V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

dokumen-dokumen yang mirip
Pada Tabel 14 juga diperlihatkan besar total pengeluaran rumahtangga. Besaran

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil pendugaan harga bayangan menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

VII ANALISIS PENDAPATAN

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai

III KERANGKA PEMIKIRAN

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN

IV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka.

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN. peningkatan produksi pangan dan menjaga ketersediaan pangan yang cukup dan

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

V. KONDISI WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU RUMAHTANGGA PETANI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI GANYONG DI DESA SINDANGLAYA

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan pengalaman dalam usahatani.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kawasan Teluk Bintuni di dua desa yang

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

V. GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGARA

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Simpang Kanan, Kecamatan Sumberejo,

III KERANGKA PEMIKIRAN

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

I. PENDAHULUAN. sumber pangan utama penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang semakin

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian ini memanfaatkan data Panel Petani Nasional (PATANAS) dari Pusat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

ANALISIS PERKEMBANGAN SEWA MENYEWA LAHAN DI PEDESAAN LAMPUNG

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KAJIAN ANALISA SKALA USAHATANI TANAMAN JAHE SEBAGAI TANAMAN SELA PADA TANAMAN KELAPA ( Studi Kasus Kecamatan Kewapante )

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang

TINJAUAN TEORI EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional. mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI JAWA BARAT*

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI

VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK. umum perilaku ekonomi rumahtangga petani di wilayah penelitian.

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN. rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan

BAB VI ANALISIS PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA DI KELAPA DUA

III KERANGKA PEMIKIRAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

VII. PEMECAHAN OPTIMAL MODEL INTEGRASI TANAMAN TERNAK

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PENDAHULUAN. Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

IV. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

153 V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi rumahtangga pertanian yang menjadi objek penelitian ini. Variabel-variabel yang akan dimunculkan merupakan bagian dari variabel yang akan masuk dalam model ekonometrik, sehingga deskripsi statistik yang akan disajikan ini juga akan memberikan gambaran perilaku ekonomi rumahtangga petani tanaman pangan, walaupun dalam gambaran kasar. Seluruh deskripsi dibedakan menurut strata luas lahan yang dikuasai. 5.1. Karakteristik Penguasaan Lahan Usahatani Bagian pertama yang perlu dijelaskan di sini adalah penguasaan lahan usahatani karena akan menjadi landasan analisis pada bagian selanjutnya. Seperti telah diuraikan pada bagian metodologi, penguasaan lahan dijadikan dasar untuk stratifikasi rumahtangga petani. Pada Tabel 4 disajikan secara lebih rinci hasil stratifikasi tersebut. Pada tabel tersebut terlihat penguasaan lahan dirinci menurut jenis lahan, status penguasaan, dan intensitas pemanfaatan lahan. Rata-rata luas lahan antar strata secara statistik berbeda nyata (á=0.001), artinya pengelompokan rumahtangga petani menurut penguasaan lahan secara statistik cukup baik. Dari total lahan yang dikuasai, terdiri atas lahan sawah dan lahan darat atau lahan kering. Baik lahan sawah maupun lahan kering keduanya semakin luas pada strata rumahtangga yang lebih tinggi. Namun secara proporsional, lahan sawah di ketiga strata tidak banyak berbeda, secara keseluruhan sebesar 36 persen dari total luas lahan yang dikuasai. Dilihat dari status penguasaan lahan, dapat diidentifikasi menjadi dua status, yaitu lahan milik dan lahan bukan milik. Lahan bukan milik ditemui dalam berbagai jenis, seperti sewa, gadai, bagi hasil atau sakap. Porsi luas lahan bukan milik ini di

154 seluruh strata rumahtangga relatif kecil, secara keseluruhan hanya sebesar 20 persen. Dengan demikian, lahan usahatani yang dikuasai sebagian besar adalah lahan milik. Tabel 4. Penguasaan Lahan Usahatani Oleh Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Usahatani Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Uraian Lahan Kering (Ha) 0.12 0.12 0.47 0.32 1.69 1.57 0.75 1.14 Lahan Sawah (Ha) 0.10 0.12 0.28 0.32 0.87 1.38 0.41 0.88 Total Lahan (Ha) 0.22 0.12 0.75 0.21 2.56 1.79 1.17 1.44 Lahan Milik (Ha) 0.14 0.14 0.55 0.34 2.14 1.69 0.94 1.31 Lahan Bukan Milik (Ha) 0.07 0.11 0.20 0.29 0.42 1.16 0.23 0.70 Luas Garapan (Ha/Th) 0.40 0.28 1.36 0.75 4.02 3.11 1.91 2.39 Intensitas Tanam (%/Th) 186 91 183 84 164 82 178 86 Pada Tabel 4 juga disajikan luas lahan yang digarap, yaitu luas lahan yang diukur berdasarkan luas tanaman selama satu tahun. Luas lahan garapan ini bisa lebih kecil dari luas lahan yang dikuasai bila petani kurang intensif memanfaatkan lahannya untuk kegiatan usahatani. Sebaliknya bisa juga lebih besar dari luas lahan yang dikuasai jika petani mengusahakan lahannya lebih dari sekali musim tanam. Pada Tabel tersebut terlihat luas lahan garapan lebih luas dibandingkan dengan dengan luas lahan yang dikuasai untuk seluruh strata rumahtangga. Lebih jelas dapat dilihat pada besaran intensitas tanam (dalam persen) selama satu tahun. Besaran intensitas tanam untuk seluruh strata rata-rata lebih dari 100 persen, tetapi lebih kecil dari 200 persen. Artinya petani hanya memanfaatkan lahannya rata-rata hanya dua kali musim tanam. Jika dibandingkan dengankan antar strata, strata rumahtangga lahan sempit dan lahan sedang secara statistik intensitas tanamnya tidak berbeda nyata. Tetapi perbedaan cukup nyata (á=0.001) antara r umahtangga l ahan sempit dengan rumahtangga lahan luas. Intensitas tanam pada rumahtangga lahan sempit lebih tinggi dibandingkan dengan dengan intensitas tanam pada lahan luas. Ini menunjukkan bahwa pada usahatani lahan sempit,

155 pemanfaatan lahan cenderung lebih intensif. Argumentasi terhadap fenomena ini akan dijelaskan di belakang setelah memperhatikan variabel-variabel lain. 5.2. Karakteristik Petani dan Anggota Keluarga Pada Tabel 5 disajikan beberapa variabel karakteristik petani dan keluarganya menurut strata luas lahan usahatani. Rata-rata umur kepala keluarga (KK) termasuk usia produktif, yaitu sekitar 50 tahunan. Pembedaan menurut strata luas lahan tampak tidak menghasilkan perbedaan umur rata-rata, karena memang tidak ada hipotesis apriori yang mengharuskan adanya perbedaan usia KK menurut strata luas lahan. Pendidikan KK, menurut jumlah tahun pendidikan yang dijalaninya, berkisar antara empat sampai dengan lima tahun. Ini menunjukkan rata-rata pendidikan KK tidak tamat sekolah dasar atau yang sederajat. Pada tabel terlihat ada konsistensi antara strata luas lahan dengan ratarata lama pendidikan. Pada rumahtangga petani dengan lahan yang lebih luas, tingkat pendidikan cenderung lebih tinggi. Kecenderungan ini secara kasar mengindikasikan bahwa luas penguasaan lahan berhubungan positif terhadap kesempatan petani mengikuti pendidikan. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada pendidikan anggota rumahtangga (tidak termasuk KK). Pada rumahtangga petani berlahan lebih luas, tingkat pendidikan rata-rata anggota rumahtangga cenderung lebih tinggi, baik pria maupun wanita. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggolongan rumahtangga menurut luas penguasaan lahan dapat membedakan tingkat pendidikan. Jika kegiatan pendidikan merupakan keputusan keluarga yang memerlukan sejumlah dana, maka lahan usahatani masih merupakan faktor penting dalam kegiatan ekonomi rumahtangga di pedesaan. Hal lain yang menarik adalah rata-rata pendidikan pria selalu lebih tinggi dibandingkan dengan

156 wanita di semua strata. Tidak ada landasan teori ekonomi yang bisa menjelaskan fenomena ini, tetapi diduga karena ada budaya di pedesaan yang cenderung memprioritaskan pendidikan pada anggota rumahtangga pria. Pada Tabel 5 juga disajikan komposisi jumlah anggota keluarga (termasuk KK) menurut jenis kelamin dan umur. Angka-angka yang tersaji menunjukkan ukuran keluarga di setiap strata rumahtangga petani. Ukuran keluarga bisa dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai besaran ketersediaan tenaga kerja keluarga dan sebagai beban tanggungan keluarga. Dilihat dari jumlah dan komposisi anggota keluarga tersebut, tampak rumahtangga petani termasuk keluarga kecil, sekitar empat sampai lima orang per unit rumahtangga, walaupun ditemui juga rumahtangga yang secara ekstrim mempunyai lebih dari sepuluh anggota. Namun secara umun, rata-rata terdiri atas suami, istri, dan dua orang anak. Tabel 5. Karakteristik Kepala Keluarga dan Anggota Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Usahatani Uraian Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Umur KK (Th) 48.77 15.29 47.02 16.43 47.96 12.24 48.12 14.47 Pendidikan KK (Th) 3.90 3.25 4.48 3.57 5.02 3.41 4.48 3.43 Pendidikan ART Pria (Th) 4.95 3.10 5.28 3.19 6.40 3.58 5.56 3.36 Pendidikan ART Wanita (Th) 4.15 2.66 4.76 2.65 5.51 2.59 4.82 2.69 Jumlah ART Pria (org) 2.15 1.18 2.40 1.22 2.70 1.38 2.41 1.28 Jumlah ART Wanita (org) 2.00 1.00 2.28 1.12 2.50 1.23 2.26 1.14 Total ART (org) 4.15 1.62 4.68 1.63 5.20 1.92 4.67 1.78 Juml ART Dewasa Pria (org) 1.40 0.80 1.57 0.87 1.82 0.99 1.60 0.90 Juml ART Dewasa Wanita (org) 1.22 0.71 1.41 0.80 1.63 0.90 1.42 0.82 Total ART Dewasa (org) 2.63 1.18 2.97 1.28 3.45 1.47 3.01 1.36 Jika dibandingkan antar strata, tampak tidak ada konsistensi hubungan antara golongan luas lahan dengan jumlah anggota rumahtangga. Namun jika diperhatikan,

157 komposisi anggota keluarga dewasa terlihat lebih banyak pada rumahtangga berlahan sedang dan berlahan luas. Uji statistik terhadap rata-rata jumlah anggota pria dan wanita dewasa di tiga strata menyimpulkan bahwa jumlah anggota rumahtangga dewasa pria dan wanita pada rumahtangga berlahan sempit lebih kecil dibandingkan dengan rumahtangga berlahan sedang (á=0.001). Demikian hal nya antara rumahtangga lahan sedang secara statistik (á=0.001) lebih kecil dibandingkan dengan rumahtangga lahan luas baik pria maupun wanita. Jumlah anggota rumahtangga dewasa dapat dijadikan ukuran potensi ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga. Dari Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi strata rumahtangga petani rata-rata potensi tenaga kerja keluarga semakin besar. 5.3. Aktivitas Kerja Anggota Rumahtangga Petani Aktivitas anggota rumahtangga dalam berbagai kegiatan ekonomi merupakan bagian penting dalam ekonomi rumahtangga. Pada Tabel 6 disajikan jumlah anggota rumahtangga yang aktif di kegiatan usahatani dan luar usahatani. Pada rumahtangga, di samping kegiatan tersebut, juga terdapat kegiatan lain yang juga penting diamati, yaitu kegiatan di dalam rumahtangga itu sendiri. Kegiatan ini sayangnya tidak tercatat dengan baik. Kalaupun mau diukur bisa dilakukan dengan pendekatan waktu yang tersisa dari aktivitas usahatani dan di luar usahatani. Pada Tabel 6 terlihat bahwa jumlah orang yang berpartisipasi di setiap kegiatan melebihi jumlah orang yang tersedia di dalam rumahtangga. Ini menunjukkan bahwa orang yang sama di dalam keluarga bekerja pada pekerjaan yang berbeda. Kondisi ini penting diketahui untuk menjelaskan bahwa keputusan anggota rumahtangga untuk bekerja di suatu kegiatan akan mempengengaruhi keputusan kerja di kegiatan lain.

158 Pada Tabel 6 ditunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang berpartisipasi pada kegiatan usahatani cenderung meningkat lebih tinggi pada rumahtangga petani dengan strata lebih tinggi, baik pria maupun wanita. Ini kemungkinan sejalan dengan jumlah anggota rumahtangga dewasa yang juga rata-rata lebih tinggi pada rumahtangga strata lebih tinggi. Jika jumlah orang yang berpartisipasi di usahatani sendiri dibandingkan dengankan dengan jumlah tenaga kerja dewasa, untuk tenaga kerja pria menunjukkan paling rendah (82 persen) pada rumahtangga berlahan sempit, dan paling tinggi pada rumahtangga berlahan sedang (90 persen). Pada tenaga kerja wanita persentasenya lebih rendah, yaitu terendah (66 persen) pada rumahtangga berlahan sempit, dan tertinggi (76) juga terjadi pada rumahtangga berlahan sedang. Dari besaran persentase ini menunjukkan tidak seluruh potensi tenaga kerja dalam keluarga berpartisipasi pada kegiatan usahatani sendiri. Perbandingan antar strata menunjukkan bahwa rumahtangga berlahan sempit partisipasinya pada usahatani sendiri cenderung lebih kecil dibandingkan dengan dengan strata yang lebih tinggi. Tabel 6. Jumlah Anggota Rumahtangga yang Aktif di Usahatani dan Luas Usahatani Menurut Strata Luas Lahan Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Uraian ART Pria di Usahatani 1.15 0.74 1.41 0.78 1.58 0.90 1.38 0.83 ART Wanita di Usahatani 0.81 0.60 1.08 0.80 1.16 0.87 1.02 0.78 Total ART di Usahatani 1.96 1.04 2.49 1.19 2.74 1.40 2.39 1.26 ART Pria Berburuh Tani 0.59 0.69 0.50 0.77 0.41 0.70 0.50 0.73 ART Wanita Berburuh Tani 0.45 0.60 0.29 0.60 0.20 0.51 0.32 0.58 Total ART Berburuh Tani 1.04 1.11 0.79 1.14 0.61 1.01 0.82 1.10 ART Pria di Luar Pertanian 1.02 0.68 0.96 0.86 0.92 0.80 0.96 0.78 ART Wanita di Luar Pertanian 0.75 0.68 0.61 0.75 0.45 0.65 0.60 0.71 Total ART di Non Farm 1.76 1.05 1.56 1.22 1.36 1.16 1.56 1.16 ART Pria di Luar Usahatani 0.72 0.66 0.65 0.75 0.63 0.68 0.67 0.70 ART Wanita di Luar Usahatani 0.39 0.61 0.36 0.63 0.30 0.53 0.35 0.59 Total ART di Luar Usahatani 1.11 0.96 1.01 1.04 0.92 0.97 1.02 0.99

159 Jumlah anggota rumahtangga yang berpartisipasi di kegiatan berburuh tani tampak pada Tabel 6 paling tinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit, demikian secara konsisten menurun pada strata rumahtangga berlahan lebih luas. Ini terjadi baik pada tenaga kerja pria maupun tenaga kerja wanita. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan persentase terhadap jumlah anggota rumahtangga dewasa paling tinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit, yaitu 42 persen pria dan 37 persen wanita, paling rendah terjadi pada rumahtangga berlahan luas yaitu 23 persen pria dan 12 persen wanita. Partisipasi tenaga kerja di luar sektor pertanian (di luar usahatani sendiri dan di luar buruh tani), menunjukkan fenomena yang serupa, yaitu semakin tinggi strata rumahtangga, partisipasi anggota rumahtangga pada kegiatan di luar sektor pertanian semakin rendah. Persentase terhadap jumlah anggota dewasa tertinggi terjadi pada rumahtangga berlahan sempit, yaitu 42 persen pada pria dan 37 persen pada wanita, terendah terjadi pada rumahtangga berlahan luas, yaitu 23 persen pada pria dan hanya 12 persen pada wanita. Pada Tabel 6 juga disajikan partisipasi anggota rumahtangga di luar usahatani yang merupakan penjumlahan partisipasi di buruh tani dan di luar pertanian. Dengan demikian kecenderungan yang diperoleh akan menghasilkan kesimpulan yang sama seperti telah diuraikan di atas. Kegiatan di luar pertanian lebih jauh dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tabel tersebut diperlihatkan sebaran jumlah anggota rumahtangga dan rata-rata tingkat pendidikan menurut jenis kegiatan di luar pertanian dan strata luas lahan bagi tenaga kerja pria dan wanita. Jenis kegiatan di luar pertanian sebenarnya sangat beragam, tetapi pada Tabel 7 dikelompokkan menjadi tujuh jenis kegiatan, yaitu usaha industri, buruh

160 industri, pekerja bangunan, pekerja bidang angkutan, pedagang atau tenaga penjualan, berbagai macam pekerja jasa, dan tenaga profesional di berbagai bidang. Berdasarkan pengelompokan kegiatan tersebut dapat dilihat bahwa ada perbedaan konsentrasi jenis pekerjaan antara pria dan wanita, sedangkan antar strata luas lahan pola distribusinya hampir sama. Tabel 7. Jumlah Anggota Rumahtangga dan Rata-rata Pendidikan Menurut Jenis Kegiatan Di Luar Pertanian dan Menurut Strata Luas Lahan Jenis Pekerjaan Lahan Sempit Juml ART (%) Pend (Thn) Lahan Sedang Juml ART (%) Pend (Thn) Lahan Luas Juml ART (%) Pend (Thn) Juml ART (%) Total Pend (Thn) Tenaga Kerja Laki-laki (n=200) (n=36) (n=111) (n=447) Usaha Industri 2.0 6.0 1.5 6.0 2.7 6.0 2.0 6.0 Buruh Industri 10.0 6.4 3.7 5.2 6.3 9.7 7.2 6.9 Bangunan 49.0 4.8 44.1 5.0 29.7 4.2 42.7 4.7 Angkutan 8.0 5.7 16.2 6.8 13.5 6.2 11.9 6.3 Perdagangan 8.5 5.8 1.5 6.0 4.5 5.8 5.4 5.8 Pekerja Jasa 12.5 4.8 16.2 6.4 14.4 9.6 14.1 6.6 Profesional 10.0 10.7 16.9 10.7 28.8 10.8 16.8 10.7 Total 100.0 5.7 100.0 6.5 100.0 7.6 100.0 6.4 Tenaga Kerja Wanita (n=60) (n=37) (n=33) (n=130) Usaha Industri 3.3 3.0 2.4 1.0 3.0 6.0 3.1 3.3 Buruh Industri 40.0 5.4 10.8 6.0 0.0 0.0 21.5 5.5 Bangunan 6.7 2.0 8.1 4.0 9.1 8.0 7.7 4.4 Angkutan 0.0 0.0 2.7 12.0 0.0 0.0 0.8 12.0 Perdagangan 11.7 4.6 24.3 6.8 24.2 7.1 18.5 6.3 Pekerja Jasa 30.0 3.3 24.3 5.3 15.2 6.6 24.6 4.4 Profesional 8.3 12.6 27.0 11.7 48.5 12.9 23.8 12.5 Total 100.0 4.89 100.0 7.4 100.0 9.89 100.0 6.85 Tenaga kerja pria terbanyak bekerja di kegiatan bangunan, di dalamnya terdapat pengusaha bangunan, mandor bangunan, berbagai tukang, atau pembantu tukang bangunan. Sebaran ini konsisten di semua strata luas lahan. Pada tenaga kerja wanita, sebaran konsentrasi jenis pekerjaan bervariasi antar strata luas lahan. Pada strata rumahtangga lahan sempit, jenis pekerjaan yang terbanyak dimasuki anggota rumahtangga adalah buruh industri, kemudian di kegiatan jasa. Kegiatan industri

161 meliputi kegitan manufaktur yang mengolah bahan baku jenis makanan atau non makanan menjadi bahan jadi, yaitu mengolah makanan, minuman, tekstil, plastik, pandai besi, dan lain-lain. Bidang kegiatan jasa meliputi pembantu rumahtangga, tukang cuci, tukang cukur, bengkel kendaraan bermotor, dan kegiatan jasa lain baik formal maupun informal. Pada strata lahan sedang, kegiatan di luar pertanian yang banyak dilakukan tenaga kerja wanita adalah kegiatan tenaga profesional, kemudian dengan persentase hampir sama terdapat pada perdagangan dan kegiatan jasa. Jenis pekerjaan profesional yang dimaksud adalah meliputi tenaga kesehatan, guru, pegawai negeri, pamong, dan lain-lain. Kegiatan di bidang profesional ini juga terlihat menonjol pada strata rumahtangga berlahan luas. Pada Tabel 7 dapat dilihat pola yang konsisten terjadi pada kegiatan profesional. Semakin luas strata lahan garapan, persentase jumlah anggota rumahtangga yang bekerja di kegiatan ini cenderung semakin besar. Kondisi ini diduga terkait dengan tingkat pendidikan yang dimiliki anggota rumahtangga. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pada rumahtangga dengan strata lahan lebih lua, tingkat pendidikannya relatif lebih tinggi. Pada Tabel 7 terlihat rata-rata pendidikan anggota rumahtangga yang bekerja di kegiatan profesional paling tinggi, baik di tenaga kerja pria maupun tenaga kerja wanita serta berlaku untuk semua strata. Hal tersebut diduga bahwa lapangan kerja profesional yang teridentifikasi pada penelitian ini memerlukan tingkat pendidikan tertentu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Jika diperhatikan, kegiatan yang bercirikan buruh, rata-rata pendidikannya relatif lebih rendah.

162 Jika pada Tabel 6 disajikan gambaran partisipasi anggota rumahtangga pada berbagai aktivitas kerja, pada Tabel 8 disajikan besar curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan yang sama. Curahan kerja menggambarkan lebih rinci berapa hari kerja anggota keluarga mencurahkan tenaganya pada berbagai aktivias selama satu tahun. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah hari kerja rata-rata mempunyai kecenderungan yang sama dengan jumlah anggota yang partisipasi seperti pada Tabel 6. Namun demikian, secara keseluruhan jumlah hari kerja yang tercurah tiap strata rumahtangga petani tampak masih relatif sedikit dibandingkan dengankan dengan jumlah hari kerja potensial yang tersedia. Curahan kerja tertinggi terdapat pada rumahtangga berlahan luas untuk tenaga kerja pria. Kegiatan yang mendapat curahan kerja tertinggi adalah kegiatan di dalam usahatani sendiri. Tetapi curahan kerja di luar usahatani tertinggi ada pada rumahtangga berlahan sempit untuk tenaga kerja pria. Tabel 8. Potensi dan Curahan Kerja Keluarga Petani Pada Kegiatan Usahatani dan Di Luar Usahatani Menurut Strata Luas Lahan Uraian Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total TK Pria di Usahatani 43.0 53.0 85.8 97.2 124.7 133.2 84.1 105.0 TK Wanita di Usahatani 16.6 21.3 35.9 49.1 64.6 78.6 38.8 58.1 TK Pria Berburuh Tani 44.7 78.6 34.0 85.2 23.4 64.0 34.2 76.9 TK Wanita Berburuh Tani 25.8 48.7 15.6 47.4 11.6 47.5 17.7 48.2 TK Pria di Luar Pertanian 95.8 138.2 76.0 119.5 94.4 155.0 88.7 138.4 TK Wanita di Luar Pertanian 56.1 118.5 45.0 111.0 39.2 102.0 46.8 110.9 TK Pria di Luar Usahatani 140.5 145.9 110.0 141.1 117.8 159.9 122.9 149.5 TK Wanita di Luar Uahatani 81.9 121.8 60.6 116.2 50.7 109.6 64.6 116.6 Total Curahan Kerja Pria 183.5 148.1 195.8 159.0 242.5 191.2 207.0 168.6 Total Curahan Kerja Wanita 98.5 122.5 96.5 121.8 115.3 133.3 103.4 126.1 Potensi Tenaga Kerja Pria * 350.9 200.04 391.96 216.9 455.27 246.8 398.9 225.73 Potensi Tenaga Kerja Wanita* 305.9 176.45 351.74 199.1 406.55 226.1 354.3 205.32 Intensitas Curahan Kerja Pria (%) 54.8 43.5 54.4 42.4 59.2 46.4 56.1 44.1 Intenstias Curahan Kerja Wanta (%) 28.6 36.9 26.8 37.5 29.1 35.8 28.2 36.7

163 * Satu tahun diasumsikan setara dengan 250 hari kerja dikalikan jumlah anggota Rumahtangga dewasa. Besarnya curahan kerja juga bisa diukur secara relatif terhadap potensi tenaga kerja anggota rumahtangga dewasa. Ukuran ini dapat disebut sebagai intensitas curahan kerja. Tampak pada Tabel 8 bahwa intensitas curahan kerja pria dan wanita di semua strata rumahtangga relatif rendah. Maksimum hanya 60 persen dari tenaga kerja potensial di rumahtangga. Pada tabel juga dapat dipelajari bahwa intensitas curahan kerja wanita lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja pria. Fenomena yang dijelaskan di atas mengindikasikan rendahnya kesempatan kerja di pedesaan, baik di usahatani sendiri maupun di luar usahatani. Pada rumahtangga petani berlahan sempit, kesempatan kerja di dalam usahatani sendiri terkendala oleh sempitnya lahan, sehingga tenaga kerja keluarga cenderung bekerja lebih banyak di luar usahatani di berbagai kegiatan. Pada rumahtangga berlahan luas, curahan kerja keluarga ternyata lebih banyak di dalam usahatani sendiri. Artinya, peranan usahatani pada rumahtangga berlahan luas ternyata masih cukup penting dalam menyediakan lapangan kerja. Lapangan kerja di luar usahatani untuk rumahtangga strata ini juga ternyata tidak terlalu banyak berperan. 5.4. Penggunaan Input Usahatani Keragaan usahatani sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik keseluruhan rumahtangga petani. Namun dalam penelitian ini usahatani ditempatkan sebagai fokus kegiatan ekonomi rumahtangga. Oleh karena itu, secara khusus pada bagian ini disajikan gambaran singkat usahatani sebagai kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sejumlah sumberdaya dan menghasilkan produk usahatani. Pada Tabel 9 disajikan penggunaan

164 input dan nilai produk total usahatani per hektar. Analisis per hektar sengaja dilakukan agar dapat membandingkan keragaan usahatani menurut strata luas lahan. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa penggunaan input usahatani per hektar pada strata lahan sempit paling tinggi, kemudian secara konsisten menurun pada strata lahan yang lebih luas. Tingginya penggunaan input per hektar pada rumahtangga lahan sempit diikuti dengan tingginya nilai produk total (dalam ribuan rupiah). Nilai produk total per hektar pada strata lahan sempit paling tinggi, kemudian secara konsisten pula menurun pada strata lahan yang lebih luas. Fenomena seperti ini menunjukkan adanya produktivitas usahatani yang terbalik pada usahatani yang lebih luas atau sering disebut inverse farm size productivity, disingkat IP. Tabel 9. Penggunaan Input Usahatani dan Nilai Produk Total Per Hektar Lahan Garapan Menurut Strata Luas Lahan Jenis Input Usahatani dan Nilai Produk Total Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Pupuk Urea (Kg) 192 185 164 148 129 117 162 155 Pupuk TSP (Kg) 39 109 32 68 38 69 36 84 Input lain (Rp.000) 1127 2277 581 1135 433 976 717 1606 TK Pria Dalam Kelg (HK) 125 163 77 95 42 45 82 118 TK Wanita Dalam Kelg (HK) 72 203 34 61 21 26 42 126 TK Pria Luar Kelg (HK) 175 369 127 188 88 125 130 253 TK Wanita Luar Kelg (HK) 143 329 91 121 73 103 103 214 Nilai Produk Total (Rp.000) 12937 37510 5595 8729 3749 5642 7471 22946 Gejala IP masih menjadi perdebatan para ahli tentang apa penjelasan rasional terhadap kondisi tersebut. Fan dan Kang (2003) dan Toufique (2000) menyimpulkan bahwa IP terjadi karena perbedaan kelimpahan faktor (factors endowments) antara usahatani luas dan usahatani sempit. Usahatani berlahan sempit menggunakan tenaga kerja keluarga, sedangkan usahatani berlahan luas menggunakan tenaga kerja upahan.

165 Perbedaan penggunaan tenaga kerja menimbulkan perbedaan dalam biaya transaksi. Kesimpulan lain menyebutkan penyebab IP adalah adanya perbedaan kualitas lahan dan adanya ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja (Lamb, 2001). Namun Heltberg (1996) tetap berkesimpulan bahwa memang ada gejala IP secara kuat walaupun faktor kualitas lahan telah dikoreksi. Hubungan produktivitas lahan yang negatif dan adanya ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja juga dibahas oleh Holden, Shiferaw, dan Pender (2001). Mereka menyimpulkan tidak dapat menunjukkan secara nyata adanya gejala IP seperti banyak diperdebatkan para ahli. Temel dan Albersen (2000) juga menyimpulkan bahwa IP tersebut lebih disebabkan oleh pola geografik bukan karena tidak terukurnya variabel kualitas lahan. Pada penelitian ini gejala IP dapat dipelajari dengan model yang lebih sederhana, yaitu Ln (Y)= á + âln(l ) + å, di mana Y adalah nilai produk usahatani, dan L adalah lahan. Bentuk persamaan tersebut menunjukkan bahwa â adal ah elasti sitas produksi terhadap lahan. Jika memang terdapat hubungan IP maka â<1. Persamaan tersebut juga bisa juga dinyatakan dalam bentuk produksi per hektar (Y/L). Apa bila demikian maka hubungan IP terjadi jika â<0. Hasil pendugaan dengan metode OLS (ordinary least squares) dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil pendugaan model regresi tersebut menunjukkan bahwa koefisien luas lahan garapan untuk produk total lebih kecil dari satu, dan uji statistik terhadap dugaan â diperoleh nilai F sebesar 3395, yang berarti tidak cukup bukti untuk menolak bahwa â<1. Hal ini menunjukkan apabila terjadi kenaikan luas lahan satu persen, maka akan diikuti kenaikan produk (dinyatakan dalam ribu rupiah) kurang dari satu persen. Hasil yang sama dapat juga dilihat dengan

166 menggunakan produksi per hektar atau produktivitas lahan. Hasilnya menunjukkan koefisien regresi negatif. Kesimpulannya adalah bahwa pada usahatani tanaman pangan yang dikaji pada penelitian ini ada kecenderungan kuat terdapat hubungan IP. Kekhawatiran adanya faktor kualitas lahan yang menyebabkan gejala IP, dikoreksi dengan memisahkan antara lahan sawah dan lahan darat, dengan asumsi perbedaan lahan darat dan lahan sawah dalam model agregat di atas menjadi sumber perbedaan kualitas lahan. Lahan sawah umumnya lebih produktif dibandingkan dengan lahan darat setidaknya karena ketersediaan air yang lebih baik pada lahan sawah, sehingga untuk menghasilkan sejumlah produk yang sama pada lahan darat diperlukan luas lahan yang lebih kecil pada lahan sawah. Karena itu hubungan IP ada yang membantah dengan alasan karena adanya kesalahan spesifikasi model dengan tidak memasukan faktor kualitas lahan. Data kualitas lahan pada penelitian rumahtangga petani memang seringkali sulit diperoleh. Upaya yang dilakukan para peneliti antara lain dengan merekayasa model sehingga variabel kualitas lahan dicari sebagai variabel yang tak terobservasi, tetapi pengaruhnya dapat didetekksi (Lamb, 2001). Tabel Lahan 10. Sawah Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Usahatani Ln(Y s ) dan Produktivitas Lahan Pada Rumahtangga 9.36300 Petani 0.18902 (R 2 =0.20) Tanaman Pangan. (0.05793) (0.03798) Ln(Y s /L) 9.36300-0.81098 (R 2 =82) (0.05793) Persamaan Parameter Dugaan (0.03798) Angka dalam tanda ( ) adalah standard error á â Total Ln (Y) (R 2 =0.27) 9.32951 (0.01676) 0.24366 (0.01298) Ln (Y/L) (R 2 =0.78) 9.32951 (0.01676) -0.75634 (0.01298) Lahan Darat Ln(Y d ) (R 2 =0.27) 9.35991 (0.24065) 0.02884 (0.0192) Ln(Y d /L) (R2=0.79) 9.35991 (0.02884) -0.75935 (0.01920)

167 Pada Tabel 10 di atas ditunjukkan hasil pendugaan yang diperoleh dengan memisahkan lahan darat dari lahan sawah. Hasil pendugaan terhadap koefisien regresi menunjukkan hasil yang sama bahwa produktivitas lahan pada lahan usahatani berlahan luas cenderung lebih rendah dibandingkan dengan dengan usahatani berlahan sempit, baik di lahan sawah maupun di lahan darat. Konsekuensi dari adanya hubungan IP pada penelitian ini dapat dipelajari pada simulasi model persamaan simultan. Seperti telah dirumuskan di muka, model persamaan simultan pada penelitian ini memperhatikan harga bayangan input, yang merupakan variabel endogen. Besar kecilnya harga bayangan terkait dengan produktivitas input, termasuk di dalamnya produktivitas lahan usahatani. Dengan demikian, simulasi model ekonomi rumahtangga pada penelitian ini diharapkan akan menghasilkan perilaku ekonomi yang berbeda pada setiap strata luas lahan. Tingginya intensitas penggunaan input pada rumahtangga petani lahan sempit pada tingkat tertentu bisa menjadi tidak efisien, yang ditandai dengan rendahnya produktivitas input. Sebagai gambaran kasar pada Tabel 10 disajikan indeks pengembalian input (return to farm input) per unit masing-masing input usahatani. Nilai pengembalian terhadap input usahatani biasanya bisa dibandingkan dengankan dengan harga pasar masing-masing input. Namun metode ini sangat tergantung pada komponen biaya yang dimasukkan pada analisis. Dikhawatirkan ada bias dalam perhitungan biaya usahatani, nilai pengembalian input pada Tabel 11 disajikan dalam bentuk indeks relatif masing-masing input di masing-masing strata rumahtangga terhadap nilai masing-masing pengembalian input seluruh rumahtangga petani.

168 Tabel 11. Indeks Pengembalian Input Usahatani Setiap Strata Terhadap Nilai Pengembalian Input Total Rumahtangga Jenis Input Usahatani Lahan Lahan Lahan Sempit Sedang Luas Total Pupuk Urea 92.63 93.81 113.86 100 Pupuk TSP 57.60 142.42 100.66 100 Nilai Input Lain 70.98 116.39 113.25 100 Tenaga Kerja Pria Dalam Keluarga 39.29 50.95 212.12 100 Tenaga Kerja Wanita Dalam Keluarga 20.73 72.24 209.67 100 Tenaga Kerja Pria Luar Keluarga 61.19 156.91 82.29 100 Tenaga Kerja Wanita Luar Keluarga 66.78 159.14 74.28 100 Lahan Garapan 188.35 68.66 40.85 100 Menggunakan ukuran indeks pengembalian masing-masing input, dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa pada rumahtangga berlahan sempit produktivitas input usahataninya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas, kecuali untuk input lahan (return to land). Relatif rendahnya nilai pengembalian pupuk urea, pupuk tsp, dan tenaga kerja dalam dan luar keluarga pada rumahtangga lahan sempit diduga karena penggunaan input usahatani tersebut relatif lebih intensif dibandingkan dengan rumahtangga lahan sedang dan lahan luas seperti telah ditunjukkan pada Tabel 9 di atas. Tingginya nilai pengembalian lahan pada rumahtangga lahan sempit memang konsisten dengan gejala IP seperti telah dijelaskan di atas. Setelah mempelajari penggunaan input usahatani, selanjutnya pada Tabel 12 disajikan alokasi penerimaan usahatani untuk keperluan pengeluaran usahatani dan konsumsi rumahtangga. Alokasi penerimaan ini penting dipelajari untuk mengetahui bagaimana rumahtangga petani memanfaatkan penerimaan usahataninya untuk berbagai keperluan. Pada Tabel 11 diperlihatkan pengeluaran usahatani dalam bentuk biaya tunai untuk keperluan sarana produksi, seperti pupuk, benih, bibit, dan obat-obatan. Pada tabel tersebut terlihat porsi pengeluaran tunai untuk sarana produksi terbesar (20 persen dari

169 total penerimaan) terdapat pada rumahtangga berlahan sempit. Kondisi sebaliknya untuk pengeluaran tunai tenaga kerja luar keluarga, porsi terbesar terjadi pada rumahtangga berlahan luas. Kedua jenis pengeluaran ini memerlukan uang tunai, sehingga sering dijadikan ukuran kemampuan usahatani dalam memenuhi kebutuhan uang tunai. Di samping pengeluaran total usahatani, pada Tabel 12 tercantum juga pengeluaran investasi usahatani. Jika pengeluaran total usahatani merupakan pengeluaran rutin, maka pengeluaran investasi adalah pengeluaran tidak rutin. Di dalamnya terkandung pengeluaran pembelian peralatan usahatani, perbaikan bangunan usahatani, dan perbaikan lahan. Pada tabel terlihat porsi pengeluaran investasi ini relatif kecil dan tidak ada konsistensi besar proporsi dengan strata luas lahan. Bagian yang dialokasikan untuk investasi ini merupakan upaya rumahtangga dalam mempertahankan dan meningkatkan modal usahatani. Oleh karena itu sering disebut kemampuan usahatani dalam pembentukan modal dari dalam usahatani. Tabel 12. Alokasi Penerimaan Usahatani Pada Pengeluaran Usahatani dan Konsumsi Rumahtangga Menurut Strata Luas Lahan Uraian Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total % Rata-rata % Rata-rata % Pengeluaran Saprodi Tunai 599.2 20 1038.9 15 2272.0 17 1295.6 17 Tenaga Kerja Luar Keluarga 844.2 28 2155.5 32 4869.2 35 2604.1 33 Total Pengeluaran Usahatani 1443.4 49 3194.4 47 7141.2 52 3899.8 50 Investasi Usahatani 226.6 8 813.6 12 1044.0 8 690.8 9 Produk Usahatani Dikonsumsi 844.2 28 1675.6 25 2562.2 19 1685.9 21 Produk Usahatani Dijual 2118.3 72 5107.8 75 11393.7 83 6163.3 79 Penerimaan Total Usahatani 2962.4 100 6783.4 100 13779.8 100 7849.2 100 % Bagian lain dari Tabel 12 adalah produk usahatani yang dikonsumsi dan yang dijual ke pasar. Produk usahatani yang dikonsumsi adalah bagian dari penerimaan usahatani yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga. Besarnya porsi ini menunjukkan peran usahatani dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga,

170 sehingga sering digunakan sebagai ukuran subsistensi. Semakin besar bagian yang dikonsumsi, semakin bersifat subsisten. Sebaliknya produk usahatani yang dijual merupakan bagian produk usahatani yang dialokasikan untuk memperoleh uang tunai. Semakin besar bagian produk yang dijual, usahatani yang bersangkutan semakin komersial. Pada Tabel 11 diperlihatkan, bagian produk yang dijual relatif lebih besar dibandingkan dengan bagian produk yang dikonsumsi. Hal yang menarik adalah bahwa fenomena ini terjadi di seluruh strata luas lahan dengan kecenderungan makin besar. Jika ini dijadikan indikator tingkat komersial usahatani, dapat disimpulkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai, usahatani semakin komersial. 5.5. Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Rumahtangga yang menjadi objek penelitian adalah rumahtangga petani tanaman pangan. Oleh karena itu, sumber pendapatan utama diharapkan berasal dari tanaman pangan. Pada Tabel 12 diperlihatkan pendapatan rumahtangga petani dari berbagai sumber. Pada tabel tersebut terlihat tanaman pangan memang merupakan sumber penerimaan paling besar di seluruh strata rumahtangga. Menarik untuk diperhatikan bahwa peranan tanaman pangan tersebut semakin besar pada rumahtangga yang berlahan sedang dan lahan luas. Komposisi tanaman pangan berasal dari tanaman padi sawah dan padi ladang, berbagai macam palawija, dan berbagai macam sayuran. Tanaman palawija, sayuran dan berbagai jenis tanaman pangan lainnya, pada Tabel 13 dikelompokkan pada tanaman non padi. Antara kedua jenis penerimaan tersebut, tampak penerimaan yang berasal dari padi lebih besar dibandingkan dengan dengan non padi. Peranan padi tampak semakin besar

171 pada rumahtangga petani yang berlahan sedang dan lahan luas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi padi pada rumahtangga tanaman pangan masih merupakan komoditi penting, dan selalu ada dalam komposisi tanaman pangan. Di samping tanaman pangan, bagian lain dari penerimaan usahatani adalah penerimaan yang berasal dari ternak, ikan, dan berbagai jenis penerimaan non pangan lainnya. Kontribusi sumber penerimaan ini relatif kecil di seluruh strata rumahtangga yang diteliti. Pada Tabel 13 juga diperlihatkan konstribusi pendapatan dari usahatani dan dari luar usahatani. Pendapatan bersih dari usahatani lebih tinggi dibandingkan dengan dari luar usahatani. Pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas, kontribusi pendapatan usahatani semakin besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa dilihat dari besarnya pendapatan rumahtangga, pendapatan usahatani memegang peranan penting di seluruh strata rumahtangga. Pendapatan dari luar usahatani berasal dari berbagai aktivitas di dalam rumahtangga dan di luar rumahtangga. Di daerah penelitian, kesempatan kerja di luar usahatani ini tampaknya tidak banyak tersedia. Tabel 13. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Menurut Strata Luas Lahan Jenis Pendapatan Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total Rataratratratrata Rata- Rata- Rata- % % % % Padi 1084 36.59 2690 39.66 6299 45.71 3360 42.81 Non Padi 978 33.01 2311 34.07 5301 38.47 2866 36.51 Tanaman Pangan 2062 69.60 5002 73.73 11600 84.18 6226 79.31 Penerimaan Total Usahatani 2962 100.00 6783 100.00 13780 100.00 7849 100.00 Pendapatan Bersih Usahatani 1942 50.75 3463 69.78 6186 86.43 3870 72.60 Pendapatan Luar Usahatani 1884 49.25 1500 30.22 971 13.57 1460 27.40 Pendapatan Rumahtangga 3826 100.00 4963 100.00 7157 100.00 5330 100.00 Pada Tabel 14 disajikan struktur pengeluaran rumahtangga selama satu tahun menurut strata luas lahan. Besaran mutlak setiap jenis pengeluaran rumahtangga

172 tampaknya berbanding lurus dengan luas lahan. Semakin tinggi strata rumahtangga menurut luas lahan, pengeluaran rumahtangga semakin besar. Sudah dapat diduga bahwa porsi pengeluaran rumahtangga paling besar adalah untuk pangan. Proporsi pengeluaran pangan hampir sama untuk seluruh strata rumahtangga, yaitu sekitar 42 persen. Jika dilihat dari sumber perolehannya, sebagian besar pengeluaran pangan tersebut dibeli dari pasar, sisanya disediakan sendiri dari berbagai sumber, termasuk dari usahatani sendiri. Tingginya porsi pengeluaran pangan yang berasal dari pasar mengindikasikan tingginya permintaan rumahtangga terhadap uang tunai. Proporsi ini berlaku di semua strata. Hal tersebut berarti perbedaan luas lahan usahatani tidak mempengaruhi proporsi kebutuhan pangan dari pasar, atau peranan usahatani sendiri sebagai penyedia pangan tidak dipengaruhi oleh luasan lahan. Pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan dan kesehatan menempati porsi yang relatif kecil di seluruh strata rumahtangga dengan kecenderungan porsi pengeluaran pada rumahtangga lahan sempit lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran pada rumahtangga lahan sedang dan lahan luas. Pengeluaran pendidikan dan kesehatan merupakan bagian dari upaya rumahtangga dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di rumahtangga. Keterbatasan pendapatan keluarga diduga akan menekan pengeluaran untuk jenis ini. Pengeluaran barang-barang rumahtangga merupakan pengeluaran untuk membeli dan atau memelihara barang-barang rumahtangga, termasuk memelihara atau perbaikan rumah tempat tinggal. Pada Tabel 14 terlihat pengeluaran jenis ini relatif kecil dibandingkan dengan pengeluaran lainnya. Tabel 14. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Menurut Strata Luas Lahan Jenis Pengeluaran Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas Total