelan Longsor pada DAS Ciliwung Hulu Berdasarkan hasil pencarian informasi dan observasi lapangan ditemukan setidaknya 15 titik longsor di daerah penelitian yang berada di sekitar pemukiman dan jalan raya (Gambar 8). Sebagian besar daerah yang mengalami longsor terletak di Desa-desa Citeko, Pensiunan, Hegarsari, Kampung Baru, dan Naringgul yang berlokasi di wilayah Kecamatan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Pada penelitian ini dilakukan juga penentuan lokasi-lokasi yang tidak mengalami longsor secara acak yang digunakan sebagai pembanding terhadap daerah-daerah yang mengalami longsor. Jumlah titik yang diperlukan 15 titik berlokasi di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan kecamatan Sukaraja, Megamendung, Ciawi dan Cianjur. Lokasi-lokasi tidak longsor tersebut (Gambar 9) selanjutnya dianalisis dalam DEM untuk diperbandingkan nilai-nilai parameternya dengan yang berada pada titik-titik terjadinya longsor.

Gambar 8. Lokasi titik-titik longsor dan tidak longsor 34

35 a. Desa Kampung Baru b. Kecamatan Cisarua c. Kecamatan Tugu Utara d. Desa Citeko e. Desa Kampung Baru f. Desa Naringgul Gambar 9. Contoh titik-titik longsor di daerah penelitian Berdasarkan keperluan analisis, selanjutnya diambil beberapa parameter morfometri untuk longsor dari DEM, meliputi aspek lereng, kemiringan lereng, serta ketinggian tempat (elevasi), sedangkan untuk parameter-parameter lain diambilkan dari data sekunder, yaitu curah hujan, jenis tanah, bahan induk, relief,

36 dan indeks vegetasi. Tabel Lampiran 4 memaparkan nilai dari 8 parameter pada 30 titik-titik wilayah longsor dan tidak longsor di DAS Ciliwung Hulu. 5.2.1. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng yang dibuat dari hasil analisis DEM pada daerah penelitian ditunjukkan dengan 5 warna berbeda yang menunjukkan perbedaan kelas lereng. Klasifikasi kemiringan lereng dalam penelitian ini merujuk pada data kemiringan lereng penyebab longsor dari Savitri (2007). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian didominasi oleh kemiringan 0% - 8% (warna pink), dan 8% - 15% (warna orange), sedangkan kemiringan yang lain relatif kecil (Tabel 4). Tabel 4. Kemiringan lereng di DAS Ciliwung Hulu. Nilai Kemiringan Lereng Kelas kemiringan Warna Luas Ha % 0 8 % Datar Pink 4.602 37 8 15 % Landai Orange 4.507 35 15 30 % Agak curam Kuning 1.495 12 30 45 % Curam Biru 1.502 11 > 45 % Terjal Hijau 693 5 Total 12.800 100 Daerah penelitian kemiringan lereng tertinggi (> 45% atau warna hijau) berada di kawasan puncak Gunung Gede Pangrango, sedangkan wilayah yang mempunyai kemiringan terendah (0% - 8 % atau warna pink) tersebar di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Sukaraja. Secara teoritis wilayahwilayah yang memiliki kemiringan lereng yang tinggi umumnya merupakan wilayah-wilayah yang rentan longsor. Apabila kemiringan lereng semakin tinggi maka peluang pergeseran tanah dan material yang ada di dalamnya juga meningkat (Lee dan Talib, 2005). Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan bahwa daerah-daerah yang mengalami longsoran berada pada wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang besar 8% 15 % (landai), 15% - 30% (agak curam) dan sebagian kecil pada kemiringan 30% - 45% (curam). Titik-titik longsor tersebut berada pada daerah permukiman di dekat jalan raya. Sebaliknya wilayah yang tidak pernah mengalami kejadian longsor mempunyai kemiringan

37 lereng yang lebih rendah sebesar 0% - 8% (landai) dan berada jauh dari permukiman dan jalan raya (Gambar 10). 5.2.2. Aspek Lereng Aspek lereng merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi pergerakan tanah, karena arah menghadapnya lereng berkaitan dengan proses pelapukan melalui sinar matahari. Berdasarkan hasil analisis DEM diperoleh 7 jenis aspek lereng, yaitu: N, NE, E, S, SW, W, dan NW (Gambar 11). Pada gambar tersebut tampak bahwa aspek lereng di daerah penelitian meliputi arah barat (W) (biru tua), barat laut (NW) (pink), utara (N) (orange), selatan (S) (ungu muda), barat daya (SW) (biru muda), timur laut (NE) (orange muda), dan timur (E) (kuning). Dengan demikian aspek lereng yang dominan di daerah penelitian adalah N, NW, dan W (Tabel 5). Tabel 5. Aspek Lereng di DAS Ciliwung Hulu Aspek Lereng Keterangan LUAS warna Ha % Utara Orange 2.663 21 Timur laut Orange muda 907 8 Barat laut Pink 2.816 22 Selatan ungu 1.073 8 Tenggara Biru muda 973 7 Timur Kuning 869 7 Barat Biru tua 3.518 27 Total 12.800 100 Arah lereng banyak berkaitan dengan faktor iklim, antara lain sinar matahari, kelembapan, dan curah hujan. Menurut Fernandez et al. (2008) potensi longsor berhubungan langsung dengan variabel kelembapan tanah dan cuacanya. Aspek lereng juga mempengaruhi jenis vegetasi, iklim mikro pada permukaan lereng, dan pelapukan batuan (Kumar et al, 2010). Sinar matahari yang menyinari permukaan bumi memiliki penyinaran paling lama dan panas pada siang sampai sore hari, yaitu ketika matahari banyak menyinari sisi bagian barat dan timur bumi, sehingga daerah tersebut secara tidak langsung memiliki proses pelapukan batuan yang lebih cepat dibandingkan dengan sisi-sisi yang lain. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan (Gambar 11), daerah-daerah penelitian yang banyak mengalami kejadian longsor terletak pada lereng-lereng yang menghadap ke arah timur laut (NE) atau orange muda, utara (N) atau orange,

38 dan barat laut (NW) atau pink. Daerah-daerah yang tidak mengalami longsor berada pada lereng-lereng yang mengarah ke arah barat (W) atau biru tua, dan barat daya (SW) atau biru muda (Gambar 11). 5.2.3. Elevasi Elevasi atau ketinggian tempat pada umumnya dianggap sebagai faktor penentu longsor yang tidak langsung (Fernandez et al. 2008) karena elevasi berkaitan dengan curah hujan, temperatur, dan jenis vegetasi. Pada Gambar 12 berikut dipaparkan 5 kelas ketinggian dengan interval sebesar 300 meter di wilayah penelitian. Perubahan penggunaan lahan, kemampuan tanah sebagai daerah tangkapan air, dan kenaikan intensitas curah hujan semakin beragam setiap perubahan ketinggian sebesar 300 meter dari permukaan laut (mdpl) (Indra et al. 2006). Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa elevasi yang dominant daerah penelitian adalah pada ketinggian 200-500 (seluas 4.299 ha), 500-800 meter (seluas 4.306 ha), dan 800-1.100 meter (seluas 3.403 ha) sedangkan elevasi yang lebih tinggi semakin kecil (Tabel 6). Tabel 6. Kelas elevasi di DAS Ciliwung Hulu Ketinggian (meter) LUAS Ha % 200-500 4.299 33,5 500-800 4.306 33,6 800-1.100 3.403 26,5 1.100-1.400 661 5,1 1.400-1.700 131 1,0 Total 12.800 Menurut Peralvarez et al. (2008) pada ketinggian 300 hingga 1.800 meter umumnya terjadi perubahan yang signifikan pada faktor iklim, terutama curah hujan dan temperatur udara. Hal tersebut menginikasikan bahwa daerah yang memiliki ketinggian > 300 mdpl seharusnya mempunyai pelapukan batuan yang lebih besar daripada daerah bawahnya karena memiliki curah hujan lebih besar. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan didapatkan bahwa wilayah penelitian yang mengalami kejadian longsor memiliki kisaran ketinggian antara 500 hingga 800 mdpl, sedangkan wilayah yang tidak mengalami longsor, pada umumnya memiliki ketinggian yang lebih rendah yaitu antara 200 hingga 500 mdpl.

39 Berdasarkan hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor di daerah penelitian umumnya banyak terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ketinggian > 500 mdpl. 5.2.4. Curah Hujan Data curah hujan diambil dari koleksi data antara tahun 2004-2008 dari 5 stasiun hujan yang berbeda, yaitu stasiun meteorologi Citeko, Ciawi, Gunung Mas, Dramaga, Megamendung, dan Empang. Kelima stasiun hujan tersebut diambil rataan dari bulan terbasah untuk mengetahui perkiraan nilai curah hujan puncak di daerah penelitian, karena peristiwa longsor sering terjadi pada musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Pengukuran curah hujan, dilakukan dengan metode bulan terbasah yaitu mengambil rata-rata curah hujan bulan terbasah dari tahun 2004 hingga 2008. Sebenarnya ada beberapa metode lain untuk menggambarkan persebaran curah hujan di suatu wilayah, seperti isohiet atau poligon thiessen. Menurut ESDM (2009) isohiet merupakan hasil pemrosesan variabilitas nilai curah hujan secara rataan (generalisasi), sehingga isohiet sangat baik digunakan untuk wilayah-wilayah yang mempunyai topografi datar. Adapun poligon thiessen tidak berasumsi titik yang berdekatan lebih mirip nilainya dari titik yang berjauhan (ESDM, 2009). Uraian diatas terlihat bahwa metode tersebut kurang sesuai untuk tujuan penelitian ini, karena kondisi topografi daerah penelitian sangat variatif, dari datar hingga pegunungan dan stasiun hujan tersebar tidak merata dan berjauhan. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini digunakan metode nilai curah hujan puncak pada bulan terbasah. Gambar 13 berikut merepresentasikan data bulan terbasah setiap tahun, yang kemudian didapatkan parameter bulan terbasah untuk diinterpolasi.

Gambar 10. Peta kemiringan lereng daerah penelitian 40

Gambar 11. Peta aspek lereng daerah penelitian 41

Gambar 12. Peta ketinggian tempat (elevasi) daerah penelitian 42

43 curah hujan 2004 a. curah hujan 640 620 600 580 560 540 520 500 januari april februari juli bulan terbasah januari april februari juli curah hujan 2005 b. curah hujan 800 700 600 500 400 300 200 100 0 maret januari februari desember bulan terbasah maret januari februari desember curah hujan 2006 c. curah hujan 800 700 600 500 400 300 200 100 0 desember bulan terbasah januari desember januari curah hujan 2007 d. curah hujan 1000 800 600 400 200 0 februari desember januari bulan terbasah februari desember januari curah hujan 2008 e. curah hujan 640 630 620 610 600 590 580 570 560 550 maret februari november bulan terbasah maret november

44 Gambar 13. Grafik curah hujan bulan terbasah tahun (a) 2004, (b) 2005, (c)2006 (d) 2007, (e) 2008 Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui ada empat bulan terbasah yang dominan (ungu), yaitu bulan-bulan Desember, Januari, November, dan Februari. Berdasarkan bulan-bulan tersebut dipilih bulan Januari sebagai parameter bulan terbasah untuk pemodelan longsor karena mempunyai nilai curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain (sebagai puncak musim hujan). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa daerah penelitian mempunyai nilai curah hujan yang bervariasi, dari 613,88 hingga 779,99 mm/tahun. Wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 746,77 hingga 779,99 mm/tahun, sedangkan wilayah yang tidak mengalami kejadian longsor memiliki nilai curah hujan sebesar 713,54 hingga 746,77 mm/tahun (Tabel 7). Hasil interpolasi curah hujan pada bulan Januari disajikan pada Gambar 14. Tabel 7. Nilai curah hujan puncak di DAS Ciliwung Hulu Nilai Curah Hujan Keterangan Luas mm/tahun warna Ha % 613-647 Kuning 211 2 647-680 Hijau 393 3 680-713 Pink 1.750 14 713-746 Biru 4.876 37 746-779 Abu-abu 5.570 44 Total 12.800 100 5.2.5. Indeks Vegetasi (NDVI dan EVI) Menurut Rau et al. (2006) Normal Difference Vegetation Index (NDVI), Enhanced Vegetation Index (EVI), dan Leaft Area Index (LAI) merupakan indeks yang biasa digunakan untuk menganalisis vegetasi penutup dan bisa juga digunakan sebagai parameter untuk memprediksi longsor. Menurut Vohora dan Donoghue (2004), Nilai NDVI dapat diperoleh dengan menggunakan model transformasi matematika yang didesain untuk mengakses kontribusi tumbuhan hijau pada kanal multispektral data penginderaan jauh. Nilai NDVI berkisar antara -1 dan 1, dimana nilai > 0 menerangkan banyaknya vegetasi dan ditunjukkan oleh rona yang lebih terang, sebaliknya untuk wilayah yang kurang vegetasi mempunyai warna cenderung gelap dan hitam.

45 Tanah mempunyai nilai mendekati nol dan tubuh air mempunyai nilai kurang dari nol. Menurut Rau et al. (2006) indeks yang tinggi menunjukkan lebih banyak vegetasi hijau jika dibandingkan dengan indeks yang rendah. Adapun EVI digunakan untuk mengkoreksi nilai NDVI melalui pengurangan efek dari faktorfaktor lingkungan seperti atmosfer, tanah, dan efek topografi yang dapat menyebabkan perubahan variasi cahaya terhadap citra yang akan dikoreksi. Walaupun EVI memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan NDVI, tetapi EVI sangat peka terhadap kondisi lingkungan yang mudah berubah dibandingkan dengan NDVI (Matsushita et al. 2007). Berikut ini disajikan hasil indeks vegetasi dari citra ALOS AVNIR-2 (Gambar 15a dan b) yang memperlihatkan bahwa wilayah yang mengalami kejadian longsor mempunyai penutupan vegetasi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari keterangan rona yang lebih terang (dari putih hingga abu-abu) dengan kisaran indeks vegetasi sebesar 0,25 hingga 0,67. Wilayah bervegetasi tinggi tersebut berupa hutan dan kebun campuran meliputi Kecamatan Tugu Utara, Kecamatan Cibereum dan Kecamatan Cisarua. Tingginya nilai NDVI pada wilayah tersebut dikarenakan adanya peristiwa fotosintesis dari vegetasi yang cukup besar sehingga sinyal NIR (Near Inframerah Red) yang terlihat pada citra lebih banyak atau memiliki rona terang. Wilayah yang tidak mengalami kejadian longsor mempunyai penutupan vegetasi yang lebih rendah (rona abu-abu sampai hitam) dengan kisaran indeks vegetasi sebesar 0,08 hingga 0,45. Penggunaan lahan yang dominan didaerah tersebut adalah sawah meliputi di Kecamatan Megamendung, Kecamatan Sukaraja, dan Kecamatan Ciawi. Peristiwa fotosintesis didaerah tersebut yang tidak terlalu besar menyebabkan gelombang NIR yang diterima sedikit sehingga menimbulkan rona lebih gelap.

Gambar 14. Peta interpolasi curah hujan bulan Januari dari tahun 2004-2008 46

Gambar 15.a. Hasil analisis EVI dari citra ALOS AVNIR-2 47

Gambar 15.b. Hasil analisis NDVI dari citra ALOS AVNIR-2 48

49 5.2.6. Jenis Tanah, Relief dan Bahan Induk Data tanah, relief, dan bahan induk yang digunakan berasal dari Peta Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu skala 1:50.000 (Puslitanak, 1992). Persebaran jenis tanah di daerah penelitian disajikan pada Gambar 16, meliputi jenis tanah andisol, entisol, inseptisol dan ultisol. Wilayah yang banyak mengalami longsor di daerah penelitian didominasi oleh jenis tanah inseptisol dan entisol yang tergolong subur, sedangkan untuk wilayah tidak longsor banyak didominasi oleh jenis tanah inseptisol dan ultisol. Entisol merupakan tanah yang belum berkembang memiliki solum yang tipis sekitar 18 cm, pada umumya terbentuk akibat adanya pengendapan secara terus menerus (Harjowigeno, 1985). Adanya pengendapan dan pencucian yang intensif mengakibatkan tanah menjadi jenuh sehingga menyebabkan terjadinya aliran permukaan (run off), dan memungkinkan terjadinya longsor. Pada wilayah penelitian, entisol terletak pada lahan-lahan dengan kemiringan yang cukup besar yaitu antara 30 % 45%, dengan relief bergunung sehingga sangat wajar jika tanah-tanah ini menjadi rentan longsor. Inseptisol memiliki sifat yang menyerupai seperti bahan induknya dan mengalami penimbunan liat, pengendapan Fe dan Al, pada umumnya memiliki solum yang dalam anatara 125 cm hingga lebih dari 200 cm (Hardjowigeno, 1985). Inseptisol pada daerah penelitian berada pada kemiringan 0 % 30 % dengan intensitas curah hujan tinggi (713 779 mm/thn). Persebaran inseptisol pada umumnya berada pada relief yang berombak sampai bergelombang (Gambar 18). Di daerah penelitian, inseptisol banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai wilayah permukiman dan lahan pertanian karena mempunyai kemampuan produktifitas yang tinggi (Hardjowigeno, 1985). Besarnya aktivitas manusia di atas tanah ini (terutama pemotongan lereng) memungkinkan tanah ini menjadi rentan longsor. Berdasarkan hasil observasi lapangan pada jenis tanah inseptisol terdapat titik-titik yang mengalami longsor maupun yang tidak mengalami longsor. Pada daerah yang mengalami longsor memiliki kemiringan 8% - 45%, curah hujan sebesar 746 779 mm/tahun, relief bergunung, dan penggunaan lahan

50 dominan berupa permukiman, sedangkan daerah yang tidak mengalami longsor berada pada kemiringan lebih rendah (0% - 8%), curah hujan 713 746 mm/tahun, relief bergelombang, dan penggunaan lahan dominan berupa sawah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian longsor pada jenis tanah yang sama ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh kemiringan, relief, dan penggunaan lahan di atasnya.. Gambar 16. Peta jenis tanah daerah penelitian

Gambar 17. Peta jenis bahan induk daerah penelitian 51

Gambar 18. Peta relief daerah penelitian 52

53 5.3. Analisis Diskriminan Linier (LDA) Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran parameter-parameter yang digunakan pada titik-titik longsor seperti telah diuraikan di atas, selanjutnya ditentukan uji statistik diskriminan linear untuk mengetahui pengaruh berbagai peubah terhadap proses longsor. Uji statistik ini dilakukan dengan menggunakan program Tanagra 1.4. Uji ini, dipilih 2 peubah, yaitu peubah tujuan (respon) dan peubah bebas (penjelas). Peubah tujuan (respon) terdiri dari atribut longsor dan tidak longsor (Tabel 8). Peubah bebasnya (penjelas) merupakan parameter yang memiliki nilai nominal agar diketahui nilai yang berpengaruh pada setiap parameter. Peubah bebas terdiri dari aspek lereng, kemiringan lereng, ketinggian tempat, curah hujan, dan indeks vegetasi (NDVI dan EVI) (Tabel 8). Tabel 8 berikut memperlihatkan setiap peubah penjelas yang dimasukan ke dalam diskriminan linier dan menghasilkan peubah penjelas yang berpengaruh dan peubah penjelas yang tidak berpengaruh terhadap respon. Peubah-peubah yang berpengaruh atau tidak terhadap longsor dapat dilihat dari nilai P-value yang dihasilkan, apabila nilai P-value kurang dari 5% maka menujukkan adanya pengaruh nyata terhadap respon, sebaliknya jika P-value lebih dari 5% maka tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Berdasarkan hasil analisis LDA (Tabel 8) terlihat bahwa peubah-peubah penjelas yang tidak berpengaruh terhadap peubah respon (P-value > 5%) adalah kemiringan lereng, aspek lereng, dan indeks vegetasi, sedangkan peubah-peubah penjelas yang berpengaruh terhadap respon (P-value < 5 %) adalah ketinggian (elevasi) dan curah hujan.

54 Tabel 8. Hasil pengolahan parameter longsor dengan tanagra 1.4 Atribute Clasification Function Statistical Evaluation Longsor Tidak Wilks.L Partial F (1,23) P-value Ketinggian 0,084 0,067 0,410 0,813 5,281 0,000305 Kemiringan -0,224-0,158 0,342 0,975 0,576 0,078765 Aspek 0,013 0,001 0,388 0,858 3,776 0,820516 Curah Hujan 0,759 0,651 0,501 0,665 11,540 0,000001 NDVI 21,324 9,470 0,376 0,886 2,939 0,172303 EVI -5,374-0,405 0,376 0,886 2,939 0,377638 Constant -35,699-39,029 Curah hujan mempunyai nilai P-value sebesar 0,000001 (Tabel 9), artinya curah hujan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pemodelan DEM untuk memprediksi bahaya longsor pada selang kepercayaan 5%. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung lama/terus menerus akan dapat menyebabkan tanah menjadi jenuh sehingga menimbulkan aliran permukaan bahkan dapat memicu terjadinya longsor apabila berada pada lereng yang curam (> 45%). Ketinggian tempat (elevasi) mempunyai nilai P-value sebesar 0,000305, artinya memberikan pengaruh nyata terhadap proses longsor pada selang kepercayaan 5%. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan, bahwa wilayah-wilayah yang mengalami kejadian longsor memiliki ketinggian tempat yang besar, yaitu antara 500 hingga 800 meter sedangkan untuk wilayah tidak mengalami longsor mempunyai elevasi antara 200 hingga 500 meter. Hal ini cukup wajar disebabkan semakin tinggi suatu permukaan bumi maka akan berpotensi untuk mempunyai lereng-lereng yang curam dan curah hujan yang tinggi. Daerah-daerah yang memiliki ketinggian yang besar adalah daerah yang bergunung dan biasanya mempunyai curah hujan yang tinggi berkat terjadinya hujan orografis. Kemiringan lereng memiliki P-value sebesar 0,078765, artinya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap longsor pada selang kepercayaan 5%. Keadaan di lapangan membuktikan bahwa longsor banyak terjadi pada kemiringan lereng-lereng yang besar, karena kondisi ini banyak berpengaruh terhadap jatuh/bergeraknya batuan dan tanah ke daerah yang lebih rendah. Adanya

55 kemiringan lereng yang besar menyebabkan kemiringan lereng merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian longsor, namun demikian dalam penelitian ini hasil analisis LDA menujukkan sebaliknya bahwa nilai P-value dari kemiringan lereng memperlihatkan sifat yang tidak berpengaruh nyata. Kontradiksi ini mungkin dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat akurasi kelas lereng yang direpresentasikan pada peta. Akurasi ini berkaitan dengan interval ketinggian yang ditentukan dalam penelitian ini yang masih cukup besar (12,5 meter) sesuai dengan skala peta topografi yang digunakan (Skala 1:25.000). Titiktitik longsor yang ada di lapangan (Gambar 9) kebanyakan mempunyai beda tinggi lereng (antara titik tertinggi dengan terendah) kurang dari 12,5 meter. Aspek lereng memiliki P-value sebesar 0,820516 artinya, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pemodelan bahaya longsor, pada selang kepercayaan 5% sehingga secara langsung aspek lereng merupakan faktor yang tidak mempengaruhi pergerakan tanah. Menurut Peralvarez et al. (2008) aspek lereng sebenarnya secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses longsor karena arah lereng lebih banyak membantu dalam hal pelapukan batuan akibat adanya sinar matahari. Kontradiksi yang dihasilkan dalam penelitian ini agak sulit diterangkan, namun mungkin dapat berkaitan dengan akurasi kemiringan lereng. Chang dan Tsai (1991) juga menjelaskan bahwa aspek error parameter ini lebih besar pada topografi yang curam. Indeks Vegetasi memiliki nilai P-value sebesar 0,172303 untuk (NDVI) dan P-value sebesar 0,377628 (EVI), sehingga kedua indeks vegetasi ini juga tidak berpengaruh nyata tehadap pemodelan DEM untuk longsor pada selang kepercayaan 5%. Hal ini disebabkan vegetasi dapat berfungsi ganda, yaitu dapat sebagai pelindung terjadinya longsor akibat adanya akar-akar vegetasi yang memperkuat kestabilan lereng, atau pada kondisi tertentu vegetasi malah dapat berfungsi sebagai pemberat (beban) dari lereng, sehingga dapat menyebabkan pemicu terjadinya longsor. Untuk daerah penelitian, daerah-daerah yang terkena longsoran memiliki jumlah indeks vegetasi lebih besar (0,2 0,6) jika dibandingkan dengan daerah tidak terkena longsor (0,1-0,4).