PENDAHULUAN Latar Belakang Hidroponik merupakan pertanian masa depan sebab hidroponik dapat diusahakan di berbagai tempat, baik di desa, di kota di lahan terbuka, atau di atas apartemen sekalipun. Hidroponik dapat diusahakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Oleh karena itu, harga jual panennya tidak khawatir akan jatuh. Pemeliharaan tanaman hidroponik pun lebih mudah karena tempat budidayanya relatif bersih, media tanamnya steril dan tanaman terlindung dari terpaan hujan. Serangan hama dan penyakit relatif kecil. Tanaman lebih sehat dan produktivitas lebih tinggi (Hartus, 2002). Dewasa ini lahan pertanian semaki sempit akibat semakin berkembangnya industri sehingga menggeser lahan-lahan pertanian menjadi daerah perindustrian, lebih-lebih di daerah perkotaan. Di sisi lain kebutuhan akan hasil pertanian semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Untuk mengatasi masalah ini salah satu yang ditempuh adalah dengan meningkatkan produktivitas tanaman. Dengan cara ini diharapkan dari lahan sempit dapat dihasilkan yang banyak. Salah satu caranya adalah dengan hidroponik (Prihmantoro dan Indriani, 1999). Menurut Hartus (2002) bagi sebagian besar orang hidroponik masih berkesan ekslusif. Mereka menganggap hidroponik itu rumit, mahal dan canggih. Di kalangan petani pun, hidroponik masih dianggap teknologi mewah. Diperlukan biaya yang sangat mahal untuk berhidroponik. Kesan seperti itu benar adanya sebab memang citra seperti itu yang selama ini ditampilkan. Tanpa mengurangi kualitas hasil panen, hidroponik dapat dirancang dengan harga murah, mudah,
praktis dan inovatif, tetapi tetap kompetitif dan ekonomis. Beberapa kiatnya adalah menggunakan formula nutrisi yang dibuat sendiri, membuat lathhouse sederhana dan merancang jaringan irigasi sederhana. Istilah hidroponik yang berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan ponos (kerja). Istilah hidroponik pertama kali dikemukakan oleh W.F. Gericke dari University of California pada awal tahun 1930-an, yang melakukan percobaan hara tanaman dalam skala komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau hydroponics. Selanjutnya hidroponik didefinisikan secara ilmiah sebagai suatu cara budidaya tanaman tanpa menggunakan tanah, akan tetapi menggunakan media inert seperti gravel, pasir, peat, vermikulit, pumice atau sawdust, yang diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Susila, 2009). Budidaya pertanian yang menggunakan teknologi hidroponik, tidak lepas dari sarana yang dapat menunjang optimalisasi dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Mengingat hidroponik ini bukan suatu keharusan, melainkan suatu jalan keluar, maka komoditi yang ditanam pun harus mempunyai pasar khusus dengan harga khusus pula (Sugiyanto, 2008). Sarana penunjang tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang saling terkait pada suatu sistem hidroponik. Ada beberapa hal yang penting agar hidroponik secara kualitas dan kuantitas dapat berhasil, antaralain sumber daya manusia, manajemen kebun, greenhouse, nursery, sistem irigasi, benih, media tanam dan peralatan pendukung lainnya. Dengan demikian, praktek yang berlangsung secara aktif di dalam kebun produksi akan dapat memberikan
ketrampilan secara menyeluruh terhadap penerapan teknik budidaya tanaman sayuran menggunakan teknologi hidroponik (Sugiyanto, 2008). Nutrient film technique (NFT) merupakan model budidaya dengan meletakkan akar tanaman pada lapisan air yang dangkal. Air tersebut tersikulasi dan mengandung nutrisi sesuai kebutuhan tanaman. Perakaran bisa berkembang di dalam larutan nutrisi. Karena di sekeliling perakaran terdapat selapis larutan nutrisi maka sistem ini dikenal dengan nama nutrient film technique. Mengingat bahwa kelebihan air akan mengurangi jumlah oksigen maka lapisan nutrisi dalam sistem NFT dibuat sedemikian rupa, maksimal tinggi larutan 3 mm, sehingga kebutuhan air (nutrisi) dan oksigen dapat terpenuhi (Sutiyoso, 2004). Pada budidaya tanaman dengan sistem hidroponik pemberian air dan pupuk memungkinkan dilaksanakan secara bersamaan. Oleh karena itu, manajemen pemupukan (fertilization) dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan manajemen irigasi (irrigation) yang selanjutnya disebut fertigasi (fertilization and irrigation). Dalam sistem hidroponik, pengelolaan air dan hara difokuskan terhadap cara pemberian yang optimal sesuai dengan kebutuhan tanaman, umur tanaman dan kondisi lingkungan sehingga tercapai hasil yang maximum (Susila, 2009). Tanaman sayuran berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Awalnya tanaman ini dikenal dengan sebagai tanaman perkebunan rakyat, tetapi sekarang lebih dikenal dengan nama hortikultura. Hortikultura termasuk tanaman yang secara tidak langsung memiliki nilai keindahan. Itulah sebabnya, banyak orang yang menanam sayuran di pekarangan (Haryanto, dkk, 1996).
Tanaman sawi sudah dikenal baik oleh masyarakat Indonesia. Aneka hidangan yang menggunakan sawi sebagai bahan baku sering kita jumpai di meja makan. Hasrat masyarakat untuk mengonsumsi sayuran sawi akhir-akhir ini juga menunjukkan peningkatan, sesuai dengan pertumbuhan penduduk, meningkatnya daya beli, gampangnya sayuran ini ditemukan di pasar, serta peningkatan pengetahuan gizi masyarakat. Budidaya sawi relatif mudah dibandingkan dengan tanaman hortikultura lainnya, sehingga dapat dilakukan oleh petani ataupun pemula yang ingin menekuni agrobisnis sawi (Haryanto, dkk, 1996). Menurut (Sutiyoso, 2004) kualitas air merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangakan dalam budidaya tanaman secara hidroponik. Tanaman terdiri atas 80 90% air sehingga ketersediaan air yang berkualitas sangat penting untuk mendukung keberhasilan proses budidayanya. Kualitas air dapat di tentukan dari apa yang terkandung di dalam sumbernya (sumur atau sungai), juga tingkat kemasamannya. Air adalah pelarut yang dapat mengandung jumlah tertentu garam-garam terlarut. Salah satu garam terlarut tersebut adalah pupuk. Untuk menyediakan sumber hara yang cukup bagi tanaman pupuk perlu dilarutkan di dalam air. Kualitas air dapat ditentukan dengan dengan keberadaan partikel fisik (pasir, limestone, bahan organik), jumlah bahan terlarut (hara dan bahan kimia non hara), dan ph air. Beberpa hal yang berhubungan dengan kualitas air yang perlu di check di laboratorium adalah electrical conduktivity (EC) dan ph. Umumnya efisiensi penggunaan air pada irigasi permukaan sekitar 60% karena kehilangan air akibat penguapan, perkolasi dan run off dari lahan. Sedangkan pada irigasi sprinkle mempunyai nilai efisiensi penggunaan air sekitar 75% (Hansen et al, 1992). Sistem irigasi hidroponik NFT lebih efisien bila
dibandingkan dengan irigasi permukaan, karena dalam sistem ini tidak terjadi kehilangan air akibat perkolasi maupun run off. Penerapan teknologi irigasi hemat air pada prinsipnya merupakan upaya peningkatan efisiensi irigasi dalam suatu proses budidaya tanaman sehingga penggunaan air irigasi per satuan produk semakin kecil. Di Indonesia, upaya peningkatan efisiensi irigasi merupakan hal yang mutlak harus dilakukan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan pertanian di masa mendatang (Chadirin, 2001). Sistem fertigasi hidoponik NFT adalah suatu teknologi aplikasi pemberian air irigasi dan nutrisi dengan memanfaatkan konstruksi NFT (Karsono, dkk, 2002). Penetapan sistem irigasi hidroponik NFT pada penelitian ini adalah untuk mempelajari keseragaman konduktivitas listrik (EC) dan ph larutan nutrisi serta efektivitas aplikasi pemberian air. Penelitian ini pernah dilakukan di Inggris. Dengan hasil penelitian ini bahwa kemiringan talang dalam konstruksi mempengaruhi produktivitas tanaman. Semakin miring talangnya, produktivitas tanaman semakin besar (Untung, 2000). Oleh karena itu, dianggap perlu untuk melakukan penelitian ini dengan menggunakan tanaman sawi. Dalam penelitian ini kemiringan talang dalam konstruksi NFT yang diterapkan besarnya 6% dan 9%. Analisis sistem fertigasi hidroponik NFT pada penelitian ini adalah analisis dengan membandingkan data-data yang ada pada masing-masing aplikasi kemiringan talang.
Tujuan Penelitian Untuk menganalisis kemiringan talang sistem fertigasi hidroponik NFT pada budidaya tanaman sawi. Diantaranya yaitu : 1. Menghitung kebutuhan air tanaman sawi secara teoritis. 2. Menghitung keseragaman fertigasi pada jaringan irigasi hidroponik NFT yang mencakup : Keseragaman air irigasi, yaitu keseragaman debit outlet Keseragaman larutan nutrisi yaitu keseragaman konduktivitas listrik larutan dan ph larutan nutrisi 3. Menghitung produktivitas tanaman. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai syarat untuk melaksanakan ujian sarjana di Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat berguna memberikan informasi bagi penulis, petani dan pihak yang membutuhkan dalam pengembangan dan peningkatan usaha budidaya tanaman sayuran secara hidroponik.