Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Poliuretan Pada penelitian ini telah dilakukan sintesis poliuretan dengan menggunakan monomer diisosianat yang berasal dari toluena diisosianat (TDI) dan monomer polieter yang berasal dari polietilen glikol (PEG) sebagai sumber poliolnya. Reaksi polimerisasi poliuretan dibentuk dari reaksi antara suatu gugus isosianat dengan satu gugus hidroksi seperti yang ditunjukkan pada persamaan reaksi 4.1 berikut: m O C N N C O + m HO H 2 C CH 2 O H 3 C PEG TDI n H O C H N H 3 C seg men k eras N H O C rantai poliuretan segmen lunak O H 2 C CH 2 O n m ikatan uretan (4. 1) Reaksi tersebut akan berlangsung terus menerus membentuk uretan trimer, tetramer hingga salah satu pereaksi habis, jika komposisi monomer isosianat yang merupakan segmen keras (hard segment) yang dominan maka akan terbentuk polimer poliuretan yang kaku (rigid) akan tetapi jika sebaliknya komposisi monomer polietilen glikol yang merupakan segmen lunak (soft segment) yang lebih dominan maka yang terbentuk adalah poliuretan lunak (flexible).
Poliuretan hasil sintesis ditunjukkan pada gambar 4.1 sampai Gambar 4.5 berikut: Gambar 4. 1 PU-1 (PEG-400/TDI : 1/1,2) Gambar 4. 2 PU-2 (PEG-400/TDI : 1/1,4) Dari ke dua jenis poliuretan hasil sintesis pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 terlihat bahwa jika dibandingkan antara PU-1 dan PU-2 intensitas warna coklat dari PU-1 lebih pekat. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbandingan OH/NCO dimana meningkatnya konsentrasi NCO dari isosianat yang bereaksi dengan gugus OH dari PEG juga meningkatkan jumlah ikatan uretan pada rantai polimer yang terbentuk makin banyak gugus NCO yang bereaksi intesitas warnanya semakin menurun, dan jika diamati sifat kekakuan antara PU-1 dan PU-2, hal ini 23
juga menunjukkan semakin banyaknya gugus NCO dari isosianat yang bereaksi sehingga poliuretan yang terbentuk semakin kaku (rigid). Hal ini membuktikan bahwa isosianat merupakan blok/monomer poliuretan segmen keras (hard segment) sedangkan PEG merupakan monomer poliuretan segmen lunak (soft segment). Gambar 4. 3 PU-3 (PEG-400/TDI : 1/1,6) Gambar 4. 4 PU-4 (PEG-1000/TDI : 1/1,6) 24
Gambar 4. 5 PU-5 (PEG-1500/TDI : 1/1,6) Ke tiga jenis poliuretan hasil sintesis pada Gambar 4.3, Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 menunjukkan bahwa jika dibandingkan antara PU-3, PU-4 dan PU-5 intensitas warna coklat dari PU-3 hingga PU-5 lebih pekat dengan meningkatnya massa molekul PEG pada perbandingan PEG/TDI yang sama yaitu 1/1,6. Demikian juga sifat kekakuan poliuretan semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran monomer PEG mempengaruhi sifat warna dan kekakuan poliuretan dimana pada perbandingan konsentrasi OH/NCO 1/1,6 poliuretan semakin lunak dengan meningkatnya massa molekul PEG dan juga intensitas warna coklat makin kuat. Hal ini menguatkan asumsi bahwa PEG merupakan blok/monomer poliuretan segmen lunak (soft segment) sedangkan TDI merupakan blok/monomer poliuretan segmen keras ( hard segment). 4.2 Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Monomer Terhadap Karakteristik Poliuretan 4.2.1 Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Monomer Terhadap Struktur Molekul Poliuretan. Hasil uji spektrum inframerah (FTIR) PU-1 (PEG-400/TDI;1/1,2), PU-2 (PEG- 400/TDI;1/1,4), dan PU-3 (PEG-400/TDI;1/1,6) masing-masing ditunjukkan pada Gambar 4.6, 4.7 dan 4.8 berikut: 25
100 %T 90 80 70 60 50 3066.82 1454.33 1417.68 1352.10 1286.52 1001.06 948.98 883.40 819.75 677.01 582.50 528.50 40 30 1720.50 1637.56 1600.92 1539.20 1228.66 1103.28 20 3277.06 872.01 9 4500 PU 1 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500 1/cm Gambar 4. 6 Spektrum FTIR PU-1 100 %T 90 80 70 4339.84 4023.51 999.13 948.98 819.75 60 1417.68 1280.73 50 2752.42 1452.40 40 30 20 3466.08 3294.42 2872.01 1722.43 1602.85 1537.27 1228.66 1105.21 1072.42 4500 PU 2 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 Gambar 4. 7 Spektrum FTIR PU-2 1000 750 9 500 1/cm 26
100 %T 90 80 70 3132.40 3064.89 1415.75 1282.66 1001.06 948.98 881.47 817.82 669.30 613.36 545.85 60 1450.47 50 40 30 9 3286.70 2872.01 1600.92 1722.43 1537.27 1228.66 1105.21 1072.42 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500 1/cm Gambar 4. 8 Spektrum FTIR PU-3 Dari spektrum IR PU (PEG-400/TDI;1/1,2) terdapat puncak-puncak serapan yang tajam yang menggambarkan serapan-serapan spektrum khas poliuretan. Jika dibandingkan spektrum inframerah antara PU-1, PU-2 dan PU-3 yang didasarkan pada variasi konsentrasi monomer, maka akan terlihat serapan-serapan khas yang tajam dan hampir sama. Spektrum- spektrum serapan khas PU-1, PU-2 dan PU-3 secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut: Tabel 4. 1 Tabulasi spektrum serapan khas pada PU-1, PU-2 dan PU-3 Spektrum Serapan masing-masing PU (cm -1 ) PU-1 PU-2 PU-3 3.294,42 (sh, st) 2.872,01 1.720,50 1.602,85 1.539,20 1.452,40 1.228,66 1.103,28 948,98 3.277,06 (br,st) 2.872,01 1.722,43 1.600,92 1.537,27 1.454,33 1.228,66 1.105,21 948,98 3.286,70 (sh,md) 2.872,01 1.722,43 1.600,92 1.537,27 1.450,47 1.228,66 1.105,21 948,98 Gugus N-H, dan OH C-H C = O Khas cincin aromatik C-O Vibrasi Ulur ulur ulur ulur ulur Cincin aromatik Sidik jari 27
Gabungan ke tiga spektrum serapan tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.9 berikut: Gambar 4. 9 Spektrum FTIR PU-1, PU-2 dan PU-3 Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa karakterisasi terhadap poliuretan hasil sintesis dengan teknik spektroskopi FTIR menunjukkan pita serapan khas poliuretan yaitu pada 3.294,42 3.277,06 cm -1 yang merupakan daerah ulur N H; 2.872,01 cm -1 yang merupakan simetri ulur C H; 1.720,50 1.722,43 cm -1 yang merupakan daerah ulur C = O, 1.228 1.072 cm -1 yang merupakan daerah ulur C O; 3.466-3.294 cm -1 daerah serapan ulur O - H dan 1.600-1.400 cm -1 yang merupakan daerah serapan ulur pada cincin aromatik dan muncul pita-pita serapan tajam dibawah 900 cm -1 yang menunjukkan spektrum senyawa-senyawa aromatik. Pada penelitian ini digunakan TDI sebagai isosianat yang mengandung gugus NCO dan digunakan PEG-400 dengan perbandingan konsentrasi masing-masing 1/1,2; 1/1,4 dan 1/1,6 sebagai sumber poliolnya yang mengandung gugus fungsi OH dan CH 2 -CH 2 O- sebagai unit ulangnya. Reaksi antara TDI dan PEG menghasilkan polimer poliuretan yang dihubungkan oleh ikatan uretan yang muncul sebagai pita serapan khas yaitu pada pita-pita serapan gugus-gugus daerah 28
ulur N H, daerah ulur C = O, daerah ulur C O, muncul pita serapan ulur CH 2 dan serapan ulur C C cincin aromatik. Dari ketiga poliuretan hasil sintesis menunjukkan pita serapan yang hampir sama terutama pada daerah pita serapan yang karakteristik untuk poliuretan. Hal ini menunjukkan bahwa sintesis poliuretan telah behasil dilakukan. 4.2.2 Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Monomer Terhadap Viskositas Poliuretan. Dari hasil pengukuran laju alir larutan poliuretan PU-1, PU-2 dan PU-3 diperoleh viskositas intrinsik yang ditunjukkan pada Tabel 4.2 berikut: Tabel 4. 2 Data viskositas intrinsik poliuretan hasil sintesis. Nama PU PU-1 PU-2 PU-3 Perbandingan mol PEG-400 / TDI 1/1,2 1/1,4 1/1,6 Viskositas intrinsik (ml/g) 1,29 1,73 1,80 Hubungan antara perbandingan konsentrasi monomer (OH/NCO) dengan viskositas intrinsiknya ditunjukkan pada Gambar 4.10 berikut: 2.00 1.80 viskositas intrinsik(ml/g) 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Perbandingan mol PEG-400/TDI Gambar 4. 10 Grafik hubungan viskositas intrinsik dengan konsentrasi monomer 29
Pada perbandingan OH/NCO 1/1 terjadi ekivalensi molar yang dicirikan adanya gugus ujung poliuretan dalam bentuk OH dan NCO dalam jumlah yang relatif sama. Pada penambahan konsentrasi TDI, gugus ujung NCO dari TDI akan bereaksi dengan gugus ujung OH dari poliuretan menyebabkan rantai polimer bertambah panjang. Apabila konsentrasi TDI ditambah lagi, jumlah gugus ujung poliuretan yang berupa OH semakin kecil sehingga pengikatan NCO dari TDI ke gugus OH semakin sukar. Akibatnya penambahan panjang rantai poliuretan tidak sebesar pada saat rasio OH/NCO lebih kecil (OH/NCO;1/1,2). Fenomena peningkatan viskositas instrinsik dari Gambar 4.11 membuktikan kurva yang tidak linear, artinya pada rasio OH/NCO 1/1,6 peningkatan panjang rantai poliuretan tidak sebesar pada poliuretan dengan rasio OH/NCO 1/1,2 dan 1/1,4. 4.2.3 Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Monomer Terhadap Massa Jenis poliuretan Massa jenis dari suatu zat adalah ukuran kerapatan susunan atom atau molekul suatu materi yang menggambarkan keteraturan dan kekompakan dari atom-atom atau molekul-molekul penyusun zat tersebut, dimana massa jenis didefinisiakan sebagai massa persatuan volum ( ρ = g/cm 3 ). Data massa jenis poliuretan berdasarkan perbandingan konsentrasi monomernya diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan piknometer dengan hasil seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.3 berikut: Tabel 4. 3 Data hasil pengukuran rapat massa poliuretan dari monomer PEG-400 dan TDI. Nama PU Perbandingan mol PEG-400 / TDI ρ sampel (g/ml) PU-1 1/1,2 0.94 PU-2 1/1,4 0.88 PU-3 1/1,6 0.86 30
Untuk melihat pengaruh konsentrasi monomer PEG-400 dan kosentrasi TDI terhadap rapat massa poliuretan dapat diplot dalam satu kurva hubungan antara perbandingan konsentrasi PEG-400 dengan TDI terhadap massa jenisnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.11 berikut: massa jenis(g/ml 0.94 0.93 0.92 0.91 0.90 0.89 0.88 0.87 0.86 0.85 0.6 1.6 2.6 3.6 Perbandingan mol PEG-400/mol TDI Gambar 4. 11 Grafik Hubungan konsentrasi PEG dan TDI dengan massa jenis poliuretan Dari pengukuran rapat massa yang ditunjukkan pada data tabel 4.3 terlihat bahwa untuk PU-1 (PEG-400/TDI;1/1,2), PU-2 (PEG-400/TDI;1/1,4) dan PU-3 (PEG- 400/TDI;1/1,6) mempunyai massa jenis yang relatif menurun dengan naiknya konsentasi TDI. Hal ini disebabkan oleh pengaruh struktur molekul monomer TDI yang mengandung inti benzena dan berkontribusi terhadap susunan rantai poliuretan. Pada PU-1 (PEG-400/TDI;1/1,2) gugus ujung NCO dari TDI akan bereaksi dengan gugus ujung OH dari poliuretan menyebabkan rantai polimer bertambah panjang dengan meningkatnya gugus NCO. ketika konsentrasi TDI ditambah lagi, jumlah gugus ujung poliuretan yang berupa OH semakin kecil sehingga pengikatan NCO dari TDI ke gugus OH semakin sedikit. Akibatnya penambahan panjang rantai poliuretan tidak sebesar pada saat rasio OH/NCO lebih kecil (OH/NCO;1/1,2). Fenomena penurunan rapat massa dari Gambar 4.11 menunjukkan kurva yang tidak linear, artinya pada perbandingan OH/NCO 1/1,6 peningkatan panjang rantai poliuretan dengan meningkatnya gugus NCO tidak sebesar pada poliuretan dengan rasio OH/NCO 1/1,2 dan 1/1,4. 31
4.3 Pengaruh Massa Molekul PEG Terhadap Karakteristik Poliuretan 4.3.1 Pengaruh Massa Molekul PEG Terhadap Struktur Molekul Poliuretan. Hasil uji spektrum inframerah (FTIR) PU-4 (PEG-1000/TDI;1/1,6), dan PU-5 (PEG-1500/TDI;1/1,6), masing-masing ditunjukkan pada Gambar 4.12, dan 4.13 berikut: 97.5 %T 90 1959.68 82.5 1417.68 839.03 675.09 580.57 534.28 75 67.5 1637.56 1454.33 1352.10 1286.52 950.91 60 52.5 3288.63 2908.65 1722.43 1602.85 1539.20 1230.58 45 1105.21 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 Gambar 4. 12 Spektrum FTIR Pu-4 1000 750 500 32
105 %T 90 75 60 45 3057.17 1955.82 1639.49 1415.75 1001.06 844.82 675.09 574.79 553.57 532.35 457.13 30 15 3427.51 3277.06 1722.43 1705.07 1600.92 1535.34 1454.33 1352.10 1298.09 1232.51 950.91 401 19 0-15 4500 4000 3500 3000 2872.01 2500 2000 1750 1500 1250 1107.14 1000 750 500 Gambar 4. 13 Spektrum FTIR Pu-5 Jika dibandingkan spektrum inframerah antara PU-3, PU-4 dan PU-5 yang didasarkan pada variasi massa molekul PEG, maka akan terlihat serapan-serapan khas yang tajam dan hampir sama. Spektrum-spektrum serapan khas PU-3, PU- 4 dan PU-5 secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut: Tabel 4. 4 Spektrum Serapan Khas Poliuretan Hasil Sintesis Spektrum Serapan masing-masing PU (cm -1 ) PU-3 PU-4 PU-5 3.286,70 (sh,md) 2.872,01 1.722,43 1.600,92 1.537,27 1.450,47 1.228,66 1.105,21 948,98 3.288,63 (br,md) 2.908,65 1.722,43 1.602,85 1.539,20 1.454,33 1.230,58 1.105,21 950,91 3.277,06 (br,st) 2.872,01 1.722,43 1.600,92 1.535,34 1.454,33 1.232,51 1.107,14 950,91 Gugus N-H, dan OH C-H C = O Khas cincin aromatik C-O Cincin aromatik Vibrasi Ulur ulur ulur ulur ulur Sidik jari 33
Gabungan ke tiga spektrum serapan tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.14 berikut: Gambar 4. 14 Spektrum FTIR PU-3, PU-4 dan PU-5 Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa karakterisasi terhadap poliuretan hasil sintesis dengan teknik spektroskopi FTIR menunjukkan pita serapan khas poliuretan yaitu pada 3.288,63 3.277,06 cm -1 yang merupakan daerah ulur N H; 2.908,65-2.872,01 cm -1 yang merupakan simetri ulur C H; 1.720,50 1.722,43 cm -1 yang merupakan daerah ulur C = O; 1.228 1.072 cm -1 yang merupakan daerah ulur C O; 3.466-3.294 cm -1 daerah serapan ulur O - H dan 1.600-1.400 cm -1 yang merupakan daerah serapan ulur pada cincin aromatik dan muncul pita-pita serapan tajam dibawah 900 cm -1 yang menunjukkan spektrum senyawa-senyawa aromatik. Dari ketiga poliuretan hasil sintesis menunjukkan pita serapan yang hampir sama terutama pada daerah pita serapan yang karakteristik untuk poliuretan. Reaksi antara TDI dan PEG menghasilkan polimer poliuretan yang dihubungkan oleh ikatan uretan yang muncul sebagai pita serapan khas yaitu pada pita-pita serapan 34
gugus-gugus daerah ulur N H, daerah ulur C = O, daerah ulur C O, muncul pita serapan ulur CH 2 dan serapan ulur C C cincin aromatik. 4.3.2 Pengaruh Massa Molekul Monomer Terhadap Viskositas Poliuretan. Dari hasil pengukuran laju alir larutan poliuretan PU-3, PU-4 dan PU-5 diperoleh viskositas intrinsik yang ditunjukkan pada Tabel 4.5 berikut: Tabel 4. 5 Data viskositas intrinsik poliuretan hasil sintesis. Nama PU PU-3 PU-4 PU-5 Jenis PEG PEG-400 PEG-1000 PEG-1500 Viskositas intrinsik (ml/g) 1,80 3,54 5,05 * komposisi mol PEG terhadap mol TDI = 1/1,6 Hubungan antara perbandingan konsentrasi monomer dengan viskositas intrinsiknya ditunjukkan pada Gambar 4.15 berikut: 6.00 viskositas intrinsik(ml/g) 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 200 700 1200 1700 Massa molekul monomer PEG Gambar 4. 15 Grafik hubungan viskositas intrinsik dengan massa molekul monomer 35
Dari tabel 4.5 terlihat bahwa pada PU-3, PU-4 dan PU-5 yang disintesis dari PEG-400/TDI dengan perbandingan konsentrasi 1/1,6 viskositas intrinsiknya meningkat dengan bertambahnya massa molekul PEG yang digunakan. Hal ini disebabkan semakin besar massa molekul PEG maka massa molekul poliuretan yang terbentuk menjadi lebih besar, meskipun perbandingan OH/NCO tetap. Dengan kata lain pada penggunaan massa molekul PEG yang lebih besar, terbentuk poliuretan dengan komponen segmen lunak yang bertambah panjang (PEG-400 < PEG-1000 < PEG-1500). Akibatnya massa molekul poliuretan yang terbentuk bertambah panjang dan viskositas instrinsiknya pun meningkat. 4.3.3 Pengaruh Massa Molekul Monomer Terhadap Sifat Termal Poliuretan. Termogram DTA/TGA hasil uji termal poliuretan ditunjukkan pada Gambar 4.16 berikut: Gambar 4. 16 Gabungan Termogram TG/DTA PU-3, PU-4 dan PU-5 Pada penelitian ini dilakukan analisis termal dengan teknik TG/DTA terhadap PU-3, PU-4 dan PU-5. Berdasarkan analisis kurva termogram TG/DTA dapat diperoleh beberapa informasi antara lain temperatur dekomposisi. Temperatur 36
dekomposisi menunjukkan temperatur pada saat polimer mengalami kerusakan struktur menjadi fragmen-fragmen kecil. Data analisis kurva TG/DTA ketiga poliuretan yang ditunjukkan pada tabel 4.6 berikut: Tabel 4. 6 Data TG/DTA dari PU Sampel PU PU-3 ( PEG-400/TDI) PU-4 (PEG-1000/TDI) PU-5 (PEG-1500/TDI) Suhu dekomposisi ( o C) sisa massa(%) 303,4 81 368,8 59 315,0 75 414,6 5,9 252,3 92 412,4 4,9 Analisis termal dilakukan dengan membandingkan secara langsung plot kurva TG terhadap DTA pada temperatur yang bersesuaian. Dari tabel 4.6 terlihat bahwa masing-masing poliuretan mempunyai dua temperatur dekompoisi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa poliuretan mengalami 2 (dua) fase dekomposisi. Dekomposisi termal dari poliuretan terjadi sebagai akibat adanya pemutusan ikatan kovalen pada rantai ikatan poliuretan. Adapun jenis ikatan dan fragmen yang terdekomposisi pada masing-masing temperatur dekomposisi tersebut tidak dapat diketahui secara pasti, karena tidak dilakukan analisis struktur pada setiap fragmen yang tertinggal pada setiap titik dekomposisi. Dari tabel 4.6 juga terlihat bahwa kestabilan termal poliuretan meningkat dengan meningkatnya massa molekul PEG yang digunakan sebagai sumber poliol. Perbedaan titik dekomposisi termal pada ketiga poliuretan yang tidak terlalu jauh menegaskan kembali bahwa perbedaan ketiga jenis poliuretan semata-mata hanya pada bagian segmen lunak (PEG) dalam rantai poliuretan saja, sedangkan struktur secara umum relatif sama. Termogram di atas juga menjelaskan bahwa titik leleh 37
(T m ) tidak terlihat secara jelas, yang tercirikan dari tidak munculnya puncak endotermis dalam kurva DTA. Hal ini dapat dijelaskan bahwa struktur poliuretan yang terbentuk adalah semikristalin dengan sebagian besar memiliki fraksi amorf. 4.3.4 Pengaruh Massa Molekul PEG Terhadap Rapat Massa Poliuretan Data rapat massa poliuretan berdasarkan variasi massa molekul monomernya diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan piknometer dengan hasil seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.7 berikut: Tabel 4. 7 Data hasil pengukuran rapat massa poliuetan dari monomer PEG-400, 1000 dan 1500 dan TDI. Nama PU Jenis PEG ρ sampel (gr/ml) PU-3 PEG-400 0,86 PU-4 PEG-1000 0,77 PU-5 PEG-1500 0,66 * komposisi mol PEG terhadap mol TDI = 1/1,6 Untuk melihat pengaruh massa molekul monomer PEG-400 terhadap rapat massa poliuretan dapat diplot dalam satu kurva hubungan antara massa molekul monomer PEG-400, PEG-1000 dan PEG-1500 terhadap massa jenisnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.17 berikut: 0.90 Massa jenis poliuretan 0.85 0.80 0.75 0.70 0.65 0.60 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Massa molekul PEG Gambar 4. 17 Grafik Hubungan massa molekul PEG dengan massa jenis poliuretan 38
Dari Tabel 4.7 terlihat kecenderungan dengan meningkatnya massa molekul PEG sebagai monomer maka massa jenis poliuretan cenderung menurun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk PEG-400 yang mempunyai massa molekul yang lebih kecil akan membentuk rantai poliuretan yang linier dan strukturnya lebih rapat dan teratur, sementara untuk PEG-1000 dan 1500 mempunyai struktur molekul yang lebih besar sehingga cenderung membentuk rantai yang tidak linier yang menyebabkan rapat massa poliuretan lebih kecil. Penomena penurunan massa jenis poliuretan pada Gambar 4.17 yang cenderung membentuk kurva linier disebabkan oleh ukuran molekul PEG yang makin besar sebagai monomer segmen lunak yang digunakan. 39