BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

Tumor jinak pelvik. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Anatomi/organ reproduksi wanita

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Hormon Pada wanita

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18%

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh perempuan usia produktif. Sebanyak 25% penderita mioma uteri dilaporkan

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara

BAB XIV. Kelenjar Hipofisis

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

... Tugas Milik kelompok 8...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB II LANDASAN TEORI. dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam. zat-zat gizi lainnya (Almatsier, 2010; Supariasa, 2012).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2016.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

GYNECOLOGIC AND OBSTETRIC DISORDERS. Contraception

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat sementara dan dapat pula bersifat menetap (Subroto, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. menyusui eksklusif. Pada ibu menyusui eksklusif memiliki kecenderungan yang

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. merupakan jenis kanker yang paling sering terdiagnosis pada wanita (Dizon et al.,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Istilah-istilah. gangguan MENSTRUASI. Skenario. Menstruasi Normal. Menilai Banyaknya Darah 1/16/11

HUBUNGAN KONTRASEPSI ORAL DAN KANKER PAYUDARA : STUDI KASUS KONTROL DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. mengeluarkan hormon estrogen (Manuaba, 2008). Menarche terjadi di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. korteks serebri, aksis hipotalamus-hipofisis-ovarial, dan endrogen

Ovarian Cysts: A Review

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai 6 gram. Ovarium terletak dalam kavum peritonei. Kedua ovarium melekat

BAB I PENDAHULUAN. dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode

BAB 1 PENDAHULUAN. berfungsi dengan matang (Kusmiran, 2011). Menstruasi adalah siklus discharge

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selama hari, 3-6 hari adalah waktu keluarnya darah menstruasi. perdarahan bercak atau spotting (Baziad, 2008).

AMENOREA SEKUNDER M. Thamrin Tanjung

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengamati preparat uterus di mikroskopdengan menghitung seluruh

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. keluarga dengan pemahaman remaja putri tentang menarche, maka akan dibahas

BAB I PENDAHULUAN. Wanita dikatakan istemewa karena jumlah populasinya yang lebih besar dari pada

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal atau muda merupakan salah satu tahap dari siklus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti

I. PENDAHULUAN. terutama pada daerah transformasi epitel gepeng serviks. Sebagian besar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH 20 DENGAN USIA MENARCHE PADA SISWI SEKOLAH DASAR DI SELURUH KECAMATAN PATRANG KABUPATEN JEMBER

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. endometrium yang terjadi secara rutin setiap bulan (Ayu dan Bagus, 2010).

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak terkendali dan penyebaran sel-sel yang abnormal. Jika penyebaran

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah suatu tahap peralihan antara masa anak-anak. menuju dewasa. Sebelum memasuki masa remaja, seseorang akan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. biologis atau fisiologis yang disengaja. Menopause dialami oleh wanita-wanita

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ciri perkembangannya seorang remaja dibagi menjadi tiga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

SYARAT-SYARAT PEMERIKSAAN INFERTIL

BAB II TINJAUAN TEORI. konsep yang relatif baru dalam kajian psikologi. Di negara-negara barat, istilah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Pengertian. Endometriosis


Materi 5 Endokrinologi selama siklus estrus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. menuju dewasa dimana terjadi proses pematangan seksual dengan. hasil tercapainya kemampuan reproduksi. Tanda pertama pubertas

HIPOTALAMUS DAN KELENJAR HIPOFISIS

BAB I PENDAHULUAN. leiomyoma uteri, fibromioma uteri, atau uterin fibroid. 1 Angka kejadian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Gangguan Sistem Reproduksi Wanita. kesehatan reproduksi (Manuaba, 2008). Hal ini mencakup infeksi,

Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD)

Bcl-2 DAN INDEKS APOPTOSIS PADA HIPERPLASIA ENDOMETRIUM NON-ATIPIK SIMPLEKS DAN KOMPLEKS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

Tatalaksana Tujuan terapi o mengontrol perdarahan o mencegah perdarahan berulang o mencegah komplikasi o mengembalikan kekurangan zat besi dalam

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uterus 2.1.1. Anatomi dan Histologi Uterus Uterus berbentuk seperti buah pir dan berdinding tebal. Yang terdiri dari fundus uteri, korpus uteri, cavum uteri. Ukuran dari fundus uteri ke serviks adalah 8 cm, ukuran cornu ke cornulebih dari 5 cm, dan ukuran anterior ke posterior adalah 2,5 cm (Paulsen and Waschke, 2013). Secara histopatologi struktur uterus dari dalam ke luar terdiri atas: lapisan endometrium di korpus uteri dan lapisan endoserviks di serviks uteri, otot-otot polos atau miometrium, dan lapisan serosa. Endometrium dilapisi oleh sel epitel kolumnar bersilia dengan kelenjar sekresi mukosa yang membentuk invaginasi ke dalam stroma selular, dan jaringan yang banyak mengandung pembuluh darah. Endometrium melapisi seluruh kavum uteri dan berperan penting dalam siklus menstruasi selama masa reproduksi (Snell, 2012). Kelenjar dan stroma mengalami perubahan siklik, terjadi pergantian fase pengelupasan dan fase pertumbuhan baru yang berlangsung sekitar 28 hari. Endometrium mempunyai dua lapisan yaitu: (1). lapisan fungsional, yang akan mengelupas pada saat menstruasi; dan (2). lapisan basal yang tidak ikut mengelupas. Epitel lapisan fungsional mengalami poliferasi aktif setelah periode menstruasi sampai terjadi ovulasi, kemudian kelenjar endometrium mengalami fase sekresi. Perubahan histologi endometrium normal selama siklus menstruasi di pengaruhi oleh perubahan sekresi hormon steroid ovarium. Jika endometrium terus-menerus terpapar oleh stimulasi estrogen baik endogen, maupun eksogen akan menyebabkan hiperplasia endometrium (Sofoewan, 2012). 4

5 2.1.2. Fisiologi menstruasi Manusia merupakan salah satu spesies yang mempunyai siklus reproduksi bulanansetiap 28 hari. Siklus menstruasi terjadi akibat pertumbuhan dan pengelupasan lapisan endometrium uterus. Setelah fase akhir menstruasi, endometrium akan memulai fase poliferasi dan lapisan endometrium akan menebal kembali. Perubahan endometrium dikontrol oleh siklus ovarium yang terdiri atas: fase folikular, ovulasi, dan pasca ovulasi (fase luteal). Sedangkan siklus uterus yang terdiri atas: fase proliferasi, fase sekresi, dan fase menstruasi(haid). Hormon-hormon yang mengatur siklus menstruasi adalah: hypothalamus pituitary ovarian endocrine axis, gonadotropin releasing hormone (GnRH), follicle stimulating hormone(fsh), luteinizing hormone (LH) (Drife and Magowan, 2004). 2.1.2.1.Siklus ovarium Siklus ovarium dimulai dengan fase folikular. Pada fase folikular, terjadi peningkatan kadar FSH dan LH (hari pertama sampai hari ke-8) yang akan memacu perkembangan 10-20 folikel, namun hanya terdapat satu folikel yang dominan. Kadar FSH dan LH yang relatif tinggi ini merupakan pemicu penurunan hormon estrogen maupun progesteron pada akhir siklus. Perubahan hormon pada fase pematangan folikel (hari ke-9 sampai hari ke-14) terjadi peningkatan produksi hormon estrogen yang progresif (terutama hormon estradiol) dari folikel. Meningkatnya kadar hormon estrogen menyebabkan umpan balik negatif ke GnRH untuk mencegah hiperstimulasi pematangan folikel. Fase ovulasi adalah fase pembesaran folikel (hari ke-14) secara cepat yang diikuti pecahnya folikel. pada fase ini, terjadi peningkatan hormon estrogen sehingga terjadi peningkatan sekresi LH. Menjelang ovulasi terjadi penurunan kadar estradiol yang cepat dan diikuti peningkatan kadar progesteron.fase luteal, selama fase luteal (hari ke-15 sampai hari ke-28) kadar GnRH tetap rendah sampai terjadi regresi korpus luteum yang terjadi pada hari ke-26 sampai hari ke-28. Korpus luteum sendiri meningkatkan produksi progesteron dan estradiol. Jika terjadi konsepsi dan implantasi korpus luteum tidak mengalami regresi karena dipertahankan

6 gonadotropin yang dihasilkan oleh trophoblast. Jika konsepsi dan inplantasi tidak terjadi, maka korpus luteum mengalami regresi dan terjadi menstruasi (Sofoewan, 2012). 2.1.2.2. Siklus uterus Siklus uterus dimulai dari fase poliferasi. Pada fase proliferasi, tebal lapisan endometrium 0,5 mm akan bertumbuh menjadi 4-5 mm. Fase poliferasi terbagi atas 3 tahapan yaitu: (1). fase awal (hari ke-4 sampai hari ke-7) terjadi regenerasi epitel, kelenjar masih pendek dan mitosis epitel, stroma padat disertai mitosis; (2). Fase pertengahan (hari ke-8sampai hari ke-10) ditandai dengan gambaran kelenjar panjang dan berbentuk kurva, epitel permukaan menjadi kolumnar dan terdapat mitosis; dan (3). fase proliferasi lanjut, kelenjar berkelokkelok, inti pseudostratified dan stroma tumbuh sangat aktif dan tebal (Kurman and Mazur, 2005). Setelah terjadi ovulasi, akan diikuti fase sekretori. Fase sekretori, vaskularisasi endometrium sangat meningkat dan stroma endometrium longgar akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum. Kelenjar mulai bergelung dan menggumpar, serta mulai mensekresikan cairan. Akhir dari siklus uterus adalah fase menstruasi. Fase menstruasi terjadi regresi korpus luteum, pasokan hormon untuk endometrium terhenti. Endometrium menjadi lebih tipis, karena terjadi nekrosis di endometrium, juga terjadi spasme dan nekrosis dinding arteri spiralis. Yang menimbulkan pendarahan berbercak, selanjutnya menyatu dan menghasilkan darah menstruasi (Ganong, 2008). 2.2.Hiperplasia Endometrium 2.2.1. Defenisi dan Epidemiologi Hiperplasia endometrium merupakan suatu keadaan patologis pada endometrium berupa peningkatan proliferasi kelenjar endometrium yang mengakibatkan adanya perubahan rasio kelenjar dan stroma, bentuk dan ukuran kelenjar, susunan kelenjar bertambah menjadi 2-3 lapis (Ellenson and Pirog, 2010).

7 Insidensi hiperplasia endometrium simpleks pada perempuan kelompok umur 18-90 tahun adalah 58 per 100 ribu pertahun, sedangkan hiperplasia endometrium kompleks tanpa sel atipik adalah 63 per 100 ribu, dan hiperplasia endometrium dengan sel atipik adalah 17 per 100 ribu perempuan. Insidensi hiperplasia simpleks dan kompleks yang tertinggi terdapat pada kelompok umur 50-54 tahun masing-masing 142 dan 212 per 100 ribu perempuan pertahun. Sedangkan insidensi hiperplasia atipik yang tertinggi terdapat pada kelompok umur 60-64 tahun yaitu 54 per 100 ribu perempuan pertahun. Secara keseluruhan, insidensi hiperplasia endometrium yang tertinggi terdapat pada kelompok umur 50-54 tahun (386 per 100 ribu pertahun), dan jarang terjadi pada kelompok umur perempuan di bawah umur 30 tahun (6 per 100 ribu pertahun). Insidensi ini terus meningkat setiap interval waktu 5 tahun yaitu 30-54 tahun (Reed et al., 2009). 2.2.2. Etiologi Hiperplasia endometrium merupakan kelainan yang tergantung pada hormon estrogen (estrogen-dependent disease) dan mempunyai faktor risiko yang sama dengan karsinoma endometrium, dimana stimulasi hormon estrogen endogen dan eksogen akan memacu proliferasi endometrium secara berlebihan. Stimulasi estrogen endogen dapat berupa faktor menstruasi, obesitas, anovulasi, hiperplasia stroma ovarium, dan tumor yang mampu mensekresi estrogen. Faktor menstruasi, seperti halnya menarche dini (<12 tahun), menopause lambat (>52 tahun) dan nuliparitas diperkirakan terjadi peningkatan paparan kumulatif estrogen oleh karena total jumlah siklus menstruasi yang lebih banyak sepanjang hidupnya dan perlu dinilai keteraturan siklus menstruasi berupa fase sebelum adanya perdarahan (minimal 3 siklus terakhir), memiliki interval 21-35 hari dengan lama 2-8 hari, dan dapat diperkirakan untuk menstruasi tanggal berikutnya (Cahyanti, 2008). Kondisi anovulasi atau oligoovulasi yang sering bermanifestasi klinis dengan adanya infertilitas mengakibatkan penurunan dan tidak adanya efek peranan progesteron pada endometrium. Hal ini menyebabkan endometrium tidak mengalami perubahanpada gambaran histopatologi dan fungsinya menjadi suatu

8 fase sekresi melainkan akan terstimulasi terus oleh efek mitogenik estradiol (E2) yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari endometrium. Kondisi anovulasi yang paling umum adalah pada kasus Sindroma Polikistik Ovarium (PCOS). Pada PCOS, 75% terdapat resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang diduga akan memacu angiogenesis, ekspresi aromatase dan menghambat apoptosis serta menstimulasi proliferasi sel ovarium dan endometrium, kasus ini sering terjadi pada wanita dengan obesitas (Indeks Massa Tubuh/ IMT 30). Pada obesitas, jaringan lemak dan depositnya di perifer merupakan sumber utama aromatase, sehingga pada wanita post-menopause hal ini merupakan sumber estrogen dengan adanya konversi androgen di adrenal dan ovarium. Fungsi stroma ovarium pada wanita post-menopause tetap normal, tetapi bila didapatkan penyimpangan seperti hiperplasia stroma, maka menyebabkan sintesis estrogen yang meningkat dan memacu terjadi hiperplasia endometrium sampai menjadi suatu karsinoma endometrium. Tumor ovarium, baik itu primer maupun sekunder, dapat berhubungan dengan peningkatan fungsi ovarium dalam mensintesis estrogen, seperti tumor sel stroma, sel teka dan granulosa. Salah satu review mengemukakan bahwa ada hubungan antara adenokarsinoma endometriod ovarium dengan endometrium, tetapi mekanisme ini sepertinya merupakan karsinogenesis yang spontan dengan adanya kesamaan epitel pada keduanya dibandingkan salah satu tumor menginduksi pada salah satu tumor lainnnya (Cahyanti, 2008). 2.2.3. Gambaran klinis Menurut The American College of Obstetrician and Gynecologists (2012) tanda dan gambaran yang paling umum dari hiperplasia endometrium pendarahan abnormal pada uterus seperti: (1).Pendarahan selama menstruasi yang berat ataupun berlangsung lebih lama dari biasanya; (2).Siklus menstruasi yang lebih pendek dari 21 hari (dihitung dari hari pertama periode menstruasi dan periode menstruasi berikutnya); dan (3). Pendarahan setelah menopause.

9 2.2.4. Gambaran histopatologi Gambaran histopatologi dari hiperplasia endometrium terdapat peningkatan perbandingan kelenjar terhadap stroma, tepi kelenjar tidak teratur dengan ukuran kelenjar yang bervariasi. Aktivitas mitosis kelenjar tampak jelas dengan derajat yang berbeda. Sering tejadi peningkatan vaskularisasi stroma di dalam epitel (Tri, 2009). WHO (2003) mengklasifikasikan hiperplasia endometrium berdasarkan ada atau tidak adanya gambaran sel atipik, dan juga berdasarkan kompleksitas kelenjarnya dibagi menjadi simpleks dan kompleks (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium (WHO, 2003) Hiperplasia endometrium tanpa sel atipik - Simpleks - Kompleks Hiperplasia endometrium dengan atipik - Simpleks - Kompleks 2.2.4.1. Hiperplasia tanpa sel atipik Berdasarkan struktur kelenjarnya hiperplasia endometrium yang tanpa sel atipik terbagi atas hiperplasia simpleks dan kompleks. Histopatologi hiperplasia endometrium tanpa sel atipik yang simpleks.gambaran yang tampak adalah banyaknya kelenjar yang mengalami poliferasi dan dilatasi dengan tepi yang tidak teratur dan mulai tampak hilangnya stroma. Perubahan karakteristik kelenjar dalam susunan, bentuk, derajat ketidakteraturan, dan percabangannya. Dapat terlihat metaplasia skuamos, walaupun hal ini jarang terjadi (Amran, 2013).

10 Gambar 2.1. Hiperplasia tanpa sel atipik yang simpleks (Ellenson and Pirog, 2010). Hiperplasia endometrium tanpa sel atipik yang kompleks menunjukkan gambaran susunan kelenjar yang padat, terdapat gambaran kelenjar yang irreguler, dengan ukuran bervariasi, sebagian berdilatasi bercabang dengan lekukan dan tonjolan, dan kadang-kadang kelenjar saling berdekatan dan menempel karena padatnya (back-to-back position), dengan stroma yang minimal (gambar 2.2). Rasio kelenjar dan stroma lebih dari 2:1. Derajat kepadatan kelenjar inilah yang membedakan hiperplasia simpleks dan kompleks. Kadang juga ditemukan gambaran kelenjar dengan lumen kistik (Amran, 2013). Gambar 2.2. Hiperplasia endometrium kompleks tanpa sel atipik. Kelenjar saling bertumpukan dan ukuran serta bentuknya ireguler (Ellenson and Pirog, 2010).

11 2.2.4.2. Hiperplasia Atipik Hiperplasia atipik dapat berbentuk simpleks maupun kompleks, secara umum hiperplasia kompleks dengan kelenjar yang padat sekali. Bentuk dan ukuran kelenjar sangat tidak beraturan dan menumpuk (Gambar 2.3 dan 2.4). Walaupun kompleks sangat padat, kelenjar pada hiperplasia atipik dikelilingi stroma dengan adanya gambaran kelenjar yang sangat berdekatan/menonjol. Hiperplasia atipik simpleks memperlihatkan gambaran kelenjar yang kurang padat dibandingkan dengan yang kompleks(amran, 2013). Gambar 2.3. Hiperplasia kompleks atipik. Kelenjar berdekatan dan sangat ireguler tetapi masih dipisahkan oleh stroma (Ellenson and Pirog, 2010). Gambar 2.4. Hiperplasia kompleks atipik. Dengan pembesaran tinggi, tampak sel atipik yang ireguler, stratifikasi inti dengan inti bulat. Sitoplasma eosinofilik dan pucat (Ellenson and Pirog, 2010).

12 2.2.5. Diagnosa Terapi yang tepat pada penderita hiperplasia endometrium sangat ditentukan oleh adanya ketepatan diagnosis histopatologi, yang tergantung pada ketepatan dalam mendapatkan sediaan endometrium. Banyak cara untuk mendapatkan sediaan endometrium, diantaranya adalah sitologi, biopsi, dilatasi dan kuretase (D & C), serta biopsi dengan histeroskopi. Dari beberapa review cara diagnosis hiperplasia endometrium sebelumnya bahwa pengambilan sediaan dengan dilatasi dan kuretase adalah cara yang terbaik dengan mengurangi subjektifitas gambaran endometrium bila dibandingkan dengan biopsi menggunakan histeroskopi, serta lebih akurat dibandingkan dengan sitologi dan biopsi dengan akurasi 97% dan mempunyai nilai sensitivitas 98%, spesifitas 95%,positive predictive value 96% serta negativepredictive value 98% (Cahyanti, 2008). Pada beberapa tahun ini, penggunan ultrasonografi transvaginal untuk menilai kelainan endometrium pada penderita dengan perdarahan pervaginam banyak dilakukan. Cara ini bukan merupakan alat prediksi yang tepat untuk menilai keadaaan patologis endometrium tetapi dapat dilakukan untuk mengukur ketebalan endometrium (The American College of Obstetrician and Gynecologists, 2012). 2.2.6. Komplikasi Berkembangnya hiperplasia endometrium yang tidak mendapatkan terapi menjadi suatu karsinoma endometrium. Hubungan patogenesis berkembangnya hiperplasia endometrium menjadi suatu karsinoma endometrium dipengaruhi oleh aktivitas paparan estrogen yang mengakibatkan proliferasi yang tidak terkontrol. Kanker endometrium merupakan salah satu jenis keganasan di endometrium yang berasal dari pelapis epitel kelenjar dan berpotensi melibatkan miometrium. Kanker endometrium termasuk kanker ginekologik yang paling sering terjadi di dunia berat, menempati urutan keempat kanker pada perempuan setelah kanker payudara, kolon, dan paru (American Cancer Society, 2013; World Cancer Research Fund, 2013).

13 2.2.7. Pengobatan Ada banyak penyebab pendarahan uterus abnormal. Jika pendarahan di diagnosis dengan hiperplasia endometrium, dapat diobati dengan progestin yang diberikan secara oral, krim, dan dalam alat kontrasepsi. Dosis dan lamanya pemberian tergantung pada usia dan jenis hiperplasia. Jika memiliki tipe hiperplasia kompleks dengan atipik resiko kanker sangat meningkat dan biasanya histerektomi merupakan pilihan pengobatan terbaik (The American College of Obstetrician and Gynecologists, 2012; National Cancer Institute, 2012).