KESIMPULAN DAN SARAN

Ukuran: px

Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KESIMPULAN DAN SARAN"

Yandi Tanuwidjaja
6 tahun lalu
Tontonan:

1 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum dan peningkatan fluktuasi debit, yang mengindikasikan kinerja DAS buruk. Ketersediaan air tahun mengalami penurunan 3,4% dibandingkan , padahal proyeksi kebutuhan air tahun 2028 meningkat sebesar 23,48%. Walaupun, neraca air tahunan SWP DAS Arau, positif, namun neraca air bulanan ada yang negatif sehingga mengindikasikan telah terjadi krisis air. Untuk mencapai tutupan lahan optimal yang memberikan kinerja DAS baik dan aman harus dipertahankan tutupan lahan hutan sebesar ha, sehingga harus dilakukan rehabilitasi sebesar ha (HSAW, 876 ha dan HL ha dan pada APL ha dengan pola hutan rakyat-agroforestry). 2. Perubahan tutupan lahan hutan menjadi tutupan lahan non hutan (degradasi hutan) menyebabkan peningkatan fluktuasi debit sungai yang berimbas pada krisis air dan mengakibatkan kinerja DAS menjadi lebih buruk. 3. Pengakuan dan penggabungan institusi lokal dalam perumusan kebijakan hutan sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari pada SWP DAS karena institusi lokal mempunyai potensi aksi kolektif yang besar dan memenuhi karakteristik pengelolaan CPR lestari. Oleh karena itu solusi masalah non excludability dan property right adalah pengelolaan hutan bersama antara pemerintah dan masyarakat lokal (adat). 4. Pengelolaan hutan berkelanjutan yang melibatkan aksi kolektif lokal yang berhasil, memiliki prinsip-prinsip : (1) aturan main pengelolaan berlandaskan norma masyarakat setempat dan mengutamakan fungsi fisik, sosial dan ekonomi hutan bagi masyarakat; (2) organisasi pengelola berkuasa memberikan penghargaan dan sanksi, diakui dan dihormati masyarakat; (3) pengaturan bersifat spesifik lokasi; (4) aturan main dibuat secara partisipatif; (5) ada insentif ekonomi bagi pemilik dan pengguna; (7) ada instrumen pengendali

2 370 penggunaan berkelanjutan; (8) resolusi konflik melalui perundingan untuk kesepakatan; (9) batas sumberdaya dan pengguna terdefinisi jelas dan disepakati oleh institusi pengelola dan otoritas lokal; (10) ada pengakuan dan kesetaraan hak pengguna untuk membentuk organisasi yang diakui otoritas lokal. 5. Pada situasi terjadinya ketidakjelasan hak kepemilikan karena peran dominan pemegang otoritas (pemerintah) terhadap (tidak mengakui hak) komunitas lokal, maka pengaturan modifikasi prinsip desain Ostrom oleh Gautam dan Shivakoti (2005) untuk pengelolaan CPR kehutanan perlu diperluas dengan : a. Memasukkan landasan pengaturan pengelolaan CPR yang mengutamakan fungsi CPR bagi komunitas lokal, yaitu : Pengaturan pemanfaatan CPR berlandaskan tuntunan etika yang sesuai dengan kondisi setempat dan mengutamakan fungsi fisik, sosial dan ekonomi CPR bagi masyarakat b. Penambahan pada prinsip desain (1) menjadi : Batas sumberdaya dan pengguna terdefinisi dengan jelas dan diakui serta disepakati bersama dalam institusi pengelola CPR dan otoritas lokal. c. Penambahan pada prinsip desain (4) menjadi : Pengaturan pilihan kolektif dibuat secara partisipatif, mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang berkepentingan dengan keberadaan CPR. d. Penambahan prinsip pengaturan legitimasi lembaga pengelola CPR, yaitu : Lembaga pengelola CPR memiliki kekuasaan untuk memberikan penghargaan dan sanksi kepada pengguna CPR, yang dijalankan oleh pemangku kekuasaan yang diakui dan dihormati masyarakat. e. Penambahan pada prinsip desain (8) menjadi : Pengaturan pengelolaan CPR bersifat spesifik lokasi. Institusi yang lebih tinggi dengan cakupan wilayah lebih luas hanya mengatur aturan umum, sedangkan aturan operasional (aturan yang lebih rinci) diatur oleh institusi pengelola yang lebih rendah, yang lebih mengetahui kondisi riil dan kesesuaian serta kemungkinan keberhasilan penerapan peraturan.

3 Pembayaran jasa lingkungan dapat dikembangkan pada SWP DAS Arau dalam pemanfaatan air permukaan kepada kawasan lindung yang menjadi DTA DAS seluas ha. Nilai kesediaan membayar pengguna jasa air permukaan untuk konservasi/rhl mencapai Rp ,946.-/tahun sampai Rp ,-/tahun, sedangkan nilai kesediaan penyedia jasa menerima kompensasi mencapai Rp ,-./ha. Pada lahan milik dalam kawasan lindung, yang tidak diterapkan skema PES, untuk pelaksanaan konservasi/rhl diberikan insentif dari dana APBN/APBD, berupa insentif langsung dan tak langsung, berbentuk insentif berbasis pemberdayaan masyarakat. 7. Pembayaran jasa lingkungan DAS dapat dijadikan instrumen finansial untuk pembiayaan konservasi dan RHL; instrument peningkatan pendapatan masyarakat dan insentif untuk pengelolaan lahan lestari karena adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat (penyedia jasa) dalam mengelola lahan; sebagai implementasi cost sharing hulu hilir atau antara penyedia dan pengguna jasa dalam pengelolaan DAS. Adanya pembiayaan pengelolaan DAS dari pengguna jasa DAS akan mewujudkan kemandirian pengelolaan DAS. 8. Untuk pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan lestari pada SWP DAS maka model institusi pengelolaan hutan yang paling sesuai dikembangkan saat ini adalah model pengelolaan hutan bersama masyarakat, dalam bentuk comanajemen yang dinamakan Model Pengelolaan Hutan Nagari, ditujukan untuk : (a) solusi masalah tumpang tindih property right pada HL; (b) sebagai ruang untuk pengakuan hak-hak masyarakat adat terhadap hutan ulayat; dan (c) solusi untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Bila kapasitas nagari telah membaik, model pengelolaan hutan dapat bergeser menjadi Model PHBM Nagari murni. Untuk implementasi PES dikembangkan lembaga pengelola PES yang bersifat sukarela dan independen berbentuk lembaga multi pihak, dinamakan Lembaga Pengelolaan Jasa Alam SWP DAS Arau, dipayungi Pemerintah dengan Perda dan kekuatan moral adat oleh LKAAM. Implementasi kedua model pengelolaan tersebut akan mewujudkan model pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan berkelanjutan.

4 Pada situasi ketidakjelasan hak kepemilikan dalam pengelolaan CPR yang rentan menyebabkan terjadinya kerusakan CPR, maka pada kondisi masyarakat lokal yang masih kuat menjalankan adatnya pilihan solusi hak kepemilikan komunal dengan model pengelolaan CPR (hutan) bersama masyarakat masih memiliki keunggulan, karena hak kepemilikan komunal memiliki kelebihankelebihan, yaitu : pemanfaatan CPR dapat dibatasi dalam kelompok (excludable), tidak rentan dijual sehingga keutuhan CPR tetap terjaga, meningkatkan partisipasi anggota kelompok sehingga gangguan terhadap CPR dapat segera diketahui, membangun aksi kolektif, meningkatkan manfaat ekonomi CPR karena dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat serta meminimalkan ekses sumberdaya tanpa pemilik karena biaya ekslusi tinggi. Saran 1. Untuk mencapai kondisi tutupan lahan optimal yang akan memberikan kinerja DAS baik, maka pemerintah bersama masyarakat harus melakukan reboisasi pada kawasan hutan Negara seluas hektar dan penghijauan pada kawasan lindung di luar hutan Negara seluas hektar dengan pola hutan rakyat agroforestry yang dituangkan dalam rencana detail untuk implementasi dan disesuaikan dengan kemampuan (SDM, dana, lembaga) yang tersedia. 2. Untuk menyelesaikan konflik tenurial, Pemerintah dan Pemerintah Kota Padang perlu mengalokasikan areal dan memfasilitasi pengembangan Model Pengelolaan Hutan Nagari dan melakukan fasilitasi dan inisiasi awal untuk membangun kesepakatan-kesepakatan tentang tata cara pelaksanaannya. 3. Untuk mendukung pengelolaan hutan lestari melalui pengaturan pengelolaan hutan yang spesifik lokasi, dimana institusi yang lebih tinggi hanya mengatur aturan umum, sedangkan aturan operasional (aturan yang lebih rinci) diatur oleh institusi pengelola yang lebih rendah, maka perlu diatur pembagian kewenangan dalam pengelolaan hutan yang lebih sesuai untuk implementasi di lapangan atau pada berbagai kondisi daerah di Indonesia antara berbagai aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan (Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Masyarakat).

5 Pengembangan insentif dari dana pembayaran jasa lingkungan DAS dalam pemanfaatan air permukaan dapat dilakukan untuk mengatasi kendala terbatasnya biaya konservasi dan RHL guna memperbaiki kinerja SWP DAS Arau yang rusak. Oleh karena itu Pemerintah perlu melakukan fasilitasi awal terhadap penyedia dan pengguna jasa untuk menyamakan pemahaman serta membangun kesepakatan bersama untuk pengembangan PES dan mempersiapkan mekanisme dan aturan main melalui formulasi kebijakan pengembangan PES dan mengukuhkannya dalam bentuk Peraturan Daerah. 5. Peran pemerintah untuk mempromosikan peran masyarakat dan para pihak terkait merupakan faktor kunci dalam pengelolaan SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri. Oleh karena itu beberapa instrumen kebijakan yang perlu dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Kota Padang untuk mendukung Model P-DAS-TM SWP DAS Arau adalah : mewujudkan aspek legal dalam pengelolaan DAS terpadu dan mandiri; mewujudkan hubungan kemitraan dengan para pihak terkait dengan saling berkoordinasi dan berkomunikasi serta selalu menyertakan para pihak terkait yang berkepentingan dengan keberadaan SDA tersebut; mempertimbangkan persyaratan untuk pengelolaan lingkungan yang baik dalam penetapan perencanaan dan prosedur perijinan; mengembangkan model-model percontohan pengelolaan; dan mengembangkan monitoring dan evaluasi yang partisipatif. 6. Untuk menyempurnakan pemahaman dan pengetahuan yang dibutuhkan sebagai referensi pengambilan kebijakan untuk memecahkan persoalan-persoalan dalam pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan penelitian-penelitian lainnya dalam berbagai aspek terkait ataupun dengan menggunakan model-model lainnya yang dapat mendukung pengelolaan DAS terpadu, mandiri dan berkelanjutan.

dokumen-dokumen yang mirip

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan dan intervensi manusia dalam pemanfaatan sumber daya dalam daerah aliran sungai (DAS) 1 membuat makin banyak DAS yang rusak. Meskipun kegiatan konservasi