BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. DAS Serayu, terutama di bagian hulu DAS berkaitan dengan pemanfaatan lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

Mengoptimalkan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Dalam Unit Daerah Aliran Sungai 1

DEGRADASI DAN SISTEM PENGELOLAAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI TULIS. Degradation and Land Use System of Tulis Watershed

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem di Pulau Jawa. Dieng berada di ketinggian antara 1500

TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap Hutan. Istilah lanskap secara umum dipahami sebagai bentang alam yang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ketinggian berkisar ± 1500 m diatas permukaan air laut. Kawasan

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

TINJAUAN PUSTAKA. hilir. Sandy (1996) dalam Kusumawardani (2009) mendefinisikan DAS sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

I. PENDAHULUAN. Bentuk-bentuk pertanian tradisional banyak ditemukan di seluruh dunia termasuk

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

BAB I. Pendahuluan. yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN


BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang penting bagi

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

DRAFT EMPAT GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

PERAN KOORDINASI DAN KERJASAMA PARAPIHAK DALAM FORUM KOMUNIKASI PENGELOLAAN DAS TONDANO *) Oleh: Ir. Semuel P. Ratag, MP **)

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FOREST LANDSCAPE RESTORATION

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENGEMBANGAN KONSEP MANAJEMEN ASET KELEMBAGAAN SUMBERDAYA AIR PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOGAWA I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber daya alam. Sub sistem ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya di dalam sistem DAS menjadi faktor penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Di dalam ekosistem DAS jasad hidup dan lingkungannya berinteraksi secara dinamis dan terdapat saling ketergantungan antar komponen-komponen penyusunnya. Segenap aktivitas kehidupan yang membentuk pola interaksi antar komponen abiotik, biotik, dan budaya masyarakat bersama-sama menyusun kesatuan ekosistem tersebut. Terwujudnya integrasi dan sinergisitas sub sistem tersebut menjadi landasan dalam keberlanjutan pengelolaan DAS. Oleh karena itu, DAS harus dijadikan basis perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam. Pengelolaan DAS bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan sosialekonomi dari segala aktivitas tata guna lahan sebagai upaya memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS agar dapat menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan masyarakat (Asdak, 2004). Merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2012, pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya di dalam DAS, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. 1

Kepentingan masyarakat terhadap akses sumber daya alam DAS dapat menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem DAS. Dinamika perubahan yang terjadi sebagai akibat dari pengelolaan sumber daya alam DAS dapat bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif apabila meningkatkan kesejahteraan manusia yang terkena dampak tanpa mengurangi nilai ekologis, dan berpengaruh negatif jika menurunkan kesejahteraan manusia yang terkena dampak. Semakin besar intensitas kegiatan pembangunan di dalam DAS menyebabkan terjadinya peningkatan eksploitasi sumber daya alam yang bersifat multi-use, seperti pertanian, perikanan, pariwisata, pertambangan, industri, dan aktivitas pembangunan lainnya (Wade et al., 2003). Perubahan tata guna lahan hutan menjadi lahan pertanian yang dikerjakan secara intensif menyebabkan tingginya erosi yang berakibat pada percepatan proses degradasi lahan (Turkelboom et al., 2008). Sementara itu, Chomitz dan Nelson (2007) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara degradasi lahan, sistem hidrologi, dan kemiskinan di dalam DAS. Terganggunya sistem hidrologi DAS menjadi salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat di dalam DAS. Daerah aliran sungai Tulis merupakan salah satu sub DAS di bagiaan hulu DAS Serayu yang terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Daerah aliran sungai Tulis mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem Dieng karena kawasan ini merupakan bagian dari kawasan lindung Dataran Tinggi Dieng. Selain itu, 2

kawasan ini menjadi daerah tangkapan air (DTA) Waduk Sudirman yang merupakan investasi bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan untuk menyuplai kebutuhan air bagi masyarakat disekitarnya (SCBFWM, 2010). Sistem pengelolaan lahan di DAS Tulis diduga secara tidak langsung berdampak terhadap kelestarian kawasan lindung Dataran Tinggi Dieng. Sebagian besar wilayah DAS Tulis berada pada ketinggian 2000 m dpl dengan tingkat kelerengan 15-25% dan curah hujan rata-rata tahunan 3702 mm. Penggunaan lahan di DAS Tulis sebagian besar di dominasi oleh pertanian intensif yaitu pertanian kentang. Sistem pertanaman kentang di DAS Tulis dilakukan dengan pola tanam mengikuti lereng atau tegak lurus kontur tanpa dilengkapi dengan terasering (SCBFWM, 2011). Sistem pemanfaatan lahan seperti ini berpotensi meningkatkan laju aliran permukaan saat terjadi hujan di kawasan tersebut. Kondisi biofisik ini rentan terhadap terjadinya degradasi lahan. Tahun 2010 tingkat erosi yang terjadi di DAS Tulis mencapai rata-rata 659,38 ton per hektar per tahun (SCBFWM, 2010). Kondisi ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya degradasi lahan di DAS Tulis yang berdampak pada menurunnya produktivitas lahan dan semakin meluasnya lahan kritis yang ada di kawasan ini. Di sisi lain, tingginya nilai jual komoditas kentang dan pendeknya rotasi panen menyebabkan masyarakat di DAS Tulis menjadikan kentang sebagai komoditas unggulan sehingga banyak petani menanam kentang secara besarbesaran. Sempitnya aset kepemilikan lahan dan lemahnya pemahaman konservasi lahan memunculkan pemikiran para petani bahwasanya lahan yang sempit 3

dimanfaatkan untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Kondisi ini menyebabkan petani kentang di DAS Tulis berusaha meningkatkan kualitas produksi kentang dengan menggunakan zat kimia (SCBFWM, 2010). Di sisi lain, penggunaan zat kimia secara berlebihan dalam jangka panjang akan berdampak pada pencemaran lahan yang berakibat pada menurunnya tingkat kesuburan lahan tersebut. Sementara itu, belum adanya regulasi yang jelas dalam mengatur pembagian peran antar stakeholders yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS Tulis menjadi kendala dalam upaya keberlanjutan pengelolaan lahan di DAS Tulis. Intervensi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui sistem pengelolaan DAS terpadu DAS Tulis dan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Jawa Tengah dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo dirasa belum berjalan secara optimal. Sistem pengelolaan yang dibangun oleh masing-masing lembaga tersebut terkesan masih bersifat sektoral sehingga berpotensi menyebabkan konflik kepentingan. Kondisi ini diperparah dengan implementasi kebijakan yang bersifat top down dan lemahnya pengawasan di tingkat lapangan dalam pengelolaan lahan milik serta dampak yang diakibatkan terhadap kepentingan publik. Pendekatan kebijakan yang bersifat bottom up dengan mengupayakan peningkatan kesadaran petani terhadap pentingnya konservasi tanah dan air diharapkan mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menjaga kelestarian sumber daya lahan. Pendekatan bottom up memberi peran 4

kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam mengurangi laju degradasi lahan. Harapannya, masyarakat mampu menemukenali potensi dan permasalahan yang menjadi bagian keseharian dalam komunitasnya. Modal sosial menjadi landasan bagi masyarakat dalam memperkuat interaksi sosial. Tumbuhnya kesadaran akan pentingnya modal sosial dapat menjadi kekuatan yang dimiliki masyarakat dalam bertindak dan berinteraksi sesuai dengan kultur yang hidup dan berkembang di dalam komunitas masyarakat tersebut. Suatu pembangunan manusia dan bangsa tidak dapat dilakukan secara efektif sesuai dengan misinya, tanpa melibatkan dimensi kultural yaitu modal sosial (Hasbullah, 2006). Modal sosial menurut definisi tersebut dipandang sebagai bagian penting dalam membangun masyarakat melalui interaksi secara sadar. Pengertian yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Putnam yang mendefinisikan modal sosial sebagai: Bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (networking), yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi (Putnam et al., 1993). Definisi di atas menjelaskan modal sosial sebagai komponen penting yang ada di dalam masyarakat untuk melakukan tindakan bersama. Peran modal sosial menjadi sangat nyata ketika masyarakat dan stakeholder lainnya melakukan tindakan bersama untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan. Tindakan bersama ini terbentuk karena terjalinnya interaksi sosial yang ada di dalam komunitas masyarakat yang dilandasi oleh adanya elemen-elemen modal sosial yang tumbuh di dalam masyarakat (Badaruddin, 2006). Elemen-elemen modal sosial tersebut 5

adalah hubungan saling percaya (trust), norma/ pranata sosial (norm), jaringan sosial (social network), dan pertukaran timbal balik (reciprocity) antar individu dalam masyarakat tersebut (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995; Grootaert, 1998). Modal sosial dapat memengaruhi perubahan sosial baik yang bersifat negatif maupun positif. Rubio (1997) mengungkapkan sisi negatif modal sosial melalui konsep perversed social capital. Menurut Rubio, budaya masyarakat yang mengaitkan antara tingkat pendidikan dan pendapatan sebagai suatu penghargaan yang harus diperoleh merupakan salah satu sisi kegagalan modal sosial. Apabila sekelompok individu menginvestasikan sumber daya yang dimiliki atas dasar kepentingan untuk mendapatkan penghargaan, maka modal sosial tidak lagi menjadi aset yang produktif dan menguntungkan masyarakat secara ekonomi. Sebaliknya modal sosial yang bergerak ke arah positif dapat memberikan nilai kemanfaatan bagi masyarakat. Sebagai contoh, tindakan bersama yang dilakukan masyarakat Krui, Kabupaten Lampung Barat yang dikenal dengan Repong Damar dengan merehabilitasi lahan-lahan kritis menjadi lahan yang produktif dengan cara menanam, memelihara, dan memanfaatkan tanaman Damar (Shorea javanica) secara lestari. Kondisi ini didasari atas kesadaran masyarakat akan pentingnya mengembalikan hutan dan lahan sesuai dengan fungsinya. Kondisi ini mendorong masyarakat membuat tata aturan sosial yang disepakati bersama dalam kelompok masyarakat tersebut, agar memanfaatkan hasil hutan dan pengelolaan lahan tanpa merusak sumber daya hutan dan lahan itu sendiri. Nilai-nilai dan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat tersebut sangat dipatuhi sehingga Repong Damar dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat lain berupa sumber air bagi masyarakat yang tinggal di kawasan di 6

bawahnya. Selain itu, ketaatan terhadap norma-norma yang disepakati dapat mengurangi laju degradasi lahan dan potensi konflik antar kelompok masyarakat yang berkepentingan. Begitu pentingnya modal sosial dalam kaitan pembangunan masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam menyebabkan perlunya mempelajari modal sosial sebagai konsep dasar untuk memahami interaksi antar komponen masyarakat dan lingkungannya. Fukuyama (1995), Putnam (1995), Woolcock (1998), Colleta dan Cullen (2000), Dasgupta (2002), Foster et al. (2003), Subejo (2004), Hasbullah (2006), Thamrin, dkk (2010), Lopez et al. (2012), Setiahadi (2012), Handoyo (2013), Murwani (2013), Suandi (2014), dan Ibrahim dan Dueraman (2015) mengemukakan bahwa modal sosial sangat terkait erat dengan keberhasilan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang memanfaatkan potensi modal sosial menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih baik, sehingga modal sosial menjadi pilar penting pembangunan masyarakat dan tata pemerintahan yang baik (good governance). Permasalahan degradasi lahan di DAS Tulis diduga karena belum terjalinnya sinergisitas kepentingan para pihak secara optimal dalam sistem pengelolaan lahan di DAS Tulis. Sikap dan perilaku individu petani dalam pemanfaatan lahan diduga memberikan andil yang cukup besar terhadap degradasi lahan yang terjadi. Potensi modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat diharapkan mampu berperan dalam membangun sistem pengelolaan lahan yang ramah lingkungan sehingga dapat meminimalkan terjadinya degradasi lahan di DAS Tulis. 7

B. Perumusan Masalah Daerah aliran sungai Tulis yang terletak di bagian hulu DAS Serayu mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem DAS di bagian hilir. Tuntutan akan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari menjadikan masyarakat di DAS Tulis memanfaatkan lahan mereka menjadi pertanian kentang secara intensif. Sebagai lahan produksi, DAS Tulis dituntut memberikan manfaat ekonomi sebesar mungkin. Di sisi lain, sebagai daerah tangkapan air, DAS Tulis harus mampu mengendalikan aliran permukaan dan erosi sehingga degradasi lahan dan potensi konflik yang terjadi dapat diminimalkan. Konflik kepentingan mulai muncul manakala para pelaku pasar menawarkan harga jual produksi kentang yang tinggi kepada para petani lokal. Dalam waktu singkat, tanaman kentang menjadi komoditas unggulan/ primadona bagi para petani lokal di DAS Tulis. Kondisi ini memunculkan ketertarikan para petani untuk menanam tanaman kentang secara besar-besaran. Lahan yang sebelumnya ditanami tanaman sayuran, tembakau, sebagian tanaman kentang, dan beberapa jenis tanaman keras diganti menjadi tanaman kentang secara masif. Perubahan fungsi lahan ini mengakibatkan proses degradasi lahan di DAS Tulis semakin meluas (SCBFWM, 2010). Di sisi lain, penyelesaian degradasi lahan sebagai bagian dari sistem pengelolaan lahan yang melibatkan segenap stakeholders dirasa belum berjalan secara optimal sehingga sinergisitas kepentingan akan kelestarian sumber daya lahan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan wujud nyata partisipasi masyarakat belum tercapai. Menurut Ohno et al. (2010), tingkat partisipasi individu dalam pengelolaan DAS dipengaruhi oleh modal sosial. Sementara itu, 8

Menzel et al. (2013), tidak hanya mengemukakan pentingnya memahami pengaruh tingkat partisipasi masyarakat dalam mengatasi degradasi lahan, namun juga bagaimana kualitas proses partisipasi tersebut, yaitu hubungan relasional modal sosial dan tingkat kepercayaan dalam komunitas. Modal sosial yang dimiliki masyarakat di DAS Tulis diharapkan menjadi potensi nyata untuk membangun sistem pengelolaan lahan yang memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya lahan. Jalinan ikatan kesadaran sosial dan norma-norma akan membentuk kebudayaan (Sztompka, 2010). Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa setiap individu menjalankan perannya untuk membangun interaksi dan jaringan sosial berlandaskan kepercayaan dan norma-norma untuk membangun sistem pengelolaan sumber daya lahan. Ikatan kesadaran yang terbentuk atas dasar kepercayaan dan norma-norma diharapkan menjadi dimensi kebudayaan yang lebih mengakar yang tumbuh di dalam kehidupan masyarakat di DAS Tulis. Berkaitan dengan hal tersebut tentu menarik untuk dipelajari adakah modal sosial di DAS Tulis, dan bagaimana peran modal sosial untuk mengatasi degradasi lahan di DAS Tulis? Lebih lanjut rumusan masalah penelitian di atas dapat diurai menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana potensi dan peran modal sosial untuk mengatasi degradasi lahan di DAS Tulis? 2. Faktor-faktor sosial apa saja yang berpengaruh terhadap strategi pengelolaan lahan di DAS Tulis? 3. Bagaimana skenario yang dapat disusun untuk mengatasi degradasi lahan yang sesuai untuk dikembangkan di DAS Tulis? 9

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengkaji data yang digunakan untuk mengestimasi potensi peran modal sosial untuk mengatasi degradasi lahan di DAS Tulis. 2. Menentukan faktor-faktor sosial yang berpengaruh terhadap strategi pengelolaan lahan di DAS Tulis. 3. Menyusun skenario untuk mengatasi degradasi lahan berbasis potensi modal sosial di DAS Tulis. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan manfaat berupa: 1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menambah khasanah hasil penelitian di bidang kehutanan dan lingkungan hidup. 2. Informasi dan penjelasan tentang potensi dan peran modal sosial. Informasi ini dapat menggugah kesadaran masyarakat dalam upaya mengurangi laju degradasi lahan berbasis potensi modal sosial yang dimiliki sehingga memberikan nilai kemanfaatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di DAS Tulis. 10