1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia telah menjadi krisis multidimensional yang dampaknya masih dirasakan dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Untuk itu agenda terpenting pasca krisis tersebut adalah memulihkan kembali perekonomian nasional melalui revitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada serta menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang sepatutnya dikembangkan adalah yang berbasis keunggulan kompetitif bangsa. Menurut Porter (1998), keunggulan kompetitif sejati suatu bangsa adalah yang dibangun atas keunggulan komparatif yang dimiliki bangsa tersebut. Karena itu dengan kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki, bangsa Indonesia mesti mengedepankan industri berbasis sumberdaya (resources based industries) yang dibangun melalui penerapan IPTEK dan manajemen profesional. Diantara resources based industries tersebut, sektor kelautan dan perikanan dapat merupakan salah satu keunggulan kompetitif untuk menggerakkan perekonomian nasional, sehingga sudah saatnya sektor tersebut dikembangkan. Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun. Pertama, Indonesia memiliki sumber daya laut yang besar dan beragam. Kedua, Indonesia memiliki keuntungan komparatif (comparative advantage) yang tinggi di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana dicerminkan dari bahan baku yang dimilikinya serta produksi yang dihasilkannya. Ketiga, industri di sektor kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan (backward and forward linkages) yang kuat dengan industri-industri lainnnya. Keempat, Sumber daya di sektor kelautan dan perikanan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources); Kelima, investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki efisiensi yang relatif tinggi yang ditunjukkan oleh Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang rendah dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula
seperti digambarkan dengan Incremental Labor Output Ratio (ILOR) sebesar 7-9. Keenam, pada umumnya industri perikanan berbasis sumberdaya lokal dengan input rupiah namun dapat menghasilkan output dalam bentuk dolar. Sebagai salah satu ranah atau domain utama dari sektor kelautan dan perikanan, subsektor perikanan tangkap diharapkan lebih berperan dalam pembangunan ke depan. Sesuai amanat konstitusi pada Pasal 3 Undang- Undang No. 9 Tahun 1985, yang disempurnakan melalui UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Pembangunan Perikanan Tangkap ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan, dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Tujuan tersebut dewasa ini diperluas cakupannya, juga untuk meningkatkan konstribusi Sub Sektor Perikanan Tangkap terhadap pembangunan perekonomian nasional, utamanya guna membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda negara kita, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah berusaha untuk menerapkan Manajemen Perikanan Tangkap secara terpadu dan terarah, agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Hal ini karena sumberdaya ikan dapat mengalami degradasi bahkan kemusnahan apabila dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun dikatakan bahwa sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources). Disamping itu, penerapan manajemen perikanan yang baik, juga merupakan wujud dari implementasi komitmen Pemerintah Indonesia terhadap issu mengenai pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab sebagaimana tertuang dalam FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995), yang dewasa ini bergaung di dunia internasional. Sementara itu, sasaran pembangunan yang ingin dicapai Pemerintah pada Tahun 2005 adalah produksi perikanan sebesar 5,12 juta ton, perolehan devisa
sebesar US$ 3,54 milyar, penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri sebesar 4,57 juta ton, dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 3,56 juta orang (DKP, 2005). Melihat kepada tujuan dan sasaran tersebut jelaslah bahwa harapan pemerintah kepada sektor kelautan dan perikanan, terutama sub sektor perikanan tangkap dapat menjadi andalan. Hal ini memerlukan dukungan dari segi pengelolaan stok sumberdaya perikanan laut. Secara umum dapat dikatakan bahwa potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia masih memungkinkan untuk dikembangkan. Berdasarkan hasil pengkajian stok ikan di perairan Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001 diperoleh data bahwa masih terdapat peluang pengembangan usaha perikanan di Indonesia. Dari hasil pengkajian tersebut diketahui bahwa potensi lestari (maximum sustainable yield atau MSY) sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Dari jumlah potensi tersebut, apabila diasumsikan 80 % dari potensi lestari tersebut merupakan jumlah tangkapan yang diperbolehkan maka jumlah ikan laut yang dapat dieksploitasi adalah maksimal 5,12 juta ton. Jumlah produksi ikan laut pada tahun 2004 adalah sebesar 4,5 juta ton atau tingkat pemanfaatan baru mencapai 70,31 % dari potensi lestari atau telah mencapai 87,89% dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi penangkapan, ekspor hasil perikanan, jumlah perahu/kapal ikan yang beroperasi, nelayan/tenaga kerja yang terserap, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Berdasarkan data Ditjen Perikanan Tangkap (2005), selama periode 2001 2004, produksi perikanan laut meningkat 4,87%, volume ekspor naik 25,04%, jumlah nelayan laut meningkat 11,03%, serta PNBP juga naik 603,61%. 1.2 Identifikasi Masalah
Pembangunan perikanan tangkap menghadapi beberapa persoalan antara lain overfishing (tangkap lebih) di beberapa WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan). Meskipun sumberdaya perikanan (atau sumberdaya pesisir dan laut secara umum) belum dimanfaatkan secara optimal namun di beberapa wilayah perairan banyak yang telah mengalami tangkap lebih. Meskipun secara agregat (nasional) sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 70,31% dari potensi total lestarinya (MSY, Maximum Sustainable Yield) namun di beberapa kawasan perairan, stok sumberdaya ikan telah terindikasi kondisi tangkap lebih (overfishing). Gejala overfishing suatu perairan antara lain : (1) menurunnya produktivitas hasil tangkapan; (2) terjadi booming spesies tertentu; (3) penurunan ukuran ikan hasil penangkapan; (4) grafik penangkapan dalam satuan waktu berfluktuasi atau tidak menentu (erratic); dan (5) penurunan poduksi secara nyata/ signifikan. Selain mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan, kondisi tangkap lebih juga mengancam keberlanjutan ekonomi (economic sustainability) masyarakat nelayan yang sangat menggantungkan hidupnya dari penangkapan ikan. Dalam jangka panjang, akan sulit bagi pemerintah untuk mewujudkan tujuan pembangunan perikanan, apalagi mengandalkan sektor perikanan dan kelautan sebagai tulang punggung pembangunan pasca krisis ekonomi. Meskipun overfishing terjadi di mana-mana, tetapi sampai saat ini belum ada upaya penanganan yang sistematis dan terintegrasi. Upaya penanganan overfishing saat ini masih bersifat parsial atau sporadis. Persoalan tangkap lebih juga terkait dengan persoalan krusial dan klasik yaitu kemiskinan nelayan. Masyarakat pesisir atau nelayan sering digolongkan sebagai masyarakat termiskin di tanah air. Kemiskinan akan memaksa nelayan atau masyarakat pesisir lain untuk mengeksploitasi sumberdaya ekosistem pesisir lain seperti hutan bakau (mangrove) atau terumbu karang hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup (basic needs). Hal ini terjadi karena untuk beralih profesi bagi nelayan tidaklah mudah karena beberapa hal antara lain kekakuan aset (fixity and rigidity of assets) yang dimiliki, dan rendahnya nilai oportunitas dari upah kerja (low opportuniy cost of labour).
Kondisi overfishing disebabkan oleh tingkat penangkapan yang melampaui potensi sumberdaya perikanan karena sumberdaya perikanan yang bersifat open access, yang berarti siapapun dengan kemampuan teknologi dan modal yang cukup bisa masuk kedalam industri atau usaha perikanan. Secara yuridis formal, sebetulnya sumberdaya perikanan Indonesia tidak murni bersifat akses terbuka. Pasal 33 UUD 45 menyiratkan bahwa sumberdaya perikanan adalah milik negara dan ditata pemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu juga, UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa setiap orang yang hendak memanfaatkan sumberdaya ikan harus memiliki izin usaha. Bila izin usaha ini adalah alat pengendalian maka sebetulnya sumberdaya ikan tidak bebas untuk dimasuki, namun demikian, UU No. 31 tahun 2004 juga menyatakan bahwa usaha perikanan yang dilakukan bukan untuk tujuan komersial, tidak memerlukan izin usaha. Sistem sumberdaya perikanan tangkap dicirikan dengan interaksi yang begitu kompleks antara stok ikan dan faktor input seperti tenaga kerja dan modal yang digunakan dalam memanfaatkan stok tersebut. Pengelolaan sumberdaya patut mempertimbangkan interaksi ini, yang pada dasarnya merupakan kaitan antara faktor biologi dan ekonomi. Selama ini stok ikan (faktor biologi) secara parsial telah mendapat perhatian yang cukup banyak, sementara faktor ekonomi serta interaksi bio-ekonomi belum begitu diperhatikan. Interaksi bioekonomi bersifat dinamis. Perubahan temporal yang terjadi pada faktor ekonomi akan menentukan pola dan dinamika pemanfaataan sumberdaya perikanan. Karena itu untuk memperoleh suatu tahap pemanfaatan sumberdaya yang optimum serta pengelolaannya yang berkelanjutan maka hubungan dinamis antara sumberdaya dan faktor ekonomi perlu diketahui. Interaksi biologi dan ekonomi (bioekonomi) suatu sumberdaya perikanan tergantung rezim pengelolaan yang dianut. Selama ini paling tidak ada dua rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu rejim open akses (open access regime) dan rezim pengelolaan secara terpusat. Ciri khas rezim akses terbuka yaitu perkembangan nelayan yang tidak terkontrol, penangkapan ikan yang secara de facto berlangsung tanpa ada yang mengendalikan, serta bebasnya nelayan yang sudah ada melakukan
ekspansi penangkapan ikan baik secara teknologi, menangkap ikan, maupun daerah penangkapan. Persoalan yang dihadapi (secara khusus) di wilayah perairan Sulawesi Selatan adalah persoalan yang umum dihadapi daerah pesisir manapun di Indonesia. Di wilayah ini tekanan populasi penduduk terhadap lingkungan dan sumberdaya alam perikanan dan kelautan di wilayah pesisir menjadi semakin meningkat. Di tingkat nasional, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu penghasil ikan terbesar dengan berbagai jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Produksi penangkapan ikan di laut pada tahun 2002 tercatat sebesar 337.316 ton, yaitu naik 10,2 % dari produksi tahun sebelumnya. Jumlah alat tangkap yang digunakan pada tahun 2002 tercatat sebanyak 55.978 unit yang terdiri dari pukat, jaring, pancing, perangkap, dan alat tangkap lainnya. Konsumsi ikan per kapita masyarakat Sulawesi Selatan juga termasuk yang tertinggi yaitu mencapai 44,4 kg/kapita/tahun pada tahun 2002. Saat ini overfishing merupakan persoalan utama yang dihadapi di perairan Sulawesi Selatan. Perairan Sulawesi Selatan merupakan bagian perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Flores dan Selat Makassar yang menurut penelitian BRKP dan LIPI (2001) sudah mengalami overfishing. Permodelan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang menggambarkan interaksi antara faktor biologi dan ekonomi atau disebut bio-economic modelling diperlukan untuk menginformasikan status pengelolaan perikanan di suatu wilayah/daerah dan menyediakan alternatif kebijakan pengelolaan yang optimal. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan akhir penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model pengelolaan perikanan di wilayah padat tangkap. Untuk mencapai tujuan akhir ini maka disusun tujuan-tujuan antara/ spesifik sebagai berikut : (1) Mengkaji status armada perikanan tangkap di masa kini;
(2) Menentukan kombinasi optimum struktur armada bila terjadi : kenaikan harga BBM, kenaikan harga ikan, kenaikan bunga pinjaman dan kenaikan upah; (3) Menentukan prioritas kebijakan pengelolaan perikanan.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian : (1) Menyediakan paket kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditekankan pada pengendalian dan penataan upaya penangkapan demi mencapai sistem perikaanan yang lestari; (2) Menyediakan informasi tentang status perikanan tangkap yang sudah padat tangkap bagi para pelaku bisnis sebagai dasar penyusunan strategi pengembangan usaha; (3) Menyediakan informasi untuk pengembangan metode analisis dalam memecahkan masalah perikanan di daerah padat tangkap. 1.5 Kerangka Pemikiran Interaksi bilogi dan ekonomi (bioekonomi) suatu sumberdaya perikanan tergantung rezim pengelolaan yang dianut. Selama ini paling tidak ada dua rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu rezim open akses (open access regime) dan rezim pengelolaan secara terpusat (centrally planned regime). Ciri khas rezim akses terbuka yaitu perkembangan nelayan yang tidak terkontrol, penangkapan ikan yang secara de facto berlangsung tanpa ada yang mengendalikan, serta bebasnya nelayan yang sudah ada melakukan ekspansi penangkapan ikan baik secara teknologi, menangkap ikan, maupun daerah penangkapan. Akses terbuka seringkali disamakan dengan milik bersama (common property) meskipun pada dasarnya keduanya memiliki arti yang berbeda. Suatu sumberdaya yang dimiliki bersama dapat saja pemanfaatannya terkelola dengan baik karena memang ada yang memilikinya. Sumberdaya akses terbuka tidak dimiliki oleh siapapun dan sebab itu lebih sering tidak tertata pemanfaatannya. Sumberdaya miliki bersama sering disamakan dengan sumberdaya akses terbuka karena kesulitan pemilik sumberdaya dalam menata sumberdayanya secara bersama-sama. Akibatnya tidak ada yang menata sumberdaya ataupun penataannya tidak efisien sehingga kondisinya tidak berbeda dengan akses terbuka. Keadaan sumberdaya perikanan yang bebas dan liar pada tingkatan tertentu
dapat dikategorikan sebagai suatu sumberdaya akses terbuka. Sebagai suatu akses terbuka, itu berarti bahwa sumberdaya perikanan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang. Seseorang dengan modal dan ketrampilan yang dimilikinya dapat dengan bebas masuk ke dalam industri ini. Bila memang orang tersebut merasakan bahwa usaha perikanan tidak lagi menguntungkan, dia dengan bebas juga dapat keluar dari industri atau kegiatan ini Keputusan untuk seseorang masuk ke (bergabung) serta keluar dari (berhenti) industri atau kegiatan perikanan akses terbuka pada dasarnya adalah keputusan yang berdasarkan atas pertimbangan ekonomi. Bila industri masih memiliki keuntungan supernormal (rente sumberdaya), hal tersebut merupakan insentif bagi pendatang baru (new entrees) untuk masuk ke dalam industri. Pada saat yang sama mereka yang sudah terlebih dahulu ada dalam industri akan memperluas atau meningkatkan usahanya. Sepanjang kentungan supernormal masih ada, pendatang baru serta perluasan usaha akan terus berlangsung. Proses ini akan secara perlahan-lahan meniadakan keuntungan supernormal atau dengan kata lain secara ekonomi terjadi kondisi pulang pokok. Masuknya pendatang baru ke dalam industri perikanan serta perluasan usaha oleh mereka yang terlebih dahulu ada di sana akan membuat upaya intensitas penangkapan ikan bertambah karena modal (kapital) yang bertambah. Karena ikan yang diusahakan terbatas, tambahan modal ini akan menurunkan produktivitas marjinal dan produktivitas rata-rata. Secara ekonomi, gejala penurunan produktivitas ini sepatutnya menjadi peringatan atau tanda bagi nelayan untuk keluar dari industri. Karena kesulitan dalam mengalihkan investasi, faktor musim, ketidakpastian (uncertainty) usaha serta risiko yang diambil (risk taking) dalam bentuk mengharapkan hasil tangkapan yang lebih baik di waktu yang akan datang, maka nelayan akan terus berusaha dan bila mungkin terus meningkatkan kapasitas penangkapan ikan. Bila keadaan ini terjadi, penangkapan ikan secara berlebihan (biological overfishing) telah terjadi secara bersama dengan kelebihan investasi (economic overfishing). Secara yuridis formal, sebetulnya sumberdaya perikanan Indonesia tidak
murni bersifat akses terbuka. Pasal 33 UUD 45 menyiratkan bahwa sumberdaya perikanan adalah milik negara dan ditata pemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu juga, UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa setiap orang yang hendak memanfaatkan sumberdaya ikan harus memiliki izin usaha. Bila izin usaha ini adalah alat pengendalian maka sebetulnya sumberdaya ikan tidak bebas untuk dimasuki, namun demikian, UU No. 31 tahun 2004 juga menyatakan bahwa usaha perikanan yang dilakukan bukan untuk tujuan komersial, tidak memerlukan izin usaha. Konsekuensi peraturan ini yaitu banyak nelayan kecil yang tidak mempunyai izin usaha, meskipun pada kenyataannya kegiatan mereka tidak saja untuk kebutuhan sendiri tetapi juga sudah memiliki tujuan-tujuan komersial. Dilatarbelakangi oleh kondisi geografis Indonesia yang terdiri dan pulau-pulau kecil, terpencil serta kekurangan sarana dan fasilitas dalam melakukan pengendalian, pemantauan dan pengawasan maka secara de facto perikanan perairan pantai di Indonesia bersifat akses terbuka yang siap dimasuki dan dieksploitasi secara bebas. Sementara itu nelayan dapat dengan mudah meningkatkan atau memperluas upaya penangkapan ikan, tanpa perlu mendapat izin tambahan atau melapor kepada pemerintah. Jadi meskipun secara de jure perikanan Indonesia dimiliki oleh negara, secara de facto perikanan Indonesia adalah akses terbuka bagi nelayan di daerah tertentu. Sebagai konsekuensi akses terbuka, perikanan bisa menjadi tempat persinggahan terakhir (last resort) bagi tenaga kerja yang telah kalah bersaing di sektor atau kegiatan lain di darat. Berbagai studi di pantai Utara Jawa dan kawasan Timur Indonesia menunjukkan bahwa manakala sudah tidak ada kesempatan lagi bagi seseorang untuk berusaha di darat, baik karena kekurangan modal, kekurangan ketrampilan, kelangkaan kesempatan, atau karena bias kebijaksanaan pembangunan ekonomi, maka akhirnya orang itu akan beralih ke laut untuk mempertahankan hidupnya melalui kegiatan perikanan (Bailey et al., 1987). Melalui pemahaman hubungan dinamis antara sumberdaya (stok ikan) dengan upaya pemanfaatannya yang didasari oleh keputusan-keputusan ekonomi maka strategi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat disusun. Skenario
dan simulasi terhadap parameter biekonomi serta saling keterkaitannya dapat dilakukan untuk menghasilkan alternatif-alternatif pengelolaan sumberdaya. Hasil simulasi merupakan masukan untuk menentukan pola pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Perikanan tangkap merupakan rangkaian kegiatan penangkapan ikan yang saling berkaitan dengan faktor-faktor kelembagaan, kondisi lingkungan, stok ikan, teknologi perikanan tangkap yang berwawasan lingkungan, mutu hasil tangkapan, pemasaran, kualitas SDM, dan permodalan. Semuanya berada dalam suatu lingkup Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) untuk mencapai Pengelolaan Perikanan Tangkap yang Lestari, diilustrasikan pada Gambar 1. Kelembagaan : -Pemerintah Pusat (DKP) -Pemerintah Daerah -Perguruan T inggi -LSM - LSM Lingkungan Perairan Teknologi Perikanan Tangkap Kualitas SDM Stok ikan Penangkapan ikan - kapal ikan - nelayan - alat tangkap Produksi & Mutu hasil tangkapan CCRF Pengelolaan Perikanan T angkap yang L estari Lingkungan Pantai/pesisir Permodalan Pemasaran Gambar 1. Skema Perikanan Tangkap Yang Lestari (diadopsi dari FAO, 1995) Model analisis terdiri dari tiga aspek, yaitu biologi, sosial ekonomi, dan manajemen. Aspek biologi meliputi dinamika populasi sumberdaya ikan kaitannya
dengan upaya atau teknologi yang digunakan untuk menangkap ikan. Aspek sosial ekonomi menggambarkan tentang penerimaan dan biaya pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya ikan. Aspek manajemen adalah suatu penggabungan antara aspek biologi dan ekonomi untuk menghasilkan pola pengelolaan perikanan yang dinamis dan berkelanjutan. Berdasarkan aspek manajemen, simulasi diadakan sebagai upaya memperoleh pola pengelolaan perikanan berkelanjutan yang relevan. Model pengelolaan perikanan tangkap secara timbal balik menentukan model sosial atau masyarakat nelayan. Model analisis ini diterapkan pada lokasi yang dikelola sesuai dengan tujuan yang diharapkan (Gambar 2). Kelembagaan : - Pemerintah Pusat - Pemerintah Daerah - Perguruan Tinggi - LSM Model Lingkungan/ Eksternal Sub Model Biologi Model Pengelolaan Perikanan Tangkap : Sub Model Manajemen Sub Model Ekonomi Model Sosial / Masyarakat Nelayan Lokasi Terkelola Gambar 2. Kerangka Model Pengelolaan Perikanan Tangkap